BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini akan diuraikan hasil penelitian berdasarkan rumusan masalah. Kemudian menganalisis hasil penelitian dan menghubungkannya dengan masyarakat pada masa terjadinya peristiwa dengan menggunakan studi kepustakaan. 4.1 Hasil Penelitian Melalui data yang ditemukan sesuai dengan rumusan masalah dapat diketahui bahwa dalam novel Bumi Manusia telah terjadi praktik pergundikan. Sehingga dapat diinventaris data sebagai potret pergundikan dalam novel tersebut yaitu sebagai berikut. 4.1.1 Praktik Pergundikan dalam Novel Bumi Manusia Data temuan yang didapatkan peneliti berdasarkan novel Bumi Manusia yaitu praktik pergundikan. Praktik tersebut terindikasi ada di dalam novel dengan adanya unsur-unsur yang menggambarkan adanya praktik tersebut yaitu sebagai berikut. 1. Adanya Penjual Gundik Di dalam novel Bumi Manusia penjual gundik diperankan oleh Sastrotomo sebagai seorang ayah yang menjadi penjual anak perempuannya untuk dijadikan gundik kepada orang Belanda. 2. Adanya Pembeli Gundik Herman Mellema adalah tokoh cerita yang berperan sebagai lelaki Belanda yang membeli perempuan pribumi dari ayahnya. 37
1
3. Adanya Perempuan Pribumi yang akan Dijadikan Gundik Sanikem adalah anak Sastrotomo. Dia tidak dapat menggunakan hak pilihnya untuk memilih pendamping hidup. Sanikem harus tunduk kepada keputusan ayahnya ketika diserahkan kepada Herman Mellema untuk dijadikan gundiknya. 4. Adanya Proses Transaksi Proses transaksi terjadi ketika Sastrotomo sebagai ayah Sanikem menjual Sanikem kepada Herman Mellema seharga dua puluh lima gulden dan janji kenaikan jabatan bagi Sastrotomo yaitu menjadi kassier di pabrik gula tempatnya bekerja. Keempat hal itulah yang didapatkan sebagai data temuan yang mengindikasikan adanya praktik pergundikan dalam novel Bumi Manusia. 4.1.2 Pernikahan Tanpa Legalitas dalam Novel Bumi Manusia Data temuan yang ditemukan peneliti dalam novel Bumi Manusia berdasarkan rumusan masalah kedua yaitu Pernikahan tanpa legalitas dalam novel Bumi Manusia. Data tersebut adalah sebagai berikut. 1. Adanya Hubungan Tidak Sah Secara Hukum dan Agama Dalam novel Bumi Manusia ditemukan hubungan tidak sah secara hukum dan agama. Hubungan tersebut adalah hubungan yang dianut Nyai Ontosoroh dan Herman Mellema dalam praktik pergundikan. 2. Adanya Hubungan Tidak Sah Secara Hukum tapi Sah Secara Agama Dalam novel Bumi Manusia ditemukan pernikahan yang sah secara agam tapi tidak sah secara hukum. Pernikahan tersebut dilakukan oleh Annelies sebagai
2
anak dari hasil pergundikan dengan pribumi bernama Minke. Kedua masalah di atas adalah temuan data yang menggambarkan hubungan tanpa legalitas dalam novel Bumi Manusia. 4.1.3 Dampak Sosiokultural dari Praktik Pergundikan dalam Novel Bumi Manusia Data yang ditemukan peneliti dalam novel Bumi Manusia berdasarkan rumusan masalah ketiga yaitu dampak sosiokultural dari praktik pergundikan. Data tersebut adalah sebagai berikut. 1. Prilaku Gundik yang Terdidik secara Eropa Dalam novel Bumi Manusia digambarkan prilaku gundik yang terdidik secara Eropa sebagai pengaruh dari hubungannya dengan orang Eropa dalam praktik pergundikan. 2. Pandangan Negatif Masyarakat Pribumi terhadap Gundik Dalam novel Bumi Manusia digambarkan pandangan masyarakat yang negatif tentang sosok seorang gundik. 3. Legalitas Hukum Keturunan Gundik Keturunan gundik dalam novel Bumi Manusia yang diperankan oleh Annelies dan Robert diakui secara hukum Hindia Belanda karena mendapatkan akta pengakuan yang dibuat oleh ayah biologisnya. Namun, ibu mereka yang melahirkannya tidak diakui sebagai ibunya secara hukum Hindia Belanda karena seorang gundik pribumi.
3
4.2 Pembahasan Berdasarkan data yang ditemukan dari hasil penelitian maka akan dianalisis data tersebut untuk kemudian dihubungkan dengan kondisi masyarakat pada masa itu melalui studi kepustakaan. 4.2.1 Praktik Pergundikan dalam Novel Bumi Manusia Data yang ditemukan dalam novel yang mengindikasikan adanya praktik pergundikan sebanyak empat data. Berikut ini setiap data akan dianalisis satu per satu kemudian dihubungkan dengan masyarakat pada masa itu. 1. Data pertama yang ditemukan yaitu adanya penjual gundik. a.
Analisis Berdasarkan Data yang Ditemukan Di dalam novel Bumi Manusia penjual gundik diperankan oleh Sastrotomo. Sastrotomo berperan sebagai seorang ayah yang menjual anak perempuannya untuk dijadikan gundik kepada orang Belanda yang bernama Herman Mellema. peran seorang ayah yang seharusnya mampu melindungi anaknya dari praktik pergundikan justru menjadi pelaku penjual anak sendiri. Sastrotomo digambarkan dalam novel sebagai seorang pekerja pabrik gula yang juga ingin memasukkan adik dan sepupunya untuk bekerja di pabrik gula. Dia tidak puas menduduki jabatan sebagai juru tulis karena sulit untuk bernepotisme terhadap pekerjaannya. Seperti yang diungkapkan Nyai Ontosoroh alias Sanikem kepada anaknya mengenai gambaran pekerjaan ayahnya Sastrotomo.
