BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum
Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 11 Kota Yogyakarta adalah salah satu lembaga pendidikan tingkat lanjutan yang terletak di Jalan AM. SANGAJI 50. Gedung fisik dibangun pada tahun 1897 dan digunakan sebagai gedung Kweekschool (Sekolah Guru Jaman Belanda). Tanggal 3-5 Oktober 1908 dijadikan sebagai ajang Konggres Boedi Utomo yang pertama dan menempati ruang makan Kweekschool (Aula). Tahun 1927 kompleks gedung ini digunakan sebagai sekolah guru 4 tahun dan 6 tahun (HIK). Selama penjajahan Jepang dipergunakan untuk SGL dan ditutup pada masa Revolusi Kemerdekaan RI. Tahun 1946 sekolah dibuka kembali dengan nama SGB dan untuk memenuhi kebutuhan tenaga guru yang berpendidikan 6 tahun pada bulan Nopember 1947, pemerintah membuka Sekolah Guru A (SGA) sehingga kompleks gedung SGA/SGB dipimpin oleh bapak Sikun Pribadi. Clash II pecah. Sekolah terpaksa ditutup dan dibuka kembali ketika Yogyakarta kembali ke Pemerintah RI (Juni 1949). SGA/B dibuka kembali dengan menempati ruang-ruang STM Negeri karena kompleks SGA dipakai sebagai asrama tentara.
Tahun 1950 dengan bantuan Sri Sultan HB IX, SGA/B kembali menempati kampus Jln. AM Sangaji dan diadakan pemisahan yaitu SGB di Jln. AM Sangaji 38 dan SGA di Jln. AM Sangaji 42. Tahun 1959, SGA
73
kembali menempati kampus Jln. AM Sangaji 38, karena SGB tidak menerima siswa baru lagi dan berubah fungsi menjadi SMP 6 Yogyakarta menempati Jln. Cemoro Jajar No.1. Dengan meningkatnya kebutuhan tenaga guru pada tahun 1953/1954 dibuka SGA II menempati lokasi yang sama dengan SGA I tetapi masuk sore hari. Tahun 1959/1960 kedua SGA digabung menjadi SGA I. Tahun 1967 diadakan integrasi SGA dan SGTK. SGA menjadi SPG I dan SGTK menjadi SPG II. Tahun 1970 SPG Negeri 1 Yogyakarta ditetapkan sebagai pusat latihan guru SD dan pada tahun 1971 dijadikan sebagai home base I di DIY. Pada tahun 1979 di kompleks sekolah didirikan Perpustakaan Perintis. Pada tahun 1989 Pemerintah mengalih fungsi SPG menjadi SMA, SPG Negeri 1 menjadi SMA 11 Yogyakarta.
Visi dari SMA 11 Yogyakarta adalah INTELEKTUALITAS, INTEGRITAS DAN SANTUN. Sedangkan misi dari SMA 11 Yogyakarta adalah
Meningkatkan efektivitas Kegiatan Belajar Mengajar (KBM),
Meningkatkan disiplin civitas akademika, Meningkatkan SDM guru melalui pelatihan,
Meningkatkan
penghayatan
DIPTYA
AJI
PARAMITHA,
Meningkatkan derajat kesehatan dan kebugaran jasmani dan rohani civitas akademika, Meningkatkan pembinaan dan prestasi olahraga, Meningkatkan prestasi kesenian, Meningkatkan prestasi kegiatan Akademika dan Non akademika.
74
B. Identitas Responden
Identitas responden yang diungkap meliputi (1) Siswa kelas II di SMA 11 Yogyakarta, (2) Tingkat status sosial ekonomi orang tua siswa yang berupa tingkat pendidikan terakhir orang tua, pekerjaaan serta penghasilan orang tua siswa.
a.
Siswa kelas II di SMA 11 Yogyakarta
Dari hasil penelitian tingkat pemahaman siswa SMA 11 di Kotamadya Yogyakarta tentang makanan Lauk Pauk dan Sayur tradisional dapat diperoleh data responden sebagai berikut :
Tabel 4. Identitas responden siswa kelas II No
Responden
Jumlah
1
Siswa kelas II IPA
57 orang
2
Siswa kelas II IPS
58 orang
Jumlah
115 orang
Sumber : Data primer Berdasarkan tabel tersebut di atas, dapat digambarkan bahwa ada 57 orang responden dari kelas II IPA, dan 58 orang responden dari kelas II IPS. Dengan demikian semuanya berjumlah 115 siswa.
75
Tabel 5. Kelompok Usia Responden No
Usia
Jumlah Siswa
Persentase
1
15 tahun
7 orang
6.1 %
2
16 tahun
65 orang
56.5 %
3
17 tahun
43 orang
37.4 %
115 orang
100.0 %
Jumlah
Sumber : Data primer Berdasarkan tabel tersebut di atas, dapat digambarkan bahwa responden berusia antara 15-17 tahun. Terdiri dari 7 orang siswa berusia 15 tahun, 65 orang berusia 16 tahun, dan 43 orang berusia 17 tahun. Dengan demikian mayoritas responden berusia 16 tahun. Usia Responden
60
Persentase
50 40 30 20 10 0 15 tahun
16 tahun
17 tahun
Gambar 2. Diagram Usia Responden
b.
