BAB IV Nilai-nilai Pendidikan Islam pada Buku Dalam Dekapan Ukhuwah Karya Salim A. Fillah
Setelah dilakukan penelitian dan pengkajian terhadap buku Dalam Dekapan Ukhuwah karya Salim A. Fillah serta dari berbagai sumber yang mendukung, maka ditemukan beberapa nilai pendidikan Islam yang dikategorikan dalam nilai persaudaraan, nilai tentang akidah (keimanan), nilai-nilai pendidikan agama Islam, diantaranya pendidikan akhlak seperti sifat sabar, sifat benar atau jujur, sifat berbaik sangka (khusnudhan), sifat adil, sifat syukur, sifat pemaaf dan sifat yang lainya. 1. Nilai Persaudaraan Salim A. Fillah dalam buku karyanya Dalam Dekapan Ukhuwah menceritakan tentang sebuah ukhuwah (persaudaraan) yang selama ini seseorang jalin dengan sesama. Persaudaraan tersebut mempererat suatu ikatan batin antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya, manusia tidak akan mampu bertahan hidup tanpa keberadaan makhluk lain. Karena manusia adalah makhluk yang tidak dapat hidup sendiri dan harus hidup dengan bantuan orang lain. Salim A. Fillah menulis buku Dalam Dekapan Ukhuwah ini sangatlah berbeda dengan buku-buku yang lainnya. Banyak terdapat kisah-kisah yang disampaikan dalam buku ini, kisah-kisah yang disampaikan ada yang sudah sering seseorang dengar dalam cerita
77
78
buku-buku Islam. Salah satu perbedaannya yaitu pembaca seakan diajak menjadi pelaku dalam kisah-kisah yang disampaikan oleh Salim A. Fillah dalam buku Dalam Dekapan Ukhuwah ini sehingga pembaca merasa diajak berbicara serta terlibat dengan gagasan yang beliau sampaikan dalam buku ini. Bahasan yang digunakannyapun sangat mudah dipahami oleh semua orang sehingga memudahkan dalam mengambil makna yang terkandung dalam buku ini. Beliau juga piawai memadukan dalil dengan kisah, norma dengan hikmah dan menuliskannya dalam tulisan sastra yang indah. Dalam buku ini Salim A. Fillah meramu
nasehat tentang
persaudaraan melalui pendekatan yang menjadikan nasehat tersebut mudah dipahami. Salim A. Fillah mengawalinya dengan mengutip sebuah karya sastra tentang persaudaraan. Kemudian dia menunjukkan bagaimana nilai ini menjadi perhatian agama Islam dengan meyebutkan dalil-dalil al-Qur‟an, kisah-kisah, norma dengan hikmah kemudian menuliskannya dalam tulisan sastra. Misalnya dalam buku ini menuliskan karya sastra Sayyid Quthb tentang manis, harum, lembut tentang persaudaraan sebagai berikut: “Persaudaraan adalah mu‟jizat, wadah yang saling berkaitan, dengannya Allah persatukan hati-hati yang berserakan, Saling bersaudara, saling merendah lagi memahami, saling mencintai dan saling berlembut hati” -Sayyid Quthb-1 1
Salim A. Fillah, Dalam Dekapan Ukhuwah, Cet. VIII (Yogyakarta: Pro-U Media, 2013),
hlm. 60.
79
Seperti dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari yang dikutip oleh Salim A. Fillah dalam buku Dalam Dekapan Ukhuwah, dikatakan bahwa “Hubungan antara muslim itu bagaikan anggota tubuh yang tidak bisa terpisah satu sama lain”. Dan juga seperti pesan nabi Muhammad “Jangan kalian saling membenci, jangan kalian saling mendengki dan jangan kalian saling membelakangi karena permusuhan dalam hati, Tetapi jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara”. 2 Kemudian dikuatkan dengan ayat al-Qur‟an Q.S. AlHujuraat (49); 10 dan Q. S. Ibrahim (14) ; 24-25 menyebutkan:
ّ ُن ٌْ َٗاذَّقُ٘اْٝ َ٘ َِْ اَ َخَٞاَِّّ ََا ْاى َُ ْؤ ٍُِْ ْ٘ َُ اِ ْخ َ٘جٌ فَؤ صْ يِح ُْ٘ا ت ٌْ ّللاَ ىَ َعيَّ ُن َُ ْ٘ َُ ذُشْ َح Artinya
:
Orang-orang
beriman
itu
sesungguhnya
bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.(Q.S. Al-Hujuraat (49); 10).3
2
Ibid., hlm. 13.
3
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemah (Bandung: Jumanatul „Ali-Art, 2004),
hlm. 517.
80
ّ ب ٌ ِثَ ٍح اَصْ يَُٖا ثَا تِّٞ َثَحً َم َش َج َش ٍج طِّٞ َاّللاُ ٍَثَالً َميِ ََحً ط د َ ض َش َ َفْٞ اىَ ٌْ ذَ َش َم َُضْ ِشبَٝٗ ٍِ تِاِ ّر ُِ َستَِّٖاْٞ ا ُ ُميََٖا ُم َّو ِحْٜ ِ) ذُ ْؤ ذ42( اى َّس ََا ِءَِّٚٗ فَشْ ُعَٖا ف ّ َ ْ ُّللا )42( َُ َُْٗرَ َز َّمشٝ ٌْ َُّٖط ىَ َعي ِ اْل ٍْثَا َه ىِيَّْا “Tidaklah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik?Akarnya teguh dan cabangnya menjulang ke langit. Pohon itu memberikan rasa buahnya pada setiap musim dengan seizin Rabb-Nya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat” (Q. S. Ibrahim (14) ; 2425).4 “Ukhuwah adalah soal memberikan lezatnya rasa buah dari pohon iman kita, tanpa berhenti dengan rasa terbaik yang kita hasilkan dari tumbuhnya rasa iman tersebut.”5
Bagi banyak pembaca, ungkapan nash-nash dari ayat-ayat al-Qur‟an ataupun pesan-pesan Nabi Saw. dan dari hadist masih terkesan doktrin semata yang masih membutuhkan daya pikat untuk menjadikan internalisasi nasehat menjadi efektif. Pada posisi inilah buku karya Salim A. Fillah ini berperan. Selain memaparkan ayat-ayat al-Qur‟an dan hadist-hadist Nabi Saw. Salim A. Fillah
4
Ibid., hlm. 256.
5
Salim A. Fillah. hlm. op. cit., hlm. 64.
81
juga berusaha menjadikan nilai-nilai yang terkandung dalam dalildalil tersebut terdengar lebih hidup dan lebih memiliki daya pikat. Hal ini dia lakukan dengan menceritakan kisah-kisah nyata yang menggugah pembaca untuk lebih memberikan perhatian rasa dan pikirnya terhadap nilai ukhuwah. Kisah berikut melengkapi paparan dalil-dalil di atas sehingga pembaca seakan mendengar langsung nasehat tentang ukhuwah yang mana kisah-kisah ini terdapat pada macam-macam persaudaraan menurut M. Quraish Shihab
yang berjumlahnya
ada
empat
macam,
yaitu
1)
persaudaraan insaniyyah (basyariyyah), 2) persaudaraan fi din AlIslam 3) persaudaraan „ubudiyyah, 4) persaudaraan wathaniyyah wa an-nasab.6 1.) Persaudaraan insaniyyah (basyariyyah) dalam arti seluruh umat manusia adalah bersaudara, karena mereka semua berasal dari seorang ayah dan ibu. Misalnya di dalam buku Dalam Dekapan Ukhuwah dituliskan kisah sang pemuda dan si ibu tua yang baru dikenalnya kisah ini terdapat pada bab Manis Harum Lembut kisahnya yaitu ketika si pemuda dan si ibu tua tersebut sedang berada di pesawat terbang. “Hari itu, yang duduk di samping saya dalam perjalanan Jakarta-Sinagpura tampak tak biasa. Seorang ibu, sudah cukup sepuh dengan keripuk wajah mulai mengganyut. 6
M.QuraishShihab.“MacammacamPersaudaraan”http://media.isnet.org/islam/Quraish/Waw asan/Ukhuwah1.html. Diakses, pada tanggal 16 April 2015.
82
Kerudungnya kusut, sandalnya jepit sederhana. Dan dalam pandanga si pemuda, beliau tamapk agak udik. Tenaga kerjakah? Setua ini?” 7 Tetapi begitu si pemuda menyapa, si ibu tua tersenyum kepadanya dan tampaklah raut muka yang sumpringah. Sekilas, garis-garis ketuaan diwajahnya berubah menjelma menjadi semburat cahaya kebijaksanaan. Si pemuda takjub. “Ibu hendak ke mana?” tanyanya sambil tersenyum ta‟zhim. “Singapura Nak,” senyum sang ibu bersahaja. “Akan bekerja atau....?” “Bukan Nak. Anak ibu yang nomor dua bekerja disana. Ini mau menengok cucu. Kebetulan menantu ibu baru saja melahirkan putra kedua mereka.”8 Si pemuda sudah merasa tidak enak atas pertanyaannya barusan. Kini dia mencoba lebih hati-hati dalam pertanyaan selanjutnya. “Oh, putra ibu sudah lama bekerja di sana?” “Alhamdulillah, lumayan. Sekarang katanya sudah jadi Permanent Resident, ibu sendiri juga nggak ngerti apa maksudnya, hehe.... yang jelas di sana jadi arsitek. Tukang gambar gedung.” Si pemuda tertegun. Arsitek? PR di Singapura? Hebat. “Oh iya, putra ibu ada berapa?” “Alhamdulillah Nak, ada empat. Yang di Singapura ini yang nomor dua. Yang nomor tiga sudah tugas jadi dokter bedah di Jakarta. Yang nomor empat sedang ambil S.2 di Jerman. Dia dapat beasiswa.” “MasyaAllah. Luar biasa. Alangkah bahagianya menjadi ibu dari putra-putra yang sukses. Saya kagum sekali sama ibu yang berhasil mendidik mereka”. Si pemuda mengerjap mata dan mendecakkan lidah. Si ibu mengangguk-angguk dan berulang kali berucap 7
Salim A. Fillah. hlm. op. cit., hlm. 60-63.
8
Ibid.
83
“Alhamdulillah.” Lirih. Matanya berkaca. “Oh iya, maaf bu... Bagaimana dengan putra ibu yang pertama?”9 Si ibu menundukkan kepala. Sejenak tangannya memainmainkan sabuk keselamatan yang terpasang di pinggang. Kemudian si ibu menatap tajam si pemuda. “Dia tinggal di kampung nak, bersama dengan ibu. Dia bertani, meneruskan menggarap secuil sawah peninggalan bapaknya.” Si ibu terdiam. Beliau menghela nafas panjang, menegakkan kepala. Si pemuda menyesal telah bertanya. Dia ikut prihatin. “Maaf bu, kalau pertanyaan saya menyinggung ibu. Ibu mungkin jadi sedih karena tidak bisa membanggakan putra pertama ibu sebagaimana putra-putra ibu yang lain.” “Oh tidak nak. Bukan begitu!” “Ibu justru sangat bangga pada putra pertama ibu itu. Sangat-sangat bangga” “Ibu bangga sekali padanya, karena dialah yang rela membanting tulang dan menguras tenaga untuk membiayai sekolah adik-adiknya. Bahkan dialah yang senantiasa mendorong, menasehati dan mengirim surat penyemangat saat mereka di rantau. Tanpa dia, adik-adiknya takkan mungkin jadi seperti sekarang ini!”. Sang ibu terisak. Sunyi tanpa kata. Pemuda itu mengambil sapu tangan. Genangan dimatanya tumpah.10
Pada cerita dialog di atas sang ibu menceritakan ke-empat anak-anaknya.
Beliau
sangat
bangga
sekali
dengan
anak
pertamanya, karena berkat kerja kerasnyalah yang membuat semua adik-adiknya bisa kuliah di luar negeri dan menjadi orang sukses dalam semua karirnya. Rasa buah dari pohon iman mereka adalah kemanfaatan 9
Ibid., hlm. 64-65.
10
Ibid.
bagi
saudara-saudaranya.
Semua
adik-adiknya
84
berprestasi ada yang menjadi arsitek, menjadi dokter dan belajar di luar negeri yang merupakan sesuatu yang tinggi nilainya. Tetapi mungkin itu sekedar cabang yang menjulang tinggi di langit yang menakjubkan. Karena semua profesi dan status itu dikalahkan nilainya oleh seorang petani yang tinggal di kampung yang sunyi yang berkerja keras demi membiayai pendidikan untuk semua adik-adiknya. “Karena berkat kerja keras sang petanilah segala kemegahan itu dicapai, atas segala dorongan dan bimbingannyalah semua keberhasilan itu bisa terwujud. Dia yang tulus cintanya pada keluarga dan mempersembahkannya demi kebermaknaan hidup adikadiknya. Cinta dan kasihnya berbuah manis, baunya harum dan teksturnya lembut.”11 2.) Persaudaraan fi din Al-Islam, persaudaraan antar sesama muslim. Dalam buku ini Salim A. Fillah menuliskan sebuah norma tentang persaudaraan antar sesama muslim yang ditulis oleh Ibnu Katsir dalam Tafsirul Qur‟an „Adhim supaya pembaca lebih memahami makna yang dimaksud dalam buku ini sebagai berikut: “Orang mukmin itu bagaikan sebuah pohon yang berbuah setiap waktu. Pada musim panas maupun dingin, pada malam hari juga pada siangnya. Demikianlah seorang mukmin yang senantiasa diangkat amal baiknya sepanjang malam dan selama siangnya dengan izin Rabb-Nya.”12
11
Ibid.
12
Ibid. hlm. 64.
85
3.) Persaudaraan 'ubudiyyah atau saudara
kesemakhlukan
dan kesetundukan kepada Allah. Salim A. Fillah memaparkan sebuah kisah dari nabi-nabi terdahulu yang terdapat pada bab Di Jalan-Nya Kita Bermesra agar pembaca bisa menghayati dan mengetahui kisah-kisah tentang ukhuwah pada zaman terdahulu. Dalam buku ini menceritakan tentang kisah nabi Musa dan nabi Harun yang berjuang di jalan Allah Swt. Memimpin kaum yang sulit ditata dan mengalahkan raja Fir‟aun yang gagah dan perkasa. Mereka bersama dalam suka dan duka. Mereka se-iya dan sekata menghadapi raja Fir‟aun dalam perdebatan dan pertarungan, membebaskan bani Israil dari perbudakan, hingga memimpin mereka
berhijrah. Juga bersama menghadapi saat-saat sulit
ketika bani Israil semakin banyak menyembah patung lembu dan tidak mau menjalankan perintah Allah. Mereka bejuang di jalan-Nya. Saling menguatkan untuk menegakkan kebenaran.13 4.) Persaudaraan wathaniyyah wa an-nasab, yaitu persaudaraan dalam keturunan dan kebangsaan. Seperti kisah nabi Harun dan nabi Musa yang terdapat pada bab Di Jalan-Nya Kita Bermesra yang mengisahkan nabi Musa minta kepada Allah agar nabi Harun dijadikan penguat di sisinya atas berbagai kelemahan yang dimilikinya. Nabi Musa 13
Ibid., hlm. 20.
86
berdoa kepada Allah “Dan Harun saudaraku,” pintanya, “Jadikanlah ia pendamping yang menguatkanku.” Kemudian Allah mengabulkan doa nabi Musa, sehingga mereka berdua bersatu dalam menegakkan agama Allah.14 Dalam buku ini juga dituliskan hikmah atau manfaat bagi orang-orang yang senantiasa menjaga ukhuwah mereka. Seperti yang dikatakan oleh dokter Myriam Hortten yang dikutip oleh Salim A. Fillah dalam buku Dalam Dekapan Ukhuwah yang di awal pembahasan pembaca disuguhkan dengan karya sastra yang indah sebagai berikut: Yakinlah, dan pejamkan mata! Iman adalah mata yang terbuka Mendahului datangnya cahaya Tapi jika terlalu silau, pejamkan saja Lalu rasakan hangatnya keajaiban15 Dokter Myriam Hortten berpendapat sebagaimana yang dikutip oleh Salim A. Fillah dalam buku Dalam Dekapan Ukhuwah bahwa
memperbanyak
hubungan
dengan
sesama,
sering
bersilaturahmi kepada orang lain, memperkaya getar-getar emosi bersama mereka akan menguatkan jantung kita. Karena jantung yang sehat adalah jantung yang dimiliki oleh orang-orang yang yang aktif dan banyak berhubungan dengan sesama manusia dalam kehidupan sehari-harinya. Mereka mengalami berbagai guncangan
14
Ibid., hlm. 19-20.