4
"Ayahku mempunyai banyak adik dan saudara sepupu. Sebagai juru tulis masih banyak kesulitan padanya untuk memasukkan mereka bekerja di pabrik. Jabatan lebih tinggi akan lebih memudahkan, lagi pula akan semakin tinggi pada pandangan dunia...." (dalam novel Bumi manusia hal. 115) Sastrotomo tidak puas dengan jabatan yang diberikan padanya saat itu sebagai juru tulis. impiannya adalah menduduki jabatan tertinggi yang dapat dimiliki seorang pribumi di pabrik gula. Harapanya agar dapat memasukkan saudara-saudaranya bekerja di pabrik gula dan terpandang sebagai pribumi yang terhormat dengan jabatan tersebut. "Jabatan yang diimpikannya adalah juru bayar:kassier pemegang kas pabrik gula Tulangan, Sidoarjo...." (dalam novel Bumi Manusia hal 115) Untuk meraih impiannya tersebut, Sastrotomo menjual anak perempuannya yang bernama Sanikem kepada Tuan Admnistratur Belanda di Pabrik gula yang menjadi majikan Sastrotomo. b. Data Temuan dihubungkan dengan Masyarakat Masa itu Dalam novel Bumi Manusia diceritakan bahwa seorang ayah menjual anaknya kepada seorang laki-laki Belanda yang sudah pernah menikah dan mempunyai anak dengan harga dua puluh lima gulden dan janji kenaikan jabatan. Cerita dalam novel tersebut merepresentasikan kenyataan dalam kehidupan masyarakat pada masa itu. Reggie Baay dalam penelitian yang sudah dibukukannya menjelaskan bahwa pada kasus ketika perempuan yang bersangkutan sudah menikah, ia pun dibeli dengan mudah dari suaminya. Keadaannya lebih menyakitkan lagi jika seorang perempuan atau gadis ditawarkan oleh seorang anggota keluarga
5
--biasanya ayah atau saudara laki-laki mereka-- sebagai nyai kepada seorang laki-laki Eropa demi uang. Praktik-praktik semacam ini biasanya terjadi pada periode ketika bencana kelaparan melanda (Baay, 2010: 4950). Jadi, cerita dalam novel memang benar-benar ada dalam masyarakat Hindia Belanda pada awal abad kedua puluh bahkan sebelum itu. Seorang ayah tega menjual anak perempuannya demi uang. Hanya, dalam novel Sastrotomo menjual anak permpuannya demi uang dan jabatan. Walaupun Sastrotomo tidak dalam kondisi masyarakat yang tertimpa bencana kelaparan. Sedangkan secara faktual berdasarkan penelitian Reggie Baay, Seorang ayah akan tega menjual anak perempuannya untuk dijadikan gundik ketika bencana kelaparan melanda masyarakat tersebut. 1. Data kedua yang ditemukan yaitu adanya pembeli gundik. a. Analisis Berdasarkan Data yang Ditemukan Di dalam novel Bumi Manusia, Herman Mellema adalah pelaku praktik pergundikan sebagai orang yang membeli perempuan pribumi untuk dijadikan gundiknya. Herman Mellema digambarkan dalam novel sebagai orang Belanda yang berkulit seperti Biawak, tinggi besar, dan suara yang menggelagar. Gambaran tersebut diucapkan oleh Nyai Ontosoroh kepada anaknya Annelies.
6
"Tuan besar keluar. ia tersenyum senang dan matanya berbinar. Ada kudengar suaranya. Dengan bahasa isyarat yang asing ia silakan kami naik. Sekilas menjadi semakin jelas bagiku betapa tinggi besar tubuhya. Mungkin beratnya tiga kali ayah. Mukanya kemerahan. Hidungnya begitu mancungnya, cukup untuk tiga atau empat orang Jawa sekaligus. Kulit lengannya kasar seperti biawak dan berbulu lebat kuning. Aku kertakkan gigi, menunduk lebih dalam. Lengan itu sama besarnya dengan kakiku." (dalam Novel Bumi Manusia hal. 122) Praktik pergundikan tidak akan terjadi dalam masyarakat jika tidak ada pembeli atau pengguna gundik sebagai masyarakat pemakai. Mereka yang tinggal di Hindia Belanda pada awal abad kedua puluh yang berjenis kelamin laki-laki menjadi pelaku pada praktik pergundikan adalah masyarakat non pribumi. Mereka bukan hanya orang Belanda, tetapi juga semua laki-laki Eropa yang tinggal di Hindia Belanda.
Bukan hanya
berasal dari golongan muda, tapi juga dari golongan tua yang membutuhkan hidup dalam praktik pergundikan. Praktik pergundikan yang terjadi dalam novel Bumi Manusia adalah praktik pergundikan yang dilakukan oleh Herman Mellema. Herman Mellema bukan berasal dari golongan muda karena dia sudah beristri sah dengan perempuan Belanda yang ditinggalkannya bersama anak sulungnya Maurits mellema. Herman Mellema melakukan praktik pergundikan karena dia tidak memiliki pendamping hidup di Hindia Belanda. Dia tidak bisa menikah dengan siapapun karena masih terikat hubungan
pernikahan
dengan
Amelia
Mellema
Hammers
yang
ditinggalkannya di Belanda. Oleh karena itu, pergundikan adalah solusi baginya dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya selama di Hindia Belanda.
7
Karena pergundikan tidak membutuhkan legalitas hukum negara dan agama. b. Data Temuan Dihubungkan dengan Masyarakat pada Masa Itu Pada masyarakat nyata, dasar sosiologis para laki-laki Eropa melakukan praktik pergundikan didasarkan pada kebutuhan biologis dan kesempatan yang memudahkan laki-laki Eropa mendapatkan solusinya untuk memenuhi kebutuhan biologisnya tersebut. Bagi laki-laki Eropa, pilihan pergundikan dan gundik pribumi biasanya juga merupakan permasalahan pragmatis. Seperti yang diungkapkan para pendukung pergundikan. Tidak jarang sang Nyai menemani laki-laki Eropa, merawat mereka layaknya istri, mengatur rumah tangga, dan melayani kebutuhan seksual mereka. Secara bersamaan, pergundikan tidak mengenal kewajiban dan mengikat seperti pernikahan Eropa. Para laki-laki dapat kapan saja mengusir perempuan pribumi, tanpa konsekuensi apa pun (Baay, 2010: 51-54). Seperti yang dijelaskan oleh Baay dalam bukunya Nyai dan Pergundikan menjelaskan (Baay, 2010: 44) bahwa di dalam dunia dengan superioritas kulit putih atas kulit cokelat yang seolah-olah wajar dan penyesuaian diri demi kelangsungan hidup, pergundikan merupakan gejala yang umum dan diterima oleh banyak orang. Jika pada awalnya perbudakan merupakan pemecahannya, kini pergundikan dengan seorang pembantu rumah tangga pribumi merupakan solusi bagi laki-laki Eropa lajang.
8
Alasan mengapa praktik pergundikan merupakan solusi bagi mereka yaitu (Baay, 2010: 1) dalam penantian terhadap calon istri Eropa yang sesuai, laki-laki Eropa pun "memuaskan" diri bersama perempuan pribumi muda. Hal semacam ini sangat sering terjadi pada masa kolonial. Menurut kebiasaan yang berlaku, sang gundik dapat disuruh pergi kapanpun sang laki-laki menginginkannya-- meskipun hubungan tersebut telah menghasilkan anak. Sehingga apa yang dialami oleh Herman Mellema dalam novel Bumi Manusia memang benar-benar terjadi dalam kehidupan nyata pada masa itu. Hubungan pergundikan adalah solusi yang tanpa resiko bagi kelangsungan hidup mereka di tanah Hindia Belanda. 2. Data ketiga yang ditemukan yaitu adanya perempuan pribumi yang akan dijadikan gundik. a.
