BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Novel Sang Pencerah 1. Latar Belakang Novel Sang Pencerah Sang Pencerah adalah novel kedua yang ditulis oleh Akmal Nasery Basral berdasarkan skenario film setelah novel Nagabonar Jadi 2 (2007). Novel Sang Pencerah merupakan novel adaptasi dari sebuah film yang juga berjudul Sang Pencerah yang disutradarai oleh Hanung Bramantyo dan di rilis pada tahun 2010. Novel tersebut diterbitkan atas kerjasama dengan MVP Pictures dan didistribusikan oleh Mizan Media Utama (MMU) Bandung. Bagi Akmal (penulis novel), nama Kiai Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah memiliki pengaruh tersendiri dalam kehidupannya, karena Akmal menamatkan pendidikan dasar di SD Muhammadiyah VI Tebet Timur, Jakarta Selatan. Karena itu, penulisan novel ini membawa Akmal kembali pada
pengalaman
masa
kecil
ketika
hidup
dalam
suasana
Kemuhammadiyahan (Basral, 2010: xiii - xiv). Novel ini tercipta berkat keinginan besar dan kegigihan Akmal Nasery Basral untuk menovelisasikan kisah hidup K.H. Ahmad Dahlan dalam berdakwah dan mendirikan organisasi Muhammadiyah. Novelisasi kehidupan K.H. Ahmad Dahlan dan perjuangannya dalam mendirikan organisasi Muhammadiyah ditulis dan dikemas oleh Akmal dengan cukup menarik. Berbeda dengan kebiasaan novelisasi skenario para
penulis lain yang umumnya hanya sekedar memindahmediakan format skenario ke dalam bentuk novel, Akmal melakukan pendalaman materi skenario dengan memperkaya bahan penulisan, serta mengubah sudut pandang penceritaan dari mata sang tokoh protagonis, sehingga hasilnya adalah sebuah novel yang melengkapi kisah film, bukan mengulangi apa yang sudah dilihat oleh penonton (Basral, 2010: 459). Kisah K.H. Ahmad Dahlan yang ditulis oleh Akmal dalam novel Sang Pencerah mengambil sudut pandang tokoh utama. Tokoh “aku” dalam novel ini menceritakan kehidupan K.H. Ahmad Dahlan sejak kecil, remaja, hingga dewasa. Kehidupan K.H. Ahmad Dahlan yang dikemas dalam novel ini mampu menyajikan aspek aspek dari segi kehidupan, seperti aspek dari segi keagamaan yang menjadi topik utama dalam novel ini, dari segi sosial, segi politik, pendidikan, dan masih banyak lagi. Cerita dalam novel ini pun tidak luput sedikitpun dari sudut kehidupan sosok K.H. Ahmad Dahlan yang selalu menghadirkan nilai - nilai positif dari perjalanan hidupnya dan kehidupan orang – orang atau tokoh yang berperan penting dalam mendukung cerita yang terdapat dalam novel. Novel ini mampu menghadirkan sosok K.H. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, seorang yang sedikit bicara tetapi kaya gagasan, teguh hidup sederhana tetapi mampu mengembangkan amal yang mengubah dunia, suka berdebat tetapi hangat bersahabat. Dengan gaya bahasa yang mengalir, novel ini menuntun pembaca menapaki jalan terang kehidupan tanpa harus
menggurui (Basral, 2010: i). Sosok K.H. Ahmad Dahlan dalam novel ini juga dikenal dengan sosok yang arif, bijaksana, dan rendah hati terhadap semua orang dan semua kalangan. Kisah – kisah dan bahkan anekdot – anekdot hidup Ahmad Dahlan masih menjadi referensi simbolik bagi sebagian warga Muhammadiyah dalam menarasikan dan menerjemahkan ulang gerakan modernisme Islam di Indonesia. Akmal bukan saja berani membingkai perjalanan kisah hidup Ahmad Dahlan secara lebih realistis, tetapi juga menawarkan referensi bagi generasi baru bahwa sebuah gagasan besar haruslah diekspresikan secara serius dan ulet, bahkan melalui hal – hal yang kecil (Basral, 2010: iii). Banyak tokoh lahir menjadi cermin bagi yang lain, dalam berpikir, berucap, dan bertindak. K.H. Ahmad Dahlan adalah salah satu dari cermin yang dimiliki negeri ini, bagi generasinya dan bagi kita para penerusnya (Basral, 2010: ii). Makna positif yang mesti dilihat dari novel ini adalah perannya dalam dua hal, pertama, memindahkan Ahmad Dahlan dari dunia mitos dan akademik ke dunia nyata dan populer di tengah masyarakat. Kedua, menghidupkan kembali ghirah warga Muhammadiyah untuk mengkaji pendiri organisasi dan ajarannya. 2. Karakter Tokoh dalam Novel Sang Pencerah Karakter merupakan ciri khas yang dimiliki oleh suatu benda atau individu. Ciri khas tersebut yang mengakar pada suatu benda atau individu yang menentukan baik buruknya suatu benda atau individu tersebut. Begitu
juga pada sebuah karya fiksi seperti novel atau cerpen. Pada dasarnya, sebuah cerita akan menarik apabila karakter yang dimiliki dari suatu tokoh berbeda – beda (Tarigan, 2015: 73). Para pembaca fiksi sudah tentu ingin mengenal, mengetahui, rupa atau watak para tokoh cerita. Oleh karena itu, sang pengarang harus dapat melukiskan rupa, pribadi atau watak para tokoh; sang pengarang harus dapat melukiskan rupa, pribadi atau watak para tokoh; sang pengarang harus dapat membuat pelukisan tokoh atau character delineation dengan sebaik – baiknya. (Tarigan, 2015: 133) Apabila dilihat dari karakter tokoh dalam karya fiksi, terdapat beberapa karakter tokoh yang menentukan watak dari tokoh tersbut. Karakter tokoh diantaranya ada yang memiliki karakter protagonis, antagonis, dan tritagonis. Protagonis biasanya diperankan oleh tokoh utama, dan karakter yang dimiliki dari sang tokoh tersebut adalah sifat atau watak yang baik. Tokoh protagonis dalam sebuah karya fiksi seperti novel biasanya diceritakan dari awal cerita sampai di penghujung cerita. Sedangkan pada tokoh antagonis, biasanya diperankan oleh tokoh kedua atau yang bertolak belakang langsung dengan tokoh protagonis, karena tokoh ini biasanya diperankan oleh tokoh yang memiliki karakter jahat atau tidak pernah sependapat oleh tokoh protagonis. Tokoh tritagonis merupakan tokoh penengah, ciri dari karakter tokoh ini yaitu menjadi pemisah atau penengah antara tokoh protagonis dan antagonis yang biasanya disebabkan karena adanya konflik dalam kehidupan yang menyangkut tokoh – tokoh tersebut.
Setiap novel pasti memperlihatkan bagaimana karakter manusia terbangun dan tercipta oleh keadaan. Dengan adanya karakter dari setiap tokoh novel, diharapkan pembaca dapat mengikuti dan merasakan setiap alur adegan dalam novel tersebut. Tokoh yang terdapat dalam novel Sang Pencerah antara lain adalah: a). K.H. Ahmad Dahlan Sebelumnya adalah Muhammad Darwis, setelah Ia pergi menuntut ilmu di Mekah selama lima tahun kemudian pulang ke Indonesia, Ia mengganti namanya menjadi Ahmad Dahlan. Ahmad Dahlan kecil pun dikenal oleh masyarakat kraton kasultanan ngayogyakarta hadiningrat sebagai seorang yang arif, bijaksana, dan memiliki rasa ingintahu yang tinggi, terutama dalam bidang keagamaan. Begitu juga dengan Ahmad Dahlan setelah kembalinya dari mekah, beliau pun memiliki bekal ilmu yang sangat banyak mengenai ilmu Agama, sehingga beliau menjadi dakwah di Yogyakarta, khususnya di Kauman tempat beliau tinggal. Beliau merupakan anak dari K.H. Abu Bakar dan Nyai Siti Walidah. Istri dari K.H. Ahmad Dahlan adalah Siti Walidah, yaitu anak dari Kiai dan Nyai Fadlil yang merupakan paman dan bibi dari beliau. Pada saat K.H. Ahmad Dahlan berumur 22 tahun, beliau memiliki satu orang anak yang diberi nama Siti Johanah binti Ahmad Dahlan, kemudian di umur yang sama, sosok ibu yang selama ini dibangga – banggakan oleh
beliau
dipanggil
oleh
sang
Khaliq.
