BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1. Profil Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Pelaksanaan Sistem Pemasyarakatan merupakan bagian dari pembangunan di bidang hukum secara khusus dan pembangunan nasional secara umum. Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, yang dimaksud Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pemidanaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana. Sementara itu, dalam kebijakan yang sama dijelaskan bahwa sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan WBP berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas WBP agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.
47 http://digilib.mercubuana.ac.id/
4.1.1. Tugas dan Fungsi Pelaksanaan tugas dan fungsi Direktorat Jenderal Pemasyarakatan diatur dalam Pasal 382 Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI No. M.HH-05.OT.01.01 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Hukum dan HAM RI yakni menyelenggarakan kegiatan sebagai berikut: 1. Perumusan kebijakan di bidang pemasyarakatan; 2. Pelaksanaan kebijakan di bidang pemasyarakatan; 3. Penyusunan
norma,
standar,
prosedur,
dan
kriteria
di
bidang
pemasyarakatan; 4. Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang pemasyarakatan; dan 5. Pelaksanaan administrasi direktorat jenderal pemasyarakatan.
4.1.2. Tujuan dan Sasaran 1. Tujuan Dari tugas dan fungsi di atas, tujuan direktorat jenderal pemasyarakatan adalah untuk: 1.
membentuk WBP agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak megulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab;
2.
memberikan jaminan perlindungan hak asasi tahanan yang ditahan di Rumah Tahanan Negara dan Cabang Rumah Tahanan Negara 48 http://digilib.mercubuana.ac.id/
dalam rangka memperlancar proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan; dan 3.
memberikan jaminan perlindungan hak asasi tahanan/ para pihak yang berperkara serta keselamatan dan keamanan benda-benda yang disita untuk keperluan barang bukti di tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan serta bendabenda yang dinyatakan dirampas untuk Negara berdasarkan putusan pengadilan.
2.
Sasaran Sasaran yang ingin dicapai Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dilihat dari
aspek pembinaan dan pembimbingan serta pelaksanaan sistem pemasyarakatan sebagai berikut: 1. Sasaran pembinaan dan pembimbingan WBP adalah meningkatkan kualitas WBP pada aspek: 1. Kualitas ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa; 2. Kualitas intelektual; 3. Kualitas sikap dan perilaku; 4. Kualitas profesionalisme/ keterampilan; dan 5. Kualitas kesehatan jasmani dan rohani.
49 http://digilib.mercubuana.ac.id/
2. Sasaran Pelaksanaan sistem pemasyarakatan pada dasarnya ditujukan agar terwujudnya peningkatan ketahanan sosial dan nasional sebagaimana juga bagian dari tujuan pemasyarakatan. Sasaran tersebut adalah: a. Isi lembaga pemasyarakatan lebih rendah dari kapasitas; b. Menurunnya secara bertahap dari tahun ke tahun angka pelarian dan gangguan keamanan dan ketertiban; c. Meningkatnya secara bertahap jumlah narapidana yang bebas sebelum waktunya melalui proses asimilasi dan integrasi; d. Semakin menurunnya dari tahun ke tahun angka residivisme; e. Semakin banyaknya jenis-jenis institute sesuai dengan kebutuhan berbagai jenis/ golongan narapidana; f. Secara bertahap perbandingan banyaknya narapidana yang bekerja di bidang industri dan pemeliharaan adalah 70:30; g. Prosentase kematian dan sakit WBP sama dengan di masyarakat; h. Biaya perawatan sama dengan kebutuhan minimal manusia Indonesia pada umumnya; i.
Lembaga Pemasyarakatan dalam kondisi bersih dan terpelihara; dan
j. Semakin terwujudnya lingkungan pembinaan yang menggambarkan proyeksi nilai-nilai masyarakat kedalam lembaga pemasyarakatan dan semakin berkurangnya nilai-nilai subkultur penjara dalam lembaga pemasyarakatan.
50 http://digilib.mercubuana.ac.id/
4.1.3. Struktur Organisasi Menurut pasal 384 Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI No. M.HH05.OT.01.01 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Hukum dan HAM RI, struktur organisasi Direktorat Jenderal Pemasyarakatan terdiri atas: 1. Sekretariat Direktorat Jenderal; 2. Direktorat Bina Keamanan dan Ketertiban; 3. Direktorat Bina Kesehatan dan Perawatan Narapidana dan Tahanan; 4. Direktorat Bina Pengelolaan Benda Sitaan dan Barang Rampasan Negara; 5. Direktorat Informasi dan Komunikasi; 6. Direktorat Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak; dan 7. Direktorat Bina Narapidana dan Pelayanan Tahanan
Gambar 4.1. Struktur Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Sumber: Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI No. M.HH-05.OT.01.01 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Hukum dan HAM RI)
51 http://digilib.mercubuana.ac.id/
4.1.4. Direktorat Informasi dan Komunikasi Direktorat Informasi dan Komunikasi mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang informasi dan komunikasi sesuai dengan kebijakan teknis yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pemasyarakatan. Fungsi yang dijalankan oleh Direktorat Informasi dan Komunikasi adalah: (1) penyiapan perumusan rancangan kebijakan di bidang informasi dan komunikasi; (2) pelaksanaan pembinaan, bimbingan dan pelayanan di bidang informasi dan komunikasi; (3) penyiapan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang informasi dan komunikasi; (4) penyiapan kebijakan, pembinaan dan pelaksanaan teknis di bidang data dan informasi; (5) penyiapan kebijakan, pembinaan dan pelaksanaan teknis di bidang komunikasi; (6) penyiapan kebijakan, pembinaan dan pelaksanaan teknis di bidang kerja sama; dan (7) pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga Direktorat Informasi dan Komunikasi. Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, Direktorat Informsi dan Komunikasi dibantu oleh pejabat dibawahnya, yaitu: 1. Subdirektorat Data dan Informasi; a. Seksi Pengelolaan Data dan Informasi b. Seksi Pengembangan Sistem Database c. Seksi Pengamanan dan Pemeliharaan 2. Subdirektorat Komunikasi; a. Seksi Analisa dan Strategi Komunikasi; b. Seksi Peliputan dan Penyajian Berita; dan
52 http://digilib.mercubuana.ac.id/
c. Seksi Evaluasi dan Pelaporan Informasi dan Komunikasi 3. Subdirektorat Kerja Sama; a. Seksi Kerjasama Dalam Negeri; b. Seksi Kerjasama Luar Negeri 4. Subbagian Tata Usaha. DIREKTUR INFORMASI DAN KOMUNIKASI
Sub Bagian Tata Usaha
SUB DIREKTORAT DATA DAN INFORMASI
SUB DIREKTORAT KOMUNIKASI
SUB DIREKTORAT KERJASAMA
Seksi Pengelolaan Data Dan Informasi
Seksi Analisa Dan Strategi Komunikasi
Seksi Kerjasama Dalam Negeri
Seksi Pengembangan Sistem Database
Seksi Peliputan Dan Penyajian Berita
Seksi Kerjasama Luar Negeri
Seksi Pengamanan Dan Pemeliharaan
Seksi Evaluasi Dan Pelaporan Informasi Dan Komunikasi
Gambar 4.2. Struktur Direktorat Informasi dan Komunikasi (sumber Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI No. M.HH-05.OT.01.01 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Hukum dan HAM RI)
53 http://digilib.mercubuana.ac.id/
4.1.5. Profil Hunian dan SDM Petugas Pemasyarakatan 1. Profil Hunian Berdasarkan data yang dikumpulkan dari Sistem Database Pemasyarakatan (SDP) bulan Januari 2015, jumlah tahanan yang ada di seluruh Indonesia sebanyak 53.296 orang dan narapidana sebanyak 112.045 orang. Total keduanya adalah sebanyak 165.341 orang dengan kapasitas yang tersedia di 476 UPT Lapas/ Rutan/ Cabang Rutan di Indonesia sebanyak 111.243 orang (smslap.Direktorat Jenderalpas.go.id). Dari data tersebut, artinya terdapat kelebihan kapasitas rata-rata sebesar 149% dari kapasitas yang seharusnya. Kelebihan kapasitas ini merupakan suatu kondisi yang sangat memungkinkan terjadinya banyak penyimpangan, baik yang dilakukan oleh petugas maupun WBP. Hal tersebut memungkinkan peluang terjadinya pungli, peredaran telepon genggam, peredaran narkoba maupun jenis pelanggaran lainnya. 2. Profil SDM Petugas Pemasyarakatan Jumlah total petugas pemasyarakatan di seluruh Indonesia berdasarkan SDP pada bulan Januari 2015 adalah sebanyak 13.975 dengan rincian sebagai berikut: NO. 1
PEGAWAI Pejabat Struktural Eselon 2, 3, 4, 5
JUMLAH 2.196 Orang
2
Tenaga Pengamanan
6.736 Orang
3
Tenaga Pembina
2.603 Orang
4
Tenaga Dukungan Teknis
2.080 Orang
5
Tenaga Kesehatan
1.360 Orang
54 http://digilib.mercubuana.ac.id/
13.975 Orang
JUMLAH
Tabel 4.1. Data Kepegawaian Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (sumber: smslap.ditjenpas.go.id)
