66
BAB IV IDENTITAS GORONTALO SEBAGAI KOTA TUA Sebelum lebih jauh menguraikan makna kota tua maka perlu diketahui terlebih dahulu definisi dari kota itu sendiri. Karena pandangan umum sering memaknai kota hanya sebagai tempat pemukiman bagi cukup banyak orang serta sebagai pusat pemerintahan dan perdagangan. Padahal tidak sekedar seperti disebutkan di atas karena kota memiliki dimensi yang sangat luas 1“kota adalah satuan wilayah yang meruakan satuan jasa distribusi, berperan memberikan jasa pemasaran terhadap wilayah pengaruh dan luasnya ditentukan oleh kepedatan jasa distribusi yang bersangkutan”. Sementara Departemen Pekerjaan Umum Pemukiman dan Prasarana Wilayah (PU Kimpraswil) menyebutkan bahwa kota adalah “satuan pemukiman bukan pedesaan yang berperan dalam satuan-satuan wilayah pengembangan dan atau wilayah nasional sebagai simpul jasa menurut pengamatan tertentu”. Secara konstitusional kota juga telah didefinisikan dalam undang-undang RI No. 26 tahun 2007 yang menyebutkan bahwa: “kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan kawasan sebagai tempat pemukiman perkotaan, pemusatan distribusi pelayanan jasa pemerintah, pelayanan sosial dan kegitan ekonomi”. Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kota adalah sebuah kawasan yang mempunyai kegiatan utama selain dari pertanian, ini berarti meliuti perdagangan, jasa, wisata dan lain sebagainya, serta dijadikan
1
seperti disebutkan oleh Rudi Tjahyoko dalam (www.gorontalofamily.org)
66
67
sebagai pusat pemerintahan bagi kawasan di sekitarnya. Di Indonesia pada umumnya wilayah yang dapat dikategorikan sebagai kota adalah pusat pemerintahan satauan administratif pemerintahan setingkat kabupaten. 4.1 Tata Ruang Kota Gorontalo Prakolonial Belanda Suatu hal yang sangat menyedihkan ialah bahwa kita tidak mewarisi data apapun mengenai bentuk dan struktur Kota Gorontalo pada zaman prakolonial. Peninggalan kota Gorontalo pada zaman prakolonial sudah tidak berbekas sama sekali. Memang tidak mungkin untuk membayangkan bentuk kota Gorontalo pada zaman prakolonial secara nyata sehingga kemudian diusahakan untuk mencari gambaran prinsip-prinsip tata ruang kota Gorontalo pada zaman prakolonial dengan menganalisis bentuk geometrisnya secara konkrit, tetapi dengan mencari konsepsi tataruang kotanya. Untuk saat ini, di Gorontalo pada umumnya kota tua sangat identik dengan kota yang dibangun dan tumbuh pada masa kolonial Belanda. Hal ini terjadi oleh karena sebelumnya masyarakat di nusantara yang berbentuk kerajaan belum banyak mengenal bangunan permanen sehingga saat ini sulit ditemukan adanya kompleks kota tua yang dibangun oleh kerajaan-kerajaan yang pernah tumbuh di nusantara tersebut. Hal lain yang menyebabkan sehingga kota yang dibangun oleh raja-raja seakan lenyap tanpa bekas adalah penyerangan dan penghacuran yang dilakukan oleh bangsa penjajah, contoh kasus misalnya penghancuran kota Jayakarta oleh Jan Pieterszoon Coen pada tanggal 30 mei 1619 yang kemudian dibangun kembali dan diberinama Batavia.
68
Analisis struktur tata ruang Kota Gorontalo di zaman prakolonial ini didasarkan atas beberapa sumber. Pertama, didasarkan atas analisis Hasanuddin dan Basri Amin. 2008. Tentang Gorontalo Dinamika Sejarah Masa Kolonial Belanda. Kedua beradasarkan pengamatan Memori Gorontalo. Yang dibahas oleh Basri Amin (2012). Secara historis sangat jelas tercatat bahwa sentrum awal pertumbuhan kota Gorontalo dimulai dari bagian selatan yakni kelurahan Tenda, Ipilo, Kampung Bugis saat ini. Hal ini terjadi karena sejak berkuasanya Belanda maka pemusatan kantor pemerintahan dan aktivitas perdagangan berada di wilayah ini, karena di dukung oleh posisi geografis dimana terdapat dua aliran sungai besar yakni sungai Bone dan sungai Bolango sebagai alternatif jalur transportasi saat itu.2 Menurut sejarah, Jazirah Gorontalo terbentuk kurang lebih 400 tahun lalu dan merupakan salah satu kota tua di Sulawesi selain Kota Makassar, Pare-pare dan Manado. Gorontalo pada saat itu menjadi salah satu pusat penyebaran agama Islam di Indonesia Timur yaitu dari Ternate, Gorontalo, Bone. Seiring dengan penyebaran agama tersebut Gorontalo menjadi pusat pendidikan dan perdagangan masyarakat di wilayah sekitar seperti Bolaang Mongondow (Sulut); Buol ToliToli, Luwuk Banggai, Donggala (Sulteng) bahkan sampai ke Sulawesi Tenggara.Gorontalo menjadi pusat pendidikan dan perdagangan karena letaknya yang strategis menghadap Teluk Tomini (bagian selatan) dan Laut Sulawesi (bagian utara).