Tingkat pendidikan terakhir orang tua
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa tingkat pendidikan terakhir orang tua siswa adalah SD, SMP, SMA/SMK, D3, S1, S2. Adapun perinciannya dapat dilihat pada tabel 6 dan 7 :
76
Tabel 6. Tingkat pendidikan terakhir orang tua siswa (Ayah) No
Pendidikan terakhir
Jumlah Siswa
Persentase
orang tua 1
SD
2 orang
1.7 %
2
SMP
6 orang
5.2 %
3
SMA/SMK
60 orang
52.2 %
4
S1
39 orang
33.9 %
5
S2
8 orang
7%
115 orang
100.0 %
Jumlah
Sumber : Data primer Dari data tabel tingkat pendidikan terakhir orang tua siswa (Ayah) tersebut dapat diketahui bahwa orang tua siswa dengan pendidikan terakhir SD sebanyak 2 orang, SMP sebanyak 6 orang, SMA/SMK sebanyak 60 orang, S1 sebanyak 39 orang, S2 sebanyak 8 orang. Tingkat Pendidikan Terakhir Orang Tua Siswa (Ayah) 60
Persentase
50 40 30 20 10 0 SD
SMP
SMA/SMK
S1
S2
Gambar 3. Diagram Tingkat pendidikan terakhir orang tua siswa (Ayah) Sedangkan tingkat pendidikan terakhir orang tua siswa (Ibu) dapat dilihat pada tabel 7 :
77
Tabel 7. Tingkat pendidikan terakhir orang tua siswa (Ibu) No
Pendidikan terakhir
Jumlah Siswa
Persentase
orang tua 1
SD
2
SMP
3
SMA/SMK
4
D3
5
S1
6
S2
3.5 %
4 orang
6.1 %
7 orang
47 %
54 orang
3.5 %
4 orang
39.1 %
45 orang
0.9 %
1 orang 115 orang
Jumlah
100.0 %
Sumber : Data primer Dari data tabel tingkat pendidikan terakhir orang tua siswa (Ibu) tersebut dapat diketahui bahwa orang tua siswa dengan pendidikan terakhir SD sebanyak 4 orang, SMP sebanyak 7 orang, SMA/SMK sebanyak 54 orang, D3 sebanyak 4 orang, S1 sebanyak 45 orang, S2 sebanyak 1 orang. Tingkat Pendidikan Terakhir Orang Tua Siswa (Ibu) 50
Persentase
40 30 20 10 0 SD
SMP
SMA/SMK
D3
S1
S2
Gambar 4. Diagram Tingkat pendidikan terakhir orang tua siswa (Ibu)
78
Sebagian besar orang tua siswa mempunyai latar belakang pendidikan minimal lulusan SMA/SMK. Hal ini berimbas kepada makanan yang dikonsumsi sehari-hari karena tingkat pendidikan orang tua dapat menambah pemahaman siswa tentang makanan sehat dan bergizi. Pemahaman tentang makanan tradisional juga diperoleh orang tua di bangku pendidikan yang lebih tinggi. Hal ini juga berperan positif dalam menambah tingkat pemahaman siswa akan masakan tradisional.
c. Jenis pekerjaan orang tua Data jenis pekerjaan orang tua dengan tujuan untuk memperkuat data status sosial ekonomi orang tua siswa yang berupa pendapatan atau penghasilan. Adapun perinciannya ada pada tabel 9:
Tabel 8. Jenis pekerjaan orang tua siswa (Ayah) No
Jenis Pekerjaan
1
PNS
2
Pedagang
3
Petani
4
Buruh/Swasta
Jumlah Siswa 44 orang
Jumlah
12 orang 7 orang 52 orang 115 orang
Persentase 38.3 % 10.4 % 6.1 % 45.2 % 100.0 %
Sumber : Data primer
Dari data tabel
jenis pekerjaan orang tua siswa (Ayah)
tersebut dapat diketahui bahwa orang tua siswa mempunyai jenis
79
pekerjaan yang beraneka ragam dengan persentase tertinggi adalah sebagai buruh/swasta dengan jumlah 45.2 %.
Jenis Pekerjaan Orang Tua Siswa (Ayah) 50
Persentase
40 30 20 10 0 PNS
Pedagang
Petani
Buruh/Sw asta
Gambar 5. Diagram Jenis pekerjaan orang tua siswa (Ayah) Sedangkan jenis pekerjaan orang tua siswa (Ibu) dapat dilihat pada tabel 10 : Tabel 9. Jenis pekerjaan orang tua siswa (Ibu) No
Jenis Pekerjaan
1
PNS
2
Pedagang
3
Petani
4
Buruh/Swasta
5
Ibu rumah tangga
Jumlah Siswa
Persentase
19 orang
16.5 %
4 orang
3.5 %
2 orang
1.7 %
47 orang
40.9 %
43 orang 115 orang
100.0 %
Jumlah
37.4 %
Sumber : Data primer Dari data tabel jenis pekerjaan orang tua siswa (Ibu) tersebut dapat diketahui bahwa orang tua siswa mempunyai jenis pekerjaan yang beraneka ragam dengan persentase tertinggi adalah sebagai buruh/swasta dengan jumlah 40.9 %.
80
Tingkat pemahaman siswa tentang masakan tradisional yang tinggi juga didukung oleh tingkat kesibukkan orang tua (terutama ibu) yang tidak terlalu padat sehingga orang tua (ibu) masih sempat menyiapkan masakan. Sebagian besar ibu berprofesi sebagai buruh/swasta dan ibu rumah tangga, hal ini berperan dalam menambah pemahaman siswa akan masakan tradisional. Dan karena ibu adalah orang yang paling berperan dalam menentukan, menyiapkan, dan mengolah bahan masakan. Jenis Pekerjaan Orang Tua (ibu)
Persentase
45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 PNS
Pedagang
Petani
Buruh/Sw asta
Ibu Rumah Tangga
Gambar 6. Diagram Jenis pekerjaan orang tua siswa (Ibu) C. Pemahaman siswa tentang makanan lauk pauk dan sayuran tradisional Dalam memperoleh data mengenai pemahaman siswa tentang makanan lauk pauk dan sayuran tradisional, digunakan angket yang terdiri dari dari 20 butir pertanyaan. Dari hasil analisis deskriptif dengan bantuan komputer seri program statistik (SPS) edisi Sutrisno Hadi dan Yuni Pamardiningsih diperoleh harga mean 18.88, median 20.00, modus 20 dan simpangan baku 1.464. Berdasarkan perhitungan data mengenai pemahaman siswa tentang
81
makanan lauk pauk dan sayuran tradisional, dapat dibuat tabel distribusi frekuensi sebagai berikut : Tabel 10. Distribusi Frekuensi Pemahaman Siswa tentang Makanan Lauk Pauk dan Sayur Tradisional No
F
F%
Kategori
0-6.67
-
-
Rendah
>6.67-13.33
-
-
Sedang
115
100 % 100 %
Tinggi
Interval
1 2 3
>13.33-20 Jumlah
115 orang
Sumber : Data primer Tabel 11. Skor Pemahaman Siswa tentang Makanan Lauk Pauk dan Sayur Tradisional No
Skor
F
F%
1
14
3
2.6 %
2
16
7
6.1 %
3
17
3
2.6 %
4
18
34
29.6 %
5
19
6
5.2 %
6
20
62
53.9 %
115
100.0 %
Jumlah Sumber :Data primer
Berdasarkan tabel 10 dan 11, dapat digambarkan bahwa siswa kelas II SMA 11 di Kotamadya Yogyakarta mempunyai pemahaman yang tinggi tentang makanan lauk pauk dan sayuran tradisional. Hal ini didukung oleh status ekonomi orang tua siswa yang masuk pada golongan menengah, siswa yang bertempat tinggal di desa, kebiasaan makan keluarga di rumah yang masih tinggi.