4.2. Program Aksi Pemasyarakatan Getting to Zero Halinar Sebagai instansi penegak hukum di Indonesia, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan merupakan salah satu yang paling mendapat sorotan dari publik. Sayangnya sorotan yang seringkali ditujukan kepada Direktorat Jenderal Pemasyarakatan cenderung kurang positif, khususnya pemberitaan tentang UPT Lapas. Pemberitaan tentang Lapas di Indonesia umumnya tentang kondisi yang buruk, kelebihan kapasitas dan pungutan liar. Kondisi pemberitaan tersebut seringkali tidak ditanggapi secara proporsional, baik oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan maupun Kementerian Hukum dan HAM RI. Semenjak diangkatnya Denny Indrayana sebagai Wakil Menteri Hukum dan HAM RI, hal ini menjadi hal yang perlu mendapat perhatian serius. Puncaknya adalah pada akhir tahun 2011 yang lalu saat terjadi polemik Meirika Franola alias Ola, narapidana yang baru mendapat grasi dari Presiden R.I. tapi ternyata masih menjalankan bisnis narkoba. Kasus tersebut sontak saja membuat banyak pihak gerah dengan kondisi hukum di Indonesia. Langkah yang diambil oleh Wamenkumham saat itu adalah menggalakkan program Anti Halinar dengan target Zero Halinar. Program itu bertujuan untuk meningkatkan pengawasan dengan melakukan pembenahan pada standar prosedur operasional terhadap para tahanan dan narapidana korupsi di Lapas. Program ini awalnya dilakukan di beberapa Lapas sebagai pilot project dan kemudian dijadikan program nasional dengan
55 http://digilib.mercubuana.ac.id/
dikeluarkannya Surat Edaran Direktur Jenderal Pemasyarakatan Nomor: PAS54.PK.01.04.01 Tahun 2013 Tentang Pedoman Lapas, Rutan Dan Cabang Rutan Bebas Dari Handphone, Pungli Dan Narkoba (Halinar). Kebijakan yang dikeluarkan ini kemudian disebutkan sebagai Program Aksi Pemasyarakatan: Getting to Zero Halinar. Tujuan yang ingin dicapai dari program ini adalah: 1. Melaksanakan Instruksi Presiden Nomor 17 Tahun 2012 tentang Aksi Penanggulangan Korupsi dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2013 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi; 2. Melakukan Program Aksi Pemasyarakatan yaitu Getting to Zero Handphone, Pungli dan Narkoba (Halinar) pada Lapas, Rutan dan Cabang Rutan, yang merupakan hasil dari Rapat Kerja Teknis Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dan Rapat Kerja Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI; 3. Mewujudkan Lapas, Rutan dan cabang Rutan yang bersih dari penyalahgunaan Handphone, pungutan liar dan Narkoba, sehingga tercapaiu tujuan dan cita-cita pelaksanaan Sistem Pemasyarakatan secara baik dan benar; dan 4. Mewujudkan harmonisasi dalam gerak dan langkah Lapas, Rutan dan cabang Rutan dalam melaksanakan Program Aksi Pemasyarakatan Getting to Zero Halinar (Proksi Pas: Getting to Zero Halinar). Secara teknis, sosialisasi program ini dilaksanakan oleh Direktorat Informasi
dan
Komunikasi,
sementara
pelaksanaan
program
di
UPT
Pemasyarakatan ditangani oleh Direktorat Bina Keamanan dan Ketertiban. Ruang
56 http://digilib.mercubuana.ac.id/
lingkup dari Proksi Pas: Getting to Zero Halinar ini adalah Lapas, Rutan dan cabang Rutan yang bebas dari penyalahgunaan Handphone, pungutan liar dan Narkoba. Hal ini juga sekaligus sebagai pedoman pelaksanaan bagi Lapas, Rutan dan Cabang Rutan untuk melaksanakan program aksi tersebut. Program Aksi Pemasyarakatan Getting to Zero Halinar ini sendiri berisi tentang perintah untuk: 1. Melakukan
pembentukan
dan
penguatan
Petugas
Satuan
Tugas
Penanggulangan Gangguan Keamanan dan Ketertiban (Satgas Kamtib), Satuan Tugas Penanggulangan, Pencegahan, Penyimpangan dan Peredaran Gelap Narkoba (Satgas P4GN), Petugas Pengawasan Internal (Petugas Was. Intern.) dan Satuan Tugas Pengamanan Pintu Utama (Satgas P2U) dengan baik dan benar pada Lapas/Rutan/Cabang Rutan sesuai peraturan dan ketentuan yang berlaku; 2. Mencanangkan Lapas, Rutan dan Cabang Rutan yang babas dari Halinar dalam
rangka
melaksanakan
Program
Aksi
Direktorat
Jenderal
Pemasyarakatan yaitu Getting to Zero Halinar, dengan membuat Slogan, Tulisan pada Spanduk/Bener yang ditempelkan di Blok Hunian dan Tempat terbuka pada Lapas, Rutan dan Cabang Rutan dan mensosialisasikan kepada semua unsur Lapas, Rutan dan Cabang Rutan bahwa disemua kegiatan dan peri kehidupan di Lapas, Rutan dan cabang Rutan Bebas dari Halinar; 3. Melaksanakan pendecekan secara ketat terhadap orang-orang yang akan masuk kedalam UPT serta rutin melakukan inspeksi mendadak serta melaporkan apabila ditemukan HP atau narkoba atau uang sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
57 http://digilib.mercubuana.ac.id/
4. Menyediakan
Warung
Telekomunikasi
Khusus
Pemasyarakatan
(Wartelsuspas) sebagai sarana komunikasi warga binaan pemasyarakatan dengan keluarga dan pihak luar, sehingga adapat terpantau pemakaiannnya dan dapat terkendali pelaksanaan, dan memenuhi hak warga binaan pemasyarakatan tanpa melanggar peraturan yang berlaku; dan 5. Melaporkan
hasil
pelaksanaan
Program
Aksi
Getting
to
Zero
halinar dimaksud kepada Direktur Jenderal Pemasyarakatan cq. Direktur Bina Keamanan dan Ketertiban. 4.3. Hasil Penelitian 4.3.1. Pelaksanaan Program Aksi Pemasyarakatan Getting to Zero Halinar Sejak awal dilantiknya Denny Indrayana menjadi Wamenkumham pada pemerintahan SBY periode ke-2 banyak yang menunggu sepak terjang aktivis anti korupsi tersebut. Dalam hal itu, Wamenkumham melakukan analisis kebutuhan dan permasalahan terhadap seluruh Satuan Kerja Eselon I di lingkungan Kementerian Hukum dan HAM RI. Pada saat itu, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan diamanatkan untuk melaksanakan penguatan pada pengawasan internal, khususnya terkait perilaku pungli di lapangan dalam pegurusan ijin Pembebasan Bersyarat (PB). Menurut Narasumber NS_DP3, hal ini diungkapkan dalam Rapat Kerja Teknis Tahun 2012, “Direktorat Jenderal Pas mendapat sorotan tajam terkait praktek pungutan liar di lapangan. Dirjen Pemasyarakatan diminta untuk melakukan penguatan pengawasan internal agar perilaku menyimpang tersebut dapat diminimalisir. Hal ini salah satunya didasarkan pada pengalaman beliau (Wamenkumham) pada saat melakukan sidak sebagai Tim Pemberantasan Mafia Hukum di Rutan Klas II A Jakarta Timur (Rutan Pondok Bambu)” (wawancara NS_DP3). 58 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Berkut ini adalah amanat dari Proksi Pas Getting to Zero Halinar yang harus dijalankan oleh seluruh Lapas/ Rutan/ Cab. Rutan di Indonesia: 1. Memerintahkan Kepala Lapas/Rutan/Cabang Rutan untuk melakukan pembentukan dan penguatan Petugas: a.
Satuan Tugas Penanggulangan Gangguan Keamanan dan Ketertiban (Satgas Kamtib);
b. Satuan Tugas Penanggulangan, Pencegahan, Penyimpangan dan Peredaran Gelap Narkoba (Satgas P4GN); c. Petugas Pengawasan Internal (Petugas Was. Intern.); dan d. Satuan Tugas Pengamanan Pintu Utama (Satgas P2U) dengan baik dan benar pada Lapas/Rutan/Cabang Rutan sesuai peraturan dan ketentuan yang berlaku; 2. Mencanangkan Lapas, Rutan dan Cabang Rutan yang babas dari Halinar dalam
rangka
melaksanakan
Program
Aksi
Direktorat
Jenderal
Pemasyarakatan yaitu Getting to Zero Halinar, dengan membuat Slogan, Tulisan pada Spanduk/Baner yang ditempelkan di Blok Hunian dan Tempat terbuka pada Lapas, Rutan dan Cabang Rutan dan mensosialisasikan kepada semua unsur Lapas, Rutan dan Cabang Rutan bahwa disemua kegiatan dan peri kehidupan di Lapas, Rutan dan cabang Rutan Bebas dari Halinar; 3. Melaksanakan pedoman pelaksanaan bebas dari handphone, pungutan liar dan narkoba yang dijelaskan dalam surat edaran Dirjen Pemasyarakatan secara rinci.
59 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Narasumber NS_KPR menjelaskan bahwa ada beberapa hal yang harus menjadi catatan dalam pelaksanaan program ini. ”Setidaknya ada tiga hal penting yang saya perhatikan dalam pelaksanaan program ini. Pertama, pembentukan petugas satgas sebagaimana perintah dalam Surat Edaran Dirjen Pemasyarakatan tersebut bukan hal yang relatif mudah untuk dilaksanakan mengingat jumlah SDM serta anggaran untuk pembentukan dan pelaksanaan tugas bagi satgas tersebut cenderung minim. Kedua, pembentukan satgas dirasa kurang efektif karena minimnya pedoman dalam rangka rekrutmen anggota satga serta pedoman dalam rangka pelaksanaan tugas satgas itu sendiri. Ketiga, kondisi sarana dan prasarana untuk melaksanakan program ini secara efektif sesuai dengan tujuan dapat dikatakan minim” (wawancara NS_KPR). Selain itu, anggaran yang dialokasikan untuk perawatan tahanan dan pembinaan narapidana di Rutan Pondok Bambu juga relatif kurang memadai. “Biaya Alokasi Makan (Bama) per orang per hari pada kurun waktu 20122013 hanya sebesar Rp 17.000 dan alokasi kesehatan per orang per hari hanya sebesar Rp 2.000 yang berdasarkan pada Standar Biaya Masukan (SBM) yang diatur oleh Kementerian Keuangan RI. Dengan alokasi sebesar itu sangat kecil kemungkinan kami melaksanakan pelayanan Pemasyarakatan secara optimal. Selain itu, peluang untuk terjadinya penyimpangan juga menjadi sangat besar khususnya bagi tahanan/ narapidana yang memiliki kelebihan finansial” (wawancara NS_KPR). Masalah ini dihadapi hampir di seluruh UPT Pemasyarakatan Lapas/ Rutan/ Cabang Rutan di Indonesia. Meskipun demikian Rutan Pondok Bambu ikut proaktif menjalankan program ini. sesuai dengan pedoman yang disampaikan, salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan banyak melakukan inspeksi mendadak (sidak) kedalam blok dan kamar masing-masing WBP. Dampak dari pelaksanaan sidak yang rutin dilakukan oleh petugas banyak membuahkan hasil. Selama 3 bulan terakhir pelaksanaan sidak telah didapatkan ratusan handphone di kamar WBP.