2
Hasanuddin dan Basri Amin. 2008. Gorontalo Dinamika Sejarah Masa Kolonial Belanda. Gorontalo : Pusat Dokumentasi Rakyat Gorontalo-AP3G dan Balai Penelitian Sejarah dan Nilai Tradisional Manado. Hlm 235
69
Kedudukan Kota Kerajaan Gorontalo mulanya berada di Kelurahan Hulawa Kecamatan Telaga sekarang, tepatnya di pinggiran sungai Bolango. Menurut Penelitian, pada tahun 1024 H, kota Kerajaan ini dipindahkan dari Kelurahan Hulawa ke Dungingi Kelurahan Tuladenggi Kecamatan Kota Barat sekarang. Kemudian dimasa Pemerintahan Sultan Botutihe kota Kerajaan ini dipindahkan dari Dungingi di pinggiran sungai Bolango, ke satu lokasi yang terletak antara dua kelurahan yaitu Kelurahan Biawao dan Kelurahan Limba B. Dengan letaknya yang stategis yang menjadi pusat pendidikan dan perdagangan serta penyebaran agama islam maka pengaruh Gorontalo sangat besar pada wilayah sekitar, bahkan menjadi pusat pemerintahan yang disebut dengan Kepala Daerah Sulawesi Utara Afdeling Gorontalo yang meliputi Gorontalo dan wilayah sekitarnya seperti Buol Toli-toli dan, Donggala dan Bolaang Mongondow. Sebelum masa penjajahan keadaaan daerah Gorontalo berbentuk kerajaankerajaan yang diatur menurut hukum adat ketatanegaraan Gorontalo. Kerajaankerajaan itu tergabung dalam satu ikatan kekeluargaan yang disebut “Pohala‟a”. Dalam tata ruang masyarakat Gorontalo berbagai kategori yang pernah mendiami daerah Gorontalo bisa digambarkan kembali. Pertama-tama sebagai penduduk asli yang hidup mengelompok dalam unti-unit kecil bernama linula yang sekaligus merupakan suatu kesatuan ekonomi. Pemukiman pertama kali masyarakat Gorontalo menyebar dan menetap disekitar gunung Buliuhuto dan Tilongkabila, dan sekitar Danau Limboto.3 pada bagian lain Gorontalo
3
Hasanuddin dan Basri Amin. Op. Cit., 2008.
