BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Kebudayaan dalam suatu bangsa akan berkembang dengan seiringnya perubahan zaman, dari kebudayaan tradisional ke peralihan sampai akhirnya menjadi budaya yang modern. Pergeseran kebudayaan ini disebabkan oleh banyak hal seperti adanya globalisasi yang menyebar luas melalui berbagai media, turisme dan sebagainya. Jika tidak ada rasa cinta tanah air, rasa persatuan, kesatuan dan kesadaran bela Negara yang kuat maka kita akan ikut terbawa kedalam arus globalisasi yang lebih cenderung menghilangkan kebudayaan asli suatu bangsa. Akan tetapi bukan berarti kita menutup diri rapat-rapat dari kebudayaan luar, kita hanya perlu melakukan penyaringan atau pemilihan terhadap budaya luar tersebut sehingga sesuai dengan kepribadian bangsa kita. Pemahaman dasar dalam budaya adalah kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh seseorang dalam waktu yang lama. Kebudayaan bisa dikatakan cara orang untuk menjalani dan mengatur hidupnya. Kebiasaan-kebiasaan yang sudah ada turun-temurun atau sudah melekat dalam diri seseorang. Kebiasaan/kebudayaan ini akan bergeser jika mengalami yang namanya pertemuan dua budaya yang beda, bergaul dalam waktu yang lama bercampur dan merubah sifat serta wujud dari kebudayaan asli. Selain dari pada itu, pergeseran kebudayaan akan mengalami tidak saling terterimannya kedua budaya sehingga terjadi perbenturan kebudayaan. Perbenturan kebudayaan ini adalah saling tidak adanya persatuan atau solusi dalam penyelesaiannya.
4.1
Hasil Penelitian
4.1.1 Wujud Potret Perbenturan Budaya dalam Novel Kusut Karya Ismet Fanany Kebudayaaan dalam suatu bangsa akan berkembang dengan seiringnya perubahan zaman, dari kebudayaan tradisional ke peralihan sampai akhirnya menjadi budaya yang modern. Pergesaran kebudayaan ini disebabkan oleh banyak hal seperti adanya globalisasi yang menyebar luas melalui berbagai media, turisme, dan sebagainya. Budaya merupakan salah satu konsep pemikiran manusia dalam menjalani kehidupan bermasyarakat pada umumnya. Dengan adanya hubungan bermasyarakat, terjalin pula proses sosial dalam masyarakat. Gambaran proses sosial yang nampak pada Novel Kusut karya Ismet Fanany adalah proses sosial dua masyarakat yang berlatar belakang budaya yang berbeda, bertemu dan bersosial satu sama lain, sehingga dalam penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan sosiologi sastra oleh Endraswara (2003: 77) yang memandang sosiologi sastra merupakan ilmu yang mengkaji segala aspek kehidupan sosial manusia yang berhubungan dengan manusia itu sendiri, lingkungan, dan proses pembudayaan yang menjadi hakikat dari sosiologi. Dalam hal ini proses sosial manusia dengan manusia. Perbenturan yang digambarkan dalam novel ini adalah perbenturan dari segi aktivitas yang bertolak belakang dengan pemahaman sebelumnya. Dengan adanya perubahan kebudayaan, perubahan yang terjadi dalam novel ini adalah perubahan kebudaan dari golongan eksternal yaitu pengaruh dari budaya asing berdasarkan unsur hibridisasi,
akulturasi dan penetrasi, sehingga timbul gejolak yang menolak dalam hati nurani dalam hal aktivitas dan pandangan. Penelitian ini berangkat dari konsep proses sosial masyarakat Indonesia yang tinggal di Amerika yang mengalami perubahan kebudayaan dari unsur hibridisasi, akulturasi dan penetrasi, sehingga memicu nampaknya perbedaan budaya yang saling tidak diterimanya antar dua budaya. Berdasarkan seperti yang dijelaskan di atas, bahwa perubahan yang terjadi dalam novel Kusut ini adalah perubahan dari unsur hibridisasi adalah perubahan yang disebabkan oleh perkawinan campurandalam hal ini perkawinan masyarakat Indonesia dan masyarakat Barat (Amerika Serikat). Perubahan kebudayaan yang terjadi dalam novel Kusut karya Ismet Fanany ini berasal dari luar/eksternal yang disebabkan oleh pengaruh budaya Barat yang cenderung lebih agresif memberikan pengaruh terhadap budaya Indonesia, baik dari wujud aktifitas maupun pandangan. Masuknya budaya Barat ke kehidupan masyarakat Indonesia yang ada di Amerika, memberikan penjelasan bahwa budaya Barat mampu memperkuat posisi pengaruhnya terhadap budaya Indonesia, atau dengan kata lain budaya Barat mampu mempengaruhi budaya Indonesia. Dalam arti, budaya mayoritas adalah budaya Barat sedangkan budaya minoritas adalah budaya Indonesia yang terpengearuh dengan budaya Barat. Perbenturan ini nampak pada bagian-bagian tertentu yang mengandung aktivitas dan pandangan yang berlawanan, seperti yang diklasifikasikan dalam tabel di bawah ini.
Tabel 1. Gambaran Perbenturan Budaya dalam Novel Kusut Karya Ismet Fanany Perubahan No Budaya
Indikator Budaya
Kebiasaan Budaya dalam novel Kusut karya Ismet Fanany Barat
1.
Hibridisasi
Perbenturan
Indonesia
a. Berciuman
a. Bebas
a. Terikat
a. Pandangan
b. Bercumbu
b. Bebas
b. Terikat
b. Aktivitas
c. Perlakuan keluarga
c. Tak Acuh
c. Peduli
c. Pandangan
d. Penyambutan tamu
d. Tak Acuh
d. Peduli
d. Pandangan
e. Senang seks
e. Wajar
e. Terikat
e. Aktivitas
f. Perlakuan terhadap istri
f. Tidak peduli
f. Menghargai
f. Aktivitas
g. Seks bebas
g. Mutlak
g. Haram
g. Pandangan
h. Tinggal serumah sebelum menikah
h. Biasa
h. Haram
h. Pandangan
i. Hari Raya/Idul Fitri
i. Tidak istimewa
i. Sangat istimewa
i. Aktivitas
j. Kehamilan Istri
j. Bukan harapan
j. Keberkahan
j. Pandangan
2.
Akulturasi
k. Kehadiran Anak
k. Biasa
k. Luar biasa
k. Pandangan
l. Sopan santun
l. Tidak ada
l. Penuh sopan santun
l. Aktivitas
m. Hubungan perkawinan
m. Tidak bermakna
m.Saling menghormati m. Pandangan
n. Rasa sayang dan cinta
n. Sesaat
n. Selamanya dan kuat
n. Pandangan
o. Masalah dalam perkawinan
o. Tak Acuh
o. Peduli
o. Pandangan
p. Suka sesama jenis (Gay)
p. Biasa
p. Sesuatu yang ganjil
p. Pandangan
q. Kekeluargaan (peran dalam keluarga)
q. Tidak terlalu dihiraukan
q. Sangat berperan
q. Pandangan
r. Kepedulian terhadap keluarga
r. Tidak peduli
r. Sangat peduli
r. Aktivitas
s. Perceraian
s. Bukan masalah (halal)
s. Diharamkan
s. Pandangan
t. Kewajiban
t. Aktivitas
t. Pekerjaan a. Kenyamanan tempat tinggal
t. Keinginan a. Tidak begitu dihiraukan
a. Harus nyaman
a. Aktivitas
b. Perasaan berubah
b. Biasa
b. Tidak biasa
b. Pandangan
c. Bersosialisasi/bergaul
c. Lebih individual
c. Suka bergaul
c. Aktivitas
3.