60 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Gambar 4.3. Barang bukti hasil sidak di dalam kamar WBP Rutan Klas IIA Jakarta Timur (sumber: dokumentasi pribadi NS_KPR)
Selain sidak terhadap WBP, pelaksanaan program juga difokuskan pada praktek punguutan liar. Untuk praktek pungli, program difokuskan kepada petugas karena petugas adalah pihak yang paling rentan untuk melakukan hal tersebut, baik dilakukan secara aktif maupun pasif. Sosialisasi tentang program ini selalu dilakukan oleh pihak Rutan Pondok Bambu lewat apel oleh pejabat yang menjadi komandan apel. “Pungli ditegakkan kepada petugas lewat sosialisasi pada saat apel. Kalo ada petugas yang melanggar ada sanksi teguran. Teguran dilakukan oleh Karutan ke petugas yang ketahuan. Bahkan ada yang sampai dibuatkan pernyataan untuk tidak mengulangi perbuatan pungli itu” (wawancara NS_KPR). Apabila ada petugas yang terbukti melakukan pungli saat ini dilakukan tindakan teguran lisan hingga dipindah dari Rutan Pondok Bambu. Ketegasan Kepala Rutan yang tanpa pandang bulu disikapi dengan serius oleh petugas
61 http://digilib.mercubuana.ac.id/
sehingga sampai saat ini untuk urusan pungutan liar Rutan Pondok Bambu sudah sangat sulit ditemukan. Pelaksanaan Proksi Pas Getting to Zero Halinar di Ruta Klas II A Jakarta Timur secara tertib didasarkan pada kepatuhan pada instruksi pimpinan. Hal ini ditegaskan oleh Kepala Rutan Klas II A Jakarta Timur, “..bahkan tanpa adanya Proksi Pas Getting to Zero Halinar sekalipun saya akan tetap menegakkan disiplin serta keadilan disini. Hal ini dilandaskan pada kepatuhan saya sebagai PNS terhadap instruksi pimpinan sebagaimana disampaikan sejak awal saya diangkat (sebagai kepala) serta jiwa korsa Pemasyarakatan yang saya dapatkan dulu sejak di Akademi Ilmu Pemasyarakatan (AKIP). Kepatuhan (sebagai PNS) ini sebenarnya juga dimiliki oleh semua Kepala Rutan maupun Lapas di seluruh Indonesia, namun tanpa diiringi komitmen pribadi untuk menegakkan aturan terkadang kepatuhan tersebut menjadi luntur” (wawancara NS_KPR). Pernyataan NS_KPR di atas selaras dengan apa yang disampaikan Tompkins dan Cheney, dalam Littlejohn (2009;379) di mana kendali ditonjolkan ketika pekerja, yang menerima pemikiran umum tertentu, memikirkan kesimpulan yang diharapkan oleh manajemen. Dasar pemikiran diterima karena adanya insentif seperti gaji dan otoritas orang.orang yang memiliki kekuasaan, yang mana hal ini sangat berhubungan dengan gagasan Weber tentang birokrasi. Dalam hal ini, pelaksanaan Proksi Pas: Getting to Zero Halinar di Rutan Klas II A Jakarta Timur dilakukan karena mereka menerima maksud dari program tersebut, yakni untuk meningkatkan kinerja layan pemasyarakatan yang mereka berikan kepada masyarakat yang nantinya diharapkan akan berdampak pada peningkatan pendapatan maupun remunerasi serta pencitraan organisasi yang positif. Hal tersebut juga senada dengan pernyataan Direktur Jenderal Pemasyarakatan,
62 http://digilib.mercubuana.ac.id/
“Masalah pungli adalah masalah yang tidak mudah diselesaikan hanya dengan aturan yang ketat, namun juga harus diikuti dengan dukungan komitmen yang serius. Saat ini dukungan sarana dan prasarana yang ada di UPT Pemasyarakatan memang belum begitu optimal, hal ini juga ditambah dengan budaya birokrasi “jahiliyah” yang masih ada di beberapa UPT Pemasyarakatan” (wawancara NS_Vet1). Menurut narasumber NS_KPR, salah satu tantangan yang cukup sulit bagi Kepala UPT Lapas/ Rutan/ Cab. Rutan adalah budaya birokrasi yang masih “jahiliyah” yang kerap muncul. Birokrasi “jahiliyah” ini bukan hanya didukung oleh motivasi pribadi, namun juga oleh kondisi lingkungan korsa pemasyarakatan. “Dalam beberapa kesempatan, seringkali pensiunan pejabat pemasyarakatan membuat acara di UPT Pemasyarakatan dengan tidak menghiraukan kondisi tempat tersebut atau justru seolah-olah “menekan” Kepala UPT Pemasyarakatan untuk mengongkosi kegiatan yang kurang relevan dengan tugas dan fungsi pemasyarakatan. Untuk mengatasinya, tidak jarang kepala UPT Pemasyarakatan berusaha untuk “mendukung” kegiatan tersebut dengan menggunakan otoritasnya.” (wawancara NS_KPR). Kondisi lingkungan korsa pemasyarakatan yang dimaksud di atas adalah budaya korsa sesama alumni AKIP yang harus patuh dan loyal terhdap senior yang dipahami secara dangkal oleh beberapa pensiunan pejabat pemasyarakatan yang pada posisinya dulu juga melakukan hal yang serupa. Budaya semi militer yang diadopsi oleh AKIP inilah yang terkadang menyulitkan beberapa pihak untuk melakukan perubahan yang mendasar di institusi pemasyarakatan. 4.3.2. Proses Manajemen Komunikasi Program Aksi Pemasyarakatan Gettiing To Zero Halinar Dalam proses komunikasi program ini, Direktur Informasi dan Komunikasi sebagai pejabat resmi yang mengatur proses komunikasi Direktorat Jenderal Pemasyarakatan kedalam maupun keluar institusi menegaskan bahwa setiap
63 http://digilib.mercubuana.ac.id/
kebijakan yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan maupun Kementerian Hukum dan HAM RI pasti akan dilaksanakan oleh seluruh petugas di lapangan. Hal tersebut dilakukan sebagai bentuk tanggung jawab pekerjaan sebagai PNS serta Jiwa Korsa Pemasyarakatan dari para alumnus AKIP. “Dalam melaksanakan tugas, seluruh petugas pemasyarakatan tunduk dan patuh terhadap kebijakan yang dikeluarkan oleh pusat. Namun demikian, seringkali tantangan dan hambatan yang ada dilapangan turut menguji komitmen petugas dalam menegakkan aturan” (wawancara NS_Vet2). Kepatuhan petugas yang disampaikan di atas merupakan bentuk identifikasi yang disampaikan oleh Tompkins dan Cheney, dalam Littlejohn (2009: 380). Identifikasi yang dimaksud adalah kondisi di mana individu menyadari dasar mereka, yakni aparat penegak hukum yang menjunjung tinggi hak asasi manusia. Proses komunikasi yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pemasyatrakatan dilakukan lewat berbagai media, baik cetak maupun elektronik. Media cetak yang ada di lingkungan Pemasyarakatan adalah majalah Warta Pas yang terbit setiap bulan, sementara itu media elektronik yang digunakan adalah lewat berbagai media sosial (facebook, twitter dan blackberry messenger) serta website pada laman www.ditjenpas.go.id dan www.pemasyarakatan.com. Proses komunikasi secara teknis dilaksanakan oleh Sub Direktorat Komunikasi yang bertugas untuk menyiapkan bahan kebijakan, pembinaan, dan pelaksanaan teknis di bidang analisa data dan strategi komunikasi, menyiapkan bahan kebijakan, pembinaan, dan pelaksanaan teknis di bidang peliputan dan penyajian berita, dan menyiapkan bahan evaluasi dan penyusunan laporan
64 http://digilib.mercubuana.ac.id/
informasi dan komunikasi. Dalam melaksanakan tugasnya di atas, Subdit Komunikasi didukung oleh 3 (tiga) seksi dibawahnya yaitu: 1. Seksi Analisa dan Strategi Komunikasi mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan kebijakan, pemberian bimbingan dan pelaksanaan teknis di bidang analisa data dan strategi komunikasi; 2. Seksi Peliputan dan Penyajian Berita mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan kebijakan, pemberian bimbingan dan pelaksanaan teknis di bidang peliputan dan penyajian berita; dan 3. Seksi Evaluasi dan Pelaporan Informasi dan Komunikasi mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan evaluasi dan penyusunan laporan informasi dan komunikasi. Selama ini proses manajemen komunikasi pemerintahan yang dilakukan oleh Subdit Komunikasi masih belum begitu optimal, hal ini dikarenakan pejabat di Subdit Komunikasi berlatar belakang Ilmu Pemasyarakatan dan Ilmu Hukum serta belum dibekali ilmu komunikasi pemerintahan yang memadai. Hal ini diakui oleh narasumber NS_DP4, “Sejujurnya belum pernah ada diklat yang kami lakukan atau ikuti untuk itu. Biasanya diklat yang kami lakukan hanya pelatihan jurnalistik atau penyusunan dan penulisan berita. Kami belum pernah dilatih untuk masalah manajemen komunikasi semacam itu” (wawancara NS_DP4). Untuk
dapat
membaca
persepsi
masyarakat
terhadap
institusi
pemasyarakatan, Subdit Komunikasi melakukan proses analisis wacana secara sederhana dengan melakukan kliping berita terkait isu pemasyarakatan dari media cetak maupun elektronik yang dilakukan oleh Seksi Analisa dan Strategi Komunikasi. Tindak lanjut dari proses kliping berita tadi adalah dengan melakukan 65 http://digilib.mercubuana.ac.id/
counter
di
laman
www.Direktorat
Jenderalpas.go.id
dan
www.pemasyarakatan.com. Counter berita yang dilakukan bertujuan untuk mengimbangi berita negatif tentang institusi pemasyarakatan. Hal ini tentu menjelaskan bagaimana upaya Direktorat Jenderal Pemasyarakatan menjalankan fungsi kehumasan sesuai dengan tujuan kehumasan pemerintah menurut Cutlip dkk (2005) dalam M. Taufiq Hidayat (2012:33), yakni untuk: (1) pemerintah yang demokratis harus menyampaikan informasi kegiatan kepada warga Negara dan (2) administrasi pemerintahan yang efektif memerlukan partisipasi serta dukungan aktif warga Negara Selain counter melalui laman milik pemasyarakatan, Subdit Komunikasi juga melakukan respon terhadap berita negatif tentang institusi pemasyarakatan melalui komunikasi langsung dengan pihak media massa terkait. Kasubdit Komunikasi menyatakan bahwa: “Disini kami menjalankan fungsi komunikasi kedalam maupun keluar. Komunikasi kedalam yang dijalankan adalah melalui sosialisasi maupun publikasi terkait kebijakan maupun pelaksanaan kegiatan. komunikasi kedalam kami sasarkan ke UPT Pemasyarakatan. Untuk komunikasi keluar kami berusaha untuk membangun citra positif institusi, caranya lewat pemetaan berita di media massa dan menjalin hubungan baik dengan jurnalis. Biasanya saya langsung menghubungi reporter yang media nya memberitakan pemasyarakatan secara negatif untuk dapat mengklarifikasi apabila terjadi misinformasi. Selain itu, saya juga sering memenuhi undangan apabila ada reporter yang mengadakan pernikahan maupun acara lainnya. Saya rasa hubungan baik itu sangat penting karena jurnalis juga manusia, punya hati nurani. Alhamdulillah selama ini hubungan baik yang terjalin mampu mendorong citra positif institusi ini” (wawancara NS_DP3). McNamara (2011:5 dalam Hidayat, 2012:36)
menyebut langkah Subdit
Komunikasi diatas sebagai tindakan yang tidak hanya menginformasikan apa yang sedang dan akan dilakukan pemerintah kepada rakyat, namun berupaya 66 http://digilib.mercubuana.ac.id/
mempertemukan kepentingan kedua belah pihak untuk mencapai tujuan bersama. Sementara itu, dalam proses komunikasi kedalam Subdit Komunikasi sering terlibat dalam setiap kegiatan yang dilakukan oleh direktorat yang ada di Direktorat Jenderal Pas, baik yang melibatkan petugas pemasyarakatan di lingkungan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan saja maupun yang melibatkan petugas pemasyarakatan di Kanwil Kemenkumham dan UPT Pemasyarakatan di seluruh Indonesia. Khusus untuk Proksi Pas Getting to Zero Halinar, masukan yang didapatkan Subdit Komunikasi hampir seragam. UPT Pemasyarakatan kesulitan untuk menjalankan kebijakan secara efektif dikarenakan minimnya sarana dan prasarana. Kasubdit Komunikasi menyampaikan bahwa “Untuk menegakkan Getting to Zero Halinar tantangan yang dihadapi teman-teman di UPT relatif berat. Dalam hal peredaran handphone misalnya, alat “jamming” sinyal telepon masih belum dimiliki UPT secara merata, padahal alat tersebut sangat dibutuhkan untuk memastikan tidak adanya peredaran handphone di dalam UPT. Selain itu, untuk melakukan sidak juga cenderung sulit dilakukan, khususnya untuk UPT di luar perkotaan karena minimnya jumlah SDM yang ada. Hal ini juga dialami dalam penghentian peredaran narkoba. Sarana pendeteksi narkoba (misalnya anjing pelacak) serta jumlah petugas penjagaan juga sangat terbatas sehingga beberapa kali UPT “kecolongan”. Anjing pelacak dinilai sangat efektif untuk mencegah masuknya narkoba kedalam UPT maupun untuk mengetahui narkoba yang mungkin telah ada dan beredar didalam. Yang paling sulit adalah menjaga komitmen dan integritas untuk tidak terpengaruh pada pungutan liar. Seringkali petugas maupun pejabat di UPT “disiram” dengan uang yang jumlahnya berpuluh kali lipat dari gaji resmi yang diterimanya.” (wawancara NS_DP3). Untuk hal manajemen komunikasi kebijakan, Direktorat Infokom terus bekerjasama dengan Direktorat Bina Keamanan dan Ketertiban (Kamtib) untuk melaksanakan Proksi Pas Getting to Zero Halinar. Direktorat Infokom bertugas untuk melakukan komunikasi secara intens, efisien dan efektif kepada seluruh 67 http://digilib.mercubuana.ac.id/
jajaran pemasyarakatan di Indonesia. Sementara itu, penindakan maupun evaluasi program secara teknis dilakukan oleh Direktorat Bina Kamtib. Direktur Infokom menjelaskan bahwa “Dalam rangka penegakkan program ini, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan menjalankan carrot system kepada seluruh petugas di lapangan. Kepada petugas yang dinilai berhasil menegakkan aturan diberikan penghargaan, dan kepada petugas yang dinilai melanggar aturan maka diberikan sanksi sesuai tingkat kesalahannya.” (wawancara NS_Vet2).
