BAB IV IDENTIFIKASI DAN ANALISA PERMASALAHAN
4.1
Identifikasi
4.1.1
Aspek Non-Teknis Beberapa permasalahan yang berasal dari segi non-teknis, antara lain:
1. Manusia (Pengunjung dan Staff) Pada zaman seperti sekarang ini mayoritas pengunjung yang datang ke museum adalah kalangan pelajar sekolah yang sedang melakukan studi wisata. Fakta itulah yang membuat museum di Indonesia kian menjadi sebuah bangunan yang tidak dihiraukan lagi keberadaannya. Saat mengunjungi museum itu sendiri, sebagian besar pengunjung kurang mendapatkan informasi yang jelas mengenai koleksi yang dipamerkan. Selain itu faktor dari kinerja para staff juga menjadi salah satu kendala pada museum di Indonesia. Dengan melihat antusiasme masyarakat yang menurun, secara tidak langsung membuat kinerja staff yang bekerja di museum juga ikut menurun. Mereka memperlakukan museum sebatas tempat bekerja, bukan menjadikan museum sebagai bagian dari hidupnya yang penting dan patut dikembangkan setiap saat, oleh karena hal tersebut, passion para staff juga dirasakan sangat kurang. Beberapa faktor utama yaitu jumlah pengunjung yang menurun dari waktu ke waktu, kondisi museum yang tidak ada pembaharuan, serta kurangnya perhatian pemerintah menjadi alasan mengapa kinerja para staff menurun. 2. Ekonomi Faktor ekonomi menjadi salah satu permasalahan penting museum-museum di Indonesia. Kurangnya alokasi dana yang diberikan pemerintah menjadi alasan mengapa bangunan-bangunan museum itu tampak seperti tidak terurus. Tanpa dana yang cukup, staff pada museum tersebut tidak mampu melakukan perubahan yang 87
berarti untuk terus meningkatkan eksistensi museum di Indonesia. Untuk melakukan sebuah penelitian saja, diperlukan dana yang tidak sedikit dan waktu pelaksanaan yang bisa bertahun-tahun lamanya. Perusahaan-perusahaan swasta juga jarang sekali ada yang tertarik untuk memberikan sumbangan dana sebagai bantuan untuk pemeliharaan museum. Mereka lebih tertarik dengan menjadi sponsorship acara-acara yang bersifat hiburan dan komersial karena akan dikunjungi banyak masyarakat, berbeda dengan jumlah pengunjung yang mengunjungi museum sehingga mereka merasa tidak memberikan keuntungan apabila memberikan sumbangan dananya untuk pemeliharaan museum. 3. Sosial Budaya Kultur masyarakat di Indonesia dan Jakarta pada khususnya memang tidak membiasakan diri untuk mengunjungi museum sebagai pusat hiburan, berbeda dengan kultur masyarakat barat yang memang menjadikan museum sebagai salah satu tempat hiburan, bukan hanya sebatas tempat mencari ilmu. Masyarakat di Jakarta sudah diperkenalkan dengan museum sejak usia dini melalui karyawisata sekolah, yang bertujuan untuk menumbuhkan kecintaan pada ilmu pengetahuan. Dengan melihat fakta yang ada saat ini, cara itu ternyata kurang berdampak untuk mengubah kebiasaan masyarakat agar mengunjungi museum sebagai tempat mencari ilmu dan hiburan. 4. Citra Ruang Pandangan masyarakat umum mengenai citra ruang dari museum yang ada di Indonesia pada umumnya bisa disimpulkan dalam 7K dan 7S, yaitu27: 7 K : (1) Kuno, museum merupakan tempat menyimpanan koleksi masa lalu dan benda yang tidak terpakai lagi, (2) Kusam, kebanyakan museum yang ada tidak dirawat dengan baik cenderung kumuh dan kotor, (3) Klenik, museum dikunjungi karena dianggap dapat memberikan berkah dan karomah secara gaib, (4) Ketinggalan, museum dianggap ketinggalan jaman, (5) Kurang, museum dianggap kurang pergaulan sehingga merasa dirinya sudah baik padahal masih banyak
27
Ali Akbar, Museum di Indonesia Kendala dan Harapan, Jakarta 2010.
88
kekurangan didalamnya, (6) Kritik, banyak pihak yang memberikan kritik terhadap perkembangan museum di Indonesia karena belum bisa mengelola dengan baik, (7) Kasihan, museum dianggap perlu dikasihani karena banyak kekurangan didalamnya. 7 S : (1) Seram, kesan tua dan bagian dari masa lalu membuat museum menjadi seram dan angker, (2) Suram, padangan terhadap museum akan suram dimasa depan apabila tidak ada perubahan segera mungkin, (3) Serius, museum merupakan tempat yang kaku, ketat, banyak larangan ketika berada didalamnya, (4) Statis, museum tidak ada dinamikanya selalu sama saat ini dan sepuluh tahun yang lalu, (5) Sekali, museum dianggap cukup sekali dikunjungi, (6) Sia-sia, mengunjungi museum tidak sesuai dengan harapan yang diinginkan masyarakat, (7) Sepi, museum jarang dikunjungi orang sehingga sepi.
4.1.2 Aspek Teknis Beberapa permasalahan yang ada dari segi teknis, antara lain: 1. Lokasi dan Lingkungan Lokasi museum di Jakarta kebanyakan berada di daerah Kota, Jakarta Pusat. Melihat dari wilayahnya, Jakarta Pusat memang berada di tengah kota dekat dengan perkantoran dan pemerintahan. Di daerah tersebut memang banyak bangunan jaman kolonial yang dilindungi oleh pemerintah. Mungkin itulah yang menjadi salah satu alasan mengapa pemerintah banyak mendirikan museum-museum di daerah Kota, Jakarta Pusat. Selain agar mudah diakses, bangunan kolonial yang menjadi cagar budaya itu akan tetap bisa digunakan dan terus terpelihara. Melihat kondisi kota Jakarta pada saat ini, dengan jumlah kendaraan semakin banyak, kemacetan merupakan hal yang sudah biasa terjadi. Untuk menuju wilayah Jakarta Pusat sendiri diperlukan waktu yang cukup lama karena melewati daerah perkantoran dan rawan kemacetan, selain itu juga jalan protokol memberlakukan 3-in-1 di jam-jam tertentu. Hal-hal seperti itu semakin menambah alasan masyarakat untuk tidak mengunjungi museum.