70
mempunyai wilayah yang cukup luas dngan jumlah penduduk relatif kecil sehingga faktor inilah bahwa para imigran dan pedagang dari Ternate, Makassar dan Bugis, kemudian Cina, Arab, Eropa terutama Belanda dan Minahasa memberikan corak tersendiri atas perkembangan pemukiman di Gorontalo. Yang terjadi selanjutnya adalah terbukanya hubungan antar suku bangsa dan makin beragamnya jenis pekerjaan yang ada di Gorontalo. Dari sinilah dinamika sosial dan perubahan pemukiman masyarakat Gorontalo terjadi. Karena pertemuan antar suku bangsa dilapangaan ekonomi dan interaksi antar komunitas lintas budaya, misalnya dalam pertuakaran berbagaai pengalaman dan menghormati atas tradisi masing-masing. 4.2 Tata Ruang Kota Gorontalo setelah masuknya Kolonial Belanda Masuknya bangsa-bangsa Eropa ke Indonesia, khususnya ketika Belanda mulai menjajah Indonesia, mengakibatkan munculnya kota-kota bentuk baru berupa kota administrasi kolonial Belanda. Susunan spasial kota administrasi berkisar di sekeliling sebuah lapangan atau alun-alun. Bangunan merupakan salah satu unsur pembentuk kota. Dalam sebuah kota kolonial Belanda, tentu bangunanbangunan yang ada mempunyai ciri-ciri kolonial. Bangunan kolonial adalah bangunan bercorak arsitektur kolonial yang dimanfaatkan untuk kegiatan fungsional di zaman colonial. Dalam perkembangan kota yang menjadi identitas kota dengan keunggulan yang tak hanya berarti pada waktu silam tapi juga di masa kini dan mendatang, adalah arsitektur yang ditinggalkan pada masa Kolonial Belanda. Ini merupakan salah satu identitas Kota yang Bagaimana menyikapi peninggalan
71
yang seringkali terlihat kumuh dan menggoda banyak pihak untuk kemudian justru mencari jalan pintas, menghancurkan, itu menjadi persoalan hingga kini. Padahal banyak contoh yang membuktikan, pemanfataan dan pelestarian yang tepat terhadap arsitektur Kolonial Belanda bisa mendatangkan keuntungan secara ekonomi, sosial budaya hingga ilmu pengetahuan. Pengertian kota sperti yang dijelaskan diatas sesuai yang ditulis oleh Peter J.M. Nas4 yang membahas tentang kota yang dibedakan dalam empat macam, yaitu (1) kota awal Indonesia; (2) Kota Indis; (3) Kota Kolonial; (4) Kota Modern. Kota awal Indonesia disebut memiliki struktur yang jelas mencerminkan tatanan kosmologis dengan pola-pola sosial budaya yang dibedakan dalam dua tipe, yaitu (a) kota-kota pedalaman dengan cirri-ciri tradisional-religius, dan (b) kota-kota pantai yang berdasarkan pada kegiatan perdagangan, misalnya Kota Indis Semarang. Selain ciri dari kota kolonial di atas maka dalam perkembangannya kota tua disetiap pusat peradaban memiliki karakter dan pola pengaturan yang berbeda satu sama lain. kota tua mempunyai parameter yang berbeda-beda pada setiap kebudayaan yang berlainan, antara lain :5 Pada zaman Helenistik, kota memiliki ciri paling tidak sebuah tempat pertunjukan dan gelanggang olahraga. Pada kebudayaan Islam ditandai dengan masjid, pasar dan tempat pemandian umum.
4
Djoko Sukiman. 2011. Kebudayaan Indis dari Zaman Kompeni sampai direvolusi. Jakarta, Komunitas Bambu. Hlm 107 5 Rudi Tjahyoko. Op. Cit.,
72
Pada kebudayaan Mesopotamian, Kamboja dan Maya ditandai dengan adanya kuil. Untuk peradaban-peradaban di India sebuah kota ditandai dengan adanya kuil, istana dan pasar. Sementara untuk peradaban Cina kuno sebuah kota ditandai dengan adanya altar pemujaan dewa tanah, tembok dan kuil para leluhur penguasa. Masyarakat Indonesia terbiasa untuk membuat sesuatu yang baru, dan melupakan yang lama. Padahal seharusnya, kita belajar untuk memelihara tradisi. Yang dimaksud dengan tradisi adalah tidak memulai segala sesuatu dari nol, melainkan mengadaptasi, melanjutkan, dan memperbaiki apa yang sudah ada. Melalui bangunan-bangunan tua itu, masyarakat bisa mempelajari satu bagian perjalanan sebuah bangsa. Dari situ juga, masyarakat bisa mempelajari apa yang salah di masa lalu, untuk diperbaikinya pada masa datang