15
Ibid., hlm. 45.
87
emosi; mereka tertawa, bersemangat, bergairah, berelaksasi, bersedih, tegang, tersenyum, takut, cemas, optimis, tercerahkan dan guncangan emosi yang lainnya. Kesemuanya ini sangat emosional karena dipicu dari hubungan-hubungan yang mereka jalin dengan sesama yang mempengaruhi berbagai hormon, terutama hormon adrenalin yang mengatur ritme kerja jantung. Jadi dengan memperbanyak silaturahmi, memperbanyak hubungan dengan sesama akan memperkaya getar-getar emosi kita sehingga jantung kitapun akan menjadi sehat.16 Maka dapat disimpulkan bahwa Salim A. Fillah menulis buku Dalam Dekapan Ukhuwah begitu piawai dalam karya bukunya ini. Salim A. Fillah menuliskan beberapa kisah-kisah inspiratif, lalu untuk menguatkan argumennya beliau menukil ayatayat al-Qur‟an dan juga sebuah karya sastra yang selalu mengawali tema dalam pembahasan bukunya ini. Ada keberanian kata dalam tulisannya supaya tidak selalu baku, namun justru gaya tulisannya inilah yang menjadi kekhasan Salim A. Fillah dalam menulis sebuah karyanya.
16
Ibid., hlm. 45-47.
88
2. Pendidikan Akhlak Kedudukan akhlak dalam kehidupan manusia menempati tempat yang penting, sebagai individu maupun masyarakat dan bangsa, sebab jatuh bangunnya suatu masyarakat tergantung kepada bagaimana akhlaknya.Apabila akhlaknya baik, maka sejahteralah lahir dan batinnya. Apabila akhlaknya rusak, maka rusaklah lahir dan batinnya. Sehingga kedudukan agama dalam hal ini sangat diperlukan dalam pembentukan akhlak yang baik. Akhlak yang mulia dalam agama Islam adalah melaksanakan kewajiban-kewajiban perintah Allah dan menjauhi segala laranganlarangan Allah, memberikan hak kepada Allah, makhluk, sesama manusia dan alam sekitar dengan sebaik-baiknya. Macam-macam akhlak yang baik dapat pembaca temukan salah satunya dalam sebuah karangan buku, misalnya dalam buku
Dalam Dekapan Ukhuwah
karya Salim A. Fillah ini yang terdapat banyak nilai pendidikan akhlaknya, seperti sifat sabar, sifat benar atau jujur, sifat berbaik sangka (khusnudhan), sifat adil, sifat syukur, sifat pemaaf yang dapat pembaca ambil dan pelajari hikmahnya dalam kehidupan sehari-hari. Penjelasannya sebagai berikut yang akan dibahas satu per satu. a. Sifat Sabar Menurut penuturan Abu Thalib Al-Makky sabar adalah menahan diri dari dorongan hawa nafsu demi menggapai keridhaan Tuhannya
dan
menggantinya
dengan
bersungguh-sungguh
89
menjalani cobaan-cobaan Allah Swt. terhadapnya. Sabar dapat didefinisikan pula dengan tahan menderita dan memerima cobaan dengan hati ridha serta menyertakan diri kepada Allah Swt. Setelah berusaha. Selain itu, sabar bukan hanya bersabar terhadap ujian dan musibah, tetapi juga dalam hal ketaatan kepada Allah Swt., yaitu menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.17 Seperti yang diungkapkan dalam buku Dalam Dekapan Ukhuwah yaitu sabar itu indah. Karena sabar merupakan ciri orangorang yang menghadapi berbagai kesulitan dengan lapang dada, kemauan yang keras, serta ketabahan yang besar. Seperti dua kisah dari buku Dalam Dekapan Ukhuwah yang ditulis oleh Salim A. Fillah sebagai berikut tentang kesabaran yang sering kali dialami seseorang dalam kehidupannya, yang pertama kisah ini sudah familiar di telinga para pembaca, tetapi Salim A. Fillah menuliskannya dengan gaya yang berbeda dan menjadi ciri khas tulisannya, kisah ini terdapat pada bab Bekerja Maka Keajaiban kisahnya sebagai berikut: Hajar dan bayinya telah ditinggalkan oleh nabi Ibrahim disuatu lembah yang sangat gersang, yang ada hanya pasir dan cadas yang membara.Tidak ada pepohonan tempat bernaung, tidak ada air untuk menyambung hidup dan tidak ada seorangpun untuk berbagi kesah. Kecuali bayi itu, Ismail. Dia mulai menangis begitu keras karena lapar dan kehausan. Maka Hajarpun berlari, mencoba mengais jejak air untuk menenangkan putra semata wayangnya. Ada dua bukit di sana, dan dari ujung coba ditelisiknya dengan seksama dan 17
Rosihon Anwar, Akhlah Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm. 96.
90
tidak ada air di sana. Tetapi dia terus mencari dan berlari bolak-balik sampai tujuh kali. Mungkin dia tahu, tidak akan ada air ditempat itu. Mungkin dia hanya ingin menunjukkan kesungguhannya kepada Allah. Sebagaimana telah ia yakinkan sang suami, “Jika ini perintah Allah, Dia takkan pernah menyia-nyiakan kami”.18 Maka keajaiban terjadi, keajaiban itu memancar. Air Zamzam keluar bukan dari jalan yang dia susuri atau jejak-jejak yang ia torehkan diantara Shofa dan Marwah. Air itu muncul justru dari kaki Ismail yang lagi menangis kehausan yang kakinya menjejakjejakan ke tanah dan Hajarpun takjub. Begitulah keajaiban datang. Karena kemauan yang keras serta kesabaran yang besar Siti Hajarlah yang membuatnya bisa menemukan mata air sekaligus menjadi minuman untukanaknya yang sedang kehausan. Seperti itulah balasan untuk orang-orang yang sabar di jalan Allah. Setelah itu Salim A. Fillah menuliskan kisah tentang cerita nabi Musa yang terdapat pada bab Di Jalan-Nya Kita Bermesra, nabi Musa yang tidak mudah menyampaikan kebenaran kepada Fir‟aun. Terlebih bagi Musa yang punya beban berhutang budi pada keluarga Fir‟aun. Keluarga tempatnya tumbuh, keluarga yang merawat dan mendidiknya. Apalagi dibandingkan dengan Fir‟aun yang fasih, anggun, dan gagah, penampilan Musa tampak kacau dan
gagap. Dia juga pernah membunuh
penduduk
di negeri
Fir‟aun. Dosa itu terus menghantui nabi Musa yang menjadikan
18
Salim A. Fillah, op. cit., hlm. 54-55.
91
semangatnya berkurang untuk terus menyampaikan kebenaran kepada Fir‟aun. Ketika beban kerasulan diamanahkan padanya, ia mengadu merasa tak mampu. “Lisanku gagap lagi kelu,” desahnya, “Aku takut mereka akan mendustakanku.” Ya, bagaimana dia akan menyampaikan kebenaran, sementara bicara bukanlah sesuatu yang mudah baginya? Bagaimana ia akan dipercaya, padahal menyusun kata adalah kemusykilan yang memberatkannya? “Dan aku memiliki dosa atas mereka,” katanya bertambah keluh kesah, “Aku takut mereka akan membunuhku.”19 Tetapi Allah telah memilih nabi Musa. Dan Allah tidak asal pilih, nabi Musa memang telah menjalani perannya dalam takdir yang tidak mudah sejak sang ibu melahirkan dan melarungnya di sungai
Nil.
Dan
disaat
nabi
ketidakberdayaannya, maka Allahpun
Musa
mengeluhkan
menguatkan hatinya dan
mengokohkan tekadnya.20 Allah mengaruniakan pada Musa mu‟jizat dan bukti kebenaran. Tongkat yang dilemparnya berubah menjadi makhluk menakutkan. Tangannya diangkat dan cahaya putih menyilaukan bersinar menerangi semesta disekitarnya. Sungguh mu‟jizat yang tidak terkalahkan yang datang dari Dzat Yang Maha Perkasa lagi Maha Mulia.21
19
Ibid., hlm. 19.
20
Ibid.
21
Ibid., hlm. 20.
92
Dalam cerita-cerita di atas menceritakan tentang kisahkisah nabi terdahulu umat Islam, maka dalam buku ini Salim A. Fillah menyuguhkan para pembacanya dengan cerita dari Barat supaya pembaca tidak bosan membacanya dan semakin ingin mengetahui dari cerita-cerita berikutnya yang tidak kalah serunya untuk disimak. Cerita berikut ini memang tidak kalah hebatnya, yaitu kisah Christopher Colombus, orang yang menemukan benua Amerika kisah ini terdapat pada bab Bekerja Maka Keajaiban kisahnya sebagai berikut. Dahulu ketika Christopher Colombus diundang makan malam oleh raja Ferdinand dan ratu Isabella. Mereka berdua dan semua orang disekitarnya mencibir perjalan Columbus yang menemukan dunia baru yang dianggap mereka suatu hal yang sangat mustahil. Tetapi bagi Columbus itu sangat mudah sekali “Tinggal berlayar terus ke Barat, lalu ketemu”.22 Christopher Columbus tersenyum dari kursinya. Diambil dan ditimangnya sebutir telur rebus dari piring di depannya. “Tuan-tuan,” suaranya menggelegar memecah ricuh kebisikan. „Siapa diantara kalian yang mampu memberdirikan telur ini dengan tegak?” “Christopher,” kata seorang tua di sana, “Itu adalah hal yang tidak mungkin!” Semua mengangguk mengiyakan. “Saya bisa,” kata Columbus. Dia menyeringai sejenak kemudian memukulkan salah satu ujung telurnya sampai remuk. Lalu memberdirikannya. 22
Ibid., hlm. 56.
93
“Oh... Kalau begitu caranya, kami juga bisa!” kata seseorang. “Ya... ya.... ya...”, seru yang lain. Dan senyum Columbus makin lebar. Katanya, “Itulah bedanya aku dan kalian tuantuan!” Aku memang hanya melakukan hal-hal yang mudah dalam kehidupan ini. Tetapi aku melakukannya di saat semua orang mengatakan bahwa hal mudah itu mustahil!”23 Dalam
dekapan
ukhuwah,
bekerjalah,
bersabarlah,
beramallah. Maka keajaiban akan menyapa dari arah yang tidak terduga. Mulailah karena dalam kebenaranian memulai itulah terletak kemudahannya. Dari kisah di atas bisa dilihat bahwa dibalik kesulitan dianjurkan untuk bersabar, sebagaimana kesabaran orang yang yakin akan datangnya kemudahan. Seberapa besar permasalahan yang akan dihadapi tetaplah bersabar, karena kemenangan itu sesungguhnya akan datang bersama dengan kesabaran. Jalan keluar akan datang bersama kesulitan dan dalam kesulitan itu akan ada kemudahan. Setelah pembaca disuguhkan dengan beberapa kisah-kisah inspiratif kemudian pembaca dikuatkan dengan beberapa dalil dalam al-Qur‟an seperti surat al-Insyirah ayat 6 dan az-Zumar ayat 10 sebagai berikut:
ُ ْس ًشاٝ ْش ِ اَِّّ ََ َع ْاى ُعس
23
Ibid.
94
Artinya : Sesudah kesulitan pasti ada kemudahan(Q.S alInsyiroh : 6)24
ْٜ ِ َِْ اَحْ َسُْ ْ٘ا فٝ َِْ ا ٍَُْ ْ٘ا اذَّقُ ْ٘ا َستَّ ُن ٌْ ىِيَّ ِزٝ ِعثَا ِد اىَّ ِزٝ ْقُو ّ َُا َح َسَْحٌ َٗاَسْ ضّْٞ ٕ ِز ِٓ اى ُّذ َّ اىَّٚ َُ٘فٝ ّللاِ َٗا ِس َعحٌ اَِّّ ََا َُ ُْٗ صثِش ب ٍ ِْش ِح َساٞاَجْ َشُٕ ٌْ تِ َغ Artinya:
“Katakanlah:
"Hai
hamba-hamba-Ku
yang
beriman. bertakwalah kepada Tuhanmu". orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan, dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.”25 (Q.S. az-Zumar: 10) Orang yang diberi ujian dan cobaan dari Allah haruslah bersabar karena dengan kesabaran keberuntungan akan berpihak kepada orang yang sabar dan sesungguhnya orang yang bersabar itu akan mendapatkan keberkahan dan rahmat dari Allah. Oleh karena itu bagi setiap muslim yang dapat memiliki kesabaran dalam menghadapi semua cobaan yang ada, maka ia akan diberi pahala yang besar disisi Allah.
24
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemah (Bandung: Jumanatul „Ali-Art, 2012), hlm. 597. 25
Ibid., hlm. 460.
95
Di akhir pembahasan Salim A. Fillah menuliskan sebuah puisi dan nasehat sebagai berikut: Andai si biji hanya menumbuhkan akarnya Tenpa kehendak untuk tampil dengan batang Menggapai langit dengan ranting dan cabang Jadilah dia bangkai, Yang layaknya memang terkubur dalam-dalam. 26 -Salim A. FillahSebuah biji awalnya menumbuhkan akar sebagai tempat berpijak sekaligus wadah mengambil makanan. Lalu dengan itu menyeruakkan diri ke atas, bekerja keras membelah bumi dan tanah yang padas, untuk tampil dipermukaan. Sejalan dengan akarnya yang kian menghujam, meneguhkan dan mencerangkah makanan, batang dan daunnya semakin tegak meninggi dan melebatkan daundaunnya.27 Setelah pembaca disuguhkan dengan sebuah puisi lalu dalam dekapan ukhuwah Salim A. Fillah menuliskan sebuah nasehat mahfuzhat masyhur dan menggugah sebagai berikut: “Bekerjalah untuk duniamu, seakan engkau akan hidup abadi, dan beramalah untuk akhiratmu seakan engkau akan mati esok hari”. Dalam dekapan ukhuwah, beramalah, bekerjalah, bersabarlah maka Allah, Rasul dan orang-orang beriman akan melihat amal-amal kita dengan senyum dan bahagia.28
26
Salim A. Fillah, op. cit., hlm. 58.
27
Ibid.
28
Ibid.
96
Setelah pembahasan tentang nilai pendidikan Islam dalam buku ini yaitu sifat sabar, kemudian dalam buku ini terdapat nilai pendidikan Islam yang lainnya, yaitu sifat benar atau jujur. b. Sifat Benar atau Jujur Kejujuran atau kebenaran adalah salah satu sendi terpenting dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Kebenaran atau kejujuran akan menciptakan kebersamaan, saling pengertian dan kepercayaan
dalam
kehidupan
sehari-hari.
