BAB IV PEMBAHASAN
IV.1
Perbedaan Perlakuan Pajak Penghasilan pada Bentuk Usaha Orang Pribadi dengan Badan Hukum Yang menjadi subjek pajak penghasilan dapat berupa orang pribadi dan badan. Kedua subjek pajak tersebut memiliki perlakuan pajak penghasilan yang berbeda. Perbedaan tersebut terletak pada cara menghitung PPh yang terutang. Berikut adalah pembahasannya:
IV.1.1 Perlakuan Pajak Penghasilan pada Bentuk Usaha Orang Pribadi Terdapat 2 perlakuan pajak penghasilan pada bentuk usaha orang pribadi, yaitu wajib pajak orang pribadi yang menyelenggarakan pencatatan dan pembukuan. Berdasarkan Undang-Undang PPh nomor 36 tahun 2008 pasal 14 ayat (2), wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran brutonya dalam 1 (satu) tahun kurang dari Rp 4.800.000.000 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) boleh menghitung penghasilan neto dengan menggunakan norma penghitungan penghasilan neto, dengan syarat memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan. Apabila wajib pajak orang pribadi tersebut tidak memberitahuan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk menghitung penghasilan neto dengan menggunakan norma penghitungan penghasilan neto, maka wajib pajak orang pribadi tersebut dianggap memilih 56
menyelenggarakan pembukuan. Apabila wajib pajak orang pribadi tersebut menyelenggarakan pencatatan, maka penghasilan neto dapat dihitung dari :
Peredaran Bruto (Omzet) x Norma Penghitungan Penghasilan Neto
Gambar 4.1
Penghitungan Penghasilan Neto Pada Orang Pribadi yang Menyelenggarakan Pencatatan Sumber data: Undang-Undang PPh nomor 36 tahun 2008 pasal 16 ayat (2)
Besarnya norma penghitungan penghasilan neto ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak dengan mempertimbangkan jenis kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan lokasi atas kegiatan usaha atau pekerjaan bebas tersebut dilaksanakan. Setelah penghasilan kena pajak diperoleh, penghasilan neto tersebut dikurangkan dengan PTKP dan hasilnya merupakan penghasilan kena pajak. Besar kecilnya PTKP tergantung pada status wajib pajak orang pribadi yang menyelenggarakan pencatatan. Penghasilan kena pajak ini kemudian dikalikan dengan tarif progresif yang ada dalam Undang-Undang PPh nomor 36 tahun 2008 pasal 17 ayat (1) huruf (a) untuk mengetahui besarnya PPh yang terutang. Untuk mempermudah pemahaman, berikut adalah cara penghitungannya: Peredaran bruto (x) Norma penghitungan penghasilan neto (=) Penghasilan neto (-) PTKP (=) Penghasilan kena pajak (x) Tarif pasal 17 ayat 1 huruf a (=) PPh yang terutang
57
Wajib pajak orang pribadi yang peredaran brutonya kurang dari Rp 4.800.000.000 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) juga dapat memilih untuk menyelenggarakan pembukuan. Wajib pajak orang pribadi yang menyelenggarakan pembukuan memiliki laporan keuangan sendiri. Jenis laporan keuangan yang diperlukan sebagai dasar dalam menghitung pajak penghasilan adalah Laporan Laba Rugi. Namun, tidak semua akun dalam laporan laba rugi yang di buat oleh wajib pajak orang pribadi diakui dalam laporan laba rugi secara fiskal. Biasanya perbedaan itu dapat dilihat pada bagian biaya. Salah satu contoh biaya dalam kasus Restoran T yang tidak diakui dalam laporan laba rugi secara fiskal, namun diakui dalam laporan laba rugi yang dibuat oleh wajib pajak orang pribadi, yaitu biaya seragam. Hal ini dikarenakan seragam yang dibeli oleh wajib pajak orang pribadi tidak digunakan untuk keamanan (misalnya seragam untuk protekom ataupun satpam). Melainkan seragam untuk dikenakan oleh para pramusaji. Karena adanya perbedaan ini, maka diperlukan rekonsiliasi fiskal untuk mengitung besarnya PPh yang terutang. Setelah malakukan rekonsiliasi, maka akan diperoleh laporan laba rugi secara fiskal sehingga dapat menghitung besarnya penghasilan neto. Dimana peredaran bruto dikurangkan dengan biaya yang diakui dan kompensasi kerugian tahun sebelumnya (bila ada). Objek penghasilan (PPh 4 ayat 1)
-
Biaya yang diakui (pasal 6 ayat 1 dan pasal 9 ayat 1 huruf c, d, e, dan g)
-
Kompensasi kerugian
Gambar 4.2
Penghitungan Penghasilan Neto Pada Orang Pribadi yang Menyelenggarakan Pembukuan Sumber data: Undang-Undang PPh nomor 36 tahun 2008 pasal 16 ayat (1) 58
Hasilnya kemudian dikurangkan dengan PTKP wajib pajak orang pribadi yang menyelenggarakan pembukuan, maka akan diperoleh penghasilan kena pajak. Penghasilan kena pajak ini dikalikan dengan tarif progresif yang ada dalam Undang-Undang PPh nomor 36 tahun 2008 pasal 17 ayat (1) huruf (a) untuk memperoleh besarnya PPh yang terutang. Untuk mempermudah pemahaman, berikut adalah cara penghitungannya: Peredaran bruto (-) Biaya yang diakui (-) Kompensasi kerugian tahun sebelumnya (bila ada) (=) Penghasilan neto (-) PTKP (=) Penghasilan kena pajak (x) Tarif pasal 17 ayat 1 huruf a (=) PPh yang terutang
IV.1.2 Perlakuan Pajak Penghasilan pada Bentuk Usaha Badan Hukum Perlakuan pajak penghasilan pada bentuk usaha badan hukum tidak berbeda jauh dengan perlakuan pajak penghasilan pada bentuk usaha orang pribadi yang menyelenggarakan pembukuan. Berikut adalah perhitungan PPh untuk wajib pajak badan: Peredaran bruto (-) Biaya-biaya yang diakui (-) Kompensasi kerugian tahun sebelumnya (bila ada) (=) Penghasilan kena pajak 59
(x) Tarif pasal 17 ayat (2a) (=) PPh yang terutang (-) Kredit pajak (=) PPh Kurang Bayar (Lebih Bayar) Apabila wajib pajak badan memiliki peredaran bruto lebih kecil dari Rp 4.800.000.000 (empat miliar delapan ratus juta), maka seluruh penghasilan kena pajak mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif 25%.