Berpulangnya
Siti
Aminah
meninggalkan beliau dan yang lain selama – lamanya menyebabkan kedukaan yang amat mendalam bagi masyarakatnya. Tapi hal tersebut tidak membuat K.H. Ahmad Dahlan larut dalam kesedihan dan kedukaan yang mendalam, beliau tetap semangat menjalani hari – harinya bersama istri dan buah hatinya. Karakter tokoh dari sosok K.H. Ahmad Dahlan adalah karakter tokoh protagonis atau karakter tokoh yang dimiliki oleh peran/tokoh utama. Karakter ini adalah penyabar, baik, dan memiliki jiwa sosial yang tinggi (Basral, 2010: 20). b). K.H. Abu Bakar K.H. Abu Bakar adalah ayah dari K.H. Ahmad Dahlan yang merupakan istri dari Nyai Siti Walidah. Beliau merupakan pemuka agama yang memiliki karakter jiwa sosial yang tinggi, penyabar, rendah hati, dan mau berbagi dengan siapapun. Beliau merupakan keturunan ke sepuluh dari Syaikh Maulana Malik Ibrahim yang merupakan salah satu wali yang mendakwahkan Agama Islam di pulau Jawa. Syaikh Maulana Malik Ibrahim merupakan salah satu anggota dari WaliSongo. K.H. Abu Bakar juga adalah Imam Masjid Gedhe Kraton, beliau merupakan orang yang disegani dan dihormati oleh warga Kauman dan Kraton selain Sultan Hamengkubuwono (Basral, 2010: 29). c). Siti Aminah
Siti Aminah atau Nyai Abdullah merupakan istri dari K.H. Abu Bakar yang juga ibu dari K.H. Ahmad Dahlan. Beliau adalah putri dari Kiai Haji Ibrahim, seorang penghulu Kasultanan yang cukup terpandang. Anak dari pernikahan Siti Amanah dan K.H. Abu Bakar adalah tujuh, yaitu lima anak perempuan, dan dua orang anak laki – laki termasuk K.H. Ahmad Dahlan. Karakter dari Siti Aminah ibu K.H. Ahmad Dahlan ini adalah penyabar, penyayang, terutama kepada anak – anaknya seperti K.H. Ahmad Dahlan (Basral, 2010: 33). d). Siti Walidah Siti Walidah merupakan istri K.H. Ahmad Dahlan yang juga anak dari Kiai dan Nyai Fadlil. Siti Walidah dikenal sebagai seorang yang baik hati dan memiliki paras yang indah, sehingga banyak warga Kauman yang ingin menjadikannya sebagai menantunya. Tetapi orang tua Siti Walidah dan orang tua K.H. Ahmad Dahlan sudah merencanakan akan menjodohkan mereka sejak kecil, sampai akhirnya mereka menikah di umur yang relatif muda. Ia menikah dengan K.H. Ahmad Dahlan pada umur 17 tahun, dan saat itu K.H. Ahmad Dahlan berumur 21 tahun. Mereka dikaruniai 7 anak yang masing – masing diberi nama Johanah binti Ahmad Dahlan, Siradj Dahlan bin Ahmad Dahlan, Siti Busyro binti Ahmad Dahlan, Irfan Dahlan bin Ahmad Dahlan, Siti Aisyah binti Ahmad Dahlan, Siti Zaharah binti
Ahmad Dahlan, dan yang terakhir adalah Dandanah binti Ahmad Dahlan (Basral, 2010: 43).
e). Muhammad Fadlil Muhammad Fadlil yang biasa dipanggil Kiai Fadlil merupakan ayah dari Siti Walidah, istri K.H. Ahmad Dahlan. Beliau adalah Kiai yang juga dikenal sebagai pedagang kain batik. Beliau adalah seorang yang ramah, baik hati, dan tidak mudah marah, Beliau juga cukup disegani dan dihormati oleh warga – warga Kauman karena beliau seorang pemuka agama seperti K.H. Abu Bakar ayah dari K.H. Ahmad Dahlan (Basral, 2010: 51). f). Nyai Fadlil Nyai Fadlil merupakan Ibu dari Siti Walidah yang juga istri dari Muhammad Fadlil atau yang biasa dipanggil Kiai Fadlil. Beliau adalah seorang yang teguh dalam menekuni dagangannya dengan membantu sang suami Kiai Fadlil dalam berdagang Kain batik di pasar Beringharjo (Basral, 2010: 56). g). Pono Pono adalah sahabat K.H. Ahmad Dahlan sejak kecil. Mereka adalah dua sejoli yang apabila bermain selalu bersama. Pono dikenal sebagai sosok yang dermawan, baik hati, dan suka menolong. Ayahnya
meninggal sejak Ia masih berumur kurang lebih 10 tahun (Basral, 2010: 45). h). Ibu Pono Ibu Pono adalah ibu dari Pono, sahabat dari K.H. Ahmad Dahlan. Beliau dan Pono merupakan keluarga yang sederhana, dalam artian tidak semua keinginan yang diinginkan dapat terwujud dengan baik, karena pada saat yasinan Pak Poniman, suami dari ibu pono, beliau meminjam uang untuk mengadakan acara yasinan 40 harinya Pak Poniman, ayah dari Pono. Ibu Pono merupakan seorang yang sederhana, dan ramah serta mudah bergaul dengan siapapun (Basral, 2010: 48). i). Mas Noor Mas Noor merupakan kakak ipar dari K.H. Ahmad Dahlan yang juga seorang Kiai. Digambarkan sebagai sosok yang memiliki banyak pengetahuan tentang ilmu Agama, tetapi tidak sombong terhadap ilmu yang dimilikinya (Basral, 2010: 71). j). Mas Saleh Mas Saleh adalah kakak ipar dari K.H. Ahmad Dahlan, beliau merupakan seorang Kiai dan juga pernah belajar di Makkah seperti adik iparnya, K.H. Ahmad Dahlan. Beliau digambarkan sebagai sosok yang rendah hati, mau berbagi tentang pengalamannya belajar di Makkah kepada K.H. Ahmad Dahlan yang juga akan menunaikan kewajibannya menuntut ilmu di Makkah (Basral, 2010: 78).
k). Mas Muhsin Mas Muhsin adalah kakak ipar dari K.H. Ahmad Dahlan yang juga seorang Kiai. Beliau digambarkan sebagai seorang yang penurut terlebih terhadap seorang yang lebih tua darinya (Basral, 2010: 81).
l). Kiai Sholeh Darat Kiai Sholeh Darat merupakan seorang Ulama besar yang memiliki Pondok Pesantren di daerah Semarang. Kiai sholeh darat adalah salah satu guru dari K.H. Abu Bakar, ayah dari K.H. Ahmad Dahlan. (Basral, 2010: 90). m). Kiai Haji Kamaludiningrat Kiai Haji Kamaludiningrat adalah seorang guru ngaji di Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta. Beliau memiliki sifat yang tegas untuk urusan membaca Al – Qur‟an, karena itu murid – murid beliau selalu terdengar keras apabila sedang melantunkan ayat – ayat suci Al – Qur‟an, karena apabila suara mereka melunak sebentar saja, maka Kiai akan tahu siapa pemilik suara yang terlihat sedang tidak bersemangat (Basral, 2010: 103). n). Syaikh Abdul Kahar Syaikh Abdul Kahar adalah teman dari K.H. Abu Bakar, ayah dari K.H. Ahmad Dahlan. Beliau tinggal di kampung Jawa. K.H. Ahmad Dahlan juga sempat tinggal selama lima hari di rumah Syaikh Abdul Kahar
sebelum keberangkatannya ke Jeddah, Mekah. Beliau digambarkan sebagai seorang yang suka menolong dan baik hati (Basral, 2010: 112). o). Sri Sultan Hamengkubuwono VII Nama asli dari Sri Sultan Hamengkubuwono VII adalah Gusti Raden Mas Murtejo, merupakan putra tertua Sultan Hamengkubuwono VI yang lahir pada tanggal 4 Februari 1839. Ia naik tahta menggantikan ayahnya pada tanggal 13 Agustus 1877. Ia merupakan seorang yang bijaksana karena pada masa pemerintahannya banyak didirikan pabrik gula di Yogyakarta, yang seluruhnya berjumlah 17 pabrik. Selain itu, beliau juga telah memerintah K.H. Ahmad Dahlan untuk kembali berhaji dan menimba ilmu di Mekah, dan dari pihak Kraton akan membiayai (Basral, 2010: 120). p). Syaikh Abdul Ghaniy Syaikh Abdul Ghaniy merupakan guru dari K.H. Ahmad Dahlan selama beliau menuntut ilmu dan sekaligus berhaji di Makkah. Syaikh Abdul Ghaniy merupakan Ulama besar yang baik hati, karena beliau juga yang mengantar K.H. Ahmad Dahlan ke tempat peristirahatan selama di Makkah (Basral, 2010: 128). q). Syaikh Khayat dan Kiai Mahfudz Syaikh Khayat dan Kiai Mahfudz adalah guru dari K.H. Ahmad Dahlan selama beliau belajar dan menuntut ilmu di Makkah. Syaikh
Khayat dan Kiai Mahfudz merupakan Ulama yang rendah hati dan mau berbagi, terutama berbagai dalam ilmu agama, oleh karenanya K.H. Ahmad Dahlan sangat senang bertemu dan menuntut ilmu dengan mereka di Makkah pada waktu itu (Basral, 2010: 136). r). Daniel, Jazuli, Hisyam, dan Muhammad Sangidu Daniel, Jazuli, Hisyam, dan Muhammad Sangidu adalah empat murid K.H. Ahmad Dahlan saat beliau mulai mengajar pengajian di langgar kidul Kauman. Berbeda dengan Daniel, Jazuli, dan Hisyam, Muhammad Sangidu merupakan adik tiri dari K.H. Ahmad Dahlan, yaitu anak dari ibu tiri beliau, atau istri kedua K.H. Abu Bakar setelah istri pertamanya Siti Aminah meninggal. Mereka berempat merupakan murid yang penurut dengan K.H. Ahmad Dahlan. Mereka merasa mendapatkan pengetahuan yang berbeda dari K.H Ahmad Dahlan, karena beliau mengajar mereka dengan metode yang sebelumnya belum pernah diterapkan di Kauman. Mereka pun menerimanya dengan senang hati (Basral, 2010: 87). s). Dirjo, Tejo, Sadikun, Misbah Tejo, Sadikun, dan Misbah merupakan teman dari Dirjo, keponakan dari Kiai penghulu Kamaludiningrat. Dirjo bersama teman – temannya digambarkan sebagai sosok pemberani, karena mereka telah membuat geger di Masjid Gedhe, karena telah membuat shaf baru sebagai arah kiblat shalat di Masjid Gedhe. Mereka menggaris shaf di Masjid Gedhe tanpa
sepengetahuan siapapun. Mereka mendengar bahwa Kiai Dahlan telah berasumsi bahwa shaf yang ada di Masjid Gedhe masih kurang tepat, karena menurut Kiai Dahlan shaf yang tepat adalah 45 derajat mengarah ke barat laut, oleh karena itu mereka menggaris shaf baru dengan kapur di atas lantai Masjid Gedhe dengan alasan bahwa mereka ingin menegakkan kebenaran (Basral, 2010: 189).