Sebaliknya
ketidakjujuran atau ketidakbenaran akan menimbulkan kecurangan, fitnah, perselisihan dan permusuhan dalam pergaulan. Allah menyuruh kepada setiap muslim untuk selalu berkata dengan jujur dan benar. Dengan kejujuran atau kebenaran akan menimbulkan kepercayaan orang lain kepada kita dan sebaliknya, jika tidak jujur maka akibatnya akan berdampak kepada diri kita sendiri. Misalnya akan dibenci oleh orang lain karena yang disampaikannya ternyata tidak benar. Seperti kisah berikut yang ditulis oleh Salim A. Fillah pada buku ini yang terdapat pada bab Thalhah Sebuah Kenangan Atas Cinta pembaca terlebih dahulu disajikan sebuah puisi yang indah. Saudara seiman itu adalah dirimu Hanya saja dia itu orang lain Sebab kalian saling percaya Maka kalian adalah satu jiwa Hanya saja kini sedang hingga di jasad yang berbeda -Al-Kindi-
97
Suatu hari Thalhah berbincang dengan „Aisyah, istri Sang Nabi, yang masih terhitung sepupunya. Rasulullah datang, dan wajah beliau pias tidak suka.Dengan isyarat, beliau meminta „Aisyah masuk ke dalam bilik.Wajah Thalhah memerah. Ia undur diri bersama gumam dalam hati. “Beliau melarangku berbincang dengan „Aisyah. Tunggu saja, jika beliau telah diwafatkan Allah, tidak akan kubiarkan orang lain mendahuluiku melamar „Aisyah.” Suatu saat dibisikkannya maksud itu pada seorang kawan, “Ya, akan kunikahi „Aisyah jika Nabi telah wafat.” Gumam hati dan ucapan Thalhah disambut wahyu. Allah menurunkan firman-Nya kepada Sang Nabi dalam ayat kelimapuluh tiga surat al-Ahzab, “Dan apabila kalian meminta suatu hajat kepada istri Nabi itu, maka mintalah pada mereka dari balik hijab. Demikian itu lebih suci bagi hati kalian dan hati mereka. Kalian tidak boleh menyakiti Rasulullah dan tidak boleh menikahi istriistrinya sesudah wafatnya selama-lamanya.”(Q.S alAhzab: 53) Ketika ayat itu dibacakan padanya, Thalhah menangis. Dia lalu memerdekakan budaknya, menyumbangkan kesepuluh untanya untuk berjuang di jalan Allah dan menunaikan ibadah umrah dengan berjalan kaki sebagai taubat dari ucapannya.29 Beruntunglah Thalhah yang telah berbuat salah dan berani mengakuinya. Dialah pahlawan yang akan dikenang sepanjang masa. Kejujurannya dan keberanian untuk mengakui kesalahan adalah anugerah yang langka. Karena mengakui kesalahan adalah salah satu tindakan paling terhormat dalam kehidupan, karena hanya sedikit orang yang mau melakukannya. Dari kisah itu bisa diambil hikmah bahwa kejujuran dalam semua hal itu penting. Kemudian Salim A. Fillah menuliskan kisah para sahabatsahabat Rasulullah yang dikisahkan „Abdurrahman Asy-Syarqawi dalam karyanya Al-Khalifatul Ula yang selalu berkata benar dan 29
Ibid., hlm. 289.
98
jujur apabila ditanya oleh baginda Rasulullah dalam setiap keadaan, misalnya cerita berikut ini yang terdapat pada bab Cinta yang Menyengat yang menceritakan ketika Rasulullah bertanya kepada para sahabatnya ketika selesai shalat Subuh. Inilah kisahnya sebagai berikut: Rasulullah Saw. menghadap ke arah sahabat-sahabatnya dengan
penuh
senyum.
Binar
matanya
menyejukkan.
Disapukannya pandangan pada wajah mereka satu demi satu hinggga semua merasakan hangatnya parhatian dari beliau.30 “Siapa gerangan yang pagi ini dalam keadaan puasa?” tanya beliau. “Ya Rasulullah, semalam aku tidak berniat untuk puasa,” sahut Umar, “Maka hari ini aku tidak shaum”. Sang nabi mengangguk pada Umar lalu berpaling ke arah Abu Bakar dengan senyum makin lebar yang ditatap tertunduk malu. “Semalam aku juga belum berniat untuk berpuasa wahai nabi Allah,” kata Abu Bakar, “Tetapi pagi ini aku shiyam, insyaAllah.” “Segala puji bagi Allah”, tukas sang nabi dengan wajah bercahaya. “Siapa pula yang hari ini telah menjenguk orang sakit?” lanjut beliau. “Duh Rasulullah,” ujar Umar, “Kita belum keluar sejak shalat tadi. Bagaimana bisa ada yang telah menjenguk orang sakit ?” para sahabat lain membenarkan Umar dengan anggukan dan gumam. “Adalah saudara kita Abdurrahman ibn Auf sakit, ya Rasul,” tukas Abu Bakar tersipu-sipu, “Maka dalam perjalanan ke masjid tadi aku mampir sejenak untuk menjenguknya.” Rasulullah kembali bertahmid dan mengangguk-anggukkan kepala. “Dan siapa jugakah yang hari ini telah memberi makan fakir miskin?”
30
Ibid., hlm.357.
99
“Kami semua berada di sini sejak shalat berjamaah tadi,” kembali Umar menyambut. “Kami belum sempat melakukan derma dan sedekah, ya Rasulullah.” Kali ini Umar berkata sambil melirik Abu Bakar. Tampak lelaki kurus jangkung itu memelengkungkan tubuhnya hingga wajahnya nyaris tidak terlihat. Harap-harap cemas Umar menanti Abu Bakar bicara. Tetapi agaknya kali ini Abu Bakar juga bungkam. Suasana menjadi sunyi. “Bicaralah wahai Abu Bakar!” tiba-tiba sang nabi memecah hening. Abu Bakar tetap menunduk. “Aku malu, ya Rasulullah,” katanya celingukan seperti tertuduh tidak bisa mengelak. “Memang tadi di luar masjid kulihat seorang fakir sedang duduk menggigil. Digenggaman putraku Abdurrahman ada sepotong roti. Maka kuambil roti itu dan kuberikan kepada lelaki kelaparan itu.” “Alhamdulillah. Alhamdulillah. Alhamdulillah...” kata sang Rasul takjub. Beliau tampak lega. Beliau terlihat bangga.31
Salim A. Fillah dalam karya bukunya ini banyak menukil kisah-kisah yang sangat inspiraif, untuk menguatkan argumennya ini tentang kejujuran beliau menuliskan kisah juga tentang seorang pemuda yang sangat jujur pada zaman Khalifah Umar ibn Khaththab dan kisah ini terdapat pada bab Percaya kisahnya sebagai berikut: Dua orang pemuda berwajah mirip datang dengan mengapit pria belia lain yang mereka cekal lengannya. “Wahai Amirul Mukminin,” ujar salah satu berseru-seru, “Tegakkanlah hukum Allah atas pembunuh ayah kami ini!” “Umar bangkit. “Takutlah kalian kepada Allah!” hardiknya, “Perkara apakah ini?” 31
Ibid.
100
Kedua pemuda itu menegaskan bahwa pria belia yang mereka bawa adalah pembunuh ayah mereka. Mereka siap mendatangkan saksi dan bahkan menyatakan bahwa si pemuda tersebut telah mengakui perbuatannya. Umar bertanya kepada sang tertuduh “Benarkah yang mereka dakwakan kepadamu ini?” “Benar, wahai Amirul Mukminin!” “Engkau tidak menyangkal dan di wajahmu kulihat ada sesal!” ujar Umar menyelidiki dengan teliti. “Ceritakanlah kejadiannya!” “Aku datang dari negeri yang jauh,” kata belia itu. “Begitu sampai di kota ini kutambatkan kudaku di sebuah pohon dekat kebun milik keluarga mereka. Ku tinggalkan ia sejenak untuk mengurus suatu hajat tanpa aku tahu ternyata kudaku mulai memakan sebagian tanaman yang ada di kebun mereka.” “Saat aku kembali,” lanjutnya sembari menghela nafas, “Ku lihat seorang lelaki tua yang kemudian aku tahu adalah ayah dari kedua pemuda ini sedang memukul kepala kudaku dengan batu hingga hewan malang itu tewas mengenaskan. Melihat kejadian itu, aku dibakar amarah dan kuhunus pedang. Aku khilaf, aku telah membunuh lelaki tua itu. Aku memohon ampun kepada Allah karenanya.” Umar tercenung. Kedua pemuda itu saling pandang. “Demi Allah, hai Amirul Mukminin,” jawab mereka, “Sungguh kami sangat mencintai ayah kami. Dia telah membesarkan kami dengan penuh cinta dan kasih sayang. Keberadaannya di tengah kami takkan terbayar dan takkan terganti dengan diyat sebesar apapun. Lagipula kami bukanlah orang miskin yang menghajatkan harta. Hati kami baru akan tenteram jika had ditegakkan!” Umar terhenyak. “Bagaimana menurutmu?” tanyanya pada sang terdakwa. “Aku ridha hukum Allah ditegakkan atasku wahai Amirul Mukminin?” kata si belia dengan yakin. “Namun ada yang menghalangiku untuk sementara ini. Ada amanah dari kaumku atas beberapa benda maupun perkara yang harus aku sampaikan kembali kepada mereka. Demikian juga dengan keluargaku. Aku bekerja untuk menafkahi mereka. Hasil jerih payah diperjalan terakhirku ini harus aku
101
serahkan pada meraka sembari berpamitan memohon ridha dan keampunan ayah ibuku.” Umar trenyuh. Tidak ada jalan lain, hudud harus ditegakkan. Tetapi pemuda itu juga memiliki amanah yang harus ditunaikan. “Jadi bagaimana?” tanya Umar. “Jika engkau mengizinkanku, wahai Amirul Mukminin, aku minta waktu tiga hari untuk kembali ke daerah asalku guna menunaikan segala amanah itu. Demi Allah, aku pasti kembali di hari ketiga untuk menepati hukumanku. Saat itu tegakkanlah had untukku tanpa ragu, wahai putra AlKhaththab.” “Adakah orang yang bisa menjaminmu?” “Aku tak memiliki seorangpun yang kukenal di kota ini hingga dia bisa kuminta menjadi penjaminku. Aku tak memiliki seorangpun penjamin kecuali Allah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat” “Tidak! Demi Allah, tetap harus ada seseorang yang menjaminmu atau aku tidak bisa mengizinkanmu pergi.” “Aku bersumpah dengan nama Allah yang amat keras adzab-Nya. Aku takkan menyelahi janjiku.” “Aku percaya. Tapi tetap harus ada yang menjaminmu!” “Aku tak punya!” “Wahai Amirul Mukminin!” terdengar sebuah suara berat berwibawa menyela, “Jadilah aku sebagai penjamin atas anak muda ini dan biarkanlah dia menuanikan amanahnya!” inilah dia, Salman Al-Farisi yang tampil mengajukan diri. “Engkau wahai Salman, bersedia menjamin anak muda ini!” “Benar, Aku bersedia!” “Kalian berdua kakak beradik yang mengajukan gugatan,” panggil Umar, “Apakah kalian bersedia menerima penjaminan dari Salman Al-Farisi atas orang yang telah membunuh ayah kalian ini?” adapun Salman “Demi Allah, aku bersaksi tentang dirinya bahwa dia lelaki kesatria yang jujur dan tak sudi berkhianat,” Kedua pemuda itu saling pandang. “Kami menerima,” kata mereka nyaris serentak.32 Waktu tiga hari yang disediakan untuk sang terhukum nyaris habis. Umar gelisah tidak karuan. Ia mondar-mandir sementara Salman duduk khusyu‟ didekatnya. Salman tampak begitu tenang 32
Ibid., hlm. 410-412.
102
padahal jiwanya di ujung tanduk. Andai lelaki pembunuh itu tidak datang memenuhi janji, maka dirinyalah yang selaku penjamin yang akan menggantikan tempat sang terpidana untuk menerima qishash. Waktu terus berjalan. Belia itu masih belum datang. Satu demi satu dimulai dari Abu Darda‟, beberapa shahabat mengajukan diri sebagai pengganti Salman jika hukuman benar-benar dijatuhkan padanya. Tetapi Salman menolak. Umar juga menggeleng. Matahari semakin lingsir ke arah Barat. kekhawatiran
Umar semakin
memuncak. Para shahabat makin kalut dan sedih. Hanya beberapa saat menjelang habisnya batas waktu, tampak seseorang datang dengan berlari tertatih dan terseok. Dia pemuda itu, sang pidana. “Maafkanlah aku.” Ujarnya dengan senyum tulus sembari menyeka keringat yang membasahi sekujur wajah, “Urusanku dengan kaumku itu ternyata berbelit dan rumit sementara untaku tak sempat beristirahat. Ia kelelahan nyaris sekarat dan terpaksa aku tinggalkan di tengah jalan. Aku harus berlari-lari untuk sampai kemari hingga nyaris terlambat.”33 Semua yang melihat wajah dan penampilan pemuda ini merasakan satu sergapan iba. Semua yang mendengar penuturannya merasakan keharuan yang mendesak-desak. Semua tiba-tiba merasa tidak rela jika sang pemuda harus berakhir hidupnya di hari itu. “Pemuda yang jujur,” ujar Umar dengan mata berkacakaca, “Mengapa kau datang kembali padahal bagimu ada kesempatan untuk lari dan tak harus mati menanggung qishash ?” “Sungguh jangan sampai orang mengatakan,” kata pemuda itu sambil tersenyum ikhlas “Tak ada lagi orang yang tepat 33
Ibid., hlm. 415.
103
janji. Dan jangan sampai ada yang mengatakan, tak ada lagi kejujuran hati dikalangan kaum muslimin,” “Dan kau Salman,” kata Umar bergetar, “Untuk apa kau susah-susah menjadikan dirimu penanggung kesalahan dari orang yang tidak kau kenal sama sekali? Bagaimana kau bisa mempercayainya?” “Sungguh jangan sampai orang bicara,” ujar Salman dengan wajah teguh, “Bahwa tak ada lagi orang yang mau saling membagi beban saudaranya. Atau jangan sampai ada yang merasa tak ada lagi rasa saling percaya diantara orangorang muslim.” “Kami memutuskan...” kata kakak beradik penggugat tibatiba menyeruak, “Untuk memaafkannya, kami melihatnya sebagai seorang yang berbudi dan tepat janji. Demi Allah, pasti benar-benar sebuah kekhilafan yang tak disengaja jika dia sampai membunuh ayah kami. Kami memaafkanya, janganlah menghukumnya wahai Amirul Mukminin.” “Mengapa kalian tiba-tiba berubah pikiran?” tanya Umar pada kedua ahli waris korban. “Agar jangan sampai ada yang mengatakan,” jawab mereka masih terharu, “Bahwa dikalangan kaum muslimin tak ada lagi kemaafan, pengampunan, iba hati dan kasih sayang.”34 Maka dapat disimpulakan dari beberapa kisah di atas yang disampaikan oleh Salim A. Fillah dalam buku ini bahwa kebenaran dan
kejujuran
adalah
induk
dari
sifat-sifat
terpuji
yang
diperintahkan Allah untuk dimiliki oleh setiap muslim. Karena pentingnya kebenaran dan kejujuran dalam kehidupan sehari-hari sehingga setiap muslim agar selalu berkata dan bertindak dengan jujur dan benar. Setelah pembahasan sifat benar atau jujur dalam buku ini, kemudian pembahsan selanjutnya tentang nilai pendidikan Islam yang lainnya, yaitu sifat adil.
34
Ibid., hlm. 415-416.
104
c. Sifat Adil Adil adalah tidak berlebih-lebihan, tidak melampaui batas dan tidak memboros-boroskan. Dalam buku ini Salim A. Fillah menceritakan kisah tentang Harun ibn „Abdillah dengan Ahmad ibn Hanbal tentang sebuah keadilan kisah ini terdapat pada bab Nasehat Artinya Ketulusan kisahnya sebagai berikut: “Siang tadi aku lewat di samping halaqoh-mu. Kulihat engkau sedang mengajar murid-muridmu. Aku saksikan engkau duduk di bawah bayang-bayang pohon sedang murid-muridmu secara langsung terkena terik matahari dengan tangan memegang pena dancatatan.”Dia berhenti sejenak lalu tersenyum. “Kumohon jangan kau ulangi perbuatan semacam itu dikemudian hari. Jika engkau mengajar, wahai Harun, maka duduklah dalam keadaan yang sama dengan muridmuridmu.”35 Dalam cerita tersebut dapat diambil pelajaran bahwa dalam keadaan menuntut ilmu harus berbuat adil. Adil disini yaitu berupa tempat untuk belajar, antara guru dan murid haruslah sama, tidak ada yang merasa dipersulit satu sama lain dengan keadaan yang sedang dilakukan untuk menuntut ilmu. Kemudian Salim A. Fillah menuliskan lagi kisah tentang keadilan yang mana kali ini kisahnya tentang baginda Rasulullah Swt. seperti kisah berikut yang terdapat pada bab Godaan Kesempatan, kisah ini menceritakan tentang keadilan yang di awal kisah pembaca disajikan dengan sebuah karya sastra puisi Salim A. Fillah: 35
Ibid., hlm. 283.