Penetrasi
d. Dorongan ingin berkerja
d. Berdasarkan keinginan d. Wajib
d. Pandangan
e. Pandangan terhadap Negara
e. Tidak peduli
e. Berlebihan
e. Pandangan
f. Kecocokan dalam hubungan perkawinan
f. Bersyarat
f. Wajib
f. Pandangan
g. Saling memanfaatkan
g. Biasa
g. Sesuatu yang salah
g. Aktivitas
h. Perhatian pasangan
h. Kurang
h. Sangat perhatian
h. Pandangan
i. Sikap menghargai
i. Tidak ada
i. Kewajiban
i. Aktivitas
j. Solusi dalam masalah perkawinan a. Perpisahan
j. Cepat memberi keputusan a. Biasa
j. Penuh pertimbangan
j. Pandangan
a. Sulit diterima
a. Pandangan
b. Perubahan sikap
b. Tergantung perasaan (mood)
b. Tergantung masalah
b. Aktivitas
Berdasarkan tabel di atas dapat dijelaskan bahwa adanya perbenturan dalam wujud aktifitas manusia itu sendiri yang diklasifikasikan dari kutipankutipan yang mengandung perbenturan aktivitas yang dilihat dari perubahan kebudayaan dari unsur hibridisasi, akulturasi dan penetrasi. Perbenturan kebudayaan ini terjadi diawali dengan pertemuan dua budaya yaitu budaya Indonesia dan Barat yang saling bertolak belakang pemahaman dasar budaya. Perbenturan kebudayaan dalam novel kusut karya Ismet Fanany adalah berwujud aktivitas dan pandangan yang bertolak belakang dari pemahaman negara masingmasing. Novel Kusut karya Ismet Fanany menggambarkan bagaimana masyarakat Indonesia mengalami perbenturan kebudayan yang berwujud aktivitas dalam kehidupannya di Amerika. Perbenturan diawali pada aktivitas Desna dan Ben yang berciuman dan bercumbu. Tergambar bagaimana perbedaan pandangan di antara Desna dan Ben. Dalam perasaan Desna pada saat melakukan aktivitas berciuman dan bercumbu ada perasaan yang ganjil akan hal itu, karena terikat dengan adat- istiadat Minangkabau (Indonesia). Sedangkan Ben dalam melakukan hal tersebut terkesan biasa saja, itu disebabkan oleh budaya bebas yang melekat dalam dirinya. Perbenturan ini merupakan proses dari perubahan kebudayaan, perubahan kebudayaan yang dimaksud adalah dari unsur hibridisasi yaitu perubahan yang disebabkan oleh perkawinan masyarakat asing dengan masyarakat setempat dalam hal ini masyarakat Indonesia menikah dengan masyaraat Barat, kemudian mengalami perubahan dari segi aktivitas dan pandangan. Perubahan kebudayaan
dari unsur akulturasi adalah proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing dengan sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri. Dalam hal ini unsur budaya Barat yang secara lambat laun diterima oleh budaya Indonesia, tanpa merubah atau tanpa menghilangkan unsur budaya asli. Sedangkan unsur penetrasi adalah masuknya budaya asing dengan dua cara yaitu dengan cara damai dan cara kekerasan. Dalam novel ini masuknya budaya Barat ke kehidupan masyarakat Indonesia dengan cara damai yaitu melalui perkawinan. Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa perbenturan budaya dalam novel Kusut karya Ismet Fanany berwujud aktivitas tindakan masyarakat Indonesia yang tinggal di Amerika yang berinteraksi dan bersosial dengan masyarakat Amerika dan pandangan yang disebabkan perbedaan pandangan, sehingga kedua budaya tersebut tidak saling menerima. 4.1.2
Aspek yang Mempengaruhi Terjadinya Perbenturan Budaya Indonesia dengan Budaya Barat (Amerika Serikat) dalam Novel Kusut Karya Ismet Fanany Perbenturan budaya yang dirasakan oleh tokoh Desna dan Ben pada novel
Kusut karya Ismet Fanany adalah perbenturan dari segi aktivitas, yang dilihat adalah sikap Ben yang mengalami perubahan. Pada waktu di Koto dulu Ben memperlakukan Desna dengan sangat baik, ia menunjukan bahwa seolah-olah ia peduli, perhatian dan mencintai Desna, kemudian semuanya berubah ketika
mereka memilih untuk menikah dan tinggal di Amerika, hal ini dirasakan oleh Desna pada minggu pertama mereka tinggal di apartemen Ben. Aspek pemicu terjadinya perbenturan kebudayaan dalam novel Kusut karya Ismet Fanany adalah aspek pandangan yang berlebihan dalam menilai yang namanya Barat dan adanya perbedaan pandanga, sehingga perubahan terjadi dari unsur hibridisasi, akulturasi dan penetrasi. Perbenturan kebudayaan ini diawali perkawinan campuran antara orang Indonesia dan arat. Hal ini adalah perkawinan Desna yang benegarakan Indonesia dan Ben bernegeraan Amerika Serikat. Perbenturan ini tentang aktivitas dan pandangannya mengenai aktivitas-aktivitas yang berlawanan dengan pandangan budaya aslinya. Seperti yang diklasifikasikan dalam kutipan-kutipan berikut ini. "Jauh tempatmu dari sini Ben? Desna bertanya sambil berdiri dekat kereta bagasi yang dipegang Ben. cukup jauh, mudah-mudahan ada bis yang kesana malam ini. Ada bis dari Airport ini ke sana? Tidak. Kita harus naik taksi dulu ke stasiun bis. Tidak ada keluargamu yang menunggu? tanya Desna. luar biasa dalam pikiran Desna keluarga tidak menunggu anaknya yang baru pulang dari luar negeri. apalagi sudah setahun lebih meninggalkan mereka. O tidak. jawab Ben biasa-biasa saja, seperti hal itu tidak luar biasa. mereka tinggal jauh dari sini". (IF.2003:45). Bagian 7 (mendarat di New York) Kutipan ini dapat dilihat perbedaan kebiasaan mulai nampak, yakni kebiasan orang Amerika dengan orang Indonesia. Bagi orang Indonesia menyambut kedatangan orang atau bahkan anggota keluarga yang datang dari jauh sudah merupakan hal yang harus dilakukan, berbeda halnya dengan Ben yang merupakan masyarakat Amerika, dalam kepulangannya di Amerika tidak nampak anggota keluarga atau bahkan orang tua menjemputnya di bandara. Hal ini yang membuat Desna menjadi binggung sebenarnya hubungan Ben dengan anggota
keluarganya seperti apa atau memang begini kebiasaan orang Amerika. Pendangan yang berlawanan lain adalah "Yang membuat Desna lebih tegang adalah tingkah laku Shoko dan Jim, apa mereka pacaran Ben? tanya Desna suatu malam dikamar mereka, setelah mereka menikmati hubungan seks seperti biasa. keduanya telanjang dibawah selimut, dan pembicaraan mereka melantur membicarakan kedua teman seapartemen mereka. setahuku tidak, jawab Ben sambil mempermainkan rambut Desna. dulu, paling tidak. tetapi, siapa tau apa yang terjadi sepeninggalku, aku sudah pisah sekitar setahun kan denang mereka? kenapa kamu tanya begitu? apa kamu tidak melihat tingkah mereka? O, maksud kamu kadang-kadang mereka duduk berdekatan disofa Shoko sering menyentuh tangan Jim saat berbicara. bukan hanya itu. walaupun aku tidak mengerti apa yang mereka katakan, coba lihat cara mereka melihat kepada satu sama lainnya”. (IF.2003:68). Bagian 9 (shoko dan Jim) Kutipan di atas, menjelaskan pandangan Desna terhadap perilaku teman seapartemen mereka berdua yaitu Shoko perempuan Jepang dengan mata sipitnya dan Jim, laki-laki Amerika yang berpenampilan agak seram dan suka seenaknya. Desna melihat tingkah laku keduanya yang tidak sopan. Pandangan Desna di antara keduanya memiliki hubungan yang lebih dari seorang teman karena cara pandang dan berpegangan tangan itu membuat Desna berpikir demikian. Pemikiran Desna menuju ke hal seperti itu dikarenakan budaya yang dipahaminya adalah budaya indonesia yang memandang bahwa laki-laki dan perempuan yang berpegangan tangan di tempat umum sambil duduk berdekatan itu berarti memiliki hubungan yang spesial. “Shoko selalu begitu, dengan semua laki-laki. sudah kelakuannya begitu. dengan kamu juga? Desna bergurau. tentu Des jawab Ben sambil tersenyum. tapi aku lebih senang kamu, diciumnya istrinya dengan mesra. dan Jim? apa dia senang sama Shoko? Mungkin. tapi aku tidak tau apa Shoko tidak senang sama dia. aku pernah melihat mereka berciuman disofa. barangkali keduanya perlu seks saja. kata Ben seenaknya". (IF.2003:68)
Kutipan ini menjelaskan bagaimana pandangan orang Amerika tentang seks, bagi orang Amerika melakukan hubungan seks merupakan hal yang biasa dilakukan tidak hanya dilakukan oleh sepasang suami istri melainkan sepasang kekasih juga dan bahkan sesama teman. Hal ini nampak pada apa yang dilakukan oleh kedua teman Ben yaitu Jim dan Shoko yang hanya perlu seks saja, sehingga tidak bisa dipahami oleh Desna. Karena apa yang didapatkan oleh Desna dinegaranya tidak seperti demikian. Untuk melakukan hal tersebut masyarakat Indonesia atau khususnya masyarakat Koto itu harus ada dalam ikatan suami istri. Sama halnya seperti pada kutipan di bawah ini. “Lama Desna Terdiam. Perlu seks saja? Kata hatinya dan Ben melanjutkan sejak mereka pulang, aku pernah melihat Jim keluar dari kamar Shoko. Dari senyumnya dan kerling matanya, aku tau maksudnya. Bagaimana kamu tau?, kalau begitu, bahwa mereka tidak pacaran, bukan itu. Maksudku aku tidak pasti apa mereka pacaran. Bagaimana dengan yang kamu lihat itu? Pasti mereka pacaran. Ya bisa saja. Kenapa kamu ragu? Soalnya aku tahu Jim punya pacar”. (IF.2003:69) Pembicaraan Ben dan Desna berdindingkan pemahaman dasar budaya masing-masing, dikatakan demikian karena Ben yang memiliki budaya bebas berpandangan bahwa hal seks adalah sesuatu yang biasa dilakukan baik itu hubungan teman maupun pacaran. Sedangkan Desna yang berbudaya adat istiadat Minang/Indonesia berpandangan bahwa itu merupakan hal yang perlu ditelusuri karena seks adalah hal yang hanya perlu dilakukan jika mempunyai status perkawinan. Perbedaan pandangan yang terjadi serta pengalaman di Amerika ini membuat Desna mulai mengalami proses perbenturan kebudayaan atau kebiasaan yang merupakan kebalikan dari apa yang selama ini ia pelajari dan pahami waktu di Indonesia. Seperti pada kutipan di bawah ini.