89
Sebenarnya banyak wilayah di Jakarta yang berpotensi menjadi kawasan museum, salah satunya adalah wilayah Jakarta Selatan. Jakarta Selatan juga merupakan wilayah yang banyak didirikan perumahan, pusat hiburan dan juga perkantoran tetapi pembangunannya tidak sebesar Jakarta Pusat sehingga kemacetan yang terjadi tidak terlalu parah. Gedung Salihara sendiri berada di wilayah Jakarta Selatan, pada kawasan yang cukup produktif karena terdapat Universitas Nasional dan beberapa kantor pemerintah lainnya. Oleh karena itu, gedung ini dirasa cocok untuk dijadikan lokasi Museum Rock Indonesia. 2. Bangunan dan Arsitektur Gedung-gedung museum di Jakarta mayoritas menggunakan bangunan lama, seperti yang sudah dibahas sebelumnya, sebagian besar menggunakan bangunan gaya kolonial lama yang dijadikan cagar budaya oleh pemerintah. Tentunya hal tersebut memiliki kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Kelebihan dari menggunakan bangunan cagar budaya itu adalah tetap bisa menjaga dan memelihara sebuah bangunan peninggalan yang memiliki nilai sejarah yang tinggi, sehingga dibalik gedung-gedung bertingkat yang semakin banyak di Jakarta, gedung
bergaya kolonial tetap hadir sebagai bangunan sejarah masa
lampau. Sedangkan kekurangannya adalah dengan bangunan yang tua dan kurang perawatannya, membuat sebuah museum semakin terasa kuno dan membosankan. Bentuk luar bangunan merupakan hal yang penting karena akan mempengaruhi bagian dalam bangunan. Walaupun museum itu memamerkan benda bersejarah yang umurnya mungkin sudah ratusan tahun, tetapi bukan berarti bangunan dari sebuah museum itu juga harus tua dan kuno. Museum Rock Indonesia mengambil target market dari anak muda hingga orang tua yang memiliki jiwa muda, sehingga gedung yang digunakan harus sesuai dengan kepribadian pengunjungnya. Musik rock yang cenderung memiliki beat yang tinggi dan agresif, mewakili sifat anak muda yang cenderung ingin bebas dan mandiri. Oleh karena itu gedung museum sebagai wadah apresiasi bagi anak muda, harus memiliki kepribadian yang serupa sehingga terjadi harmonisasi antara gedung
90
dan penggunanya. Gedung Salihara dinilai cukup mewakili sifat anak muda, karena memiliki bentuk bangunannya yang menarik, dan tidak kaku. 3. Tata Ruang dan Besaran Ruang Dalam sebuah museum, sirkulasi merupakan hal yang penting dan harus diperhatikan dalam setiap ruangan. Sirkulasi berawal dari pengunjung memasuki lobby museum, membeli tiket, menjelajah bangunan dan melihat-lihat seluruh koleksi pameran hingga akhirnya meninggalkan gedung. Kebanyakan museum yang ada di Jakarta kurang memperhatikan aspek sirkulasi pengunjung, sehingga memungkinkan adanya bagian dari museum yang tidak dikunjungi atau berkumpulnya pengunjung hanya di satu bagian ruangan saja, sehingga ruangan yang lainnya terlihat kosong. Besaran setiap ruangan juga harus diperhatikan agar pada saat pengunjung melihat koleksi, ruangan tersebut tidak terasa sempit atau terlalu besar. Gedung Salihara merupakan bangunan yang memang dijadikan sebagai tempat pameran dan pagelaran seni lainnya. Sehingga pada saat terjadi perubahan aktivitas dengan adanya Museum Rock Indonesia, fasilitas yang dibutuhkan tidak mengalami banyak perubahan. Gedung ini juga merupakan hasil kerja sama tiga arsitek Indonesia yang sudah tidak diragukan lagi kehandalannya, sehingga pada saat pembangunan gedung ini, segala aspek sirkulasi seperti besaran ruang, pencahayaan dan lain-lain sudah dipikirkan dengan matang. 4. Elemen Interior Kebanyakan interior museum di Jakarta, terlihat kuno dan membosankan. Elemen-elemen interior dari museum kurang diperhatikan, mungkin hanya diperhatikan sebatas bagaimana cara men-display benda koleksi museum tersebut, padahal bila dipelajari lebih dalam elemen interior sebuah museum itu banyak sekali. Mulai dari jenis material yang digunakan, bentuk furniture yang sesuai dengan museum tersebut, sampai bagaimana memaksimalkan lantai, dinding dan ceiling ruangan sehingga bisa menghadirkan sebuah ruangan yang baik.
91
5. Pencahayaan Pencahayaan untuk sebuah museum akan mempengaruhi benda koleksinya. Apabila tidak diperhatikan, lambat laun warna dan material dari koleksi tersebut bisa rusak karena pencahayaan yang salah. Pencahayaan museum kebanyakan hanya mengandalkan pencahayaan buatan yang diletakan untuk menyorot bendabenda koleksi. Permainan cahaya kurang dimainkan dalam sebuah museum, sehingga benda koleksi juga tidak terlihat dramatis, cenderung flat. 6. Penghawaan Selain pencahayaan, penghawaan dalam ruang museum juga harus diperhatikan. Penghawaan yang salah bisa menimbulkan tumbuh kembangnya jamur dan serangga yang bisa merusak benda-benda koleksi museum. Selain mempengaruhi benda koleksi, penghawaan juga akan mempengaruhi pengunjung yang ada di dalam ruangan tersebut. Secara logika, manusia tidak akan betah dengan keadaan ruangan yang terlalu panas atau terlalu dingin, itu akan membuat manusia merasa tidak nyaman dalam ruangan tersebut. Dengan iklim Jakarta yang cenderung tropis, yang perlu diperhatikan jangan sampai penghawaan ruangan di dalam ruangan kalah dengan panas dari luar gedung. 7. Akustik dan Kebisingan Ruang pamer dalam museum harus jauh dari tingkat kebisingan, baik yang berasal dari luar ataupun dalam gedung sendiri. Untuk museum yang memiliki ruang audio visual ataupun teater, wajib untuk memperhatikan tata akustik ruang tersebut. Jangan sampai ruangan yang berada disebelahnya atau sekitarnya akan merasa terganggu dengan kebisingan yang dibuat oleh ruangan lainnya.
4.2.