Apabila
wajib
pajak
badan
memiliki
peredaran
bruto
antara
Rp 4.800.000.000 (empat miliar delapan ratus juta) hingga Rp 50.000.000.000 (lima puluh miliar rupiah), maka hanya sebagian penghasilan kena pajak saja yang memperoleh fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% dari 25%. Dan apabila
wajib
pajak
badan
memiliki
peredaran
bruto
lebih
dari
Rp 50.000.000.000 (lima puluh miliar rupiah), maka penghasilan kena pajaknya tidak memperoleh fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif 25%. Hal tersebut sesuai dengan Undang-Undang PPh nomor 36 tahun 2008 pasal 31E ayat (1).
IV.2
Penghitungan Pajak Penghasilan di Restoran T Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil wawancara, maka dapat dihitung besarnya PPh yang terutang pada bentuk usaha orang pribadi yang menyelenggarakan pencatatan, pembukuan dan badan hukum. Penghitungan dilakukan dengan menganalisis laporan laba rugi yang diperoleh dan dilakukan berdasarkan Peraturan Perundang-undangan Perpajakan yang berlaku. Berikut adalah perinciannya: 60
IV.2.1 Penghitungan Pajak Penghasilan di Restoran T Berbentuk Orang Pribadi yang Menyelenggarakan Pencatatan Restoran T pada tahun 2011 memiliki peredaran bruto atau omzet sebesar Rp 1.690.119.364. Dan berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak nomor KEP- 536/PJ.,/2000 norma penghitungan penghasilan bruto untuk jenis usaha rumah makan di Jakarta adalah sebesar 25%. Dimana pemilik Restoran ini belum menikah dan tidak memiliki tanggungan (TK/0). Dengan demikian, dapat dihitung besarnya PPh yang terutang. Berikut adalah cara penghitungannya: Peredaran Bruto
Rp 1.690.119.364
Norma Penghitungan Penghasilan Neto
25% x
Penghasilan Neto
Rp
422.529.841
PTKP (TK/0)
Rp
Penghasilan Kena Pajak
Rp
406.689.841
Penghasilan Kena Pajak (Pembulatan)
Rp
406.689.000
15.840.000 –
PPh yang terutang: 5% x Rp
50.000.000 = Rp 2.500.000
15% x Rp 200.000.000 = Rp 30.000.000 25% x Rp 156.689.000 = Rp 39.172.250 + Total PPh yang terutang Rp 71.672.250
Jadi, Pak Indra selaku pemilik Restoran T wajib membayar PPh yang terutang selama tahun 2011 sebesar Rp 71.672.250.
61
IV.2.2 Penghitungan Pajak Penghasilan di Restoran T Berbentuk Orang Pribadi yang Menyelenggarakan Pembukuan
Rekonsiliasi
Laporan Laba Rugi Komersial Sales
Rp 1,690,119,364
Fiskal Rp
1,690,119,364
COGS
Rp
643,641,396
Rp
643,641,396
Gross profit
Rp 1,046,477,968
Rp
1,046,477,968
Expenses: Payroll exp.
Rp
572,258,338
( Rp 256,029,667) (1)
Rp
316,228,671
General service exp.
Rp
153,712,556
(Rp
Rp
153,463,806
Marketing exp.
Rp
23,728,332
Rp
23,728,332
Office exp.
Rp
6,708,014
Rp
6,708,014
Fixed charges
Rp
216,000,000
Rp
120,000,000
Product test
Rp
297,500
Rp
297,500
Uniform exp.
Rp
73,900
Rp
-
Utility
Rp
46,457,000
Rp
46,457,000
Kitchen utensil
Rp
6,290,825
Rp
6,290,825
Royalte fee
Rp
18,447,805
Rp
18,447,805
Repair maintenance exp.
Rp
14,259,963
Rp
14,259,963
Freight exp.
Rp
13,532,500
Rp
13,532,500
Gues supplies
Rp
9,307,179
Rp
9,307,179
Kitchen supplies
Rp
30,404,605
Rp
30,404,605
Cleaning supplies
Rp
(Rp
248,750) (2)
96,000,000) (3)
Operating exp: ( Rp
73,900) (4)
- (5)
5,422,000
Rp
5,422,000
Total expenses
Rp 1,116,900,517
Rp
764,548,200
Other income
Rp
2,666,800
Rp
2,666,800
Profit (Loss)
Rp
(67,755,749)
Rp
284,596,568
Tabel 4.1 Laporan Laba Rugi Restoran T Menyelenggarakan Pembukuan Sumber data: Restoran T dengan analisis penulis
Berbentuk
Orang Pribadi
yang
Berdasarkan tabel diatas, dapat dihitung besarnya PPh yang terutang pada bentuk usaha orang priadi yang menyelenggarakan pembukuan, yaitu:
62
Penghasilan Neto
Rp 284.596.568
PTKP (TK/0)
Rp 15.840.000 –
Penghasilan kena pajak
Rp 268.756.568
pembulatan Rp 268.756.000
PPh yang terutang: 5% x
Rp
50.000.000
15% x Rp 200.000.000
= Rp 2.500.000 = Rp 30.000.000
25% x (Rp 268.756.000 – Rp 50.000.000 – Rp 200.000.000) = Rp 4.689.000 + Total PPh yang terutang
Rp 37.189.000
Jadi, besarnya PPh yang terutang selama tahun 2011 pada bentuk usaha orang pribadi yang menyelenggarakan pembukuan adalah Rp 37.189.000.
