BAB IV LAPORAN DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
A. Laporan Hasil Penelitian 1. Sosiografi Pengadilan Negeri Kelas IA Bandung Gedung Pengadilan Negeri Kelas IA Bandung asal mulanya adalah hak milik Eigendom Nomor Perpoding 3612, Surat ukur tanggal 30 Juli 1919 Nomor 487, dengan luas Persil 11.190 m2 dan luas bangunan yang dipakai gedung 2.363 m2 yang dibeli pada tanggal 29 Desember 1960 dihadapan Notaris Mr. Phoe Yan Loo, Notaris pengganti Nn. Lie Kwee Nio dengan SK. Pengadilan Negeri Kelas IA Bandung tanggal 30 November 1960 Nomor 370/60/Reg/P.N. Kemudian dibangun gedung bertingkat di areal yang masih kosong dengan mendapat nomor masing-masing Nomor Jl. L.L.R.E Martadinata Nomor 76 dan 78 bandung yang dipergunakan untuk: a. Gedung bertingkat Jl. L.LR.E. Martadinata Nomor76 1) Ruang sidang utama (lantai II) 2) Ruang perkantoran (lantai I). b. Gedung Bertingkat Jl. L.LR.E. Martadinata Nomor78 1) Ruang Panitera Pengganti (lantai II) 2) Ruang Sidang (lantai I) Selain itu, yang berhubungan dengan gedung kantor Pengadilan Negeri Kelas IA Bandung ada beberapa hal yang perlu diketahui yaitu dengan diserahkannya sebagian daerah hukum Pengadilan Negeri Kelas IA Bandung
87
kepada Pengadilan Negeri Bale Bandung berdasarkan surat Keputusan Menteri Kehakiman Tanggal 8 Maret 1983 Nomor M.03.A.T.01.01 Tahun 1983. Pengadilan Negeri Kelas IA Bandung merupakan salah satu bangunan tua di Kota Bandung karena keberadaannya hampir sama dengan keberadaan dan perkembangan Kota Bandung, apabila dilihat dari struktur bangunan utamanya terlihat arsitektur Eropa karena memang di bangun pada masa kolonial Belanda, meskipun saat ini banyak renovasi dan bangunan tambahan tapi sentuhan arsitektur Eropa masih terlihat. Kedudukan Pengadilan Negeri Kelas IA Bandung dalam struktur pengadilan Indonesia adalah sebagai pengadilan tingkat terendah dari peradilan umum di bawah Pengadilan Negeri Jawa Barat dan Pengadilan Tinggi Jawa Barat. Pengadilan Negeri Kelas IA Bandung mempunyai kewenangan untuk mengadili setiap perkara baik pidana maupun perdata di wilayah Kota Bandung. Di dalam Undang-undang Kekuasaan Kehakiman Nomor 4 Tahun 2004 pasal 10 ayat (1), disebutkan bahwa “kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang berada di bawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.
Ayat (2):
“Badan
Peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi Badan Peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara”.
88
Untuk memperoleh gambaran mengenai dasar-dasar pertimbangan pembentukan kantor Pengadilan Negeri Kelas IA Bandung, diawali dengan memberikan pandangan-pandangan mengenai asal mula terbentuknya suatu pembinaan Badan Peradilan sejak pemerintahan Hindia Belanda, termasuk ruang lingkup Departemen Kehakiman. Hal ini dilanjutkan pada awal kemerdekaan, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 1954, tentang: Organisasi Departemen antara lain tercantum jawatan peradilan dan berlangsung tahun 1965. Pembinaan di bawah Sekertariat Jendral pada tahun 1965 dengan Keputusan Menteri Kehakiman Nomor JS 4/4/24 tanggal 27 Januari 1965 dibentuk Direktorat urusan peradilan dengan keputusan Presidium Kabinet Nomor 75/UKRP/1966 di Departemen Kehakiman dibentuk Direktorat Jenderal Pembinaan Badan Peradilan dan Perundang-undangan yang salah satunya Dinas Pembinaan Peradilan. Dirasakan adanya suatu hambatan kemajuan bidang pelayanan terhadap badan peradilan sehingga timbul gagasan bahwa sebaiknya mengenai persoalan menyangkut peradilan ditandatangani oleh Mahkamah Agung (MA) sebagai satu kesatuan. Maka dalam pembicaraan soal tersebut sebagai jalan keluarnya IKMI mencetuskan gagasan untuk keperluan melayani badan-badan peradilan sebaiknya dibentuk salah satu Direktorat Jenderal tersendiri pada Depertemen dengan Keputusan Presiden Nomor 13 Tahun 1969, maka lahirlah Direktorat Jenderal pembinaan badan-badan peradilan.
89
Kemudian dalam membahas pasal 11 ayat (1) Undang-undang Nomor 19 tahun 1954, yang dirasakan sudah tidak sesuai lagi, untuk mengatasi perbedaan pendapat mengenai wewenang Mahkamah Agung (MA) atau Departemen
Kehakiman
untuk
mengatasi
masalah-masalah
administrasi/organisasi/Finansial adalah merupakan Besturdad, maka dicapai suatu Konsensus DPR RI dengan Keputusan Presiden Nomor 54 Tahun 1974, Direktorat Jederal Pembinaan Badan Peradilan Umum. a. Tahun 1970 Direktorat Jenderal Pembinaan Badan-badan Peradilan yang lahir pada tahun 1970 adalah salah satu unit kerja pada Depertemen Kehakiman yang sama kedudukannya dengan Direktorat Jenderal lainnya b. Tahun 1982 Organisasi Direktorat Jenderal Pembinaan Peradilan yang lahir pada tahun 1970, Badan Peradilan Umum mengalami perubahan lagi. Berdasarkan keputusan Menteri Kehakiman Nomor 02.PR.07.02/1982, tanggal 13 Februari tahun1982, tentang: Organisasi dan tata kerja Direktorat Jenderal Badan Peradilan yang lalu hanya mempuyai satu kesekertariatan dan dua Direktorat, kemudian di tingkatkan lagi menjadi tiga Direktorat. Sebelumnya terwujud Direktorat Jenderal Pembinaan Peradilan Umum Badan-badan tingkat pertama sampai dengan tingkat terakhir belum mempunyai garis kebijkan yang jelas, tercermin dengan tidak adanya ketentuan-ketentuan yang dapat dipakai sebagai patokan (standar) dalam membina
badan-badan
Yudikatif
90
tersebut.
Pada
realitas
yang
ada
penggunaannya dilakukan secara tambal sulam dan tidak mempunyai program rencana pembinaan yang tegas baik di bidang organisasi/administrasi/ finansial. Maka setelah terwujudnya Direktorat Jenderal Pembinaan Badan Peradilan Umum mulai disusun perencanaan pola-pola pelaksanaannya. Diawali pada tahun 1975, Menteri Kehakiman pada waktu itu dijabat oleh Prof. Dr. Muchtar Kusumaatmadja menentukan nama pimpinan peradilan dengan nama ‘Panitia Penyempurnaan Pembinaan Peradilan’ pada bulan April 1974 yang anggotanya terdiri dari unsur-unsur Departemen Kehakiman, Mahkamah Agung dan Ilmu Pengetahuan. Dalam hal ini ekuitas panitia dipakai sebagai landasan kerja, rumusan/data yang disimpulkan oleh Rapat Kerja Pengadilan Tinggi seluruh Indonesia dengan Departemen Kehakiman. Kemudian perencanaan-perencanaan pola tersebut dilanjutkan pada Bulan Maret Tahun 1975 dengan tema ‘pemikiran tentang pola-pola penyempurnaan peradilan’. Perubahan atau perbaikan ini diterima dan disahkan oleh rapat kerja, dengan maksud untuk lebih memantapkan pola-pola tersebut bagianbagian yang menyangkut wewenang Mahkamah Agung (MA).
2. Visi dan Misi Pengadilan Negeri Kelas IA Bandung a. Visi Pengadilan Negeri Kelas IA Bandung adalah mewujudkan supremasi hukum melalui kekuasaan kehakiman yang mandiri, efektif, efisien serta mendapatkan kepercayaan publik, professional dan memberikan pelayanan hukum yang berkwalitas, terjangkau, biaya murah bagi masyarakat.
91
b. Misi Pengadilan Negeri Kelas IA Bandung: 1) Mewujudkan rasa keadilan sesuai Undang-undang dan peraturan 2) Mewujudkan peradilan independen bebas campur tangan 3) Memperbaiki asas pelayanan di bidang peradilan 4) Memperbaiki input internal, proses peradilan 5) Institusi peradilan yang efektif 6) Tidak memihak dan transparan.
