BAB IV PEMBAHASAN DAN HASIL PENGUJIAN
IV.1 Mekanisme Pembahasan Pembahasan penelitian ini akan terbagi dalam dua bagian besar, dimulai dengan analisis deskriptif terhadap objek penelitian, karakteristik sampel berdasarkan industri, besarnya goodwill yang dimiliki masing-masing perusahaan, jumlah perusahaan yang melakukan penurunan nilai goodwill, dan analisis tingkat kepatuhan perusahaan dalam mengungkapkan penurunan nilai goodwill serta perbandingannya dengan perusahaan yang berada di Australia dan New Zealand. Perusahaan Australia dan New Zealand dipakai sebagai perbandingan untuk meneliti apakah ada perbedaan kualitas pengungkapan antara ketiga negara ini. Selain itu, perusahaan di kedua negara dipakai untuk membuktikan pernyataan dari Choi dan Meek (2008) yang menyatakan bahwa ada perbedaan kualitas pengungkapan di negara maju dan negara berkembang yang disebabkan oleh banyak faktor salah satu diantaranya yaitu tingkat keaktifan pasar modal. Australia dan New Zealand masuk ke dalam kelompok negara maju sedangkan Indonesia tergolong sebagai negara berkembang. Penggolongan negara maju dan negara berkembang dapat dilihat dari pendapatan perkapitanya (gross domestic product). Berdasarkan data world bank di tahun 2010, Australia dan New Zealand memiliki pendapatan perkapita masing-masing sebesar US$50.746 dan US$32.620. Sedangkan Indonesia hanya sebesar US$3.495. Bagian kedua dalam bab ini akan membahas apakah perusahaan yang membukukan kerugian penurunan nilai adalah perusahaan dengan laba operasi yang 41
sangat rendah. Selain itu dalam bagian ini akan mengidentifikasi jenis manajemen laba yang dilakukan oleh perusahaan yang membukukan kerugian penurunan nilai goodwill. Berdasarkan penelitian sebelumnya dengan objek perusahaan di United States of America (USA), di tahun adopsi uji penurunan nilai, perusahaan yang memilih untuk membukukan kerugian penurunan nilai adalah perusahaan dengan laba operasi yang sangat rendah. Sehingga dari hal ini, perusahaan diindikasikan melakukan manajemen laba model big bath. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis apakah terjadi kondisi yang serupa dengan penelitian sebelumnya yaitu apakah perusahaan yang membukukan kerugian penurunan nilai adalah perusahaan dengan laba operasi yang sangat rendah. Sehingga untuk menganalisis indikasi tersebut, sampel dibagi menjadi dua kelompok yaitu perusahaan yang goodwill-nya mengalami penurunan nilai dan yang tidak. Laba operasi (laba sebelum kerugian penurunan nilai goodwill) dari kedua kelompok ini akan dibandingkan. Pengujian secara statistik dengan menggunakan Mann-Whitney dilakukan untuk membandingkan apakah terdapat perbedaan yang signifikan antara laba operasi kedua kelompok. Ketika perusahaan yang membukukan kerugian penurunan nilai goodwill memiliki laba operasi yang sangat rendah, maka diindikasikan melakukan manajemen laba model big bath. Akan tetapi, ketika laba operasinya tidak rendah dan lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan yang tidak membukukan kerugian penurunan nilai, maka perusahaan diindikasikan melakukan manajemen laba model income smoothing atau perataan laba.
42
IV.2 Deskripsi Objek Penelitian IV.2.1 Deskripsi Umum Mengenai Objek Penelitian Berdasarkan kriteria pemilihan sampel, 56 perusahaan dijadikan objek dalam penelitian ini. 56 perusahaan tersebut diambil dari berbagai sektor industri dan berikut adalah perinciannya Tabel IV.1 Sampel berdasarkan Industri
Sektor
Kategori Industri Agriculture Primary Sector Mining Secondary Basic Industry and Chemicals Sector Consumer Goods Industry (Industry and Manufacturing) Miscellaneous Industry Infrastructure, Utilities, and Transportation Tertiary Sector Property, Real Estate and (Services) Building Construction Trade, Service, and Investment Total Sumber: JASICA 2011 .
Jumlah Sampel 5 6 5 9
Goodwill per Total Asset 6.71% 7.45% 0.65% 2.62%
3
0.68%
5
3.13%
7 16 56
1.97% 7.69% Rata-rata : 4.63%
Berdasarkan tabel diatas, dari 56 sampel yang ada, perusahaan di tertiary sector (services) dengan jenis industri trade, services, and investment adalah industri yang paling banyak memiliki goodwill dalam laporan keuangannya. Dari segi goodwill per total aset, industri trade,services, and investment juga memiliki persentase yang paling tinggi, diikuti dengan industri mining. Dalam lampiran disajikan goodwill per total aset masing-masing perusahaan. Berdasarkan rata-rata, goodwill per total aset untuk keseluruhan perusahaan sebesar 4,63%
43
Dibawah ini merupakan grafik yang menunjukkan persentase goodwill terhadap total aset. Dari 56 perusahaan yang memiliki goodwill, 42 perusahaan (73% dari total) memiliki goodwill kurang dari 5% total aset, 5%-10% sebanyak 6 perusahaan (11%), dan lebih dari 10% sebanyak 9 perusahaan (16%). Komposisi ini tidak berubah baik di tahun 2010 maupun 2011. Grafik IV.1 Goodwill per total aset tahun 2011 dan 2010 Formatted: Indonesian
Untuk menunjukkan seberapa besar dampak dari goodwill terhadap profitabilitas perusahaan, grafik dibawah ini memperlihatkan persentase goodwill terhadap sales revenue. Sebanyak 37 perusahaan (64% dari total) di tahun 2011 dan 35 perusahaan (63%) di tahun 2010 memiliki saldo goodwill kurang dari 5% , 5%-10% sebanyak 7 perusahaan di tahun 2011 dan 2010 serta lebih dari 10% sebanyak 12 perusahaan di tahun 2011 dan 14 perusahaan di tahun 2010. Adanya peningkatan jumlah perusahaan yang memiliki saldo goodwill kurang dari 5% di tahun 2011 disebabkan karena adanya penurunan nilai goodwill.