63
IV.2.3 Penghitungan Pajak Penghasilan di Restoran T Berbentuk Badan Hukum Rekonsiliasi
Laporan Laba Rugi Komersial Sales COGS Gross profit
Rp 1,690,119,364 Rp 643,641,396 Rp 1,046,477,968
Expenses: Payroll exp. General service exp. Marketing exp. Office exp. Fixed charges Operating exp: Product test Uniform exp. Utility Kitchen utensil Royalte fee Repair maintenance exp. Freight exp. Gues supplies Kitchen supplies Cleaning supplies Total expenses
Rp 297,500 Rp 73,900 Rp 46,457,000 Rp 6,290,825 Rp 18,447,805 Rp 14,259,963 Rp 13,532,500 Rp 9,307,179 Rp 30,404,605 Rp 5,422,000 Rp 1,116,900,517
Other income Profit (Loss)
Rp Rp
Rp Rp Rp Rp Rp
572,258,338 153,712,556 23,728,332 6,708,014 216,000,000
(Rp 256,029,667) (1) (Rp 1,839,750) (2)
(Rp
96,000,000) (3)
(Rp
73,900) (4)
(Rp (Rp
18,447,805) (5) 14,259,963) (6)
2,666,800 (67,755,749)
Fiskal Rp Rp Rp
1,690,119,364 643,641,396 1,046,477,968
Rp Rp Rp Rp Rp
316,228,671 151,872,806 23,728,332 6,708,014 120,000,000
Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp
297,500 46,457,000 6,290,825 13,532,500 9,307,179 30,404,605 5,422,000 730,249,432
Rp Rp
2,666,800 318,895,336
Tabel 4.2 Laporan Laba Rugi Restoran T Berbentuk Badan Hukum Sumber data: Restoran T dengan analisis penulis
Karena peredaran bruto Restoran T selama tahun 2011 sebesar Rp 1.690.119.364, maka seluruh penghasilan kena pajaknya mendapat fasilitas pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif 25%. Dimana PPh yang terutang dapat dihitung sebagai berikut: PPh yang terutang = 50% x 25% x Rp 318.895.000 = Rp 39.861.875.
64
Jadi, PPh yang terutang pada Restoran T yang berbentuk badan hukum selama tahun 2011 adalah sebesar Rp 39.861.875.
Berdasarkan Tabel 4.1 dan 4.2 terdapat perbedaan antara laporan laba rugi komersial dengan laporan laba rugi fiskal. Dimana perbedaan tersebut dapat terlihat pada bagian biaya yang diakui dalam laporan laba rugi komersial, namun tidak diakui dalam laporan laba rugi fiskal. Untuk mengubah laporan laba rugi komersial menjadi laporan laba rugi fiskal perlu dilakukan rekonsiliasi fiskal. Namun sebelum melakukan rekonsiliasi fiskal, perlu mengetahui akun-akun yang terdapat dalam laporan laba rugi yang dibuat oleh pihak Restoran T. Hal ini diperlukan agar dapat mengetahui akun-akun mana saja yang dapat diakui sebagai biaya dan yang tidak dapat diakui sebagai biaya. Dengan kata lain, dapat mengetahui akun-akun mana saja yang perlu direkonsiliasi. Berikut adalah penjelasan dari masing-masing akun tersebut: 1.
Sales merupakan akun atas penjualan makanan dan minuman. Besarnya sales Restoran T selama tahun 2011 adalah Rp 1.690.119.364.
2.
Cost of Good Sold (COGS) merupakan akun atas biaya bahan baku yang terpakai dalam membuat makanan dan minuman. Besarnya COGS Restoran T selama tahun 2011 adaah Rp 643.641.396.
3.
Payroll
&
related
expenses
selama
tahun
2011
adalah
sebesar
Rp 572.258.338. Akun ini terdiri dari biaya gaji sebesar Rp 318.592.167, uang makan karyawan sebesar Rp 54.851.500, biaya kesehatan yang dikeluarkan oleh pihak Restoran T untuk karyawan sebesar Rp 4.833.875, Tunjangan Hari Raya (THR) sebesar Rp 16.934.999, uang lembur sebesar 65
Rp 15.948.297, biaya jasa konsultasi pengembangan Restoran T sebesar Rp 111.805.000, dan transportasi karyawan sebesar Rp 7.292.500. Biaya gaji sebesar Rp 318.592.167 terdiri dari gaji untuk direktur utama (owner) sebesar Rp 42.000.000 selama tahun 2011. 4.
General service expenses selama tahun 2011 adalah sebesar Rp 153.712.556. Akun ini terdiri dari pajak reklame sebesar Rp 14.500.000, biaya listrik sebesar Rp 84.756.504, biaya pam sebesar Rp 30.603.324, biaya telepon, fax, internet sebesar Rp 11.686.234, iuran kebersihan sebesar Rp 1.800.000, biaya calmic yang digunakan untuk mengusir lalat sebesar Rp 5.638.494, biaya jasa pembasmi hama sebesar Rp 1.591.000, dan biaya transportasi untuk delivery sebesar Rp 3.137.000. Untuk biaya telepon, fax, internet di dalamnya terdapat biaya pulsa sebesar Rp 497.500 yang digunakan karyawan untuk menunjang tugasnya.
