BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Maret 2012 di Apotek RSU Monompia Kotamobagu. Apotek RSU Monompia merupakan satu-satunya Apotek yang ada di RSU Monompia karena RSU Monompia belum memiliki Instalasi Farmasi. Apotek ini menyediakan perbekalan farmasi dan alat kesehatan yang dikelola oleh seorang Apoteker sebagai Kepala Apotek RSU Monompia. Seperti yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya bahwa yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah kelengkapan resep pasien rawat inap di Apotek RSU Monompia. Kelengkapan resep yang dimaksud adalah resep harus mencantumkan: nama, SIP, dan alamat dokter; tanda tangan atau paraf dokter penulis resep; nama, alamat, umur, jenis kelamin, dan berat badan pasien; nama obat, potensi, dosis, jumlah obat yang diminta, cara pemakaian; informasi lainnya. Untuk menganalisis resep-resep tersebut digunakan parameter berupa pedoman penulisan resep yaitu Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1027 tahun 2004. Penelitian dilakukan dengan memeriksa satu per satu resep pasien rawat inap pada bulan Maret 2012. Pemeriksaan yang dimaksud adalah nama, SIP, dan alamat dokter; tanda tangan atau paraf dokter penulis resep; nama, alamat, umur, jenis kelamin, dan berat badan pasien; nama obat, potensi, dosis, jumlah obat yang diminta dan cara pemakaian. Penelitian ini hanya sebatas menganalisis kelengkapan resep. Untuk selanjutnya diharapkan dapat dianalisis tentang
kerasionalan resep-resep obat tersebut dan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi ketidaklengkapan resep tersebut. Setelah melakukan penelitian dan pengambilan data, maka diperoleh hasil analisis kelengkapan resep pasien rawat inap pada bulan Maret 2012 di Apotek Rumah Sakit Umum Monompia. Jumlah total resep pasien rawat inap selama bulan Maret 2012 yang ditebus Apotek RSU Monompia adalah 817 lembar resep, dimana 621 lembar resep tidak tercantum alamat pasien, 485 lembar resep tidak tercantum umur, 14 lembar resep tidak tercantum tanggal penulisan resep, dan 1 lembar tidak tercantum identitas pasien. Dengan menghitung persentase dari data tersebut maka hasil persentase kelengkapan resep pasien rawat inap bulan Maret tahun 2012 dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 1 : Hasil Persentase Analisis Kelengkapan Resep Rawat Inap di Apotek Rumah Sakit Umum Monompia Kotamobagu bulan Maret 2012
No 1 2 3 4 5 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Pengelompokkan Kelengkapan Resep Nama Dokter SIP Dokter Alamat Dokter Paraf Dokter Nama Pasien Alamat Pasien Umur Pasien Tanggal Resep Jenis Kelamin Berat Badan Obat Dosis Jumlah obat Aturan Pakai
Jumlah Resep
Persentase
Ada
Tidak Ada
Ada
Tidak Ada
817 6 816 205 332 803 801 817 817 817 817
811 817 817 1 612 485 14 16 817 -
100 % 0,73 % 99,88 % 25,09 % 40,63 % 98,29 % 98,04 % 100 % 100 % 100 % 100 %
99,27 % 100 % 100 % 0.12 % 74,90 % 59.36 % 1,71 % 1,96 % 100 % -
4.2 Pembahasan Resep adalah suatu permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, dan dokter hewan kepada apoteker untuk membuatkan obat dalam bentuk sediaan tertentu dan menyerahkan kepada penderita. Permenkes No. 26/Menkes/Per/I/I/1984 menyebutkan resep harus ditulis dengan jelas dan lengkap. Selanjutnya dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1027 tahun 2004 menyebutkan bahwa resep harus mencantumkan: nama, SIP, dan alamat dokter; tanda tangan atau paraf dokter penulis resep; nama, alamat, umur, jenis kelamin, dan berat badan pasien; nama obat, potensi, dosis, jumlah