Analisa Permasalahan
4.2.1
Aspek Non-Teknis Berikut adalah analisa permasalahan dari segi non-teknis:
1. Manusia (Pengunjung dan Staff) Umumnya, pengunjung museum memiliki kebiasaan malas untuk bertanya, alasannya adalah karena untuk bertanya saja pengunjung merasa kesulitan untuk 92
mencari pengelola gedung tersebut. Kebanyakan pengunjung museum di Jakarta dibiarkan begitu saja untuk melihat-lihat benda koleksi tanpa didampingi oleh pengelolanya. Pengunjung hanya membaca dari keterangan yang diberikan pada koleksi tersebut. Oleh sebab itu, pengelola harus memperhatikan kebutuhan dan keinginan pengunjung untuk bisa memberikan informasi yang baik pada setiap koleksinya. Sebagai contoh di National Museum of Singapore memberikan tape recorder yang diberikan kepada masing-masing pengunjung saat memasuki ruang pameran. Gedung tersebut terdiri dari beberapa bagian yaitu teater besar, teater kecil dan ruang pameran. Setiap memasuki ruangan, terdapat stiker yang diletakan dilantai beserta keterangan angkanya, tujuannya agar pengunjung dapat menekan angka tersebut dalam tape recorder yang sudah diberikan, kemudian secara langsung akan mendapat informasi mengenai penjelasan dari ruangan tersebut secara audio. Museum-museum di Jakarta harus banyak belajar dari museum yang ada di luar negeri. Pengelola museum diluar sangat memperhatikan kebutuhan pengunjung dalam memberikan informasi sebanyak-banyaknya. Perlu diperhatikan lagi, pengunjung yang datang ke museum juga ada yang memiliki kekurangan fisik seperti tuna netra dan tuna rungu. Oleh sebab itu diperlukan sebuah ide baru beserta konsep desain yang mampu membantu penyandang cacat untuk mendapatkan informasi selayaknya masyarakat yang lain. Dengan memberikan pengunjung sebuah fasilitas yang memadai melalui sebuah desain baru, akan membuat masyarakat tertarik kembali untuk menghadiri museum. Masyarakat tidak lagi menganggap bahwa museum itu tempat yang membosankan, karena desain dan cara penyajiannya sudah berbeda. Dan untuk mendukung itu semua dibutuhkan juga aspek perubahan dari dalam museum itu sendiri yaitu karyawannya. Karyawan (staff) yang bekerja untuk sebuah museum harus merubah cara kerja mereka, dan harus lebih bertanggung jawab serta menanamkan dari dalam diri mereka bahwa, pengunjung adalah raja, sehingga mereka akan memberikan pelayanan yang terbaiknya agar pengunjung bisa 93
mendapatkan semua kebutuhan yang mereka harapkan untuk mendapatkan informasi yang lengkap mengenai museum tersebut. 2. Ekonomi Pemerintah sebagai penyalur modal utama dalam pemberian dana bagi museum-museum yang bernaung dibawah Kementrian Budaya dan Pariwisata harus memberikan perhatian yang lebih lagi mengenai keberadaan museum di Indonesia khususnya Jakarta. Perhatian itu bukan hanya sebatas pemberian bantuan dana, tetapi juga memperhatikan segala aspek yang menunjang eksistensi museum itu sendiri. Untuk membuat perubahan yang lebih baik dalam pembangunan museum, dapat dipastikan membutuhkan dana yang tidak sedikit. Dana itu diperlukan untuk pengelolaan museum dari gedung, benda koleksi hingga staff yang bekerja di dalamnya. Melihat dari birokrasi yang ada pada pemerintahan Indonesia, harapan untuk mendapatkan dana yang lebih itu mungkin tidak mudah terwujud. Untuk itu museum juga harus bisa secara mandiri mencari donatur atau sponsorship dari pihak luar untuk mendapatkan dana tambahan. Banyak cara yang bisa dilakukan dari mulai mengadakan penggalangan dana, hingga membuat sebuah acara yang bisa menarik pengunjung sehingga banyak perusahaan yang bersedia untuk memberikan dananya kepada museum tersebut. 3. Sosial Budaya Di Negara lain, museum merupakan salah satu tempat hiburan yang patut dikunjungi selain sebagai sarana mencari ilmu, juga bisa dijadikan tempat untuk untuk rekreasi. Kultur dan budaya yang ada dalam masyarakat disana memang membiasakan masyarakatnya untuk rajin mendatangi museum. Berbeda dengan kultur dan budaya yang terjadi di Indonesia. Kultur masyarakat Indonesia yang tidak terbiasa untuk mendatangi museum dan memandang museum hanya sebatas sarana untuk mencari ilmu yang membosankan. Kultur yang sudah berkembang sejak lama ini memang tidak mudah untuk diubah, butuh banyak kerjasama dari berbagai pihak agar bisa menjadi lebih baik lagi. Dari keluarga, orang tua harus bisa membiasakan untuk mengajak anak94
anaknya mengunjungi museum, tidak terbatas pada pusat perbelanjaan saja. Orang tua harus bisa memberi pengertian bahwa museum merupakan salah satu sarana hiburan yang bisa dimasukan dalam agenda liburan keluarga. Selain itu dari pihak sekolah, guru atau pengajar tidak hanya dapat memberikan ilmunya dalam kelas saja, melainkan melalui studi wisata dengan menghadiri museum secara langsung. Menurut penelitian, murid lebih mudah untuk menyerap ilmu secara visual dibandingkan hanya secara teoritis. Untuk menunjang hal-hal diatas butuh kerja sama yang baik juga dari pemerintah. Pemerintah dapat menciptakan sebuah program yang mengharuskan masyarakatnya untuk menghadiri museum dan menjadikannya budaya yang akan berkembang di Indonesia. Salah satu program pemerintah dalam peningkatkan tujuan wisata Indonesia adalah dengan mengadakan “Visit Indonesia Year” yang diselenggarakan oleh Kementrian Budaya dan Pariwisata. Tujuan dari program ini adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan dalam sektor pariwisata dengan mengajak serta partisipasi seluruh komponen masyarakat untuk mengsukseskan program ini. Program “Visit Indonesia Year” selain untuk “menjual” Indonesia secara global, juga bertujuan untuk menyadarkan masyarakat Indonesia dengan berbagai tujuan wisata yang salah satunya adalah museum. 4. Citra Ruang Citra museum yang buruk perlu ditangani dengan pembentukan citra yang baru. Pemerintah Indonesia telah menyiapkan sejumlah program pencitraan museum yang diharapkan dapat membuat citra museum yang lebih baik. Program yang telah dicanangkan pemerintah adalah Gerakan Nasional Cinta Museum 20102014. Salah satu kegiatan yang ada dalam program itulah adalah Revitalisasi Museum. Revitalisasi Museum selama lima tahun (2010-2014) ditujukan untuk mewujudkan museum yang dinamis dan berdaya guna sesuai dengan standar ideal pengelolaan dan pemanfaatan museum. Perancangan Tahun Kunjungan Museum 2010 tidak akan cukup untuk menarik masyarakat untuk berkunjung ke museum apabila kendala yang ada belum diselesaikan. Pembenahan museum sebaiknya dilakukan terlebih dulu, karena 95
dikhawatirkan program yang direncanakan pemerintah hanya sebatas wacana, dan membuat pengunjung malas untuk datang lagi ke museum. Apabila pembenahan museum sudah lebih baik, maka tingkat keberhasilan program tersebut pasti lebih tinggi dan disambut baik oleh segala kalangan masyarakat. Program pencitraan museum di Indonesian memiliki jingle dan logo yang patut diacungi jempol. Jingle merupakan salah satu cara membuat image museum yang serius menjadi menyenangkan. Jingle dipakai di media massa secara audio visual untuk menyampaikan citra museum. Sementara logo dipakai untuk kampanye visual di tempat umum. Logo yang segar dan dinamis diharapkan mampu mengubah anggapan bahwa museum adalah tempat yang kuno dan statis.