5.
Marketing expenses selama tahun 2011 adalah sebesar Rp 23.728.332. Akun ini terdiri dari promotional materials seperti banner dan brosur sebesar Rp 17.767.327, advertisement expenses sebesar Rp 4.319.500, dan promotion expenses sebesar Rp 1.641.505.
6.
Office expenses selama tahun 2011 adalah sebesar Rp 6.708.014. Akun ini terdiri dari credit card charges atau administrasi bank sebesar Rp 3.331.614, dan biaya print dan fotokopi untuk menunjang kinerja karyawan sebesar Rp 3.376.400. Credit card charges atau administrasi bank merupakan biaya yang terjadi apabila customer melakukan pembayaran dengan debit card ataupun credit card, namun jumlah pembayaran tidak mencapai batas minimal yang telah ditetapkan. Akibatnya, pihak bank tidak mentransfer 66
seluruh pembayaran customer kepada pihak Restoran T sehingga mengurangi besarnya sales. 7.
Fixed charges selama tahun 2011 adalah sebesar Rp 216.000.000. Akun ini terdiri dari biaya sewa tempat Restoran T sebesar Rp 96.000.000, cicilan bank yang termasuk bunga sebesar Rp 120.000.000, dan penyusutan harta berwujud yang tidak dimasukan besarnya atau jumlahnya.
8.
Operating expenses selama tahun 2011 adalah sebesar Rp 144.493.277. Akun ini terdiri dari: a. Product test sebesar Rp 297.500 merupakan akun atas biaya-biaya yang dikeluarkan selama proses pembuatan menu atau resep baru. b. Uniform expenses sebesar Rp 73.900 merupakan akun atas biaya seragam yang diperuntukan bagi para pramusaji. c. Utility sebesar Rp 46.457.000 merupakan akun yang teridiri dari biaya gas sebesar Rp 33.120.000, biaya air galon sebesar Rp 5037.000, dan biaya es batu sebesar Rp 8.300.000. d. Kitchen utensil sebesar Rp 6.290.825 merupakan biaya untuk membeli peralatan makan dan minum seperti piring, mangkok, sendok, garpu, dan gelas. e. Royalty fee sebesar Rp 18.447.805 merupakan akun yang terdiri dari royalti Restoran T dan royalti sate. f. Repair maintenance expenses sebesar Rp 14.259.963 merupakan akun atas biaya jasa perbaikan peralatan seperti service AC, komputer, motor, dan genset.
67
g. Freight expenses sebesar Rp 13.532.500 merupakan akun atas biaya pengiriman bumbu. h. Gues supplies sebesar Rp 9.307.179 merupakan akun yang terdiri dari biaya tisu, struk kasir untuk bill dan buku nota untuk mencatat pemesanan. i. Kitchen supplies sebesar Rp 30.404.605 merupakan akun yang terdiri dari biaya sambel, minyak, kecap, bawang goreng, areng, dan plastic sampah. j. Cleaning supplies sebesar Rp 5.422.000 merupakan akun yang teridiri dari biaya pembersih lantai, sabun cuci tangan dan piring. 9.
Other income merupakan akun atas pendapatan dari hasil penjualan kulit dan kepala kambing. Besarnya other income selama tahun 2011 adalah Rp 2.666.800. Berdasarkan penjelasan diatas, terdapat beberapa akun yang harus
direkonsiliasi. Untuk rinciannya, berikut adalah akun-akun yang harus direkonsiliasi: 1.
Dalam akun payroll & related expenses, terdapat akun atas gaji, uang makan karyawan, biaya kesehatan, THR, uang lembur, transportasi karyawan dan biaya jasa konsultasi pengembangan Restoran T. Dimana semua akun tersebut harus direkonsiliasi positif sejumlah Rp 256.029.667 pada Tabel 4.1 dan pada Tabel 4.2. Hal itu dikarenakan pihak Restoran T tidak melakukan pemotongan ataupun pemungutan PPh 21 yang terutang pada karyawan dan imbalan sehubungan dengan jasa tenaga ahli (jasa konsultasi pengembangan Restoran T). Rekonsiliasi positif sejumlah Rp 256.029.667 pada Tabel 4.1 68
diperoleh dari biaya jasa konsultasi pengembangan Restoran T sebesar Rp 111.805.000 ditambah dengan total dari gaji, uang makan karyawan, biaya kesehatan, THR, uang lembur, transportasi karyawan yang seharusnya terutang PPh 21 sebesar Rp 102.224.667, dan gaji atas direktur utama (owner) sebesar Rp 42.000.000. Sedangkan rekonsiliasi positif sebesar Rp 256.029.667 pada Tabel 4.2 diperoleh dari biaya jasa konsultasi pengembangan Restoran T sebesar Rp 111.805.000 ditambah dengan total dari gaji, uang makan karyawan, biaya kesehatan, THR, uang lembur yang seharusnya terutang PPh 21 sebesar Rp 144.224.667. 2.