105
Tak mudah untuk mengatakan hal yang benar di waktu yang tepat Namun agaknya yang lebih sulit adalah, Tidak menyampaikan hal yang salah Ketika tiba saat yang paling menggoda untuk mengatakannya -Salim A. FillahDalam perang Bani Mustholiq, Sang Nabi mengundi istriistrinya. „Aisyahlah yang terpilih untuk mendampingi beliau. Dan „Aisyah yang masih berusia 14 tahun begitu menghiaskandirinya perjalanan.
Hingga
dengan
kalung
Asma‟
di
sukacita sepanjang
ketika rombongan sang Nabi beristirahat
dalam perjalanan pulang, seusai menunaikan hajat, „Aisyah baru menyadari bahwa kalung itu hilang.Dari kalung yang hilang inilah, segala kisah bermula. “Dalam perjalanan,” ujarnya, “Ada beberapa orang yang ditugaskan Rasulullah menjagaku danmengawal sekedup untaku. Ketika aku sedang sibuk menelusur kesana kemari mencari kalungku, orang-orang itu datang dan bersiap mengangkat sekedupku. Mereka mengira aku berada di dalamnya, sebab pada umumnya para wanita ketika itu bertubuh langsing dan berbobot ringan. Maka, dengan yakin mereka meletakkan sekedup itu di atas unta tungganganku dan memberangkatkan kafilah.” “Beberapa jenak kemudian,” lanjut „Aisyah, “Aku berhasil menemukan kalungku, tetapi rombongan kaum muslimin telah berangkat. Aku mendatangi tempat mereka, tapi tak kutemui seorang pun di sana. Aku mencoba mengejar, tapi kafilah Rasulullah telah sama sekali tak terlihat. Lalu aku kembali ke tempat sekedupku semula dengan harapan agar kaum muslimin sadar bahwa aku tertinggal lalu ada yang pergi mencariku.” “Tetapi sayang,” tuturnya lagi, “Aku tertidur. Ketika itulah Shofwan ibn al-Mu‟aththol as-Sulami yang memang bertugas jaga dibarisan paling belakang memacu untanya mendekatiku. Dia melihat sesosok bayangan hitam yang setelah didekatinya ternyata adalah aku. Ketika itu belum
106
turun perintah hijab, dan dia langsung mengenaliku. Dia berseru kaget, „Innalillahi wa inna ilaihi rooji‟uun!‟Aku terbangun oleh teriakannya dan segera menutup wajah dengan ujung kain kerudungku. Demi Allah kami sama sekali tidak saling berbicara. Tidak kudengar sepatah katapun keluar dari lisannya kecuali teriakan keterkejutannya tadi.” “Shofwan lalu turun,” begitu „Aisyah melanjutkan kisah,“Kemudian dia mendudukkan untanya. Dia memberi isyarat agaraku naik. Aku bersegera mendatangi unta itu dan menaikinya, lalu kamipun berangkat. Shofwan berjalan di depan menuntun unta dengan penuh hormat. Begitulah, hingga kami tiba di tempat perhentian kaum muslimin yang beristirahat dalam cuaca siang yangsangat terik.”36 „Aisyah tidak menyadari bahwa kedatangannya bersama Shofwan
di
menguntungkan
tengah
hari
itu
akan berdampak fatal yang
para kaum munafikin
sehingga mereka
menemukan celah untuk menyakiti Rasulullah, menjatuhkan nama baik ahli bait dan keluarga ash-Shiddiq, serta menyemai perpecahan dikalangan kaum muslimin. Dia adalah „Abdulloh ibn Ubay sang munafik yang kemudian mengarang sebuah cerita menjijikkan tentang „Aisyah dan Shofwan.37 Pada umumnya kaum muslimin yang jernih hatinya langsung menyangkal berita dusta itu. Abu Ayyub dan Ummu Ayyub misalnya, di rumah besar yang pernah menjadi tempat tinggal sang Nabidi awal hijrah, sekaligus menjadi tampungan
36
Ibid., hlm. 297-298.
37
Ibid.
107
yang memadai bagi puluhan Muhajirin miskin itu, sepasang suami-istri itu salingbertukar suara hati.38 “Hai Ummu Ayyub,” ujar sang suami, “Andai engkau adalah „Aisyah, mungkinkah engkau melakukan hal itu?”“Aku berlindung kepada Allah dari yang sedemikian. Sesungguhnya aku memandang zina sebagai sesuatu yang hina dan keji. Iaadalah seburuk-buruk jalan, sesuatu yang takkan terpikir untuk ku lakukan meski datang kesempatan untuk itu.” “Demikianpun aku,” sahut Abu Ayyub, “Aku juga berlindung kepada Allah dari hal sedemikian. Padahal sungguh, „Aisyah jauhlebih baik daripada dirimu dan Shofwan ibn al-Mu‟aththol lebih baik dari pada diriku. Maka lebih tidak mungkin lagi mereka melakukannya. Sungguh berita ini adalah sebuah kedustaan yang nyata!”39 Menyebarkan desas-sesus yang dapat menggelisahkan orang lain sangat dilarang oleh syariat dan termasuk tindakan murahan. Dan itu, hanya akan dilakukan oleh orang-orang yang miskin akan nilai-nilai moral dan jauh dari ajaran-ajaran ketuhanan. Oleh karena itu, orang yang adil pasti akan mencari kebenaran tentang desas-desus yang ada, supaya menjadikan sesuatu keputusan yang benar dan tentunya yang adil. Dari cerita-cerita di atas Salim A. Fillah menuliskan kisahkisah tentang adil dalam berbagai kisah Rasulullah dan para shahabatnya, yang mana cerita tersebut memaparkan tentang kisah adil dalam hal menuntut ilmu kemudian dalam memutuskan suatu permasalahan atau peristiwa yang sedang terjadi dan kali ini Salim A. Fillah menceritakan tentang adil yang berhubungan dengan 38
Ibid.
39
Ibid., hlm. 299
108
keluarga, kisah ini terdapat pada bab Sahabat untuk Diberi kisahnya yang mana seseorang haruslah adil antara dunia dan akhiratnya, tidak boleh condong kepada salah satunya, haruslah seimbang. Kisah ini berawal dari pertemuan Salman al-Farisi dengan istri Abu Darda saudaranya sendiri. “Bagaimanakah kabar engkau dan suamimu?” tanya Salman. “Kami baik Alhamdulillah,” jawab Ummud Darda‟ sembari menunduk. “Adapun Abu Darda‟, adalah dia tak lagi punya kepentingan dengan urusan dunia.” “Jelaskanlah!” desak Salman. “Alhamdulillah, tak satupun siang hari berlalu kecuali dia menjalaninya dengan berpuasa. Dan Alhamdulillah, dia shalat malam dan membaca al-Qur‟an sepanjang gelap dari Isya hingga Subuhnya.”40 Abu Darda‟ terlalu bersemangat menenggelamkan diri pada kekhusyu‟an
ibadah
sehingga
mengabaikan
hak-hak
pada
keluarganya. Salman bukanlah mau ikut campur dalam urusan keluarga mereka melainkan hanya bertindak untuk kebahagiaan mereka yang dicintainya. Maka pada malam harinya Salman bertamu ke rumah saudaranya yang terkasih, Abu Darda‟. Bahkan dia meminta izin untuk menginap di rumah sang kawan sekaligus tidur di kamar Abu Darda‟ yang telah berubah menjadi mushalla. Malampun beranjak dan tiba saatnya Abu Darda‟ berdiri menghadap Allah yang telah dijadwalkannya sendiri. “Salman, Saudaraku,” ujarnya, “Silahkan beristirahat. Aku harus berdiri untuk menunaikan hak Rabbku.” 40
Ibid., hlm. 375.
109
Salman tersenyum. “Saudaraku,” kata Salman sembari menatap Abu Darda‟, “Aku bersumpah dengan Dzat yang jiwaku dalam genggaman-Nya, mulai malam ini kedua kelopak mataku takkan kukatupkan selamanya hingga akhir hidup. Kecuali engkau juga mau tidur sebagaimana aku beristirahat.” “Apa maksudnya ini?” “Demikianlah sumpahku tekah terucap” “Cabutlah!” “Tidak”41 Malam itu keteguhan hati Salman untuk membujuk Abu Darda‟ beristirahat telah meluluhkan niat sahabatnya dalam menghabiskan malam untuk beribadah. Abu Darda‟pun turut tidur hingga menjelang Subuh. Pagi menjelang dan Abu Darda‟ tampak lebih segar dari biasanya. Sang istri memasak hidangan istimewa untuk mereka berdua. Meja telah disesaki kurma, susu, roti tepung dan paha kambing yang harum. Kemudian Abu Darda‟ mempersilahkan tamunya ke ruang jamuan. “Makanlah saudaraku!” ujar Abu Darda‟, “Adapun aku telah berniat untuk puasa hari ini” Lagi-lagi Salman tersenyum. “Aku juga bersumpah dengan Dzat yang jiwaku dalam genggaman-Nya,” kata Salman, “Bahwa sejak pagi hari ini takkan ada sesuappun makanan yang akan lewat ke kerongkonganku hingga ajal menjemput. Kecuali kau juga makan bersamaku di pagi yang indah ini.” “Demi Allah itu sumpah yang batil!” tukas Abu Darda‟ “Hanya engkau yang bisa membatalkannya, dengan ikut makan bersamaku”42
41
Ibid., hlm. 376-376.
42
Ibid., hlm. 377.
110
Salman berhasil meruntuhkan niat Abu Darda‟ untuk berpuasa di hari terik itu. Abu Darda‟ dengan terpaksa ikut makan. Tetapi harus diakuinya bahwa hidangan pada waktu pagi itu memang begitu istimewa dan terasa lezat bagi Abu Darda‟. Usai menikmati santapan yang nikmat itu Salman menasehati Abu Darda‟ dengan agungnya. “Sesungguhnya,” tegas Salman, “Rabbmu memiliki hak atas dirimu. Dan sesungguhnya, tubuhmu juga memiliki hak atas dirimu. Dan sesungguhnya keluargamu juga memiliki hak atas dirimu. Berbuat adillah kepada mereka dalam mengabdikan diri kepada Rabbmu.” 43
Selanjutnya Salim A. Fillah memaparkan dalil tentang adil untuk menguatkan pembaca mengenai kisah-kisah yang beliau tuliskan di atas yaitu dalam firman Allah surat al-Maidah ayat 8 yaitu:
ّ َِْٞ ٍِ َِ آ ٍَُْْ٘ ا ُمْ٘ ُّْ٘ ا قَ َّ٘اْٝ َُّٖا ىَّ ِزََٝآٝ َّللاِ ُشَٖذَآ َء تِا ْىقِ ْس ِظ َْٗل َٙ٘ اَْلَّ ذَ ْع ِذ ىُْ٘ ا اِ ْع ِذ ىُْ٘ ا ُٕ َ٘ اَ ْق َشبُ ىِيرَّ ْقََٚجْ ِش ٍََّْ ُن ٌْ َشَْآ ُُ قَْ٘ ًٍ َعيٝ ّ َُّ ِ٘اّللاَ ا ّ َُٗاذَّق َُ ُْ٘ ٌش ِت ََا ذَ ْع ََيْٞ ّللاَ َخ ِث Artinya: “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil, dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”44 (Q.S. al-Maidah: 8) 43
Ibid.
44
Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 109.
111
Bisa dikatakan etika Islam sangat menekankan pentingnya keadilan dalam setiap langkah dan perbuatan manusia. Oleh karena itu, etika Islam menggariskan kepada setiap muslim untuk menghiasi dirinya untuk bersikap adil. Hal ini karena keadilan akan menciptakan ketenangan, ketentraman dan kedamaian dalam kehidupan dirinya, keluarga dan masyarakat. Setelah pembahasan tentang nilai pendidikan Islam dalam buku ini yaitu sifat adil, kemudian dalam buku ini selanjutnya akan membahas nilai pendidikan Islam yang lainnya, yaitu sifat syukur. d. Syukur Allah berfirman dalam surat al-A‟raf ayat 144 sebagai berikut:
َِْ ٝ ل َٗ ُم ِْ ٍِّ َِ اى َّش ِن ِش َ ُرْٞ َفَ ُخ ْز ٍَآ آ ذ Artinya: “Sebab itu berpegang teguhlah kepada apa yang aku berikan kepadamu dan hendaklah kamu termasuk orangorang yang bersyukur.”45 (Q.S. al-A‟raf: 144) Di awal cerita Salim A. Fillah menukil ayat al-Qur‟an tentang rasa syukur. Karena dengan bersyukur dalam keadaan
45
Ibid., hlm. 169.
112
apapun, walaupun rezeki yang didapat sedikit dan hanya dapat untuk makan sehari-hari dengan lauk seadanya, kita harus tetap bersyukur, karena Allah masih memberikan rezeki walaupun sedikit dan sebaliknya apabila diberi rezeki yang serba kecukupan dalam berbagai hal kita tetap harus bersyukur karena Allah masih memberikan rezeki yang berlebih. Syukur merupakan ciri utama dari iman, dengan demikian orang yang tidak pernah bersyukur kepada Allah berarti ia tidak (kurang) beriman sekaligus kufur (ingkar) kepada Allah Swt.46 Seperti kisah yang terdapat pada bab Terpujilah Kita, yaitu kisah
seorang pemuda
yang hanya
lulusan
sarjana
yang
dipermalukan di depan peserta seminar yang dihadiri oleh para guru besar di kampusnya, yang ketika itu salah satu peserta tidak sependapat dengan apa yang disampaikan dalam presentasi seminar tersebut karena merasa pemuda itu tidak pantas mempresentasikan dalam forum sebesar itu. Tetapi pemuda tersebut tidaklah menyangga atau mendebat profesor yang bertanya tersebut, malah pemuda tersebut mengucapkan “Alhamdulillah” dan bersyukur atas cercaan yang dilontarkan kepadanya, seperti kisahnya sebagai berikut yang dituliskan Salim A. Fillah dalam buku ini: Maka dia mulai bicara justru dengan menunjukkan kekonyolan dan kebodohan dirinya. “Alhamdulillah,” ujarnya, “Allah semakin menunjukkan pada saya bahwa ada banyak hal yang harus terus saya pelajari. Kebodohan 46
Heri Jauhari Muchtar, Fiqih Pendidikan (Jakarta: Remaja Rosdakarya, 2005), hlm. 29.
113
dan kurangnya wawasan saya seperti disampaikan Ayahanda Profesor hanyalah secuil dari kebodohan saya yang sebenarnya jauh lebih menyesakkan dada daripada yang beliau ungkapkan itu. Saya akan ceritakan beberapa hal sebagai buktinya.”47 Cerita-cerita tentang kekonyolan dirinya yang disampaikan dengan jenaka, tentu saja membuat hadirin tergelak. Tetapi mereka tahu, ada „ibrah-„ibrah berhikmah yang coba disampaikan si pemuda lewat itu. Si pemuda sama sekali tidak membalas kata-kata sang Guru Besar. Dia tidak mendebatnya. Dia justru mengucapkan syukur dan terima kasih dengan cara yang santun. Dia
menyatakan,
merasa
sangat
tersanjung
dalam
ketidakpantasannya, ketika diberi kesempatan untuk berbagi dan bicara dengan hadirin terhormat yang ada di hadapannya. “Izinkan Ananda memberikan apresiasi setinggitingginya,” katanya memungkasi jawaban, “Kepada Ayahanda, Ibunda, dan hadirin sekalian yang bersedia mendengarkan Ananda yang bodoh dan kurang wawasan ini. Ananda bersyukur sekali, telah dianugerahi kesempatan untuk belajar pada hadirin sekalian, terutama Ayahanda Profesor, yang telah berkenan menunjukkan kelemahan-kelemahan Ananda. Ananda menganggap Ayahanda sebagai orangtua Ananda sendiri. Ananda berharap Ayahanda akan membimbing Ananda memahami masalah yang kita bahas ini lebih dalam, lebih tajam dan lebih bermakna lagi, terima kasih Ananda haturkan” dan tepuk tangan membahana untuk pemuda tersebut.48 “Serulah manusia kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik. Dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Rabbmu, Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalanNya
47
Salim A. Fillah, op. cit., hlm.204.