82
Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada gambar berikut ini : Distribusi Frekuensi Pem aham an Sisw a thdp Makanan Lauk Pauk dan Sayur Tradisional
Persentase
100 80 60 40 20 0 Rendah
Sedang
Tinggi
Gambar 7. Diagram Pemahaman Siswa tentang Makanan Lauk Pauk dan Sayur Tradisional D.
Faktor-faktor yang mendukung Tingkat Pemahaman Siswa 1. Status sosial ekonomi orang tua
Dari data hasil penelitian diketahui bahwa tingkat status sosial ekonomi orang tua adalah dari golongan atas, menengah, dan rendah. Adapun perinciannya dapat dilihat pada tabel 6 :
Tabel 12. Tingkat status sosial ekonomi orang tua No 1 2
3
status sosial ekonomi orang tua Golongan Atas (> Rp 1.400.000,00) Golongan Menengah (Rp 680.000,00 – Rp 1.400.000,00) Golongan Rendah (< Rp 680.000,00) Jumlah
Jumlah Siswa
Persentase
40 orang
34.8 %
69 orang
60
%
6 orang
5.2 %
115 orang
100.0 %
Sumber : Data primer
Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa siswa berasal dari 3 golongan status sosial ekonomi orang tua, yaitu 40 siswa berasal dari
83
golongan atas, 69 siswa berasal dari golongan menengah, dan 6 siswa dari golongan rendah.
Tabel 13. Hubungan tingkat status sosial ekonomi orang tua dengan tingkat pemahaman siswa tentang makanan tradisional
Status Sosial Ekonomi Ortu Siswa
Golongan Rendah
Golongan Menengah
Golongan Atas
Jumlah
Rendah
-
10 org (9 %)
10 org (9 %)
18 %
Sedang
2 org (2 %)
24 org (21 %)
22 org (19 %)
42 %
Tinggi
4 org (3 %)
35 org (30 %)
8 org (7 %)
40 %
Jumlah
6 org (5 %)
69 org (60 %)
40 org (35 %)
Tingkat Pemahaman Siswa Tentang Makanan Tradisional
Dari hasil tersebut diketahui bahwa 60 % siswa berasal dari ekonomi golongan menengah dan sebagian besar (30%) atau separuh dari siswa golongan menengah memiliki pemahaman yang tinggi. Berarti siswa yang berasal dari golongan menengah cenderung mempunyai pemahaman yang lebih tinggi dibandingkan siswa dari golongan lainnya. Dikarenakan menu yang dikonsumsi setiap hari tidak terlalu mewah. Yaitu jenis menu lauk pauk dan sayur yang lazim dikonsumsi masyarakat tradisional
pada umumnya. Bahan-bahan
makanan yang dipilih adalah bahan murah dan bergizi tinggi. Serta
84
tersedianya berbagai macam jenis resep masakan tradisional. Variasi resep masakan dapat menghindari terjadinya kejenuhan akan menu masakan dalam keluarga. Hal ini dapat menambah pemahaman siswa tentang masakan tradisional.
Tingkat Status Sosial Ekonomi Orang Tua Siswa 60
Persentase
50 40 30 20 10 0 Golongan atas
Golongan menengah
Golongan rendah
Gambar 8. Diagram tingkat status sosial ekonomi orang tua
2. Tempat Tinggal Dari data yang diperoleh dikategorikan menjadi tiga kategori, yaitu desa, pinggiran, dan kota. Dari data yang dikumpulkan ternyata siswa yang bertempat tinggal di kota sebanyak 18.3 %. Siswa yang bertempat tinggal di pinggiran sebanyak 38.3 %. Sedangkan siswa yang bertempat tinggal di desa sebanyak 43.5 %.