3. Kedudukan, Tugas Pokok dan Fungsi Pengadilan Negeri Kelas IA Bandung a. Kedudukan Pengadilan Negeri Kelas IA Bandung Kedudukan Pengadilan Negeri Kelas IA Bandung: 1) Secara administrasi, Pengadilan Negeri Kelas IA Bandung berada di bawahh kantor wilayah Depertemen Hukum dan HAM serta perundang-undangan dengan pimpinan tertingginya adalah Menteri Hukum dan HAM serta perundang-undangan. 2) Secara perkara, apabila terjadi ketidakpuasan di Pengadilan maka dapat langsung mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Tinggi akan memutuskan sebagai berikut: a) Menambah hukuman dari hasil keputusan Pengadilan Negeri b) Tetap dari keputusan Pengadilan Negeri c) Menguatkan Keputusan Pengadilan Negeri d) Mengurangi hukuman dari keputusan Pengadilan Negeri
92
e) Menolak berkas perkara banding.
b. Tugas Pokok dan Fungsi Pengadilan Negeri Kelas IA Bandung Tugas pokok dari Pengadilan Negeri Kelas IA Bandung adalah menangani masalah/perkara hukum, adapun hal-hal yang ditanganinya adalah sebagai berikut: 1) Perkara Perdata, seperti: a) Masalah Kewarganegaraan b) Catatan Sipil c) Badan-badan Hukum: PT, CV dan sebagainya d) Pengawasan Notaris e) Pelaksanaan Keputusan Perdata (eksekusi), dan sebagainya. 2) Perkara Pidana, seperti: a) Tilang b) Penyelundupan c) Pencurian d) Pembunuhan e) Korupsi f) Subversi g) Grasi, dan sebagainya. Fungsi Pengadilan Negeri Kelas IA Bandung adalah merumuskan kebijaksanaan teknis, ketatalaksanaan urusan statistik perkara pidana dan
93
perkara perdata serta membina dan melakukan dokumentasi peradilan. Menurut Undang-undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum.
4. Organisasi Pengadilan Negeri Kelas IA Bandung Struktur organisasi pada Pengadilan Negeri Kelas IA Bandung memiliki bentuk atau tipe lini dan staf. Namun sebelum penulis menyampaikan hierarki dalam strutur organisasi, ada baiknya penulis terlebih dahulu mengungkapkan beberapa ciri organisasi Pengadilan Negeri Kelas IA Bandung sebagai berikut: a. Pucuk pimpinan masih dipegang oleh satu orang ditambah dengan bantuan staf. b. Ada dua macam wewenang yakni: 1) Wewenang lini (line authority) merupakan wewenang yang bersifat langsung dalam mencapai tujuan organisasi. Dimiliki oleh Top Manager yang mempunyai kekuasaan umum dalam mengambil keputusan. 2) Wewenang staf (staff authority) yakni wewenang yang bisa dimiliki oleh para staf yang sifatnya membantu Top Manager. c. Spesialisasi tugas sudah mulai tugas. d. Solidaritas cukup tinggi meski jumlah pegawai cukup banyak. Berikut adalah susunan hirarki yang ada pada Pengadilan Negeri kelas IA Bandung, terdiri atas : a. Ketua Pengadilan Negeri Kelas IA Bandung
94
b. Wakil Ketua Pengadilan Negeri Kelas IA Bandung c. Hakim d. Panitera/Sekretaris Panitera membawahi wakil panitera: 1) Sub kepaniteraan Perdata 2) Sub kepaniteraan Pidana 3) Sub Kepaniteraan Hukum Sekretaris membawahi wakil sekretaris: 1) Sub bagian Kepegawaian 2) Sub bagian Keuangan 3) Sub bagian Umum e. Pejabat fungsional non struktural membawahi: 1) Panitera pengganti 2) Juru sita Sebagaimana disebutkan di atas, dalam ciri Organisasi Pengadilan Negeri kls IA Bandung poin ke 3 ‘Spesialisasi tugas sudah jelas’. Maka di bawah ini akan diuraikan tugas (job description) yang akan menguatkan poin tersebut: a. Ketua Pengadilan Negeri kls IA Bandung, bertugas untuk: 1) Menetapkan rencana kerja Pengadilan Negeri 2) Melakukan koordinasi pelaksanaan tugas Departemen Kehakiman yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri 3) Mengkoordinasikan pendistribusian perkara
95
4) Mengkoordinasikan dan melaksanakan pengawasan pelaksanaan eksekusi 5) Melakukan pengawasan terhadap notaris dan pengacara b. Wakil ketua Pengadilan Negeri kls IA Bandung, bertugas untuk: 1) Membantu ketua dalam menetapkan rencana kerja 2) Membantu ketua dengan melaksanakan pengawasan terhadap notaris dan pengacara 3) Membantu ketua dengan melasanakan tugas Departemen kehakiman yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri 4) Membina ketata usahaan di lingkungan Pengadilan Negeri 5) Melakukan pembinaan Pegawai di lingkungan Pengadilan Negeri c. Hakim, bertugas untuk: 1) Memeriksa dan mengadili perkara-perkara seperti; perkara pidana, perkara perdata dan tilang 2) Melakukan pengawasan ke dalam dan ke luar Organisasi, pengawasan keluar yakni terhadap notaris, Lembaga Permasyarakatan (LP), serta Rumah Tahanan Negara (Rutan). Sedangkan pengawasan ke dalam yakni
melakukan
pengawasan
terhadap
sub-sub
bagian
organisasi/instansi, seperti: Sub bagian Pidana, Sub bagian Perdata, Sub bagian kepegawaian, Sub bagian keuangan. d.
Panitera/Sekertaris, mempunyai tugas memberi pelayanan administrasi secara umum kepada semua unsur di lingkungan Pengadilan Negeri. 1) Wakil Panitera, terdiri atas:
96
a) Sub kepaniteraan pidana, bertugas untuk menangani arsip-arsip pidana b) Sub kepaniteraan perdata, bertugas menangani arsip-arsip perdata c) Sub kepaniteraan hukum, bertugas untuk menangani arsip pidana dan perdata 2) Wakil Sekretaris, terdiri atas: a) Kepala Sub bagian kepegawaian, bertugas untuk: (1) Memimpin sub bagian kepegawaian (2) Mengelola, mengarahkan, melayani hal-hal ynag berkaitan dengan kepegawaian (3) Melaksanakan administrasi kepegawaian b) Staf I memiliki tugas seperti: (1) Menyelesaikan masalah pensiun (2) Menyelesaikan kartu Pegawai (3) Menyelesaikan masalah taspen (4) Membuat kartu pengenal (5) Menyelesaikan tugas yang diberikan oleh sub bagian kepegawaian c) Staf II memiliki tugas seperti: (1) Membuat daftar urut kepangkatan (DUK) (2) Menyelesaikan kenaikan gaji berkala (3) Menyelesaikan akses
97
(4) Melaksanakan
tugas
yang
diberikan
oleh
kasubag
kepegawaian d) Staf III memiliki tugas seperti: (1) Membuat daftar penilaian pelaksanaan pekerjaan (DP3) (2) Melengkapi file hakim (3) Menyelesaikan kenaikan pangkat (4) Melengkapi papan data hakim (5) Melaksanakan tugas dari kasubag kepegawaian e) Honorer I memiliki tugas seperti: (1) Menyelesaikan permohonan cuti (2) Menyelesaikan administrasi (3) Melengkapi papan data Pegawai (4) Membenahi papan tanda pengenal (5) Melaksanakan tugas yang diberikan kasubag kepegawaian f) Honorer II memiliki tugas seperti: (1) Menyelesaikan SPMJ (Surat Pernyataan Menduduki Jabatan) (2) Mempersipkan kelengkapan pelaksanaan sumpah (3) Melengkapi file Pegawai (4) Membuat surat-surat (5) Melaksanakan tugas yang diberikan kasubag kepegawaian Secara umum tugas dari Sub Bagian di Pengadilan Negeri Kelas IA Bandung dapat diuraikan seperti di bawah ini: a. Sub Bagian Kepegawaian
98
1) Mengusulkan kenaikan pangkat atau pengangkatan Pegawai Negeri sipil 2) Mengusulkan jabatan-jabatan 3) Membuat surat keputusan kenaikan gaji berkala 4) Menangani masalah cuti dan absensi 5) Mengurus mutasi dan pensiun 6) Membuat Daftar Urut Kepangkatan 7) Membuat Daftar Penilaian pelaksanaan pekerjaan b. Sub Bagian Keuangan 1) Mengelola anggaran rutin setiap tahun 2) Membuat daftar gaji c. Sub Bagian Umum 1) Memelihara alat-alat kantor/inventaris 2) Menangani surat-surat masuk 3) Memberi register surat keluar d. Pejabat fungsional dan non struktural, terdiri dari: 1) Panitera Pengganti, mempunyai tugas: a) Mendampingi hakim dipersidangan b) Membuat hasil-hasil persidangan untuk dibuat berita acara 2) Juru Sita mempunyai tugas: a) Melaksanakan penyitaan; terdiri dari jaminan, eksekusi dan refindikatur
99
b) Melaksanakan panggilan-panggilan seperti: panggilan sidang dan panggilan teguran Adapun struktur organisasi darai Pengadilan Negeri Kelas IA Bandung dapat digambarkan sebagai berikut: Gambar 4.1 Struktur Organnisasi Pengadilan Negeri Kelas IA Bandung Ketua Wk. Ketua Hakim Panitera/Sekretaris H. Adi Wahyono R, S.H
Wakil Panitera Ny. Rina Pertiwi, S.H
Panitera Muda Perdata Ridwan Nurdin, SH
Panitera Muda Pidana Dodi Hermayadi, SH
Wakil Sekretaris Dra. Emma Abbas
Panitera Muda Hukum H. Sirod Somantri, SH
Kasubag K.P Wawan Setiawan, SH
Kasubag Umum Drs. Yoyo
Panitera Pengganti
Juru Sita
Keterangan
Kasubag KU Dasril
:
Garis Tanggung Jawab Garis Koordinasi
(sumber : profil Pengadilan Negeri Kelas IA Bandung) Struktur organisasi yang telah dijelaskan di atas, menggambarkan adanya koordinasi yang baik antara ketua Pengadilan Negeri Kelas IA
100
Bandung. Setiap orang di dalam jabatannya mempunyai tanggung jawab masing-masing yang apabila dengan sungguh-sungguh melaksanakan tanggung jawabnya maka kinerja yang baik akan tumbuh di Pengadilan Negeri Kelas IA Bandung.