44
Dari sisi laba operasi, goodwill berpotensi, apabila keseluruhan jumlahnya mengalami penurunan nilai, menggerus laba operasi secara rata-rata sebesar 339%. Jumlah ini merupakan jumlah yang signfikan dan sangat berpengaruh pada laba operasi perusahaan dimasa mendatang. Grafik IV.2 Persentase Goodwill per total penjualan tahun 2011 dan 2010
Di tahun 2011, perusahaan harus melakukan uji penurunan nilai atas goodwill dan membukukan kerugian penurunan nilai apabila jumlah terpulihkan kurang dari jumlah tercatat. Dari hasil analisis sebanyak 19 perusahaan (34%) membebankan kerugian atas penurunan nilai goodwill dan 37 perusahaan (66%) diantaranya tidak. Accounting choice atas ketentuan ini yaitu apakah perusahaan memilih untuk melakukan penurunan nilai goodwill atau tidak atau dengan kata lain seberapa besar nilai kerugian penurunan nilai goodwill yang akan dibebankan perusahaan. Dari data yang ada, 19 perusahaan membukukan kerugian penurunan nilai goodwill dan sebagian besar diantaranya (37 perusahaan) memilih untuk tidak melakukan penurunan nilai goodwill. Pada pembahasan berikutnya, akan dibahas mengenai apakah accounting
45
choice ini akan berpotensi sebagai manajemen laba dilihat dari laba operasi perusahaan sebagai insentif. IV.2.2 Analisis Deskriptif Tentang Kualitas Pengungkapan Penurunan Nilai Goodwill Analisis kualitas pengungkapan penurunan nilai goodwill dilakukan dengan meneliti setiap catatan atas laporan keuangan perusahaan dan membandingkannya dengan ketentuan PSAK no. 48. Ada 3 kriteria umum yang harus dipenuhi dan beberapa kriteria tambahan yang bergantung pada pemilihan metode pengukuran jumlah terpulihkan, seperti yang terlampir pada tabel IV.2 dibawah ini. Setiap perusahaan yang mengungkapkan suatu kriteria diberikan angka “1” dan setiap perusahaan yang tidak mengungkapkan diberikan angka “0”. Setiap kriteria akan dijumlahkan untuk menentukan kualitas pengungkapan setiap perusahaan. Kualitas dari pengungkapan ditentukan sebagai berikut: 1. Perusahaan yang tidak mengungkapkan satupun dari ketentuan PSAK no. 48 atau dengan total nilai “0” disebut sebagai no disclosure (very poor disclosure). 2. Untuk perusahaan yang mengungkapkan hanya 1 kriteria atau dengan total nilai “1” disebut sebagai poor disclosure. 3. Untuk perusahaan yang mengungkapkan 2 kriteria atau dengan total nilai “2” disebut sebagai partial disclosure. 4. Untuk perusahaan yang mengungkapkan semua kriteria disebut sebagai full disclosure.
46
Berdasarkan hasil penelitian dari setiap catatan atas laporan keuangan perusahaan, dalam tabel IV.3 disajikan jumlah perusahaan yang mematuhi setiap kriteria dan tingkat kepatuhan pengungkapan masing-masing perusahaan. Tabel IV.2 Kriteria Pengungkapan Uji Penurunan Nilai Goodwill Ketentuan pengungkapan penurunan nilai Ketentuan Kriteria 1 Unit Penghasil Kas (UPK) yang menjadi alokasi goodwill Umum Kriteria 2 Jumlah tercatat goodwill dialokasikan ke unit Kriteria 3 Dasar dari jumlah terpulihkan Fair Value atau Value in Use
Opsi 1
Jumlah terpulihkan menggunakan nilai pakai Kriteria 3a Asumsi utama yang digunakan sebagai dasar oleh manajemen dalam proyeksi arus kas Kriteria 3b Pendekatan manajemen untuk menetapkan nilai yang ditentukan untuk setiap asumsi utama Kriteria 3c Periode proyeksi arus kas dan penjelasannya Kriteria 3d Tingkat pertumbuhan yang digunakan Kriteria 3e Tingkat diskonto untuk proyeksi arus kas
Opsi 2
Jumlah terpulihkan menggunakan nilai wajar dikurangi biaya penjualan Kriteria 3f Metodologi yang digunakan untuk menentukan nilai wajar dikurangi biaya untuk menjual
Opsi 3
Jika Nilai wajar dikurangi biaya untuk menjual tidak ditentukan dengan menggunakan harga pasar yang dapat diobservasi untuk unit Kriteria 3g Asumsi Utama yang digunakan sebagai dasar manajemen dalam menentukan nilai wajar dikurangi biaya menjual Kriteria 3h Penjelasan pendekatan manajemen dalam menetapkan nilai yang dipakai
Opsi 4
Jika nilai wajar dikurangi biaya untuk menjual ditentukan dengan menggunakan proyeksi arus kas terdiskonto Kriteria 3i Periode arus kas yang diproyeksikan Kriteria 3j Tingkat pertumbuhan yang digunakan Kriteria 3k Tingkat diskonto yang diterapkan untuk proyeksi arus kas
Sumber: PSAK no. 48 Penurunan Nilai Aset (revisi 2009)
47
Tabel IV.3 Analisis Kepatuhan Pengungkapan Kriteria Umum Kriteria Kriteria Kriteria Kualitas Jumlah Total Kode 1 2 3 Pengungkapan 0 ABBA 0 0 0 0% No Disclosure 0 AISA 0 0 0 0% No Disclosure 0 AKRA 0 0 0 0% No Disclosure 0 ARTI 0 0 0 0% No Disclosure 0 ASGR 0 0 0 0% No Disclosure 0 AUTO 0 0 0 0% No Disclosure 1 BIPI 0 0 1 33% PoorDisclosure 0 BKSL 0 0 0 0% No Disclosure 0 BMSR 0 0 0 0% No Disclosure 0 BNBR 0 0 0 0% No Disclosure 1 ANTM 0 0 1 33% PoorDisclosure 0 ASII 0 0 0 0% No Disclosure 0 GZCO 0 0 0 0% No Disclosure 0 INDY 0 0 0 0% No Disclosure 1 BORN 0 0 1 33% PoorDisclosure 0 BRAM 0 0 0 0% No Disclosure 0 BRNA 0 0 0 0% No Disclosure 2 BSDE 1 0 1 67% Partial Disclosure 0 CENT 0 0 0 0% No Disclosure 1 CITA 0 0 1 33% PoorDisclosure 0 COWL 0 0 0 0% No Disclosure 2 DILD 1 0 1 67% Partial Disclosure 0 DKFT 0 0 0 0% No Disclosure 0 DVLA 0 0 0 0% No Disclosure 0 EMDE 0 0 0 0% No Disclosure 0 EMTK 0 0 0 0% No Disclosure 0 ERAA 0 0 0 0% No Disclosure 0 ETWA 0 0 0 0% No Disclosure 0 GREN 0 0 0 0% No Disclosure 0 HERO 0 0 0 0% No Disclosure 0 HMSP 0 0 0 0% No Disclosure Sumber: Catatan atas laporan keuangan perusahaan tahun 2011 (data diolah)
48
Tabel IV.3 (Lanjutan) Analisis Kepatuhan Pengungkapan Kriteria Umum Kriteria Kriteria Kriteria Kualitas Jumlah Total 1 2 3 Pengungkapan 3 100% Full Disclosure ICBP 1 1 1 0 IGAR 0 0 0 0% No Disclosure 3 100% Full Disclosure INDF 1 1 1 3 100% Full Disclosure ISAT 1 1 1 0 JKON 0 0 0 0% No Disclosure 0 JSMR 0 0 0 0% No Disclosure 1 KLBF 0 0 1 33% PoorDisclosure 0 LPLI 0 0 0 0% No Disclosure 1 MAPI 0 0 1 33% PoorDisclosure 0 MDRN 0 0 0 0% No Disclosure 0 OKAS 0 0 0 0% No Disclosure 0 PSDN 0 0 0 0% No Disclosure 0 SCMA 0 0 0 0% No Disclosure 0 SGRO 0 0 0 0% No Disclosure 3 100% Full Disclosure SIMP 1 1 1 2 SMAR 1 1 0 67% Partial Disclosure 0 SMCB 0 0 0 0% No Disclosure 0 SULI 0 0 0 0% No Disclosure 1 TBIG 0 0 1 33% PoorDisclosure 0 TGKA 0 0 0 0% No Disclosure 1 TLKM 1 0 0 33% PoorDisclosure 0 TSPC 0 0 0 0% No Disclosure 0 UNSP 0 0 0 0% No Disclosure 1 UNVR 0 0 1 33% PoorDisclosure 0 VIVA 0 0 0 0% No Disclosure Total Sampel 56 56 56 Mengungkapkan 8 5 14 Tidak Mengungkapkan 48 51 42 Persentase Pengungkapan 14% 9% 25% Persentase yang tidak mengungkapkan 86% 91% 75% Sumber: Catatan atas laporan keuangan perusahaan tahun 2011 (data diolah) Kode