85
Tabel 14. Lokasi tempat tinggal siswa No 1 2 3
F
Persentase
Di Desa
50
43.5 %
Di Pinggiran
44
38.3 %
21 115 orang
18.3 % 100 %
Klasifikasi
Di Kota Jumlah
Sumber : Data primer Tabel 15. Hubungan lokasi tempat tinggal dengan tingkat pemahaman siswa tentang makanan tradisional
Lokasi Tempat Tinggal
Desa
Pinggiran
Kota
Jumlah
Rendah
3 org (3 %)
7 org (6 %)
-
9%
Sedang
13 org (11 %)
15 org (13 %)
9 org (8 %)
32 %
Tinggi
34 org (30 %)
22 org (19 %)
12 org (10 %)
59 %
Jumlah
50 org (44 %)
44 org (38 %)
21 org (18 %)
Tingkat Pemahaman Siswa Tentang Makanan Tradisional
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa siswa yang tinggal di desa memiliki tingkat pemahaman lebih tinggi dibandingkan siswa yang tinggal di daerah pinggiran dan di kota. Sedangkan siswa yang tinggal di daerah pinggiran memiliki tingkat pemahaman lebih tinggi dibandingkan siswa yang tinggal di kota. Hal ini dikarenakan siswa yang tinggal di pedesaan lebih banyak mengkonsumsi makanan tradisional. Karena kehidupan di desa lebih
86
cenderung dipengaruhi oleh keluarga. Dengan begitu secara otomatis pemahaman siswa tentang makanan lauk pauk dan sayuran tradisional akan bertambah. Berarti ada kecenderungan bahwa semakin dekat dengan kota pemahaman siswa akan semakin rendah. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada gambar berikut ini : Distribusi Responden menurut Tempat Tinggal
Persentase
50 40 30 20 10 0 Di Desa
Di Pinggiran
Di Kota
Gambar 9. Diagram lokasi tempat tinggal siswa
3. Kebiasaan Makan Keluarga Siswa di Rumah Dalam memperoleh data mengenai kebiasaan makan di keluarga siswa di rumah, digunakan angket yang terdiri dari dari 14 butir pertanyaan. Dari hasil analisis deskriptif dengan bantuan komputer seri program statistik (SPS) edisi Sutrisno Hadi dan Yuni Pamardiningsih diperoleh harga mean 8.64, median 9.00, modus 9 dan simpangan baku 1.285. Berdasarkan perhitungan data mengenai kebiasaan makan keluarga siswa di rumah, dapat dibuat tabel distribusi frekuensi sebagai berikut :
87
Tabel 16. Distribusi Frekuensi Kebiasaan Makan Keluarga Siswa di Rumah No 1 2 3
Interval 0-3.67 >3.67-7.33 >7.33-11 Jumlah
F
F%
Kategori
-
-
Rendah
16
13. 9
Sedang
99 115 orang
86. 1 100.0 %
Tinggi
Sumber : Data primer Tabel 17. Hubungan kebiasaan makan keluarga siswa di rumah dengan tingkat pemahaman siswa tentang makanan tradisional Kebiasaan Makan Keluarga Siswa Di Rumah
Rendah
Sedang
Tinggi
Rendah
-
3 % (4 org)
5 % (6 org)
Sedang
-
8 % (9 org)
24 % (28 org)
Tinggi
-
3 % (3 org)
57 % (65 org)
Jumlah
-
14 % (16 org)
86 % (99 org)
Tingkat Pemahaman Siswa Tentang Makanan Tradisional
Jumlah
8% 32 % 60 %
Berdasarkan tabel 16 dan 17, dapat digambarkan bahwa siswa kelas II SMA 11 di Kotamadya Yogyakarta mempunyai kebiasaan makan keluarga siswa di rumah yang tinggi. Dengan tingginya kebiasaan makan keluarga siswa di rumah, maka pemahaman siswa tentang makanan lauk pauk dan sayur tradisional juga tinggi. Karena setiap hari siswa menjumpai makanan tradisional di dalam
kebiasaan makan keluarga. Jadi ada kecenderungan
bahwa tingkat pemahaman siswa yang tinggi diperoleh dari kebiasaan makan
88
keluarga siswa di rumah. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada gambar berikut ini : Kebiasaan Makan Keluarga Siswa
Persentase
100 80 60 40 20 0 Rendah
Sedang
Tinggi
Gambar 10. Diagram Kebiasaan Makan Keluarga Siswa di Rumah Sedangkan untuk menu makanan yang dikonsumsi para siswa bermacam-macam. Dari data yang diperoleh dapat dibuat tabel sebagai berikut: Tabel 18. Aneka menu makanan lauk yang dikonsumsi siswa di rumah No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Nama lauk pauk Tempe Tahu Telur Ayam Ikan laut Daging sapi Bakwan Lele Udang Perkedel Ikan teri Ikan pindang Ikan nila Ikan Bandeng Ikan asin Jumlah
Sumber : Data primer
Frekuensi 115 112 109 87 50 24 16 15 10 9 9 6 3 3 3 575
Persentase 100 % 97.39 % 94.78 % 75.65 % 43.47 % 20.86 % 13.91 % 13.04 % 8.69 % 7.82 % 7.82 % 5.21 % 2.60 % 2.60 % 2.60 %
x 38.33
89
Aneka Menu Makanan lauk yang dikonsumsi siswa di rumah 25.00%
Persentase
20.00% 15.00% 10.00% 5.00% 0.00%
Gambar 11. Diagram Aneka Menu Makanan lauk yang dikonsumsi siswa di rumah Tabel 19. Aneka menu makanan sayur yang dikonsumsi siswa di rumah No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Nama Sayur sop bening bayam oseng-oseng kangkung sayur asem lodeh oseng-oseng kacang panjang sayur nangka muda sayur brongkos gulai daun singkong oseng-oseng sawi soto orak-arik buncis oseng-oseng buncis sayur kare cap cay sayur bobor oseng-oseng daun pepaya oseng-oseng pepaya muda terung balado ca brokoli Jumlah
Sumber : Data primer
Frekuensi 100 81 68 57 53 33 32 22 21 19 14 13 12 12 12 11 6 3 3 3 575
Persentase 86.95 % 70.43 % 59.13 % 49.56 % 46.08 % 28.69 % 27.82 % 19.13 % 18.26 % 16.52 % 12.17 % 11.30 % 10.43 % 10.43 % 10.43 % 9.56 % 5.21 % 2.60 % 2.60 % 2.60 %
x 28.75
90
18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
sop bening bayam oseng-oseng kangkung sayur asem lodeh oseng-oseng kacang sayur nangka muda sayur brongkos gulai daun singkong oseng-oseng sawi soto orak-arik buncis oseng-oseng buncis sayur kare cap cay sayur bobor oseng-oseng daun pepaya oseng-oseng pepaya terung balado ca brokoli