5. Hasil Wawancara Berdasarkan Hasil Penelitian melalui wawancara dilapangan, maka penulis akan mengungkapkan temuan-temuan yang diperoleh dilapangan. Penulis melakukan wawancara dengan beberapa pihak, sebagai berikut.
a. Masyarakat Pencari Keadilan Masyarakat yang penulis wawancarai adalah Bagus Tjahyono. Ia berprofesi sebagai pegawai asuransi Bumiputera Muda (BUMIDA) cabang Bandung sekaligus merangkap sebagai pengurus dari koperasi BUMIDA. Deskripsi kasus : Pengalaman Bagus Tjahyono berhubungan dengan lembaga peradilan khususnya pengadilan adalah pada tahun 2006. Ketika itu telah terjadi korupsi di koperasi BUMIDA sebesar Rp 350 juta, yang dilakukan oleh Dd. Korupsi ini terungkap ketika Bagus Tjahyono melakukan audit keuangan, dan ditemukan ada penyimpangan dana. Setelah ditelusuri, mengindikasikan adanya dugaan korupsi yang dilakukan oleh Dd. Bagus Tjahyono yang dianggap mengetahui penyimpangan dana tersebut,
ditunjuk
oleh
koperasi
101
untuk
mewakili
dalam
menuntut
pengembalian uang yang telah dikorup tersebut. Beliau melaporkan kasus dugaan korupsi ini ke kepolisian. Selama 15 hari, kemudian diperpanjang sampai 22 hari dilakukan penyidikan di tingkat kepolisian, berkas Berita Acara Perkara dilimpahkan ke Kejaksaan untuk penyidikan lebih lanjut. Dalam masa penyidikan di tingkat Kejaksaan, kemudian dari pihak kejaksaan (yang namanya tidak beliau sebutkan), meminta sejumlah uang untuk mempercepat penanganan kasus tersebut. Bagus Tjahyono pun memberikan uang yang diminta (sebesar 2 juta rupiah) atas persetujuan dari pimpinannya, dengan maksud agar berkas tuntutan dapat segera selesai sehingga persidangan bisa dilaksanakan secepatnya dan uang yang menjadi milik
koperasi
dapat
segera
dikembalikan
karena
harus
ada
pertanggungjawaban kepada pengurus dan anggota yang lain. Berdasarkan informasi yang diterima oleh Bagus Tjahyono, bahwa penasihat hukum terdakwa juga memberikan sejumlah uang kepada jaksa (sebanyak dua tahap) agar kasus tersebut secepatnya diselesaikan dan membayar sejumlah uang kepada seorang panitera dengan maksud untuk memilih hakim serta melakukan penawaran agar terdakwa terbebas dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Namun dalam masa persidangan kasus ini tidak dilanjutkan karena yang bersangkutan meninggal dunia di tahanan. Kasus tersebut bukanlah hal yang pertama bagi Bagus Tjahyono, karena profesi beliau banyak berhubungan dengan lembaga peradilan dan kejaksaan.
Ia
pun
mendengar
pengakuan
102
masyarakat
yang
pernah
berhubungan dengan lembaga peradilan bahwa kasus suap atau mafia peradilan sudah berlangsung lama dan telah menjadi suatu kebiasaan. Berdasarkan kasus di atas, Bagus Tjahyono mempersepsikan buruk citra lembaga peradilan (pengadilan). Ia menilai keadilan di masa sekarang sangat terkait erat dengan uang. Semakin besar kemampuan seseorang untuk membayar, maka semakin cepat pula seseorang mendapatkan keadilan. Bagus Tjahyono berharap agar mafia peradilan cepat diberantas sehingga tugas pokok dan fungsi lembaga peradilan sebagai lembaga yang memberikan rasa keadilan bagi masyarakat dan memberikan kepastian hukum berjalan sebagaimana mestinya. Namun, jika keadaan ini tidak berubah Bagus Tjahyono berpendapat ketika seseorang memiliki masalah hukum berusaha untuk menyelesaikan melalui jalur perdamaian karena keadilan yang diharapkan tergantung jumlah uang yang dimiliki.
b. Pengacara/Advokat Lembaga peradilan diharapkan menjadi tempat bagi masyarakat mendapatkan keadilan dan menaruh harapan. Namun, realitanya orang begitu sinis dan apatis terhadap lembaga peradilan. Harapan akan memperoleh kebenaran dan keadilan pun pupus ketika ditemukan adanya permainan sistematis yang diperankan oleh segerombolan orang yang bernama mafia peradilan. Pernyataan di atas seperti yang diungkapkan oleh Rahmat, S.H (ketua Pengacara Lembaga Bantuan Hukum Persis di Jl. Perintis Kemerdekaan) dalam wawancara bersama penulis pada tanggal 28 Juni 2008.
103
Senada dengan pendapat di atas, Rafael Situmorang, S.H (seorang advokat yang penulis wawancara di Pengadilan negeri Kelas IA Bandung) berpendapat bahwa terjadi kebobrokan yang sistematis dan menjadi sistem tandingan dari sistem peradilan yang ada. Ia bahkan mengatakan mafia peradilan yang sekarang banyak disinggung, dianggap lebih efektif dan efisien dalam penyelesaian setiap perkara yang ditangani. Disinyalir, hampir semua lapisan aparat penegak hukum terlibat mafia peradilan; mulai dari polisi, jaksa, hakim, panitera hingga advokat; mulai dari tingkat daerah sampai di Mahkamah Agung. Selanjutnya
Rafael
penyimpangan-penyimpangan
Situmorang, yang
terjadi
S.H pada
menjelaskan lembaga
bahwa peradilan,
disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya: 1) Faktor Aparat Berdasarkan pengalamannya, ada upaya inisiatif dari aparat seperti kejaksaan, serta panitera untuk meminta sejumlah uang. Adapun alasan yang mereka utarakan adalah untuk mempercepat pengurusan perkara. Walaupun disadari hal tersebut salah, namun ia mengakui terpaksa harus mengeluarkan sejumlah uang yang aparat minta demi kelancaran kasus yang ditangani dan menjaga kepercayaan dari kilennya.
2) Masyarakat pencari keadilan
104
Faktor
yang
menyebabkan
terjadinya
penyimpangan-
penyimpangan di tubuh lembaga peradilan adalah kliennya sendiri (masyarakat pencari keadilan). Bagi mereka yang memiliki uang, kadang kala berinisiatif untuk memberikan sejumlah uang kepada aparat demi lancarnya bahkan melakukan transaksi pada tuntutan yang diberikan Jaksa penuntut umum ataupun putusan yang dijatuhkan oleh hakim dalam persidangan. Inisiatif ini bisa melalui pengacara/advokatnya, tapi bisa juga mereka secara langsung mendatangi orang yang dituju.
3) Pengawasan Karena penyimpangan yang terjadi telah menjadi sistem baru dan banyak orang secara sadar atau tidak dapat merasakan keuntungannya, maka pengawasan yang adapun dianggap tidak akan mampu mengakhiri kemelut yang terjadi di lembaga peradilan. Ia berpendapat pengawasan internal menjadi tidak efektif karena korupsi yang terjadi bisa dirasakan pula oleh aparat yang duduk di pengawasan tersebut. Dari ketiga alasan di atas, Rafael Situmorang, S.H., berpendapat ketiga hal tersebut sebagai akar permasalahan yang menyebabkan bobroknya citra lembaga peradilan di mata masyarakat. Apabila citra ini ingin diperbaiki, ia berpendapat jangan menuntut kesadaran dari masyarakat
yang tumbuh
terlebih dahulu melainkan bersihkan aparat dan tegakkan hukum serta sanksi yang tegas karena penyalahgunaan dan penyimpangan yang terjadi karena adanya kesempatan yang diberikan aparat terhadap masyarakat.