49
Kesimpulan dari tabel diatas adalah kepatuhan perusahaan untuk pengungkapan setiap kriteria sangat rendah. Hampir seluruh perusahaan tidak mengungkapkan ketentuan yang diatur PSAK no. 48, berikut adalah perinciannya: sebanyak 48 perusahaan (86%) tidak mengungkapkan unit penghasil kas sebagai alokasi goodwill. Untuk kriteria yang kedua, 51 perusahaan diantaranya atau hampir seluruh sampel tidak mengungkapkan sedangkan yang mengungkapkan hanya 5 perusahaan. Untuk kriteria yang ketiga mengenai metode untuk mengukur jumlah terpulihkan hanya dilakukan oleh 14 perusahaan (24,6%). Dari hasil analisis secara keseluruhan terhadap kualitas pengungkapan penurunan nilai goodwill, hampir seluruh perusahaan tidak mengungkapkan ketentuan sebagaimana yang diatur dalam PSAK no. 48. Temuan ini dapat menyimpulkan bahwa kualitas pelaporan keuangan perusahaan di Indonesia, khususnya yang terkait dengan penurunan nilai goodwill masih sangat rendah. Secara detail, sebanyak 40 perusahaan (72%) memiliki kualitas pengungkapan yang sangat rendah (no disclosure), sebanyak sembilan perusahaan (16%) memiliki kualitas pengungkapan yang rendah (poor disclosure), sebanyak tiga perusahaan (5%) hanya mengungkapkan sebagian dari seluruh ketentuan yang ada (partial disclosure), dan yang terakhir hanya ada empat perusahaan yang mengungkapkan seluruh ketentuan yang ada (7%). Grafik 4.3 menyimpulkan tingkat kualitas dan seberapa banyak perusahaan yang mematuhi ketentuan PSAK no. 48. Disajikan pula persentase masing-masing tingkat kualitas. Berikut ini akan dibahas kepatuhan perusahaan terhadap masing-masing kriteria
50
Grafik IV.3 Ringkasan Kepatuhan Pengungkapan Penurunan Nilai Goodwill
A. Pengungkapan kriteria 1 dan 2 - Unit Penghasil Kas (UPK) yang menjadi alokasi goodwill dan jumlah goodwill yang dialokasikan ke UPK Dalam melakukan uji penurunan nilai, goodwill dialokasikan pada setiap unit penghasil kas yang diharapkan memberikan manfaat dari sinergi kombinasi bisnis. Setiap unit atau kelompok unit penghasil kas yang memperoleh alokasi goodwill harus menunjukkan tingkat terendah dalam entitas yang goodwill-nya dipantau untuk tujuan manajemen internal dan tidak lebih besar dari segmen operasi. Berdasarkan hasil analisis, hanya ada 8 perusahaan (14%) yang mengungkapkan kriteria UPK sebagai alokasi goodwill dan sebagian besar diantaranya yaitu 48 perusahaan (86%) tidak mengungkapkan kriteria ini. Dalam lampiran, disajikan grafik yang menunjukkan persentase masing-masing. Ketiadaan pengungkapan ini akan menarik kesimpulan investor bahwa perusahaan akan menghindari melakukan uji penurunan nilai goodwill. Adanya pengungkapan ini sangat penting karena seberapa besar suatu goodwill mengalami penurunan nilai akan ditentukan oleh unit penghasil kas. Ilustrasi berikut 51
dipakai untuk menunjukkan bahwa kegagalan dalam penentuan unit penghasil kas dapat berakibat pada kegagalan dalam menentukan kerugian penurunan nilai. Suatu perusahaan memiliki 2 segmen dalam anak perusahaannya, segmen A dan segmen B. Segmen A mampu menciptakan laba operasi yang tinggi dan berkontribusi arus kas masuk yang besar bagi perusahaan, sedangkan segmen B beroperasi dengan cost yang besar sehingga segmen tersebut mengalami kerugian. Perhitungan jumlah terpulihkan kedua segmen ini akan sangat berbeda. Apabila kedua segmen ini digabungkan menjadi 1 sebagai alat alokasi goodwill, jumlah terpulihkan segmen A akan menutupi jumlah terpulihkan segmen B. Dari hasil analisis perusahaan yang mengungkapkan UPK, jumlah unit penghasil kas yang menjadi alokasi goodwill bervariasi antar perusahaan. Sebagai contoh PT. Indosat Tbk mengalokasikan goodwill-nya hanya ke 1 UPK yaitu unit usaha selular yang juga merupakan segmen usaha grup, begitu pula dengan PT. Sinar Mas Agro Resources and Technology, mengalokasikan goodwill yang ada ke dalam 1 segmen yaitu perkebunan. Berbeda dengan PT. Indofood Sukses Makmur yang memiliki beberapa UPK sebagai alat alokasi goodwill diantaranya divisi penyedap makanan, divisi perkebunan terpadu, bisnis CBP, bisnis Pacsari, dan lain-lain. Atau PT Salim Ivomas Pratama Tbk mengalokasikan goodwill-nya ke beberapa UPK yaitu keseluruh segmen perkebunan. Segmen perkebunan tersebut merupakan entitas anak dari perusahaan. Dari
pengungkapan
kriteria
ini
diketahui
bahwa
seluruh
perusahaan
mengalokasikan goodwill kedalam segmen operasi. Segmen operasi dalam beberapa perusahaan merupakan entitas anak dari perusahaan tersebut. Perusahaan memilih untuk mengalokasikan goodwill ke UPK yang adalah segmen operasinya karena sulitnya
52
menentukan UPK yang lebih kecil dari segmen operasi, sesuai dengan PSAK no. 48 UPK tersebut diharapkan untuk memberi manfaat dari adanya kombinasi bisnis. Kurangnya kepatuhan dalam pengungkapan kriteria pertama pada perusahaan di Indonesia kemungkinan disebabkan karena sulitnya menentukan unit penghasil kas yang menjadi alokasi goodwill. Unit penghasil kas yang dipilih menjadi alokasi goodwill harus memberikan manfaat dari adanya kombinasi bisnis. Dalam kriteria yang kedua setiap perusahaan diharuskan untuk mengungkapkan seberapa besar goodwill yang dialokasikan ke setiap unit penghasil kas. Total goodwill yang dialokasikan harus sama dengan saldo goodwill yang ada. Berdasarkan hasil analisis, kualitas pengungkapan untuk kriteria yang kedua masih sangat rendah. Ada 51 perusahaan (91%) yang tidak melakukan pengungkapan dan hanya ada 5 perusahaan (9%) yang mengungkapkan dengan benar dan mengalokasikan goodwill tersebut ke setiap segmen operasi. Dalam lampiran, disajikan grafik yang memuat persentase masing-masing. Jumlah UPK yang menerima alokasi goodwill dan besarnya goodwill yang dialokasikan ke setiap UPK akan berbeda-beda sesuai dengan diskresioner manajemen. Dalam PSAK no. 48 tidak mengatur besarnya goodwill yang dialokasikan ke masingmasing UPK. Akan tetapi, UPK yang dialokasikan goodwill harus konsisten setiap periode, perubahan diperbolehkan apabila ada justifikasi. Hal ini akan berpotensi disalahgunakan oleh manajemen untuk tidak melakukan penurunan nilai ketika goodwill seharusnya mengalami penurunan nilai, ataupun sebaliknya.