Pada Tabel 4.1 dalam akun general service expenses terjadi rekonsiliasi positif sebesar Rp 248.750 yang merupakan 50% dari biaya pulsa yang tidak diakui secara fiskal. Hal ini berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE-09/PJ.42/2002. Untuk biaya jasa pembasmi hama tidak dilakukan rekonsiliasi positif, karena Restoran T berbentuk orang pribadi yang menyelenggarakan pembukuan tidak wajib melakukan pemotongan atau pemungutan PPh 23. Hanya wajib pajak orang pribadi yang menyelenggarakan pembukuan yang ditunjuk oleh Kepala KPP saja yang dapat melakukan pemotongan ataupun pemungutan PPh 23 atas jasa pembasmi hama. Dengan kata lain, pihak dari Restoran T dapat mengakui biaya jasa pembasmi hama sebagai pengurang peredaran bruto. Pada Tabel 4.2, dalam akun general service expenses terjadi rekonsiliasi positif sebesar Rp 1.839.750. Rekonsiliasi positif tersebut terdiri dari Rp 248.750 yang merupakan 50% dari biaya pulsa yang tidak diakui secara fiskal dan Rp 1.591.000 yang merupakan biaya jasa pembasmi hama. Untuk 69
wajib pajak badan, wajib melakukan pemotongan PPh 23 atas jasa pembasmi hama. Karena pihak Restoran T tidak melakukan pemotongan atau pemungutan tersebut, maka biaya jasa pembasmi hama harus direkonsiliasi positif. 3.
Baik pada Tabel 4.1 maupun 4.2, terjadi rekonsiliasi positif sebesar Rp 96.000.000 pada akun fixed charges. Hal ini dikarenakan terdapat biaya sewa tempat atau bangunan sebesar Rp 96.000.000 yang merupakan PPh final. Sehingga biayanya tidak dapat diakui sebagai pengurang peredaran bruto.
4.
Berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE-29/PJ.4/1995, akun uniform expenses (biaya seragam) dapat diakui sebagai biaya apabila digunakan untuk keselamatan kerja seperti seragam untuk satpam ataupun protekom. Namun, akun biaya seragam ini dimaksudkan untuk para pramusaji. Sehingga biaya seragam ini tidak dapat diakui sebagai biaya dalam fiskal dan perlu direkonsiliasi positif sebesar Rp 73.900 pada Tabel 4.1 dan 4.2.
5.
Pada Tabel 4.1, tidak terjadi rekonsiliasi pada akun royalty fee. Hal ini dikarenakan pihak dari Restoran T berbentuk orang pribadi yang menyelenggarakan pembukuan memiliki bukti pembayaran atas royalti yang telah dibayarkan. Sedangkan untuk Tabel 4.2, terjadi rekonsiliasi sebesar Rp 18.447.805 karena pihak dari Restoran T berbentuk badan tidak melakukan pemotongan PPh 23 atas royalti yang telah dibayarkan. Sehingga biaya royalti tidak dapat diakui sebagai pengurang peredaran bruto.
70
6.
Pada Tabel 4.2 dalam akun repairment maintenance expenses terjadi rekonsiliasi positif sebesar Rp 14.259.963 yang merupakan biaya jasa service peralatan. Biaya jasa service peralatan termasuk dalam objek PPh 23 dan pihak dari Restoran T berbentuk badan seharusnya memotong PPh 23. Namun, karena Restoran T berbentuk badan tidak melakukan pemotongan atau pemungutan, maka biaya jasa ini tidak dapat diakui sebagai pengurang peredaran bruto. Sedangkan pada Tabel 4.1, Restoran T sebagai orang pribadi yang menyelenggarakan pembukuan tidak wajib melakukan pemotongan atau pemungutan PPh 23 sehingga biaya ini dapat diakui dan tidak perlu direkonsiliasi positif. Setelah akun-akun tersebut direkonsiliasi, maka akan diperoleh laporan
laba rugi secara fiskal dan dapat dihitung PPh yang terutang pada Restoran T berbentuk orang pribadi yang menyelenggarakan pembukuan dan badan hukum.
IV.3
Analisa Laporan Laba Rugi Restoran T Berdasarkan analisa, besarnya PPh yang terutang pada Restoran T berbentuk orang pribadi yang menyelenggarakan pembukuan dan badan hukum tersebut sebenarnya dapat diperkecil lagi. Dengan ketentuan biaya jasa konsultasi pengembangan Restoran T dan total dari biaya gaji, uang makan karyawan, biaya kesehatan, THR, uang lembur, transportasi karyawan yang seharusnya terutang PPh 21 dipotong atau dipungut PPh 21 oleh pihak Restoran T. Dengan memungut atau memotong PPh 21, pihak Restoran T dapat menjadikan akunakun tersebut sebagai biaya sehingga dapat memperkecil besarnya PPh yang terutang. 71
1.
Berdasarkan Undang-Undang PPh nomor 36 tahun 2008 pasal 21 ayat (1) bagian (d), Restoran T berbentuk orang pribadi yang menyelenggarakan pembukuan dan badan hukum wajib melakukan pemotongan atau pemungutan PPh 21 atas imbalan sehubungan dengan jasa. Jika pihak dari Restoran T melakukan pemotongan PPh 21 atas jasa konsultasi pengembangan Restoran T, maka besarnya PPh 21 yang dipotong atau dipungut = Rp 111.805.000 x 50% x 5% = Rp 2.795.125
2.