“Di antara orang Amerika itu, ada tiga perempuan yang muda. Cantikcantik dalam penglihatan Desna. Dua orang kelihatannya genit dan tidak pernah berhenti berbicara, terutama dengan anak-anak muda Indonesia, yang belum kawin itu. Yang satu lagi, Desna diberitahu Dyah yang berambut merah dan tebal, berbadan seksi dan berpakaian mode Annette namanya. Dia pacar Rusydi. Beberapa bulan belakangan, bisik Dyah ke telinga Desna. Mereka tinggal sama-sama, betul? Kata Desna. Jangan terlalu heran, mba. Biasa anak muda. Kan gitu mba, kata Dyah”. (IF.2003:84) Kutipan di atas menggambarkan posisi orang Indonesia yang berada di antara masyarakat Amerika. Selain itu dijelaskan pengaruh budayanya. Seperti Rusydi yang berpacaran dengan Annette dan sudah tinggal sama-sama. Hal seperti ini menurut pandangan budaya Indonesia tidak pantas dilakukan karena selain dilarang oleh agama, hukum adat istiadatpun melarangnya. Laki-laki dan perempuan yang belum berstatus perkawinan dilarang tinggal satu atap atau ‘kumpul kebo’. Perbenturan budaya ini bukan hanya terjadi pada diri Desna sendiri, melainkan masyarakat Indonesia yang ada di Amerika. Hal ini dibuktikan pada kutipan di atas yaitu Rusydi yang ikut terpengaruh dengan budaya barat. “Bagaimanapun, pesta hari raya itu terasa istimewa bagi Desna. Hari raya pertama jauh dari keluarga. Hari raya kali ini Desna tidak ada teman atau keluarga yang bisa dikunjungi. Dia tidak mengerjakan sembahyang hari raya sama sekali. Dia dengar ada acara sembahyang diurus oleh organisasi mahasiswa Islam di kampus, tetapi Desna tidak tau dimana. Ben tidak peduli. Orang Indonesia lain termasuk Dyah, tidak ada yang mengajaknya. Siapa tahu, pikir Desna mereka tidak mau pergi sembahyang hari raya. Jadi dia tidak mengajak atau bertanya kalau ada di antara mereka yang pergi. Alangkah berbedanya hari raya pertama di Amerika ini dengan semua hari raya lainnya di desa Koto yang pernah dialaminya, pikirnya”. (IF.2003:99) Kutipan di atas menggambarkan adanya pebedaan kebiasaan yaitu hari raya yang bagi umat islam, agama yang di anut oleh Desna sebagai hari besar, hari memaafkan dan hari berkumpul bersama keluarga, di Amerika hanya menjadi hari yang biasa tanpa ada yang istimewa. Ibadah sholat Ied yang semestinya penting,
pandangan Amerika hanya hal biasa. Bukan hanya saja masyarakat Amerika saja yang berpandangan demikian, masyarkat Indonesia pun ikut terpengaruh dengan budaya seperti itu. Seperti Dyah dan masyarakat lainnya tidak memperdulikan dan tidak ikut meramaikan hari raya tersebut. Hari raya yang berbeda dialami oleh Desna selama ini. Kutipan di atas menggambarkan mulai adanya perubahan kebiasaan Desna. “Desna lama merenungkan bagian surat berisi pesan Datuak Mantiko Nan Sati itu. Dia merasa yakin bahwa keluarga di kampung tidak ragu sedikitpun bahwa dia sedang hidup kemewahan di Amerika. Bayangan tentang Ben di mata mereka adalah seorang mahasiswa yang kaya, yang untuk jangka waktu pendek mengadakan riset di Indonesia, mampu membeli sepeda motor. Bayangkan kehidupan Ben di Amerika sana, begitu Yetti pernah berceloteh suatu sore waktu bermain bulu tangkis. Desna tahu keluarganya juga berpikir begitu, karena termasuk dia sendiri. Tetapi pikir Desna sambil duduk di sofa itu, tidak seorangpun di antara mereka yang tahu bahwa Ben hidup di Amerika seperti mahasiswa miskin lainnya”. (IF.2003:104) Kutipan di atas, menjelaskan bahwa keluarga Desna beranggapan bahwa Desna hidup mewah di Amerika, karena menurut pandangan keluarga Desna dan orang kampung bahwa Ben adalah mahasiswa kaya yang dengan waktu jangka pendek saja riset di Indonesia bisa membeli sepeda motor, bayangkan di Amerika pasti kehidupan Ben lebih dari itu. Bukan hanya keluarga dan orang kampung saja berpikir demikian, Desna pun berpikir seperti itu. Akan tetapi kenyatannya berlainan. Ben adalah mahasiswa miskin yang sama seperti mahasiswa lainnya. Pandangan keluarga dan orang kampung di atas menggambarkan pandangan umum orang Indonesia terhadap keberadaan orang barat yang berlebihan. “Lalu Mas Jhon tinggal di rumah Mbak Suwarti itu. Bagi kita kan gitu Mbak. Pokoknya tamu kita diberi yang paling baik, kan gitu. Bule lagi. Gadis-gadis kita kalau lihat Bule kan pada tertarik semua. Apalagi kayak
Mas Jhon gitu. Bukan sembarangan cowok bule, mahasiswa. Kan gitu Mbak. Berdiri bulu tengkuk Desna mendengar perkataan Dyah itu. Kemiripannya dengan pengalamannya sendiri membuat hatinya gemetar. Cerita Dyah belum selesai, Bapak Mbak Suwarti tidak keberatan kalau mereka sama-sama senang, Ibunya sama sekali lain, Mbak. Dia nggak setuju mereka kawin, katanya ibunya itu sampai hari perkawinan nangis terus, Mbak. Tapi apa boleh buat mba Suwarti sendiri keras hatinya”. (IF.2003:124) Berdasarkan kutipan di atas, menggambarkan pandangan orang indonesia pada umumnya tentang bule atau barat itu, masyarakat Indonesia pada umumnya buta akan kebanggaan memiliki sesuatu yang luar biasa. Seperti halnya dengan memiliki suami yang berasal dari luar negeri. Kasus Suwarti yang terpesona dengan Jhon, mahasiswa Amerika yang mengadakan riset di Indonesia. Suwarti tertarik dengan Jhon, sama halnya dengan Desna yang semula terbutakan oleh kebanggaan dirinya terhadap Ben. Desna merasa bangga karena berpacaran dengan mahasiswa bule waktu di kampung dulu. Hingga tak dapat melihat apa yang akan terjadi ke depannya. Cinta dan kebanggaan memiliki seseorang yang dipuja gadis-gadis desa telah membutakan mata Suwarti dan Desna, sehingga tanpa dipungkiri setelah menjadi istri mereka bukan kebahagian yang di dapat, melainkan perbenturan-perbenturan yang tidak sesuai seperti dulu. Seperti yang dijelaskan pada kutipan di bawah ini. “Seperti kata Dyah tadi itu, kita terlalu cepat tertarik sama yang namanya bule itu. Mungkin Mbak, tapi nggak berarti kita bisa diperlakukan kayak gitu kan, Mbak. Terkesan Desna dengan kebijakan perkataan Dyah itu. Kalau memang nggak sungguh-sungguh, kan orang kayak Mas Jhon itu mestinya jangan memanfaatkan kita, kan gitu Mbak. Betul, Desna setuju, ketertarikan kita sama yang namanya bule itu membuat kita buta. Kita tidak melihat mereka secara keseluruhan. Tidak ada keinginan melihat lebih mendalam. Pokoknya bule. Jadi, kita turut mengundang perlakuan seperti perlakuan Jhon yang Dyah ceritakan itu”. (IF.2003:125)