4.2.2
Aspek Teknis Berikut analisa permasalahan dari segi teknis, antara lain:
1. Lokasi dan Lingkungan Lokasi museum yang baik adalah lokasi yang dapat dijangkau pengunjung dengan mudah. Kebanyakan museum di Jakarta memang berada dijalan besar sehingga mudah terlihat dari jalan. Lokasi museum di Jakarta kebanyakan berada di Jakarta Pusat, tetapi berada di wilayah yang rawan kemacetan karena berada di wilayah perkantoran dan jalan-jalan protokol. Lokasi Museum Rock Indonesia yang akan dibuat nanti berada di daerah pasar minggu, Jakarta Selatan. Lokasi ini dianggap cukup baik untuk dibangunnya sebuah museum karena akses menuju lokasi ini cukup mudah, baik dengan kendaraan pribadi maupun kendaraan umum karena bisa menggunakan bus transjakarta. Daerah pasar minggu sendiri tidak melewati jalan protokol dan tidak ada pemberlakuan 3-in-1, sehingga masyarakat tidak perlu merasa terburu waktu saat mengunjungi Museum Rock Indonesia. Selain itu juga lingkungan Gedung Salihara dianggap cocok, karena Salihara sendiri merupakan bangunan yang digunakan oleh komunitas seni yang sering mengadakan acara disana, baik dalam bentuk teater ataupun pameran. Sehingga target market dari museum ini sudah sesuai dengan yang diharapkan. 96
2. Bangunan dan Arsitektur “Tampak luar manusia adalah cerminan diri dalamnya” itu adalah sebuah kutipan yang sering kita dengar dimasyarakat. Kutipan seperti itu berlaku pula dengan museum. Bagaimana keadaan dalam sebuah museum akan tercermin dari bentuk luar arsitektur bangunannya. Untuk itu, proyek Museum Rock Indonesia ini mencari sebuah bangunan yang akan mewakili ruangan yang akan dibuat nantinya. Arsitektur Gedung Salihara yang urban dan modern dianggap sesuai dengan citra museum rock yang ada. Musik rock sendiri adalah musik yang bebas, dengan beat yang dinamis untuk berekspesi tanpa ada batasan, dan jenis musik rock itu sendiri terdiri dari berbagai macam campuran. Itulah alasannya mengapa Gedung Salihara ini dianggap cocok, karena fungsi gedung yang merupakan wadah untuk mengekspresikan diri. Selain bentuk arsitekturnya yang modern, arsitek yang merancang bangunan ini sangat memperhatikan segala aspek yang dibutuhkan untuk sebuah bangunan museum, dari lingkungan, pencahayaan dan penghawaan. Gedung Salihara terdiri dari 3 bangunan utama yaitu, teater salihara, galeri salihara dan serambi salihara, serta ruangan penunjang lainnya. Sehingga dalam proyek Museum Rock Indonesia nanti tidak perlu diadakan perubahan besar untuk luas dan bentuk dari ruangan, aktifitas hanya menyesuaikan dengan fasilitas yang tersedia sebelumnya sehingga perubahan hanya sebatas penggantian fungsi ruangannya saja. 3. Tata Ruang dan Besaran Ruang Museum yang baik adalah museum yang memperhatikan sirkulasi pengunjungnya secara menyeluruh, bukan hanya sebatas sirkulasi ruangan tetapi juga memperhatikan sirkulasi bangunan atau flow activity dari pengunjung yang ada. Dengan pemilihan denah Gedung Salihara dan keputusan untuk tidak merubah layout ruangan yang ada, sehingga tata ruang dan besaran ruang untuk Museum Rock Indonesia menyesuaikan dengan denah yang ada. Flow activity pengunjung dari memasuki gedung salihara akan dibawa untuk menuju ke ticket box kemudian menuju ruang Gallery 1 yang berisikan sejarah perjalanan musik rock dunia. Selanjutnya dengan menaiki tangga, 97
pengunjung akan dibawa menuju ruang Gallery 2 yang menjadi ruang utama dalam museum ini, yaitu sejarah musik rock di Indonesia. Setelah selesai melihat sejarah perkembangan musik, pengunjung akan menuju ke ruang Interactive Listening untuk mendengarkan musik secara langsung melalui peralatan yang telah disediakan oleh museum. Setelah melihat dan mendengarkan jenis-jenis musik rock, apabila pengunjung masih merasa kurang mendapatkan informasi mereka dapat membaca buku-buku yang disediakan diruang Library yang berada di lantai tiga. Setelah membaca buku di library, pengunjung akan dibawa untuk turun dengan cara meletakan Movie Theater dilantai paling bawah dari gedung. Hal ini bertujuan agar pengunjung memasuki semua ruangan dari Museum Rock Indonesia, setelah menikmati fasilitas di movie theater pengunjung bisa langsung pulang, tetapi sebelum mengakhiri kunjungannya mereka akan diarahkan terlebih dahulu menuju Merchandise Shop yang menjual barang-barang koleksi museum serta musisimusisi rock dalam dan luar negeri. Setelah lelah menjelajah seluruh bangunan museum, pengunjung dapat beristirahat menikmati hidangan yang ditawarkan atau hanya sekedar duduk santai menikmati suasana bangunan museum di Resto and Bar Ruang pertunjukan berada dibagian timur gedung, yang dapat diakses melalui lobby depan, maupun lobby samping. Alasannya karena ruang pertunjukan tidak selalu akan mengadakan acara setiap harinya, sehingga pengunjung tidak diarahkan secara langsung menuju ruang tersebut. Selain itu ruang teater memiliki area lobby sendiri sehingga pada saat sedang mengadakan acara, pengunjung yang akan melihat-lihat museum tidak akan merasa terganggu dengan pengunjung yang akan menonton pertunjukan di teater. Untuk sirkulasi karyawan yang bekerja di museum, mereka dapat mengakses bagian kantor yang berada dilantai empat yang merupakan lantai tertinggi dalam gedung ini menggunakan lift, sehingga sirkulasi karyawan tidak bertabrakan dengan sirkulasi pengunjung. 4. Elemen Interior Penerapan elemen interior dalam Museum Rock Indonesia ini secara garis besar tetap mengikuti bentuk bangunan Gedung Salihara sebelumnya. Pada keseluruhan lantai gedung salihara memakai finishing acian semen, dan tetap akan 98