48
Ibid., hlm. 204-205.
114
dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk” (Q.S An-Nahl (16): 125). Setelah Salim A. Fillah menuliskan cerita ini kemudian beliau kuatkan dengan dalil al-Qur‟an, kemudian Salim A. Fillah menuliskan sebuah nasehat dari Asy-Syafi‟i mengenai cerita di atas sebagai berikut: Nasehat artinya ketulusan Nasehati aku di kala kita hanya berdua Jangan meluruskanku di tengah ramai Sebab nasehat di depan banyak manusia Terasa bagai hinaan yang membuat hatiku luka -Asy-Syafi‟i, Diwan-49 Dalam kisah-kisah yang di sampaikan oleh Salim A. Fillah dalam buku ini, Salim A. Fillah selalu mempunyai kisah yang di ambil pada kehidupan Rasulullah Saw. karena kehidupan Rasulullah penuh dengan teladan-teladan kebaikan yang patut kita ketahui dan kita amalkan sifat-sifat mulia yang ada pada diri Rasulullah sekaligus dalam kehidupanya sehari-hari. Seperti kisah yang diceritakan oleh Rasulullah Saw. kepada para sahabat-sahabatnya yang membuat mereka tertawa terbahak-bahak, yaitu pada bab Gelora cerita tentang seorang musafir dari bani Israil melintasi gurun yang sangat luas. Untuk mengarungi padang pasir yang tidak tampak batasnya, musafir itu menyiapkan bekal lengkap beserta unta kesayangannya. Air, makanan, pakaian dan semua keperluan perjalanan ia bebankan pada punggung sang unta, sementara ia 49
Ibid., hlm. 275.
115
berjalan menuntun di samping hewan itu, berlindung dari terik mentari pada bayang-bayang unta tersebut. Saat sampai di suatu oase (tempat peristirahatan), sejenak dia beristirahat. Dia mencuci muka, minum dan mengisi kantong airnya. Lalu ia berbaring memejamkan mata di bawah sebatang pohon tua. Sejenak saja, tetapi begitu ia membuka mata sang unta beserta seluruh bekal yang dibawanya telah lenyap dari pandangan. Bekalnya menghilang dan untanya kabur, harapan hidupnya lenyap, panikpun menyergap.Bagai orang gila dia berteriak-teriak memanggil untanya. Ia mencoba mencari, berlari kesana-kemari sambil berseru. Terseok-seok mengarungi pasir sembari terus menajamkan pandangan, ia berteriak lagi. Berlari lagi lalu menangis, berlari lagi dan berteriak lagi. Sampai akhirnya tenaganya habis. Keringatnya kering terperas. Pandangan mengabur, kesadarannya turun ke titik terendah dan ia pun jatuh pingsan. Tidak terasa semalam terlewati. Saat pagi dan mentari menyengatnya dengan sinar hangat di pipinya, perlahan ia siuman. Pelan-pelan dibukanya mata, dihimpunnya sisa kesadaran dan pertama kali yang tampak di matanya adalah untanya, beserta seluruh bekalnya, kini berada di depannya, ada di dekat orang itu, benar-benar tidak kurang satupun.
116
Dadanya bergemuruh dan kebahagiaannya meluap. Dan ia ungkapkan rasa syukurnya dengan meloncat sambil berteriak keraskeras: “Allahumma Anta „abdi wa ana Rabbuk! Ya Allah, Engkaulah hambaku dan akulah tuhanMu!
Doanya terbalik, tetapi memang demikianlah yang dia katakan, kita bisa membayangkan bahwa Fir‟aun yang “Cuma” “Akulah
berseru
Tuhanmu
yang
paling
tinggi!”
saja,
ditenggelamkan di Laut Merah, lalu apa yang akan diperbuat Allah pada seseorang yang begitu nekat menyatakan bahwa Dia adalah hambanya. Kalimatnya memang salah, tetapi dia tidak sengaja. Bukankah orang yang baru siuman dari pingsan kesadarannya memang tidak segera pulih seutuhnya. Dia salah ucap, dengan semangat tingggi dan niat baik pasti tetap dihargai.50 Setelah mendengar dua cerita di atas, Salim A. Fillah dalam menuliskan cerita tentang rasa syukur yang terdapat pada bab Gelora dan di akhir pembahasan beliau menuliskan kisah lagi yang kali ini kisahnya terkesan jenaka yang bisa membuat pembaca tertawa oleh kisah ini, yaitu cerita tentang calon menantu yang kembar. Maka dari sisi nasab mereka berdua sama-sama mulia, dari segi rupa mereka sama tampannya, dalam hal kekayaan mereka pas-
50
Ibid., hlm. 341-342.
117
pasannya, yang membedakannya adalah seorang lelaki yang penuh gairah dan minat, bersemangat dan selalu bersyukur sedang yang satunya tampil sebaliknya. Pemuda pertama menghadap calon mertuanya, dia duduk di kursi tamu seperti tubuh lunglai tidak bertulang. Pandangan matanya tidak konsentrasi. “Berapa mahar,” tanya calon mertua langsung pada pokok bahasan, “Yang kau siapkan untuk putri kesayanganku ini, anak muda?” “Ya...,” ujar sang calon menantu malas-malas ayam, “Paling-paling sih, tujuh ratus ribu!” dia mengusap-usap kepala sambil menahan diri agar tidak menguap, gerakgeriknya bagai ulat daun jambu. “Apa? Tujuh ratus ribu? Tidak bisa, anak muda! Maskawin untuk anak saya ini mesti jutaan! Tujuh ratus ribu? Itu namanya penghinaan!” “Ya...,” kata calon menantu sambil meraup tangan ke muka lalu mengucek mata dengan sudut jari telunjuk. “Cobalah nanti kita lihat saja!” kali ini tubuhnya direnggakan dengan irama gendhing Jawa. “Tidak ada nanti-nanti! Silahkan pergi, kamu ditolak!” Berikutnya
datanglah
calon
menantu
kembarannya,
pakaiannya cerah, matanya berbinar dan wajahnya bercahaya. Langkahnya tegap dan yakin, lambaian tangannya tangkas, tubuhnya dicondongkan ke depan. Senyumnya mengembang. Begitu si belia duduk, sang calon mertua juga langsung bertanya ke pokok persoalan. “Tentang maskawin untuk putriku, nak,” selidiknya, “Berapa yang kau siapkan?” “Alhamdulillah, pak,” ujar si pemuda dengan mata mengerjap jenaka, “Telah saya kumpulkan semua tabungan, telah saya himpunkan semua simpanan yang terserak. Akhirnya, inilah jumlah akhir dari harta saya,
118
milik terbaik saya yang akan saya jadikan persembahan paling berharga untuk calon istri yang amat saya cintai, dengan mengucap Allahu Akbar. Maharnya adalah... Tujuh ratus ribu rupiah, pak!” “Tujuh ratus ribu! Sebuah angka tujuh yang diikuti lima deret angka nol! Indah sekali!” “Tidak bisa, nak! Mahar untuk anak saya ini nilainya harus jutaan rupiah!” “Ow, siap pak.insyaAllah akan saya ubah maharnya menjadi setengah juta, masih ditambah lagi dua ratus ribu! Bagaimana pak?” “Bagus nak, kamu diterima!”51 Kisah di atas memang hanya lelucon kecil yang Salim A. Fillah tulis dalam buku ini, tetapi bukankah memang begitu semangat dan antuasiasme serta rasa syukur dengan apa yang seseorang punya adalah daya unggul yang sulit untuk ditampik. Seseorang cenderung menyukai mereka yang penuh rasa semangat dan syukur yang ada pada diri mereka. Sifat inilah yang menjadi daya tarik yang susah untuk ditolak. Ia menjadi satu daya penting yang mengikatkan seseorang dengan sesama dalam dekapan ukhuwah. “Jangan kau anggap remeh kebaikan,” demikian satu hari sang Nabi bersabda sambil tersenyum, “Meski itu hanya sebentuk wajah manis di hadapan saudaramu.”
Pesan nabi itulah yang selalu Salim A. Fillah ingat-ingat dalam bergaul dengan sesama, sekaligus menjadi paragraf terakhir dalam menceritakan tantang yang namanya rasa syukur kepada 51
Ibid., hlm. 334-336.
119
Allah yang membuat pembaca menjadi semakin yakin bahwa rasa syukur itu sangat perlu diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Dan di akhir kisah ini Salim A. Fillah menuliskan sebuah puisi dari seorang sutradara kondang, yaitu Andrea Hirata sebagai berikut: Dalam serpih-serpih cahaya Dan gerak-gerik halus benda-benda Tersimpan rahasia, mengapa kita ini ada52 -Andrea Hirata_ Setelah pembahasan tentang nilai pendidikan Islam dalam buku ini yaitu rasa syukur, kemudian pembahsan selanjutnya dalam buku ini adalah tentang
nilai pendidikan Islam yang
lainnya, yaitu sifat pemaaf. e. Pemaaf Kita semua anak Adam, pernah melakukan kesalahan Dalam dekapan ukhuwah, kelembutan nurani memberi kita Sekeping mata uang yang paling mahal untuk membayarnya Dikeping uang itu, satu sisi bertuliskan “akuilah kesalahanmu” Sisi lain berukir kalimat “maafkanlah saudaramu yang bersalah”53 -Salim A. FillahDi awal pembahasan pembaca sudah di hadapkan dengan puisi indah tersebut tentang pemaaf, suatu sifat yang timbul karena sadar bahwa manusia bersifat dhaif (lemah) tidak lepas dari kesalahan dan kekhilafan.54Sikap senang memaafkan harus dapat
52
Ibid., hlm. 404.
53
Ibid., hlm. 287.
54
M. Yatimin Abdullah, op. cit., hlm. 44.
120
dimiliki olehsetiap muslim, karena memaafkan kesalahan orang lain merupakan salah satu menifestasi dari taqwa seseorang. Pemaaf juga termasuk salah satu bentuk ibadah kepada Allah dan salah satu terbinanya hubungan yang baik dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan adanya sifat pemaaf diharapakan sakit hati, kebencian, dendam, dan permusuhan antar individu menjadi hilang. Setelah membaca puisi di atas, pembaca langsung disuguhkan dengan sebuah cerita yang terjadi pada zaman Rasulullah, ceritanya tentang Khalid ibn al-Walid. Ketika itu Khalid bersalah dan para shahabat menghardik dan menegurnya dengan keras. Tetapi Nabi Muhammad Saw. tidak membiarkan Khalid menjadi olok-olok dan sasaran cela setelah kesalahan fatalnya itu, kemudian kesalahanya ditebus dengan diyat yang dibayarkan „Ali ibn Abi Thalib atas nama beliau. Bahkan beliau menegaskan kembali
bahwa
peran
dan
gelarnya
sebagai
Pedang Allah
tidaklah
dicabut. Kisah ini terdapat pada bab Thalhah Sebuah
Kenangan Atas Cinta kisahnya sebagai berikut: “Jangan
lagi
kalian
mencela
Kholid,” kata beliau,
“Sesungguhnya dia adalah salah satu pedang dari pedangpedang
Allah
musyrikin.”55
55
Salim A. Fillah, op. cit., hlm. 288.
yang
dihunus-Nya
kepada
kaum
121
Salim
A.
Fillah
menceritakan
tentang
kepribadian
Rasulullah yang memaafkan orang lain, yaitu ketika Khalid ibn alWalid melakukan sebuah kesalahan fatal pada zaman Rasulullah dengan membunuh bani Jadzimah yang telah menyerah. Karena apa yang dilakukan Khalid benar-benar telah melampaui batas. Pada waktu itu seluruh bangsa Arab menyorot ke arah Madinah, karena mereka telah menganggap kaum Muslimin sebagai teladan tertinggi dalam segala perihidupan mereka. Dengan kejadian itu seolah-olah mereka hilang harapan. Mereka sadar dari lamunan bagaimanapun
orang-orang
disekitar
Muhammad
bahwa bukanlah
malaikat.56 Seperti wahyu Allah yang Salim A. Fillah tuliskan dalam kisah ini:
ف َٗاَ ْع ِشضْ َع ِِ ْاى َجا ِ ُْخ ِز ْاى َع ْف َ٘ َٗ ْأ ٍُشْ تِا ْىعُش َِْ ِِٕٞي Artinya: “Jadilah engkau pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.”57 (Q.S. Al-A‟raf: 199)
56
Ibid., hlm. 287.
57
Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 177.
122
Setelah Salim A. Fillah menuliskan cerita tentang Rasulullah di negeri Arab kemudian Salim A. Fillah juga menuliskan cerita dari negeri Cina supaya pembaca tidak monoton hanya mendengar kisah-kisah pada zaman Rasulullah saja tetapi juga dari negeri-negeri seberang atau dari negeri yang lainya. Kali ini kisahnya datang dari negeri Cina, yaitu ketika ada seorang kakek yang mengadu kepada jenderal Zhou Yu karena dia kehilangan kerbaunya, kisah ini terdapat pada bab Percayailah yang Terbaik kisahnya sebagai berikut: Si kakek dan cucunya kehilangan kerbau air di sawah mereka. Mereka mengadu kepada Zhou Yu. “Beberapa saksi melihat bahwa....,” kata kakek sambil menjura penuh hormat.
Zhou Yu
mengangguk sebelum si kakek menyelesaikan kalimatnya. Dia mengerti. Pasukan yang dikomnadani oleh Jenderal Gan Xing segera diperintahkan berhimpun dalam barisan. Zhou Yu memulai katakatanya dengan pujian. “Aku terkesan oleh penampilan dan kerja keras semua orang hari ini!” serunya disambut gemuruh pekik para prajurit. “Tapi kakek tua ini kehilangan kerbau milik keluarganya di dekat barak kita,” Zhou Yu berjalan berkeliling sambil menyeksamai wajah para prajurit itu. Sesekali diamatinya kaki mereka. “Apakah ini dilakukan oleh seorang saudara kita?”58 Suasana mendadak hening. 58
Salim A. Fillah, op. cit., hlm.188.
123
“Ayo, dia yang berbuat, maju ke depan dan mengakulah!” salah seorang komandan rendahan tiba-tiba berteriak. Anggota pasukan yang lain kemudian menimpali bersahutsahutan. “Benar! Ayo mengaku! Tunggu apa lagi! Jadilah ksatria!” keadaanpun menjadi riuh dan kacau. “Seret saja mereka keluar! Sungguh perbuatan yang memalukan!” seru yang lain. “Lu Su” panggil Zhou Yu yang membuat suasana kembali sunyi, “Apa hukumannya menurut undang-undang kerajaan Wu?” “Hukumannya,” jawab Lu Su dengan berat hati, “Adalah mati.” “Ayo keluar kalian! Tunjukkan diri!” teriak para prajurit bergemuruh. Suasana kembali ribut dan kacau-balau. “Dan”, sambunng Lu Su, “Untuk mengetahui pelakunya, mudah saja. Kerbau itu baru hilang pagi ini di sebuah sawah. Pasti masih ada banyak lumpur mengotori sepatu para malingnya. Apakah aku benar?” “Ya benar! Ayo, siapa pelakunya, tunjukkan diri!”59 Zhou Yu sudah mengetahuinya sejak tadi. Dan dia sudah melihat tiga orang prajurit dengan sepatu berlumur tanah becek berdiri dengan gelisah dan takut. Mendengar kata-kata Lu Su dan kawan-kawannya, mereka makin takut dan ciut nyali. “Semua prajurit Gan Xing, dengarlah perintah ini!” Zhou Yu berteriak. “Kuminta kalian semua berlari mengelilingi arena latihan. Berputarlah di pohon sebelah sana, kemudian kembali ke tempat ini!” Semuanya, laksanakan! Cepat!” “Siap!” Seluruh prajurit segera bergerak dengan fornasi baris yang rapi dan berlari ke arah yang ditunjuk oleh Zhou Yu. Untuk sampai ke pohon yang dimaksud, mereka harus menyeberangi kolam latihan yang becek dan berlumpur. Dan mereka semua menerabasnya. Masih terus berlari, kini semua sepatu menjadi basah dan berlumur lumpur. 59
Ibid., hlm. 189-190.