Persentase
Aneka M enu M akanan sayur yang dikonsumsi siswa di rumah
Gambar 12. Diagram Aneka Menu Makanan sayur yang dikonsumsi siswa di rumah Jenis lauk tempe, tahu, telur, ayam sering ada dalam menu sehari-hari para siswa. Sebab tempe merupakan menu tradisi yang murah, enak dan bergizi tinggi. Sedangkan diantara jenis menu sayur tradisional yang ada, sayur sop, bening bayam dan oseng-oseng kangkung merupakan menu yang sering dikonsumsi oleh para siswa. 4. Kebiasaan Makan Siswa dalam Pergaulan Arus globalisasi khususnya dibidang komunikasi dan informasi tidak dapat dibendung, termasuk globalisasi dalam pola kebiasaan makan siswa dalam lingkungan pergaulannya. Pengaruh global nampak menonjol di kotakota besar diiringi dengan mengalirnya arus budaya makanan barat melalui diperkenalkan dan dipasarkan sejumlah makanan barat yang tampak sangat mampu menarik minat banyak konsumen. Akibat dari adanya kecenderungan ini kelihatanya pasar pangan tradisional menghadapi saingan yang sangat
91
berat, misalnya dari ”Kentucky Fried Chicken, Hamburger, Pizza Hut, Mac Donald, Dunkin’Donuts”, dan sebagainya. Karena pengaruh globalisasi dalam pola konsumsi makanan tersebut di atas maka nampak adanya kecenderungan mulai tergesernya makanan tradisional oleh makanan non tradisional. Gejala ini nampak sekali terutama di kalangan remaja yang selalu memenuhi tempattempat makan yang menyediakan makanan nontradisional. Pola umum pergaulan siswa biasanya cenderung memilih makanan yang dianggap dapat menaikkan status sosial atau gengsinya. Berdasarkan perhitungan data mengenai frekuensi kebiasaan siswa makan di luar rumah bersama teman lingkungan pergaulannya, dapat dibuat tabel sebagai berikut : Tabel 20. Frekuensi kebiasaan makan siswa dalam lingkungan pergaulan (dalam 1 minggu) No 1 2 3 4
F kali
F
Persentase
1 kali
44
38.3 %
2 kali
43
37.4 %
3 kali
19
16.5 %
9 115 orang
7.8 % 100.0 %
4 kali Jumlah
Sumber : Data primer
92
Tabel 21. Hubungan kebiasaan makan siswa di lingkungan pergaulan dengan tingkat pemahaman siswa tentang makanan tradisional Kebiasaan Makan Keluarga Siswa Di Pergaulan Tingkat Pemahaman Siswa Tentang Makanan Tradisional
1 kali
2 kali
3 kali
4 kali
Jumlah
Rendah
6 % (7 org)
14 % (16 org)
6 % (7 org)
3 % (4 org)
29%
Sedang
9 % (11 org)
8 % (9 org)
3 % (4 org)
2 % (2 org)
22%
Tinggi
23% (26 org)
16 % (18 org)
7 % (8 org)
3 % (3 org)
49%
Jumlah
38% (44 org)
38% (43 org)
16% (19 org)
8% (9 org)
Berdasarkan tabel 20 dan 21, dapat digambarkan bahwa siswa kelas II SMA 11 di Kotamadya Yogyakarta mempunyai frekuensi kebiasaan makan di luar rumah dalam seminggu 1 kali dengan persentase 38.3 %. Dalam hal ini siswa yang mempunyai kebiasaan makan di luar rumah seminggu 1 kali memiliki pemahaman yang lebih tinggi dari pada siswa yang sering makan di luar rumah. Ada kecenderungan siswa yang lebih sering makan di rumah memiliki pemahaman yang lebih tinggi. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada gambar berikut ini :
93
Kebiasaan Makan Siswa dalam Pergaulan
Persentase
40 30 20 10 0 1 kali
2 kali
3 kali
4 kali
Gambar 13. Diagram Kebiasaan Makan Siswa dalam Pergaulan Sedangkan untuk menu makanan yang diminati para siswa sangat beragam. Dari data yang diperoleh dapat dibuat tabel sebagai berikut :
94
Tabel 22. Aneka menu makanan yang diminati siswa
NO
F
PERSENTASE
1 Bakso 2 Soto
59 42
51.30 % 36.52 %
3 Mie goreng 4 Ayam goreng 5 Nasi goreng
25 24 22
21.73 % 20.86 % 19.13 %
6 Mie ayam 7 Steak
21 19
18.26 % 16.52 %
18 15 14 10
15.65 % 13.04 % 12.17 % 8.69 %
12 Ikan bakar 13 Siomay
10 9
8.69 % 7.82 %
14 Lele bakar
6
5.21 %
15 Tempe penyet 16 Nasi uduk 17 Sate
6 6 6
5.21 % 5.21 % 5.21 %
18 Mie jakarta
3
2.60 %
19 Fried chicken
3
2.60 %
20 Gado-gado
3
2.60 %
21 Bubur ayam 22 Spahetti 23 Hotdog
3 3 3
2.60 % 2.60 % 2.60 %
24 angkringan
3
2.60 %
25 Kupat tahu
3
2.60 %
3 345 x 13.26
2.60 %
8 9 10 11
NAMA MENU
Ayam bakar Pecel lele Lotek Burger
26 Mie rebus Total Sumber : Data primer
95
18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
Bakso Soto Mie goreng Ayam goreng Nasi goreng Mie ayam Steak Ayam bakar Pecel lele Lotek Burger Ikan bakar Siomay Lele bakar Tempe penyet Nasi uduk Sate Mie jakarata Fried chicken Gado-gado Bubur ayam Spahetti Hotdog angkringan Kupat tabu Mie rebus
Persentase
Aneka Menu Jajan Siswa
Gambar 14. Diagram Menu Kebiasaan Jajan Siswa dalam Pergaulan Dari penelitian ini dapat dilihat bahwa makanan yang dikonsumsi sebagian besar siswa adalah bakso dan soto. Menu biasa yang sering dijumpai pula dalam keseharian siswa di rumah. 5. Sentuhan Media Massa Dalam memperoleh data mengenai perhatian siswa pada iklan tentang makanan tradisional, digunakan angket yang terdiri dari dari 20 butir pernyataan. Dari
hasil analisis deskriptif dengan bantuan komputer seri
program statistik (SPS) edisi Sutrisno Hadi dan Yuni Pamardiningsih diperoleh harga mean 52.77, median 55.00, modus 61 dan simpangan baku 11.660. Berdasarkan perhitungan data mengenai perhatian siswa pada iklan tentang makanan tradisional, dapat dibuat tabel distribusi frekuensi sebagai berikut :
96