dipertahankan seperti itu karena dirasa sesuai dengan konsep yang akan digunakan nanti tetapi akan dikombinasikan juga dengan material yang lain agar tidak membosankan. Dinding untuk ruang teater menggunakan finishing batu bata dengan permainan bentuk untuk menunjang akustik ruangan, kemudian untuk gedung bagian selatan yang digunakan sebagai kantor menggunakan dinding kaca pada keseluruhan bangunan. Hal ini bertujuan agar karyawan yang bekerja bisa menggunakan pencahayan alami pada waktu pagi dan siang hari. 5. Pencahayaan Kelebihan dari gedung yang akan dijadikan Museum Rock Indonesia ini adalah penerapan dan penggunaan cahaya alami yang sangat diperhatian hampir diseluruh bangunan terutama untuk gedung bagian selatan yang akan dijadikan sebagai ruang Interactive Listening, Library dan Office. Sisi utara dan selatan gedung ini menggunakan kerawang agar cahaya masuk secukupnya untuk meminimalkan penggunaan AC dari panasnya cahaya siang, serta penggunaan lampu pada siang hari karena bangunan menggunakan sistem void dan sistem skylight dari atas. 6. Penghawaan Masa bangunan gedung ini dirancang ramping dan dipisah-pisah agar memberikan keleluasaan bagi udara untuk tertukar dan mengalir dengan lebih lancar, serta keleluasaan matahari untuk masuk ke dalam ruangan-ruangan. Penghawaan lebih difokuskan pada ruang galeri karena berpengaruh pada benda koleksi yang dipamerkan. Kelembaban dan suhu ruangan tetap dikontrol menggunakan AC, untuk menghindari kerusakan benda yang peka terhadap kelembahan dan suhu udara. Penghawaan untuk pengunjungnya sendiri sebenarnya tanpa menggunakan AC sudah cukup nyaman untuk digunakan karena dalam ruangan ini, jendela diatas dapat dibuka, kemudian dilantai bawah terdapat lubang angin, sehingga arus udara bisa bergerak dari bawah ke atas. 7. Akustik dan Kebisingan Seperti yang telah dibahas dalam sub bab sebelumnya, akustik merupakan hal yang perlu diperhatikan terutama dalam gedung pertunjukan. Ruangan pertunjukan 99
harus bebas dari cacat akustik, sehingga terjadi interaksi yang baik antara pemain dan penonton. Untuk Gedung Salihara sendiri, ruangan yang akan dijadikan sebagai ruang pertunjukan sudah memiliki tata akustik ruang yang baik. Arsitek yang merancang ruangan ini sangat memperhatian segala aspek guna menghadiri sebuah ruangan yang baik tanpa cacat akustik. Pemilihan material dan cara penerapannya bisa mengurangi kelebihan akustik dalam setiap ruangan. Untuk mendapatkan kekedapan yang baik di gedung teater, bangunan menggunakan batu bata untuk melapis dinding beton. Bata sangat responsif terhadap pemantulan dan penyerapan bunyi, dan mencoba menghadirkan profil rongga dan profil solid dengan bata. Ada sifat bunyi yang butuh pantulan, ada sifat bunyi yang butuh diserap. Untuk menghadirkan profil rongga dan solid itu, dinding bata disusun dengan bentuk merotasi. Di bagian bawah masih datar, untuk benarbenar memantulkan suara. Mulai menaik, susunan bata dirotasi 5 derajat, untuk menangkap arah suara yang dari mana pun bisa terpantul dan terserap. Dengan ini cara ini bisa menghadirkan bukan hanya bangunan, tapi juga rasa dan energi. Perencanaan akustik meliputi akustik ruangan dan pengendalian bising untuk mendapatkan suara yang jelas, tidak berdengung, cukup merata, tanpa cacat akustik seperti gema dan konsentrasi suara. Letak gedung pertunjukan yang terlindung oleh bangunan lain juga sangat menguntungkan, karena bising dari luar akan tereduksi. Untuk ruang galeri sebagai ruang pameran demi efek akustik yang optimal, dirancang langit-langit yang terbuat dari bahan yang menyerap suara. Soal akustik pada bangunan kantor diatasi dengan langit-langit yang menyerap suara. Perancangan akustik, ventilasi, dan pencahayaan tidak berdasarkan mazhab tertentu, melainkan menggunakan hukum fisika yang berlaku universal.
4.3.
Local Content Local content yang diterapkan dalam proyek Museum Rock Indonesia adalah
budaya Betawi. Argumentasi untuk menjelaskan mengapa budaya Betawi dipilih dalam proyek ini adalah karena melihat dari sejarahnya musik rock di Indonesia pertama kali 100
muncul di kota Jakarta. Oleh sebab itu Jakarta merupakan kota yang cukup berperan penting dalam sejarah perkembangan musik rock di Indonesia. Selain itu ditinjau dari lokasi gedung yang dipilih untuk pembuatan Museum Rock Indonesia juga berada di kota Jakarta, sehingga dirasa budaya Betawi cocok untuk mewakili ciri khas kota Jakarta tersebut.
4.3.1
Sejarah28 Kata Betawi digunakan untuk menyatakan suku asli yang menghuni Jakarta. Kata
Betawi berasal dari kata "Batavia", yaitu nama lama Jakarta pada masa Hindia Belanda. Diawali oleh orang Sunda (mayoritas), sebelum abad ke-16 dan masuk ke dalam Kerajaan Tarumanegara serta kemudian Pakuan Pajajaran. Selain orang Sunda, terdapat pula pedagang dan pelaut asing dari pesisir utara Jawa, dari berbagai pulau Indonesia Timur, dari Malaka di semenanjung Malaya, bahkan dari Tiongkok serta Gujarat di India. Antropolog Universitas Indonesia, Dr. Yasmine Zaki Shahab, MA memperkirakan, etnis Betawi baru terbentuk sekitar seabad lalu, antara tahun 1815-1893. Perkiraan ini didasarkan atas studi sejarah demografi penduduk Jakarta yang dirintis sejarawan Australia, Lance Castle. Di zaman kolonial Belanda, pemerintah selalu melakukan sensus, yang dibuat berdasarkan bangsa atau golongan etnisnya. Dalam data sensus penduduk Jakarta tahun 1615 dan 1815, terdapat penduduk dari berbagai golongan etnis, tetapi tidak ada catatan mengenai golongan etnis Betawi. Hasil sensus tahun 1893 menunjukkan hilangnya sejumlah golongan etnis yang sebelumnya ada. Misalnya saja orang Arab dan Moor, orang Bali, Jawa, Sunda, orang Sulawesi Selatan, orang Sumbawa, orang Ambon dan Banda, dan orang Melayu. Kemungkinan kesemua suku bangsa Nusantara dan Arab Moor ini dikategorikan ke dalam kesatuan penduduk pribumi (Belanda: inlander) di Batavia yang kemudian terserap ke dalam kelompok etnis Betawi. Pada tahun 1930, kategori orang Betawi yang sebelumnya tidak pernah ada justru muncul sebagai kategori baru dalam data sensus tahun tersebut. Jumlah orang Betawi sebanyak 778.953 jiwa dan menjadi mayoritas penduduk Batavia waktu itu. Antropolog
28
http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Betawi
101
Universitas Indonesia lainnya, Prof Dr Parsudi Suparlan menyatakan, kesadaran sebagai orang Betawi pada awal pembentukan kelompok etnis itu juga belum mengakar. Dalam pergaulan sehari-hari, mereka lebih sering menyebut diri berdasarkan lokalitas tempat tinggal mereka, seperti orang Kemayoran, orang Senen, atau orang Rawabelong. Sebagai satuan sosial dan politik dalam lingkup yang lebih luas, yakni Hindia Belanda, baru muncul pada tahun 1923, saat Husni Thamrin, tokoh masyarakat Betawi mendirikan Perkoempoelan Kaoem Betawi. Baru pada waktu itu pula segenap orang Betawi sadar mereka merupakan sebuah golongan, yakni golongan orang Betawi. Ada juga yang berpendapat bahwa orang Betawi tidak hanya mencakup masyarakat campuran dalam benteng Batavia yang dibangun oleh Belanda tapi juga mencakup penduduk di luar benteng tersebut yang disebut masyarakat proto Betawi. Penduduk lokal di luar benteng Batavia tersebut sudah menggunakan bahasa Melayu, yang umum digunakan di Sumatera, yang kemudian dijadikan sebagai bahasa nasional.