No.
Sanksi
Sanksi
Ringan
Sedang
Sanksi Berat
Jumlah
Tahun
1
2012
139
25
12
176
2
2013
129
30
11
170
3
2014
126
22
15
163
Tabel 4.2. Data Pegawai Yang Terkena Sanksi (sumber: Data Direktorat Bina Kamtib)
Untuk penghargaan dan hukuman yang diberikan kepada petugas yang dinilai diberikan langsung oleh Direktur Jenderal Pemasyarakatan dalam momenmomen tertentu. “Penghargaan kepada petugas yang dinilai berhasil menegakkan aturan diberikan dalam momen-momen tertentu yang diupacarakan, misalnya HUT Pemasyarakatan, HUT Kemenkumham, HUT RI serta momen-momen yang bersifat nasional lainnya. Namun untuk petugas yang dinilai melanggar aturan maka secara singkat akan diberikan sanksi yang disesuaikan dengan tingkat
68 http://digilib.mercubuana.ac.id/
pelanggarannya. Penilaian terhadap keberhasilan dan pelanggaran dilakukan oleh tim independen yang dibentuk oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. (wawancara NS_Vet1). Untuk terus meningkatkan layanan pemasyarakatan, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan terus mendorong Kementerian Hukum dan HAM RI untuk meningkatkan
komitmennya
dalam
mendukung
pelaksanaan
layanan
pemasyarakatan yang bersih, akuntable dan professional. Komitmen Direktorat Jenderal Pemasyarakatan ditunjukkan dengan mendorong Kementerian Hukum dan HAM RI untuk meningkatkan tunjangan kinerja petugas pemasyarakatan serta memberikan kembali tunjangan resiko bagi petugas di lapangan. Hal ini ditegaskan oleh Direktur Jenderal Pemasyarakatan, “Setidaknya ada tiga langkah besar yang belakangan ini didorong oleh saya ke Kementerian, yaitu peningkatan tunjangan kinerja, menghidupkan kembali tunjangan resiko bagi petugas di lapangan serta perubahan organisasi Direktorat Jenderal Pemasyarakatan menjadi Badan Pemasyarakatan Nasional. Langkah yang terakhir ini dilakukan karena berdasarkan analisis kami, tantangan di lapangan yang dihadapi oleh Pemasyarakatan tidak mampu dilaksanakan oleh organisasi selevel eselon I. Kami berkaca pada penanganan kasus terorisme dan narkoba. Kedua masalah nasional tersebut ditangani oleh organisasi setingkat kementerian yang bertanggung jawab kepada Presiden RI secara langsung. Kedua lembaga itu memiliki kemampuan yang memadai dalam mendukung pelaksnaaan tugas dari sisi sarana maupun prasarana secara mandiri. Dari sisi pelaksanaan tugas, Pemasyarakatan termasuk bagian dari aparat penegak hukum dalam sistem peradilan pidana terpadu yang sejajar dengan Kepolisian, Kejaksaan dan Mahkamah Agung” (wawancara NS_Vet1). Dalam kaitannya dengan masih adanya praktek pungli (termasuk suap) di UPT Pemasyarakatan Direktorat Infokom mendorong penggunaan e-money di UPT Pemasyarakatan untuk mengurangi perederan uang di dalam lembaga. Penggunaan
69 http://digilib.mercubuana.ac.id/
e-money saat ini baru dilakukan di 5 UPT di Indonesia dan masih akan terus berkembang. 4.4. Pembahasan Sub bab pembahasan ini dilakukan dengan menggunakan metode manajemen komunikasi empat langkah dari Cutlipp, Center dan Broom (2006:365) yang telah dibahas pada bab sebelumnya sebagai berikut: LANGKAH PERENCANAAN STRATEGIS DAN OUTLINE PROGRAM
PROSES EMPAT LANGKAH A. Mendefinisikan Problem
1. Problem, Perhatian, atau Peluang “Apa yang sedang terjadi saat ini?” 2. Analisis Situasi (internal dan eksternal) “Apa kekuatan positif dan negatif yang sedang beroperasi?” “Siapa yang terlibat dan/ atau dipengaruhi?” “Bagaimana mereka terlibat dan/atau dipengaruhi?”
B. Perencanaan dan Pemrograman
3. Tujuan
Program
“Apa
solusi
yang
diharapkan?” 4. Publik Sasaran “Siapa – dalam lingkungan internal dan eksternal – yang harus direspon, dijangkau, dan dipengaruhhi oleh program?” 5. Sasaran “Apa yang harus dicapai pada setiap publik untuk mencapai tujuan program?”
C. Mengambil Tindakan dan Berkomunikasi
6. Strategi Aksi “Perubahan apa yang harus dilakukan
70 http://digilib.mercubuana.ac.id/
untuk
mendapatan
hasil
sebagaimana dinyatakan dalam sasaran program?” 7. Strategi Komunikasi “Apa isi pesan yang harus disampaikan untuk mencapai hasil seperti yang dinyatakan dalam sasaran program?” 8. Rencana Implementasi Program “Siapa yang akan bertanggung jawab untuk mengimlementasikan setiap tindakan dan taktik berkomunikasi?” D. Mengevaluasi Program
9. Rencana Evaluasi “Bagaimana hasil yang disebutkan dalam tujuan dan sasaran program akan diukur?” 10. Umpan Balik dan Penyesuaian Program “Bagaimana
hasil
evaluasi
akan
dilaporkan ke manajer program dan dipakai
untuk
membuat
perubahan
program?” Tabel 4.3. Metode Manajemen Komunikasi Empat Langkah (sumber: Cutlipp, Center dan Broom (2006:365))
4.5. Mendefinisikan Problem Dari penjelasan hasil penelitian di atas, dapat kita lihat bahwa sejatinya Proksi Pas Getting to Zero Halinar dapat dinilai belum berjalan dengan optimal. Yang menjadi permasalahan dalam pelaksanaannya adalah sarana dan prasarana yang belum memadai. Permasalahan ini merupakan hasil analisis yang dilakukan oleh Subdit Komunikasi setelah dilakukan monitoring dan evaluasi di Lapas/ 71 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Rutan/ Cab. Rutan. Permasalahan yang umum dialami oleh Lapas/ Rutan/ Cab. Rutan dapat dijelaskan dalam matriks berikut: NO. 1
MASALAH SARANA
MASALAH PRASARANA
Peralatan pengacau sinyal jaringan
Jumlah SDM yang minim secara
telepon
kualitas maupun kuantitas
Anjing pelacak untuk melacak 2
narkoba yang akan masuk atau yang
Budaya Birokrasi “Jahiliyah”
telah ada didalam Minimnya komitmen Kementerian 3
Masih adanya peredaran uang tunai
Hukum dan HAM RI sebagai
di dalam UPT Pemasyarakatan
organisasi Pembina institusi pemasyarakatan
Tabel 4.4. Matriks Permasalahan Pelaksanaan Proksi Pas Getting to Zero Halinar
4.5.1. Permasalahan Sarana a. Peralatan Pengacau Sinyal Peralatan pengacau sinyal bagi jaringan telepon sangat dibutuhkan untuk meminimalisir kebocoran masuk dan beredarnya penggunaan handphone didalam UPT Pemasyarakatan. Alat ini sangat dibutuhkan sebagai dampak minimnya jumlah petugas dan peralatan yang ada pada pos penjagaan pintu utama pada saat pengggeledahan terhadap tamu yang akan melakukan kunjungan kedalam. Selain dari pengunjung, masuknya handphone didalam juga bisa dilakukan oleh oknum petugas itu sendiri karena penggeledahan terhadap pegawai relatif longgar.
72 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Menurut pernyataan petugas yang disampaikan kepada tim Subdit Komunikasi pada saat kunjungan ke UPT Pemasyarakatan, alat pengacau sinyal dibutuhkan supaya penggunaan handphone yang telah masuk didalam menjadi sia-sia. Dengan sulitnya jaringan telepon didalam UPT, diharapkan peredaran handphone didalam akan berangsur-angsur berkurang. Namun demikian, adanya sinyal pengacau sinyal seringkali menyulitkan petugas sendiri untuk berkomunikasi dengan pihak luar (keluarga maupun kerabat) untuk urusan pribadi. Saat ini setidaknya baru 10 UPT Pemasyarakatan di seluruh Indonesia yang memiliki alat ini, namun tidak seluruhnya berfungsi secara optimal b.