53
B. Pengungkapan Kriteria 3 - Metode yang Dipakai Untuk Menghitung Jumlah Terpulihkan Sesuai dengan PSAK no. 48, entitas harus menghitung jumlah terpulihkan dari setiap unit penghasil kas yang dialokasikan goodwill. Hal ini menjadi sangat penting karena suatu goodwill dikatakan mengalami penurunan nilai apabila jumlah terpulihkan kurang dari jumlah tercatat. Pengungkapan yang lebih detail mengenai penentuan jumlah terpulihkan diatur dalam PSAK no. 48 paragraf 129.Pengungkapan ini diperlukan untuk mendukung asumsi manajemen melakukan penghitungan jumlah terpulihkan. Berdasarkan hasil analisis, 75% dari keseluruhan sampel yaitu sebanyak 42 perusahaan tidak mengungkapkan metode pengukuran dan dasar penghitungan penurunan nilai. Hanya ada 14 perusahaan (25%) yang mengungkapkan. Hal ini dapat menjadi kemungkinan bahwa perusahaan yang memiliki goodwill dalam laporan keuangannya, tidak melakukan uji penurunan nilai dengan menghitung jumlah terpulihkan. Metode pengukuran dengan nilai pakai banyak digunakan oleh perusahaan dalam menentukan jumlah terpulihkan. Hal ini sesuai dengan teori Kieso et al (2011) bahwa karena sulitnya menentukan nilai wajar suatu unit penghasil kas, manajemen akan menggunakan nilai pakai dalam menghitung jumlah terpulihkan. Disisi lain, semua perusahaan yang mengukur jumlah terpulihkan dengan fair value less cost to sell menggunakan model proyeksi arus kas terdiskonto. Hal ini disebabkan karena sulitnya menentukan nilai wajar di pasar aktif atas UPK, yang dalam kasus ini adalah segmen
54
operasi. Disajikan dalam lampiran, grafik perbandingan metode yang dipakai 14 perusahaan ini untuk menghitung jumlah terpulihkan. Pembahasan untuk metode pengukuran nilai terpulihkan dan pengungkapannya dibatasi hanya kepada perusahaan yang melakukan pengungkapan metode pengukuran jumlah terpulihkan dalam catatan laporan keuangannya. Dari hasil analisis sebelumnya, hanya terdapat 14 perusahaan yang mengungkapkan metode pengukuran jumlah terpulihkan. Dari 14 perusahaan tersebut, 8 perusahaan menggunakan nilai pakai, 5 perusahaan menggunakan nilai wajar dikurangi biaya penjualan, dan 1 perusahaan menggunakan kedua metode tersebut. Seluruh perusahaan yang menggunakan nilai wajar dikurangi biaya penjualan menggunakan pendekatan arus kas terdiskonto. Dibawah ini merupakan tabel yang menggambarkan tingkat kepatuhan perusahaan mengungkapkan asumsi penentuan jumlah terpulihkan. Sebanyak 5 kriteria diatur dalam PSAK no. 48. D. Pengungkapan metode pengukuran jumlah terpulihkan menggunakan nilai pakai (kriteria 3a-3e) Tabel 4.4 merupakan analisis kepatuhan perusahaan dalam pengungkapan penggunaan nilai pakai sebagai dasar jumlah terpulihkan. Ada 5 kriteria yang harus dipenuhi berdasarkan ketentuan PSAK no. 48. Tidak ada satupun perusahaan yang mengungkapkan seluruh kriteria yang ditentukan. Kriteria pertama (3a), yang mengatur asumsi yang dipakai dalam proyeksi arus kas diungkapkan sebanyak 5 (56%) dari 9 perusahaan. Asumsi yang dipakai untuk menghitung arus kas kebanyakan menggunakan proyeksi penjualan dan anggaran arus kas seperti PT Bumi Serpong Damai Tbk dan PT Intiland Development Tbk
55
menggunakan proyeksi penjualan real estate dan tanah untuk dikembangkan. Penggunaan proyeksi penjualan merupakan estimasi arus kas masuk yang muncul dari pemakaian aset (dalam hal ini UPK segmen operasi). Penggunaan proyeksi penjualan merupakan penggunaan asumsi yang terlalu aggressive, karena tidak memperhitungkan cost yang mungkin keluar dari penjualan tersebut Untuk kriteria yang kedua (3b), hanya ada 3 perusahaan (33%) yang mengungkapkan. Kriteria yang kedua ini mengatur mengenai pendekatan manajemen dalam melakukan proyeksi arus kas. Ketiga perusahaan tersebut memakai data historis dalam menganggarkan arus kasnya. Tabel IV.4 Kepatuhan Pengungkapan perusahaan Yang Menggunakan Nilai Pakai Kode Perusahaan BIPI BORN BSDE CITA DILD ICBP INDF MAPI UNVR Total yang mengungkapkan Persentase Yang tidak mengungkapkan Persentase
Kr. 3a
Kr. 3b
Kr. 3c
Kr. 3d
Kr. 3e
Total
1 0 1 1 1 0 0 0 1 5 56% 4 44%
0 0 1 1 1 0 0 0 0 3 33% 6 67%
0 0 0 1 0 0 0 0 1 2 22% 7 78%
0 1 0 0 0 1 1 0 1 4 44% 5 56%
0 1 1 1 1 1 1 0 1 7 78% 2 22%
1 2 3 4 3 2 2 0 4
Kriteria yang ketiga (3c) mengenai periode proyeksi arus kas. Kualitas pengungkapan pada kriteria ini sangat kurang karena hanya ada 2 perusahaan yang
56
mengungkapkan. 2 perusahaan tersebut menggunakan proyeksi arus kas selama 5 tahun sesuai dengan standar yang disarankan oleh PSAK no. 48 Kriteria yang ke empat (3d) tentang tingkat pertumbuhan yang digunakan, diungkapkan oleh 4 perusahaan. 4 perusahaan ini menggunakan tingkat pertumbuhan yang bervariasi. Tingkat pertumbuhan yang digunakan diantaranya PT Borneo Lumbung Energi dan Metal 10%, PT Unilever Indonesia tbk 3%, PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk 4%, dan PT Indofood Sukses Makmur dari 1% sampai dengan 6,5%. PT PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk dan PT Indofood Sukses Makmur menggunakan dasar tingkat pertumbuhan industri di negara entitas beroperasi. 2 perusahaan tidak mengungkapkan dasar penentuan tingkat pertumbuhan. Tingkat pertumbuhan yang dipakai perusahaan sesuai dengan tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2011 yaitu 6.5% (Berita Resmi Statistik 2012:1). Hal ini menyimpulkan bahwa perusahaan tidak conservative dan tidak aggressive dalam menetapkan tingkat pertumbuhan. Kecuali untuk PT Borneo Lumbung Energi yang menggunakan tingkat pertumbuhan sebesar 10% tanpa ada pengungkapan yang memadai dasar penentuan tingkat pertumbuhan 10%. Hal ini mengindikasikan ketidakpatuhan dan indikasi aggressive dalam menentukan jumlah terpulihkan. Kriteria yang kelima (3e) adalah kriteria yang paling banyak diungkapkan dibandingkan 4 kriteria sebelumnya. Kriteria ini mengatur mengenai tingkat diskon yang dipakai untuk menghitung nilai sekarang dari arus kas yang diproyeksikan. Tingkat diskon yang dipakai perusahaan di Indonesia berkisar antara 6% sampai dengan 19,25%. Yang umumnya digunakan adalah dikisaran 10%-12%.