Analisis Berdasarkan Data yang Ditemukan Sanikem adalah anak Sastrotomo. Dia tidak dapat menggunakan hak pilihnya dalam memilih pendamping hidup. Sanikem harus tunduk kepada keputusan ayahnya ketika diserahkan kepada Herman Mellema untuk dijadikan gundiknya. Sastrotomo tidak peduli apakah anaknya menyetujui keputusannya atau tidak. Dalam pikirannya Sanikem pasti dan harus tunduk pada keputusannya. Dalam novel, Sanikem digambarkan sebagai perempuan pribumi yang berusia empat belas tahun. Umur yang sudah tergolong perawan tua pada masa itu. Seperti yang ditulis pada novel Bumi Manusia.
9
"Waktu berumur empat belas masyarakat telah menganggap aku sudah termasuk golongan perawan tua. Aku sendiri sudah haid dua tahun sebelumnya...." (dalam novel Bumi Manusia hal. 118) Dalam novel juga dideskripsikan bahwa budaya pada masa itu anak perempuan dan ibu tidak memiliki hak bicara. Keputusan ada pada pihak laki-laki yang berperan sebagai ayah. Seperti yang diungkapkan dalam novel. "....Ibuku tak punya hak bicara seperti wanita pribumi seumumnya. Semua ayah yang menentukan. Pernah ibu bertanya pada ayah, menantu apa yang ayah harapkan. Dan ayah tidak pernah menjawab." (dalam novel Bumi Manusia hal. 119) Kutipan di atas menjelaskan bahwa seorang ibu yang melahirkan anaknya pun tidak memiliki hak bicara, diabaikan oleh suami sendiri tentang pendapatnya untuk anaknya. Apalagi hanya seorang anak perempuannya. Dalam novel diceritakan bagaimana Sanikem bernasib sama dengan para perempuan lainnya yang seumur dengan dia pada masa itu. "....keadaan semua perawan waktu itu, Ann--hanya bisa menunggu datangnya seorang laki-laki yang akan mengambilnya dari rumah, entah ke mana, entah sebagai istri nomor berapa, pertama atau keempat. Ayahku dan hanya ayahku yang menentukan. Memang beruntung kalau jadi yang pertama dan tunggal. Dan itu keluarbiasaan dalam masyarakat pabrik. Masih ada lagi. Apa lelaki yang mengambildari rumah itu tua atau muda, seorang perawan tak perlu mengetahui sebelumnya. Sekali peristiwa itu terjadi perempuan harus mengabdi dengan seluruh jiwa dan raganya pada lelaki tak dikenal itu, seumur hidup, sampai mati atau sampai dia bosan dan mengusir. Tak ada jalan lain yang bisa dipilih. Boleh jadi dia seorang penjahat, penjudi, atau pemabuk. orang takkan bakal tahu sebelum jadi istrinya. Akan beruntung bila yang datang itu seorang budiman."
10
b. Data Temuan Dihubungkan dengan Masyarakat pada Masa Itu Pada kehidupan nyata dalam masyarakat pada masa itu, gundik didominasi oleh perempuan yang berusia belia yaitu sekitar berusia enam belas tahun. Reggie Bay, dalam penelitiannya menuturkan beberapa kisah nyata para mantan gundik seperti kisah Saila. "Kemiskinan memaksa Saila untuk bekerja di usia muda demi menyokong keluarganya. Tidak diketahui tahun berapa tepatnya ia mulai bekerja untuk Eduard. Hal itu diperkirakan terjadi sebelum 1900 karena pada 1900 Saila telah menjadi pembantu rumah tangga sekaligus nyai untuk Eduard. Pada tahun yang sama, ia melahirkan seorang anak pertama ketika berumur 16 tahun--usia yang terbilang masih remaja." (Baay, 2010: 234) Kisah Saila adalah salah satu kisah nyata yang dialami oleh perempuan pribumi pada masa itu. Baay bukan hanya mengangkat kisah Saila, juga Katijem yang menjadi gundik sejak usia enam belas tahun (Baay, 2010:242). Selain itu, Baay mengangkat kisah nyata sebanyak tujuh belas kisah para gundik yang berasal dari perempuan muda pribumi. Sehingga kisah Nyai Ontosoroh menjadi salah satu kisah yang sama dengan para gundik dalam dunia nyata. Nyai Ontosoroh menjadi gundik ketika berumur empat belas tahun. Sedangkan berdasarkan penelitian Reggie Baay, umur perempuan yang akan dijadikan gundik sekitar enam belas tahun. 3. Data keempat yang ditemukan yaitu adanya proses transaksi. a. Analisis Berdasarkan Data yang Ditemukan Proses transaksi terjadi ketika Sastrotomo sebagai ayah Sanikem menjual Sanikem kepada Herman Mellema seharga dua puluh lima gulden
11
dan janji kenaikan jabatan bagi Sastrotomo yaitu menjadi kassier di pabrik gula tempatnya bekerja. Transaksi ditandai dengan adanya penjual yaitu Sastrotomo, pembeli yaitu Herman Mellema, dan yang dijual yaitu Sanikem. Transaksi ini berjalan ketika ada yang dibayarkan dari pembeli kepada penjual. Dalam novel Bumi Manusia, yang dibayarkan oleh pembeli adalah uang sejumlah dua puluh lima gulden dan janji kenaikan jabatan bagi Sastrotomo dari juru tulis menjadi kassier atau juru bayar di pabrik gula tempatnya bekerja. Transaksi dalam praktik pergundikan pada novel Bumi Manusia ditandai pada saat Nyai Ontosoroh menceritakan kisah masa lalunya pada anaknya. "....Dari kantongnya Tuan Besar Kuasa mengeluarkan sampul kertas dan menyerahkannya pada Ayah. Dari saku itu pula ia keluarkan selembar kertas berisi tulisan dan Ayah membubuhkan tanda tangan di situ. Di kemudian hari kuketahui, sampul itu berisikan uang dua puluh lima gulden, penyerahan diriku kepadanya, dan janji Ayah akan diangkat jadi kassier setelah lulus dalam pemagangan selama dua tahun. b. Data Temuan Dihubungkan dengan Masyarakat pada Masa Itu Praktik pergundikan sudah berjalan sejak tahun 1600 Masehi. Praktik ini dimulai ketika para pegawai VOC tiba di nusantara. Walaupun pada perkembangan selanjutnya undang-undang tentang dilarangnya praktik
pergundikan
diterbitkan,
para
laki-laki
Eropa
tetap
menjalankannya. Hal ini terutama dalam memberikan solusi bagi pemenuhan kebutuhan biologis masyarakat Eropa yang kekurangan
12
perempuan Eropa yang hidup di Hindia Belanda. Terdapat beberapa model penyebab lahirnya pergundikan atau hubungan pergundikan di masyarakat Hindia Belanda pada masa awal abad kedua puluh (Reggie Bay, 20120: 46-49). Paling tidak ada enam model yaitu sebagai berikut. 1. Pembantu rumah tangga yang diminta langsung oleh majikannya menjadi gundiknya. 2. Seorang laki-laki Belanda meminta pembantu rumah tangga laki-laki untuk mencari perempuan pribumi untuk dijadikan gundiknya. Dalam proses model seperti ini dikenal dengan istilah "tjari perempoewan". 3. Melalui perjodohan Cara lain untuk menjalin hubungan pergundikan adalah melalui perjodohan. Hal ini sering terjadi di dalam keluarga (Indo-) Eropa baik-baik yang memiliki anak laki-laki remaja. para orang tua pun menyiapkan seorang nyai untuk putra mereka. Hubungan semacam itu kerap bersifat sangat sementara dan bertujuan agar para pemuda memiliki pengalaman bersama perempuan. Sebenarnya hal ini sangat dekat dengan pelacuran. Meskipun demikian hubungan tersebut ada juga yang berlangsung lama (Baay, 2010: 47). 4. Ada banyak hubungan pergundikan antara laki-laki Eropa dengan perempuan pribumi yang terjalin di rumah teman, kenalan atau relasi yang memiliki cukup pelayan pribumi atau di toko dan tempat makan dimana perempuan pribumi bertugas untuk melayani (Baay, 2010: 48).