t). Jono Jono adalah seorang marbut Masjid Gedhe. Marbut merupakan penjaga dan pengurus Masjid. Jadi Jono merupakan penjaga dan pengurus Masjid Gedhe. Ia dikenal oleh murid – murid pengajian Kiai Dahlan seperti Daniel, Hisyam, dan Sangidu sebagai seorang yang sombong karena apabila bertemu mereka Jono selalu buang muka,tetapi Ia selalu taat perintah dan patuh terhadap Kiai Kamaludiningrat (Basral, 2010: 200). u). Nyai Saleh Nyai Saleh adalah istri dari Kiai Saleh, yang juga merupakan saudara perempuan dari K.H. Ahmad Dahlan. Beliau adalah seorang yang peduli dan perhatian terhadap adik kandung dan adik iparnya yang sekaligus sepupunya, yaitu Siti Walidah. Beliau juga yang membujuk Kiai Dahlan dan istrinya Siti Walidah ketika mereka akan pergi ke Semarang
untuk meninggalkan Kauman sementara paska peristiwa penghancuran secara paksa Langgar kidul milik Kiai Dahlan (Basral, 2010: 230). v). Kiai Ibrahim Kiai Ibrahim adalah kakek dari Kiai Dahlan dan Siti walidah yang juga merupakan ayah dari Siti Aminah dan Kiai Fadlil. Beliau merupakan seorang yang suka menolong, karena beliau ikut menyumbangkan dana untuk rencana pembangunan Langgar kidul yang sudah luluh lantak akibat ulah santri dari Kiai Kamaludiningrat (Basral, 2010: 245). w). Bakker Bakker adalah seorang pendeta asal Belanda yang diberi tawaran diskusi oleh Kiai Dahlan bahwa Kiai Dahlan meminta Pendeta Bakker untuk berpindah Agama Islam apabila ajaran Islam adalah ajaran yang paling benar, sedangkan Kiai Dahlan juga berjanji bahwa Ia akan berpindah Agama Kristen apabila Ajaran Kristen adalah ajaran yang paling benar. Pendeta Bakker lalu mempertimbangkan tawaran tersebut sebelum akhirnya kembali ke Belanda (Basral, 2010: 310). x). Johanah Johanah adalah anak pertama sekaligus putri pertama Kiai Dahlan dan Siti Walidah. Ia merupakan seorang yang penyayang terhadap adiknya, Siraj dan kedua orang tuanya, Kiai Dahlan dan Siti Walidah (Basral, 2010: 50). y). Siraj
Siraj adalah anak kedua sekaligus putra pertama dari Kiai Dahlan dan Siti Walidah. Ia merupakan seorang yang penurut terhadap kedua orang tuanya Kiai Dahlan dan Siti Walidah, juga kepada kakaknya, Johanah (Basral, 2010: 60). z). Syaikh Rasyid Ridha Syaikh Rasyid Ridha merupakan seorang yang ahli ibadah dan sudah berusia 39 tahun. Beliau merupakan murid dari Syaikh Jamaludin Al - Afghani dan Syaikh Muhammad Abduh. Beliau adalah seorang ulama yang berpengetahuan tinggi, bersikap kritis, dan memiliki ketegasan yang tinggi (Basral, 2010: 298). 3. Sinopsis Novel Sang Pencerah Muhammad Darwis lahir pada tanggal 1 Agustus 1868 di Yogyakarta. Ia merupakan anak keempat dari tujuh orang bersaudara yang keseluruhan saudaranya adalah perempuan, kecuali adik bungsunya, yang bernama Muhammad Sangiudi. Pada umur 15 tahun Ia pergi berhaji dan sekaligus menuntut ilmu di Makkah selama 5 tahun. Sepulang dari Makkah Ia menikah dengan Siti Walidah yang juga anak pamannya, yaitu Kiai Fadlil dan Nyai Fadlil. Ia juga mendakwahkan ilmunya yang Ia dapat dari Makkah seperti ilmu Falaq, ilmu Hadis, dan ilmu Qira’at yang Ia ajarkan di mushola dekat rumahnya yang biasa disebut sebagai langgar kidul. Muhammad Darwis, tokoh utama dalam cerita ini, adalah nama sebenarnya dari K.H. Ahmad Dahlan. Ia lahir dan tumbuh dari keluarga biasa
dan menjadi seseorang yang luar biasa. Ia menjadi pionir yang menggagas pemikiran bahwa Islam itu mudah dan membebaskan, bukan Agama yang menyulitkan seperti yang dianut di Jawa kuno pada saat itu. Spirit keagamaan tokoh Darwis ini berpadu manis dengan jiwa nasionalisme yang ada di dalam dirinya. Dalam mendakwahkan ilmunya, Kiai Dahlan mendapat banyak rintangan, karena beliau sempat mengajarkan ilmu Agama kepada empat orang muridnya, yang salah satunya merupakan adik beliau, dengan menggunakan alat musik biola. Hal tersebut mengundang keanehan bagi warga Kauman yang saat itu belum atau masih awam terhadap alat musik, karena menurut mereka alat musik adalah buatan orang kafir. Mereka pun secara terang – terangan mengatakan bahwa Kiai Dahlan merupakan Kiai Kafir. Namun sosok Kiai Dahlan yang penyabar, beliau tidak seketika itu juga menggunakan amarahnya untuk memarahi warga Kauman atau menegur mereka, tetapi justru beliau bersabar dengan tidak mengindahkan omongan warga Kauman mengenai Kiai kafir tersebut. Di Makkah, Kiai Dahlan belajar ilmu Falaq atau biasa disebut dengan ilmu perbintangan. Dari ilmu Falaq tersebut, Kiai Dahlan mencoba meluruskan arah kiblat pada waktu itu di Masjid Gedhe Kauman yang kurang tepat arah kiblatnya. Kiai Dahlan mencoba melakukan diskusi dengan para Kiai dari Kauman dan juga Kiai dari beberapa daerah di luar Yogyakarta. Setelah diskusi selesai dengan kurang memuaskan di hati Kiai Dahlan, karena
para Kiai tersebut kurang setuju dengan usul dari Kiai Dahlan, maka pada keesokan harinya di lantai Masjid Gedhe tersirat garis yang mengarah pada arah kiblat yang diusulkan oleh Kiai Dahlan. Seketika itu juga Kiai Penghulu Kamaludiningrat terlihat marah karena hal tersebut dianggap telah meremehkan Ngarsa Dalem dan dianggap telah menodai kesucian Masjid Gedhe. Seiring dengan peristiwa yang terjadi di Masjid Gedhe Kauman, Kiai Penghulu Kamaludiningrat memerintah Kiai Dahlan agar supaya Kiai Dahlan menutup langgar kidul miliknya. Hal tersebut karena pada saat bulan Ramadhan, shalat tarawih yang terjadi di Masjid Gedhe lebih sedikit dibandingkan dengan di langgar kidul milik Kiai Dahlan. Para jamaah Masjid Gedhe yang biasanya melaksanakan shalat disana telah berpindah menjadi jamaah langgar kidul karena jumlah rakaat shalat tarawih yang ditetapkan oleh Kiai Dahlan di langgarnya lebih sedikit, yaitu berjumlah 11 rakaat, sedangkan di Masjid Gedhe berjumlah 23 rakaat. Kiai Dahlan tetap bersikeras untuk
tidak
menutup
langgar
miliknya,
meskipun
Kiai
Penghulu
Kamaludiningrat telah memerintahnya sebanyak tiga kali untuk menutup langgar tersebut dengan surat – surat yang telah diantarkan oleh marbut Masjid Gedhe. Setelah kegigihan Kiai Dahlan untuk tetap tidak menutup langgar kidul miliknya meskipun Kiai Penghulu Kamaludiningrat telah menyuruhnya berulang kali, musibah pun datang dengan tidak disangka – sangka oleh Kiai