Tabel 23. Distribusi frekuensi perhatian siswa pada iklan tentang makanan tradisional No
Interval
Frekuensi
F%
Kategori
1
20-46.67
33
28.7
Rendah
2
>46.67-73.33
79
68.7
Sedang
3
>73.33-100 Jumlah
3
2.6
Tinggi
115
100.0%
Sumber : Data primer Tabel 24. Hubungan perhatian siswa pada iklan tentang makanan tradisional dengan tingkat pemahaman siswa tentang makanan tradisional
Sentuhan Media Massa
Rendah
Sedang
Tinggi
Jumlah
Rendah
3 % (3 org)
3 % (4 org)
3 % (3 org)
9%
Sedang
8 % (9 org)
24 % (28 org)
-
32%
Tinggi
18 % (21 org)
41 % (47 org)
-
59%
Jumlah
29% (33 org)
68% (79 org)
3% (3 org)
Tingkat Pemahaman Siswa Tentang Makanan Tradisional
Berdasarkan tabel 23 dan 24, dapat digambarkan bahwa siswa kelas II SMA 11 di Kotamadya Yogyakarta mempunyai perhatian yang termasuk kategori sedang dengan persentase 68.7 %. Perhatian siswa terhadap iklan masakan di televisi mempunyai nilai rerata paling tinggi dalam perhatian siswa terhadap iklan masakan di media massa, dan perhatian siswa terhadap iklan masakan di media cetak mempunyai nilai rerata paling rendah. Dalam
97
hal ini tidak ada kecenderungan pengaruh sentuhan media massa terhadap tingkat pemahaman siswa. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada gambar berikut ini : Perhatian Siswa pada Iklan tentang Makanan Tradisional
Persentase
80 60 40 20 0 Rendah
Sedang
Tinggi
Gambar 15. Diagram perhatian siswa pada iklan tentang makanan tradisional E. Pembahasan Hasil Penelitian
Makanan tradisional merupakan produk bercitarasa budaya tinggi yang berupa perpaduan antara kreasi mengolah hasil sumber daya lokal dengan selera berbumbu adat istiadat dan telah diwariskan selama beberapa generasi. Makanan tradisional juga merupakan warisan nenek moyang yang telah mengalami penempaan jaman hingga terjamin keamanan dan ketahanan pangannya dalam menghidupi manusia sebagai penggunanya. Namun di sisi lain arus globalisasi khususnya dibidang komunikasi dan informasi tidak dapat dibendung, termasuk globalisasi dalam pola konsumsi makanan. Pengaruh global nampak menonjol di kota-kota besar diiringi dengan mengalirnya arus budaya makanan barat melalui diperkenalkan dan dipasarkan sejumlah makanan barat yang tampak sangat mampu menarik minat banyak konsumen.
98
Karena pengaruh globalisasi dalam pola konsumsi makanan tersebut di atas maka nampak adanya kecenderungan mulai tergesernya makanan tradisional oleh makanan non tradisional.
1.
Pemahaman siswa tentang makanan lauk pauk dan sayuran tradisional
Pemahaman dalam penelitian ini adalah cara mengerti atau mengetahui benar akan sesuatu obyek. Sedangkan tingkat pemahaman mempunyai arti tinggi rendahnya tata cara mengerti atau mengetahui benar akan sesuatu obyek. Semakin tinggi tingkat pemahaman seseorang tentang sesuatu obyek semakin tinggi pula cara mengerti atau mengetahui benar tentang obyek tersebut. Hasil penelitian menggambarkan bahwa sebagian besar siswa kelas II SMA 11 di Kotamadya Yogyakarta mempunyai pemahaman yang tinggi tentang makanan lauk pauk dan sayur tradisional (100%). Hal ini dibuktikan dengan hasil perhitungan rerata dan analisis deskriptif yang menunjukkan bahwa distribusi siswa paling banyak pada kategori tinggi (>13.33 - 20). Pada skor 14 sebanyak 3 orang, skor 16 sebanyak 7 orang, skor 17 sebanyak 3 orang, skor 18 sebanyak 34 orang, skor 19 sebanyak 6 orang, dan skor 20 sebanyak 62 orang. Hal ini didukung oleh status ekonomi orang tua siswa yang masuk pada golongan menengah, siswa yang bertempat tinggal di desa, kebiasaan makan keluarga di rumah yang masih tinggi, kebiasaan makan siswa dalam
99
pergaulan yang rendah, dan perhatian siswa terhadap iklan makanan tradisional yang sedang.
Hasil yang didapatkan dari penelitian ini bahwa sebenarnya para siswa sudah mempunyai pemahaman yang tinggi tentang makanan lauk pauk dan sayuran tradisional, tentu akan mendukung upaya-upaya pelestarian makanan tradisional tersebut. Karena sebelum melakukan upaya pelestarian makanan tradisional siswa harus memahami dahulu apa dan bagaimana makanan tradisional itu.
Pemahaman tinggi siswa ini dimungkinkan
didapat juga dari
dukungan keluarga. Karena keluarga sebagai unit sosial terkecil berperan juga dalam pengenalan makanan tradisional. Ini pun bergantung dari sejauh mana upaya orang tua menanamkan kecintaan anak-anaknya atas berbagai budaya sendiri. Walau diakui memang berat, karena promosi dari para produsen makanan modern atau asing lebih gencar. Kecintaan masyarakat terhadap produk makanan tradisional agar dilestarikan kepada generasi muda. Dengan demikian, produk makanan tradisional tak hanya dikenal atau hanya disukai kalangan generasi tua. 2. Faktor yang mendukung pemahaman siswa tentang makanan lauk pauk dan sayuran tradisional 1. Tingkat status sosial ekonomi orang tua Status sosial ekonomi menurut Mifften dan Mifften adalah “ Definisi operasional mengenai status sosial ekonomi sering terbatas pada pendidikan,
100
pekerjaan dan pendapatan yang kesemuanya terkait satu sama lain “ (1986:227). Dalam penelitian ini status sosial ekonomi orang tua murid dibatasi pada tingkat pendidikan, tingkat pendapatan dan pekerjaan orang tua siswa.