Berdasarkan Undang-Undang PPh nomor 36 tahun 2008 pasal 21 ayat (1) bagian (a), baik Restoran T berbentuk orang pribadi yang menyelenggarakan pembukuan ataupun badan hukum wajib melakukan pemotongan atau pemungutan PPh 21 atas gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai. Jika pihak dari Restoran T melakukan pemotongan atau pemungutan PPh 21 tersebut, maka Tabel 4.3 dan 4.4 adalah perhitungan PPh 21 yang terutang pada karyawan:
72
Nama
Status
Ph. Bruto
B. Jabatan
Ph. Neto
PTKP
PKP
PPh 21
Abdullah *
TK/0
Rp
19,045,000
Rp
952,250
Rp
18,092,750
Rp
15,840,000
Rp
2,252,000
Rp
135,120
Samsul *
TK/0
Rp
13,479,667
Rp
673,983
Rp
12,805,684
Rp
11,880,000
Rp
925,000
Rp
55,500
Ainy *
TK/0
Rp
19,200,000
Rp
960,000
Rp
18,240,000
Rp
15,840,000
Rp
2,400,000
Rp
144,000
Pungki
TK/0
Rp
17,500,000
Rp
875,000
Rp
16,625,000
Rp
9,240,000
Rp
7,385,000
Rp
369,250
Yanto
TK/0
Rp
13,500,000
Rp
675,000
Rp
12,825,000
Rp
11,880,000
Rp
945,000
Rp
47,250
Vera
TK/0
Rp
14,250,000
Rp
712,500
Rp
13,537,500
Rp
6,600,000
Rp
6,937,000
Rp
346,850
Alloy
TK//2
Rp
5,250,000
Rp
262,500
Rp
4,987,500
Rp
1,540,000
Rp
3,447,000
Rp
172,375
Total
Rp 102,224,667
Rp 1,270,345
Tabel 4.3 Penghitungan PPh 21 Untuk Restoran T Berbentuk Orang Pribadi yang Menyelenggarakan Pembukuan Sumber data: Analisis Penulis yang Berdasarkan Undang-Undang PPh nomor 36 tahun 2008
Nama Abdullah * Samsul * Indra Ainy * Pungki Yanto Vera Alloy Total
Status TK/0 TK/0 TK/0 TK/0 TK/0 TK/0 TK/0 TK/2
Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp
Ph. Bruto 19,045,000 13,479,667 42,000,000 19,200,000 17,500,000 13,500,000 14,250,000 5,250,000 144,224,667
B. Jabatan Rp 952,250 Rp 673,983 Rp 2,100,000 Rp 960,000 Rp 875,000 Rp 675,000 Rp 712,500 Rp 262,500
Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp
Ph. Neto 18,092,750 12,805,684 39,900,000 18,240,000 16,625,000 12,825,000 13,537,500 4,987,500
Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp
PTKP 15,840,000 11,880,000 15,840,000 15,840,000 9,240,000 11,880,000 6,600,000 1,540,000
Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp
PKP 2,252,000 925,000 24,060,000 2,400,000 7,385,000 945,000 6,937,000 3,447,000
PPh 21 Rp 135,120 Rp 55,500 Rp 1,203,000 Rp 144,000 Rp 369,250 Rp 47,250 Rp 346,850 Rp 172,375 Rp 2,473,320
Tabel 4.4 Penghitungan PPh 21 Untuk Restoran T Berbentuk Badan Hukum Sumber data: Analisis Penulis yang Berdasarkan Undang-Undang PPh nomor 36 tahun 2008
Keterangan: *) Tidak memiliki NPWP sehingga tarif penghitungan PPh 21 20% lebih tinggi daripada yang memiliki NPWP.
73
Besarnya PPh yang terutang pada Restoran T berbentuk orang pribadi yang menyelenggarakan pembukuan dan badan hukum juga dapat diperkecil dengan memasukan biaya penyusutan harta berwujud dalam akun fixed charges. Hal ini dikarenakan biaya penyusutan dapat diakui sebagai biaya yang sesuai dengan Undang-Undang PPh nomor 36 tahun 2008 pasal 6. Dan berikut adalah perhitungan besarnya penyusutan dalam tahun 2011: Bulan
Nama Barang
Masa Manfaat
Harga
Penyusutan
Februari
mesin pompa air
4 tahun
Rp 2,324,000
Rp
1,065,167
Maret
kompor mawar
4 tahun
Rp
500,000
Rp
208,333
Maret
rombong sate
4 tahun
Rp 1,596,000
Rp
665,000
April
komputer utk adm
4 tahun
Rp 1,800,000
Rp
675,000
Mei
kamera cctv
4 tahun
Rp 10,850,000
Rp
3,616,667
Agustus
aircurtain
4 tahun
Rp 2,500,000
Rp
520,833
Nov
mesin serut es
4 tahun
Rp 1,000,000
Rp
83,333
Rp
6,834,333
Total
Tabel 4.5 Penghitungan Penyusutan Dengan Metode Saldo Menurun (Double Declining Method) Sumber data: Analisis Penulis Berdasarkan Ketentuan Terkait
Bulan
Nama Barang
Masa Manfaat
Harga
Penyusutan
Februari
mesin pompa air
4 tahun
Rp 2,324,000
Rp
532,583
Maret
kompor mawar
4 tahun
Rp
500,000
Rp
104,167
Maret
rombong sate
4 tahun
Rp 1,596,000
Rp
332,500
April
komputer utk adm
4 tahun
Rp 1,800,000
Rp
337,500
Mei
kamera cctv
4 tahun
Rp10,850,000
Rp
1,808,333
Agustus
aircurtain
4 tahun
Rp 2,500,000
Rp
260,417
Nov
mesin serut es
4 tahun
Rp 1,000,000
Rp
41,667
Rp
3,417,167
Total
Tabel 4.6 Penghitungan Penyusutan Dengan Metode Garis Lurus (Straight Line Method) Sumber data: Analisis Penulis Berdasarkan Ketentuan Terkait
74
Untuk Tabel 4.5 besarnya biaya penyusutan dihitung berdasarkan metode saldo menurun (double declining method). Karena semua harta berwujud tergolong dalam kelompok 1, maka tarif yang digunakan adalah sebesar 50%. Sedangkan pada Tabel 4.6 menggunakan metode garis lurus (straight line method). Karena semua harta berwujud tergolong dalam kelompok 1, maka tarif yang digunakan adalah sebesar 25%. Dimana penyusutan tahun 2011 dihitung dengan cara jumlah dari bulan pembelian hingga bulan pada akhir tahun dibagi dengan jumlah bulan dalam setahun dikalikan dengan harga beli dan dikalikan dengan tarif. Untuk tahun 2011, biaya penyusutan sebaiknya menggunakan metode saldo menurun (double declining method) karena dapat mengurangi profit lebih besar daripada menggunakan metode saldo menurun (straight line method). Dan metode ini harus diterapkan secara taat asas. Selain memotong atau memungut PPh 21 atas imbalan sehubungan dengan jasa dan atas gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai, serta mengakui biaya penyusutan harta berwujud, Restoran T berbentuk badan hukum juga perlu melakukan pemotongan atau pemungutan PPh 23. Karena dengan memotong atau memungut PPh 23, Restoran T berbentuk badan hukum dapat mengakui biaya yang menjadi objek PPh 23 dan besarnya pemotongan atau pemungutan tersebut dapat dijadikan kredit pajak (pengurang PPh yang terutang). Berikut adalah perhitungan PPh 23 apabila Restoran T berbentuk badan hukum melakukan pemotongan atau pemungutan PPh 23 atas jasa pembasmi hama, royalti dan jasa service peralatan:
75
1.