4.3.2
Kebudayaan Betawi Keberadaan budaya Betawi, termasuk kesenian tradisionalnya dalam beragam
bentuk seperti tari-tarian, teater, nyanyian, musik, dan sebagainya, merupakan aset wisata yang eksotik. Sudah sepatutnya berkembang sebagaimana kesenian tradisional dari etnis lain. Kebudayaan betawi yang dimaksud, yakni: • Ondel-ondel Boneka besar setinggi sekitar 2 meter tersebut memang dipercaya sebagai simbol nenek moyang yang menjaga anak-cucunya yang masih hidup. Dengan kata lain, ondel-ondel juga dipercaya untuk mengusir roh jahat setiap ada hajatan. Bagian wajah berupa topeng (disebut kedok), sementara rambut kepalanya dibuat dari ijuk. Wajah ondel-ondel laki-laki dicat warna merah, sedangkan yang perempuan dicat dengan warna putih. Keberadaan ondel-ondel yang kerangkanya dibuat dari bambu itu saat ini sudah mulai bergeser. Kadang hanya digunakan sebagai pajangan di kantor-kantor, hotel-hotel, atau tempat-tempat umum setiap bulan Juli tiba.
102
(Gambar 4.1. Ondel-ondel Khas Betawi) •
Arsitektur dan Ragam Hias Secara keseluruhan rumah-rumah di Betawi berstruktur rangka kayu, beralas tanah yang diberi lantai tegel atau semen (rumah Depok). Berdasarkan bentuk dan struktur atapnya, rumah tradisional Betawi secara garis besarnya dapat dibagi menjadi tiga macam yaitu potongan gudang, potongan joglo (limasan) dan potongan bapang atau kebaya. Masing-masing potongan atau bentuk itu berkaitan erat dengan pembagian denahnya. Secara umum rumah Betawi memiliki serambi bagian depan yang terbuka. Serambi bagian depan ini ada yang menyebutnya sebagai 'langkan'. Di serambi, jika tidak berkolong, terdapat bale, semacam balai-balai yang kakinya dipancangkan di tanah. Di bagian kanan dan kiri serambi terdapat jendela tanpa daun dan kadangkadang di bagian atas jendela melengkung menyerupai kubah masjid. Bahan-bahan yang dipergunakan untuk membangun rumah adalah kayu sawo, kayu kecapi, bambu, ijuk, rumbia, genteng, kapur, pasir, semen, ter, plitur, dan batu untuk pondasi tiang. Dan sebagai pengisi sebagian besar digunakan kayu nangka atau bambu bagi orang-orang yang tinggal di daerah pesisir. Ada juga orang yang sudah menggunakan dinding setengah tembok sebagai pengisi. Penggunaan tembok seperti ini adalah pengaruh dari Belanda. Rumah tanpa kolong ada yang berlantai tanah, tembok, ubin dan batu pipih atau semen. Pada rumah yang beralas tanah, pengaruh Belanda dapat dilihat dari penggunaan Rorag (terbuat dari bata) sebagai penghubung antara struktur tegak 103
(baik setengah tembok maupun dinding kayu/bambu) dengan lantai. Pada rumah panggung penggunaan alas untuk lantai adalah papan yang dilapisi anyaman kulit bambu. Pada rumah panggung penggunaan alas untuk lantai adalah papan yang dilapisi anyaman kulit bambu. Pada rumah yang bukan panggung dipergunakan tanah sebagai lantai atau menggunakan ubin tembikar (pada orang kaya setempat), kemudian pada perkembangannya dipergunakan ubin semen. Penggunaan ubin tembikar dan semen ini merupakan pengaruh Belanda. Rumah petani yang berkecukupan biasanya terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian inti disebut Paseban atau Belandongan atau dapur. Struktur atap bangunan tradisional Betawi memiliki variasi-variasi yang dipengaruhi oleh unsur-unsur dari luar. Pada rumah tradisional Betawi tidak dikenal adanya pembagian ruang berdasar jenis kelamin, namun lebih banyak ditentukan berdasar tuntutan praktis. Rumah tradisional Betawi ditinjau dari tata letak dan fungsinya, cenderung bersifat simetris, hal ini dapat dilihat dari letak pintu masuk dan pintu belakang yang sejajar dan membentuk garis lurus.
Arsitektur Rumah Betawi: Bentuk tradisional rumah Betawi dengan sifat lebih terbuka dalam menerima pengaruh dari luar. Hal ini bisa dilihat dari pola tapak, pola tata ruang dalam, sistem stuktur dan bentuk serta detail dan ragam hiasnya. Rumah tradisional Betawi tidak memiliki arah mata angin, ke mana rumah harus menghadap dan juga tidak ada bangunan atau ruang tertentu yang menjadi orientasi/pusat perkampungan. Pada pemukiman Betawi, orientasi atau arah mata angin rumah dan pekarangan lebih ditentukan oleh alasan praktis seperti aksesibilitas pekarangan (kemudahan mencapai jalan) juga tergantung pada kebutuhan pemilik rumah. Di daerah pesisir, kelampok-kelompok rumah umumnya menghadap ke darat dan membelakangi muara sungai. Namun tidak tampak perencanaan tertentu atau keseragaman dalam mengikuti arah mata angin atau orientasi tertentu. Berdasarkan tata ruang dan bentuk bangunannya, arsitektur rumah tradisional Betawi, khususnya di Jakarta Selatan dan Timur, dapat dikelompokkan 104
ke dalam 3 jenis: (1) Rumah Gudang; (2) Rumah Joglo; (3) Rumah Bapang/Kebaya. Tata letak ketiga rumah itu hampir sama, terdiri dari ruang depan (serambi depan), ruang tengah (ruang dalam), dan ruang belakang. Pada rumah gudang, ruang belakang secara abstrak berbaur dengan ruang tengah dari rumah sehingga terkesan hanya terbagi dalam dua ruang, ruang depan dan tengah. Dahulu ruang depan berisi balai-balai sedang sekarang umumnya diganti kursi dan meja tamu. Ruang tengah merupakan bagian pokok rumah Betawi yang berisi kamar tidur, kamar makan, dan pendaringan (untuk menyimpan barang-barang keluarga, benih padi dan beras). Kamar tidur ada yang berbentuk kamar yang tertutup tetapi juga ada kamar tidur terbuka (tanpa dinding pembatas) yang bercampur fungsi menjadi kamar makan. Kamar tidur terdepan biasanya diperuntukkan anak perempuan si empunya rumah. Sedang anak laki-laki biasanya tidur di balai-balai serambi depan atau di masjid. Sedang ruang belakang digunakan untuk memasak dan menyimpan alat-alat pertanian juga kayu bakar.
(Gambar 4.2. Rumah khas Betawi)
Organisasi ruang dan aktivitas dalam rumah tradisional Betawi sebenarnya relatif sederhana. Tidak ada definisi fungsi ruang berdasarkan jenis kelamin. Kalaupun rumah dibagi dalam tiga kelompok ruang yang pada rumah Jawa dan Sunda menyimbolkan sifat laki-laki, netral, dan wanita, pada rumah Betawi hal itu terjadi karena tuntutan-tuntutan kepraktisan saja. Tata letak ruang rumah tradisional Betawi cenderung bersifat simetris. Dilihat dari letak pintu masuk ke ruang lain dan letak jendela jendela depan yang membentuk garis sumbu abstrak dari depan ke 105
belakang. Kesan simetris bertambah kuat karena ruang depan dan belakang dimulai dari pinggir kiri ke kanan tanpa pembagian ruang lagi. Selain itu rumah tradisional Betawi juga menganut dua konsep ruang, yang bersifat abstrak dan kongkrit. Konsep ini diterapkan pada jenis kamar tidur yang tertutup dan terbuka.