obat yang diminta, cara pemakaian; informasi lainnya. Dalam penelitian ini, semua resep tercantum nama dokter penulis resep yaitu 817 lembar resep, 811 lembar resep tidak tercantum SIP dokter dan 817 resep tidak tercantum alamat dokter. Nama dokter, SIP, alamat, telepon, paraf atau tanda tangan dokter serta tanggal penulisan resep sangat penting dalam penulisan resep agar ketika Apoteker Pengelola Apotek melakukan skrining resep kemudian terjadi kesalahan mengenai kesesuaian farmasetik yang meliputi bentuk sediaan, dosis, potensi, stabilitas, inkompatibilitas, cara dan lama pemberian, dokter penulis resep tersebut bisa dapat langsung dihubungi untuk melalukan pemeriksaan kembali. Format inscriptio suatu resep dari rumah sakit sedikit berbeda dengan resep pada praktik pribadi. Resep di RSU Monompia tidak tercantum Surat Izin Praktek (SIP), hal ini dikarenakan dokter-dokter yang bekerja atau melakukan praktek di rumah sakit tersebut bernaung di bawah izin operasional rumah sakit
dimana menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 147/MENKES/PER/I/2010 izin operasional rumah sakit adalah izin yang diberikan untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan setelah memenuhi persyaratan dan standar. Jadi berbeda dengan resep dokter yang membuka praktik sendiri di luar rumah sakit dimana resep dokter yang membuka praktik sendiri harus mencantumkan Surat Izin Praktek (SIP) agar dapat memberikan perlindungan kepada pasien dan memberikan kepastian hukum serta jaminan kepada masyarakat bahwa dokter tersebut benar-benar layak dan telah memenuhi syarat untuk menjalankan praktik seperti yang telah ditetapkan oleh UndangUndang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004. Paraf atau tanda tangan dokter juga berperan penting dalam resep agar dapat menjamin keaslian resep tersebut, namun dalam penelitian ini, peneliti tidak menemukan resep yang memililiki paraf. Dalam penelitian ini, peneliti juga menemukan 14 lembar resep atau sekitar 1,71 % resep yang tidak mencantumkan tanggal pembuatan resep. Dalam resep, tanggal pembuatan resep tersebut sangat penting agar dapat disimpan menurut urutan tanggal pembuatan resep dan resep yang telah disimpan melebihi 3 tahun dapat dimusnahkan.
Selain itu juga agar diketahui tanggal pembuatan
resep agar pihak apotek dapat memeriksa keaslian resep apakah resep tersebut benar-benar asli atau tidak karena ada kemungkinan pemalsuan resep. Misalnya obat-obat golongan narkotika seperti Morfin. Obat ini ketika diresepkan oleh dokter, berarti obat tersebut diperlukan pada saat itu juga. Jadi dengan adanya tanggal pembuatan resep, ketika terjadi selisih tanggal antara tanggal pembuatan
resep dan tanggal penebusan resep, pihak apotek bisa melakukan penolakan dengan tidak melayani resep tersebut atau menghubungi kembali dokter penulis resep tersebut karena ada kemungkinan pemalsuan resep. Dalam penelitian ini, peneliti juga menemukan 612 lembar resep atau sekitar 74,90 % resep yang tidak mencantumkan alamat pasien. Alamat pasien dalam penulisan resep cukup penting, hal ini perlu untuk pelacakan jika terjadi kesalahan dalam pelayanan resep. Alamat merupakan hal sederhana dan seringkali terabaikan tetapi sesungguhnya mempunyai peran sangat penting dalam pencegahan terjadinya kesalahan penggunaan obat. Alamat juga dapat menjadi suatu pembeda ketika ada nama pasien yang sama. Selain alamat pasien, umur dan berat badan pasien sangatlah penting dan harus dicantumkan dalam penulisan resep. Peneliti menenemukan 485 