13
5. Ada juga cara-cara kurang naif atau kurang wajar yang digunakan dalam menjalin relasi (pergundikan). Hal yang sering terjadi misalnya seorang laki-laki Eropa (terutama dengan tingkat kemakmuran yang tinggi) tergiur oleh gadis atau perempuan pribumi muda yang lemah gemulai. Selanjtnya mereka menyampaikan sendiri atau lewat seorang pembantu bahwa mereka menginginkan perempuan bersangkutan sebagai nyai. Sang perempuan lantas diharapkan kedatangannya di rumah sang laki-laki Eropa pada waktu dan hari tertentu. Dalam hal ini pemberian sejumlah uang (kepada keluarga perempuan) kerap dilakukan (Baay, 2010: 48-49). 6. Di dalam kasus dimana perempuan yang bersangkutan sudah menikah, ia pun dibeli dengan mudah dari suaminya. keadaannya lebih menyakitkan lagi jika seorang perempuan atau gadis ditawarkan oleh seorang anggota keluarga --biasanya ayah atau saudara laki-laki mereka-- sebagai nyai kepada seorang laki-laki Eropa demi uang. Praktik-praktik semacam ini biasanya terjadi pada periode ketika bencana kelaparan melanda (Baay, 2010: 49-50). Dalam novel Bumi Manusia, Sastrotomo sebagai ayah Sanikem menjual anaknya kepada Herman Mellema (orang Belanda) karena tergiur kenaikan jabatan. Sedangkan pada masyarakat nyata seorang anak perempuan dijual oleh anggota keluarganya biasanya pada saat krisis ekonomi seperti bencana kelaparan. Walaupun begitu, kemungkinan bahwa apa yang diceritakan dalam novel sebenarnya terjadi dalam
14
masyarakat nyata. 4.2.2. Pernikahan Tanpa Legalitas dalam Novel Bumi Manusia Berdasarkan data yang ditemukan peneliti dalam novel Bumi Manusia mengenai pernikahan tanpa legalitas adalah sebagai berikut. 1.
Data pertama yaitu adanya hubungan tidak sah secara hukum dan agama. a. Analisis Berdasarkan Data Hasil Temuan Hubungan Nyai Ontosoroh dan Herman Mellema tidak dilegalkan secara hukum dan agama dalam novel Bumi Manusia karena Herman Mellema masih memiliki ikatan dengan istrinya yang sah di Belanda. Sehingga Nyai Ontosoroh sebagai gundiknya tidak bisa dinikahi secara sah. Hubungan pergundikan seperti itu tidak dilindungi secara hukum. Walaupun hubungan ini dapat dilegalkan secara agama, namun tetap tidak bisa dilegalkan karena beda agama. Dalam novel Bumi Manusia, Nyai Ontosoroh sebagai gundik tidak dilindungi secara hukum karena tidak dinikahi secara sah. seperti yang dikeluhkan oleh Nyai Ontosoroh. "…hanya karena aku pribumi dan tidak dikawin secara syah…." Dalam novel diceritakan bahwa setelah Nyai Ontosoroh menyadari bahwa dirinya akan dilindungi secara hukum ketika dinikahi secara sah oleh Herman Mellema. oleh karena itu, Nyai Ontosoroh memohon kepada Herman Mellema untuk dinikahi secara sah.
15
"mulailah aku setiap hari merajuk dan merajuk. Papamu yang murung dalam beberapa hari belakangan itu mendadak menjadi marah. Marah pertama kali dalam beberapa tahun itu. Ia tak menjawab. Juga tak pernah menerangkan sebabnya." (dalam novel Bumi Manusia hal. 137) Dalam novel Bumi Manusia juga disebutkan bahwa di bawah hukum Eropa, Nyai Ontosoroh tidak diakui. Karena dia bukan Nyonya Belanda, yaitu istri yang sah Herman Mellema. "....Dia dalam surat-surat itu disebutkan perempuan Sanikem alias Nyai Ontosoroh, tapi Sanikem bukan Mevrouw Mellema...." (dalam novel Bumi Manusia hal. 488) Disusul dengan kata-kata dari hakim mengenai keputusan Pengadilan Belanda. "....Annelies Mellema berada di bawah hukum Eropa, Nyai tidak. Nyai hanya pribumi dan pengadilan putih tidak punya sesuatu urusan." (dalam novel Bumi Manusia hal. 488) b. Data Temuan Dihubungkan dengan Masyarakat pada Masa Itu Jika dihubungkan dengan kondisi masyarakat pada masa itu melalui hasil penelitian Reggie Baay, maka didapatkan hasil sebagai berikut. Pada umumnya, laki-laki Belanda tidak mau menikah dengan perempuan pribumi. Impian mereka pada umumnya ingin menikah dengan yang mereka anggap sederajat yaitu perempuan Eropa. Hanya saja, perempuan Eropa sulit didapatkan di tanah Hindia Belanda sedangkan jika mendatangkan dari Eropa membutuhkan biaya yang mahal. Namun, secara biologis mereka membutuhkan kehidupan rumah tangga yang normal. Maka mereka memilih gundik sebagai jalan keluarnya disamping karena
16
gundik mudah didapatkan di Hindia. Gubernur Jenderal yang memimpin dari 1650 sampai 1653, Carel Reyniersz, dan penggantinya, Joan Maetsuyker, merupakan pendukung kuat perkawinan antara pegawai VOC dengan perempuan Asia atau Eurasia. Menurut mereka ada berbagai keuntungan dari hal tersebut. Para perempuan Asia lebih menguntungkan daripada perempuan-perempuan Eropa karena biaya pelayaran perempuan Eropa tentu harus ditanggung oleh laki-laki sendiri. Keterikatan dengan tanah kelahiran membuat para perempuan pribumi ingin tetap tinggal di Timur sehingga mereka pasti akan membujuk suami mereka untuk melakukan hal serupa. Disamping itu perempuan Asia tidak terlalu serakah dibanding perempuan Belanda. Mereka pun akan puas dengan gaji yang kecil. Dengan demikian, bahaya akan adanya para pegawai yang memperkaya diri dianggap berkurang. Dari perkawinan ini kelak akan lahir anak-anak. Anak laki-laki akan menjadi calon pegawai dan anak perempuan akan menjadi calon pengantin sempurna untuk angkatan baru pegawai VOC dari Belanda. Namun, pada kenyataannya jumlah pernikahan laki-laki VOC dan perempuan Kreol atau Eurasia (anak hasil dari pergundikan) pada umumnya sedikit. Yang lebih banyak justru hubungan gundik antara lakilaki Eropa dengan perempuan Asia. Untuk legalitas pernikahan --bagi lakilaki Eropa yang berpasangan dengan gundik-- hanya yang berpangkat tinggi yang bisa menikah dan mereka pun hanya sebagian kecil dari populasi orang Eropa di daerah pendudukan. Bagian yang jauh lebih besar
17