(Gambar 4.3. Ragam Hias Matahari) Penerapan local content pada Museum Rock Indonesia : Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, struktur organisasi ruang pada bangunan betawi terbagi menjadi 3 area, yaitu ruang depan, tengah dan belakang begitupula dengan Museum Rock Indonesia yang membagi ruangannya menjadi 3 area yaitu, resto and bar, ruang pamer dan kantor. Kebiasaan masyarakat betawi pada umumnya adalah mereka sering berkumpul sekedar untuk berbincang dengan tetangga dan masyarakat sekitar, dan kegiatan itu biasanya dilakukan pada ruang depan atau biasa disebut dengan serambi. Pada ruang depan dalam bangunan betawi, diimplementasikan sebagai ruangan resto and bar pada Museum Rock Indonesia. Layout resto and bar berada diarea terdepan dari Museum Rock Indonesia, sesuai dengan letak serambi yang berada dibagian terdepan dari setiap bangunan betawi. Kemudian pada ruang tengah terdapat kamar dan juga area duduk yang biasa digunakan sebagai pusat kegiatan penghuni rumah, diimplemetasikan sebagai ruangan pamer museum yang menjadi pusat dari kegiatan yang terjadi didalam museum. Dan yang terakhir ruang belakang, diimplementasikan sebagai area kantor (back office), yang akan menjadi area untuk staf bekerja mengatur segala hal yang berhubungan dengan museum. 106
Selain penerapan struktur organisasi ruang yang mengikuti bangunan betawi, kesenian ondel-ondel juga dimasukan kedalam penerapan desain ruang dalam museum. Ondel-ondel merupakan boneka dalam ukuran besar yang menjadi simbolik bagi masyarakat betawi untuk mengusir roh jahat. Implemetasi ondelondel dalam desain mengambil esensi dari bentuknya dan arti untuk menjadi elemen interior yang menarik pada ruangan museum.
4.4
Analisa Lokasi
4.4.1
Analisa Makro
4.4.1.1 Lokasi Gedung Salihara berada di kota DKI Jakarta, termasuk kedalam wilayah Jakarta Selatan. Beralamat di Jalan Salihara No.16 Pasar Minggu, Jakarta Selatan 12520, Indonesia. 4.4.1.2 Akses Untuk menuju Gedung Salihara ini, akses jalanan yang dilalui tidaklah terlalu sulit karena melewati jalan-jalan utama seperti Jalan Warung Buncit, Jalan Pejaten Raya dan Jalan Ragunan. Letak pintu tol juga tidak terlalu jauh sehingga memudahkan kendaraan yang berasal dari luar kota.
(Gambar 4.4. Google Maps Akses Menuju Gedung Salihara)
Untuk kendaraan umum bisa menggunakan : 1. Bus Transjakarta Untuk mencapai Salihara dengan Transjakarta, gunakan bus Koridor 6 (dari Halimun menuju ragunan). Lalu berhenti di halte Pejaten, dilanjutkan dengan 107
naik mikrolet nomor 36 (berwarna biru) dari depan Pejaten Village menuju Jalan Salihara no.16. Juga bisa berhenti di halte Jati Padang. lanjutkan dengan ojek, atau naik mikrolet nomor 61 (mobil warna biru) sampai turun di Balai rakyat. Setelah itu lanjutkan dengan jalan kaki ke arah utara (belok kiri) menuju Jalan Salihara no.16. 2. Mikrolet Dari Kampung Melayu gunakan mikrolet nomor M 16 jurusan Kampung Melayu-Pasar Minggu. Turun di Jalan Salihara no 16, 300m setelah UNAS (Universitas Nasional). 3.
Kereta Api Naik kereta manapun yang melewati Stasiun Pasar Minggu. Setiba di stasiun, teruskan dengan ojek atau berjalan kaki (+/- 500m) melalui Jalan Raya Ragunan. Belok kanan di pertigaan Balai Rakyat dan terus berjalan sampai Jalan Salihara no.16.
4.4.1.3 Fasilitas Gedung Salihara dikelilingi oleh ruko dan juga warung-warung makanan karena wilayah ini masih dalam kawasan UNAS (Universitas Nasional) yang letaknya di utara dari Gedung Salihara. Tidak jauh dari UNAS, tersedia klinik kecil 24 jam yang bisa digunakan untuk pertolongan pertama apabila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Berseberangan dari Gedung Salihara, terdapat pos pemadam kebakaran untuk wilayah Pejaten dan sekitarnya. Dan di selatan Gedung Salihara merupakan gedung Balai Kota, yang lahan parkirnya bisa digunakan sebagai area parkir bagi visitor Gedung Salihara sesuai dengan perjanjian yang berlaku.
4.4.1.4 Iklim Wilayah DKI Jakarta termasuk tipe iklim C dan D menurut klasifikasi iklim Schmit Ferguson dengan curah hujan rata-rata sepanjang tahun 2000 mm. Wilayah DKI Jakarta termasuk daerah tropis beriklim panas dengan suhu rata-rata per tahun 27°C dengan kelembaban antara 80 % sampai 90 %. Temperatur tahunan maksimum 32°C dan minimum 108
22°C. Kecepatan angin rata-rata 11,2 km/jam. Dilihat keadaan topografinya wilayah DKI Jakarta dikatagorikan sebagai daerah datar dan landai. Ketinggian tanah dari pantai sampai ke banjir kanal berkisar antara 0 m sampai 10 m di atas permukaan laut diukur dari titik nol Tanjung Priok. Sedangkan dari banjir kanal sampai batas paling Selatan dari wilayah DKI antara 5 m sampai 50 m di atas permukaan laut. Matahari pagi terbit mengenai sisi bangunan yang berada di timur yaitu gedung yang digunakan untuk teater. Kemudian selama siang hari, matahari akan menyinari bangunan yang digunakan untuk ruang perkantoran. Itulah salah satu alasan mengapa gedung yang digunakan untuk ruang staff dan karyawan ini menggunakan material kaca, agar pada siang hari bisa menggunakan pencahayaan alami semaksimal mungkin sehingga selain untuk menghemat energi juga sekaligus menerapkan green design pada bangunan.
4.4.2
Analisa Mikro
4.4.2.1 Denah •
Basement Pada bagian terbawah dari gedung ini, terdapat ruang musholla, toilet, pantry serta wisma yang bisa digunakan pengunjung yang akan menginap. Selain itu juga terdapat ruang genset yang sengaja diletakan di bagian bawah untuk mengurangi kebisingan yang terjadi lantai atasnya dan begitu pula dengan ruang panel.
