DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................. i HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................... ii BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1 A. Latar Belakang Masalah ..................................................................... 1 B. Rumusan Masalah ………………………………………………….. 4 C. Tujuan Penelitian ……………………………………………………. 4 D. Manfaat Penelitian ………………………………………………….. 5 E. Metode Penelitian …………………………………………………... 6 F. Sistematika Penulisan ……………………………………………….. 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………………… 10 A. Definisi Anak ……………………………………………………… 10 B. Perlindungan Hukum terhadap Hak Asasi Anak................................ 11 C. Tinjauan Umum Mengenai Mahkamah Konstitusi .............................14 1. Kedudukan Mahkamah Konstitusi ……………………………… 16 2. Fungsi dan Wewenang Mahkamah Konstitusi ………………….. 18 D. Kewenangan Peradilan Agama Tentang Pengesahan Asal Usul Anak dan Kewarisan .......................................................................... 20 1. Tentang Pengesahan Asal Usul Anak ........................................... 20 2. Tentang Kewarisan …………………………………………….. 23 BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ………………………… 25 A. Kedudukan Anak di Luar Perkawinan Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 ……….. 25 B. Proses Pengesahan Anak di Luar perkawinan di Pengadilan Agama. 62 1.
Pengesahan Anak di Luar Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 ……………. 62
2.
Prosedur dan Acara Pemeriksaan Perkara Gugatan Pengesahan Anak di Luar Perkawinan ...................................... 63
3.
Hukum Acara yang Berlaku pada Pengadilan Agama atau Mahkamah Syari’ah …………………………………………… 66
4.
Asas Personalitas Keislaman ………………………………….. 66
C. Akibat Hukum Adanya Pengesahan Anak di Luar Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 ………………………………………………… 68 1. Hubungan Nasab Anak di Luar Perkawinan dengan Orang Tua Biologis .......................................................................68 2. Hubungan Kewarisan Antara Anak di Luar Perkawinan dengan Ayah Biologis ...................................................................73 BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ………………………………………… 82 A. Kesimpulan ………………………………………………………… 82 B. Saran ………………………………………………………………. 86 DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………… 88
ABSTRAK Status Hukum Anak Luar Kawin Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 (Laporan Penelitian Mandiri, Register Perpustakaan Pusat Unisma No. 913, 17-12-2014) Abdul Rokhim Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis secara mendalam mengenai: 1. Status hukum anak di luar perkawinan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 dalam prespektif hukum positif Indonesia; 2. Proses pengesahan anak di luar perkawinan pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUUVIII/2010 di Pengadilan Agama. 3. Akibat hukum yang timbul dengan adanya pengesahan anak di luar perkawinan pasca Putusan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUUVIII/2010 dalam prespektif hukum Islam. Penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum normatif, yang menurut Ronny Hanitijo Soemitro termasuk tipe penelitian inventarisasi hukum positif. Hasil dari inventarisasi hukum positif ini kemudian dibandingkan atau dicari kaitannya dengan norma hukum lain yang berlaku di masyarakat, khususnya hukum Islam. Hasil penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Status atau kedudukan hukum anak yang lahir di luar perkawinan sebagai akibat perkawinan yang tidak dicatatkan (nikah sirri) menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah anak yang tidak sah, karena lahir dari perkawinan yang tidak sah. Oleh karena itu tidak ada jaminan perlindungan hukum yang diberikan oleh negara kepada para pihak yang melangsungkan perkawinan itu, termasuk mengenai hubungan antara bapak yang melahirkan dengan anak-anak yang dilahirkannya. Anak yang lahir dari nikah sirri menurut hukum perdata disebut “anak luar kawin” (onwettig kind) dan hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibu dan keluarga yang melahirkannya. Ia tidak mempunyai hubungan hukum keperdataan dengan bapak biologisnya, termasuk dalam hubungan waris, meskipun dengan putusan pengadilan terbukti mempunyai hubungan darah dengan ayah biologisnya tersebut. 