Melalui kasus Suwarti, Desna paham dengan perbedaan pandangan Jhon terhadap perkawinannya dengan Suwarti. Itu disebabkan pandangan yang berlebihan terhadap namanya bule itu, kebutaan ini membuat masyarakat Indonesia tidak dapat melihat mereka secara keseluruhan. Namun, bukan berarti Suwarti diperlakukan seperti itu. Atau lebih jelasnya lagi bukan berarti masyarakat Indonesia diperlakukan dan dimanfaatkan. “Sosok orang Amerika seperti Ben yang riset di Indonesia berobah di mata Desna. Di samping itu, sosok orang Indonesia dan kehidupan mereka di Amerika bertambah jelas di matanya. Dilihat dari jauh, mendengar cerita orang waktu masih di Indonesia dulu, hidup di Amerika itu seperti penuh kenikmatan dan kemewahan. Desna melihat alangkah terbatasnya pengetahuan orang Indonesia yang ada di Amerika tentang Amerika itu sendiri. Ini antara lain disebabkan menurut penglihatan Desna oleh ruang kehidupan mereka yang terbatas”. (IF.2003:128) Kutipan di atas, menggambarkan perbedaan pemahaman Indonesia terhadap Amerika. Menurut Desna, betapa terbatasnya pengetahuan orang Indonesia tentang Amerika. Hal ini di karenakan kehidupan masyarakat Indonesia yang ada di Amerika terbatas. Di batasi dengan tingkat sosial masyarakat. Masyarakat Amerika cenderung tidak mau ambil pusing dengan keberadaan masyarakat Indonesia, hal ini berbeda dengan keberadaan orang Barat di Indonesia yang dianggap luar biasa jika berada di Indonesia. Lebih cenderung dipandang dan dibanggakan. Sehingga hal inilah yang menyebabkan masalah bagi orang Indonesia di Amerika. “Dari cerita Dyah yang didengarnya, Desna mendapat kesan yang kuat bahwa dia, Suwarti dan barangkali semua yang lain yang berada dalam keadaan yang sama dengan mereka, tidak mengenal masyarakat kota itu sedikitpun. Berbeda dengan Ben waktu di Indonesia. Semua orang mau kenal dia. Orang desa memperlakukannya seperti bintang film. Siapa saja, termasuk yang belum dikenalnya, ingin mengajaknya berpergian atau
singgah ke rumah mereka. Di Amerika, Desna melihat orang setempat mengacuhkannya. Di atas Bis atau di Kota, sekalipun dia kelihatan berbeda, tidak seorangpun yang mau berbicara dengan dia, menanyakan dia berasal dari mana, untuk apa dia datang ke situ atau sebagainya”. (IF.2003:129) Kutipan di atas, memperjelas bagaimana keadaan masyarakat Indonesia di negara Amerika tersebut. Hal yang berbeda dengan tanggapan dan penerimaan masyarakat Indonesia terhadap mereka. Orang Indonesia memperlakukan orang Amerika seperti bintang film, contohnya perlakuan orang kampung di Koto,terhadap keberadaan Ben waktu di kampung dulu. Berlainan dengan penerimaan masyarakat Amerika terhadap keberadaan mereka orang Indonesia. “Des, kapan kita membicarakan punya anak. Tentu saja kita berhubungan seks. Kita suami istri. Punya anak? Itu tidak ada hubungannya dengan seks. Dua hal yang terpisah sama sekali. Ya ampun. Bisik hatinya. Sejauh itukah perbedaan pandangan dia dan suaminya tentang hidup? Ben, aku.... Desna. Ben memotong. Aku tidak pernah mengatakan siap punya anak. Kamu tidak pernah mengatakan ingin punya anak. Aku merasa yakin kau menggunakan alat KB. Tadinya aku yakin kau menggunakannya. Itu tugas kamu”. (IF.2003:136) Kutipan di atas menerangkan perbedaan Desna dan Ben mengenai hubungan suami istri. Menurut Ben dalam hubungan suami istri seks memang dilakukan tapi anak? Itu bukan bagian dari melakukan seks dalam perkawinan. Pandangan inilah yang mengakibatkan perbenturan pandangan Desna dan Ben. Orang Amerika memandang seks itu biasa, bahkan sesama teman bisa melakukanya. Apalagi suami istri. Akan tetapi masalah anak, belum tentu atau tidak ada kaitannya seks dengan anak. Dunia Ben dan Desna kini berlawanan. Dilain sisi Ben tetap pada pendapatnya yang menolak dengan kehamilan Desna. Berbeda dengan Desna yang tetap akan mempertahankan kehamilannya walaupun tanpa persetujuan dari Ben. Dari perbedaan pandangan ini, masalah semakin ruwet.
“Profesor Brian Albright itu aneh, apa itu Bu, aneh tentang dia tadi? Apanya yang aneh Bu? Dia itu Gay, Dik tahu kan maksudnya. Ya, laki-laki yang suka laki-laki kan Bu? Ya ya itu Dik Desna. Dia itu sekarang ini punya pacar cowok dari Indonesia! Desna setuju itu aneh. Dia tahu ada orang Gay di Indonesia, atau di Minangkabau sendiri. Cuma saja, dia tidak pernah memikirkannya, waktu di Koto dulu. Sudah hampir setahun lho, Dik. Mereka itu tinggal sama-sama”. (IF.2003:221) Kutipan di atas, dapat dilihat bagaimana sikap dan kebiasaan orang Amerika yang diwakilkan oleh Profesor Brian Albrigh. Brian adalah dosen pembimbing Ben, yang memiliki sifat yang aneh menurut Sumarni dan Desna. Dua orang Indonesia yang berpandangan mengenai sikap orang Amerika. Gay adalah sikap suka atau menyukai sama jenis yaitu laki-laki yang menyukai laki-laki. Hal ini telah menjadi hal yang biasa di dunia Amerika. Brian yang mempunyai pacar lakilaki orang Indonesia. Hal ini terlukis bahwa budaya barat mampu mempengaruhi budaya Indonesia. Ini dibuktikan bahwa ada laki-laki Indonesia yang menyukai Brian. Sikap ini menjadi sesuatu yang dipandang biasa oleh masyarakat Amerika, termasuk para bimbingannya dan masyarakat lainnya. Lebih jelas di uaraikan pada kutipan berikut ini. “Biasa ya Bu, tanya Desna. Di Amerika ini orang punya pacar sesama jenis seperti itu? Dalam pertanyaan begitu terbayang bagi desna gelagat Brian di pesta Indonesia yang pernah dihadirinya. Brian kelihatan keperempuanan baginya. Caranya berdiri dan duduk. Cara dia berpakaian dan gerakannya dalam berbicara. Makanya, pikir Desna dia begitu senang dikelilingi bujang-bujang Indonesia itu. Pasti, kata Sumiarni. Walaupun Brian terbuka aja kata orang, Dodi nggak mau dikenal sebagai pacar Brian. Malu kan, Dik. Walaupun kita di Indonesia, ya nggak luar biasa, kalau sesama lelaki itu akrab, tapi ya aneh kan kalau secara resmi pacaran sesama jenis kayak gitu.Biasa di Indonesia dua cowok bergandengan tangan atau berpagutan di tempat umum. Dua sahabat bisa begitu. Ya betul, Bu. Jawab Desna. Saya bisa mengerti kalau Dodi menjauhkan dirinya dari orang Indonesia lain”. (IF.2003:222)