Anjing Pelacak Penggunaan anjing pelacak juga sangat dibutuhkan guna meminimalisir
peredaran narkoba di UPT. Penggunaan anjing pelacak terbilang efektif untuk melacak adanya narkoba di dalam UPT, namun anggaran untuk menggunakan jasa anjing pelacak belum dianggarkan secara nasional. Baru beberapa UPT saja yang memiliki inisiatif untuk bekerjasama meminta dukungan dari pihak kepolisian maupun BNN Provinsi/ Kota/ Kabupaten untuk menyediakan jasa anjing pelacak. Penggunaan jasa anjing pelacak ini dilakukan juga sebagai bentuk kontrol ganda terhadap barang-barang yang masuk dan beredar di dalam UPT karena sangat memungkinkan terjadinya human error sebagaimana peredaran handphone yang dijelaskan di atas. Selain anjing pelacak, tes uji narkoba juga dibutuhkan namun beberapa UPT menilai efeknya terhadap WBP maupun oknum petugas kurang “menggigit” ketimbang jasa anjing pelacak karena tes uji narkoba membutuhkan waktu tertentu untuk menentukan hasil laboratorium. Dengan menggunakan jasa 73 http://digilib.mercubuana.ac.id/
anjing pelacak maka sangat mudah untuk menangkap tangan peredaran narkoba di dalam UPT pada saat itu juga. c.
Peredaran Uang Tunai Untuk meminimalisir terjadinya pungli maupun suap didalam UPT
Pemasyarakatan, strategi yang dapat dilakukan adalah meminimalisir peredaran uang di dalam. Hal ini telah dilakukan beberapa UPT yang bekerjasama dengan pihak ketiga, namun belum menjadi program nasional di pemasyarakatan. Masih minimnya penggunaan
e-money di dalam UPT pemasyarakatan untuk
meminimalisir peredaran uang yang berpotensi dilakukannya pungli maupun suap. Strategi ini merupakan strategi yang jamak dilakukan di beberapa negara di dunia untuk meminimalisir terjadinya pelanggaran oleh WBP maupun petugas. Dalam pelaksanaannya UPT biasanya melakukan kerjasama dengan pihak ketiga, misalnya perbankan maupun koperasi diluar intitusi. 4.5.2. Permasalahan Prasarana 1. SDM Petugas yang minim Data yang diambil dari Sistem Database Pemasyarakatan pada bulan Januari 2015 menjelaskan bahwa jumlah Tahanan dan Narapidana (WBP) yang ada di seluruh Rutan/ Cabrutan/ Lapas di seluruh Indonesia berjumlah 165.327 orang dengan kapasitas normal sebanyak 144.933 orang dengan tingkat kelebihan kapasitas sebesar 44% (smslap.Direktorat Jenderalpas.go.id). Sementara itu, total jumlah SDM petugas pengamanan yang ada hanya sebanyak 13.556 orang dengan
74 http://digilib.mercubuana.ac.id/
waktu kerja yang dibagi menjadi 3 (tiga) shift untuk melakukan penjagaan selama 24 jam setiap hari sepanjang tahun. Dari jumlah itu, dapat dihitung perbandingan secara kasar antara petugas dan WBP yaitu 1 petugas : 12 WBP. Jumlah ini tentu menjadi tantangan yang cukup berat, mengingat karakteristik WBP yang sangat beragam serta latarbelakang pendidikan dan pelatihan terkait tugas yang diembannya yang terbilang timpang. Ketimpangan ini menjadi masalah yang besar ketika terjadi permasalahan di dalam UPT Pemasyarakatan sebagaimana kasus kerusuhan yang pernah terjadi di Lapas Tanjung Gusta, Sumatera Utara tahun 2013 yang lalu yang menimbulkan korban jiwa 2 orang petugas pemasyarakatan. Hal ini belum ditambah lagi amanat program untuk membentuk beberapa satuan tugas yang idealnya harus didukung oleh personel yang berbeda dalam setiapsatuan tugas, yaitu: 1. Satuan Tugas Penanggulangan Gangguan Keamanan dan Ketertiban (Satgas Kamtib); 2. Satuan Tugas Penanggulangan, Pencegahan, Penyimpangan dan Peredaran Gelap Narkoba (Satgas P4GN); 3. Petugas Pengawasan Internal (Petugas Was. Intern.); dan 4. Satuan Tugas Pengamanan Pintu Utama (Satgas P2U) Dengan perbandingan angka yang dijelaskan di atas tentu akan teramat sulit bagi UPT Lapas/ Rutan/ Cab. Rutan untuk melaksanakannya dengan ideal. Beberapa UPT menyiasatinya dengan menempatkan seorang petugasnya dalam dua atau tiga
75 http://digilib.mercubuana.ac.id/
satuan tugas agar fungsi satuan tugas tersebut dapat dipenuhi di dalam lembaga tersebut.
2.
Budaya Birokrasi “Jahiliyah” Budaya birokrasi “jahiliyah” adalah sebuah istilah yang dikenal di kalangan
Pemasyarakatan yang menggambarkan buruknya birokrasi pada era sebelum reformasi birokrasi berkembang di tubuh pemasyarakatan. Birokrasi “jahililah” ini merujuk pada tiga prinsip birokrasi yang dikemukakan oleh Webber namun dalam konotasi negatif, yaitu tentang otoritas, spesialisasi dan regulasi. Otoritas yang dimiliki petugas didalam digunakan untuk menguntungkan diri sendiri atau kelompok, spesialisasi yang dimiliki masing-masing petugas (misalnya registrasi untuk kebutuhan pengurusan Pembebasan Bersyarat) digunakan untuk “menekan” WBP, dan regulasi yang ada tidak dijelaskan secara transparan terhadap masyarakat. Ketiga prinsip itu seolah-olah menjadi “kekuatan” petugas di Lapas/ Rutan/ Cab Rutan yang digunakan untuk menguntungkan pribadi ataupun kelompoknya sendiri. Budaya semi militer yang dianut oleh para alumni AKIP sejak masa pendidikannya seringkali diartikan secara dangkal di mana kepatuhan dan loyalitas terhadap senior mendahului kepatuhan dan loyalitas terhadap institusi. Dalam prakteknya, budaya birokrasi “jahiliyah” semacam ini memang masih tumbuh dan berkembang di lingkungan Pemasyarakatan, khususnya di daerah yang jauh jangkauannya dari sorotan media massa. Namun demikian, sejatinya budaya semi
76 http://digilib.mercubuana.ac.id/
militer ini dapat ditransformasikan kedalam bentuk yang lebih konstruktif karena kepatuhan dan lolayitas yang dibangun selama hampir lima dekade di AKIP adalah untuk kemajuan organisasi. 3.
Komitmen Kementerian Hukum dan HAM RI Saat ini Direktorat Jenderal Pemasyarakatan berada dibawah Kementerian
Hukum dan HAM RI. Proses manajemen anggaran, tatalaksana maupun SDM pemasyarakatan masih bergantung pada Kementerian Hukum dan HAM RI. Permasalahan yang dihadapi Pemasyarakatan hingga saat ini terbilang sangat besar dan
kompleks,
khususnya
dibidang
organisasi.
Unit
Pelayanan
Tenis
Pemasyarakatan di seluruh Indonesia secara administratif bertanggung jawab ke Kepala Divisi Pemasyarakatan yang ada di Kantor Wilayah setiap provinsi. Selanjutnya, Kepala Kantor Wilayah di provinsi bertanggung jawab ke Sekretariat Jenderal Kementerian Hukum dan HAM RI di Jakarta. Sementara itu, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan hanya bertugas untuk membuat kebijakan teknis tugas Pemasyarakatan. Dalam rangka mengatasi masalah yang besar dan kompleks tersebut, beberapa waktu lalu Direktorat Jenderal Pemasyarakatan mengajukaan perubahan organisasi menjadi Badan Pemasyarakatan Nasional. Harapannya, dengan perubahan organisasi nantinya Pemsyarakatan akan memiliki kemandirian dalam proses penganggaran, tata laksana serta SDM yang sesuai dengan bobot dan kompleksitas permasalahan yang dihadapinya. Namun demikian hal tersebut tidak mendapatkan respon yang positif, khususnya dari Kemenkumham RI. Direktur
77 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Infokom bahkan menilai bahwa permasalahan yang dialami Direktorat Jenderal Pemasyarakatan selama ini seolah-oleh dipelihara oleh kelompok tertentu yang kemudian dikomodifikasikan demi kepentingan tertentu. “Masalah sarana dan prasarana yang dihadapi selama ini sepertinya ada kecenderungan di “pelihara” oleh kelompok tertentu untuk kepentingan tertentu. Hal ini semakin terlihat pada saat proses pengajuan perubahan organisasi menjadi Badan Pemasyarakatan Nasional (Bapasnas)”. (wawancara NS_Vet2). Pengajuan perubahan organisasi di atas merupakan hasil kajian audit kinerja dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK RI) pada tahun 2013 yang lalu. 4.5.3. Analisis Situasi 1. Aspek Internal Dalam penjelasan mengenai masalah-masalah yang ada di dalam intitusi Pemasyarakatan, kita dapat melihat adanya hal-hal yang positif dan negatif dari aspek internal institusi itu sendiri. Peneliti melihat dengan masalah sarana dan prasarana yang dihadapi oleh hampir semua UPT di Indonesia, tingkat kerusuhan yang ada di dalam lembaga cenderung rendah. Hal ini terjadi karena adanya pendekatan humanis dari petugas terhadap WBP yang dibinanya. Pendekatan yang humanis ini dilakukan sebagai bentuk praktek pemasyarakatan yang diajukan oleh Sahardjo beberapa dekade yang lalu. Berdasarkan data dari Direktorat Bina Kamtib, dalam tiga tahun terakhir terjadi (2012 – 2014) terjadi 6 (enam) kali kerusuhan di dalam lapas di beberapa titik di Indonesia. Pada tahun 2012 terjadi 2 (dua) kali kerusuhan di Lapas Kerobokan (Kanwil Kemenkumham Bali) dan Lapas Banda Aceh (Kanwil
78 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Kemenkumham NAD). Sementara itu pada tahun 2013 terjadi 4 (empat) kerusuhan di dalam Lapas Kuala Tungkal (Kanwil Kemenkumham Jambi), Lapas Tanjung Gusta dan Lapas Labuhan Ruku (Kanwil Kemenkumham Sumatera Utara), dan Lapas Tulung Agung (Kanwil Kemenkumham Jawa Timur. Pada tahun 2014 situasi di beberapa Lapas/ Rutan sempat memanas namun berhasil dikendalikan oleh petugas sehingga tidak terjadi kerusuhan. Dari hasil observasi dan diskusi yang dilakukan oleh peneliti terhadap beberapa pejabat di Lapas/ Rutan dan Direktorat Bina Kamtib, maraknya kerusuhan yang terjadi pada tahun 2012 dan 2013 di Lapas yang kelebihan kapasitas merupakan dampak dari kebijakan pemerintah terkait pengetatan remisi dan hakhak lain WBP kasus pidana khusus (narkoba, korupsi dan terorisme) yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 99 tentang tahun 2012 Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Kebijakan tersebut memicu perlawanan dari para WBP kasus pidana khusus dan mendorong mereka untuk memprovokasi WBP lainnya sehingga terjadi kerusuhan sebagaimana dijelaskan di atas. Dari keterangan beberapa pejabat yang ditemui oleh peneliti, beberapa lapas yang memiliki karakteristik yang sama dengan namun tidak mengalami kerusuhan adalah bentuk suksesnya pendekatan humanis yang dilakukan oleh petugas terhadap WBP. Pendekatan humanis semacam ini sayangnya tidak dilembagakan dalam sebuah kebijakan formal maupun dalam pendidikan dan pelatihan terhadap petugas. Pendekatan humanis yang dilakukan oleh petugas di lapangan murni dari
79 http://digilib.mercubuana.ac.id/
hasil kreatifitas mereka untuk mengelola konfilik yang ada atau mungkin muncul di dalam UPT. Hal ini tentu merupakan hal positif yang sebaiknya perlu dilembagakan dalam sebuah kebijakan formil agar menjadi suatu standar baku di seluruh UPT Pemasyarakatan di Indonesia. 2. Aspek Eksternal Melalui pemberitaan di berbagai media, pemasyarakatan cenderung dilekatkan dengan kesan yang kumuh, penyalahgunaan wewenang, kelebihan kapasitas dan kesan negatif lainnya. Subdit Komunikasi mencatat pada tahun 2012 pemasyarakatan dilekatkankan pada citra negatif sebanyak 379 kali di media cetak dan 287 kali di media elektronik. Sementara itu citra positif yang muncul pada tahun yang sama hanya 98 kali di media cetak dan 86 kali di media elektronik. Pada tahun 2013 citra positif yang muncul meningkat signifikan namun juga diikuti dengan citra negaitif yang signifikan pula. Peningkatan citra positif ini dinilai akibat peran Wamenkumham yang sering muncul di media yang mengangkat isu Pemasyarakatan. Disisi lain, citra negatif yang muncul dinilai akibat terjadinya kerusuhan di beberapa lapas sebagaimana disebutkan di atas.