Dahlan maupun keluarganya dan murid – muridnya yang saat itu sedang tadarusan di langgar kidul. Tiba – tiba saja orang – orang suruhan Kiai Kamaludiningrat datang dan menanyakan keberadaan Kiai Dahlan, setelah diketahui bahwa Kiai Dahlan tidak ada di langgar tersebut mereka pun memaksa murid – murid Kiai Dahlan yang sedang tadarusan untuk pergi dari langgar karena mereka ingin memaksa untuk merobohkan langgar kidul yang merupakan tempat Kiai Dahlan dan murid – muridnya mengadakan pengajian. Akhirnya langgar tersebut dirobohkan secara paksa oleh orang – orang suruhan Kiai Penghulu Kamaludiningrat tanpa Kiai Dahlan menyaksikan langsung peristiwa miris yang dialaminya tersebut, karena Kiai Dahlan berada di rumah Kiai Fadlil yang merupakan mertua sekaligus paman beliau untuk menenangkan pikirannya akibat ulah orang – orang suruhan Kiai Penghulu Kamaludiningrat yang tidak tahu belas kasih tersebut membongkar paksa langgar yang selama ini menjadi sarana prasarana Kiai Dahlan untuk memberi ilmu pendidikan tentang Agama kepada murid – muridnya. Setelah berbagai cobaan di alami oleh Kiai Dahlan, maka beliau pun memutuskan untuk meninggalkan Kauman tanpa sepengetahuan warga Kauman maupun saudaranya, kecuali keluarga beliau sendiri sudah mengetahui mengenai rencana beliau untuk meninggalkan Kauman. Kiai Dahlan sengaja merahasiakan hal tersebut, karena beliau khawatir akan tidak diijinkan apabila beliau memberitahu mengenai rencana keberangkatannya ke Semarang. Ketika beliau sudah di dalam gerbong kereta yang akan
membawanya ke Semarang, tiba – tiba Kiai Saleh dan Nyai Saleh datang untuk menjemput mereka kembali pulang. Hal tersebut terjadi karena Kiai Saleh dan Nyai Saleh mendatangi rumah Kiai Dahlan dan ternyata Kiai Dahlan dan keluarganya tidak ada di rumah, kemudian membawa kecurigaan Kiai Saleh dan Nyai Saleh terhadap Kiai Dahlan dan keluarganya bahwa mereka akan pergi meninggalkan Kauman. Setelah bertemu di kereta, Kiai Saleh dan Nyai Saleh membujuk adiknya Kiai Dahlan dan Siti Walidah untuk kembali ke Kauman, kemudian Kiai Saleh berkata bahwa beliau akan membantu untuk pembangunan kembali langgar kidul milik Kiai Dahlan yang sudah hancur akibat ulah orang – orang suruhan Kiai Penghulu Kamaludiningrat. Akhirnya, setelah Kiai Saleh berkata akan membantu pembangunan langgar kidul kembali milik adiknya Kiai Dahlan, akhirnya beliau pun memutuskan untuk kembali ke Kauman dan membatalkan kepergiannya ke Semarang. Pembangunan kembali langgar kidul milik Kiai Dahlan dilakukan oleh murid – murid beliau dengan penuh semangat yang tinggi. Dibantu juga dengan pemuda – pemuda suruhan mas Saleh agar pembangunan tersebut cepat selesai. Setelah berminggu – minggu dibangun dengan jeri payah, akhirnya langgar kidul pun kini berdiri kembali. Setelah langgar tersebut kembali beridiri, Kiai Dahlan dan para murid – muridnya pun langsung menggunakannya untuk pengajian, kegiatan yang biasanya dilakukan oleh
Kiai dan murid – muridnya sebelum langgar kidul tersebut dirobohkan secara paksa. Paska peristiwa yang sudah dialami Kiai Dahlan di langgarnya dan tuduhan yang diberikan oleh warga kampung Kauman, beliau pun memutuskan untuk melepas jabatannya sebagai tibamin (khatib amin) Masjid Gedhe. Setelah jabatan tibamin tersebut lengser dari posisi Kiai Dahlan, pada tahun 1904 Sri Sultan Hamengkubuwono VII memerintah atau meminta Kiai Dahlan untuk kembali ke Makkah menunaikan ibadah Haji, dan Kraton akan menanggung semua biaya pemberangkatan hingga beliau pulang ke tanah air. Mendengar hal tersebut, Kiai Dahlan pun merasa bahagia. Akhirnya beliau pun berangkat ke tanah suci dengan putra keduanya, yaitu Siraj Dahlan yang saat itu masih berusia enam tahun. Sepulang dari tanah suci, Kiai Dahlan bergabung dengan organisasi Budi Utomo yang didirikan oleh Dr. Wahidin Sudirohusodo. Setelah Kiai Dahlan bergabung dan mencoba mendalami organisasi Budi Utomo, beliau pun tertarik untuk mendirikan suatu organisasi yaitu organisasi perkumpulan Islam yang sedang direncanakan oleh beliau. Di langgar kidul milik Kiai Dahlan, beliau mendirikan Madrasah Ibtidaiyah Diniyah yang saat itu sarana prasarananya menyerupai sekolah Belanda sehingga mengundang perhatian para warga Kauman bahwa Kiai Dahlan dianggap sudah gila pada mereka. Tetapi hal tersebut tidak menyurutkan semangat Kiai Dahlan untuk terus berjuang mempertahankan
Madrasah Ibtidaiyah Diniyah agar tetap berdiri dengan sarana prasarana seperti sekolah Belanda dengan meja dan kursi yang menjadi sarana belajarnya meskipun sudah dianggap para warga Kauman bahwa Kiai Dahlan merupakan Kiai Kafir, karena sudah menyerupai orang – orang belanda yang kafir dalam memberikan pendidikan kepada murid – muridnya di Kauman. Meskipun begitu, tidak menyurutkan para semangat murid – murid Kiai Dahlan yang sejak awal selalu setia menemani beliau, yaitu Fahrudin, Sudja, Hisyam, Dirjo, dan Sangidu yang merupakan adik tiri Kiai Dahlan. Tiba – tiba Kiai Dahlan teringat akan organisasi Islam yang akan didirikannya, mengenai perkumpulan Islam yang saat itu beliau masih bingung untuk memberikan nama untuk perkumpulan Islam yang akan didirikannya. Akhirnya beliau pun memutuskan untuk mengadakan diskusi dengan murid – murid setianya, yaitu Hisyam, Fahrudin, Sudja, Sangidu. Setelah diskusi berjalan dengan baik, akhirnya pun nama dari perkumpulan Islam yang akan dibentuk tersebut mendapatkan ide dari adik tiri Kiai Dahlan, yaitu Muhammad Sangidu. Ia mencetuskan nama dari perkumpulan Islam dengan nama “Muhammadiyah” yang artinya pengikut Nabi Muhammad SAW. Ide Sangidu pun mendapat respon positif dari murid – murid Kiai Dahlan yang lain termasuk Kiai Dahlan sendiri. Setelah nama Muhammadiyah disetujui oleh organisasi Budi Utomo, akhirnya Kiai Dahlan pun menemui Sri Sultan Hamengkubuwono VII untuk meminta
persetujuan
bahwa
akan
didirikannya
perkumpulan
Islam
Muhammadiyah. Sri Sultan pun akhirnya mengizinkan perkumpulan Islam Muhammadiyah tersebut beridiri, tetapi karena hal tersebut berkaitan dengan Agama Islam, maka Sri Sultan pun memerintahkan Patih ndalem untuk menyampaikan permohonan izin itu kepada Kiai Penghulu Kamaludiningrat. Mendengar hal tersebut, Kiai Penghulu Kamaludiningrat bergegas untuk memberitahu anggota – anggota beliau yang rata – rata merupakan khatib amin Masjid Gedhe Kauman. Rapat pun dimulai di Pendopo Pengulon. setelah rapat selesai, keputusan Kiai Penghulu Kamaludinigrat adalah tidak mengizinkan perkumpulan Islam Muhammadiyah tersebut berdiri, akhirnya para pengikut yang sudah menandatangani surat persetujuan untuk bergabung dalam perkumpulan Islam Muhammadiyah itu pun membatalkannya. Keputusan yang diberikan oleh Kiai Penghulu Kamaludinigrat bukanlah keputusan terakhir beliau, karena setelah diteliti lagi, ternyata beliau salah dalam membaca antara kata “resident” dengan kata “president”, setelah beliau mengetahui kesalahannya dalam membaca tersebut akhirnya beliau pun memutuskan untuk menyetujui perkumpulan Islam itu berdiri dan berdamai dengan Kiai Dahlan yang sebelumnya ada konflik mengenai ajaran Kiai Dahlan yang dianggap sudah melenceng dari ajaran Islam di Kauman yang seperti diajarkan oleh Kiai Penghulu Kamaludiningrat. Setelah segala peristiwa yang dialami oleh Kiai Dahlan baik suka maupun duka terlalui, akhirnya Perkumpulan Islam Muhammadiyah pun diresmikan oleh Kiai Dahlan pada 12 November 1912.