Kutipan di atas, memberikan gambaran perbedaan pandangan hubungan yang normal dan yang tidak. Brian yang dibilang gay merasa biasa dan bisa diterima di negaranya, tanpa tanggapan miring dari masyarakat lainnya. Sedangkan pacarnya Dodi yang berkebangsaan Indonesia cenderung tertutup dan tidak suka bergaul dengan orang Indonesia lainnya. Brian yang senang jika bujang-bujang Indonesia mengelilinnginya, memiliki pacar Indonesia yang masih dengan pandangan Indonesianya, bahwa hubungan mereka itu aneh dan tidak normal. Oleh sebab itu Dodi cenderung tertutup dengan semua masyarakat, baik masyarakat Amerika maupun masyarakat Indonesia yang ada di Amerika. Sikap Dodi ini membuktikan adanya pandangan dan aktivitas yang berbeda. Jika di Indonesia, dua cowok bergandengan tangan dan saling rangkul ditempat umum itu biasa, karna begitulah persahabatan dan persaudaraan terjalin. Namun jika hubungan sesama lelaki keseksual, pasti hubungan ini, bukan hanya ditentang masyarakat setempat, akan tetapi akan ditentang oleh Negara. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya perubahan budaya Indonesia yang dipengaruhi oleh budaya Barat. “Bukan main ya, Bu. Itulah maksud saya tadi Dik. Kayaknya dari mahasiswa yang belajar tentang Indonesia, sampai yang bekerja di Indonesia kayak Bill itu, kok kebanyakan Gay! Menarik ya Bu. Dan ganjil. Kalau yang mahasiswa itu, Bu. Kata Desna, kalau ketahuan perangainya kayak gitu, bagaimana waktu mereka pulang ke Amerika Bu? Maksud Dik Desna? Seperti James, misalnya. Atau Bill yang malah sudah jadi dosen. Waktu kembali ke sini, Universitasnya bilang apa? Dan Brian. Tambah Sumiarni. Ya, nggak ada yang peduli, Dik. Tahu pun nggak orang di Universitas di sini. Kalau pun tahu, kata Mas Syahril, pasti nggak dihiraukan”. (IF. 2003: 226)
Berdasarkan kutipan di atas, digambarkan bagaimana penerimaan dan tanggapan masyarakat Amerika terhadap kasus gay tersebut. Didapatkan bahwa hal tersebut dianggap biasa bagi mahasiswa Amerika yang riset di Indonesia dan yang lebih mencengangkan lagi, setelah kembali ke universitas seperti kasusnya Bill yang sebagai dosen, hal tersebut tidak ada yang memperdulikannya. Meskipun ada yang tahu pasti tidak ada yang menghiraukannya. Sedangkan dalam budaya Indonesia hal tersebut sangat ganjil bagi masyarakat, namun lambat laun masyarakat akan bisa menerima itu. Kutipan ini adalah salah satu bukti adanya perubahan budaya dalam novel ini. “Di dalam kegembiraan yang disebabkan oleh perobahan Ben itu, Desna adakalanya merasa kurang senang. Dia merasa Ben berobah bukan karena perobahan pandangannya terhadap perkawinan mereka atau kepeduliannya kepada Desna, tetapi sepenuhnya karena Amin. Rupanya, bagaimana pun dia marahnya waktu dia tahu Desna hamil, dia berobah waktu melihat anaknya, apalagi laki-laki penerus nama Simondson. Coba lihat, kata Desna kepada dirinya bila dia sedang berpikir seperti itu. Alasan dia berada di rumah hari sabtu atau cepat pulang dari kantor atau jalan-jalan ke kampus, hampir semuanya karna Amin. Bukan karena Desna”. (IF. 2003: 243) Kutipan di atas menggambarkan pandangan Desna terhadap perubahan yang dinampakkan Ben. Desna merasa perubahan dari Ben itu hanyalah karena Amin, bukan karena pandangannya terhadap perkawinan mereka dan bukan karena Desna. Kekhawatiran Desna atas perubahan Ben ini dibuktikan dengan masalah waktu Desna hamil dulu, yang di tolak dan tidak disetujui oleh Ben berubah ketika ia melihat anak mereka lahir. Terkesan Ben berubah hanya karena Amin, bukan karena perubahan pandangan Ben terhadap perkawinan mereka. Bukan kerena Ben peduli dengan hubungan mereka yang mulai menjauh. Desna berharap
perubahan Ben ini akan kekal. Perubahan yang dianggap sebagai kuncup bunga yang timbul dimusim semi mampu memperindah dan memperkuat hubungan keluarga mereka. “Begini Mbak, kata Dyah. Dia tidak mau menunggu lebih lama. Mas Jhon akan berangkat lusa. Ke tempat dia jadi dosen itu. Dia bilang anak harus tinggal dengan Mbak Suwarti, sekalipun dia katanya mencintai anaknya. Kata Dyah sambil menoleh kepada Suwarti. Dari cara dia mengatakannya dan dari reaksi Suwarti, Desna melihat mereka tidak percaya, bahwa Jhon peduli dengan anak mereka, apalagi mencintai mereka. Alasan yang diberikan Mas Jhon cuman Irreconcilable differences, Suwarti menerangkan dan dengan tergagap-gagap mengucapkan perkataan itu. Perbedaan yang tidak bisa dipertemukan. Kira-kira begitu. Jadi rupanya dia sendiri melihat nggak ada yang salah. Kata Suwarti sambil melirik kepada Dyah”. (IF. 2003: 258). Bagian 22 (Sudut Bertolak Belakang) Pada bagian kutipan ini, membahas masalah Suwarti yang diceraikan Suaminya. Dibahas lebih lanjut, Jhon akan segera berangkat ke tempat ia dianggkat menjadi dosen. Lebih mencengangkan lagi, Jhon meninggalkan anakanak mereka bersama Suwarti, yang dianggapnya anak-anak mereka lebih mencintai Suwarti dibandingkan dengannya. Namun hal ini dipandang miring oleh Desna, bahwa Jhon berkata demikian karna justru ia tdak peduli dengan anaknya sendiri. Alasan Jhon menceraikan Suwarti hanya karena perbedaan yang tak bisa dipertemukan lagi. Desna memandang alasan ini tidak masuk akal karena Jhon tahu tidak ada yang salah dengan perkawinan mereka, hanya saja Jhon sudah tidak membutuhkan Suwarti lagi maka ia berkata seperti itu di pengadilan dan lebih mengerankan lagi pengadilan Amerika menyetujui pernyataan tersebut tanpa bertanya dari pihak Suwarti.