Jasa pembasmi hama PPh 23 yang harus dipotong atau dipungut = Rp 1.591.000 x 2% = Rp 31.820
2.
Royalti PPh 23 yang harus dipotong atau dipungut = Rp 18.447.805 x 15% = Rp 2.767.171
3.
Jasa service peralatan PPh 23 yang harus dipotong atau dipungut = Rp 14.259.963 x 2% = Rp 285.199
IV.4
Penghitungan Pajak Penghasilan di Restoran T yang Sebenarnya Yang dimaksud dengan penghitungan pajak penghasilan di Restoran T yang sebenarnya adalah penghitungan pajak penghasilan yang terutang dimana pihak Restoran T baik yang berbentuk orang pribadi yang menyelenggarakan pembukuan maupun badan hukum mematuhi peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Yaitu dengan melakukan pemotongan ataupun pemungutan PPh 21 (untuk bentuk usaha orang pribadi yang menyelenggarakan pembukuan dan badan hukum) dan PPh 23 (untuk bentuk usaha badan hukum). Dengan melakukan pemotongan atau pemungutan atas PPH 21 dan PPh 23, maka biaya-biaya yang tadinya tidak dapat diakui menjadi dapat diakui. Sehingga akan mempengaruhi besarnya PPh yang terutang, yaitu besarnya PPh yang terutang akan semakin berkurang. Berikut adalah penghitungan PPh yang terutang pada Restoran T berbentuk orang pribadi yang menyelenggarakan pembukuan dan
76
badan hukum bila pihak dari Restoran T mematuhi peraturan perundangundangan perpajakan yang berlaku.
IV.4.1 Penghitungan Pajak Penghasilan di Restoran T Berbentuk Orang Pribadi yang Menyelenggarakan Pembukuan yang Sebenarnya
Rekonsiliasi
Laporan Laba Rugi Komersial
Fiskal
Sales
Rp 1,690,119,364
Rp
1,690,119,364
COGS
Rp
643,641,396
Rp
643,641,396
Gross profit
Rp 1,046,477,968
Rp
1,046,477,968
Rp
530,258,338
Expenses: Payroll exp.
Rp
572,258,338
Rp
42,000,000
General service exp.
Rp
153,712,556
Rp
248,750
Rp
153,463,806
Marketing exp.
Rp
23,728,332
Rp
23,728,332
Office exp.
Rp
6,708,014
Rp
6,708,014
Fixed charges
Rp
216,000,000
Rp
120,000,000
Product test
Rp
297,500
Rp
297,500
Uniform exp.
Rp
73,900
Rp
-
Utility
Rp
46,457,000
Rp
46,457,000
Kitchen utensil
Rp
6,290,825
Rp
6,290,825
Royalte fee
Rp
18,447,805
Rp
18,447,805
Repair maintenance exp.
Rp
14,259,963
Rp
14,259,963
Freight exp.
Rp
13,532,500
Rp
13,532,500
Gues supplies
Rp
9,307,179
Rp
9,307,179
Kitchen supplies
Rp
30,404,605
Rp
30,404,605
Cleaning supplies
Rp
5,422,000
Rp
5,422,000
Total expenses
Rp 1,116,900,517
Rp
978,577,867
Other income
Rp
2,666,800
Rp
2,666,800
Profit (Loss)
Rp
(67,755,749)
Rp
70,566,901
Rp
96,000,000
Operating exp: Rp
73,900
Tabel 4.7 Laporan Laba Rugi Restoran T Berbentuk Orang Pribadi Menyelenggarakan Pembukuan Bila Melakukan Pemotongan PPh 21 Sumber data: Restoran T dengan analisis penulis
yang
77
Berdasarkan tabel diatas, dapat dihitung besarnya PPh yang terutang pada bentuk usaha orang priadi yang menyelenggarakan pembukuan yang sebenarnya, yaitu: Penghasilan Neto
Rp 70.556.901
PTKP (TK/0)
Rp 15.840.000 –
Penghasilan kena pajak
Rp 54.716.901
pembulatan Rp 54.716.000
PPh yang terutang: 5% x
Rp
50.000.000
15% x (Rp 54.716.000 - Rp 50.000.000) Total PPh yang terutang
= Rp 2.500.000 = Rp
707.400 +
Rp 3.207.400
Jadi, besarnya PPh yang terutang selama tahun 2011 pada bentuk usaha orang pribadi yang menyelenggarakan pembukuan adalah Rp 3.207.400.