4. Kritik terhadap novel Sang Pencerah Novel Sang Pencerah merupakan novel inspirasi dari sosok perjuangan Kiai Ahmad Dahlan dalam mendirikan Muhammadiyah. Sejauh ini belum banyak novel – novel yang isinya dapat membuat pembacanya merasakan banyak kebermanfaatan yang di dapat dari Ia membaca sebuah novel. Novel ini seolah – olah dapat membawa pembacanya kembali ke jaman dimana negara Indonesia belum merdeka, yang saat itu masih dikuasai oleh Pemerintah Hindia Belanda, khususnya di pulau Jawa. Apalagi dibalik itu terdapat sosok yang dapat menginspirasi seperti Kiai Ahmad Dahlan, sosok yang saat itu dapat membimbing, mendidik, dan mengayomi masyarakat Yogyakarta dibalik kesulitan dan penderitaan masyarakat pada saat itu. Novel ini pun mendapat respon positif dari banyak kalangan, seperti sutradara film Sang Pencerah, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Sekretaris Pimpinan Pusat Muhammadiyah, dan masih banyak lagi. Dibalik respon positif tersebut, masih terdapat kekurangan dan juga kelebihan di dalam novel Sang Pencerah karya Akmal Nasery Basral ini, kekurangan dan kelebihan itu adalah Kekurangan dari novel Sang Pencerah ini yaitu novel ini diterbitkan setelah film sudah ditayangkan. Novel ini menjadi terbatas dalam eksplorasi cerita. Seandainya novel ini hadir terlebih dahulu maka alur ceritanya mungkin akan lebih menarik, karena penulis akan lebih bebas untuk berimajinasi. Penulis harus mengikuti alur yang skenarionya sudah ada dan
ditambahi fakta, kemudian didramatisasi.
Tema yang ditampilkan juga
terbatas tentang K.H. Ahmad Dahlan saja, padahal sebenarnya santri – santri K.H. Ahmad Dahlan masih bisa dieksplorasi, namun tidak mungkin. Pembaca lebih mudah menduga ending cerita. Ending ceritanya adalah berdirinya Muhammadiyah. Curiosity adalah faktor penting dalam sebuah novel, karena tanpa itu, novel akan terasa hambar. Tidak terdapat curiosity, passion, dan kejutan. Kelebihan dari novel Sang Pencerah ini yaitu novel ini dengan sudut pandang orang kesatu, yaitu “Aku” (K.H. Ahmad Dahlan) menceritakan kisah hidupnya sendiri. K.H. Amad Dahlan bercerita mulai dari kehidupan masa kecil, remaja, pemuda, hingga dewasa, dan sampai berdirinya organisasi Muhammadiyah. Kisahnya yaitu tentang kesedihan, perjuangan, dan tetesan air mata. Kisah K.H. Ahmad Dahlan adalah kisah yang kompleks mulai konflik diri sendiri, keluarga, dan masyarakat. Kita yang membaca novel ini akan mengerti bahwa Muhammadiyah adalah kristalisasi perjuangan K.H. Ahmad Dahlan, karena melalui Muhammadiyah ide – ide K.H. Ahmad Dahlan diaplikasikan secara nyata. Novel ini juga terasa lebih polos dan apa adanya, bahwa seorang Ulama kadang bisa bersikap terpuji dan kadang diluar dugaan. Ulama juga merupakan manusia biasa yang tidak luput dari dosa dan kesalahan. Hal tersebut terbukti dengan dirobohkannya langgar kidul milik K.H. Ahmad Dahlan oleh orang – orang suruhan Kiai Penghulu Kamaludiningrat. Apabila membaca novel ini maka secara tidak sadar kita
langsung belajar kehidupan kaum santri di Indonesia. Mereka hidup dalam kaidah dan norma yang unik. Contohnya adalah disamping berdakwah, pekerjaan K.H. Ahmad Dahlan adalah berdagang batik. Fakta bahwa Budi Utomo adalah mentor K.H. Ahmad Dahlan dalam mendirikan organisasi Muhammadiyah adalah sesuatu yang menarik. Sebab, untuk mendirikan organisasi Muhammadiyah harus masuk dalam organisasi Budi Utomo terlebih dahulu, karena pemerintah Hindia Belanda hanya percaya bahwa kaum terpelajar adalah yang mampu mendirikan organisasi. B. Nilai – Nilai Pendidikan Islam yang Terkandung dalam Novel Sang Pencerah Karya Akmal Nasery Basral Menurut Kurniawan (2012: 33), pendidikan Islam adalah segala upaya atau proses pendidikan yang dilakukan untuk membimbing tingkah laku manusia, baik individu, maupun sosial untuk mengarahkan potensi, baik potensi dasar (fitrah), maupun ajar yang sesuai dengan fitrahnya melalui proses intelektual dan spiritual berlandaskan nilai Islam untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat. Saebani (2012: 43) menjelaskan bahwa pendidikan Islam adalah sistem pengajaran yang didasarkan pada ajaran agama Islam. Sumber ajaran Islam yang dimaksudkan adalah Al – Qur‟an dan As – Sunnah. Dengan pengertian ini dapat diambil suatu pemahaman bahwa setiap pendidikan yang bukan bersumber dari ajaran Islam tidak dikategorikan sebagai pendidikan Islam. Dari analisis peneliti terhadap novel Sang Pencerah karya Akmal Nasery Basral, peneliti menguraikan tentang nilai – nilai pendidikan Islam yang
terkandung dalam novel Sang Pencerah baik berupa dialog, maupun teks yang terkandung dalam novel. Untuk lebih jelasnya adalah sebagai berikut: 1. Nilai pendidikan akhlak Akhlak atau khuluq adalah sifat yang tertanam dalam jiwa manusia, sehingga dia akan muncul secara spontan bilamana diperlukan, tanpa memerlukan pemikiran atau pertimbangan terlebih dahulu, serta tidak memerlukan dorongan dari luar (Ilyas, 2012: 2). Dalam novel Sang Pencerah karya Akmal Nasery Basral terkandung adanya nilai pendidikan akhlak, yaitu ditandai dengan contoh teks – teks sebagai berikut: Tabel 1. Nilai pendidikan akhlak dalam novel Sang Pencerah Hal
Signifier (Penanda)
Signified (Petanda)
2 “Kiai Dahlan dengan cepat menghaturkan Nilai akhlak yang sembah yang lazim dilakukan masyarakat ditunjukkan Kiai Dahlan Jawa. Biasanya sembah itu dilakukan cukup kepada Sri Sultan lama, namun karena yang melakukan adalah seorang Kiai yang cukup berpengaruh, Sultan segera memberi isyarat agar Kiai Dahlan menghentikan sembahnya”. 10
“dari atas mimbar itulah wajah bapakku yang berpengetahuan tinggi tetapi sangat rendah hati, selalu menyempatkan untuk menatap wajahku walau sesaat di tengah penuhnya jamaah”.
42 –
“Murid STOVIA bicara bahasa Belanda itu Nilai akhlak yang biasa Pono”. ditujukan kepada Kiai
Nilai akhlak yang ditunjukkan oleh ayah dari Kiai Dahlan kepada anaknya, yaitu sifat rendah hati.
43
“Iya wis, tapi aku lihat tatapan mata mereka yaitu akhlak yang kurang sinis sekali terhadap dua orang Kiai yang baik. sedang lewat. Aku nggak kenal mereka, tapi aku yakin mereka juga Islam, atau paling tidak orangtua mereka beragama Islam. Tetapi dari cara bicara dan gaya mereka melihat dua orang Kiai yang jalan nyeker itu, aku kesal, marah, juga benci pada diriku sendiri yang nggak bisa melakukan apa – apa”.
43
“aku pernah diajak bapakku ke Stasiun Tugu untuk melepas seorang kawannya yang mau haji. Aku ikut naik ke kereta api yang menuju ke Batavia. Ternyata di dalam kereta itu ada dua pintu yang memisahkan penumpang seperti kita dan orang Belanda, seolah – olah kita ini penyakit yang harus dijauhi. Pandangan orang – orang berambut pirang itu seperti melontarkan hinaan terhadap rombongan pengantar jamaah haji yang naik ke dalam kereta”.
Nilai akhlak yang ditujukan oleh orang Belanda kepada penduduk asli yaitu akhlak yang kurang baik.
44
“kata bapakku itu ungkpan no, artinya kita harus selalu menghormati ibu. Kanjeng Nabi juga bilang kita harus lebih dulu menghormati ibu, tiga kali lebih banyak dibanding menghormati bapak”.
Nilai akhlak yang menjelaskan bahwa kita harus lebih banyak menghormati ibu dari pada menghormati bapak.
62
“jamaah yang berada di dekat pintu Masjid menyingkir, dan mulai mengambil posisi berjongkok menyembah di kanan kiri pintu, membuat lajur terbuka yang bisa dilewati Sri Sultan menuju maksura, tempat shalat khusus bagi Kanjeng Sri Sultan yang berbentuk bujur sangkar, terbuat dari kayu dengan lantai yang lebih tinggi
Nilai akhlak yang ditunjukkan oleh jamaah kepada Sri Sultan berupa penghormatan.
dibandingkan lantai yang lainnya”. 63
“salah seorang ulama yang sangat aku hormati adalah Kiai Abdul Hamid Lempuyang Wangi. Beliau orang yang berilmu tinggi, dan sangat sederhana seperti lazimnya para Kiai. Beliau punya satu kebiasaan yang menonjol, yaitu rasa sayang yang luar biasa terhadap anak – anak yatim piatu”.