57
E. Pengungkapan metode pengukuran jumlah terpulihkan menggunakan nilai wajar dikurangi biaya penjualan (kriteria 3f-3k) Tabel 4.5 merupakan analisis kepatuhan perusahaan dalam mengungkapkan dasar penentuan jumlah terpulihkan dengan menggunakan nilai wajar bersih. Hanya ada 2 perusahaan yang mengungkapkan seluruh ketentuan yang disyaratkan. Kriteria yang pertama (3f) adalah pengungkapan metode yang dipakai. Semua perusahaan mengukur jumlah terpulihkan menggunakan metode proyeksi arus kas terdiskonto (discounted cash flow). Hal ini disebabkan karena sulitnya mengidentifikasi harga pasar wajar yang dapat diobservasi untuk suatu unit penghasil kas dimana unit penghasil kas keseluruhan sampel adalah segmen operasi perusahaan. Hanya ada 1 perusahaan yang tidak mengungkapkan kriteria ini.
Tabel IV.5 Kepatuhan Pengungkapan Pengukuran Menggunakan Nilai Wajar Bersih Kode Perusahaan ANTM INDF ISAT KLBF SIMP TBIG Total yang mengungkapkan Persentase Yang tidak mengungkapkan Persentase
Kr. 3f 1 1 1 1 1 0
Kr. 3i 0 0 1 0 1 0
Kr. 3j 0 1 1 0 1 0
Kr. 3k 0 1 1 0 1 1
5 83%
2 33%
3 50%
4 67%
1 17%
4 67%
3 50%
2 33%
Total 1 3 4 1 4 1
58
Kriteria yang kedua (3i) adalah pengungkapan periode proyeksi arus kas. PT Indosat tbk menggunakan proyeksi arus kas 5 tahun sedangkan PT Salim Ivomas Pratama tbk menggunakan proyeksi arus kas 10 tahun. Penggunaan proyeksi arus kas yang lebih dari 5 tahun memerlukan tambahan pengungkapan. Dalam kasus PT Salim Ivomas Pratama tbk tidak ada penjelasan mengenai penggunaaan proyeksi arus kas 10 tahun, hal ini merupakan salah satu bentuk ketidakpatuhan dalam pengungkapan. Kriteria yang ketiga (3j) adalah pengungkapan tingkat pertumbuhan yang digunakan untuk mengektstrapolasi arus kas. Rata-rata perusahaan menggunakan tingkat pertumbuhan dari 5%-6,5%. Hanya ada 3 perusahaan yang mengungkapkan tingkat pertumbuhan. Tingkat pertumbuhan sangat penting untuk diungkapkan karena akan menentukan seberapa besar estimasi jumlah terpulihkan. Semakin besar tingkat pertumbuhan maka estimasi arus kas akan semakin besar. Serupa dengan nilai pakai, tingkat pertumbuhan yang dipakai mendekati atau sama dengan tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia. Kriteria yang keempat (3k) adalah tingkat diskon yang digunakan untuk menentukan nilai sekarang dari serangkaian arus kas. Rata-rata perusahaan menggunakan tingkat diskon 10%-15% dengan berbasiskan weighted average cost of capital (WACC) IV.2.3 Perbandingan Kepatuhan Pengungkapan dengan Perusahaan Australia dan New Zealand Perbandingan kualitas pengungkapan perusahaan Indonesia dengan perusahaan Australia dan New Zealand akan mengacu kepada penelitian sebelumnya, seperti yang telah dijelaskan dalam bab 3 penelitian ini. 50 perusahaan besar di Australia dan 34 perusahaan New Zealand dijadikan sampel dalam penelitian tersebut. Penelitian tersebut 59
membahas mengenai lima kriteria yaitu pengungkapan UPK sebagai alokasi goodwill, jumlah goodwill yang dialokasikan, metode pengukuran jumlah terpulihkan, tingkat pertumbuhan dan tingkat diskon yang pakai sebagai estimasi arus kas jumlah terpulihkan. Kualitas pengungkapan uji penurunan nilai goodwill perusahaan di Indonesia masih sangat rendah dibandingkan dengan perusahaan Australia dan New Zealand. Hampir seluruh perusahaan yang dijadikan sampel (72%) tidak mengungkapkan seluruh ketentuan yang diatur dalam PSAK no. 48 dan hanya ada 2 perusahaan yang mengungkapkan dengan benar. Bahkan perusahaan dengan nilai kapitalisasi pasar yang paling besar di Indonesia seperti PT. Astra International Tbk (ASII), tidak melakukan pengungkapan satupun dari seluruh kriteria. Hal ini menjadi indikator ketidakpatuhan terhadap perusahaanperusahaan yang lainnya. Berikut ini adalah tabel ringkasan kepatuhan pengungkapan uji penurunan nilai goodwill di Australia, New Zealand, dan Indonesia. 16 dari 20 perusahaan yang goodwill-nya mengalami penurunan nilai tidak mengungkapkan satupun dari seluruh kriteria yang ada. 4 perusahaan lainnya hanya mengungkapkan 1 kriteria. Hal ini dapat memicu suatu anggapan bahwa perusahaan melakukan manajemen laba terkait dengan beban kerugian penurunan nilai goodwill. Tidak ada penjelasan dalam laporan keuangan perusahaan yang membukukan kerugian penurunan nilai goodwill faktor-faktor yang menyebabkan penurunan nilai goodwill sebagaimana yang disyaratkan PSAK no. 48. Untuk kriteria yang pertama dan yang kedua, mengenai penentuan UPK yang menjadi alokasi goodwill dan besarnya goodwill yang dialokasikan ke setiap UPK, sebanyak 41 perusahaan (82%) dan 34 perusahaan di New Zealand (100%) mematuhi 60