105
Sedangkan Rahmat, S.H menilai buruknya citra lembaga peradilan dipengaruhi oleh bobroknya sistem hukum dan peradilan di Indonesia. Sedangkan bobroknya sistem hukum dan peradilan di Indonesia, Rahmat, S.H berpendapat ada empat faktor menyebabkannya, yaitu : 1) Landasan Hukum Beliau berpendapat bahwa Sistem hukum dan peradilan di Indonesia sangat dipengaruhi dan dilandasi oleh sistem hukum dan peradilan Barat yang sekular. Dengan demikian, sistem hukum dan peradilan
di
Indonesia
merupakan
produk
Barat
sekular
yang
mengesampingkan Al-Khâliq sebagai Pencipta manusia, alam semesta, dan kehidupan ini. Karena itu, dapat dipastikan, produk hukum yang dikeluarkan pasti tidak (akan) sempurna dan memiliki banyak kelemahan 2) Materi dan Sanksi Hukum a) Materi dan sanksi hukum tidak lengkap Ketidaklengkapan
ini
bukan
hanya
akan
menimbulkan
kekacauan, tetapi juga akan memicu tindak kejahatan yang lain dan memiliki dampak yang luas. Contoh: dalam KUHP Pasal 284, yang termasuk dalam kategori perzinaan (persetubuhan di luar nikah) yang dikenakan sanksi hanyalah pria dan atau wanita yang telah menikah. Itu pun jika ada pengaduan dari pihak yang merasa dirugikan. Jika yang berzina salah satu atau kedua-keduanya belum menikah dan dilakukan atas dasar suka-sama suka, mereka tidak dikenakan sanksi. Saat ini fenomena seks bebas di kalangan remaja (kumpul kebo), lalu
106
hamil di luar nikah, dan berujung pengguguran pada kandungan (aborsi), diduga kuat salah satunya karena tidak adanya sanksi atas mereka. b) Sanksi hukum tidak menimbulkan efek jera Salah satu tujuan diterapkannya sanksi bagi pelaku kejahatan adalah agar pelaku tidak mengulangi perbuatannya lagi. Untuk itu, seharusnya pelaku dihukum dengan sanksi yang membuat jera. Sebagai contoh: pembunuhan yang disengaja (Pasal 338 KUHP) hanya dikenakan sanksi paling lama penjara 15 tahun; pencurian (Pasal 362 KUHP) hanya dikenakan sanksi penjara paling lama 5 tahun; hubungan badan (perzinaan) sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 284 KUHP hanya dikenakan sanksi paling lama 9 bulan penjara. Sanksi yang tidak menimbulkan efek jera semacam ini alih-alih menekan angka kejahatan, yang terjadi, jumlah penjahat dan residivis terus meningkat. Selain itu, di penjara, terpidana bukan hanya dapat bebas 'belajar' trik melakukan kejahatan yang lebih besar, bahkan disinyalir penjara malah menjadi tempat yang nyaman melakukan pelecehan seksual, seperti kasus sodomi dan lesbi, kasus pemerasan, serta kasus penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba. Kasus-kasus kejahatan itu tidak hanya terjadi di antara narapidana, tetapi juga bisa dengan pihak lain, seperti pegawai LP atau pengunjung c) Hukum hanya mementingkan kepastian hukum dan mengabaikan keadilan
107
Sistem hukum di Indonesia mengharuskan bahwa hukum harus menjamin kepastian hukum dan harus bersendikan keadilan. Sebagai contoh: Perda K-3 sering dijadikan alat aparat untuk menindas rakyat dengan cara menggusur rumah penduduk dan mengusir PKL tanpa memberikan solusi memuaskan. d) Tidak mengikuti perkembangan zaman. Sebagai konsekuensi dari ketidak sempurnaan pembuat hukum, yakni manusia, hukum yang diterapkan di Indonesia sering mengalami perubahan karena tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman. Banyak ketentuan dalam KUHP yang sudah usang mengharuskan adanya Undang-Undang baru
yang 'menyempurnakan', seperti
Undang-Undang Korupsi, Undang-Undang Pers, Undang-Undang KDRT, dan lain-lain. Undang Undang Korupsi yang sudah mengalami 3 kali perubahan dan Pencucian Uang yang berubah hanya dalam kurun waktu setahun (2002-2003) adalah bukti konkret, bahwa hukum buatan manusia memang sangat rentan mengalami perubahan karena harus menyesuaikan dengan kondisi. 3) Sistem Peradilan a) Peradilan yang tidak berjenjang Di Indonesia, struktur pengadilan berjenjang. Dengan struktur seperti ini, terdakwa yang tidak puas terhadap vonis hakim dimungkinkan untuk mengajukan banding. Dengan begitu, keputusan
108
yang telah ditetapkan sebelumnya bisa dibatalkan oleh pengadilan yang lebih tinggi. Harapannya, dengan mekanisme tersebut, kepastian hukum dan keadilan tercipta. Padahal yang terjadi sebaliknya, yakni ketidakpastian hukum karena keputusan hukum dapat berubah-ubah sesuai dengan jenjang pengadilan. Akhirnya, kepastian hukum yang didambakan masyarakat pun semakin lama didapatkan. Fenomena ini akan dengan cepat disergap oleh pelaku mafia peradilan-entah para jaksa, hakim, maupun pengacara-yang menjadikannya sebagai bisnis basah. b) Pembuktian yang tidak meyakinkan Pembuktian haruslah bersifat pasti dan meyakinkan agar keputusan yang dihasilkan pun pasti dan meyakinkan. Seharusnya persangkaan atau dugaan seperti dalam pembuktian kasus perdata serta keterangan ahli dalam dalam kasus pidana dihapuskan, karena persangkaan hanya akan menghasilkan ketidakpastian dan keterangan ahli seharusnya diposisikan hanya sekadar informasi (khabar) saja. c) Persamaan di depan hukum Persamaan di depan hukum (equality before the law) tanpa memandang status dan kedudukan merupakan sebuah keharusan. Di Indonesia ada ketentuan, bahwa jika ada pejabat Negara setingkat bupati dan anggota DPRD tersangkut perkara pidana harus ada izin dari Presiden untuk memeriksanya. Aturan ini cenderung diskriminatif,
109
memakan waktu, dan justru menunjukkan bahwa equality before the law hanyalah isapan jempol. 4) Perilaku Aparat Penyebab kebobrokan yang cukup serius adalah bobroknya mental aparat penegak hukum, mulai dari polisi, panitera, jaksa hingga hakim. Penyimpangan yang paling mengemuka saat ini ada dua yaitu : a) Pungutan Liar b) Mafia Peradilan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Rahmat, SH bersama rekan di LBH Persis, ditemukan
beberapa penyimpangan yang
sering terjadi dalam proses di pengadilan, yaitu sebagai berikut: Bagan 4.2 Penyimpangan dalam Proses Peradilan Tahapan Proses Persidangan
Modus Operandi 1. Indikasi terjadinya KKN dalam penunjukkan hakim
yang
memeriksa
perkara
dan
terjadinya jual beli perkara 2. Hakim yang sama memeriksa beberapa perkara yang pada intinya sama sehingga dikhawatirkan terjadinya conflict interest 3. Anggota Majelis Hakim ada yang diganti untuk beberap kali persidangan 4. Menunda
110
pemeriksaan
perkara
secara
berlarut-larut 5. Persidangan dilakukan di luar ketentuan, yaitu terdakwa tidak didampingi Penasihat Hukum Putusan
1. Pertimbangan hukum tidak berdasarkan fakta dan keadaan sebenarnya 2. Pelapor sebagai pihak berperkara tidak bisa mendapatkan salinan putusan sampai saat mendapatkan banding 3. Adanya putusan MA mengenai perkara yang sama dan saling kontradiktif
Eksekusi
1. Eksekusi ditunda tanpa alasan yang jelas 2. Surat penetapan eksekusi diberikan sangat mendadak sebelum pelaksanaan eksekusi dilakukan 3. Pemberitahuan
pelaksanaan
eksekusi
diberikan kepada pelapor tanpa adanya surat teguran terlebih dahulu 4. Keberatan atas penetapan eksekusi tidak mendapat tanggapan dan tidak ditindaklanjuti oleh PN 5. Pelaksanaan lelang dilakukan tanpa adanya tim penilai yang independen sehingga harga
111
dibawah NJOP Banding
1. Kesulitan untuk mengajukan kontra memori banding karena salinan putusan belum diterima 2. Keterlambatan mengirim berkas banding 3. Indikasi suap
Kasasi
1. Kelalaian mengirimkan berkas kasasi sehingga seringkali ada halaman penting yang hilang 2. Perkara tertunda/tidak juga selesai selama bertahun-tahun.
PK
1. Putusan yang berbeda untuk dua perkara yang sama, konstruksi landasan yuridis sama dan majelsi hakim sama 2. Pelapor tidak mengetahui adanya PK karena tidak pernah menerima relaas dari PN
Penyitaan
1. Objek sita tidak jelas, sita atas barang tidak bergerak diletakan di atas barang bergerak 2. Majelis Makim menetapkan permohonan sita jaminan dalam waktu amat sangat singkat tanpa menunggu jawaban pelapor
Memperoleh Informasi Pasca Putusan
1. Tidak adanya tanggapan dari MA atas permintaan konfirmasi keotentikan putusan
112
MA Di luar proses persidangan
Ketua Pengadilan Negeri telah melalaikan atau tidak melaksanakan fungsi pengawasan atas pelanggaran kode etik profesi
(sumber : Kajian Lembaga Bantuan Hukum Persis) Apabila melihat berbagai penyimpangan yang terjadi sebagaimana di atas, Rahmat, SH berpendapat bahwa penyebab segala penyimpangan di atas selain dikarenakan oleh faktor sumber daya manusia, juga dikarenakan faktor manajemenadministrasi, manajemen organisasi dan manajemen sumber daya manusia mutlak haus dilakukan secara komprehensif. Selain itu, masalah yang juga mencuat dalam dunia pengadilan terutama pada masa transisi ini adalah bahwa sebagai suatu system, reformasi di dunia pengadilan sering kali tidak sistematis dan tumpang tindih. Hal tersebut semakin jelas terlihat apabila saat ini dikaitkan dengan adanya konsep berbagai pengadilan khusus seperti pengadilan khusus perindustrian dan lainlainnya, yang nantinya akan membawa konsekuensinya besar terhadap system manajemen administrasi dan system manajemen sumber daya manusia seperti rekruitmen dan pembinaan karir hakimnya. Semua implikasi tersebut sepetinya tidak terlalu dipikirkan oleh instansi pembuat kebijakan-kebijakan tersebut. Namun di luar segala data dan permasalahan di atas, terdapat beberapa fakta yang cukup menggembirakan dan diharapkan dapat membawa angin segar bagi pembaharuan di dunia pengadilan di masa mendatang. Hal tersebut
113
adalah diberlakukannya system penyatuan atap pengadilan yang diharapkan dapat lebih mengoptimalkan manajemen administrasi organisasi dan manajemen sumber daya manusia pengadilan serta dibentuknya komisi yudisial sebagai lembaga pengawas ekternal independen yang diharapkan dapat meningkatkan kinerja dan kwalitas aparat pengadilan. Walaupun dalam hal keefektifan masih harus ditunggu, sebab bukanlahhal yang tidak mungkin bila pelaksanaan yang terjadi dilapangan tidak sebaik yang tertuang, apalagi bila konsepnya itu sendirimasih belum begitu jelas dan detail.