Nilai akhlak yang dilakukan oleh Kiai Dahlan kepada ulama yang berilmu tinggi yaitu berupa penghormatan.
84
“kalau untuk soal sedekah itu tidak usah khawatir Wis. Masjid Gedhe selalu melakukan pemberian sedekah setiap hari Jum‟at, sehingga umat Islam menjadi banyak terlihat pada hari itu. Nada suara Mas Noor tegas seperti biasa”.
Nilai akhlak berupa sedekah pada setiap hari jum‟at kepada umat Islam di Kauman.
127 “yang tidak disangka – sangka oleh rombongan yang ingin menyogok itu adalah Mbah Sholeh mengubah sebongkah batu menjadi emas di depan mata mereka yang menunjukkan pesan bahwa kalau Mbah mau, dia bisa mendapatkan harta lebih banyak dari yang ditawarkan tentara Belanda itu”. 129
“assalamu‟alaikum, ujar Kiai Sholeh Darat membuyarkan lamunanku. Wa‟alaikumsalam warahmatullahi wa barakatuh, Kiai, jawabku dengan sangat gembira melihat Kiai karismatik ini sudah berada di depanku. Segera kuambil tangannya dan kucium”.
192 “maaf Kiai, celana saya kena kotoran sapi. Najis, kata salah
Nilai akhlak dari mbah Sholeh Darat yang memiliki karomah tetapi beliau tetap rendah hati.
Nilai akhlak yang ditunjukkan Kiai Dahlan kepada mbah Sholeh Darat dengan mencium tangan beliau.
Nilai akhlak yang berupa sifat ikhlas yang
seorang pedagang. Bagaimana shalat bisa diterima Gusti Allah?” “kalau begitu tunggu sebentar”, jawabku sambil masuk ke masjid mengambil tiga lembar kain daganganku, dan kembali keluar menyerahkan kain – kain itu kepada para pedagang sapi. “pakai kain ini.”
ditunjukkan kepada Kiai Dahlan dengan memberikan dagangannya.
”tapi ini kan dagangan Kiai?” ujar salah seorang pedagang sapi. “tidak apa – apa, saya ikhlas buat sampeyan”. 221 “saya yang melakukannya pakde!” – aku melihat ke arah datangnya suara. 222 Dirjo! Keponakan Kiai Penghulu itu mengangkat tangannya tinggi – tinggi. “aku yang meminta kawan – kawanku untuk membuat shaf baru itu”.
Nilai akhlak berupa kejujuran Dirjo yang mau mengakui perbuatannya yang telah mengubah arah kiblat Masjid Gedhe Kauman.
292 “silakan tunggu disini Kiai, ujar seorang penggawa keraton dengan nada hormat kepada Kiai Dahlan yang menjabat sebagai Khatib Masjid Gedhe Kauman. “Kanjeng Sinuwun akan segera datang”.
Nilai akhlak yang ditunjukkan dengan nada yang sopan oleh seorang penggawa keraton kepada Kiai Dahlan.
3
“biasanya Kiai Dahlan selalu menatap lawan Nilai akhlak yang bicaranya. Namun terhadap Sri Sultan, dia ditunjukkan oleh Kiai tidak bisa sejelas itu melakukannya”. Dahlan kepada Sri Sultan dengan menjaga pandangannya terhadap Sri Sultan.
50
“dalam cerita rakyat, beliau kadang – kadang disebut juga sebagai Kakek Bantal, yang mengajarkan cara – cara baru dalam bercocok tanam, dan mengobati masyarakat sekitar tanpa memungut biaya”.
Nilai akhlak dengan sifat keikhlasan yang ditunjukkan dengan mengobati tanpa memungut biaya oleh Kakek Bantal.
19
“itu benar, Darwis. Yang membedakan satu manusia dengan manusia lainnya di sisi Allah Ta‟ala hanyalah ketakwaannya. Tapi kamu harus ingat juga bahwa Kanjeng Sultan disebut Sayyidin Panatagama Khalifatullah, wakil Allah SWT di muka bumi ini untuk urusan agama. Jadi sebagai pemimpin, beliau juga harus mendapat penghormatan yang lebih layak dari pada yang dipimpin. Ujar bapak”.
Nilai akhlak yang menunjukkan Kanjeng Sultan sebagai pemimpin sudah seharusnya mendapat penghormatan yang lebih layak dari pada yang dipimpin.
30
“ilmu bapak rasanya tak akan pernah sebanding dengan Imam Syafi‟i maupun para imam lainnya, Anakku”.
Nilai akhlak berupa kerendahan hati yang ditunjukkan oleh Kiai Abu Bakar kepada Kiai Dahlan.
33
“dengan cepat aku dekati pengemis itu dan kuberikan telur asin yang tadinya aku niatkan untuk adik – adikku. Pengemis itu pasti lebih membutuhkan”.
Nilai akhlak yang ditunjukkan Darwis kepada pengemis, yaitu dengan memberi telur asin yang dibawanya.
37
“aku mengerjapkan mata berkali – kali. seperti inikah leluhurku yang alim itu? kuambil tangannya dengan cepat untuk kucium. Tangannya besar dan berat dan kasar. Tangan orang – orang yang terbiasa bekerja keras. “Darwis ayo bangun. Darwis,” suara ibu membangunkanku dengan lembut”.
Nilai akhlak yang ditujukan kepada leluhur Kiai Dahlan yaitu Syaikh Maulana Malik Ibrahim dengan mencium tangannya.
46
“Kiai Haji Muhammad Fadlil itu pedagang yang bertanggung jawab, bu. Beliau tak mau menjual barang yang jelek semata – mata untuk mengejar keuntungan duniawi”.
Nilai akhlak berupa tanggung jawab Kiai Fadlil terhadap barang dagangannya.
59
“kamu jangan lama – lama, jangan sampai Kanjeng Sultan sudah di masjid kamu baru datang”.
Nilai akhlak yang biasa ditunjukkan oleh warga Kauman kepada Sri Sultan ketika di masjid.
62
“suasana berubah menjadi jauh lebih hening setelah kedatangan Sri Sultan”.
Nilai akhlak berupa tingkah laku yang ditunjukkan oleh warga Kauman kepada Sri Sultan ketika beliau sudah memasuki masjid.
64
“di rumahnya yang berukuran cukup besar namun sangat sederhana, Kiai Hamid sering kali membuat masakan bagi anak – anak yatim dan para muridnya seperti aku”.
Nilai akhlak berupa kesederhanaan dan rasa kasih sayang Kiai Hamid kepada anak – anak yatim dan para muridnya seperti Darwis.
76
“tahu kiai, jawab mereka dalam nada pelan, dan kembali menundukkan wajah”.
Nilai akhlak yang ditunjukkan oleh murid – murid Kiai Dahlan kepada beliau berupa sikap sopan santun.
91
“aku terus berjalan sampai melihat beberapa orang pengemis dan anak – anak gembel yang sedang tiduran di jalan. “sudah pada makan?” tanyaku disambut gelengan kepala mereka”.
Nilai akhlak suka menolong yang ditunjukkan oleh Kiai Dahlan kepada pengemis dan anak – anak gembel di
“ini, coba dibagi yang adil, ujarku sambil membagikan makanan sesajen itu kepada mereka. Wajah mereka langsung berubah ceria, dan berulang kali menyebutkan terima kasih kepadaku”.
pinggir jalan.
89
“atau mau ikut bude sekarang?” tanya ibuku. Aku tersenyum malu dan langsung menundukkan wajah ketika dia menatapku. “jangan sekarang ya bude? Aku mau bantu ibu di rumah”.
Nilai akhlak ketaatan dan kesopanan Darwis kepada ibunya.
99
“baiklah mas Darwis, aku ada urusan dulu”. Salah seorang takmir berdiri menyalami mas Darwis dan yang lain. Aku menganggukkan kepala ke arah mas Darwis, yang dia sambut dengan anggukan cepat juga. Itu sudah cukup bagiku, apalagi setelah melihat cara mas Darwis menjelaskan pendapatnya secara tegas namun tetap sopan”.
Nilai akhlak berupa sikap sopan santun yang ditunjukkan oleh salah seorang takmir masjid kepada Darwis dan yang lain, juga yang ditunjukkan oleh Darwis ketika menjelaskan pendapatnya.
113 “terima kasih bapak. Aku mencium tangan bapak dan ibu. Semoga Walidah nanti tidak mengecewakan harapan bapak ibu”.
Nilai akhlak yang ditunjukkan oleh kesopanan Walidah kepada orang tuanya dengan mencium tangan kedua orang tuanya.