untuk mengungkapkan kriteria ini. Seluruh perusahaan New Zealand yang menjadi sampel mematuhi peraturan yang ada. Dalam kriteria yang ketiga mengenai pengungkapan metode pengukuran jumlah terpulihkan, sebanyak 47 perusahaan (94%) di Australia dan 33 perusahaan (97%) melakukan pengungkapan ini. Dapat dilihat bahwa tingkat kepatuhan kedua negara ini untuk melakukan pengungkapan kriteria yang ketiga sangat tinggi. Berikut adalah perincian lebih detailnya: Dari 47 perusahaan di Australia, delapan perusahaan menggunakan nilai wajar dikurangi biaya penjualan, 37 perusahaan menggunakan nilai pakai, dan dua perusahaan menggunakan kedua metode ini. Sedangkan untuk perusahaan di New Zealand, dari 33 perusahaan yang mengungkapkan, 29 perusahaan menggunakan nilai pakai, tiga perusahaan menggunakan nilai wajar, dan satu perusahaan menggunakan kedua metode. Dibawah ini adalah tabel yang menyimpulkan perbandingan pengungkapan antara ketiga negara. Tabel IV.6 Perbandingan Jumlah Perusahaan Yang Mengungkapkan Kriteria Uji Penurunan Nilai Goodwill
Australia Total Perusahaan Sampel Kriteria 1 - Alokasi goodwill ke UPK Kriteria 2 - Jumlah goodwill dialokasikan Kriteria 3 - Metode pengukuran jumlah terpulihkan Tingkat Pertumbuhan Tingkat Diskon Rata-rata
%
50
New Zealand
%
34
Indonesia
%
56
41
82%
34
100%
8
14%
41
82%
34
100%
5
9%
47 44 43
94% 88% 86%
33 23 30
97% 68% 88%
14 6 10
25% 11% 18%
87%
91%
15% 61
IV.2.4 Pembahasan Kualitas Pengungkapan Penurunan Nilai Goodwill Ada beberapa alasan yang menyebabkan kurangnya kepatuhan perusahaan di Indonesia dalam mengungkapkan penurunan nilai goodwill diantaranya: Sebagian besar perusahaan memiliki nilai goodwill yang tidak signifikan dibandingkan dengan total aset perusahaan. Berdasarkan analisis deskriptif diatas, jumlah perusahaan yang memiliki persentase goodwill terhadap total aset kurang dari 5% sebanyak 41 perusahaan, yang artinya hampir keseluruhan sampel. Hal ini menyebabkan adanya keengganan dari manajemen sebagai penyusun laporan keuangan untuk mengungkapkan ketentuan uji penurunan nilai sesuai dengan standar. Ditambah pula dengan proses penentuan uji penurunan nilai yang kompleks dan detail serta membutuhkan estimasi, asumsi dan teknik yang
tidak sederhana. Biaya untuk
melakukan pengungkapan dianggap lebih besar dari manfaat yang diterima perusahaan. Faktor ketidakpahaman manajemen merupakan isu penting yang perlu diangkat dalam hal ini. Ketentuan untuk melakukan uji penurunan nilai merupakan standar yang baru diterapkan di perusahaan Indonesia per 1 januari 2011 selain itu dibandingkan dengan ketentuan untuk melakukan amortisasi, setiap detail proses pengujian penurunan nilai lebih kompleks dan tidak mudah untuk dilakukan. Hasil kesimpulan penelitian ini mendukung pernyataan Choi dan Meek (2008:120) dalam bukunya “International Accounting” yang membahas mengenai kepatuhan tingkat pengungkapan di negara maju dan negara berkembang. Penulis buku ini menyatakan bahwa perusahaan yang sumber utama pendanaannya berasal dari pasar modal (seperti saham) seperti perusahaan-perusahaan di Amerika serikat dan Australia akan memberikan tingkat pengungkapan yang lebih besar. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk melindungi investor. Sedangkan di Indonesia, atau di negara berkembang 62
lainnya pemegang saham cenderung terpusat pada pihak-pihak tertentu dan bank sehingga
pengungkapan
yang
detail
kurang
diperlukan.
Perbedaan
kualitas
pengungkapan antara Indonesia dengan Australia dan New Zealand berbeda sangat signifikan.
IV.2.5 Peran Auditor Dalam Penerapan dan Pengungkapan Uji Penurunan Nilai Goodwill Dibandingkan dengan ketentuan untuk melakukan amortisasi, peraturan untuk melakukan uji penurunan nilai goodwill lebih baik dalam merefleksikan substansi nilai goodwill akan tetapi dalam penerapan dan pengungkapannya perlu diawasi oleh auditor laporan keuangan. Penentuan UPK yang dialokasikan goodwill, besarnya goodwill yang di alokasikan ke masing-masing UPK, dan penentuan besarnya jumlah terpulihkan masingmasing UPK sepenuhnya membutuhkan estimasi manajemen. Tidak ada standar akuntansi yang mengatur lebih detail untuk setiap proses pengujian penurunan nilai. Hal ini akan membuka celah bagi manajemen untuk melakukan manipulasi laporan keuangan. Sehingga apabila tidak diawasi oleh auditor, peraturan yang baru ini malah akan gagal dalam representation faithfulness dan keterbandingan laporan keuangan. Auditor perlu mengawasi kelayakan UPK-UPK yang dialokasikan goodwill apakah benar UPK tersebut memberikan manfaat dari adanya kombinasi bisnis. Biasanya UPK tersebut adalah UPK yang muncul dari anak perusahaan yang diakuisisi. Selain itu untuk mengidentifikasi kemungkinan adanya penurunan nilai atas goodwill perlu dilakukan verifikasi atas kondisi ekonomi dari anak perusahaan, seberapa besar
63
kinerja anak perusahaan diukur dari profitabilitas. Ketika profitabilitas menurun, hal ini menjadi indikator bagi auditor bahwa kemungkinan terjadi penurunan nilai goodwill. Dari hasil analisis pengungkapan penurunan nilai, perusahaan yang melakukan pengungkapan dengan benar diaudit oleh auditor besar seperti Ernst and Young, PwC, Moore Stephens.