80 http://digilib.mercubuana.ac.id/
CITRA NEGATIF
CITRA POSITIF TAHUN
MEDIA CETAK
MEDIA ELEKTRONIK
MEDIA CETAK
MEDIA ELEKTRONIK
2011
85
73
365
254
2012
98
86
379
287
2013
152
187
459
487
2014
156
121
413
427
Tabel 4.5. Data Citra Pemasyarakatan (sumber: Direktorat Infokom)
Angka yang muncul dari tabel di atas tentu dapat memudahkan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dalam mengambil tindakan terkait peningkatan citra institusi di masyarakat. Pengalaman tahun 2013 di mana citra positf meningkat signifikan dan di pertahankan juga pada tahun 2014 perlu dibuat semacam rencana strategis komunikasi agar angka tersebut dapat terus dipertahankan sambil juga menurunkan angka citra negatif. Salah satu upaya yang dilakukan oleh Pemasyarakatan untuk meningkatkan dukungan pihak eksternal adalah dengan meningkatkan kerjasama dengan pihak lembaga/ kementerian lain maupun pihak swasta atau masyarakat. Contoh konkrit yang dilakukan oleh pemasyarakatan dalam rangka meningkatkan citra ini adalah dengan melakukan kerjasama dengan Badan Pemeriksa Keuangan RI untuk melakukan audit kinerja yang kemdian menghasilkan rekomendasi BPK agar pemasyarakatan dapat bertransformasi menjadi sebuah lembaga tingggi negara berupa Badan yang setingkat dengan kementerian. Tindak lanjut dari itu adalah pengajuan perubahan organisasi
81 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan menjadi Badan Pemasyarakatan Nasional (Bapasnas) ke Kementerian Sekretaris Negara pada tahun 2014 yang lalu. 4.6. Perencanaan dan Pemrograman 4.6.1. Tujuan Program Berdasarkan hasil analisis situasi di atas, langkah selanjutnya adalah perencanaan dan pemrograman dengan menajamkan program agar tujuan yang sejatinya ingin dicapai lewat Surat Edaran Dirjen Pemasyarakatan tentang Program Aksi Pemasyarakatan Getting to Zero Halinar dapat terwujud secara optimal. Penajaman tujuan ini dapat dilakukan dengan Pertanyaan terbesar yang perlu diajukan adalah solusi apa yang diharapkan dari kondisi pelaksanaan program ini sebagaimana dijelaskan sebelumnya? Untuk permasalahan terkait sarana, UPT pemasyarakatan berharap adanya peningkatan standar pelaksanaan tugas yang dianggarkan dalam (Daftar Isian Pagu Anggaran) DIPA setiap tahunnya sehinggga capaian dari Proksi Pas Getting to Zero Halinar dapat lebih efektif. Hal ini disampaikan oleh narasumber NS_KPR: “Saya sangat berharap agar sarana yang dapat
mendukung seluruh
program
dan
kebijakan
Direktorat
Jenderal
Pemasyarakatan maupun Kementerian Hukum dan HAM RI dapat dimasukan dalam DIPA sehingga memudahkan kami di lapangan untuk mencapai tujuan program”(wawancara NS_KPR). Sementara itu, untuk permasalahan prasarana Direktorat Jenderal Pemasyarakatan berjanji akan meningkatkan pelaksanaan carrot system dengan lebih rinci dan berimbang kepada seluruh UPT pemasyarakatan sebagai trigger bagi mereka dalam melaksanakan kebijakan.
82 http://digilib.mercubuana.ac.id/
4.6.2. Publik Sasaran Proses komunikasi program ini bertujuan untuk menyasar dua publik sasaran penting, yang dikategorikan sebagai sasaran internal dan sasaran eksternal. Sasaran internal adalah petugas pemasyarakatan secara umum, khususnya yang ada di Lapas/ Rutan/ Cab. Rutan di seluruh Indonesia. Sementara itu, sasaran eksternalnya adalah masyarakat yang bersentuhan langsung dengan layanan pemasyarakatan, yaitu WBP dan keluarganya. “Petugas pemasyarakatan, khususnya yang ada di Lapas/ Rutan/ Cab. Rutan merupakan sasaran internal dari program ini karena mereka yang melaksanakan langsung layanan pemasyarakatan kepada WBP maupun keluarganya serta tujuan dari program ini adalah untuk mengatur pelaksana program. Yang dimaksud petugas disini termasuk kepala dan jajaran pejabat di UPT Pemasyarakatan setempat karena mereka merupakan kepanjangan tangan dari pimpinan pemasyarakatan di UPT yang dipimpinnya. Agar proses komunikasi kebijakan kedepan bisa berjalan dengan efektif, maka perlu
dilakukan
penajaman
terhadap
pimpinan
di
UPT
agar
mampu
mengkomunikasikan kebijakan yang ada secara berjenjang kepada anggota dibawahnya” (wawancara NS_Vet 1). Sementara itu, dengan memberikan sosialisasi berupa edaran maupun pengumuman yang ditempel di seluruh lingkungan UPT Lapas/ Rutan/ Cab. Rutan secara jelas dan terbuka akan membantu proses pelaksanaan Program Aksi Pemasyararakatan Getting to Zero Halinar dari sisi pengawasan oleh masyarakat. “Menurut saya, masyarakat juga harus ikut terlibat dalam pelaksanaan program ini secara aktif. Dengan adanya pengumuman di lingkungan UPT maka masyarakat 83 http://digilib.mercubuana.ac.id/
dapat turut mengawasi pelaksanaannya. Harapannya, masyarakat dapat secara aktif terlibat memberikan saran, kritik maupun apresiasi atas pelaksanaan program ini nantinya” (wawancara NS_Vet 2). Program Aksi Pemasyarakatan Getting to Zero Halinar ini sejatinya adalah program yang ditujukan untuk meningkatkan pelayanan pemasyarakatan oleh petugas kepada masyarakat. Oleh karena itu, sebagaia lingkungan eksternal masyarakat (WBP maupun keluarganya) harus juga direspon, dijangkau serta dipengaruhi untuk menyukseskan program ini sehingga tercapai pada tujuan yang diinginkan. 4.6.3. Sasaran Sasaran yang ingin dicapai dari masing-masing publik sasaran tentu berbeda. Pendekatan, materi, media serta tindakan yang dilakukan harus menyesuaikan dengan karakternya masing-masing. Bagi sasaran internal, sebagaimana dengan karakteristik anggota birokrasi yang disampaikan oleh Max Webber tentu akan memudahkan, khususnya
bagi
Direktorat
Jenderal
Pemasyarakatan. Sebagai organisasi Pembina, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dapat memerintahkan secara tegas kepada seluruh petugas pemasyarakatan untuk menjalankan program dengan penuh tanggung jawab disertai dengan pemahaman terhadap dampak yang akan muncul apabila program berhasil maupun tidak berhasil. “Dengan budaya semi militer yang dimiliki oleh jajaran petugas pemasyarakatan, sebenarnya tidak sulit untuk Direktorat Jenderal Pemasyarakatan memerintahkan petugas dilapangan untuk menjalankan program ini. Untuk semakin meningkatkan partisipasi petugas dalam program ini, kedepan kita akan
84 http://digilib.mercubuana.ac.id/
memperkuat carrot system yang telah dibangun secara lebih tegas” (wawancara NS_Vet 1). Sementara itu, bagi sasaran eksternal dibutuhkan penanganan yang berbeda. Sasaran eksternal memiliki karakteristik yang sangat berbeda dengan sasaran internal pemasyarakatan karena sasaran eksternal lebih sulit dikendalikan. Menurut narasumber NS_DP4: “Dari hasil monev (monitoring dan evaluasi) yang sering kami
lakukan,
pihak
WBP
dan
keluarganya
seringkali
justru
turut
menumbuhsuburkan perilaku pungli kepada petugas di lapangan dengan memberikan “sesuatu” kepada petugas untuk mempermudah “urusan” didalam.” Hal tersebut juga diamini oleh narasumber NS_DP3 yang menyatakan bahwa pada saat petugas mulai disiplin, pihak WBP dan/atau keluarga justru “menggoda” petugas. Oleh karena itu, komunikasi yang akan dilakukan guna menjangkau sasaran eksternal adalah dengen memberikan informasi tentang hak dan kewajiban mereka secara lebih terbuka sehingga mereka dapat mengetahui hal-hal tersebut secara jelas. “Kebanyakan dari WBP dan keluarganya tidak mengetahui secara jelas mengenai hak dan kewajibannya. Selain itu, mereka juga tidak mengetahui cara melaporkan jika terjadi pelanggaran oleh petugas. Untuk itu maka kami juga akan meningkatkan
layanan
pengaduan
yang
ada
di
Direktorat
Jenderal
Pemasyarakatan.” (wawancara NS_Vet 2). Dengan demikian, pemahaman pihak eksternal yang komprehensif terkait dengan hak dan kewajibannya menjadi sasaran yang ingin dicapai di pihak eksternal.