c. Pengadilan Negeri Kelas IA Bandung Buruknya citra lembaga peradilan saat ini, diakui oleh Cepi Iskandar, SH, MH (Humas Pengadilan Negeri Kelas IA bandung) adalah sebagai realitas masyarakat memandang lembaga tersebut. Masih banyaknya penyimpangan-penyimpangan yang terjadi baik dilakukan oleh aparat penegak hukum maupun aparat dari pengadilan itu sendiri menjadi alasan masyarakat menilai buruknya lembaga peradilan. Akan tetapi, pendapat masyarakat tersebut timbul karena adanya kasus-kasus besar yang sedang mengemuka terjadi pada lembaga tertentu namun
berdampak pula pada lembaga-lembaga lain yang berada pada
lingkungan peradilan. Beliau mencotohkan misalnya dengan kasus penyuapan yang terjadi terhadap jaksa Urip, karena kesalahan segelintir orang maka masyarakat mempersepsikan bahwa lembaga peradilan merupakan lembaga korup. Hal tersebutlah yang sedang dicoba untuk dipublikasikan kepada
114
masyarakat bahwa jangan karena kesalahan segelintir orang kemujian menilai suatu lembaga keseluruhan. Sulitnya mengungkap segala penyimpangan yang terjadi diungkapkan pula oleh Dodi Hermawadi, SH (Panitera Muda Pidana Pengadilan Negeri Kelas IA Bandung). Karena hubungan yang terjadi adalah hubungan masingmasing personal sehingga sulit diungkap keberadaannya. Beliau sendiri memang mengakui sering mendengar keluhan dari masyarakat pencari keadilan, namun kembali lagi tidak dapat diambil tindakan tegas karena kesulitan mencari bukti-bukti yang cukup untuk mengungkap permasalahan tersebut. Akibat dari buruknya persepsi masyarakat terhadap citra lembaga peradilan, dikhawatirkan akan adanya sikap arogan dan barbar dari masyarakat dalam menyelesaikan permasalahan hukum. Adanya kemungkin upaya main hakim sendiri, sebagai jalan pintas karena ketidak percayaan mereka terhadap penegak hukum. Segala upaya yang mengarah pada perbaikan mutu pelayanan serta meimplementasikan visi dan misi Pengadilan Negeri Kelas IA Bandung, benyak upaya dilakukan mulai dari pengawasan internal, maupun eksternal. Beliau menggambarkan pengawasan internal dilakukan oleh suatu badan yang berada dalam struktur internal sendiri, sedangkan pengawasan eksternal melibatkan masyarakat umum melalui tarnsparansi setiap kebijakan atau putusan yang dijatuhkan melalui keterlibatan pers di dalamnya.
115
Dengan kasus-kasus yang ada dan keluhan yang masuk, Beliau tidak menampik tuduhan tersebut, namun beliau juga menyinggung bahwa penyuapan tidak akan pernah terjadi bila masyarakat pun tidak melakukan penawaran tersebut. Sehingga beliau berkesimpulan bahwa membangun citra lembaga peradilan tidak akan pernah mencapai tujuannya, manakala membangun perilaku yang disiplin dan taat terhadap prosedur pada diri masyarakat. Dengan pembangunan dari segala variabel yang mempengaruhi tersebut, beliau meyakini akan ada hari cerah dimana masyarakat memiliki sebuah lembaga pencari keadilan yang indpenden dan bersih.
6. Hasil Observasi Dengan observasi ini, untuk menguatkan data dan informasi yang telah didapat serta mendapatkan data-data yang dibutuhan sesuai masalah yang diteliti. Dengan berada secara pribadi dalam lapangan peneliti mempunyai kesempatan mengumpulkan data sehingga informasi yang diperoleh akan dilihat dalam hubungan yang logis dan bermakna, bukan sebagai fakta lepas-lepas. Dalam hal ini, penulis melakukan observasi perilaku para pencari keadilan (masyarakat dan advokat), hakim, panitera, serta unsur-unsur lain yang terkait selama berada pada lingkungan peradilan. Sedangkan yang menjadi pedoman observasi adalah hasil wawancara yang diperoleh dari masyarakat,
advokat/pengacara serta pihak Pengadilan Negeri
Kelas IA Bandung. Hal ini dilakukan sebagai pembuktian dari hasil wawancara yang telah dilaksanakan.
116
7. Hasil Studi Literatur Dalam studi literatur ini, untuk mendapatkan data dan informasi yang berhubungan dengan masalah yang diteliti, penulis mempelajari buku-buku yang berhubungan dengan penelitian, kliping koran, literatur dari internet serta peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan lembaga peradilan serta kekuasaan kehakiman.
8. Hasil Studi Dokumentasi Dalam hal ini, penulis melakukan dan mengumpulkan berbagai macam data-data yang berhubungan dengan penelitian dan data-data tersebut adalah sebagai berikut: 1. Data-data mengenai profil Pengadilan Negeri Kelas IA Bandung 2. Data mengenai modus operandi dalam penyimpangan yang terjadi dalam lembaga peradilan seperti mafia peradilan 3. Dokumentasi berupa foto-foto penelitian.
B. Analisis Hasil Penelitian 1. Persepsi Masyarakat Tentang Citra Lembaga Peradilan di Kota Bandung Berbicara tentang Lembaga peradilan (Pengadilan Negeri Kelas IA Bandung), tentunya bayangan yang akan muncul pertama kali adalah suatu lembaga yang diharapkan memberikan rasa keadilan dan kepastian hukum.
117
Namun disisi lain kita tentunya juga dikagetkan oleh beberapa berita miring mengenai lembaga peradilan yang dilansir oleh berbagai media akhir-akhir ini. Dari hasil wawancara terungkap bahwa peranan lembaga peradilan dalam mewujudkan peradilan yang mandiri, tidak dipengaruhi oleh pihak mana pun, bersih, dan profesional belum berfungsi sebagaimana yang diharapkan. Hal tersebut tidak hanya disebabkan oleh adanya intervensi dari pemerintah dan pengaruh dari pihak lain terhadap putusan pengadilan, tetapi juga karena kualitas, profesionalitas, moral dan akhlak aparat penegak hukum yang masih rendah. Sebagai akibatnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan sebagai benteng terakhir untuk mendapatkan keadilan semakin menurun. Karut marutnya Sistem Peradilan di Indonesia, Novel Ali (Jurnal Ma’arij, www.google.com:24/09/2007) menyoroti kondisi lembaga peradilan kita sebagai berikut: a. Lembaga peradilan telah gagal menjamin tegaknya hukum, sekaligus sebagai tegaknya keadilan sehingga hukum Indonesia acapkali disebut tidak identik dengan keadilan b. Lembaga Peradilan tidak menjamin eksistensinya, sebagai lembaga hukum yang mempunyai hati nurani c. Lembaga Peradilan hanya berorientasi dan mengakses pemuasan kepentingan penguasa ketimbang rakyat. Hal inipun berakibat hukum tidak berfungsi sebagai muara keadilan bagi rakyat.
Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa pengadilan yang disebut sebagai benteng terakhir keadilan hanyalah mitos belaka, karena banyak keputusan yang dihasilkan ternyata justru tidak adil. Apa yang dikatakan bahwa hukum itu tidak steril ternyata benar adanya karena banyak putusan
118
pengadilan yang berpihak kepada mereka-mereka yang memiliki kekuasaan dan kekuatan. Dari hal ini lembaga peradilan sebagai lembaga yang memberikan keadilan ternyata gagal dan otomatis memperburuk citra lembaga peradilan di masyarakat. Sebagai suatu sistem, kinerja pengadilan sekarang sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman berada pada titik nadir yang cukup mengkhawatirkan. Berbagai keluhan baik dari masyarakat dan para pencari keadilan seolah-olah sudah tidak dapat lagi menjadi media kontrol bagi lembaga tersebut untuk melakukan berbagai perbaikan signifikan bagi terciptanya suatu sistem pengadilan yang ideal dan sesuai dengan harapan masyarakat. Secara praktek, teori pengadilan yang mempunyai asas sederhana, cepat dan biaya ringan di satu sisi dan terciptanya suatu peradilan yang bersih, transparan dan mengedepankan nilai-nilai keadilan dan disisi lain terlihat sangat sulit untuk diterapkan dan ditemui dalam lembaga dan aparat pengadilan yang ada saat ini. Hal tersebut di atas menyebabkan rasa hormat dan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pengadilan semakin menipis dari hari ke hari. Sedangkan di sisi lain, ada tuduhan bahwa lembaga pengadilan dan kekuasaan kehakiman pada umumnya sudah tidak independen dan mandiri dalam menjalankan kinerja mengeluarkan putusan-putusannya. Selain maraknya korupsi, kolusi dan nepotisme dalam proses penyelesaian perkara, adanya campur tangan pihak eksekutif dalam proses peradilan menjadi salah satu indikasi ketidakmandirian lembaga pengadilan.