terdiri dari para pegawai rendah dan serdadu, yaitu para laki-laki yang bukan hanya orang Belanda. Mereka juga berasal dari berbagai Negara di Eropa Barat seperti Perancis, Jerman, Denmark, Skotlandia, dan Inggris. Mereka memiliki kontak paling banyak dan paling erat dengan penduduk Asia, terutama karena hubungan mereka dengan para budak perempuan Asia. Saat itu juga terdapat kebijakan yang justru semakin menyuburkan pergundikan. Para laki-laki kalangan biasa tidak bisa menikah tanpa persetujuan atasan VOC. Kebijakan ini berlaku baik untuk pegawai rendah maupun penduduk koloni yang bukan budak. Permohohnan izin menikah dapat langsung ditolak, tanpa diberikan alasan. Sejak 1617, juga terdapat larangan menikah antara (mantan) pejabat VOC dengan perempuan nonKristen. Laki-laki Eropa yang menikah dengan perempuan Asia pun tidak boleh melakukan repatriasi. Jika ada laki-laki Eropa yang ingin menikahi budak perempuan Asia, maka ia harus melunasi pembelian budak tersebut kepada VOC (sebagai pemilik budak dalam wilayah pendudukan) atau membayar secara angsuran yang dipotong dari gajinya. Disamping itu, pengantin perempuan harus memeluk agam Kristen. Mereka pun harus dibaptis dan diberi nama Kristen sebagai tanda dilahirkan kembali. Pendek kata, rezim semacam ini telah mendorong lahirnya hubungan tanpa ikatan antara laki-laki Eropa dengan perempuan Asia. Sang nyai tidak memiliki hak secara resmi (Bay, 2010: 60). Dengan demikian ia tidak bisa menuntut kemana-mana. Jika tiba saatnya
18
untuk pergi ia akan pergi dalam keadaan yang sama ketika pertama kali datang. Yaitu dengan tangan hampa. Kecuali jika sang laki-laki bersedia membuat perjanjian dengannya. Ia pun tidak bisa menuntut hak atas anakanak yang lahir dari pergundikan. Peraturan ini ditetapkan secara hukum dalam pasal 40 dan 354 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tahun 1848. Di dalam peraturan tersebut juga dicantumkan bahwa seorang gundik tidak dapat menuntut perwalian jika “suaminya” meninggal. Dalam novel agak berbeda pada alas an mengapa Herman Mellema tidak mau menikahi Nyai Ontosoroh. Tapi pada beberapa kasus dalam masyarakat pada masa itu, banyak gundik yang dinikahi oleh tuannya atas dasar cinta. 2. Data kedua yaitu adanya hubungan yang tidak sah secara hukum tapi sah secara agama. a. Analisis Berdasarkan Data Hasil Temuan Praktik pergundikan adalah praktik yang menentang hukum agama, baik agama Islam maupun Kristen yang dianut oleh gundik pribumi dan Tuan Belanda dalam novel Bumi Manusia. Dikatakan menentang karena hubungan ini tidak melalui prosedur yang diberlakukan secara agama termasuk melakukan hubungan beda agama. Sehingga hubungan ini dianggap sebagai hubungan zina. Dalam novel dijelaskan ketika kedua anaknya akan dibaptis. Artinya secara agama, mereka ingin kedua anaknya diakui.
19
"....Tuan menghendaki kalian berdua dibaptis. Aku tidak ikut mengantarkan kalian ke gereja. Kalian pulang lebih cepat. Pendeta menolak pembaptisan kalian." (dalam novel Bumi Manusia hal. 137) Disusul dengan sikap Herman Mellema yang menunjukkan kekecewaannya terhadap sikap gereja melalui penolakan pendeta ketika menolak pembaptisan kedua anaknya. "Mengapa mereka tidak berhak pengampunan dari Kristus? (dalam novel Bumi Manusia hal 137)
mendapatkan
karunia
Dalam novel hanya dideskripsikan mengenai penolakan hubungan pergundikan secara Kristen saja. Secara Islam, hubungan pergundikan tidak dijelaskan. Namun, ketika Annelies sebagai anak dari hasil pergundikan dinikahi oleh Minke yang seorang muslim dengan cara Islam, pengadilan Belanda tidak mengakui pernikahan tersebut. "Pengadilan Amsterdam telah menunjuk Ir. Maurits Mellema menjadi wali bagi Annelies Mellema, karena belakangan ini dianggap masih berada di bawah umur...." (dalam novel Bumi Manusia hal. 486) Nyai Ontosoroh membantah apa yang diputuskan oleh pengadilan Amsterdam. "....Anakku sudah kawin. Dia istri orang. Orang itu hanya tersenyum tak kentara dan menjawab: dia belum kawin. Dia masih di bawah umur. Kalau toh ada yang mengawinkan atau mengawininya, perkawinan itu tidak sah." (dalam novel Bumi Manusia hal. 488-489) Nyai Ontosoroh bukan hanya membantah dengan menjawab pada putusan pengadilan. Dia dan menantunya Minke juga membantah melalui media massa.
20
"Tulisan tentang pelanggaran Hukum Islam oleh Hukum Putih dalam tulisan Belanda muncul dalam S.N.v/d.D. Dalam Melayu muncul dalam koran Melayu-Belanda. Dua-duanya terbit pada sore yang bersamaan." (dalam novel Bumi Manusia hal. 503) Disusul dengan komentar yang ditulis oleh Kommer sendiri sebagai teman dari Minke dan Nyai Ontosoroh yang ikut membela status pernikahan Annelies dan Minke secara Islam. "Komentar yang nampaknya ditulis oleh Kommer sendiri menganjurkan, seyogyanya pihak yang berkuasa bersikap lebih bijaksana menghadapi para ulama yang dihargai, dihormati, dimuliakan, dan didengarkan oleh pemeluk Islam di daerah ini. Adalah berbahaya bermain-main dengan kepercayaan rakyat, jauh lebih berbahaya daripada mempermainkan kawula yang tidak berdaya ataupun merampas hak milik dan anak bini mereka." (dalam novel Bumi Manusia hal. 506) Sedangkan Mahkamag Agama di Surabaya memutuskan hal yang berbeda dengan pengadilan Belanda mengenai pernikahan Annelies dan Minke. Mahkamah Agama di Surabaya mengeluarkan pernyataan: perkawinan kami sah dan dapat dipertanggungjawabkan, tidak dapat di ganggu gugat. Sebaliknya beberapa koran kolonial mengejek, memaki, dan melecehkan." (dalam novel Bumi Manusia hal. 509) Sehingga
dapat
diketahui
bahwa
dalam
novel
hubungan
pergundikan selama tidak dikawin secara sah, maka tidak ada perlindungan hukum bagi seorang gundik. maksud dari perlindungan hukum di sini adalah perlindungan hukum dari pengadilan putih atau pengadilan Eropa atau pengadilan Amsterdam.