159 “belakangan ini bukan hanya pesanan di – Jogja yang banyak, tapi juga dari beberapa 160 kota lain. Aku yakin kau sudah tau bagaimana kejujuran Nabi SAW. Sebagai pedagang. Tapi tidak ada salahnya jika aku ingatkan bahwa kita memang harus jujur dalam berniaga. Jika barang dagangan kita ada yang kurang sempurna, tak bisa kita jual dengan harga yang sama seperti barang yang
Nilai akhlak berupa kejujuran Kiai Fadlil yang mencontohkan Kiai Dahlan dalam berniaga dalam dagangannya.
bagus. Ujar Kiai Fadlil”. 166 “aku rasa bapak masih belum perlu digantikan. Khutbah – khutbah bapak masih ditunggu jamaah, dan disukai Ngarsa Dalem. Ilmuku belum ada apa – apanya dibandingkan keluasan ilmu dan wawasan yang bapak miliki.”
Nilai akhlak berupa kerendahan hati Kiai Dahlan yang secara tidak langsung ditujukan kepada ayahnya mengenai perbandingan ilmu dan wawasan beliau.
229 “aku selalu berharap bahwa para kiai yang telah dididik untuk selalu melakukan tabayun dalam segala hal, tidak ikut ceroboh mengucapkan kata – kata yang belum mereka yakini sepenuhnya”.
Nilai akhlak berupa tabayun yang seharusnya ditujukan oleh Kiai supaya tidak ceroboh dalam berucap.
235 “Jono itu hanya marbut yang menyampaikan surat Daniel, kataku. Buat apa kita menghabiskan tenaga dengan memarahi orang yang keliru?”.
Nilai akhlak berupa kesabaran Kiai Dahlan yang tidak ambisius untuk memarahi orang yang keliru.
262 “mataku terasa perih karena bahagia melihat keseriusan Mas Saleh. Dulu saat aku pergi haji, Mas Saleh juga yang menanggung biaya perjalananku ke Tanah Suci. Kini dengan uang Mas Saleh lagi aku akan melanjutkan perjuanganku di Kauman”.
Nilai akhlak yang ditunjukkan seorang kakak kepada adiknya, dengan membantu adiknya yang kesulitan.
264 “tidak usah kau pikirkan soal pengembalian Dahlan, aku ikhlas. Katanya disambut anggukan Nyai Saleh”.
Nilai akhlak berupa keikhlasan yang ditunjukkan oleh Kiai Saleh dan istrinya, Nyai Saleh.
357 “Dahlan, agama itu ageming ati, pakaian hati. Sikap dan tindakan kita adalah cerminan hati kita, menunjukkan apa yang sedang kita pikirkan. Orang – orang
Nilai akhlak yang menunjukkan bahwa sikap dan hati seseorang adalah cerminan hatinya, karena
memandang kita dari sikap dan kelakuan kita Dahlan, dari akhlak kita, bukan hanya dari kata – kata yang keluar dari mulut kita, ujar Mas Noor”.
orang – orang memandang kita dari akhlak kita sendiri.
370 “itulah yang sering dilupakan umat Islam sendiri, akhlak, ujarku. Kanjeng Nabi Muhammad itu dibekali Allah SWT dengan banyak mukjizat. Tapi yang lebih sering diceritakan Al – Qur‟an dan juga kesaksian dari para sahabat – sahabat, bahkan musuh – musuh Nabi yang kafir, adalah bukan kehebatan mukjizat – mukjizat beliau, tapi kelembutan akhlaknya yang mulia, ujarku sambil bangkit dari kursi”.
Nilai akhlak yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW kepada umat Islam, tetapi terkadang umat Islam sering melupakannya.
404 “salah seorang murid Indo menunjukkan sikap hormat kepadaku sebelum bertanya”.
Nilai akhlak yang ditunjukkan oleh salah seorang murid Indo kepada Kiai Dahlan berupa sikap penghormatan.
“Meneer Kiai, saya dengar dari kawan – kawan saya yang beragama Islam bahwa Meneer Kiai punya sekolah agama sore hari di Kauman. Apa betul Meneer Kiai?”
445 “baik Kiai, jawab Abdul Rosid sambil menghatur sembah kepada Kiai Penghulu sebelum berangkat”.
Nilai akhlak yang ditujukan oleh Abdul Rosid kepada Kiai Penghulu berupa penghaturan sembah.
447 “mungkin agar kita selalu eling terhadap – tugas kita di dunia. Menjadi khalifah, 448 menjadi pemimpin bagi diri sendiri sebelum menjadi pemimpin bagi orang lain, jawabku”.
Nilai akhlak dari tugas manusia di dunia yaitu sebagai khalifah atau pemimpin yang baik.
Teks penanda pada halaman 2 menunjukkan sebuah deskripsi mengenai nilai akhlak yang ditunjukkan oleh Kiai Dahlan kepada Sri Sultan Hamengkubuwono. Kiai Dahlan dipanggil untuk menghadap Sri Sultan, lalu Kiai Dahlan menghaturkan sembah kepada beliau, sembah yang dilakukan oleh Kiai Dahlan kepada Sri Sultan merupakan sembah yang lazim dilakukan oleh masyarakat jawa, sembah yang biasanya dilakukan oleh masyarakat jawa kepada Sri Sultan biasanya cukup lama, tetapi karena yang melakukan adalah seorang Kiai, maka sembah yang dihaturkan pun tidak cukup lama. Pada halaman 10 menunjukkan sebuah deskripsi mengenai nilai pendidikan akhlak yang ditunjukkan oleh Kiai Abu Bakar kepada Kiai Dahlan pada saat Kiai Abu Bakar sedang berkutbah di atas mimbar di Masjid Gedhe Kauman. Meskipun beliau merupakan seorang Kiai yang berpengetahuan tinggi, tetapi beliau tidak lupa untuk menyapa anaknya dengan menatap wajah anaknya yaitu Kiai Dahlan. Hal tersebut menunjukkan bahwa Kiai Abu Bakar yang memiliki ilmu pengetahuan tinggi dalam bidang agama, tetap rendah hati kepada siapapun, termasuk anaknya sendiri. Halaman 42 – 43 menunjukkan sebuah deskripsi mengenai nilai akhlak yang seharusnya tidak ditujukan kepada seorang Kiai yang berpenampilan apa adanya. Kiai yang nyeker membuat murid – murid STOVIA memandang dengan tatapan yang sinis, sehingga membuat Pono kesal. Hal tersebut menunjukkan
adanya akhlak yang kurang baik yang ditunjukkan oleh murid – murid STOVIA kepada Kiai yang sedang lewat. Teks penanda pada halaman 43 juga menunjukkan sebuah deskripsi tentang nilai akhlak yang kurang baik, yaitu akhlak yang ditunjukkan oleh orang – orang Belanda pada saat di kereta. Pada saat Darwis di ajak ayahnya mengantar temannya untuk pergi haji, Darwis melihat di dalam kereta orang – orang Belanda tersebut memisahkan diri dengan rombongan haji penduduk asli Yogyakarta. Orang – orang Belanda tersebut menganggap kedudukan mereka seolah – olah lebih tinggi dari pada kedudukan penduduk asli tersebut, sehingga terdapat 2 pintu pemisah di dalam kereta yang memisahkan antara orang – orang Belanda dengan penduduk asli Yogyakarta. Pada halaman 44 menunjukkan deskripsi tentang nilai akhlak berupa penghormatan kepada seorang ibu. Darwis mengatakan kepada Pono bahwa dalam menghormati orang tua, khususnya ibu, harus benar – benar dengan tindak tanduk yang sangat baik. Darwis juga berkata kepada Pono bahwa Kanjeng Nabi Muhammad SAW juga pernah berkata bahwa dalam menghormati seorang ibu, harus dilakuka lebih banyak dari pada menghormati bapak. Halaman 62 menunjukkan sebuah deskripsi tentang nilai akhlak berupa penghormatan yang dilakukan oleh para jamaah Masjid Gedhe pada saat Sri Sultan
Hamengkubuwono
memasuki
Masjid.