78
IV.4.2 Penghitungan Pajak Penghasilan di Restoran T Berbentuk Badan Hukum yang Sebenarnya Laporan Laba Rugi Komersial Sales COGS Gross profit
Rekonsiliasi
Rp 1,690,119,364 Rp 643,641,396 Rp 1,046,477,968
Expenses: Payroll exp. General service exp. Marketing exp. Office exp. Fixed charges Operating exp: Product test Uniform exp. Utility Kitchen utensil Royalte fee Repair maintenance exp. Freight exp. Gues supplies Kitchen supplies Cleaning supplies Total expenses
Rp 297,500 Rp 73,900 Rp 46,457,000 Rp 6,290,825 Rp 18,447,805 Rp 14,259,963 Rp 13,532,500 Rp 9,307,179 Rp 30,404,605 Rp 5,422,000 Rp 1,116,900,517
Other income Profit (Loss)
Rp Rp
Rp Rp Rp Rp Rp
572,258,338 153,712,556 23,728,332 6,708,014 216,000,000
Rp
248,750
Rp
96,000,000
Rp
73,900
2,666,800 (67,755,749)
Fiskal Rp Rp Rp
1,690,119,364 643,641,396 1,046,477,968
Rp Rp Rp Rp Rp
572,258,338 153,463,806 23,728,332 6,708,014 120,000,000
Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp
297,500 46,457,000 6,290,825 18,447,805 14,259,963 13,532,500 9,307,179 30,404,605 5,422,000 1,020,577,867
Rp Rp
2,666,800 28,566,901
Tabel 4.8 Laporan Laba Rugi Restoran T Berbentuk Badan Hukum Bila Melakukan Pemotongan PPh 21 dan PPh 23 Sumber data: Restoran T dengan analisis penulis
Berdasarkan tabel diatas, dapat dihitung besarnya PPh yang terutang pada bentuk usaha badan hukum yang sebenarnya, yaitu: PPh yang terutang = 50% x 25% x Rp 28.566.000 = Rp 3.570.750.
79
IV.5
Analisa Perbandingan Pajak Penghasilan yang Terutang Besarnya PPh yang terutang pada Restoran T berbentuk orang pribadi yang menyelenggarakan pencatatan adalah sebesar Rp 71.672.250. Besarnya PPh yang terutang pada Restoran T berbentuk orang pribadi yang menyelenggarakan pencatatan ini dipengaruhi oleh besarnya peredaran bruto dan status wajib pajak orang pribadi (PTKP). Semakin besar peredaran bruto maka semakin besar pula PPh yang terutang. Apabila PTKP pemilik Restoran T semakin besar maka dapat mengurangi PPh yang terutang. Hal ini berdasarkan pada cara penghitungan PPh yang terutang pada Restoran T berbentuk orang pribadi yang menyelenggarakan pencatatan. Dengan demikian dapat disimpulkan, apabila penjualan makanan dan minuman dari Restoran T semakin meningkat, maka akan memperbesar PPh yang terutang. Untuk yang berbentuk orang pribadi yang menyelenggarakan pembukuan, besarnya PPh yang terutang adalah Rp 37.189.000. Apabila pihak Restoran T melakukan pemotongan PPh 21 dan PPh 23, besarnya PPh yang terutang adalah Rp 3.207.400. Besarnya PPh yang terutang pada Restoran T berbentuk orang pribadi yang menyelenggarakan pembukuan ini dipengaruhi oleh besarnya penghasilan neto, status wajib pajak orang pribadi (PTKP) dan penghasilan kena pajak. Semakin besar penghasilan neto dan penghasilan kena pajak menyebabkan PPh yang terutang semakin besar. Sedangkan besarnya PPh yang terutang dalam bentuk badan hukum adalah Rp 39.861.875. Apabila pihak Restoran T melakukan pemotongan PPh 21 dan PPh 23, besarnya PPh yang terutang adalah Rp 3.570.750. Besarnya PPh yang terutang pada Restoran T berbentuk badan hukum ini dipengaruhi oleh 80
peredaran bruto. Apabila peredaran bruto kurang dari Rp 4.800.000.000 (empat miliar delapan ratus juta rupiah), maka seluruh penghasilan kena pajaknya mendapat fasilitas pengurangan tarif. Apabila peredaran bruto antara Rp 4.800.000.000 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) sampai dengan Rp 50.000.000.000 (lima puluh miliar rupiah), maka hanya sebagian dari penghasilan kena pajak yang memperoleh pengurangan tarif. Dan apabila peredaran bruto lebih dari Rp 50.000.000.000 (lima puluh miliar rupiah), maka seluruh penghasilan kena pajaknya tidak memperoleh pengurangan tarif. Dengan memperoleh pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif 25%, maka dapat memperkecil PPh yang terutang. Berdasarkan dari faktor yang mempengaruhi besarnya PPh yang terutang, dapat dilihat bahwa bentuk usaha orang pribadi yang menyelenggarakan pencatatan yang paling tidak menyenangkan. Dan dapat dibuktikan dari hasil perhitungan dimana peredaran bruto tidak lebih dari Rp 4.800.000.000 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) bahwa besarnya PPh yang terutang dalam bentuk orang pribadi yang menyelenggarakan pencatatan paling besar daripada bentuk usaha lainnya. Sedangkan untuk bentuk usaha orang pribadi yang menyelenggarakan pembukuan maupun badan hukum tidak dapat dikatakan lebih baik. Hal ini dikarenakan baik tidaknya salah satu bentuk usaha tersebut tergantung pada kasus yang dialami. Untuk kasus Restoran T yang peredaran bruto pada tahun 2011 tidak lebih dari Rp 4.800.000.000 (empat miliar delapan ratus juta rupiah), bentuk usaha orang pribadi yang menyelenggarakan pembukuan memiliki PPh yang terutang dalam jumlah lebih kecil. 81