Dalam pembahasan ini sesuai Penelitian penulis yang mengungkapkan mengenai bagaiman identitas Kota Gorontalo yang mencerminkan arsitektur Kolonial dan arsitektur Indis kemudian ada juga pemahaman sedikit tentang pengembangan awal kota-kota dan pemukiman semasa kekuasaan colonial Belanda. Seperti yang di jelaskan pada bab sebelumnya bahwa pengaruh arsitektur Kolonial Belanda di Kota Gorontalo yaitu gaya arsitektur Indis yang merupakan Ciri khas bangunan yang ada di Kota Gorontalo pada masa Kolonial Belanda. Sepintas terlihat pada pengaruh budaya Barat pada pilar-pilar besar, mengingatkan
73
kita pada gaya bangunan Parthenon dari zaman Yunani dan Romawi. Lampulampu gantung dari Italia dipasang pada serambi depan membuat bangunan tampak megah terutama pada malam hari. Pintu terletak tepat di tengah diapit dengan jendela-jendela besar pada sisi kiri dan kanan. Antara jendela dan pintu dipasang cermin besar dengan patung porselen. Khusus untuk gedung-gedung perkantoran, pemerintahan, dan rumah-rumah dinas para penguasa di daerah masih ditambah lagi dengan atribut-atribut tersendiri seperti payung kebesaran, tombak dan lain-lain agar tampak lebih berwibawa. Secara historis sangat jelas tercatat bahwa sentrum awal pertumbuhan kota Gorontalo dimulai dari bagian selatan yakni kelurahan Tenda, Ipilo, Kampung Bugis saat ini. Hal ini terjadi karena sejak berkuasanya Belanda maka pemusatan kantor pemerintahan dan aktivitas perdagangan berada di wilayah ini, karena di dukung oleh posisi geografis dimana terdapat dua aliran sungai besar yakni sungai Bone dan sungai Bolango sebagai alternatif jalur transportasi saat itu.6 Dalam hal pembangunan kota gorontalo pada masa Kolonial Belanda yang dipelopori langsung oleh Sultan Botutihe. Seperti dalam kasus sejarah kota Gorontalo, dokumen-dokumen yang ada selalu konsisten menuliskan persatasi sSultan Botutihe dalam membangun „Bandar/Kota” Gorontalo, dank arena factor inilah sehingga kemudian beliau diangurahi Ilomata (karya agung).7 Yang menarik dicermati adalah karena ternyata “tata Kota” Gorontalo yang dirancang abad 18 itu memang terkesan elitis dan sentralistik, dan dibangun dalam suasana kekhawatiran ekspansi territorial pemerintah Belanda. Alasan tata 6 7
Hasanuddin dan Basri Amin. Op. Cit., Hlm 235 Basri Amin. 2012 Memori Gorontalo. Teritori, Transisi dan Tradisi. Yogyakarta. Hlm 53.
74
kota rancangan Botutihe tersebut, antara lain karena dengan desain itu Gorontalo bisa lebih kuat menghadapi ekspansi. Oleh dokumen ini dikatakan pula bahwa tidak ada keterangan yang menyatakan penyebutan kota Gorontalo sebagai ”Bandar”. Umumnya, orang-orang disekitar wilayah ini menyebut lokasi “Kota” (seperti yang sudah terbiasa kita sebut sekarang) dengan sebutan “Belle”, dan bukan “Kota” (cukup mirip dengan sebutan “Balai” (Melayu), atau “Balla” (Bugis/Makassar) Dibuku mengenai Gorontalo Moderen yang ditulis oleh Basri Amin mengemukakan tentang arsitektur Kolonial Belanda yang mengungkapkan bahwa selain itu, diluar lokasi Kota, umumnya rumah-rumah tidak permanen, sebagian besar seperti gubuk bertiang kayu (sebagai tempat persinggahan atau untuk para penjaga ladang), sehingga orang-orang yang mau kewilayah ini menyatakan “saya mau ke Belle” (maksudnya lokasi Kota sekarang ini). Kalau tidak salah masih kita temukan beberapa rumah yang masig bertuliskan “Belle” saat ini di Kota Gorontalo, Mislanya rumah Pak H.A. Nusi. Juga beberapa rumah tua menggunakan kata “Villa”, misalnya sebuah rumah kecil (Villa Bone) disamping tempat makan milu siram/Binte Biluhuta dan tinutuan (Ci‟ Kia) dikampung Bugis (kawasan Ipilo).8 Orang-orang Belanda, pemilik perkebunan, golongan priayi dan penduduk pribumi yang telah mencapai pendidikan tinggi merupakan masyarakat papan atas, ikut mendorong penyebaran kebudayaan Indis lewat gaya hidup yang serba mewah. Arsitektur Indis sebagai manifestasi dari nilai-nilai budaya yang berlaku
8
Ibid., Hlm 54.