21
Berbeda dengan kasus Annelies yang dinikahi oleh pribumi secara Islam. Pernikahan tersebut diakui secara agama oleh Mahkamah Agama, namun tetap tidak diakui oleh pengadilan Eropa. Karena, Annelies seorang anak dari hasil pergundikan telah diakui sebagai anak oleh ayah biologisnya sehingga terkena hukum Eropa. Namun, Annelies dinikahi oleh pribumi yang dianggap berbeda kelas sosial dengan pribumi. Sehingga walaupun diakui secara Islam namun tidak diakui secara hukum Belanda. b. Data Temuan Dihubungkan dengan Masyarakat pada Masa Itu Dalam masyarakat nyata pada masa itu, Bay (2010: 71) sebelum 1848 sebuah pernikahan antara seorang Eropa Kristen dengan seorang perempuan pribumi non-kristen merupakan hal yang dilarang. Menteri kehakiman yang bertanggungjawab pada waktu itu berpendapat bahwa perkawinan campur merupakan hal yang tidak dikehendaki namun juga tidak perlu dilarang. Hal itu diutarakannya di dalam persiapan Regeringsreglement Hindia Belanda yang membentuk dasar hukum bagi pemerintah kolonial. Oleh karena itu, larangan terhadap perkawinan campur kemudian diganti dengan pasal 15 dalam Overgangsbepalingen untuk Hindia Belanda. Di dalamnya tertera bahwa perempuan non Eropa yang menikah dengan laki-laki Eropa harus tunduk kepada hukum perdata dan hukum dagang Eropa. Terdapat dugaan bahwa mereka tidak akan dan tidak mau memenuhinya. Di dalam regeringsreglement, undang-undang dasar Hindia
22 Belanda, sebenarnya diberikan perbedaan yuridis antara “orang-orang Eropa dan yang disamakan”. Persamaan ini lagi-lagi merupakan penemuan khas kolonial. Yang dimaksud dengan orang-orang Eropa yang disamakan adalah semua orang kristen non-Eropa dan mereka yang tidak disamakan dengan para pribumi. Sedangkan yang dimaksud dengan pribumi yang disamakan adalah para Tionghoa, Arab, jepang. Kategori tersebut kemudian akan ditunjukkan secara terpisah dengan terminologi vreemde oosterlingen. Merupakan hal yang penting bahwa kedua golongan ini memiliki hukum sendiri-sendiri. Bagi orangorang Eropa dan mereka yang disamakan di dalam koloni, berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang untuk Hindia Belanda yang disesuaikan dengan hukum yang berlaku di Belanda. Bagi golongan pribumi dan mereka yang disamakan, berlaku undang-undang Pribumi tersendiri. Berkat penggantian larangan 1848 menjadi pasal 15 dalam Overgangsbepalingen, perkawinan antara laki-laki Eropa dengan perempuan pribumi pun menjadi mungkin. Sejak 1848 (Baay, 2010: 69), orang-orang kristen di Hindia Belanda diizinkan untuk menikah degan non-kristen. Dengan kata lain, para laki-laki Eropa dapat melangsungkan pernikahan dengan nyai mereka sejak 1848. Selanjutnya pada 1849 dilakukan pernikahan untuk pertama kalinya di dalam koloni antara antara seorang laki-laki Eropa dengan perempuan pribumi non kristen. Namun, selebihnya seperti yang telah diperkirakan tidak banyak yang memanfaatkan kesempatan ini.
23
Menurut pendapat-pendapat yang dominan pada saat itu, pernikahan dengan seorang perempuan pribumi berarti pengrusakan terhadap kode kolonial. Karena hal tersebut, orang Eropa yang bersangkutan pun menempatkan diri di luar masyarakat. Hal tersebut juga memberikan dampak-dampak langsung baginya. Tidak ada lagi kemungkinan untuk memiliki karier yang baik. Ia harus melupakan masalah kenaikan jabatan dan pemindahtugasan ke daerah terpencil di nusantara atau ke jabatan yang tanpa harapan tidak jarang menjadi akibatnya. Kisah-kisah nyata praktik pergundikan yang diangkat oleh Reggie Baay tentang status pernikahan mereka beragam. Seperti kisah Djelema atau Oma Pet yang berpindah agama ketika dinikahi oleh Aart setelah hidup selama beberapa tahun dalam pergundikan. Namun, ada juga yang bertahan dalam pergundikan tanpa dinikahi secara sah atau hanya menjalani hidup dalam pergundikan dalam beberapa tahun saja ketika gundik ditinggalkan begitu saja oleh tuan Eropanya. 4.2.3 Dampak Sosiokultural dari Praktik Pergundikan dalam Novel Bumi Manusia Data yang ditemukan peneliti dalam novel Bumi Manusia berdasarkan rumusan masalah ketiga yaitu dampak sosiokultural dari praktik pergundikan adalah sebagai berikut. 1. Data pertama yaitu prilaku gundik yang terdidik secara Eropa. a.