64
IV.3 Analisis Manajemen Laba IV.3.1 Analisis Deskriptif dan Uji Mann Whitney Dalam menganalisis apakah perusahaan yang membukukan kerugian penurunan nilai goodwill dilakukan oleh perusahaan dengan laba operasi yang sangat rendah dan untuk mengidentifikasi jenis manajemen laba yang dilakukan maka hal pertama yang dilakukan adalah membagi sampel menjadi 2 kelompok yaitu perusahaan yang goodwillnya mengalami penurunan nilai dan tidak. Kemudian, laba operasi (laba sebelum penurunan nilai goodwill) kedua kelompok, yang diukur dari return on asset (ROA) dan return on sales (ROS) akan dibandingkan secara statistik. Perusahaan yang membukukan kerugian penurunan nilai diindikasikan melakukan manajemen laba big bath ketika ada perbedaan yang signifikan dan memiliki laba operasi yang sangat rendah dibandingkan dengan perusahaan yang tidak membukukan kerugian penurunan nilai. Akan tetapi apabila perusahaan yang membukukan kerugian penurunan nilai labanya tidak terlalu rendah maka perusahaan diindikasikan melakukan manajemen laba income smoothing. Income smoothing adalah upaya perusahaan untuk mengatur labanya sehingga tidak berfluktuasi antar periode. Sebanyak 19 dari 56 perusahaan membukukan kerugian penurunan nilai goodwill di tahun adopsi uji penurunan nilai. Berdasarkan penelitian sebelumnya, perusahaan yang membukukan kerugian penurunan nilai goodwill adalah perusahaan dengan laba operasi yang sangat rendah sehingga terindikasi melakukan manajemen laba big bath. A. Analisis Perbedaan Return on Asset (ROA)
65
Berikut ini merupakan analisis untuk membandingkan dan mengetahui tingkat perbedaan laba operasi antara kedua kelompok dengan menggunakan uji MannWhitney. Laba operasi perusahaan diukur dari ROA. Hipotesis: H0
: Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam rata-rata ROA antara perusahaan
yang membebankan kerugian penurunan nilai goodwill dan yang tidak H1
: Ada perbedaan yang signifikan pada nilai rata-rata ROA antara perusahaan
yang membebankan kerugian penurunan nilai goodwill dan yang tidak
Tabel IV.7 Analisis deskriptif rata-rata Return on Asset
Kelompok Perusahaan Impair goodwill Tidak impair goodwill
2011 Rata-rata 14,53% 11,22%
2010 Rata-rata 10,10% 10,99%
Perubahan 2010 ke 2011 Bertambah Bertambah
Tabel IV.8 Analisis Return on Asset dengan Mann-Whitney Test
ROA
Kelompok Perusahaan
Ranks Sampel
Mean Rank
Sum of Ranks
Impair goodwill
19
28.63
544.00
Tidak impair goodwill
37
28.43
1052.00
Total
56
Test Statisticsa ROA Mann-Whitney U 349.000 Wilcoxon W 1052.000 Z -.043 Asymp. Sig. (2-tailed) .965 a. Grouping Variable: IMPorNOT 66
Keputusan: Nilai z hitung yang diperoleh dari hasil uji Mann-Whitney adalah sebesar -0,043. Sedangkan nilai z tabel berdasarkan ketentuan, yang merupakan standar baku untuk tingkat kepercayaan 95%, adalah sebesar ± 1,96. Oleh karena -0,268 lebih besar dari z tabel (-1,96) , maka H0 diterima. Selain itu, berdasarkan nilai sig yang diperoleh, yaitu sebesar 0,965 dapat diambil kesimpulan untuk menerima H0 (0,965 lebih besar daripada 0,05). Analisis: Dari hasil deskriptif ditemukan bahwa perusahaan yang membukukan kerugian penurunan nilai memiliki nilai rata-rata ROA yang lebih besar dibandingkan perusahaan yang tidak membukukan kerugian penurunan nilai. Di tahun 2011 kedua kelompok perusahaan mengalami peningkatan dalam laba operasi. Selain itu, dari hasil uji MannWhitney terhadap ROA, kedua kelompok memiliki perbedaan rata-rata yang tidak signifikan. Berbeda dengan penelitian sebelumnya, hasil ini membantah bahwa perusahaan yang menurunkan nilai goodwillnya melakukan manajemen laba model big bath karena adanya laba operasi yang rendah sebagai insentif. Di tahun 2011, perusahaan yang membukukan kerugian penurunan nilai goodwill mengalami kenaikan dalam laba operasinya. Sebaliknya, ada indikasi bahwa beban kerugian penurunan nilai goodwill dipakai perusahaan untuk melakukan manajemen laba income smoothing. Hal ini dapat dilihat dari laba operasi perusahaan yang tidak terlalu rendah. Oleh karena sejumlah sampel berasal dari sektor industri jasa, yang cenderung memiliki total aset yang kecil maka dilakukan analisis terhadap variabel yang lain yaitu return on sales atau operating profit margin. 67
B. Analisis Perbedaan Return on Sales (ROS) atau Operating Profit Margin Berikut ini merupakan analisis untuk membandingkan dan mengetahui tingkat perbedaan laba operasi antara kedua kelompok dengan menggunakan uji MannWhitney. Laba operasi perusahaan diukur dari ROS. Hipotesis: H0
: Tidak ada perbedaan yang signifikan pada nilai rata-rata ROS antara
perusahaan yang membebankan kerugian penurunan nilai goodwill dan yang tidak H1
: Ada perbedaan yang signifikan pada nilai rata-rata ROS antara perusahaan yang
membebankan kerugian penurunan nilai goodwill dan yang tidak
Tabel IV.9Analisis Deskriptif Return on Sales
Kelompok Perusahaan Impair goodwill Tidak impair goodwill
2011 Rata-rata 14,72% 11,62%
2010 Rata-rata 12,30% 11,61%
Perubahan 2010 ke 2011 Bertambah Bertambah
Tabel IV.10Analisis Return on Sales dengan Mann-Whitney Test Ranks Kelompok Perusahaan ROS
Sampel Mean Rank Sum of Ranks
Impair goodwill
19
26.21
498.00
Tidak impair goodwill
37
29.68
1098.00
Total
56
68
Test Statisticsa ROS Mann-Whitney U
308.000
Wilcoxon W
498.000
Z
-.753
Asymp. Sig. (2-tailed) .452 a. Grouping Variable: IMPorNOT
Keputusan: Nilai z hitung yang diperoleh dari hasil uji Mann-Whitney adalah sebesar -0,753. Sedangkan nilai z tabel berdasarkan ketentuan, yang merupakan standar baku untuk tingkat kepercayaan 95%, adalah sebesar ± 1,96. Oleh karena -0,753 lebih besar dari z tabel (-1,96) , maka H0 diterima. Berdasarkan nilai sig yang diperoleh, yaitu sebesar 0,452 dapat diambil kesimpulan untuk menerima H0 (0,452 lebih besar daripada 0,05).