119
Intervensi pihak eksternal kepada kekuasaan kehakiman atau yudikatif (dalam hal ini terutama oleh kekuasaan Negara lainnya seperti eksekutif dan legislative) akhirnya menjadi suatu masalah yang sangat serius untuk dipikirkan pemecahannya, terutama setelah terdapat beberapa indikasi yang memperlihatkan bahwa suatu putusan pengadilan yang ‘aneh-aneh’. Putusan tersebut biasanya terjadi dalam kasus-kasus yang cukup populis dan melibatkan
Negara
baik
itu
pejabat,
lembaga
ataupun
keuangan
Negara/korupsi). Sehingga disini akhirnya ungkapan politisasi terhadap berbagai kasus yang ada di pengadilan menjadi sesuatu hal yang tak dapat dihindari untuk diakui. Berdasarkan pada pemaparan di atas tentang citra lembaga peradilan, penulis dapat rumuskan kesimpulan sementara sebagai berikut: Masyarakat mempersepsikan buruk Citra Lembaga Peradilan. Hal ini didasarkan pada pengalaman maupun kasus-kasus yang yang terjadi pada lembaga peradilan.
2. Faktor Yang mempengaruhi Persepsi Masyarakat Tentang Citra Lembaga Peradilan di Kota Bandung Dari hasil penelitian
dan wawancara
yang telah dilakukan,
mengungkap hal yang mempengaruhi persepsi masyarakat tentang citra lembaga peradilan adalah buruknya citra lembaga peradilan, mulai dari pelayanan publik yang diberikan sampai pada kasus dan penyimpangan yang telah terjadi pada lembaga peradilan. Sedangkan
120
yang mempengaruhi
buruknya citra lembaga peradilan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya: a. Aparat Penegak Hukum Dari hasil penelitian, masyarakat menilai kinerja aparat menempati posisi paling atas yang mempengaruhi citra lembaga peradilan. Pertama, citra pengadilan di masyarakat cukup banyak ditentukan oleh integritas, sikap dan tindakan hakim. Singkatnya, masalah perilaku hakim terlalu penting untuk tidak dibicarakan, terutama pada saat kita ingin membangun atau mereformasi atau meningkatkan citra pengadilan kita. Dari segi sosiologi hukum, putusan hakim merupakan hasil dari suatu kompeks faktor-faktor, di mana di antaranya adalah faktor hakim atau manusia hakimnya. Persoalan yang berkaitan dengan lembaga peradilan, citra pengadilan dan perilaku hakim dalam memutus suatu perkara adalah berhubungan dengan proses bekerjanya hukum. Salah satu sudut penglihatan yang dapat dipakai untuk mengamati bekerjanya hukum itu adalah dengan melihatnya sebagai suatu proses, yaitu apa yang dikerjakan dan dilakukan oleh lembaga hukum itu. Dengan melihat hukum sebagai suatu proses, maka dimungkinkan untuk memberikan penekanan kepada faktor-faktor di luar hukum, terutama sekali mengenai nilai-nilai dan sikap masyarakat. Dalam kasus Mafia Peradilan yang menyangkut para Hakim ini, Prof Dr.
Wila
Chandrawila
Supriadi
(Jurnal
Ma’arij,
www.google.com)
berpendapat bahwa: “hakim di Indonesia memiliki kemandirian dan wewenang yang luas dalam hal memutus suatu perkara. Berbeda dengan hakim di Negara
121
Anglo Saxon, dalam suatu penanganan kasus besar hakim dibantu oleh keberadaan juri. Dengan demikian hakim akan bebas memutus dengan pertimbangan rasa keadilan”.
Hakim merupakan posisi yang sentral dan rentan terhadap praktek mafia peradilan. Modus kejahatan hakim dalam praktek mafia peradilan ini oleh ICW disampaikan yaitu dimulai dari modus Ketua PN menentukan majelis yang ‘favourable’ serta mengulur-ulur waktu proses registrasi. Tindaklan tersebut akhirnya berlangsung sampai dengan tahapan siding majelis hakim dengan modus hakim mengatur rencana putusan (negosiasi dengan pengacara), hakim menunda putusan (isyarat hakim minta dihubungi) dan putusan akhirnya tergantung pada hasil negosiasi kedua belah pihak. Firdaus
Arifin
(www.sinarharapan.com:15/10/2005)
mencermati
setidaknya terdapat empat faktor yang menjadi penyebab tumbuh suburnya korupsi di lembaga peradilan selama ini, yaitu: 1) Keberadaan mafia peradilan yang hingga detik ini masih bersarang di lembaga peradilan Perlu diketahui, mafia peradilan adalah orang-orang serakah yang telah memperlakukan hukum menurut kaidah bisnis. Mereka memang tidak membunuh, tetapi memanipulasi kejahatan menjadi kebaikan dan sebaliknya kebaikan menjadi kejahatan. Mereka memutar balik fakta, yang benar menjadi salah dan yang salah menjadi benar sehingga orang yang salah seharusnya mendapat hukuman tertentu (misalnya 20 tahun penjara) bisa bebas berkeliaran atau mendapat vonis aneh berupa tahanan rumah, sementara lawannya yang benar di mata hukum malahan menerima hukuman dengan meringkuk di balik jeruji besi. Selain itu, mafia peradilan telah merubah fungsi ideal Pengadilan sebagai tempat para pencari keadilan mendapatkan keadilan menjadi “Pasar” tempat transaksi perkara. 2) Rendahnya kualitas, integritas moral, kredibilitas dan professionalisme hakim dalam bekerja menjalankan tugasnya Ini semua dampak yang ditimbulkan dari kekeliruan sistem rekrutmen dan pengelolaan Sumber Daya Manusia (SDM). Selama
122
ini sistem rekrutmen hakim belum didasarkan pada profesionalisme, belum terbuka (transparan), persyaratannya yang tidak sesuai dengan kebutuhan, pendidikan dan pelatihan yang belum memadai. 3) Adanya intervensi terhadap lembaga peradilan Intervensi pihak eksternal kepada kekuasaan kehakiman/yudikatif (dalam hal ini terutama oleh kekuasaan negara lainnya yaitu eksekutif dan legislatif) indikasinya dapat dilihat dalam suatu keputusan pengadilan yang “aneh-aneh”, dan biasanya terjadi pada kasus-kasus yang cukup populis dan melibatkan negara (baik itu pejabat, lembaga ataupun keuangan negara yang diduga terlibat korupsi). 4) Lemahnya sistem pengawasan dan pendisiplinan para hakim Ini disebabkan oleh pelaksanaan pengawasan yang berjalan tidak efektif dan dipengaruhi oleh rasa solidaritas untuk membela rekan sejawat (l’esprit de corps). Dengan adanya rasa solidaritas tersebut mengakibatkan mekanisme penghukuman (punishment system) tidak berjalan sebagaimana mestinya. Lalu pertanyaannya ialah langkah dan strategi apa yang dapat dilakukan untuk membasmi korupsi di lembaga peradilan
Problematika imoralitas di dalam kalangan hakim, perlu dipahami dan didudukkan sebagai bagian dari krisis global yang kompleks dan multidimensional yang juga muncul bersamaan dengan krisis intelektual dan spiritual. Di Indonesia secara spesifik krisis moral ini telah muncul dan mengalami proses penguatan dan pengawetan dalam waktu yang lama, terutama di era pemerintahan orde baru. Mewujudkan Peradilan yang Bersih dan Berkeadilan. Kedua, citra lembaga peradilan dipengaruhi oleh kinerja kejaksaan sebagai lembaga penegak hukum yang dipercayai dapat mewakili masyarakat demi tegaknya keadilan. Rahmat Fajar, SH bersama organisasi Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (wajah lembaga peradilan Indonesia antara kenyataan dan harapan, dalam
123
www.google.com:5-6), menemukan beberapa kelemahan yang pada akhirnya menjadikan kinerja jaksa dan lembaga kejaksaan menjadi tidak optimal, antara lain: 1) Sumber daya manusia yang kurang dalam hal kualitas, baik dari segi hukum formil maupun dari segi hukum materiil. Hal tersebut terutama terlihat apabila kita mengkaji produk-produk penuntutan, khususnya dalam kasus-kasus yang memang khusus seperti korupsi dan HAM. Dalam surat dakwaan atau tuntutan yang disusun, seringkali terlihat cukup jelas bahwa jaksa tidak menguasai substansi materiil dengan cukup baik, yang akhirnya mengakibatkan surat dakwaan atau tuntutan yang disusun mempunyai banyak kelemahan. 2) Pemimpin yang kurang tegas, mengakibatkan koordinasi antara unsur pimpinan dengan aparat di bawahnya tidak berjalan dengan baik. Hal itu tercermin dari kurang kompaknya kepala Kejaksaan Negeri dan Kejaksaan Tinggi dalam mengaplikasikan kebijakan yang telah dibuat, terutama dalam kasus korupsi dan narkoba. 3) Koordinasi antara aparat kejaksaan dengan kepolisian dan aparat berwenang lainnya kurang baik. Sehinggatak jarang terjadi kesalahpahaman dalam menjalankan tugas, khususnya dalam hal melakukan penyidikan atas perkara atas korupsi atau HAM. 4) Menjalankan eksekusi yang sering bermasalah. Hal itu terjadi karena terdapat perbedaan persepsi antara hakim dan jaksa, terutama dalam bunyi amar putusan.