124
Ketiga orang yang sepatunya berlumpur, kini dibersamai oleh seluruh kawan-kawan sekesatuannya. Lalu dalam irama yang mengehentak, mereka semua kembali ke hadapan Zhou Yu. “Hari ini,” kata Zhou Yu, “Aku tidak menyeret para pelakunya keluar, karena aku ingin memberi mereka kesempatan kedua untuk menjadi lebih baik. Prajurit Wu sama sekali tidak bisa menenggang penjarah! Tak ada tempat bagi pencuri! Tapi yang kita perlakukan hari ini adalah kesatuan, terikat dalam persaudaraan! Saling memaafkan!” “Benar!”60 Jenderal Gang Xing terlihat muncul dengan menuntun seekor kerbau. Dia sendiri yang mengganti kerbau milik kakek tua yang hilang itu. Dihadapan si kakek, dia berlutut. “Kumohon, terimalah hormat dan permohonan ampunanku. Aku gagal melatih pasukanku!” “Hamba tak berani! Hamba tak berani!” si kakek ikut berlutut. Dan dengan sangat mengharukan, seluruh prajuritpun berlutut dan menjura hormat kepada sang kakek.61 Keputusan Zhou Yu untuk tidak menghukum para pelaku pencurian pada saat itu dan memaafkan mereka terbukti tepat. Kelak, ketiga orang yang mencuri kerbau itu menjadi pasukan perintis yang gagah berani dan rela mengorbankan jiwa saat menghadapi serbuan pasukan perdana Menteri Cao Cao
60 61
Ibid.
Ibid., hlm. 191.
di
125
seberang Karang Merah. Mereka menjadi patriot negeri Wu. Zhou Yu sangat terharu menyaksikan kepahlawanan meraka.62 Dari cerita tersebut dapat diambil pelajaran bahwa memberi maaf dan tidak membalas perbuatan orang lain yang telah merugikan diri sendiri dan orang lain adalah perbuatan yang baik. Karena dengan itu, kita terhindar dari perbuatan yang bisa menyulut permusuhan. Karena sangat tidak pantas menjauhi saudara hanya karena satu atau dua kebiasaan buruk yang tidak bisa diterima, sementara selebihnya baik. Jadi
dapat
diambil
kesimpulan
bahwa
memaafkan
kesalahan orang, baik itu keluarga, teman ataupun orang lain adalah sifat yang dianjurkan, walaupun memberi maaf merupakan suatu perbuatan yang sangat berat. Kerana sifat pemaaf adalah sifat yang sanagt mulia dan dianjurkan oleh Allah dan Allah sangat mengutamakan sifat pemaaf. Ibnu Abdu Rabbih dalam kitabnya Al-Aqd Al-Farid berkata bahwa Allah menyusun baginya (Muhammad) akhlak itu dalam tiga kata-kata, kemudian berkata: “Terimalah maaf, perintahkanlah ma‟ruf, dan berpalinglah dari orang-orang yang jahil.”.63 Memberi maaf adalah perbuatan yang sangat berat. Oleh karena itu, sifat maaf harus dilatih dan dibiasakan sejak kecil agar
62
Ibid.
63
Omar Mohammad al-Toumy al-syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, alih bahasa Hasan Langgulung, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h.314, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hlm. 314.
126
pada saat dewasa sifat tersebut telah tertanam dalam hati setiap muslim. Sifat pemaaf merupakan salah satu ciri orang bertaqwa. Hal ini dinyatakan oleh Allah dalam surat Ali Imran ayat 134 sebagai berikut:64
َِْ ِٞظَ َٗ ْاى َعا فْٞ َِْ ْاى َغَِٞ اى َّسشَّآ ِء َٗ ْاى َنا ِظُِٚ ْْفِقُ ْ٘ َُ فٝ َِْ ٝاَىَّ ِز ّ َٗ ط َِْ ِْٞ ُِحةُّ ْاى َُحْ ِسٝ ُّللا ِ َع ِِ اىَّْا Artinya:
“(yaitu)
Orang-orang
yang
menafkahkan
(hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”65 (Q.S. Ali Imran: 134) Memberi maaf harus dilakukan dengan cara ikhlas, bersifat lahir batin dan bukan karena terpaksa. Disamping itu memberi maaf tidak perlu menunggu seseorang meminta maaf, tetapi diberikan setiap waktu dan setiap kesempatan. Hal ini penting agar setiap muslim memiliki hal yang betul-betul bersih dan lapang dada sehingga dapat terhindar dari kekecewaan, kebencian, sakit hati dan dendam.
64
Imam Suraji, Etika dalam Perspektif Alqur‟an dan Al-Hadist (Jakarta: PT. Pustaka AlHusna Baru, 2006), hlm. 254. 65 Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 68.
127
Setelah pembahasan tentang nilai pendidikan Islam dalam buku ini yaitu pemaaf, kemudian dalam buku ini terdapat nilai pendidikan Islam yang lainnya, yaitu sifat berbaik sangka atau khusnudhan. f. Berbaik sangka (Khusnudhan) Seorang hamba yang bijak adalah mereka yang senantiasa berbaik sangka kepada Allah dalam setiap keadaan. Jika ia diberi kenikmatan, ia merasa bahwa hal ini adalah karunia dari Allah. Jika ia diuji dengan penderitaan atau kekurangan, ia merasa bahwa Allah sedang mengujinya agar ia dapat meraih tempat yang mulia. Ia tidak berburuk sangka dengan menganggap Allah tidak adil atau Allah telah menghinakannya. Dalam buku ini Salim A. Fillah menceritakan sebuah kisahkisah yang menarik untuk di simak dalam hal berprasangka baik kepada Allah. Seperti kisah Qalawun dan anaknya yang berani berprasangka baik dalam segala keterhijaban yang terdapat pada bab Keterhijabahan dan Baik Sangka Qalawun yang berani berkata: “Kami tidak tahu ini rahmat atau musibah. Tapi kami hanya selalu berprasangka baik kepada Allah!”66 Seperti ini kisahnya, mulai dari membeli seekor kuda yang harganya sangat mahal yang diolok-olok oleh tetangganya karena 66
Salim A. Fillah, op. cit., hlm. 174.
128
betapa bodohnya mereka membeli kuda dengan uang yang dikumpulkan selama hidup mereka, kemudian kuda tersebut hilang dan akhirnya kembali lagi dengan kuda yang lebih banyak lagi karena kuda tersebut mengetahui sang pemilik memperlakukannya dengan baik, maka kuda itupun pergi dan memanggil semua kawan-kawannya hingga yang tadinya berjumlah satu tiba-tiba menjadi banyak, sampai kepada kaki putranya yang patah garagara berlatih untuk mempersiapkan petempuran di medan perang karena ingin sekali mereka menunggangi kuda tersebut untuk berjihad di jalan Allah. Mereka hanya selalu berkata “Kami tidak tahu ini rahmat atau musibah. Tapi kami hanya selalu berprasangka baik kepada Allah!” dengan kalimat seperti itulah yang mengantarkan kepada mereka untuk sahid di jalan Allah sesuai dengan keinginan mereka berdua. Dalam dekapan ukhuwah, ada kebaikan mengiringi prasangka baik kita kepada-Nya. Dia selalu bersama kita dan melimpahkan kebaikan, karena kita mengingat-Nya juga dengan sangkaan kebaikan.67 Setelah kisah tersebut Salim A. Fillah menuliskan tentang kisah seekor keledai tua milik petani tua yang pada suatu sore terperosok ke dalam sumur tua yang tidak kalah serunya dengan cerita sebelumnya kisah ini terdapat pada bab Sebab Baik Sangka adalah Cermin Hasilnya. Ceritanya tentang si petani yang 67
Ibid., hlm. 175-181.
129
menyayangi keledainya. Sahabat perjuangan belasan tahun untuk menyambung hidupnya. Si keledai adalah andalannya untuk membajak ladang, menjerai benih dan mengangkut panen. Sore itu si keledai terjatuh ke dalam sumur tua dan meringkik-ringkik di dalam kegelapan sumur yang paling bawah. Maka si petani tua itu mencoba untuk menolong sang keledai agar bisa keluar. Si petani berpikir keras. Mula-mula disambarnya segulung tali lalu diulurkanya ke bawah. Diteriakinya sang keledai agar menggigit tali itu. Ditariknya kuat-kuat, tetapi dia justru terpelanting. Cara ini tidak berhasil, dilemparnya lagi tali itu ke bawah sumur. “Ambil tali itu,” serunya, “Ikatkan ke tubuhmu! Akan kutarik kau ke atas!” inipun tidak bisa.68
Lalu diikatnya tali itu membentuk laso. Diulurkannya ke bawah lagi. Diserunya sang keledai masuk ke simpulan laso. Ditariknya perlahan. Berat sekali dan keledai berseru serak. Sepertinya dia kesakitan dan tersiksa karena hanya bagian lehernya yang terjerat. Gagal lagi dan dicobanya segala cara dengan tali dan hasilnya masih nihil. Si petani tua itu mulai merasa sia-sia dengan upayanya untuk menyelamatkan si keledai.
68
Ibid., hlm.183.
130
Petani itu menerawang disekitar sumur tua itu, ternyata ada bambu. Kemudian dengan golok dipapasnya sebatang yang tampak kuat, lalu dicoba mengulurkannya ke dalam sumur. “Jepit bambu itu dengan kaki-kakimu!” teriaknya, “Akan kuungkit
kau
naik!”
berulang-ulang
dia
mencoba
mengungkit dan mengungkil dan selalu gagal69. Segala cara dia kerahkan dengan bambu, sesekali dia padukan tali dengan bambu. Tetapi semua hasilnya nihil. Si petani tua itu semakin lelah bersama keringat yang mengkuyupi pakaiannya dan harapannya semakin tipis untuk menolong keledai itu. Matahari semakin rendah berada di sebelah Barat, hari semakin menyenja dan sang petani telah mengambil keputusan bersama keputusasaannya. Dia akan menimbun keledai itu. “Biarlah si keledai tua beristirahat di sana. Rehat yang damai
setelah
belasan
tahun
pengabdian.
Biarlah..
“Keledaiku tersayang... Terimakasih atas persahabatan kita. kini
saaatnya
engkau
beristirahat.
Rehatlah dengan
tenang...”70 Mata sang petani basah dan dadanya sesak tangisnya tertahan. Tetapi dia mulai mengayunkan cangkul, setimbun demi
69
Ibid., hlm.185.
70
Ibid.
131
setimbun tenah meluncur ke dalam sumur. Si keledai marah ketika segenggam tanah pertama kali mengenai punggungnya. Ketika datang yang kedua tanah meluncur ke bawah sumur dia menghindar, tetapi kian lama dia makin tahu apa yang harus dilakukannya. Dia mengangkat kakinya, naik ke atas tiap timbun tanah yang jatuh ke dasar. Kadangkala ia harus bergerak ke kanan atau ke kiri, menghindari bongkahan tanah yang meluncur bertubitubi atau menggoyangkan tubuhnya kuat-kuat agar guyuran tanah yang menimpa punggungnya gugur ke bawah dan dia terus naik. Setiap kali ada tanah mengguyur turun dia naik ke atasnya, setiap kali ada bongkahan meluncur jatuh, dia naik dan terus naik. Hingga senja menjadi malam. Sang petani yang bersedih mengira bahwa dia telah berhasil menguburkan keledai kesayangannya. Dalam lelah dalam duka yang menyembilu hati dia berbaring di samping sumur. Sejenak memejamkan matanya menghayati gemuruh dalam dadanya. Diam-diam hatinya menggumamkan doa dan saat itulah sang keledai meloncati tubuhnya dengan ringkikan bahagia, keluar dari sumur tanpa kurang satupun.71 Itulah keajaiban baik sangka. Tugas seseorang adalah berbaik sangka, bahwa yang seringkali di anggap sebagai musibah mungkin saja bukanlah musibah itu sendiri. Bahwa yang seringkali di anggap sebagai penderitaan bisa jadi adalah pertolongan Allah 71
Ibid., hlm. 186.
132
dari jalan yang tidak kita sangka-sangka seperti kisah si petani tua dan keledainya. Dengan prasangka baik seseorang akan berharap bahwa kelak dikehidupan selanjutnya Allah akan menempatkannya disurga. Bahwa dalam hari-harinya yang akan datang akan menjalani kehidupan yang lebih bermakna dan bahagia. Karena dengan berprasangka baik seseorang akan menggantungkan mimpi dan menyusun rencana-rencana untuk masa depannya. Salim A. Fillah juga menceritakan kisah karya Imam Abu Hatim dalam karyanya Raudhatul „Uqala kisah seseorang yang baik sangka kepada sesamanya yaitu Thalhah ibn Abdillah Auf kisah ini terdapat pada bab Sebab Baik Sangka adalah Cermin Hasilnya kisahnya sebagai berikut: Pada suatu hari sang istri „Aisyah binti Abdillah ibn Muthi‟ Al-Aswad mengajaknya bicara. “Demi Allah hai suamiku,” keluhnya, “Aku tidak pernah menemukan orang yang lebih buruk sifatnya dari sahabatsahabatmu.” Thalhah agak terkejut mendengar kata-kata istrinya. “Demi Allah,” ujarnya, “Jangan sampai mereka mendengar katakata ini. Sifat buruk apakah yang kau itu, Sayang?” “Demi Allah, sifat buruk itu tampak sangat jelas.” “Apakali gerangan?” “Jika engkau dalam keadaan senang,” kata sang istri, “Mereka datang dan menemanimu. Namun jika engkau susah, mereka menjauhimu.” “Sebenarnya tidak seperti itu,” timpal Thalhah sambil tersenyum. “Aku justru melihatnya sebagai budi yang mulia.” “Apa maksudmu menganggapnya sebagai budi mulia?”
133
“Memang demikian,” tegas Thalhah. “Mereka hanya berkunjung disaat kita sedang mampu menjamu, mereka memahaminya. Saat kita sedang tidak sanggup menjamu, mereka memahaminya, lalu mereka tidak datang kemari.”72 Seperti sebuah puisi yang di tulis oleh Salim A. Fillah sebagai berikut: Sebab baik sangka adalah cermin hasilnya Hidup tidak dihitung dari jumlah nafas yang kita hirup Hidup ternilai dari beberapa kali napas terhenti karena takjub dan anehnya Keajaiban terjadi justru hanya memberi kejutan, pada mereka yang percaya.73 -Salim A. FillahAllah berfirman dalam Surah Al-Baqarah ayat 186:
ْةُ َد ْع َ٘جَاى ُّذاْٞةٌ اُ ِجٝ قَ ِشِّّٚ ِ فَاْٜ ِّْْ َعٛل ِعثَا ِد َ َٗ اِ َرا َسا َ ى َُ ْٗ َشْ ُش ُذٝ ٌْ َُّٖ ىَ َعيْٜ ِ ُْؤ ٍُِْ ْ٘ا تٞ َٗ ْىْٜ ِث ُْ٘ا ىْٞ َ ْسرَ ِجٞع اِ َرا َد َعا ُِ فَ ْي ِ Artinya : Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. Setelah Salim A. Fillah menguatkan dengan dalil al-Qur‟an beliau juga mengutip hadits Qudsi tentang yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah sebagai berikut:
72
Ibid., hlm.186-187.
73
Ibid., hlm. 182.