lembar resep atau sekitar 59,36 % resep tidak mencantumkan umur pasien dan 817 lembar resep atau 100 % resep tidak mencantumkan berat badan pasien. Sebagai contoh, untuk berat badan pasien pediatri merupakan data penting sebagai dasar perhitungan dosis obat. Jika informasi berat badan tidak ada dalam resep maka perhitungan dosis obat sulit ditentukan dan juga tidak dapat dijamin ketepatannya. Perhitungan dosis dapat pula didasarkan pada umur pasien lalu dikonversikan ke dalam berat badan, namun pada kenyataannya berat badan tiap anak berlainan meskipun umurnya sama. Pada penelitian ini tidak ditemukan adanya resep tanpa kekuatan obat. Kekuatan obat diperlukan dalam penentuan dosis. Mengingat adanya obat yang sama tetapi dikemas dengan kekuatan berbeda, misalnya Amoxan 500 mg dan
Amoxan 250 mg, maka kekuatan obat perlu ditulis dalam peresepan. Tetapi biasanya ada kesepakatan tidak tertulis dalam pelayanan obat tersebut bahwa jika kekuatan obat tidak tertulis maka diberikan obat dengan kekuatan kecil. Penulisan jumlah obat dalam resep mutlak diperlukan untuk menentukan lama terapi pasien. Jika jumlah obat tidak dituliskan dalam resep, maka berapa banyak obat yang harus diberikan kepada pasien tidak dapat ditentukan, akiabatnya resep tidak dapat dilayani. Dan untuk dapat melayaninya diperlukan konfirmasi lagi ke dokter, padahal untuk konfirmasi bukan merupakan hal yang mudah dilakukan karena mengingat tingkat kesibukan kedua belah pihak, yaitu dokter dan farmasis. Situasi ini dapat menghambat pelayanan dan disamping itu juga akan dapat memberikan peluang untuk penyalahgunaan misalnya pada resep psikitropika. Pasien bisa saja menulis sendiri jumlah obatnya sesuai keinginannya. Pada resep, cara pakai obat harus dituliskan dengan lengkap dan jelas agar tidak memicu terjadinya administration error. Misalnya obat harus diminum 1 jam sebelum makan, atau 2 jam sesudah makan, harus dikunyah dulu atau harus dihisap seperti permen dan sebagainya. Dengan informasi tersebut diharapkan pasien akan dapat menggunakan obat dengan benar. Dalam penelitian ini, peneliti hanya melihat cara pakai atau aturan pakai obat seperti obat diminum 3 kali 1 sehari dan obat diminum sebelum makan atau setelah makan, peneliti mendapatkan hasil 817 lembar memiliki aturan pakai tersebut. Aturan pakai atau cara pakai obat tergantung pada sediaan obat dan jenis obat atau indikasi obat tersebut. Misalnya obat kolesterol seperti Simvastin, obat ini diminum pada malam hari. Obat Kaptopril, obat ini diminum pada saat lambung kosong (1
sampai 2 jam sebelum makan atau sesudah makan) agar memaksimalkan absorbsi. Namun dalam resep biasanya tidak terdapat aturan spesifik seperti itu. Aturan atau cara pakai obat seperti itu sudah menjadi tugas bagi petugas apotek. Sudah seharusnya petugas apotek mengetahui aturan pakai obat-obat tersebut tanpa harus dokter menuliskan aturan pakai tersebut. Hasil wawancara dengan salah satu dokter penulis resep diketahui penyebab tidak lengkapnya penulisan resep di RSU Monompia adalah tingginya tingkat kesibukan dokter sehubungan dengan banyaknya pasien yang harus dilayani setiap harinya atau setiap kali melakukan visite. Selain itu format blanko resep yang tersedia di RSU Monompia tidak lengkap. Akibatnya pengisian data pasien pada blanko resep menjadi tidak lengkap. Dalam wawancara tersebut terungkap bahwa bagi dokter tidak ada masalah untuk memenuhi persyaratan kelengkapan resep yang diperlukan, selama formatnya dapat menunjang keperluan dan tidak mengganggu pelayanan.