Ketiga, bagian lain yang terlibat dalam pembentukan citra lembaga peradilan adalah Kepolisian. Seperti yang diungkapkan dari hasil wawancara yang dilakukan dengan Bapak Abbas, mengisyaratkan bahwa institusi kepolisian tidak terlepas dari skandal suap maupun korupsi. Dalam kasus ini perlu diketahui oleh masyarakat banyak, bahwa pemberhentian suatu kasus melalui Surat Pemberhentian Perkara Pidana (SP3) dapat diberikan dengan alasan yang ketat. Misalnya yang bersangkutan tidak memungkinkan dilakukan penyidikan maupun tuntutan pidana seperti yang terjadi pada mantan presiden Soeharto.
124
b. Masyarakat Pencari Keadilan Yang mempengaruhi citra lembaga peradilan adalah Masyarakat pencari keadilan itu sendiri, yaitu pengacara/advokat dan masyarakat biasa. Masyarakat sebagai bagian dari aksi penyimpangan, seperti yang telah terungkap dalam wawancara bersama Rahmat, SH, bahwa terjadinya suap (gratifikasi) maupun mafia peradilan tidak terlepas dari keterlibatan masyarakat pencari keadilan. Adanya sikap yang terburu-buru dan cenderung instan, mendorong masyarakat yang memiliki kemampuan dalam finansial untuk melakukan upaya-upaya diluar persidangan. Namun, ditinjau dari fungsi masyarakat sebagai kontrol sosial kurang berperan sebagaimana mestinya. Kurang partisipasi masyarakat dalam hal ini, Asep Rahmat Fajar, SH (wajah lembaga peradilan Indonesia antara kenyataan dan harapan, dalam www.google.com:10) mengemukakan bahwa: 1) Masih kurang terbukanya akses informasi mengenai tata cara melakukan pengaduan dan akses masyarakat untuk mengetahui perkembangan/tindak lanjut kejaksaan atas pengaduan yang telah disampaikan. 2) Masih kurang terbukanya akses informasi mengenai tahapan proses, rekapitulasi dan laporan perkembangan penanganan perkara oleh kejaksaan 3) Masih kurang terbukanya akses masyarakat untuk memberikan masukan dan tanggapan terhadap laporan peiodik kejaksaan yang telah disampakikan ke DPR 4) Tidak adanya mekanisme gelar perkara dan pengujian atau eksaminasi yang terbuka untuk publik terhadap surat dakwaan yang dinyatakan tidak dapat diterima oleh hakim dan atau atas kasus-kasus yang cukup kontroversial serta berkaitan dengan kepentingan dengan kepentingan publik, terutama yang dilakukan penangguhan dan pengalihan penahanan serta penghentian penyidikan atau penuntutan (SP3) dalam kasus korupsi
125
Dari kesulitan-kesulitan di atas, maka peran masyarakat sebagai kontrol sosial tidak berjalan dengan baik. Dampak dari tidak adanya kontrol sosial dari
masyarakat
sehingga
menyuburkan
terjadinya
penyimpangan-
penyimpangan yang terjadi pada lembaga peradilan.
3.
Upaya Memperbaiki Citra Lembaga Peradilan Dapat kita lihat kondisi dunia peradilan kita saat ini ternyata masih
jauh dari harapan. Fenomena yang terjadi di Indonesia memperlihatkan semakin menurunnya rasa
kepercayaannya terhadap hukum itu sendiri.
Tentang Penegakan Hukum, bukan hanya monopoli hakim semata yang mengadili dan memutus perkara. Penegakan hukum merupakan rantai pekerjaan yang diawali secara tidak formal, dari diri setiap warga, keluarga, dan meningkat pada masyarakat. Dan secara formal berawal dari penyidik, pengusut, penuntut, dan juga penasehat hukum yang kemudian berpuncak pada hakim. Ada keterkaitan diantara yang non formal, setiap anggota masyarakat dan yang formal polisi, jaksa, hakim dan bagian dari aparat pemerintah. Banyak upaya yang dapat dilakukan dalam rangka memperbaiki citra lembaga peradilan. a. Peningkatan kualitas pelayanan Publik Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, salah satu penyebab buruknya citra lembaga peradilan adalah rendahnya kualitas pelayanan publik. Maka dari fakta tersebut, harus ada upaya nyata dalam
126
menciptakan pengadilan dalam memberikan pelayanan hukum yang berkualitas, terjangkau, biaya murah bagi masyarakat Pelayanan hukum yang berkualitas artinya, penanganan suatu kasus yang maksimal baik kasus besar maupun kecil. Karena pada kenyataannya banyak aparat yang cenderung mengabaikan kasus-kasus kecil dan lebih tertarik menangani kasus yang besar. Pelayanan hukum yang terjangkau dan biaya murah bagi masyarakat artinya bahwa rasa keadilan tidak hanya dapat dinikmati oleh sebagian masyarakat, melainkan semua masyarakat baik berkemampuan tinggi maupun rendah. b. Memberantas mafia peradilan Ada
beberapa
langkah
strategis
yang
diperlukan
untuk
mewujudkan kembali Lembaga peradilan yang bersih dari praktek mafia peradilan: 1) Mengefektifkan kinerja dari Komisi Yudisial Sebagai sebuah lembaga yang baru dibentuk dengan berpijakan pada UUD 1945 dan UU No 22 tahun 2004 untuk mengawasi kinerja dari para hakim, tentunya peranan Komisi Yuidisial sangat diharapkan. Lahirnya Komisi Yudisial merupakan perkembangan yang sehat bagi bukan saja untuk melakukan pembaruan pada kalangan badan peradilan, akan tetapi juga dapat mencerminkan perwujudan prinsip “chek and balances” sebagai salah satu pilar demokrasi sekaligus juga untuk mengakomodasi tuntutan perwujudan keadilan melalui praktek pengadilan
127
yang jujur (fairness) dan adil, yang bukan saja menjadi dambaan seluruh komponen bangsa. Penegakkan dan penjagaan kehormatan serta keluhuran martabat para hakim tidak hanya dapat dilakukan oleh Komisi Yudisial sendiri saja namun disini dibutuhkan kerjasama dan tindakan pro-aktif dari Pimpinan Mahkamah Agung sendiri. Ini tentunya sangatlah penting karena pada dasarnya Komisi Yudisial dalam mengawasi hakim hanya berwenang untuk memberikan rekomendasi ke Mahkamah Agung saja. Dan segala keputusan tergantung pada Lembaga tersebut menyikapinya. Namun kini pasca keluarnya putusan MK Nomor 005/PUUIV/2006 yang membatalkan semua kewenangan pengawasan hakim oleh KY, praktis dengan demikian tidak ada lagi lembaga ekstern yang mengawasi lembaga peradilan. 2) Perlunya sistem hukum yang bersifat lebih progresif. Bila kita bandingkan dengan negara lainnya, Indonesia mempunyai pranata hukum lebih banyak, namun disisi lain pelaksanaan hukum di Indonesia masih sangat rendah. Keberadaan hukum yang ada di Indonesia itu sendiri kadang-kadang malah dianggap menghambat gerak dari penegak hukum kita dalam usaha menjalankan tugasnya menjaga kedilan. Sebut saja contoh kasus yang dilakukan oleh KPK dalam melakukan penggerebekan guna mengungkap kasus suap dan korupsi yang terjadi di Indonesia malah mendapat tuaian protes dari para pejabat maupun ahli
128
hukum yang menganggap bahwa cara-cara tersebut tidak sesuai dengan hukum acara yang berlaku. Satjipto Rahardjo seperti yang dikutip oleh Muslih Lutfi, SH (dalam www.google.com) berpendapat bahwa: “kita tidak boleh menyerahkan hidup kita dipenjara oleh hukum, dalam artian perundang-undangan. Diperlukan adanya suatu pembebasan dalam memaknai hukum itu sendiri, dengan demikian kita perlu memebebaskan diri dari kultur berhukum yang membiarkan diri kita “dijajah” oleh perundang-undangan”. Pada hakekatnya diperlukan adanya tindakan yang berani dan revolusioner dalam usaha menciptakan keadilan di masyarakat. Kehidupan hukum tidak semata-mata bergerak di atas peraturan dan prosedur hukum tetapi juga ada faktor manusia yang sangat menentukan. 3) Transparansi lembaga peradilan untuk menjaga akuntabilitas lembaga peradilan itu sendiri Sering kali orang menganggap bahwa lembaga peradilan adalah lembaga yang sakral dan tertutup. Sebut saja contohnya dalam pengambilan putusan majelis hakim. Seringkali kita hanya mengetahui hasil jadi dari putusan tersebut tanpa mengetahui alasan-alasan riil yang menjadi dasar dari dikeluarkannya putusan tersebut. Fenomena Dissenting Opinion (pendapat hakim yang berbeda dengan putusan) seringkali menjadi hal yang tabu dan ditutup-tutupi oleh Lembaga Peradilan. Kerahasiaan yang sangat ketat oleh Lembaga peradilan kita ini justru menjadikan masyarakat semakin bertanya tanya “ada apa dibalik lembaga peradilan kita?”.