134
“Sesungguhnya Aku,” kata Allah dalam ujaran yang diriwayatkan Ibnu Majah, “Ada di sisi prasangka hambaKu pada diri-Ku,” “Aku bersamanya setiap kali dia mengingat-Ku. Jika dia mengingat-Ku di kala tiada kawan, maka Aku akan mengingatnya dalam kesendirian-Ku. Jika dia mengingatKu dalam suatu kumpula, niscaya Aku sebut-sebut dia dalam suatu kaum yang lebih baik daripada jama‟ahnya. Jika dia mendekat pada-Ku dalam jarak sejengkal, maka Aku mengakrabinya dengan beringsut sehasta. Jika dia mendekat kepada-Ku dalam jarak satu hasta, Aku akan menyambutnya dengan bergeser satu depa. Apabila dia datang kepada-Ku dengan berjalan, Aku akan datang padanya dengan berlari-lari kecil.”74 Dan di akhir paragraf Salim A. Fillah mengemukakan pendapatnya sebagai berikut: “Dalam
dekapan
ukhuwah,
ada
berjuta
kebaikan
mengiringi prsangka baik kita kepada-Nya. Dia setia bersama kita dan melimpahkan kebaikan, karena kita mengingat-Nya juga dengan sangkaan kebaikan.”75 Setelah melihat dan menganalisis buku Dalam Dekapan Ukhuwah dan melakukan penelitian tantang buku ini, maka dapat disimpulakn nilai pendidikan Islam yang terdapat dalam buku Dalam Dekapan Ukhuwah
adalah nilai-nilai pendidikan yang
berkaitan tentang agama. Dimana di buku Dalam Dekapan Ukhuwah ini menjelaskan beberapa nilai pendidikan Islam salah satunya tentang pendidikan akhlak.
74
Ibid., hlm. 172-173.
75
Ibid.
135
Pendidikan
akhlak
merupakan
pendidikan
yang
menerangkan sifat-sifat yang perlu diketahui oleh peserta didik. Karena sifat-sifat tersebut bersumber dari al-Qur‟an dan hadits. Dalam buku ini Dalam Dekapan Ukhuwah yang ditulis oleh Salim A. Fillah pendidikan akhlak yang baiknya seperti sifat sabar, sifat benar atau jujur, sifat adil, sifat syukur, sifat pemaaf dan sifat berbaik sangka (khusnudhan).
3. Pendidikan Keimanan (Akidah) Salim A. Fillah dalam buku Dalam Dekapan Ukhuwah pertama-tama mengajak kepada para pembacanya untuk menyimak pendapat
dari
Sayyid
Quthb
tentang
keimanan
(aqidah)
sebagaimana yang dikutip oleh beliau dalam buku ini untuk memberikan sedikit gambaran kepada para pembaca mengenai keimanan (akidah), pendapat dari Sayyid Quthb sebagai berikut: “Akidah (keimanan) itu memang ajaib!, ketika telah meresap ke dalam hati, ia akan menjadikan hati itu dipenuhi rasa cinta dan kasih sayang diantara sesamanya. Yang keras beralih menjadi lunak, yang kasar menjelma lembut, yang kering berubah menjadi basah dan yang liar menjadi jinak”.76 Karena keimanan merupakan kepercayaan yang meresap ke dalam hati dengan penuh keyakinan, tidak tercampur dengan keraguan, serta memberi pengaruh bagi kehidupan, tingkah laku dan kegiatan pemiliknya sehari-hari. Iman bukanlah semata-mata 76
Ibid., hlm. 22.
136
dengan lidahnya mengucapkan “Saya beriman” mengaku beriman tetapi hatinya tidak percaya dan kosong dari rasa kebaikan dan keikhlasan kepada Allah. Dengan kemikian maka pendidikan keimanan dapat dipahami sebagai perkara yang wajib diyakini kebenarannya oleh hati, mendatangkan ketentraman jiwa dan menjadi sebuah keyakinan pada seseorang.77 Menurut pendapat Syekh Hafizh Hakimi, iman adalah perkataan dan perbuatan, yaitu perkataan hati dan lisan, dan perbuatan hati, lisan serta anggota badan. Ia bertambah karena ketaatan dan berkurang karena kemaksiatan dan orang yang beriman itu bertingkat-tingkat keimanannya.78Seperti firman Allah dalam Q.S al-A‟raaf ayat 158:
ُ ْ ىَُٔ ٍُ ْيٛعًا اىَّ ِزْٞ َِ ُن ٌْ َجْٞ َّللا اِى ل ِ ّ َسسُْ٘ ُهْٜ َُِِّّّٖا اىَّْا طُ اٝ َآٝ ْقُو ّ ْد فَا َ ٍُِْْ٘ ا تِا ُ َِٞ َُٝٗ ِٜ ُْحٝ َ٘ ُٕ َّض ْلَ اِىََٔ اِْل ِٔ ِّللاِ َٗ َسسُْ٘ ى ِ اى َّس ََ َ٘ا ِ ْخ َٗاْلَّس َُ ْٗ ّللا َٗ َميِ ََرِ ِٔ َٗاذَّثِعُْ٘ ُٓ ىَ َعيَّ ُن ٌْ ذَ ْٖرَ ُذ ِ ّ ُْؤ ٍِ ُِ تِاٝ ْٛ اىَّ ِزِّٜ ٍِّ ُ ْاْلِٜ ِاىَّْث Artinya: “Katakanlah: "Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan RasulNya, nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah Dia, supaya kamu mendapat petunjuk".79(Q.S. al-A‟raaf: 158)
77
Yunahar Ilyas, Kuliah Aqidah Islam (Yogyakarta: LPPI, 2010), hlm. 4-5.
78
Syekh Hafizh Hakimi, 200 Tanya Jawab Akidah Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1998), hlm. 37. 79 Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 171.
137
Nabi Muhammad Saw. juga bersabda dalam sunnahnya sebagai jawaban terhadap malaikat Jibril ketika bertanya tentang iman sebagaimana yang dikutip oleh Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin dalam bukunya yang berjudul Prinsip-prinsip Dasar Keimanan sebagai berikut: “Iman adalah engkau mengimani Allah, para malaikatmalaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya,
rasul-rasul-Nya,
hari
kemudian dan mengimani takdir yang baik dan yang buruk”.(HR. Muslim).80 Serta dalam al-Qur‟an Q.S Al-mukminun ayat 1-11 sebagai berikut : “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusuk dalam shalatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang gyang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal yang tiada tercela, barang siapa yang mencari yang balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampui batas, dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya, dan orang-orang yang meemlihara shalatnya, mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi (yakni) yang akan mewarisi surga Firdaus mereka kekal di dalamnya.”81 Dalam pendapat lain Salim A. Fillah juga menguatkan pendapatnya supaya pembaca mempunyai banyak referensi tentang
80
Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-Utsmaini, Prinsip-prinsip Dasar Keimanan, (Jakarta: Megatama Sofwa Pressindo, 2003), hlm. 14. 81 Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 343.
138
makna keimanan yang beliau sampaikan dalam buku ini, yaitu menurut pendapat imam At-Tirmidzi sebagai berikut; “Iman itu bisa bertambah dan berkurang, bisa naik dan turun. Bertambah oleh sebab ketaatan dan berkurang karena kedurhakaan atau dengan kemaksiatan. Iman bisa disuburkan, dikokohkan dan dirindangkan. Namun jika lalai jadilah ia kering, layu bahkan bisa mati.”82 Allah Swt. berfirman dalam surat Thaha ayat 124 yang berbunyi sebagai berikut:
ًَ َْ٘ٝ ُٓض ْْ ًنا َّٗ َّحْ ُش ُش َ ً َشحْٞ ْ فَا ِ َُّ ىَُٔ ٍَ ِعٛض ع َِْ ِر ْم ِش َ َٗ ٍَ ِْ اَ ْع َش ََٚ َ ََ ِح اَ ْعِْٞاىق Artinya: “Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit.”83 (Q.S. Thaha: 124) Setelah pembaca disuguhkan dengan beberapa pengertian tentang keimanan, kemudian Salim A. Fillah menuliskan sebuah puisi Jawa ciptaan dari sultan Mangkunegara IV yang berbeda dari puisi-puisi yang lainnya yang Salim A. Fillah tuliskan di dalam bukunya ini sebagai berikut; “Kapati amarsudi, sudaning hawa lan nepsu, pinesu tanpa brata Tetapi ing siyang ratri, amemangun karyenak tyasing sesama” Berupaya sepenuh hati, demi terkendalinya hawa nafsu Beribadah siang dan malam, mencipta kenyamanan hati sesama84 82
Salim A. Fillah, op. cit., hlm. 37.
83
Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 321. Salim. A. Fillah, op. cit., hlm. 265.
84
139
-Mangkunegara IV, WedhatamaSeperti itulah puisi Jawa yang Salim A. Fillah tuliskan dalam buku ini yang berkaitan dengan keimanan. Selanjutnya para pembaca disajikan dengan kisah yang Salim A. Fillah tuliskan dalam buku ini sekaligus untuk meneladani kisah-kisah yang sangat inspiratif tentang keimanan, salah satunya cerita yang diangkat dari kisah khalifah Umar bin Al-Khaththab yang berjumpa dengan Ali bin Abi Thalib dan Hudzaifah bin AlYahman, kisah ini terdapat pada bab Dan Bersamalah di Sini ceritanya sebagai berikut: “Bagaimana keadaanmu pagi ini, wahai Hudzaifah?” tanya Umar. “Wahai Amirul Mukminin,” jawabnya, “Pagi ini aku mencintai fitnah, membenci al-haq, shalat tanpa berwudhu‟, dan aku memiliki sesuatu di muka bumi yang tidak dimiliki oleh Allah di langit” “Demi Allah,” kata Umar, “Engkau membuatku marah!” “Apa yang membuatmu marah, wahai Amirul Mukminin?” timpal Ali bin Abi Thalib “Tidaklah engkau dengar apa yang dikatakan Hudzaifah?” Hudzaifah terdiam, dan tersenyum pada Ali. “Wahai Amirul Mukminin,” kata Ali “Sungguh benar Hudzaifah, dan akupun seperti dirinya. Adapun kecintaannya kepada fitnah, maksudnya adalah harta dan anak-anak. Kemudian dikuatkan dengan ayat al-Qur‟an Q.S.AtTaghaabun (64): 15).
ٌاَِّّ ََا اَ ٍْ َ٘ا ىُ ُن ٌْ َٗاَْٗ ْلَ ُد ُم ٌْ فِ ْرَْح “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah fitnah cobaan” (Q.S. At-Taghaabun (64): 15). “Adapun kecintaannya terhadap al-haq, maksudnya adalah dia membenci kematian. Shalatnya yang tanpa wudhu itu adalah shalawat kepada nabi Muhammad Saw. adapun yang
140
dimilikinya di bumi dan tidak dimiliki oleh Allah di langit adalah istri dan anak.”85 Setiap muslim harus beriman kepada sang Khalik yaitu Allah Swt. dalam keadaan apapun dan dimanapun berada. Karena dengan keimanan hidup akan jauh dari kesengsaraan, kepedihan, kemurkaan dan kehinaan yang dijatuhkan kepada manusia dari Allah Swt. Selain itu Allah Swt. menurunkan ajaran-ajaran kepada para Rasul untuk setiap umat manusia sepanjang sejarah. Di antara ajaran-ajaran-Nya itu dicatat dalam sebuah kitab, sehingga setiap Rasul menerima risalah atau pelajaran yang akan disampaikan kepada umatnya. Sebelum kitab suci al-Qur‟an Allah Swt. telah menurunkan beberapa kitab suci kepada para Nabi dan Rasul-Nya, yang disebut dalam al-Qur‟an ada lima; tiga dalam bentuk kitab yaitu Taurat, Zabur dan Injil, dan dua dalam bentuk shuhuf yaitu shuhuf Ibrahim dan shuhuf Musa.86 Perlu diketahui, bahwa beriman kepada kitab-kitab samawi yang disebutkan di dalam al-Qur‟an merupakan salah satu rukun iman dan tuntutan Islam. Hanya saja, Allah tidak mewajibkan kita
85
Ibid., hlm. 74-75.
86
Yunahar Ilyas, op. cit., hlm. 133.
141
untuk mengimani apa yang ada di dalamnya secara terperinci, bahkan Allah menyebutkan keimanan kepadanya secara global.87 Kitab-kitab yang diturunkan sebelum kitab suci al-Qur‟an tidaklah bersifat universal seperti al-Qur‟an, tetapi hanya bersifat lokal untuk umat tertentu saja dan juga tidak berlaku untuk sepanjang masa. Oleh karena itu Allah Swt. tidak memberi jaminan terpelihara keasliannya atau keberadaan kitab-kitab tersebut sepanjang zaman sebagaimana Allah telah memberi jaminan terhadap al-Qur‟an sepanjang masa. Allah befirman dalam alQur‟an Q.S Shaad ayat 29 sebagai berikut:
ٌ لَ ٍُثَ َشْٞ َِمرَةٌ اَ ّْ َض ْىَُْٔ اِى ب ِ رَ َز َّم َش اُٗىُ٘ا ْاْلَ ْىثَاَٞ ِرِ ِٔ َٗىَٝ َ َذتَّشُْٗ آ اَٞ ِّك ى Artimya: “Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayatayat-Nya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.”88(Q.S. Shaad: 29) Kalangan ahlul ilmi mengatakan; “Membacanya, mengamalkannya, menjadikannya sebagai sumber hukum, dan mengambil istinbath darinya sudah merupakan berkah.”, seorang yang shalih juga berkata, “Aku pernah merasakan kesuntukan (yang hanya diketahui oleh Allah) dan dilanda keresahan. Maka, segera aku mengambil mushaf al-Qur‟an dan membacanya.Tiba-tiba kesuntukan itu lenyap, dan Allah menggantikan dengan kegembiraan dan keriangan.”Allah Swt.berfirman:89
87
Abdurahman an-Nahlawi, Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan Islam (Bandung: CV. Diponegoro, 1992), hlm. 137. 88 Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 456. 89 „Aidh al-Qarni, La Tahzan (Jakarta: Qisthi Press, 2008), hlm. 238-239.
142
Dapat diketahui bahwa keagungan al-Qur‟an sebagai kitab yang wajib diimani sangatlah di jaga oleh Allah Swt. Dimana alQur‟an sebagai kitab yang diturunkan Allah bisa memberikan petunjuk, cahaya dan penawar bagi hati yang merasa gundah, karena dengan membaca al-Qur‟an hati akan menjadi tenang.90
ًُ َ٘ اَ ْقَٜ ِٕ ْٜ ِْ ىِيَّرَٛ ْٖ ِذٝ َُاِ َُّ َٕ َزا ْاىقُشْ آ Artinya: “Sesungguhnya al-Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus.....”91 (Q.S. al-Isra‟: 9) Berikut ini adalah kisah tentang keimanan kepada kitab Allah yaitu al-Qur‟an sebagaimana Salim A. Fillah tuliskan dalam buku ini supaya para pembacanya meneladani kisah berikut yang dikutip dari Ibn Al-Arabi dalam Futuhat Al-Makiyah, kisahnya yaitu ketika seorang pemuda belia yang menemui seorang gurunya untuk melaporkan khatam al-Qur‟an yang ia baca dalam shalatnya, hingga pemuda itu tidak bisa membaca satu surat dalam al-Qur‟an yaitu surat al-Fatihah ketika keimanannya itu memuncak pada saat membaca al-Qur‟an, kisah ini terdapat pada bab Mewabahkan Hangat, kisahnya seperti berikut: “Wahai guruku,” ujarnya, “Semalam aku mengkhatamkan al-Qur‟an dalam shalat malamku” Sang guru tersenyum. “Bagus nak,” ujarnya. “Dan nanti malam tolong hadirkan bayangan diriku dihadapanmu saat kau baca al-Qur‟an itu, rasakanlah seolah-olah aku sedang menyimak apa yang engkau baca.”
90 91
Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-Utsmaini, op. cit., hlm. 43. Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 284.