Analisis Berdasarkan Data Temuan
24
Dalam novel Bumi Manusia digambarkan seorang Nyai Ontosoroh, seorang pribumi yang berperan sebagai gundik dengan penampilannya yang berbeda dengan perempuan pribumi pada umumnya. "Dan segera muncul seorang wanita pribumi, berkain, berkebaya putih dihiasi renda-renda mahal, mungkin bikinan Naarden seperti diajarkan di E.L.S dulu. Ia mengenakan kasut beledu hitam bersulam benang perak. Permunculanna begitu mengesani karena dandanannya yang rapi, wajahnya yang jernih, senyumnya yang keibuan, dan riasannya yang terlalu sederhana. Ia kelihatan manis dan muda, berkulit langsat. Dan yang mengagetkan aku adalah Belandanya yang baik, dengan tekanan sekolah yang benar." (dalam novel Bumi Manusia hal. 33) Kutipan di atas menggambarkan bagaimana penampilan seorang gundik. Gambaran tersebut memberikan kesan bahwa gundik berbeda dengan perempuan pribumi pada umumnya. Berkasut atau bersandal adalah kemewahan bagi perempuan pribumi biasa. Bukan hanya penampilan saja yang berubah. tapi dari segi prilaku sehari-hari juga menunjukkan budaya Eropa. " Dan aku ragu. Haruskah aku ulurkan tangan seperti pada wanita Eropa, atau aku hadapi dia seperti wanita pribumi—jadi aku harus tidak peduli? Tapi dialah justru yang mengulurkan tangan. Aku terheran-heran dan kikuk menerima jabatannya. Ini bukan adat pribumi; Eropa! Kalau begini caranya tentu aku akan mengulurkan tangan lebih dahulu. (dalam novel Bumi Manusia hal. 33) Kebiasaan sehari-hari pun juga mengubah gundik yang polos dan sederhana menjadi seorang pribadi yang baru. "Ia melangkah padaku, membuka bibirku dengan jari-jarinya. Dengan isyarat ia perintahkan mulai sejak itu menggosok gigi. Maka ia tuntun aku pergi ke belakang, ke kamar mandi. Itulah untuk pertama kali aku melihat sikat gigi dan bagaimana menggunakannya. Ia tunggui aku sampai selesai, dan gusiku rasanya sakit semua." (dalam novel Bumi Manusia hal. 127)
25
Menggosok gigi merupakan prilaku baru bagi perempuan pribumi seperti Nyai Ontosoroh. Hal-hal kecil semacam ini menjadi bagian penting dan harus jadi budaya bagi pandangan bangsa Eropa. Bukan hanya menyikat gigi, mandi dan menggunakan handuk pun juga merupakan hal baru bagi Nyai Ontosoroh. "Dengan isyarat pula ia perintahkan aku mandi dan menggosok diri dengan sabun mandi yang wangi. Semua perintahnya aku laksanakan seperti perintah orang tua sendiri. ia menunggu di depan kamar mandi dengan membawa sandal di tangannya. Ia pasang sandal itu pada kakiku. Sangat, sangat besar --sandal pertama yang pernah aku kenakan dalam hidupku--dari kulit, berat." "Ia gendong aku masuk ke rumah, ke kamar, didudukkannya aku di depan cermin. Ia gosok rambutku dengan selembar kain tebal, yang kelak aku ketahui bernama anduk, sampai kering, kemudian ia minyaki--begitu wangi baunya...." (dalam novel Bumi Manusia hal. 127) b. Data Temuan Dihubungkan dengan Masyarakat pada Masa Itu Hidup bersama dengan lelaki Eropa dalam rentang waktu yang cukup lama mengubah gundik menjadi perempuan yang dari segi prilaku sehari-hari karena pengaruh intensnya interaksi antara gundik dengan tuan Belandanya. Seringkali sikap dan penampilan dituntut oleh lelaki Eropanya untuk berubah seperti layaknya perempuan Eropa pada umumnya. Walaupun untuk berubah membutuhkan proses. Uilkens menulis dalam Indische Typen (dalam Baay, 2010: 65) tentang seorang pembantu rumah tangga yang berubah menjadi gundik. "Pembantu rumah tangga pribumi lebih dikenal dengan kebaya putihnya. Untuk menunjukkan penampilannya sebagai seorang nyonya, ia pun membeli dan mengenakan pakaian bercorak warna warni yang kemudian dihujat dengan cemoohan. Kaki-kakinya
26
dijejalkan ke dalam selop bersulam yang dipaksakan untuk kakikakinya yang lebar. Dengan selop tersebut ia pun berjalan bagaikan seekor angsa." Berdasarkan foto-foto para gundik dalam buku Baay, dapat digambarkan
bagaimana
seorang
gundik
berpenampilan
layaknya
gambaran dalam novel Bumi Manusia maupun yang digambarkan Reggie Baay dalam bukunya. Pada foto Djoemiha (Baay, 2010:247), dapat dilihat Djoemiha difoto di belakang meja mengenakan kebaya dan berkain batik. Tapi di kakinya tidak tampak menggunakan apapun. Namun, tuan Belandanya bersepatu. Kedua anaknya didudukkan di atas meja, yang satu bersepatu dan berpakaian sedangkan yang masih bayi dibiarkan telanjang. Berbeda dengan gundik yang bernama Srie (Baay, 2010: 255), dia difoto dengan mengenakan selop dan berkebaya putih serta berkain batik. Dia berfoto dengan tuan Belandanya dan anak-anak yang dilahirkan dari hubungan tersebut. Dalam foto tersebut, semuanya menggunakan sepatu dan berpakaian Eropa kecuali Srie. Foto tahun 1925 (Bay, 2010: 268) yaitu foto seorang gundik bernama Soeboer dengan anak-anaknya. Foto tersebut memperlihatkan semua yang difoto tidak beralas kaki. Soeboer sendiri berpakaian kebaya dan berkain batik. Semua anak-anaknya berpakaian biasa. 2. Pandangan Negatif Masyarakat Pribumi terhadap Gundik a. Analisis Berdasarkan Data Temuan
27
Di masyarakat dalam novel Bumi Manusia, gundik disamakan status sosialnya dengan pelacur. Dalam novel Bumi Manusia digambarkan bagaimana Mevrouw Telinga dan Minke mempunyai penilaian tentang gundik. "Bukan hanya Mevrouw Telinga atau aku, rasanya siapapun tahu, begitulah tingkat susila keluarga nyai-nyai: rendah, jorok, tanpa kebudayaan, perhatiannya hanya pada soal-soal berahi semata. Mereka hanya keluarga pelacur, manusia tanpa pribadi, dikodratkan akan tenggelam dalam ketiadaan tanpa bekas. Perintahnya padaku untuk mencium Annelies, kan itu juga pertanda rendahnya tingkat susila? Mungkin." (dalam novel Bumi Manusia, 2010: 75) Secara pribadi Minke juga mengadakan penilaian tersendiri pada Nyai Ontosoroh sebagai gundik. "Dia hanya seorang nyai-nyai, tidak mengenal perkawinan sah, melahirkan anak-anak tidak sah, sejenis manusia dengan kadar kesusilaan rendah, menjual kehormatan untuk kehidupan senang dan mewah..." (dalam novel Bumi Manusia hal. 38) b. Data Temuan Dihubungkan dengan Masyarakat pada Masa Itu Berdasarkan penelitian Reggie Baay, seorang gundik adalah pilihan kehidupan yang dilematis. Di satu sisi banyak perempuan pribumi yang memilih pergundikan sebagai solusi bagi dirinya untuk keluar dari lingkaran kemiskinan. Namun, di sisi lain sebagai perempuan dan mahluk Tuhan, hubungan pergundikan ini tidak dibenarkan. Mengapa? Karena hubungan pergundikan adalah hubungan tanpa legalitas formal. Secara sosial, perempuan dirugikan. Tapi jika hal ini menjadi solusi bagi keterpurukan ekonomi, maka banyak perempuan pribumi tanpa paksaan menerima lelaki Eropa untuk jadi gundiknya. Mereka, para perempuan
28
pribumi sudah mengetahui konsekuensi menjadi gundik. Karena praktik ini sudah berlangsung lama sejak tahun 1600 Masehi. Walaupun ada yang menjadi gundik tanpa paksaan, banyak juga perempuan pribumi yang menjadi gundik karena keterpaksaan. Apakah dia dijual oleh anggota keluarganya atau dipaksa ketika diperintahkan menjadi gundik saat menjadi pembantu rumah tangga oleh majikannya 3.