129
4) Meningkatkan kesejahteraan para hakim di Indonesia Dengan adanya peningkatan kesejahteraan hakim setidaknya dapat meminimalisir potensi hakim untuk mencari uang tambahan melalui jual perkara. 5) Adanya Kontrol Bersama Antara LSM, Lembaga Pers, Maupun Masyarakat Ini sangat penting karena dengan adanya pemantauan bersama oleh elemen-elemen yang ada dalam melakukan pengawasan terhadap lembaga peradilan kita, tentunya akan mendukung proses pembersihan lembaga peradilan kita dari mafia peradilan maupun prakek-praktek menyimpang lainnya. Dalam masyarakat madani (civil society) untuk mencegah
terjadinya
penyalahgunaan
kekuasaan
perlu
dilakukan
pengawasan terhadap para aparat dan penegak hukum. Oleh karena itu untuk menghindari/mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan perlu dilakukan
pengawasan
yang
juga
melibatkan
masyarakat
dalam
melakukan pengawasan tersebut. Upaya pembersihan lembaga peradilan kita dari praktek mafia peradilan ini merupakan sebuah harga mati yang tidak bisa ditawar lagi. Kita tentunya tidak ingin bila upaya penegakan hukum di negara ini hanya menjadi lips service dari aparat yang terkait saja. Suatu harapan besar dari kita adalah upaya penegakan hukum ini mampu memaberikan hasil yang memuaskan bagi rakyat yang merindukan
130
keadilan. Jangan sampai kasus mafia peradilan yang terjadi di Indonesia ini akan menguap begitu saja karena adat kebiasaan di negeri ini selalu berkata bila ada kasus yang melibatkan para pejabat penting, maka selalu akan dicari-carikan jalan untuk menghindarinya meski fakta ada di depan mata. C. Pembahasan Hasil Penelitian Hukum merupakan urat nadi dalam kehidupan suatu bangsa untuk mencapai cita-cita masyarakat yang adil dan makmur. Sejak Indonesia merdeka, tema negara hukum paling banyak mendapat sorotan. Sebagian dikarenakan kelemahan yang nyata pada lembaga-lembaga hukum itu sendiri. Institusi-institusi hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya, yaitu menurut taraf keinginan, harapan, dan tuntutan rakyat dari hampir semua tingkatan masyarakat. Pengadilan Negeri Kelas IA Bandung sebagai salah satu institusi yang melaksanakan peran kekuasaan kehakiman, diharapkan dapat memberikan rasa keadilan sesuai visi Pengadilan Negeri Kelas IA Bandung yaitu mewujudkan supremasi hukum melalui kekuasaan kehakiman yang mandiri, efektif, efisien serta mendapatkan kepercayaan publik, profesional dan memberikan pelayanan hukum yang berkwalitas, terjangkau, biaya murah bagi masyarakat. Namun, dalam kenyataannya masyarakat merasakan sesuatu yang berbeda dengan yang dicita-citakan. Fenomena yang terjadi di Indonesia memperlihatkan semakin menurunnya rasa kepercayaannya terhadap hukum. Hal ini disebabkan karena masyarakat secara nyata menyaksikan dan mengerti bagaimanakah sandiwara hukum itu
131
dimainkan oleh para aktor intelektual. Setelah 60 tahun kita merdeka, reformasi peradilan di Negara ini tampaknya masih menjadi sebuah misteri. Hukum kelihatan mengecoh dan publik sendiripun meyakini bahwa hukum dan Reformasi Peradilan masih semata-mata merupakan impian. Masyarakat bahkan menilai, lembaga peradilan (Pengadilan Negeri Kelas IA Bandung) merupakan tempat eksklusif bagi kaum borjuis. Hal ini didasarkan pada mahalnya biaya perkara yang harus dikeluarkan oleh masyarakat bila berhubungan dengan lembaga peradilan, sehingga kecil kemungkinan bagi masyarakat yang berkemampuan pas-pasan untuk bisa mencari keadilan di Pengadilan. Dampak dari mahalnya mendapatkan keadilan, timbul istilah menyelesaikan perkara diluar pengadilan. Selain mahalnya biaya perkara, seperti yang telah terungkap dalam hasil wawancara
dengan
masyarakat
(masyarakat
pencarai
keadilan
dan
pengacara/advokat) telah terjadi penyimpangan-penyimpangan di Pengadilan Negeri Kelas IA Bandung membuktikan begitu bobroknya kualitas dari lembaga peradilan. Adanya upaya pungutan liar yang terjadi mulai dari tingkat penyidikan di kepolisian, kejaksaan sampai dengan praperadilan, serta kasus yang banyak menyita perhatian masyarakat tentang mafia peradilan. Kasus mafia peradilan terjadi melibatkan semua aspek yang terkait yaitu kepolisian, jaksa, hakim, panitera, pengacara dan bahkan masyarakat pencari keadilan. Di setiap institusi tadi selalu ada saja pihak yang melakukan pemyimpangan. Terjadi semacam hubungan patronclient dan interaksi yang saling menguntungkan diantara mereka. Sudah menjadi hal yang bersifat umum,
132
misalnya dalam perkara pidana, untuk pengaduan perlu uang operasional buat penyidik. Untuk mendeponir perkara (menghentikan proses hukum) juga harus menebus SP3 (Surat perintah penghentian penyidikan ) ke Polisi atau Jaksa. Untuk penangguhan penahanan, pembebasan bersyarat, dan memeperoleh salinan hukuman, juga sering harus keluar uang untuk oknum Jaksa, Hakim, Panitera, bahkan Lembaga Pemasyarakatan. Dalam perkara Perdata dapat dikatakan sama saja. Hal ini dapat dikatakan demikian karena misalnya dalam suatu pengajuan sita jaminan, pengeluaran salinan putusan, maupun penggugat ingin menang, diperlukan adanya istilah uang ataupun biaya liar. Istilah mafia peradilan, memang baru ditemukan pada tahun 2000 melalui suatu kajian dan penelitian para pengamat hukum di dunia. Namun secara praktis, upaya-upaya yang menyerupai atau bahkan mengarah pada praktek mafia peradilan telah berlangsung lama. Dari hasil obesrvasi yang dilakukan, penulis mengamati adanya hubungan yang mesra ditunjukkan oleh jaksa, hakim maupun pengacara ketika berada dalam lingkungan peradilan. Secara etis, penulis berpendapat hal tersebut kiranya tidak terjadi untuk mencegah terjadinya transaksi jual beli perkara. Berdasarkan pengamatan pula, penulis mendengar adanya ungkapan penawaran dari seorang pengacara terhadap hakim untuk menangani kasus tertentu atas dasar besarnya uang dibalik perkara tersebut. Hal ini pulalah yang mendorong penulis mempersepsikan citra lembaga peradilan (pengadilan Negeri Kelas IA Bandung) sangat buruk.
133
Mulai dari mahalnya biaya perkara sampai pada penyimpanganpenyimpangan yang terjadi di lembaga peradilan khususnya pengadilan Negeri Kelas IA Bandung kemudian menyebabkan buruknya persepsi masyarakat tentang citra lembaga peradilan di Kota Bandung. Untuk membangun citra lembaga peradilan yang lebih baik diperlukan tindakan nyata yang dapat dirasakan langsung oleh masyarakat sacara umum. Tindakan yang nyata tersebut seperti: 1. Peningkatan pelayanan publik bagi seluruh masyarakat yang didasarkan pada perasamaan dalam hukum. Suatu kasus yang dapat diselesaikan dengan cepat, jangan dibuat menjadi sesuatu yang lama, sehingga masyarakat dapat merasakan pelayanan yang maksimal dari kinerja pengadilan sebagai lembaga peradilan. 2. Optimalisasi peran pengawasan, baik pengawasan internal maupun eksternal. Kesan pengadilan yang tertutup dapat dirubah menjadi lebih transparan dan akuntabilitas, sehingga pengawasan eksternal dapat berjalan sehingga dapat mecegah penyimpangan yang terjadi di lembaga peradilan. 3. Tindakan tegas, tidak tebang pilih kepada setiap pelaku penyimpangan di lembaga peradilan. 4. Perbaikan sarana dan prasarana serta kesejahteraan aparat penegak hukum. Sehingga alasan
kurangnya kesejahteraan
serta buruknya sarana
penunjang, tidak menjadi kambing hitam untuk melegalkan upaya penyimpangan di lembaga peradilan.
134
Dari upaya-upaya di atas, diharapkan dapat memulihkan citra lembaga peradilan di mata msayarakat. Sehingga dengan tercipta suasana pengadilan yang kondusif, bersih dan dapat memberikan pelayanan publik sesuai yang diharapkan, kepercayaan masyarakat terhadap institusi ini dapat terbangun.
135