Faktor penghasilan merupakan faktor yang berpengaruh dalam menentukan gaya hidup keluarga maupun masyarakat suatu wilayah. Apabila penghasilan keluarga meningkat, biasanya penyediaan lauk pauk meningkat mutunya. Misalnya keluarga golongan miskin hanya makan dua atau satu kali dalam sehari, dengan makanan yang sederhana. Mereka tidak sempat menyediakan makanan selingan. Akan tetapi berbeda dengan keluarga golongan menengah ke atas. Mereka bisa makan dengan hidangan yang lebih bermutu dengan makanan selingan yang bervariasi. Golongan ini memiliki tingkat sosial ekonomi yang lebih baik sehingga akan memiliki berbagai kemudahan, termasuk dalam pilihan serta variasi makanan yang dimakan. Mereka cenderung mengkonsumsi makanan yang lebih enak.
Hasil penelitian menggambarkan bahwa Status sosial ekonomi orang tua siswa SMA N 11 Yogyakarta termasuk dalam kategori menengah (60%). Hanya sebagian kecil siswa (5.2%) yang termasuk dalam kategori rendah. Hal ini dibuktikan dengan hasil perhitungan rerata dan analisis deskriptif yang menunjukkan bahwa distribusi siswa paling banyak pada kategori menengah. Pengukuran status sosial ekonomi ini ditinjau dari segi penghasilan rata-rata orang tua siswa dalam 1 bulan.
101
Berdasarkan hasil tersebut diketahui bahwa sebagian besar siswa berasal dari ekonomi golongan menengah. Maka menu yang dikonsumsi setiap hari tidak terlalu mewah. Yaitu jenis menu lauk pauk dan sayur yang lazim dikonsumsi masyarakat tradisional
pada umumnya. Bahan-bahan
makanan yang dipilih adalah bahan murah dan bergizi tinggi. Serta tersedianya berbagai macam jenis resep masakan tradisional. Variasi resep masakan dapat menghindari terjadinya kejenuhan akan menu masakan dalam keluarga. Hal ini dapat menambah pemahaman siswa tentang masakan tradisional.
Status ekonomi menengah tersebut juga dapat dilihat dari kepemilikan rumah dan barang-barang semi mewah. Sebagian besar siswa (84.3%) tinggal di rumah milik sendiri. Rumah tersebut terbuat dari tembok plester (79.1%) dan berlantai keramik (63.5%). Juga dengan memasang aliran listrik sebesar 900 watt (45.2%). Untuk kepemilikan barang-barang seperti sepeda motor, TV berwarna dan kulkas sebesar 37.4%. Dan sebesar 30.4% siswa membeli laukpauk dan sayuran matang sekali dalam 1 minggu.
Dalam hal ini pendidikan orang tua murid yang dimaksud adalah tingkat pendidikan formal yang dicapai orang tua murid. Tingkat pendidikan formal tersebut merupakan suatu sistem pendidikan yang hirarkis kronologis, yang dimulai dari pendidikan sekolah dasar sampai dengan tingkat perguruan tinggi. Berdasarkan penelitian tersebut diketahui bahwa tingkat pendidikan terakhir orang tua siswa (Ayah) tersebut dapat diketahui bahwa orang tua
102
siswa dengan pendidikan terakhir SD sebanyak 2 orang (1.7%), SMP sebanyak 6 orang (5.2%), SMA/SMK sebanyak 60 orang (52.2%), S1 sebanyak 39 orang(33.9%), S2 sebanyak 8 orang(7.0%). Sedangkan tingkat pendidikan terakhir orang tua siswa (Ibu) diketahui bahwa orang tua siswa dengan pendidikan terakhir SD sebanyak 4 orang (3.5%), SMP sebanyak 7 orang (6.1%), SMA/SMK sebanyak 54 orang (47%), D3 sebanyak 4 orang (3.5%), S1 sebanyak 45 orang (39.1%), S2 sebanyak 1 orang (0.9%).
Sebagian besar orang tua siswa mempunyai latar belakang pendidikan minimal lulusan SMA/SMK. Hal ini berimbas kepada makanan yang dikonsumsi sehari-hari karena tingkat pendidikan orang tua dapat menambah pemahaman siswa tentang makanan sehat dan bergizi. Pemahaman tentang makanan tradisional juga diperoleh orang tua di bangku pendidikan yang lebih tinggi. Hal ini juga berperan positif dalam menambah tingkat pemahaman siswa akan masakan tradisional.
Berdasarkan hasil penelitian ini juga dapat dilihat jenis-jenis pekerjaan orang tua siswa. Jenis pekerjaan orang tua siswa (Ayah) adalah sebagai PNS (38.3%), pedagang (10.4%), petani (6.1%), buruh/swasta (45.2%). Untuk jenis pekerjaan orang tua siswa (Ibu) adalah PNS (16.5%), pedagang (3.5%), petani (1.7%), buruh/swasta (40.9%), dan ibu rumah tangga (37.4%).
Tingkat pemahaman siswa tentang masakan tradisional yang tinggi juga didukung oleh tingkat kesibukkan orang tua (terutama ibu) yang tidak terlalu padat sehingga orang tua (ibu) masih sempat menyiapkan masakan.
103
Sebagian besar ibu berprofesi sebagai buruh/swasta dan ibu rumah tangga, hal ini berperan dalam menambah pemahaman siswa akan masakan tradisional. Dan karena ibu adalah orang yang paling berperan dalam menentukan, menyiapkan, dan mengolah bahan masakan.
2. Lokasi tempat tinggal
Lingkungan tempat tinggal merupakan lingkungan tempat terjadinya hubungan sosial antara seseorang dengan orang lain. Dalam hubungan sosial terjadi hubungan saling mempengaruhi antara seseorang dengan orang lain. Manusia sebagai makhluk sosial, perilakunya sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya. Di sisi lain manusia membutuhkan lingkungan sosial yang mampu memberikan respon dalam berinteraksi dengan lingkungan. Tanpa rangsangan lingkungan sosial yang memadai, perkembangan sosial manusia akan terhambat. Manusia juga baru dapat memahami eksistensi dirinya bila berada di lingkungan manusia lainnya. Melalui interaksi sosial manusia dapat memenuhi berbagai kebutuhannya, meningkatkan dirinya, dan juga mempertahankan dirinya.