(Gambar 4.5. Denah Basement)
109
•
Lantai 1 Lantai 1 merupakan vocal point dari akses gedung bangun dan pusat dari kegiatan untuk gedung ini. Ruang-ruang yang tersedia dalam lantai ini adalah : security post, gudang, kedai, tiket box, serambi salihara digedung bagian utara, gerai salihara digedung bagian selatan, dan teater di gedung bagian barat. Untuk bisa mengakses gedung teater, selain bisa melalui lobby utama bisa juga melalui parkir selatan. Ditinjau dari segi penghawaan dilantai 1 ini cukup baik, karena walaupun tidak menggunakan penghawaan buatan, penghawaan alami dirasa sudah sangat cukup karena penempatan pohon-pohon disekitar gedung menyaring udara panas yang masuk ke gedung ini. Dan terakhir ditinjau dari segi kebisingan, bangunan ini berhasil menahan kebisingan dari luar masuk ke dalam gedung, walaupun secara letaknya bangunan ini berada dipinggir jalan raya.
(Gambar 4.6. Denah Lantai 1)
•
Lantai 2 Penempatan lantai 2 ini lebih ditujukan kepada ruangan yang bersifat semi publik karena secara psikologis pengunjung yang ingin menikmati sebuah pameran membutuhkan suasana yang hening tidak terpengaruhi kebisingan dari area publik. Pada lantai 2 ini terdapat ruang galeri salihara yang berbentuk oval yang berada
110
dibagian utara. Kemudian ruang purpustakaan dan ruang rapat yang dapat diakses melalui lift dan tangga.
(Gambar 4.7. Denah Lantai 2)
•
Lantai 3 Untuk lantai 3 digunakan untuk ruangan kantor manajemen salihara. Untuk mengakses bagian ini bisa melalui lift dan tangga. Dinding pada ruang kantor ini seluruhnya menggunakan material kaca, karena ditunjang dari letak lantai yang cukup tinggi semakin bisa mendapatkan pencahayaan alami dari luar yang digunakan untuk menerangi seluruh ruang kantor sehingga bisa menghemat energi. Penghawaan pada ruangan ini cukup baik, karena bentuk ruangannya yang terbuka sehingga sirkulasi udara dalam ruangan bisa terus berputar.
(Gambar 4.8. Denah Lantai 3)
111
•
Lantai 4
(Gambar 4.9. Denah Lantai 4)
Roof garden terdapat dilantai 4 bisa diakses melalui tangga barat. Selain itu pada lantai ini juga terdapat ruang rapat besar yang mampu menampung hingga 10 orang.
4.4.2.2 Potongan •
Galeri Ruangan galeri ini berbentuk oval dengan ketinggian ceiling setinggi 450cm. Tujuan dibuatnya galeri dengan ceiling yang tinggi karena barang yang akan dipamerkan tidak dapat diprediksi besarannya, untuk itu dibuatlah ruangan yang mampu mengakomondasi segala keperluan pameran. Untuk ruangan teater ketinggiannya 880cm, difungsikan karena peletakan bangku penonton
disusun
bertingkat bertujuan agar pengunjung yang berada dibelakang tetap dapat melihat panggung dengan jelas.
112
(Gambar 4.10. Potongan Galeri A-A’)
(Gambar 4.11. Potongan Galeri B-B’) •
Teater Tinggi ruangan teater ini dari lantai ke ceiling ada 880 cm, dengan expose ceiling. Dinding pada teater ini menggunakan bata karena bata sangan responsive terhadap pemantulan dan penyerapan bunyi. Material yang digunakan oada ceiling menggunakan material yang dapat menyerap suara.
113
(Gambar 4.12. Potongan Teater A-A’)
(Gambar 4.13. Potongan Teater B-B’) • Potongan Gedung
Perbedaan tinggi dari gedung bagian timur yang digunakan sebagai teater terlihat jauh berbeda dengan ketinggian gedung barat yang digunakan sebagai ruang kantor, karena dilihat dari aktifitas pengguna ruangan jelas sangat berbeda.
114
(Gambar 4.14. Potongan Gedung A-A’)
(Gambar 4.15. Potongan Gedung B-B’)
4.4.2.3 Ruang Secara keseluruhan tidak ada berubahan yang berarti dalam penempatan ruang untuk dalam proyek Museum Rock Indonesia karena melihat dari layout gedung sebelumnya, memang sudah memiliki ruangan yang dibutuhkan. Selanjutnya untuk menentukan ruangan tersebut akan digunakan sebagai apa, akan di analisa dalam proses zoning grouping, dan disesuaikan dengan program aktifitas-fasilitas yang telah dibuat. Ruangan yang akan ada di dalam perancangan Museum Rock Indonesia adalah : Locket, Gallery 1, Gallery 2, Interactive Listening, Library, Office, Meeting Room, Movie Theater, Concert Hall dan terakhir Resto and Bar. 115
4.5
Aktifitas dan Fasilitas Museum Rock Indonesia ini menggunakan bangunan Gedung Salihara dan tidak ada
perubahan yang signifikan dalam layout-nya. Aktivitas yang ada di dalam Museum Rock Indonesia ini akan menyesuaikan dengan fasilitas ruangan yang sudah tersedia sebelumnya. Berikut adalah perhitungan aktifitas dan fasilitasnya.
(Tabel 4.1. Aktivitas dan Fasilitas)
(Tabel 4.2. Aktivitas dan Fasilitas)
(Tabel 4.3. Aktivitas dan Fasilitas) 116
4.6
Hubungan antar Ruang Setiap ruangan yang akan tersedia dalam Museum Rock Indonesia mempunyai
aktivitasnya dan zonanya masing-masing, dan itu mempengaruhi kedalam hubungan antar ruang. Hal itu bertujuan agar penempatan ruang nantinya tidak akan merugikan kegiatan yang ada di dalam ruang tersebut. Untuk lebih jelasnya gambar ini dapat dilihat pada halaman lampiran.
(Gambar 4.16. Hubungan antar Ruang) 4.7
Bubble Bubble ruangan ini bertujuan agar pada saat melakukan peletan ruang, tidak akan
terjadi tabrakan sirkulasi antara pengunjung, karyawan dan servis. Untuk lebih jelasnya gambar ini dapat dilihat dihalaman lampiran.
(Gambar 4.17. Bubble) 117
4.8
Zoning dan Grouping
4.8.1
Zoning
(Gambar 4.18. Zoning Basement) Lantai basement akan dijadikan ruang Movie Theater.
(Gambar 4.19. Zoning Lantai 1)
Ruangan yang akan tersedia pada lantai 1 adalah Resto and Bar, Gallery 1, Locket, Merchandise Shop, Concert Hall. 118
(Gambar 4.20. Zoning Lantai 2)
Pada lantai dua terdapat ruang Gallery 2 dan Interactive Listening.
(Gambar 4.21. Zoning Lantai 3)
Untuk lantai 3 digunakan sebagai library.
119
(Gambar 4.22. Zoning Lantai 4) Keseluruhan lantai 4 akan dijadikan ruang kerja dan juga ruang meeting.
4.8.2. Grouping
(Gambar 4.23. Grouping Lantai Basement)
120
(Gambar 4.24. Grouping Lantai 1)
(Gambar 4.25. Grouping Lantai 2) 121
(Gambar 4.26. Grouping Lantai 3)
(Gambar 4.27. Grouping Lantai 4)
122