Data ketiga yaitu legalitas hukum keturunan gundik. a. Analisis Berdasarkan Data Temuan Keturunan gundik dalam novel Bumi Manusia yang diperankan oleh Annelies dan Robert diakui secara hukum Hindia Belanda karena mendapatkan akta pengakuan yang dibuat oleh ayah biologisnya. Namun, ibu mereka yang melahirkannya tidak diakui sebagai ibunya secara hukum Hindia Belanda karena seorang gundik pribumi. "....Pada suatu hari aku dan tuan datang ke pengadilan untuk mengakui Robert dan kau sebagai anak Tuan Mellema. Pada mulanya aku menduga, dengan engakuan itu anak-anakku akan mendapatkan pengakuan hukum sebagai sah. Ternyata tidak, Ann. Abangmu dan kau tetap dianggap anak tidak sah, hanya diakui anak Tuan Mellema dan punya hak menggunakan namanya...." (dalam novel Bumi Manusia hal. 136) b. Data Temuan Dihubungkan dengan Masyarakat pada Masa Itu Anak-anak yang dilahirkan dari hubungan pergundikan kerap disebut voorkinderen (Bay, 2010: 68). Sebutan ini muncul karena mereka lahir dari hubungan laki-laki Eropa sebelum akhirnya menikah dengan perempuan Eropa. Sejak 1828, para laki-laki Eropa di dalam koloni dperbolehkan mengakui anak-anak mereka yang lahir dari hubungan
29
pergundikan. Pilihan lainnya adalah dengan tidak mengakui tapi tetap mendaftarkan
mereka
didalam
daftar
kelahiran.
Pendaftaran
ini
mewajibkan Sang Ayah Eropa untuk merawat dan mendidik anak-anak tersebut. Pilihan terakhir inimerupakan awal dari fenomena khas kolonial yang membalikkan nama keluarga. Anak-anak didaftarkan dan diberikan nama keluarga sang ayah, namun dengan urutan huruf terbalik. Pieterse menjadi Esreteip, Van Riemsdjik menjadi Kijdsmeir dan Jansen menjadi Nesnaj. Pada awal abad ke-19, (Bay, 2010: 69) Willem Jacob Cranssen yang merupakan seorang anggota Raad van Indie menjalin hubungan dengan seorang gundik Pribumi. Anak-anak yang terlahir dari hubungan tersebut kemudian diberikan nama keluarga dengan urutan huruf yang dibalik, yaitu Nessnare. Petugas kehakiman J.I.T Rhemrev mungkin adalah salahsatu voorkind paling terkenal yang memakai nama keluarga yang dibalik. Rhemrev yang pada 1903 melakukan penelitian mengenai ketidakberesan di Deli adalah salah satu keturunan seorang laki-laki bernama Vermehr. Hal yang terjadi (terutama jika sang Eropa memiliki kedudukan tinggi dan cukup berada) ialah bahwa sang gundik pribumi termasuk sang anak kemudian dialihkan kepada orang Eropa lain yang lantas mengakui sang anak sebagai anaknya. Dalam hal ini biasanya diberikan sejumlah uang sebagai imbalan.Contoh yang terkenal adalah Perwira KNIL Karel van der Heyden yang dijuluki “Koning Eenog”. Ia adalah seorang
30
voorkind dari bangsawan H.J.J.L de steurs, yang hidup dalam pergundikan dengan seorang perempuan Bugis. Setelah kelahirannya, Karel diserahkan dan diadopsi oleh seorang letnan tentara kolonial, Jean van der Heyden, yang kemudian memberikan nama keluarganya sendiri. Contoh Akta Pengakuan yang ditulis pada masa kolonial Hindia Belanda adalah sebagai berikut (Bay, 2010: xv-xvi). Hari ini, tanggal 23 Oktober, tampak di depan saya, Emile Klein, seorangpegawai luarbiasa Kantor Catatn Sipil Sragen yang menggantikan seorang pegawai biasa, Louis Henri Adriaan Baay, bertempat tinggal di Surabaya, yang menerangkan kepada saya bahwa di Surakarta pada 11 September 1919 pada pagi hari (sebelum tengah hari) jam setengah enam dilahirkan seorang anak berkelamin laki-laki (….) dan menerangkan kepada saya bahwa anak tersebut diakui sebagai anaknya. Selanjutnya tampak di depan saya seorang perempuan Pribumi, Moeinah, yang berumur sekitar 25 tahun, tanpa pekerjaan, tinggal di Solo-Djengkilung kini merupakan pusat Desa Pandem yang terletak di Kecamatan Sumberlawang, Kabupaten Sragen), yang menurut ayat 204 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, menerangkan kepada saya bahwa ia telah menyetujui pengakuan itu (…) Dokumen tersebut merupakan satu-satunya bukti tertulis mengenai keberadaan nenek dari Reggie Bay (yang meneliti mengenai nyai dan pergundikan di Hindia Belanda). Tidak lama setelah melahirkan ayahnya, ia pun diperintahkan pergi (“dikirim kembali ke kampung”, demikian sebutannya pada waktu itu) guna memberi tempat bagi perempuan Eropa. Beberapa tahun kemudian, demikian yang dapat diambil dari akta itu, Moeinah kembali dicari agar dapat memberi pengakuan tentang anaknya. Setelah itu, ia dilupakan begitu saja. Ini adalah nasib menyedihkan yang dialami banyak perempuan
31
pribumi pada waktu itu, para Nyai, gundik laki-laki Eropa. Kenyataan bahwa hal tersebut merupakan pengalaman traumatis bagi ibu dan anak terlihat dari sikap ayah yang tidak pernah mau atau bisa membicarakan ibunya. Hal itu juga terbaca dari kenyataan bahwa ia memiliki sebuah salinan akta pengakuan atas dirinya. Hal ini menggambarkan bagaimana trauma akan pergundikan dapat membekas di dalam jiwa manusia. Merupakan sebuah “dimensi” tambahan jika disadari bahwa ayahnya Reggie Bay bukan satu-satunya yang “unik”. Pada 2008 diperkirakan sebanyak 800.000 orang yang hidup di Blenda dan memiliki akar di Hindia Belanda. Di luar Belanda masih ada sebanyak 100.000 orang yang memiliki akar yang sama dimana kebanyakan dari mereka berada di negara asal, Indonesia. Dari jumlah 900.000 tersebut masih ada perkiraan bahwa dua pertiganya memiliki “nenek moyang” asal Asia di dalam keluarga. Dalam novel Bumi Manusia keturunan dari hubungan pergundikan adalah Annelies Mellema dan Robert Mellema. Mereka berdua mendapatkan akta pengakuan dari Herman Mellema sehingga secara hukum diakui oleh pengadilan Eropa sebagai anak Herman Mellema.