143
Esok harinya, sang murid datang dan melapor pada gurunya. “Ya Ustadz,” katanya, “Semalam aku hanya sanggup menyelesaikan separuh dari al-Qur‟an itu.” “Engkau sungguh telah berbuat baik,” sang guru menepuk pundaknya. “Nanti malam lakukan lagi dan kali ini hadirkan wajah para shahabat Nabi yang telah mendengar al-Qur‟an itu langsung dari Rasulullah, bayangkan baik-baik bahwa mereka sedang mendengar dan memeriksa bacaanmu.” Pagi-pagi sang murid sudah menghadap dan mengadu. “Duh guru,” keluhnya, “Semalam bahkan hanya sepertiga al-Qur‟an yang dapat aku lafalkan.” “Alhamdulillah, engkau telah berbuat baik,” kata sang guru mengelus kepala si pemuda. “Nanti malam bacalah alQur‟an dengan lebih baik lagi, sebab yang akan hadir dihadapanmu untuk menyimak adalah Rasulullah Saw. sendiri, orang yang kepadanya al-Qur‟an diturunkan.” Seusai shalat Subuh, sang guru bertanya, “Bagaimana shalatmu semalam?” “Aku hanya mampu membaca satu juz guru,” kata si pemuda sambil mendesah, “Itupun dengan susah payah.” “Masyaallah,” kata sang guru sambil memeluk sang murid dengan bangga, “Teruskan kebaikan itu nak, dan nanti malam tolong hadirkan Allah Swt. dihadapanmu. Sungguh, selama inipun sebenarnya Allah-lah yang mendengarkan bacaanmu. Allah yang telah menurunkan al-Qur‟an. Dia pasti melihatmu, ingat baik-baik hadirkan Allah, karena Dia yang mendengar dan menjawab apa yang kau baca!” Keesokan harinya, ternyata pemuda itu jatuh sakit. Sang gurupun menjenguknya. “Ada apa denganmu?” tanya sang guru. Sang pemuda berlinang air mata. “Demi Allah, wahai guru,” ujarnya, “Semalam aku tak mampu menyelesaikan bacaanku. Cuma Al-Fatihahpun tak sanggup aku menamatkannya. Ketika sampai pada ayat, “Iyyaka na‟budu wa iyyaka nasta‟iin” lidahku kelu, aku merasa aku sedang berdusta. Di mulut aku ucapkan “Kepada-Mu ya Allah, aku menyembah”, tetapi jauh di dalam hatiku aku tahu bahwa aku sering memperhatikan yang selain Dia. Ayat itu tak mau keluar dari lisanku. Aku menangis dan tetap saja tak mampu menyelesaikannya.” “Nak..,” kata sang guru sambil berlinang air mata, “Mulai hari ini engkaulah guruku. Dan sungguh aku ini muridmu. Ajarkan padaku apa yang telah kau peroleh, sebab meski
144
aku membimbingmu di jalan itu, aku sendiri belum pernah sampai pada puncak pemahaman yang kau dapat hari ini.”92 FirmanAllah Swt. dalam surat an-Nahl ayat 97 sebagai berikut:
ًَ٘جََُّْٞٔ َحِٞٞ ْ َُٕٗ َ٘ ٍُ ْؤ ٍِ ٌِ فَيَُْحَٚصا ىِحًا ٍِّ ِْ َر َم ٍش اَْٗ ا ُ ّْث َ ٍَ ِْ َع َِ َو َُ َُْ٘ ْع ََيٝ ََُّْٖ ٌْ اَجْ َشُٕ ٌْ ِتاَحْ َس ِِ ٍَا َما ُّْ٘ اِّٝثَحً َٗىََْجْ ِضَٞط Artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”93(Q.S. an-Nahl: 97) Dan dijelaskan pula maksud kehidupan yang baik (hayatan thayyibah) dalam ayat ini adalah ketenangan jiwa mereka dikarenakan janji baik Rabb mereka, keteguhan hati mereka dalam mencintai Dzat yang menciptakan mereka, ketenangan mereka dalam menghadapi setiap kenyataan hidup, kerelaan hati mereka dalam menerima dan menjalani ketentuan Allah, dan keikhlasan mereka dalam menerima takdir. Dan itu semua adalah karena mereka benar-benar yakin dan tulus menerima bahwa Allah adalah
92
Salim A. Fillah, op. cit., hlm. 345-347.
93
Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 279.
145
Rabb mereka, Islam agama mereka dan Muhammad adalah nabi dan rasul yang diutus Allah untuk mereka.94 Dari uarian di atas juga dapat diartikan bahwa selain mengimani Allah, sebagai orang muslim harus mengimani para Nabi dan Rasul. Hal ini juga dinyatakan oleh Allah Swt. dalam firmanNya surat an-Nahl ayat 36 sebagai berikut:
ّ ُموِّ ا ُ ٍَّ ٍح َّسسُْ٘ ْلً اَ ُِ ا ْعثُ ُذ ٗاْٜ َِٗىَقَ ْذ تَ َع ْثَْا ف ّللاَ َٗاجْ رَِْثُ٘ اا ىََّؤ ُوْ٘ خ Artinya: “Dan sungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu….”95 (Q.S. an-Nahl: 36) Seperti kisah berikut yang Salim A. Fillah tuliskan dalam buku ini yang terdapat pada bab Sebatang Pohon Kurma. Kisah tentang keimanan kepada kitab Allah sekaligus keimanan kepada para Rasul Allah, kisah tentang Husnain seorang ahli Taurat yang sangat menunggu kedatangan Nabi Muhammad Saw. kisahnya seperti berikut: Lembar-lembar
Taurat
yang
dibacanya
setiap
hari
membuka matanya tentang rahasia kecil mengapa kaumnya berduyun-duyun menghuni Yastrib sejak beberapa generasi lalu. Nabi terakhir itu akan muncul disebuah negeri yang terletak diantara dua bukit yang ditumbuhi pohon-pohon kurma.
94 95
Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-Utsmaini, op. cit., hlm. 27. Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 271.
146
Dan Husnain ibn Salam terus mengkaji Tauratnya. Hingga dia paham sang nabi akan muncul di Yastrib. Tanda-tanda sang nabi, ciri-ciri zhahir maupun batinnnya tergambar jelas, dan bahkan namanya tersurat terang. “Ahmad” yang terpuji, dan kabarnya beliau, yang kata orang-orang Aus dan Khazraj bernama Muhammad. Maka sejak saat itu setiap hari dia memanjat batang kurma di ujung kota. Mata awasnya menyapu sejauh cakrawala. Di manakah dia, sang juru selamat yang dirindukan seluruh manusia? Di mana? Bibinya yang cerewet selalu menegurnya dan menggasruk punggungnya dengan cambuk panjang tiap kali dia di atas pohon. “Turun kau Hushain! Apa yang kau lakukan?” “Nabi itu akan datang Bibi! Aku tahu itu akan datang!” “Turunlah, atau aku pukuli kau dengan cambuk ini hingga jatuh!” “Tidak Bibi, sang Mesiah akan datang! Dia penyelamat dan pembimbing kaum kita, juga seluruh ummat manusia. Namanya Muhammad. Dia datang dari arah Makkah! Dia akan kemari Bibi. Dia akan ke Yatsrib! Ugh, sakit!” “Bicara omong kosong apa kau ini? Turunlah atau aku akanterus memukulimu!”96 Begitulah setiap hari Hushain menanti sang nabi dengan punggung dipukul bertubi-tubi dan kaki yang menjejak-jejak berusaha bertahan diketinggian batang kurma. Setiap hari bibinya makin bosan membujuknya turun dan setiap hari semakin banyak
96
Salim A. Fillah, op. cit., hlm. 32.
147
penduduk Arab Yatsrib menyertainya menanti di antara jajaran rimbun tanaman kurma. Hingga suatu hari dari arah Tsaniyatul Wada‟ kepul-kepul debu dilihatnya menjelang kemunculan unta putih yang begitu gagah. Itukah unta yang masyhur bernama al-Qashwa? Itukah nabi Muhammad yang menunggangnya? Ya! Itu beliau, Shallallaahu „Alaihi wa Sallam! Maka Hushain berteriak senyaring yang dia bisa, “Wahai orang-orang Arab, itulah dia nabi yang dijanjikan Allah dalam Taurat dan Injil! Bahagialah orang-orang yang memebela dan menolong risalahnya, binasalah mereka yang menentangnya! Wahai bani Israil, wahai bani Auf, wahai bani Nadzir, wahai Qainuqa‟, wahai Quraizhah, wahai sekalian kaumku orang Yahudi, inilah juru selamat yang dijanjikan untuk kalian!”97 Sementara Hushain terus berteriak-teriak, para wanita Yatsrib mulai bersenandung; Kepada kita telah terbit purnama Dari arah Tsaniyatul Wada‟ Niscayala rasa syukur atas kami Selama ini belum ada penyeru di tanah ini Duhai kau yang diutus pada kami Kau datang dengan urusan yang ditaati Kehadiranmu memuliakan kota ini Selamat datang duhai sebaik-baik petunjuk jalan Di antara yang paling menarik perhatian nabi Muhammad adalah seorang pemuda yang bergegas turun dari batang kurma untuk menyongsongnya. Hushain ibn Salam, masih dalam pakaian 97
Ibid., hlm. 35.
148
rabinya yang berwarna hitam berumbai-umbai dihiasi pernakpernik perak dan sebuah kopiah kecil menempurungi kepalanya, segera menyambut sang nabi Muhammad. Hushain mencium tangan beliau dan berkata; “Asyhadu an laa ilaaha illallaah, wa annaka Rasulullah, aku bersaksi tiada sesembahan selain Allah dan engkaulah utusan Allah!” “Siapa namamu hai pemuda mulia?” tanya nabi Muhammad sambil tersenyum dan menepuk-nepuk bahunya” “Hushain ya Rasulullah. Hushain ibn Salam” “Bukan. Tetapi namamu adalah „Abdullah. „Abdullah ibn Salam wahai anak keturunan Harun! Engkau kini saudaraku dalam iman!”98 Maka Hushain pada waktu itu mendapatkan nama baru sekaligus persaudaraan dengan nabi Muhammad. Beberapa waktu sebelum bertemu Rasulullah beliau adalah seorang rabi muda Yahudi, kemudian setelah bertemu dengan Rasulullah beliau adalah seorang Muslim yang terikat oleh persaudaraan oleh aqidah. Dia segera berkenalan dengan Bilal, bekas budak negro dari Habasyah, Salman si pengembara dari Persia juga Shuhaib dari Romawi.99 Makna beriman kepada Rasul yaitu membenarkan dengan sepenuh hati bahwa Allah Swt. telah mengutus pada setiap umat seorang Rasul yang menyeru mereka untuk beribadah kepada Allah yang Maha Esa dan mengingkari semua sembahan selainAllah.
98
Ibid.
99
Ibid., hlm. 35-36.
149
Seorang muslim wajib beriman kepada seluruh Nabi dan Rasul yang telah diutus oleh Allah Swt. Apalagi kita sebagai umat Islam wajib mempercayai dan mengimani bahwa Nabi Muhammad itu adalah Nabi sekaligus Rasul yang terakhir yang diutus oleh Allah dari seluruh rangkaian Nabi dan Rasul. Setelah pembaca disuguhkan tentang keimanan kepada Allah, Kitab-kitab Allah, Rasul-rasul Allah kemudian pembaca dipaparkan dengan keimanan yang lain yaitu iman kepada takdir (Qadha dan Qadar). Allah Swt. Seperti firman Allah dalam surat Q.S al-Hadid ayat 22 dan Q.S. at-Taubah ayat 51yaitu:
ِْ ٍِّ ة ٍ َ ِمرْٜ ِ اَ ّْفُ ِس ُن ٌْ اِ ّْلَ فْٜ ِض َْٗلَف َ صا َ ٍََآ ا ِ ٍُّ ِْ ٍِ ب ِ ْ ْاْلَسِٚصثَ ٍح ف قَ ْث ِو اَ ُْ َّّ ْث َشإََا Artinya: “Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam
kitab
(Lauhul
Mahfuzh)
sebelum
Kami
menciptakannya…..”100(Q.S. al-Hadid: 22)
ّ ة َ ّ ُّصثََْآ ََِّللاُ ى َ َاْل ٍَا َمر ِ ٝ ِْ َّقُوْ ى Artinya: “Katakanlah: "Sekali-kali tidak akan menimpa Kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami….”101(Q.S. at-Taubah: 51)
100 101
Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 541. Ibid., hlm.196.
150
Berikut adalah sebuah kisah yang Salim A. Fillah tuliskan dalam buku ini yang terdapat pada bab Yakinlah dan Pejamkan Mata. Kisah tentang keimanan kepada takdir Allah, yaitu pasrah hanya kepada Allah dan yakin bahwa apa yang akan terjadi semuanya sudah diatur oleh kehendak-Nya. kisahnya seperti berikut: Di padang Badar yang tandus dan kering, semak durinya yang memerah dan langitnya yang cerah, sesaat kesunyian mendesing dua pasukan telah berhadapan. Tidak seimbang jumlah antara pasukan Muslimin dan kaum kafir Quraisy. Pada waktu itu Nabi berdoa : “Jika Kau biarkan pasukan ini binasa, Kau tak akan disembah lagi di bumi!Ya Allah, kecuali jika Kau memang menghendaki untuk tak lagi disembah di bumi!” Gemetarlah bahu para sahabat mendengarnya dan selendang di pundaknya pun luruh seiring gigil yang menyesakkan, dan Abu Bakar mendekati Rasulullah “Sudahlah Ya Rasulullah,” bisiknya sambil mengalungkan kembali selendang sang nabi, “Demi Allah, Dia takkan pernah mengingkari janji-Nya kepadamu!”.102 Kemudian dikuatkan dengan ayat al-Qur‟an Al-Baqarah (2) : 214).
َّ ٍَ َّس ْرُٖ ٌُ ْاىثَؤْ َسآ ُء َٗاى َِ آْٝ َقُْ٘ َه اى َّش سُْ٘ ُه َٗاىَّ ِزٝ َّٚضشَّآ ُء َٗ ُص ْى ِضىُْ٘ ا َحر ُّللا ِ َّ َّصْ شٍََُْْٚ٘ ا ٍَ َعُٔ ٍَر “Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan dengan aneka ujian sampai-sampai berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman kepadanya, „Bilakah datangnya pertolongan Allah?‟” (Q. S. Al-Baqarah (2) : 214). 102
Salim A. Fillah, op. cit., hlm. 48-49.
151
Begitulah keyakinan orang-orang yang percaya kepada takdir Allah. “Jika ini perintah Ilahi, Dia takkan pernah menyianyiakan iman dan amal kami”103 Telah dijelaskan di atas bahwa semua segala yang telah dilakukan oleh kita merupakan sudah kehendak Allah Swt. dan semua bencana, karunia, ujian dan peristiwa itu sudah ditakdirkan oleh Allah. Untuk itu kita sebagai umat Islam harus mengimani takdir Allah yang sudah dituliskannya untuk umat manusia. Allah Swt. mengatur segala sesuatu dengan kebijaksanaan dan kehendak-Nya. Apa saja yang terjadi di alam semesta, berjalan sesuai dengan kehendak Allah dan mengikuti peraturan-peraturan yang telah ditetapkan-Nya. Allah Swt. mengetahui apa saja yang akan terjadi atas segala sesuatu. Dan di akhir kisah, Salim A. Fillah menuliskan sebuah nasehat kepada para pembacanya sebagai berikut: “Dalam dekapan ukhuwah, jika ada perintah-Nya yang berat bagi kita, mari pejamkan mata untuk menyempurnakan keterhijaban kita. Lalu kerjakan, mengerja sambil memejam mata adalah tanda bahwa kita menyerah pasrah pada Tangan-Nya yang menulis takdir kita. Tangan yang menuliskan perintah sekaligus mengatur segalanya jadi indah. Tangan yang menuliskan musibah dan kesulitan sebagai sisipan bagi nikmat dan kemudahan. Tangan yang mencipta kita dan pada-Nya jua kita akan pulang.”104
103
Ibid., hlm. 51.
104
Ibid., hlm. 52.
152
Maka setiap muslim harus beriman kepada sang Khalik yaitu Allah Swt. dalam keadaan apapun dan dimanapun berada. Karena dengan keimanan hidup akan jauh dari kesengsaraan, kepedihan, kemurkaan dan kehinaan yang dijatuhkan kepada manusia dari Allah Swt. Setelah melihat dan menganalisis buku Dalam Dekapan Ukhuwah ini maka dapat disimpulkan nilai pendidikan keimanan yang terdapat dalam buku Dalam Dekapan Ukhuwah adalah apa yang wajib diimani oleh umat Islam, yang diantaranya iman kepada Allah Swt., iman kepada kitab-kitab-Nya, iman kepada Nabi dan Rasul-Na dan iman kepada takdir (Qadha dan Qadar).