85 http://digilib.mercubuana.ac.id/
4.7. Mengambil Tindakan dan Berkomunikasi 4.7.1. Strategi Aksi Untuk menjelaskan komunikasi yang telah dilakukan oleh Direktorat Jenderald Pemasyarakatan terkait Program Aksi Pemasyarakatan Getting to Zero Halinar, peneliti membagi dalam kerangka tahun yang sudah berjalan yaitu pelaksanaan pada periode tahun 2013 dan periode tahun 2014. Pelaksanaan tahun 2015 tidak dibahas oleh peneliti karena Direktorat Infokom belum melaksanakan monitoring dan evaluasi guna menilai pelaksanaan program ini. 1. Pelaksanaan Periode Tahun 2013 Program ini merupakan bentuk tindak lanjut dari Rapat Kerja Teknis Tahun 2012. Sejak ditandatangani oleh Mochamad Sueb selaku Direktur Jenderal Pemasyarakatan pada tangggal 25 Maret 2013, program ini langsung disosialisasikan ke seluruh UPT Pemasyarakatan di Indonesia melalui Kantor Wilayah Kemenkumham RI di tingkat provinsi. Proses komunikasi (sosialisasi) program ini pada tahun 2013 yang lalu sesungguhnya sangat efektif karena adanya “bantuan” dari sosok Wamenkumham RI saat itu yang menjadi “media darling”. “Untuk program Getting to Zero Halinar sebenarnya kita sangat dimudahkan karena peran Wamenkumham sebagai media darling lebih menonjol. Peran kehumasan kedalam maupun keluar sangat dibantu oleh Wamenkumham dan nyatanya itu benar-benar membantu. Media massa menjadi sangat mengenal dengan istilah anti halinar. Rekan-rekan di UPT Pemasyarakatan juga sangat mengenal dan paham dengan anti halinar ini. Kalau kita lihat di seluruh UPT
86 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Pemasyarakatan kini pasti ada poster atau spanduk anti halinar” (wawancara NS_DP3). Pada tahun 2013 ini hampir dapat dikatakan bahwa Direktorat Jenderal Pemasyarakatan tidak memerlukan usaha yang keras untuk mensosialisasikan program ini karena adanya peran Wamenkumham. Proses sosialisasi pada tahun 2013 yang lalu masih bersifat kognisi, di mana Direktorat Jenderal Pemasyarakatan ingin agar pesan dari program ini bisa diketahui oleh UPT Lapas/ Rutan/ Cab. Rutan di seluruh Indonesia. Pada tahun yang sama amanat dari program ini agar UPT Lapas/ Rutan/ Cab. Rutan membuat Slogan, Tulisan pada Spanduk/Baner yang ditempelkan di Blok Hunian dan Tempat terbuka pada Lapas, Rutan dan Cabang Rutan dan mensosialisasikan kepada semua unsur Lapas, Rutan dan Cabang Rutan bahwa disemua kegiatan dan peri kehidupan di Lapas, Rutan dan cabang Rutan Bebas dari Halinar dapat dinilai tercapai 100% karena seluruhnya melaksanakannya dengan menggunakan angggaran masingmasing UPT secara mandiri. Sementara itu, untuk amanat membentuk satuan tugas Kamtib, P4GN, Was. Intern., dan P2U tidak tercapai 100%. Hal ini lebih dikarenakanan minimnya jumlah SDM yang ada di UPT Lapas/ Rutan/ Cab. Rutan itu sendiri. “Di Rutan Pondok Bambu sendiri, semua satgas yang diamanatkan dalam Proksi Pas Getting to Zero Halinar telah dibentuk namun dengan SDM yang itu-itu juga. Hal ini dikarenakan jumlah SDM untuk pengamanan relatif terbatas. Namun tidak semua petugas merangkap dalam setiap satgas, minimal 1 orang merangkap menjadi anggota 2 satgas. Hal ini masih lebih baik daripada UPT lain yang jumlah pegawainya lebih sedikit daripada disini” (wawancara NS_KPR).
87 http://digilib.mercubuana.ac.id/
2.
Pelaksanaan Periode Tahun 2014 Sebagai tahun politik, tahun 2014 merupakan masa di mana semua elemen
bangsa tertuju pada proses politik yang terjadi pada tahun ini, yaitu Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden. Pada tahun ini pula, hampir seluruh Kementerian dan Lembaga Negara mengalami penurunan anggaran lebih dari 30% dari tahun sebelumnya. Penurunan angggaran ini juga dialami oleh Kementerian Hukum dan HAM RI, termasuk Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dan UPT Pemasyarakatan seluruhnya. Narasumber NS_Vet 1 menegaskan bahwa: “Tahun 2014 yang lalu merupakan tahun yang cukup sulit bagi Pemasyarakatan, anggaran yang minim cukup menyulitkan kita untuk melaksanakan tugas seperti biasa. Pada UPT Balai Pemasyarakatan (Bapas) bahkan anggaran operasional untuk melakukan tugas dan fungsinya yang utama, yaitu Penelitian Kemasyarakatan justru hilang sama sekali. Hal ini tentu akan sangat berdampak pada pelaksanaan program kerja secara keseluruhan. Terkait dengan proses komunikasi organisasi, di tahun 2014 ini anggaran penerbitan Warta Pas dihapus”. Terkait dengan masalah angggaran, pada pertengahan 2014 server Direktorat Jenderal Pemasyarakatan mendapatkan serangan dari peretas yang mengakibatkan tergangggungnya aktivitas website Direktorat Jenderal Pemasyarakatan serta Sistem Database Pemasyarakatan. Minimnya anggaran yang dimiliki oleh Direktorat Informasi dan Komunikasi untuk pemeliharaan server turut memperlambat upaya perbaikan. Pada tahun 2014 ini, rencananya Direktorat Informasi dan Komunikasi ingin meningkatkan sosialisasi Proksi Pas Getting to Zero Halinar ke tahap afeksi dan konasi sehingga seluruh petugas pemasyarakatan memiliki kesadaran yang 88 http://digilib.mercubuana.ac.id/
tinggi terhadap pentingnya menjaga integritas, tanggung jawab dan disiplin dalam melaksanakan tugas. Dalam keterbatasan anggaran yang ada, narasumber Vet 2 menjelaskan bahwa upaya kreatif sangat dibutuhkan. “Dalam kondisi serba terbatas, jusrtu seringkali ide-ide kreatif dan inovatif muncul dengan sendirinya. Sebagai alternatif penggunaan server internal Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Subdit Komunikasi mengambil inisiatif untuk membuat website pendukung dengan alamat www.pemasyarakatan.com dengan penganggaran mandiri hasil patungan dari pegawai Subdit Komunikasi dan beberapa pejabat. Selain itu, ternyata ada kesempatan untuk membuat akun blackberry messenger bagi organisasi pemerintah dengan harga khusus dari pihak blackberry. Kedua instrument komunikasi ini turut mendorong percepatan komunikasi Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dengan UPT Pemasyarakatan, Kanwil Kemenkumham, dan masyarakat luas” (wawancara NS_Vet 2). Dalam hal menyentuh unsur afeksi dari petugas terhadap program ini, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan masih mengalami kesulitan, atau dapat dikatakan belum sampai menyentuh unsur tersebut. Permasalahan sarana dan prasarana yang dibahas di atas merupakan tantangan terberat yang harus dihadapi. Selain itu, rotasi pejabat yang seringkali cepat dan mendadak juga menjadi tantangan tersendiri sehingga sedikit banyaknya turut mengganggu kontinuitas program. Sepanjang tahun 2013 hingga 2015 ini telah terjadi 1 (satu) kali pergantian Dirjen Pemasyarakatan dari Mochamad Sueb (2012-2013) menjadi Handoyo Sudradjat (2013 – saat ini). Sementara itu, Direktur Informasi dan Komunikasi juga turut mengalami 4 (empat) kali pergantian dari Haru Tamtomo
89 http://digilib.mercubuana.ac.id/
(2012-2013), menjadi Ajub Surachman (2013-2014), kemudian menjadi Ibnu Chuldun (2014-2015), dan saat ini dijabat oleh Aman Riyadi (April 2015). “Adanya rotasi pimpinan seperti ini juga menjadi hambatan bagi Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dalam menjalankan program. Pimpinan baru tentu butuh waktu untuk penyesuaian diri dengan kebijakan yang lama serta ide-ide yang dibawanya. Untuk rotasi ini, pejabat yang menduduki jabatan Direktur Informasi dan Komunikasi merupakan pejabat yang telah lulus uji kelayakan dan kepatutan yang diselenggarakan oleh Kementerian Hukum dan HAM RI. Hal ini telah memenuhi syarat birokrasi ideal kelima, yakni setiap pejabat diseleksi atas dasar kualifikasi profesionalitasnya, yang idealnya dilakukan melalui ujian kompetitif sebagaimana disebutkan oleh Webber, dalam Miftah Toha (2002: 16-17). Tidak mudah untuk mengelola Direktorat ini karena hampir semua pejabatnya berlatarbelakang ilmu hukum atau ilmu pemasyarakatan”(wawancara NS_DP3). Pada tahun 2015, untuk meningkatkan dampak afeksi dalam sosialisasi program ini Direktorat Infokom berencana untuk meningkatkan peran Subdit Kerjasama dalam membangun kerjasama efektif dengan pihak luar yang dapat membantu Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dalam menyelesaikan masalah sarana-prasarana yang telah dibahas di atas. “Kami yakin, masalah yang dihadapi Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dalam melaksanakan program ini tidak mampu diselesaikan tanpa bantuan pihak lain. Oleh karena itu kami berharap kerjasama dengan pihak luar akan membantu kami untuk menyelesaikan masalah yang ada” (wawancara NS_Vet 2).
90 http://digilib.mercubuana.ac.id/
4.7.2. Strategi Komunikasi Dalam pelaksanaan komunikasi program ini, semua media yang dimiliki oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan akan dioptimalkan penggunaannya. Menurut narasumber NS_DP4, mulai tahun 2014 media komunikasi yang dimiliki Direktorat Jenderal Pemasyarakatan relatif lebih baik: “Mulai tahun 2014 Direktorat Jenderal Pemasyarakatan memaksimalkan komunikasinya lewat media sosial yang memang sedang tren saat ini. Media sosial yang digunakan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan antara lain; twitter, facebook, akun blackberry messenger, serta group blackberry messenger diberbagai level(Kepala UPT, Kepala Divisi, dan Direktur). Selain itu, website yang digunakan sebagai media sosialisasi menggunakan dua alamat, yaitu; www.Direktorat Jenderalpas.go.id dan www.pemasyarakatan.com. Selain itu, peningkatan hubungan silaturahmi dengan pihak media massa juga akan terus ditingkatkan guna mendukung pelaksanaan program ini secara lebih efektif”(wawancara NS_DP4). Terkait dengan upaya yang terakhir disebutkan sebelumnya, narasumber NS_Vet 2 menegaskan bahwa media massa saat ini merupakan media yang paling signifikan dalam mensosialisasikan program pemerintah. “Kami telah melihat bagaimana signifikansi peran media massa dalam sosialisasi program ini dimasa Wamenkumham dulu. Tentunya hubungan yang telah dijalin dengan pihak media akan terus kami pelihara agar Direktorat Jenderal Pemasyarakatan juga dapat memanfaatkan hubungan ini dalam mensosialisasikan semua program dan kebijakan yang dikeluarkan” (wawancara NS_Vet 2).