“Rupanya Mas Jhon pikir ada perbedaan apa itu antara dia dan Mbak Suwarti. Perbedaan pandangan, perbedaan cara berpikir, perbedaan apa, kita nggak tahu. Tampaknya dia ingin mengakhiri perkawinan saja. Dia ingat semua cerita-cerita yang pernah didengarnya dulu itu. Tentang orang Indonesia yang dikawini mahasiswa Amerika yang dikenalnya di Indonesia, yang dibawa suami atau istri mereka ke Amerika, yang menolong suami atau istri mereka itu dengan riset mereka, yang kemudian diceraikan sesudah tidak berguna lagi atau sesudah orang Amerika itu mendapat pekerjaan”. (IF. 2003: 259) Berdasarkan dari kutipan di atas, menggambarkan pandangan Desna terhadap masalah Suwarti yang diceraikan begitu saja ketika sudah tidak diperlukan lagi. Desna tahu bahwa Jhon sengaja mengatakan ada perbedaan antara ia dan Suwarti, namun perbedaan yang Jhon maksud masih dipertanyakan oleh Desna. Dari masalah Suwarti ini, Desna menyimpulkan perkawinan IndonesiaAmerika tidak lain hanyalah keperluan Amerika saja. Setelah habis keperluan, maka tanpa ditanggung-tanggung mereka meninggalkan Istri atau Suami Indonesia mereka begitu saja. ini berbeda dengan yang ada di Indonesia. Hubungan suami istri bukan hanya sekedar keperluan semata, melainkan sebagai pelengkap hidup, sebagai teman hidup, saling memberikan kasih sayang dan cinta kasih. Hal inilah yang menjadikan salah satu aspek yang mempenaruhi terjadinya perbenturan budaya dalam novel ini. “Desna tidak tahu apakah itu berarti bahwa Ben kuatir kalau Desna melihat dunia Amerika yang luas. Bila ini benar, pikir Desna saat duduk di sofa itu. Ini cocok dengan tingkah laku Ben selama ini. Terngiang di telinga Desna bagaimana Ben dulu mengatakan bahwa alasan Jhon meninggalkan Suwarti adalah bahwa Jhon merasa Suwarti tidak pandai menyesuaikan diri dengan masyarakat Amerika”. (IF. 2003: 283) Kutipan di atas, menggambarkan pandangan orang amerika terhadap orang Indonesia. Menurut mereka orang-orang Indonesia tidak pandai dalam hal bergaul khususnya dengan masyarakat mereka. Kutipan ini juga memberikan gambaran
pandangan Desna terhadap reaksi Ben. Menurutnya Ben kuatir jika Desna dapat melihat dunia Amerika dengan luas jika ia masuk dalam dunia kerja di Amerika, dikarenakan semua pandangannya cocok dengan perilaku Ben selama ini yang terkesan membatasinya dengan dunia Amerika. Namun reaksi dari Ben tersebut tidak dapat membuat Desna berkecil hati, meskipun tanpa dukungan yang lebih dari Ben, Ia tetap akan melanjutkan dan menerima pekerjaan itu agar sepenuhnya ia tidak tergantung dengan Ben. “Saya juga merasa begitu. Dulu. Kata Desna menekankan kata ‘dulu’ itu. Namun akhir-akhir ini saya mencoba bertanya secara jujur kepada diri saya sendiri. Apakah saya mencintainya? Atau lebih terpesona dan bangga karena dia orang Barat. Entahlah saya jadi bingung. Apa cinta itu sebenarnya? Merasa perlu dan berharap akan mendapatkan sesuatu? Perasaan suka? Bangga secara membabi buta? Prestise? Keinginan memiliki yang dipuja semua orang?”. (IF. 2003: 299) Kutipan di atas, menggambarkan bagaimana perbenturan yang terjadi dalam diri Desna. Budaya memandang orang barat itu lebih dari orang Indonesia telah dirasakan Desna dan teman-temannya sekarang. Perlakuan dan penerimaan mereka tidak sama hangatnya waktu orang Indonesia menerima mereka waktu ke Indonesia dulu. Masalahnya kini semakin jelas, Desna dan teman-temannya mempertanyakan lagi perasaan mereka terhadap suami dan istri Amerika mereka. Apakah perasaan mereka itu cinta atau hanya rasa bangga telah memiliki seseorang yang dianggap hebat oleh banyak orang di kampung. Pandangan inilah menjadi aspek yang mempengaruhi sehingga terjadinya perbenturan budaya dalam novel ini. Kemudian hal serupa dijelaskan pada kutipan di bawah ini. “Orang Amerika tidak tahu di mana Indonesia itu. Di dalam masyarakat Amerika, di dalam pandangan mereka tentang dunia, Indonesia tidak penting. Indonesia adalah salah satu negara yang jauh, kaya akan alam tapi
miskin akan kehidupan dan tidak memainkan peranan penting di dalam masyarakat internasional”. (IF. 2003: 304). Bagian 25 (Masa-Masa Kritis) Kutipan di atas, menggambarkan pandangan Amerika terhadap Indonesia. Hal ini berlawanan dengan pandangan Indonesia terhadap Amerika. Indonesia mengenal Amerika dengan negara yang maju, penting, mampu bersaing dengan negara-negara lain dan sangat berperan dalam dunia internasioal. Dari pandangan Indonesia tersebutlah, menyebabkan banyak orang Indonesia beranggapan hidup di Amerika penuh dengan kemewahan dan bahagia. Pandangan inilah yang menjadi aspek yang mempengaruhi terjadinya perbenturan kebudayaan. Namun yang digambarkan oleh novel ini berlainan. Melalui tokoh Desna, novel ini memberikan penjelasan bahwa kehidupan di Amerika tidak selamanya penuh dengan kebahagiaan. Pandangan yang berlawanan inilah yang disebut perbenturan pandangan. Sehingga dari pandangan inilah tidak dapat dicegahnya masalah terjadi dalam kehidupan pernikahan Indonesia-Amerika. “Mungkin yang tidak diinginkan Mas Joe itu bukan memasuki dunia kerja, kata Desna sungguh-sungguh. Dyah berpaling ke arahnya. Maksud Mbak? Tanya Dyah. Mungkin dia tidak mau ke Indonesia! Maksud saya, mungkin dia tidak mau bekerja dan tinggal di Indonesia. Dyah terdiam. Desna tidak bisa memastikan makna diamnya itu. Sebenarnya, Mbak, kata Dyah beberapa saat kemudian. Aku kadang-kadang juga berpikir begitu”. (IF. 2003: 192) Kutipan di atas, memberikan gambaran mengenai masalah perkawinan Dyah dengan Joe. Yang menurut Desna, Joe bukan tidak ingin bekerja namun ia tidak ingin tinggal di Indonesia dan bekerja di sana. Rupanya pemikiran mereka sama. Masalah serupa dialami Desna, mengenai Ben dan perilakunya, membuat Desna
berpikir hal yang sama, apakah Ben menyenangin Indonesia? Jelasnya lagi lihat kutipan di bawah ini. “Desna mengakui tanpa segan, apakah Ben menyenangi Indonesia atau desa saya dan orang-orang yang begitu menyenanginya di situ sebanyak kelihatanya dulu waktu dia berada di sana. Desna merasakan ada persamaan mendasar dalam diri suami-istri Amerika orang Indonesia di situ. Dan persamaan itu mengerikannya. Malah. Desna meneruskan. Saya ragu apakah dia menyenanginya samasekali atau dia hanya memerlukannya dalam proses karir akademiknya”. (IF. 2003: 193) Kutipan di atas menggambarkan pandangan Desna terhadap istri-suami Amerika dari masalah yang didapatinya, baik melalui masalah teman-teman Indonesianya maupun masalah bersamanya dengan Ben. Masalah yang persamaannya mendasar, mengenai pandangan yang berbeda dan perilaku yang berbeda. Serta kekhawatiran Desna bahwa orang Amerika memperistri mereka atau menjadikan suami hanya untuk keperluan karir mereka saja. Hal ini seperti yang di jelaskan dalam kutipan berikut ini. “Mereka ketemu di Indonesia waktu dia riset. Ya kayak kita ginilah. Mereka ke Amerika ini setelah riset mahasiswa Amerika itu selesai dan dia harus nulis tesis. Mbak Rahmah itu banyak menolong bahasa jawanya. Wah, pekik Desna dalam hati, apakah semua orang di sini senasib denganku?, Nah, Dyah melanjutkan, tidak tahu apa yang sedang berkecamuk dalam pikiran Desna. Suaminya itu hebat Mbak, habis tamat langsung dapat pekerjaan. Jadi dosen. Di Wisconsin entah di mana itu. Nah, selama di sini mereka punya dua anak. Yang ketiga mau lahir. Waktu dia dapat pekerjaan itu, dia ya di cerai! Ada yang bilang Mbak, suaminya itu katanya merasa bahwa istri orang indonesia nggak cocok untuk dia sebagai dosen”. (IF. 2003: 194) Kutipan di atas, menggambarkan keadaan yang serupa terjadi atau pada umumnya, masalah yang dihadapi masyarakat Indonesia semuanya hampir sama. Bertemu di Indonesia pada saat mahasiswa Amerika melakukan riset,membantu suami atau istri mereka dalam menulis tesis,setelah dapat pekerjaan mereka di cerai dengan alasan yang tak masuk akal. Meskipun sudah memiliki anak, hal