2. Permohonan pengesahan anak di pengadilan sebenarnya merupakan sikap ambigu dan tidak konsisten dari seseorang yang semula ketika menikah dengan sadar tidak memenuhi ketentuan Undang-undang Nomor 1 tahun 1974. Hal ini juga sekaligus sebagai bukti nyata bahwa perkawinan yang tidak dilaksanakan sesuai ketentuan negara akan mengakibatkan kemadharatan serta tidak adanya jaminan hukum. Pengesahan anak atau penetapan asal usul anak merupakan kewenangan Pengadilan Agama di bidang perkawinan berdasarkan Pasal 49 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Penetapan asal usul seorang anak dimaksudkan sebagai perkara yang berkaitan dengan penyelesaian hukum tentang kedudukan anak yang lahir dalam atau akibat perkawinan yang sah. Sebelum ada putusan MKRI Nomor 46/PUU-VIII/2010, kedudukan hukum sebagai pihak (legal standing) untuk mengajukan pengesahan anak di luar perkawinan hanya diberlakukan kepada pasangan suami isteri
yang melakukan pernikahan di bawah tangan saja, karena tanpa memenuhi ketentuan pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, maka menurut hukum positif perkawinannya tersebut tidak sah dan karenanya anak yang dilahirkan dipandang sebagai anak yang dilahirkan di luar perkawinan. Sedangkan, terhadap kedudukan anak hasil zina tidak ditemukan dalam aturan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 maupun Kompilasi Hukum Islam, karena perzinahan tidak dipandang sebagai perbuatan hukum perkawinan. Namun, dengan adanya putusan MKRI Nomor 46/PUU-VIII/2010 tersebut permohonan atau gugatan pengesahan anak di luar perkawinan untuk dapat ditetapkan mempunyai hubungan keperdataan dengan ayah biologisnya, dapat diajukan oleh seseorang terhadap anak yang dilahirkan akibat perkawinan yang tidak sah maupun mereka yang tidak ada ikatan perkawinan, termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun keabsahan perkawinannya masih disengketakan, semata mata karena alasan demi memberikan perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status anak yang dilahirkan. 3. Putusan MKRI Nomor 46/PUU-VIII/2010 menambah khazah perkembangan hukum Islam di Indonesia, karena sebelumnya dalam hukum positif maupun Kompilasi Hukum Islam, anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan keperdataan (nasab) dengan ibunya dan keluarga ibunya, sehingga akibat hukumnya anak di luar perkawinan tidak dapat dinasabkan dengan ayah biologisnya dan sekaligus tidak dapat mewarisinya, karena dalam konsepsi hukum Islam Indonesia seorang anak yang dilahirkan belum tentu mempunyai hubungan kebapakan dengan seorang laki-laki sebagai ayahnya, sedangkan hubungan keibuan antara anak dengan wanita yang melahirkan merupakan hubungan alamiah yang tidak mungkin dipungkiri kebenarannya. Dalam hukum Islam dikenal istilah anak zina, yakni anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah atau dilahirkan dalam perkawinan yang sah tetapi disangkal oleh bapaknya sebagai anaknya melalui li’an. Anak zina dalam Islam hanya memiliki hubungan dengan ibu dan keluarga ibunya. Dengan adanya putusan MKRI ini maka putusan Pengadilan Agama yang biasanya merujuk kepada ketentuan hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 serta Kompilasi Hukum Islam (KHI), akan tetapi setelah berlakunya putusan MKRI tersebut, maka pasal 43 ayat (1) UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 dan Pasal 100 KHI tidak dapat lagi dijadikan landasan hukum karena telah dinyatakan inkonstitusional sehingga tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sekalipun demikian, putusan hakim Pengadilan Agama sebagai hukum in concrito di dalam mengadili perkara sengketa kewarisan akibat dari putusan MKRI Nomor 46/PUU-VIII/2010 harus tetap mengedepankan ketentuan hukum kewarisan Islam (faraidh) sebagai hukum materiil sesuai dengan asas personalitas keislaman yang diatur perundang-undangan, disamping tidak terlepas dari ketentuan hukum positif yang berlaku. Kata Kunci: Status Hukum; Anak Luar Kawin; Putusan Mahkamah Konstitusi