91 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Selain itu, dalam setiap sosialisasi yang ditujukan kepada sasaran internal maupun eksternal harus disajikan dalam bentuk dan isi yang strategis dan signifikan guna meningkatkan efekifitas dari sosialisasi itu sendiri. “Alhamdulillah belakangan ini kami banyak didukung oleh staf yang kreatif dan inovatif dalam memberikan masukan terkait konteks dan konten sosialisasi yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. Terkait dengan koteks pesan, kami akan menampilkan data dalam bentuk grafis yang menarik yang mampu menjelaskan dampak dari program ini selama kurun waktu 2 tahun berjalan ini. sementara itu, terkait dengan konten kami akan menyajikan data dengan bahasa yang lebih “provokatif” untuk menggugah publik sasaran sehingga mau menjalankan program ini dengan landasan kesadaran yang tinggi” (wawancara NS_DP3). Pada tahun 2015 ini, rencananya Direktorat Jenderal Pemasyarakatan akan meningkatkan sosialisasi program dengan membeli ruang iklan di berbagai media elektronik dan cetak. Narasumber NS_DP4 menjelaskan bahwa: “Mulai tahun 2015 Subdit Infokom akan menganggarkan biaya iklan di media massa untuk semakin mengenalkan Pemasyarakatan kemasyarakat. Hal ini dianggap perlu guna menetralisir serangan-serangan negatif terhadap Pemasyarakatan yang selama ini terjadi. Selain itu, iklan di media massa juga diharapkan dapat memudahkan masyarakat juga mengenal institusi Pemasyarakatan beserta layanan yang diberikannya pada masyarakat”. 4.7.3. Rencana Implementasi Program Untuk melaksanakan program ini dengan lebih efektif, Direktorat Infokom selaku direktorat teknis yang bertanggung jawab dengan komunikasi pemerintahan 92 http://digilib.mercubuana.ac.id/
serta data dan informasi akan melaksanakan secara langsung berbagai proses komunikasi program sampai tingkat UPT Pemasyarakatan di seluruh Indonesia dengan metode berjenjang. Penanggung jawab sosialisasi ini adalah Direktur Informasi dan Komunikasi dan Kasubdit Komunikasi sebagai sekretaris. “Sesuai dengan tugas dan fungsinya, saya selaku Direktur Infokom tentu menjadi penanggung jawab setiap sosialisasi program/ kebijakan yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan keseluruh UPT Pemasyarakatan di Indonesia” (wawancara NS_Vet 2). 4.8.Mengevaluasi Program 4.8.1. Rencana Evaluasi Cara yang paling mudah untuk mengukur pencapaian tujuan dan sasaran program dalam rangka evaluasi adalah dengan membuat pemetaan tujuan dan sasaran itu sendiri melalui metode survey kuantitatif. Dalam proses wawancara peneliti dengan narasumber NS_DP4, NS_DP3 dan NS_Vet2 peneliti menjelaskan metode manajemen komunikasi yang disampaikan oleh Cutlip, Center dan Broom sebagaimana yang peneliti gunakan dalam penelitin ini. Melalui proses wawancara tersebut, para narasumber menganggap metode ini memudahkan mereka untuk melakukan prosees evaluasi komunikasi kebijakan yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dan sepakat untuk menggunakanannya. Narasumber NS_DP3 menginginkan kedepan Subdit Komunikasi dapat melakukan analisis media secara lebih rinci, baik media cetak maupun media elektronik. “Dengan menggunakan metode Cutlip, Center dan Broom yang
93 http://digilib.mercubuana.ac.id/
digunakan dalam penelitian Saudara, rasanya juga akan kami gunakan dalam mengevaluasi proses komunikasi kebijakan disini. Untuk mengkonversikan datadata kualitatif yang biasa kami gunakan menjadi data-data kuantitatif mungkin kami membutuhkan bantuan pihak lain. Data-data yang akan diukur terkait dengan perbaikan sarana dan prasarana, masukan dari UPT Lapas/ Rutan dan Cab. Rutan, serta pemberitaan di berbagai media di Indonesia (baik yang negatif maupun yang positif)” (wawancara NS_DP3). Rencananya, mulai tahun 2015 ini akan dilakukan proses evaluasi secara sistematis setiap semester agar memudahkan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dalam memetakan respon publik sasaran terhadap Proksi Pas Getting to Zero Halinar secara khusus maupun program lainnya secara umum. 4.8.2. Umpan Balik dan Penyesuaian Program. Sesuai dengan rencana di tahun 2015 ini, Direktorat Infokom akan melakukan evaluasi secara kuantitatif terhadap proses sosialisasi setiap kebijakan setiap semester yang akan dilaporkan secara berkala ke Direktorat yang terkait (untuk Proksi Pas Getting to Zero Halinar dilaporkan ke Direktorat Bina Keamanan dan Ketertiban) dan juga kepada Direktur Jenderal Pemasyarakatan sebagai tembusan untuk kemudian ditindaklanjuti secara proporsional demi mencapai tujuan kebijakan/ program. Selain itu, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan juga akan meningkatkan komunikasinya kepada publik dengan menganggarkan iklan di media massa guna meningkatkan pengetahuan dan pemahaman masyarakat luas tentang institusi Pemasyarakatan.
94 http://digilib.mercubuana.ac.id/
1.
Penyesuaian Terhadap Sarana Solusi yang bisa diharapkan untuk mengatasi masalah keterbatasan sarana
adalah dengan meningkatkan anggaran yang diajukan setiap tahunnya dalam Rencana Angggaran Kerja Kementerian/ Lembaga (RAK/L). Menurut Narasumber NS_Vet1, “Setiap tahunnya anggaran yang diajukan oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan diupayakan untuk terus ditingkatkan guna memenuhi kebutuhan riil, khususnya bagi petugas di lapangan. Upaya ini memang tidak mudah karena sampai dengan tahun 2014 yang lalu anggaran UPT Pemasyarakatan berada di Sekretariat
Jenderal
Pemasyarakatan,
bukan
di
Direktorat
Jenderal
Pemasyarakatan. SEKRETARIAT JENDERAL KEMENKUMHAM
KANTOR WILAYAH KEMENKUMHAM
DIREKTORAT JENDERAL PEMASYARAKATAN
Keterangan:
garis komando garis koordinasi
KEPALA DIVISI PEMASYARAKATAN
UPT PEMASYARAKATAN
Hal ini merupakan dampak struktur organisasi di Kemenkumham yang bersifat sentralistik yang sering dibahas di tingkat eselon I Kementerian Hukum dan HAM RI. Alhamdulillah mulai tahun 2015 ini ada perubahan yang baik, khususnya dalam
95 http://digilib.mercubuana.ac.id/
bidang penganggaran, di mana anggaran UPT Pemasyarakatan dikelola secara penuh oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan sehingga memudahkan Direktorat Jenderal dalam menyusun, mengawasi dan mengevaluasi kebijakan teknis di bidang pemasyarakatan hingga level UPT” (wawancara NS_Vet1). Selain masalah peningkatan anggaran, mulai tahun ini Direktorat Jenderal Pemasyarakatan juga meningkatkan kerjasama bilateral dengan lembaga Negara lainnya dalam mendukung pelaksanaan teknis Pemasyarakatan. Menurut narasumber NS_Vet2, “Mulai tahun ini kita akan meningkatkan kerjasama dengan beberapa pihak untuk mendukung optimalisasi pelaksanaan tugas pemasyarakatan. Untuk meningkatkan sarana, Direktorat Jenderal Pas bekerjasama dengan TNI dan Polri dalam pengadaan peralatan pengamanan karena kedua lembaga tersebut memiliki kemampuan yang baik dan berkomitmen untuk mendukung kita. Selain itu, kita juga akan membuka kerjasama secara aktif kepada pihak BUMN dalam layanan e-money di UPT Pemasyarakatan guna mereduksi peredaran uang tunai di dalam UPT. Kerjasama semacam ini sangat perlu dilakukan mengingat keterbatan institusi pemasyarakatan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri dan juga sebagai bentuk dukungan terhadap program pemerintah saat ini untuk memaksimalkan potensi nasional secara optimal ” (wawancara NS_Vet2).
96 http://digilib.mercubuana.ac.id/
2.
Penyesuaian Terhadap Prasarana Untuk masalah prasarana, beberapa langkah telah dilakukan oleh Direktorat
Jenderal Pemasyarakatan beberapa waktu belakangan ini. Terobosan yang paling mutakhir dilakukan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan adalah membentuk Rancangan Undang-Undang Badan Pemasyarakatan Nasional (RUU Bapasnas). Sebagaimana dijelaskan oleh narasumber NS_Vet1 sebelumnya, “Langkah yang ini dilakukan karena berdasarkan analisis kami, tantangan di lapangan yang dihadapi oleh Pemasyarakatan tidak mampu dilaksanakan oleh organisasi selevel eselon I. Kami berkaca pada penanganan kasus terorisme dan narkoba. Kedua masalah nasional tersebut ditangani oleh organisasi setingkat kementerian yang bertanggung jawab kepada Presiden RI secara langsung. Kedua lembaga itu
memiliki
kemampuan yang memadai dalam mendukung pelaksnaaan tugas dari sisi sarana maupun prasarana secara mandiri. Dari sisi pelaksanaan tugas, Pemasyarakatan termasuk bagian dari aparat penegak hukum dalam sistem peradilan pidana terpadu yang sejajar dengan Kepolisian, Kejaksaan dan Mahkamah Agung.” (wawancara NS_Vet1). Namun demikian langkah tersebut belum membuahkan hasil yang sesuai harapan. Rencana tersebut berhenti di tengah jalan karena adanya reaksi negatif dari Kemenkumham serta bersamaan dengan suksesi pemerintahan beberapa waktu yang lalu.
97 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Langkah lain yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan adalah membuka peluang kerjasama dengan TNI dalam hal SDM bidang pengamanan di dalam UPT Pemasyarakatan. “Kerjasama dengan TNI dalam peningkatan SDM pengamanan di dalam UPT Pemasyarakatan ini juga atas instruksi Menteri Hukum dan HAM RI karena memang kualitas dan kuantitas SDM pengamanan kita cenderung minim. Kita masih ingat kejadian di salah satu UPT Pemasyarakatan di Yogya (Lapas Cebongan) yang diserbu oknum aparat yang menewaskan WBP didalam. Hal tersebut menjadi salah satu alasan kita untuk bekerjasama dengan TNI” (wawancara NS_Vet2). Kerjasama ini memang dianggap sangat diperlukan karena selama ini pendidikan maupun pelatihan terkait pengamanan masih sangat dibutuhkan oleh petugas.
98 http://digilib.mercubuana.ac.id/