Hasil penelitian menggambarkan bahwa ternyata siswa yang bertempat tinggal di kota sebanyak 18.3 %. Siswa yang bertempat tinggal di pinggiran sebanyak 38.3 %. Sedangkan siswa yang bertempat tinggal di desa sebanyak 43.5 %. Hal ini dibuktikan dengan hasil perhitungan rerata dan analisis deskriptif yang menunjukkan bahwa distribusi siswa paling banyak pada kategori desa.
104
Siswa yang tinggal di pedesaan lebih banyak mengkonsumsi makanan tradisional. Karena kehidupan di desa lebih cenderung dipengaruhi oleh keluarga dan makanan tradisional lebih populer. Dengan begitu secara otomatis pemahaman siswa tentang makanan lauk pauk dan sayuran tradisional akan bertambah.
Berdasarkan penelitian tersebut juga diketahui bahwa para siswa lebih sering memilih tempat berbelanja ke pasar tradisional (49.6%) dari pada belanja ke warung di sekitar tempat tinggal (33.9%). Dan yang berbelanja ke super market hanya 16.5%. Hal ini dimungkinkan juga karena sebagian besar siswa bertempat tinggal di desa sehingga lebih memilih berbelanja di pasar tradisional. Diperoleh juga informasi bahwa siswa (53.0%) mengaku jarang (hanya 1 kali dalam satu bulan) untuk berbelanja ke pasar tradisional.
3. Kebiasaan makan keluarga siswa di rumah
Kebiasaan makan disini adalah suatu istilah untuk menggambarkan kebiasaan dan perilaku yang berhubungan dengan makanan dan makan, seperti tata krama makan, frekuensi makan seseorang, pola makanan yang dimakan, kepercayaan tentang makanan (misalnya pantangan), distribusi makanan diantara anggota keluarga, penerimaan terhadap makanan (misalnya suka atau tidak suka) dan cara pemilihan bahan makanan yang hendak dimakan.
105
Hasil penelitian menggambarkan bahwa siswa kelas II SMA 11 di Kotamadya Yogyakarta mempunyai kebiasaan makan di keluarga siswa yang tinggi (86.1%). Hal ini dibuktikan dengan hasil perhitungan rerata dan analisis deskriptif yang menunjukkan bahwa distribusi siswa paling banyak pada kategori tinggi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebiasaan makan keluarga siswa yang tinggi. Hal ini dapat disebabkan oleh tradisi turun temurun dan hubungan sosial antara anggota keluarga yang masih tinggi. Dari penelitian tersebut juga diperoleh informasi bahwa ibu adalah orang yang paling berperan dalam menentukan, menyiapkan, dan mengolah bahan masakan. Ini dapat terjadi kemungkinan karena tingkat kesibukan ibu yang tidak terlalu padat. Untuk menghindari kejenuhan dalam menu makanan sehari-hari, 89.6 % siswa mengatakan bahwa mereka mendapatkan menu yang bervariasi setiap harinya. Ini semua juga didukung oleh ketersediaannya keanekaragaman bahan makanan dan bermacam-macam jenis resep masakan tradisional.
Jenis lauk tempe selalu ada dalam menu sehari-hari para siswa. Sebab tempe merupakan menu tradisi yang murah, enak dan bergizi tinggi. Sedangkan diantara jenis menu sayur tradisional yang ada, sayur sop dan bening bayam merupakan menu yang sering dikonsumsi oleh para siswa. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa masakan lauk pauk dan sayur tradisional masih diminati oleh siswa.
106
4. Kebiasaan makan siswa dalam pergaulan
Kebiasaan makan siswa dalam pergaulan secara keseluruhan dapat digolongkan menjadi kategori rendah, hal ini dibuktikan dengan hasil penelitian menggambarkan bahwa siswa kelas II SMA 11 di Kotamadya Yogyakarta sebagian besar mempunyai kebiasaan makan di luar rumah dalam seminggu 1 kali dengan persentase 38.3 %.
Hal ini dimungkinkan karena tradisi makan bersama keluarga masih dominan, kekurang tertarikan siswa dengan kebiasaan makan bersama teman –teman karena sebagian besar siswa tinggal di pedesaan (43,5%), daerah pinggiran (38,3 %), sedangkan siswa yang tinggal diperkotaan hanya (18,3%) dimana budaya masyarakat pedesaan adalah makan bersama keluarga, sedangkan anak muda di daerah perkotaan terbiasa makan diluar bersama teman.
Menu makanan yang paling di minati siswa ketika bersama teman adalah bakso (17.4 %) dan soto (12.4 %), hal ini memperlihatkan bahwa masakan tradisional masih memiliki penggemar dikalangan siswa dalam lingkungan pergaulannya. Siswa biasa makan bersama teman-temannya di lingkungan sekolah dan di warung makan sekitar tempat tinggal.
107
5. Sentuhan Media Massa
Perhatian siswa terhadap iklan masakan di media massa secara keseluruhan termasuk kategori sedang dengan rerata 52,77. Perhatian siswa terhadap iklan masakan dapat dibagi menjadi tiga bagian : 1. Perhatian siswa terhadap iklan masakan di televisi 2. Perhatian siswa terhadap iklan masakan di radio 3. Perhatian siswa terhadap iklan masakan di media cetak (majalah/surat kabar) Perhatian siswa terhadap iklan masakan di televisi mempunyai nilai rerata paling tinggi dalam perhatian siswa terhadap iklan masakan di media massa, dan perhatian siswa terhadap iklan masakan di media cetak mempunyai nilai rerata paling rendah. Hal ini dimungkinkan karena mereka lebih menyukai media televisi dibandingkan radio dan media cetak. Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa siswa lebih dapat dipengaruhi melalui iklan di televisi daripada di media lain. Sebagai contoh acara Santapan Nusantara yang dibawakan oleh Enita Sriyana di TPI, Bango Cita Rasa Nusantara yang dibawakan oleh Harsya di Indosiar, Wisata Kuliner yang dibawakan oleh Bondan Winarno di Trans TV, Cooking Adventure with William Wongso di Metro TV, Foody with Rudy yang dibawakan oleh Rudy Choirudin di RCTI, dan sebagainya.
108