tersebut tidak menjadi masalah bagi orang Amerika untuk meninggalkan mereka. Kesamaan masalah ini menjadi cerminan Desna dan Dyah atas masalah mereka sendiri. “Mas Syahril bilang masalahnya ya sepele. Menurut Mbak Suwarti, sore itu Jhon pulang dan melihat anak mereka yang kecil kotor habis main di salju. Belum mandi, dia sudah main-main di ruang tamu sehingga beberapa karpet di depan televisi jadi kotor. Ya, Suwarti nggak bisa di salahkan. Sibuk kan. Maklumlah sendirian di rumah. Masak, nyuci, membersihkan rumah, kan sibuk. Kalau ada pembantu kayak di Indonesia, ya bolehlah. Kan gitu Dik. Di sini mana ada pembantu”. (IF. 2003: 200) Kutipan di atas, memberikan gambaran bagaimana pandangan masyarakat Amerika terhadap masalah dalam perkawinan. Orang Amerika yang diwakili oleh sikap Jhon yang memandang masalah rumah tangganya sangat serius karena dipicu dengan dengan aktivitas anak mereka, Jhon menanggapinya serius. Tanpa memandang sisi dari Suwarti yang sibuk dengan urusan rumah tangga lainnya. Dari masalah perkawinan Jhon dan Suwarti timbul pandangan Desna mengenai sikap Jhon tersebut, hal ini di nampakkan dalam kutipan di bawah ini. “Itu lumrah, Bu. Kata Desna, tidak mau menyalahkan siapa-siapa. Cuma, tambahnya. Ketidaktahuan secara pasti itu membuat Mbak Suwarti tidak siap, Bu. Dia tidak tahu separah apa masalah perkawinan mereka dalam pandangan Jhon. Sungguh pun begitu, Desna mengalihkan pembicaraan kepada masalah yang dihadapi sekarang. Terlalu aneh rasanya kalau Jhon berangkat semudah itu. Meninggalkan dua anak. Sesudah selesai kuliah dan dapat pekerjaan.Kami nggak habis pikir Dik Desna, kata Sumiarni. Padahal pertama pulang dari Indonesia dulu, mereka pasangan yang bahagia. Paling tidak kelihatan di luar begitu. Jhon mesra sekali dengan istrinya. Termasuk di tempat umum. Anak mereka lahir beruntun. Pokoknya, kami semua kagum, Dik”. (IF. 2003: 202) Kutipan di atas menggambarkan pandangan Desna terhadap masalah perkawinan Suwarti dan Jhon. Dari kutipan di atas, didapatkan bahwa Jhon sengaja mempermasalahkan anak mereka yang belum mandi, masih kotor dan
sudah bermain di dalam rumah, tapi menyembunyikan masalah yang sebenarnya, yaitu Jhon ingin meninggalkan Suwarti dan anak-anaknya karena sudah tidak diperlukan lagi. Telah selesai kuliah Jhon, maka selesai pula perkawinan mereka. Jhon tidak memerlukan Suwarti lagi. Seperti pandangan Desna mengenai mahasiswa Amerika pada umumnya, bahwa suami atau istri Indonesia mereka akan ditinggalkan atau diceraikannya setelah mereka mendapat pekerjaan atau telah selesai kuliah. Ini berlawanan dengan pandangan awal, Jhon dan Suwarti adalah pasangan yang bahagia dan mesra 2 tahun belakangan ini. Namun sikap Jhon berubah setelah risertnya akan segera selesai. “Ya, seperti yang dikatakan Jhon itu, kata Ben. Paling tidak dalam pandangan Jhon, Suwarti tidak pandai menempatkan diri. Kasihan ya kata Desna. Coba bayangkan, kata Ben. Tampaknya merasa lebih santai karena Desna tidak mempertanyakan atau mengkritik tingkah laku Jhon itu, kalau Jhon menjadi Dosen dan istrinya tidak bisa di terima teman-taman sekerjanya. Karir Jhon bisa rusak, kata Ben lebih lanjut. Dia tampaknya mengkhawatirkan hal itu. Suwarti belum diberi kesempatan bergaul dengan teman sekerja Jhon itu”. (IF. 2003: 213) Kembali ke masalah Suwarti, seperti yang di jelaskan sebelumnya, Jhon telah meninggalkan Suwarti karena Jhon telah mendapatkan pekerjaan dan Suwarti dianggap tidak dapat menyesuaikan diri dengan masyarakat Amerika dan teman kerja Jhon, dan lebih menyakitkan lagi Jhon menganggap Suwarti dapat merusak karirnya. Jhon mengatakan seperti itu tanpa memberikan kesempatan kepada Suwarti. Pandangan Jhon ini merupakan pandangan yang berlawanan dan saling bentur sehingga menjadi salah satu bentuk aspek yang mempengaruhi sehingga terjadinya perbenturan budaya yang terjadi.
“Beda ya, Mbak. Kata Dyah, iri nadanya, kalau mereka-mereka itu di Indonesia, semua orang mau mereka. Bisa ngajar Bahasa Inggris, atau apa saja. kita, dilirik pun nggak sama orang sini. Apalagi ditawarin kerjaan. Betul, Dyah, Desna setuju. Dulu saya berharap kita akan diperlakukan orang sini seperti orang kita memperlakukan dan menerima mereka. Ternyata hanya mimpi. Dalam keadaan seperti sekarang, kita betul-betul tidak ada tempat pergi, walaupun untuk sementara.Kenapa mereka-mereka itu menunggu sampai kuliah mereka tamat, tidak memutuskan perkawinan setelah tugas kita mengurus datanya, selesai? Iya, enak, Mbak. Pulang dari kampus, capek dari lab komputer, ada yang masakin. Ada yang nyuci pakaian, Dyah beringas lagi. Ada seks kapan mau, katanya dengan cemoh. Kita tidak lebih dari pembantu, memenuhi semua keinginan dan kebutuhan, mereka. Setelah itu, kita jadi sampah, dibuang begitu saja”. (IF. 2003: 373) Kutipan di atas berisikan gambaran pandangan orang Indonesia yang bersuami atau beristri mahasiswa Amerika. Jika dilihat lagi, memang betul pandangan indonesia secara umum memang begitu. Jika melihat yang namanya barat sangat dipandang, dipuja dan dipakai meskipun untuk dijadikan guru bahasa inggris. Namun berbeda dengan perlakuan orang Amerika terhadap masyarakat Indonesia yang berada di Amerika. Dipandangpun tidak, apalagi menawarkan pekerjaan untuk mereka, itu tidak mungkin. Selanjutnya masalah perkawinan mereka, yang selalu mengalami perbedaan-perbedaan yang tak bisa disatukan. Orang Indonesia yang menikah dengan mahasiswa Amerika mengalami masalah dan perlakuan yang hampir sama. Sama-sama ditinggalkan jika mereka selesai kuliah dan mendapatkan pekerjaan. Dibuang begitu saja tanpa sanak keluarga di Amerika. “Seperti aku katakan, aku tidak ada pembelaan. Perlu aku katakan bahwa aku sendiri tidak bisa menguasai yang terjadi. Sekali lagi ini bukan membela diri. Ini kenyataan yang sesungguhnya aku rasakan. Dua hal saling berperang dalam diriku. Pertama, dorongan berhubungan seks dengan laki-laki yang tidak bisa aku tahan. Kedua, aku tidak mau orang lain tahu, termasuk kau. Jadi aku bohong padamu. Aku tutupi semua. Lalu bagaiman sekarang? Kata Desna. Terserah kau, kata Ben. Desna merasa yakin kecurigaannya tadi benar. Bukan terserah aku, kata Desna. Kau yang
bersalah. Karena itu kau yang harus menghukum kilah Ben. Ini bukan hukum menghukum, kata Desna, dia mau Ben yang harus memaknai semua ini. Kau orang dewasa. Kamu tahu semua itu salah. Kamu memilih jalan itu dengan sadar. Karena itu kamu berbohong, bukan? Jadi kamu harus terus terang apa yang kamu mau sebenarnya, dalam perkawinan kita, dalam hubungan kita”. (IF. 2003: 391) Kutipan di atas, menggambarkan aktivitas Ben dalam menjelaskan masalah terbongkarnya kebohongannya selama ini. Ben tidak membela diri, ia mengaku salah dan ia menjelaskan bahwa ini adalah dirinya yang sesungguhnya. Pada kenyataannya ia senang berhubungan seks dengan laki-laki dan perempuan. Dari pembicaraan mereka, Desna mencoba meminta pendapat Ben tentang hubungan mereka, dalam penyelesaian masalah ini. Seperti biasa, Ben serahkan semuanya kedapa Desna. Hal ini membuat Desna semakin terpuruk dengan masalah itu. Terkesan Ben ingin kata berpisah itu keluar dari mulut Desna sendiri. Namun Desna kembali mempertanyakan bagaimana pandangan Ben terhadap masalah ini. Karena dengan secara sadar Ben berbohong dan melakukan hal tersebut. “Kita harus bicara Des, katanya. Semua ini tidak bisa kita diamkan saja. baiklah, kata Desna datar. Kapan? Bagaimana kalau sore ini jam empat? Baiklah. Dia tidak tahu dengan persis apa yang akan dibicarakan Ben. Tentang perceraian, prosedur perceraian? Desna tidak pasti. Terkaannya, itu kemungkinan yang paling baik.Aku tidak pulang beberapa hari ini, karena aku pikir kita sama-sama perlu waktu untuk berpikir. Betul, kata Desna. Jadi bagaimana hasil pemikiranmu? Aku merasa yakin perkawinan kita sudah tidak punya masa depan, kata Ben. Sudah aku pikir dengan seksama. Aku merasa tidak bisa berjanji kepadamu bahwa aku tidak akan pernah lagi berhubungan dengan laki-laki. Kamu tahu hubungan yang aku maksud”. (IF. 2003: 397). Bagian 31 (Bungkuk Makanan Sarung) Berdasarkan kutipan di atas, dapat kita lihat adanya tanggapan dari Desna bahwa mereka alan mencoba berbicara dan menyelesaikan masalah ini. Persisnya ketujuan mengakhiri hubungan perkawinan mereka dan pada kenyataannya