Analisis: Dari hasil analisis deskriptif dan uji Mann-Whitney diperoleh bahwa perusahaan yang membukukan kerugian penurunan nilai goodwill memiliki nilai rata-rata ROS yang lebih besar dibandingkan dengan perusahaan yang tidak. Selain itu perbedaan ROS antara kedua kelompok tidak signifikan. Hasil ini konsisten dengan analisis ROA. Perusahaan yang membukukan kerugian penurunan nilai goodwill tidak memperoleh laba operasi yang sangat rendah. Sehingga baik dari nilai ROA maupun ROS menolak dugaan manajemen laba big bath yang dilakukan perusahaan terkait dengan penurunan nilai goodwill. Sebaliknya ada indikasi bahwa perusahaan melakukan manajemen laba income smoothing. Hal ini disebabkan karena di tahun adopsi uji penurunan nilai, perusahaan memperoleh laba operasi yang tidak rendah dan lebih besar daripada nilai 69
ROA dan ROS perusahaan yang tidak membukukan kerugian penurunan nilai goodwill (rata-rata 14.72%) .
IV.3.2 Pembahasan Ringkasan dari hasil analisis disajikan dalam tabel berikut ini: Tabel 4.11 Ringkasan Hasil Pengujian Hipotesis Variabel
Z hitung
Nilai Sig
Keterangan
Uji Mann-Whitney terhadap Return on Asset
-0,043
0,965
Menerima H0
Uji Mann-Whitney terhadap Return on Sales
-0,452
0.452
Menerima H0
Perusahaan teridentifikasi melakukan manajemen laba big bath apabila perusahaan yang membukukan kerugian penurunan nilai memiliki laba operasi yang sangat rendah dan berbeda signifikan dari perusahaan yang tidak membukukan kerugian penurunan nilai. Dari hasil uji Mann-Whitney terhadap ROA maupun ROS, tidak ada bukti yang dapat menyatakan bahwa ada perbedaan signifikan antara perusahaan yang membukukan kerugian penurunan nilai dan perusahaan yang tidak. Hasil ini menolak dugaan bahwa terjadi manajemen laba model big bath di tahun adopsi uji penurunan nilai. Hasil penelitian ini bertolak belakang dengan kedua penelitian sebelumnya, yaitu penelitian dari Jordan dan Clark (2004) serta penelitan dari Sevin dan Schroeder (2005) yang mengambil objek perusahaan di Amerika. Kedua penelitian ini menemukan bahwa terjadi manajemen laba model big bath pada perusahaan yang membukukan kerugian penurunan nilai goodwill yang dibuktikan
70
dengan adanya perbedaan laba operasi yang signifikan antara perusahaan yang membukukan kerugian penurunan nilai goodwill dan yang tidak. Perusahaan-perusahaan yang memilih untuk membukukan kerugian penurunan nilai memiliki laba operasi yang sangat rendah dan negatif. Sebaliknya dalam penelitian ini justru menemukan bahwa perusahaan yang membukukan kerugian penurunan nilai goodwill diindikasikan melakukan manajemen laba income smoothing. Hal ini disebabkan karena perusahaan yang membukukan kerugian penurunan nilai goodwill memiliki laba operasi yang lebih besar dibandingkan dengan perusahaan yang tidak menurunkan nilai goodwill. Di tahun 2011, perusahaan yang melakukan penurunan nilai goodwill memperoleh ROA dan ROS rata-rata sebesar 14,53% dan 14,72%. Sedangkan di tahun 2010, perusahaan memperoleh ROA dan ROS (yang diukur dari laba operasi) 10,10% dan 12,3%. Diukur dari laba bersih, ROA dan ROS tahun 2010 perusahaan yang melakukan penurunan nilai goodwill sebesar 5,7% dan 10,47%. Baik dari sisi laba operasi maupun laba bersih di tahun 2010, menunjukkan bahwa ada peningkatan laba di tahun 2011. Hasil ini kembali menegaskan bahwa pembukuan kerugian penurunan nilai goodwill bukan sebagai upaya perusahaan untuk melakukan manajemen laba big bath disebabkan karena pada periode 2011 perusahaan tidak mengalami depressed earnings atau penurunan laba operasi, justru peningkatan. Secara umum dapat disimpulkan bahwa upaya manajemen untuk membukukan kerugian penurunan nilai goodwill bukanlah upaya untuk melakukan manajemen laba model big bath, melainkan upaya tersebut terindikasi merupakan tindakan untuk melakukan manajemen laba income smoothing (perataaan laba). Akan tetapi, apabila dilihat dengan detail kondisi pada setiap perusahaan, ada beberapa perusahaan yang 71
diindikasikan melakukan manajemen laba big bath. Berikut ini adalah tabel yang menunjukkan laba operasi di tahun 2011 yang diukur dari ROA dan ROS masingmasing perusahaan.
Tabel 4.12 ROA Dan ROS 2011 Perusahaan Yang Membukukan Kerugian Penurunan Nilai Goodwill
Kode ABBA BIPI BMSR BNBR CENT CITA DKFT EMTK ERAA HMSP JSMR MAPI MDRN PSDN SCMA SULI TBIG TSPC UNSP
ROA 2011 ROS 2011 0,75% 1,29% 0,67% 7,28% 7,99% 3,27% 6,98% 10,87% 0,51% 0,88% 20,80% 13,20% 17,78% 47,65% 16,78% 28,94% 13,14% 5,58% 54,80% 20,09% 0,01% 0,05% 14,09% 10,57% 9,63% 11,40% 11,47% 3,88% 48,69% 53,01% -12,16% -50,43% 10,28% 72,93% 15,59% 11,47% 6,48% 27,76%
Beberapa perusahaan yang terindikasi melakukan big bath diantaranya ABBA, BIPI, CENT, JSMR, dan SULI. Perusahaan yang lainnya diindikasikan melakukan manajemen laba income smoothing. 72
Hasil ini dapat menarik suatu dugaan awal pada behavior (perilaku) dari perusahaan-perusahaan di Indonesia. Ada kecenderungan bahwa perusahaan di Indonesia cenderung untuk melaporkan laba yang stabil. Dilihat dari rata-rata ROA dan ROS, perusahaan yang membukukan kerugian penurunan nilai memiliki ROA dan ROS yang lebih besar dibandingkan dengan perusahaan yang tidak membukukan kerugian penurunan nilai. Sebaliknya, perusahaan dengan laba yang rendah memilih untuk tidak melakukan penurunan nilai goodwill.
73