75
pada zaman itu ditampilkan lewat kualitas bahan, dimensi ruang yang besar, gemerlapnya cahaya, pemilihan perabot, dan seni ukir kualitas tinggi sebagai penghias gedung. Mengamati arsitektur Indis hendaknya kita jangan terpaku pada keindahan bentuk luar semata, tetapi juga harus bisa melihat jiwa atau nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Rob Niewenhuijs dalam tulisannya Oost Indische Spiegel yaitu pencerminan budaya Indis, menyebutkan bahwa sistem pergaulan dan tentunya juga kegiatan yang terjadi di dalam bangunan yang bergaya Indis merupakan jalinan pertukaran norma budaya Indonesia dengan Belanda. Manusia Belanda berbaur ke dalam lingkungan budaya Jawa dan sebaliknya. Pengukuhan kekuasaan kolonial saat itu tertuang dalam kebijakan yang dinamakan “politik etis”. Prinsipnya bertujuan meningkatkan kondisi kehidupan penduduk pribumi. Di lain fihak penguasa juga memperbesar jumlah kedatangan orang Belanda ke Indonesia yang secara langsung membutuhkan sarana tempat tinggal berupa rumah-rumah dinas dan gedung-gedung. Di sini terlihat jelas bahwa ternyata semua peristiwa yang dialami pada tiap kehidupan manusia bisa memberi dampak yang besar terhadap pandangan arsitektur. Bahwa gagasan arsitektur sesungguhnya juga dipengaruhi oleh situasi dinamika sosial budaya manusia dan sekaligus menjadi bagian dari padanya. Arsitektur Indis telah berhasil memenuhi nilai-nilai budaya yang dibutuhkan oleh penguasa karena dianggap bisa dijadikan sebagai simbol status, keagungan
dan
kebesaran
kekuasaan
terhadap
masyarakat
jajahannya.
Perkembangan arsitektur Indis sangat determinan karena didukung oleh peraturan-
76
peraturan dan menjadi keharusan yang harus ditaati oleh para ambtenar, penentu kebijaksanaan. Pemerintah kolonial Belanda menjadikan arsitektur Indis sebagai standar dalam pembangunan gedung-gedung baik milik pemerintah maupun swasta. Bentuk tersebut ditiru oleh mereka yang berkecukupan terutama para pedagang dari etnis tertentu dengan harapan agar memperoleh kesan pada status sosial yang sama dengan para penguasa dan priayi. Arsitektur Indis tidak hanya berlaku pada rumah tinggal semata tetapi juga mencakup bangunan lain seperti stasiun kereta api, kantor pos, gedung-gedung perkumpulan, pertokoan, dan lain-lain. Adapun pudarnya arsitektur Indis mungkin disebabkan oleh konsekuensi historis yang menyangkut berbagai aspek sosial budaya. Menurut Denys Lombard, sejarah terbentuknya budaya Indis karena didorong oleh kekuasaan Hindia Belanda yang berkehendak menjalankan pemerintahan dengan menyesuaikan diri pada kondisi budaya masyarakat di wilayah kolonialnya. Dengan datangnya perubahan zaman dan hapusnya kolonialisme, maka berakhirlah pula kejayaan budaya feodal termasuk perkembangan arsitektur Indis. Dalam periode kemerdekaan, bangsa Indonesia menganggap arsitektur Indis sebagai monumen dan simbol budaya priayi yang tidak bisa lagi dipertahankan dan dijadikan kebanggaan, maka kehancurannya tidak perlu diratapi. Arsitektur Indis mencapai puncaknya pada akhir abad ke- 19. Seiring dengan perkembangan kota yang modern, lambat laun gaya Indis ditinggalkan dan
77
berubah menjadi bangunan-bangunan baru (nieuwe bouwen) yang bergaya artdeco sebagai gaya internasional. Bagi golongan orang Eropa khususnya Belanda, mereka berada dalam kompleks perkantoran colonial Belanda yang terletak ditengah Kota sebagai pusat pemerintahan administratif Administratif Residentie meliputi kantor asisten Residen, Controleur, Hooft Agen Stad politie, Nederlandsch-Indische HandelsBank, Copra Ponds, Telepon, Pos dan Telegrap, keuangan dan kesehatan. Dalam kawasan tersebut pejabat dan pegawai rendahan maupun anggota Militer Kolonial Belanda mendirikan pemukiman Khusus, dengan pos keamanan yang terletak ditepi jalan besar Kota dan terpisah dari pemukiman pribumi. Pemukiman ini lebih popular disebut kampung Belanda (kelurahan Tenda sekarang).9 Dari literature diatas dan observasi yang dilakukan oleh penulis terlihat masih banyak pemukiman yang bergaya arsitektur Kolonial belanda yang ditemukan, Seperti yang dikemukakan pada bab sebelumnya. Ini menandakan bahwa identitas kota tua yaitu arsitektur Kolonial Belanda yang bergaya indis di Kota Gorontalo masih telihat jelas.
9
Hasanuddin dan Basri Amin. Op. Cit., Hlm 143