tanggapan itu benar. Ben memang berpikir seperti yang ia pikirkan, bahwa dari masalah ini, Ben sudah beranggapan bahwa hubungan mereka sudah tidak ada masa depan lagi dan lebih tidak masuk akal lagi Ben mengaku tidak akan berhenti berhubungan dengan laki-laki. Meskipun mereka berdua mempunyai seorang putra, Amin. Itu tidak bisa membuat Ben merubah pikirannya untuk bercerai. “Desna yakin bahwa hakikat perceraiannya dengan Ben persis sama dengan kasus ketiga temannya itu. Keadaan dia lebih buruk dari keadaan Dyah, Suwarti atau Dadang. Ben meninggalkannya karena dia menyenangi laki-laki!”. (IF. 2003: 400) Kutipan ini menjelaskan bahwa perceraian yang dirasakan oleh Desna sama halnya dengan perceraian yang dirasakan oleh ketiga temannya. Ia merasa bahwa perkawinannya dengan Ben merupakan kesalahan besar sebab dalam pernikahan ini terselip rasa saling memanfaatkan. Ben menikahi Desna hanya karena ada satu keinginan untuk menyelesaikan Riset Ben dan ketika Risetnya selesai maka Ben akan meninggalkannya. Itulah yang ada dalam pikiran Desna. Dan lebih parahnya lagi Ben mengakhiri pernikahan mereka hanya karna lebih memilih pacar lelakinya. Berdasarkan klasifikasi kutipan-kutipan di atas, dijelaskan bahwa terjadi perbenturan kebudayaan. Dengan adanya perbenturan kebudayaan tersebut, Jadi dapat kita tarik kesimpulan bahwa budaya barat lebih kuat mempengaruhi budaya Indonesia. Sehingga lambat laun dengan adanya proses sosial antara kedua masyarakat tersebut, masyarakat Indonesia mampu menerima budaya barat. Cerita mengenai perbenturan budaya yang dialami oleh Desna di atas yang dilihat dari segi aktivitas yang mengalami perubahahan dari segi hibridisasi yang tidak hanya
tertuang dalam novel Kusut. Melainkan juga terjadi dan dirasakan oleh sebagian masyarakat Indonesia. Hal ini dapat dilihat bagaimana pengaruh budaya asing masuk ke Negara kita yakni Negara Indonesia, ini diakibatkan oleh kita terlalu senang mengadopsi budaya luar negeri sementara untuk mempertahankan budaya kita saja itu terlalu sulit, karena pandangan kita mengenai budaya kita sendiri adalah budaya kuno. Perbenturan yang terjadi disebabkan oleh aspek pandangan masyarakat Indonesia yang berlebihan terhadap yang namanya Barat. Semua peristiwa perbenturan yang terjadi dalam novel Kusut ini adalah peristiwa perbenturan yang yang disebabkan oleh pandangan masyarakat Indonesia pada umumnya bahwa masyarakat Barat adalah yang memiliki kesempurnaan. 4.2
Pembahasan
4.2.1 Wujud Perbenturan Budaya Indonesia dan Amerika Serikat (Barat) dalam Novel Kusut Karya Ismet Fanany Kebudayaan yang diceritakan dalam novel Kusut karya Ismet Fanany adalah kebudayaan yang ,mencerminkan aspek kebiasaan masyarakat Indonesia yang mengalami perbenturan dengan aktivitas masyarakat Amerika Serikat (Barat). sesuai dengan rumusan masalah pertama yaitu wujud perbenturan budaya dalam novel Kusut karya Ismet Fanany adalah berwujud aktivitas masyarakat Indonesia berbentur dengan aktivitas masyarakat Amerika Serikat, ini sesuai dengan wujud kebudayaan kedua menurut Koejaraningrat bahwa kebudayaan sebagai salah satu kompleksitas aktivitas manusia dalam bermasyarakat.
Aktivitas yang mengalami perbenturan dalam novel ini adalah aktivitas yang memiliki ketentuan bertolak belakang dengan hati nurani antar kedua masyarkat tersebut, misalnya aktivitas berciuman yang menurut adat istiadat masyarakat Indonesia adalah sesuatu yang terikat, sedangkan menurut masyarakat Amerika berciuman adalah suatu hal aktivitas yang bebas, di mana saja dan kapan saja. ini membuktikan bahwa adanya perbenturan kebudayaan dalam bentuk aktivitas. 4.2.2
Aspek yang Mempengaruhi Sehingga Terjadinya Perbenturan Kebudayaan Indonesia dan Amerika Serikat (Barat) dalam Novel Kusut Karya Ismet Fanany. Aspek pemicu sehingga terjadinya perbenturan budaya dalam novel adalah
cara pikir masyarakat Indonesia. Umumnya pola pikir masyarakat Indonesia masih sangat dangkal dalam memahami budaya-budaya asing yang masuk ke negara kita negara Indonesia, contohnya saja dalam menilai yang namanya bule atau orang-orang yang berasal dari luar negeri, anggapan yang keluar mengenai hal tersebut adalah orang-orang yang berasal dari negara luar merupakan orangorang yang memiliki kesempurnaan baik dari segi bentuk fisik maupun dari segi kemapanan
hidup.
kebanyakan
sebagian
masyarakat
Indonesia
menilai
kesempurnaan orang Barat itu hanya dari sisi yang nampak dari luar saja, tanpa melihat sisi dalam atau tanpa mengenal lebih jauh lagi sosok orang Barat tersebut. Contohnya seperti yang terjadi dalam novel ini, pandangan Desna dan temantemannya yang juga memiliki nasib yang sama, pandangan mereka awalnya sama yaitu memandang yang namanya mahasiswa Barat/bule itu berlebihan. Memiliki kesempurnaan tanpa ada cela kesalahan dan keburukan. Namun apa yang terjadi
mereka diperlakukan tidak adil, dibuang begitu saja tanpa dihiraukan. Itu disebabkan karena pandangan mereka yang berlebihan terhadap yang namanya Barat tanpa melihat sisi dalam kehidupan mereka. Gambaran pandangan tersebut dapat dilihat pada kutipan novel di bawah ini. “Seperti kata Dyah tadi itu, kita terlalu cepat tertarik sama yang namanya bule itu. Mungkin Mbak, tapi nggak berarti kita bisa diperlakukan kayak gitu kan, Mbak. Terkesan Desna dengan kebijakan perkataan Dyah itu. Kalau memang nggak sungguh-sungguh, kan orang kayak Mas Jhon itu mestinya jangan memanfaatkan kita, kan gitu Mbak. Betul, Desna setuju, ketertarikan kita sama yang namanya bule itu membuat kita buta. Kita tidak melihat mereka secara keseluruhan. Tidak ada keinginan melihat lebih mendalam. Pokoknya bule. Jadi, kita turut mengundang perlakuan seperti perlakuan Jhon yang Dyah ceritakan itu.” Keadaan yang digambarkan pada kutipan di atas adalah bagaimana pandangan orang Indonesia terhadap yang namanya bule atau orang-orang yang berasal dari luar negeri. Karena merupakan suatu kebanggaan apabila kita bisa mengenali atau bergaul dengan mereka-mereka yang dari berasal dari luar negeri tersebut seperti yang di tuangkan pada kutipan novel di atas bahwa tanggapan Desna dan teman-temannya mengenai yang namanya bule adalah orang-orang yang luar biasa atau bisa dikatakan sempurna, hal ini mungkin oleh Desna dan teman-temannya memandang orang bule hanya dari segi luarnya saja yakni dari segi fisiknya yang sempurna, apalagi yang sekarang telah menjadi suami atau istri mereka adalah mahasiswa yang melakukan riset atau penelitian di tempat kelahiran mereka, sehingganya mereka berpikir bahwa orang yang telah dinikahi atau menikahi mereka adalah orang-orang yang sukses di negaranya, walaupun pada kenyataannya hal tersebut berbanding terbalik dengan kenyataan yang sebenarnya.
Berdasarkan penjelasan mengenai wujud dan aspek yang mempengaruhi sehingga terjadinya perbenturan budaya, dapat ditarik kesimpulan bahwa masuknya budaya Barat di tengah-tengah kehidupan masyarakat Indonesia, budaya Barat mampu memperkuat posisi pengaruhnya pada budaya Indonesia. Dengan kata lain masyarakat Indonesia terpengaruh dengan budaya Barat, ini diakibatkan oleh pandangan yang berlebihan, karena dengan adanya proses yang panjang lambat laun budaya Barat diterima oleh masyarakat Indonesia melalui dengan cara damai yaitu perkawinan masyarakat asing (Amerika Serikat) dengan masyarakat Indonesia dan membentuk budaya/kebiasaan baru dalam kehidupan perkawinan.