Para
jamaah
melakukan
penghormatan dengan posisi berjongkok menyembah di kanan kiri, mereka melakukan sembah sebagaimana yang biasanya dilakukan oleh masyarakat jawa
kepada seseorang yang berkedudukan lebih tinggi, seperti Sri Sultan Hamkengkubuwono tersebut. Teks penanda pada halaman 63 menunjukkan deskripsi tentang nilai akhlak berupa penghormatan oleh Kiai Dahlan kepada Kiai Abdul Hamid Lempuyang Wangi. Beliau mengatakan bahwa Kiai Abdul Hamid merupakan seseorang yang berilmu tinggi, sangat sederhana, dan sangat sayang dengan anak – anak yatim piatu. Pada halaman 84 menunjukkan deskripsi tentang nilai akhlak yaitu sedekah. Mas Noor mengatakan kepada Darwis bahwa pemberian sedekah dari Masjid Gedhe kepada umat Islam di Kauman dilakukan pada setiap hari jumat, sehingga para jamaah akan terlihat banyak pada hari itu di Masjid Gedhe. Halaman 127 menunjukkan sebuah deskripsi mengenai nilai akhlak oleh Mbah Sholeh Darat. Mbah Sholeh Darat yang mulanya ingin disogok oleh rombongan tentara Belanda dengan uang, beliau langsung menunjukkan sebuah karamah atau kehebatan beliau yakni beliau mengubah sebongkah batu menjadi emas di depan tentara Belanda tersebut, beliau menunjukkan bahwa jika Ia mau, Ia bisa mendapatkan harta yang lebih banyak dari pada yang ditawarkan oleh tentara Belanda tersebut. Hal tersebut menunjukkan sikap kerendah hati Mbah Sholeh Darat, yaitu dengan menolak dan memberi tahu kepada mereka bahwa tidak segalanya dapat dilakukan oleh harta atau materi. Teks penanda pada halaman 129 menunjukkan sebuah deskripsi mengenai nilai akhlak yang ditunjukkan oleh Kiai Dahlan kepada Kiai Sholeh
Darat. Pada saat Kiai Dahlan sedang melamun, tiba – tiba datanglah Kiai Sholeh Darat yang menghampiri Kiai Dahlan dan mengucapkan salam yang kemudian salamnya tersebut membuyarkan lamunan Kiai Dahlan dan seketika itu juga Kiai Dahlan menjawab salam yang dituturkan oleh Kiai Sholeh Darat kepada Kiai Dahlan, kemudian Kiai Dahlan tanpa menunggu – nunggu langsung menggamit tangan Kiai Sholeh Darat dan menciumnya. Hal tersebut menunjukkan adanya suatu sikap pengehormatan yang dilakukan oleh seseorang yang lebih muda umurnya kepada seseorang yang lebih tua umurnya dan lebih tinggi ilmunya. Pada halaman 192 menunjukkan sebuah deskripsi mengenai nilai akhlak berupa keikhlasan Kiai Dahlan yang memberikan pakaian yang merupakan dagangannya kepada pedagang sapi untuk dikenakan pada saat shalat karena mengetahui bahwa pakaian yang dikenakan oleh pedagang sapi tersebut terkena najis, sehingga tidak sah untuk shalat. Halaman 221 – 222 menunjukkan sebuah deskripsi mengenai nilai akhlak yakni kejujuran Dirjo yang mengakui keberaniannya dalam membuat shaf baru di Masjid Gedhe Kauman. Ia mengakui perbuatannya tersebut kepada Kiai Penghulu yang merupakan pakdenya sendiri bahwa Ia dan kawan – kawannya yang telah membuat shaf baru di Masjid Gedhe Kauman. Teks penanda pada halaman 292 menunjukkan sebuah deskripsi mengenai nilai akhlak yang ditunjukkan oleh penggawa keraton kepada Kiai Dahlan yang saat itu sedang menjabat sebagai khatib di Masjid Gedhe. Penggawa
tersebut mempersilahkan Kiai Dahlan dengan nada hormat ketika Kiai Dahlan hendak menemui Sri Sultan. Pada halaman 3 menunjukkan sebuah deskripsi mengenai nilai akhlak yang ditunjukkan oleh Kiai Dahlan kepada Sri Sultan, yakni dengan menundukkan pandangan ketika berbicara kepada Sri Sultan. Hal tersebut dilakukan beliau karena beliau sangat menghormati Sri Sultan, mengingat Sri Sultan memiliki kedudukan tertinggi di Yogyakarta. Halaman 50 menunjukkan sebuah deskripsi mengenai nilai akhlak berupa keikhlasan yang ditunjukkan oleh kakek Bantal kepada masyarakat tentang bagaimana caranya bercocok tanam dengan cara yang baru, dan beliau juga mengobati masyarakat tanpa memungut biaya, sehingga masyarakat berantusias untuk itu. Teks penanda pada halaman 19 menunjukkan sebuah deskripsi mengenai nilai akhlak berupa penghormatan. Kiai Abu Bakar berkata kepada anaknya, Darwis, bahwa yang membedakan manusia yang satu dengan yang lainnya adalah ketakwaan yang dimilikinya. Kiai Abu Bakar juga memberitahu tentang kedudukan Sri Sultan sebagai Panatagama Khalifatullah atau wakil Allah di muka bumi ini untuk urusan agama sekaligus sebagai seorang pemimpin. Oleh karena itu, Sri Sultan sebagai pemimpin sudah seharusnya mendapatkan kehormatan yang lebih layak dari pada yang dipimpin. Pada halaman 30 menunjukkan sebuah deskripsi mengenai nilai akhlak yaitu sifat kerendahan hati yang dimiliki oleh Kiai Abu Bakar. Beliau berkata
kepada anaknya bahwa beliau mengakui ilmu beliau tidak akan pernah sebanding dengan Imam Syafi‟i maupun para imam lainnya. Teks penanda pada halaman 33 menunjukkan sebuah deskripsi mengenai nilai akhlak yang ditunjukkan oleh Muhammad Darwis kepada seorang pengemis. Sepulang dari rumah Pono temannya untuk yasinan 40 hari almarhum bapaknya Pono, Darwis bertemu dengan pengemis di jalan, lalu Ia memberikan telur asin yang dibawa dari rumahnya Pono tersebut kepada pengemis itu. Darwis berpikir bahwa pengemis itu lebih membutuhkan ketimbang adik – adiknya, padahal niat Darwis membawakan telur asin itu adalah untuk adik – adiknya di rumah. Halaman 37 menunjukkan sebuah deskripsi mengenai nilai akhlak dari sikap menghormati yang dilakukan oleh Darwis. Pada saat sedang tidur, Darwis bermimpi bertemu dengan leluhurnya yaitu Syaikh Maulana Malik Ibrahim. Ia menatap leluhurnya dalam mimpinya itu, lalu Ia mengambil tangannya dan diciumnya tangan beliau. Tidak lama Ia bermimpi, tiba – tiba ibunya membangunkan dengan lembut. Teks penanda pada halaman 46 menunjukkan deskripsi mengenai nilai akhlak yang ditunjukkan dari sifat Kiai Fadlil dalam berdagang. Beliau merupakan seseorang yang bertanggung jawab dalam berdagang. Beliau tidak pernah menjual barang dagangannya dengan keadaaan cacat, seperti barang yang sudah tidak layak pakai mislanya, karena beliau tidak semata – mata hanya mencari keuntungan duniawi.
Pada halaman 59 dan halaman 62 menunjukkan deskripsi mengenai nilai akhlak dengan sikap penghormatan. Penghormatan tersebut dihaturkan kepada Sri Sultan yaitu dengan datang ke Masjid terlebih dahulu sebelum Kanjeng Sultan datang untuk menunaikan ibadah shalat. Suasana di Masjid juga terlihat lebih hening ketika Sri Sultan sudah tiba. Hal tersebut merupakan tradisi masyarakat jawa untuk menghormati Kanjeng Sultan sebagai Khalifatullah atau wakil Allah dalam urusan agama di bumi sekaligus karena sebagai pemimpin yang sudah semestinya diberi penghormatan yang layak oleh para yang dipimpin. Halaman 64 menunjukkan sebuah deskripsi mengenai nilai akhlak tentang kesederhanaan dan sifat kasih sayang Kiai Hamid kepada anak yatim dan muridnya, termasuk Darwis. Kiai Hamid menunjukkan rasa kasih sayangnya dengan membuat masakan untuk anak – anak yatim dan juga murid – muridnya. Teks penanda pada halaman 76 menunjukkan sebuah deskripsi mengenai nilai akhlak dengan sikap sopan yang ditunjukkan oleh murid – murid Kiai Ahmad Dahlan kepada beliau. Murid – murid beliau menundukkan wajah sebagai tanda kesopanan mereka terhadap beliau setelah beliau menasehati mereka. Pada halaman 91 menunjukkan deksripsi mengenai nilai akhlak dengan sikap saling membantu yang ditunjukkan oleh Darwis kepada para pengemis dan anak – anak gembel. Darwis bertemu dengan mereka di pinggir jalan kemudian menghampiri dan bertanya kepada mereka apakah mereka sudah makan atau belum. Setelah Darwis mengetahui mereka belum makan dengan jawaban
gelengan kepala mereka, Darwis langsung menyodorkan makanan yang dibawanya kepada mereka. Teks penanda pada halaman 89 menunjukkan deskripsi mengenai nilai akhlak yang ditunjukkan oleh Darwis kepada ibunya. Pada saat ibunya Darwis menawarkan Darwis untuk ikut dengan budenya, Darwis malu – malu dan menundukkan wajahnya, kemudian Ia memutuskan untuk tidak ikut dengan budenya dan berkata kepada budenya bahwa Ia ingin membantu ibunya di rumah. Hal tersebut menunjukkan adanya nilai akhlak kesopanan dan ketaatan dalam diri Darwis. Teks penanda pada halaman 99 menunjukkan sebuah deskripsi mengenai nilai akhlak dari ketegasan Mas Darwis dalam menyampaikan pendapat namun tetap sopan, dan juga tindak tanduk dari salah seorang takmir. Setelah takmir tersebut mendengarkan pendapat dari Mas Darwis, Ia kemudian pamit dengan berjabat tangan dan menganggukkan kepala kepada Mas Darwis yang dibalas anggukan dari Mas Darwis dengan cepat. Takmir tersebut merasa puas dengan pendapat Mas Darwis karena Ia menjelaskan sebuah pendapat dengan tegas namun tetap sopan. Pada halaman 113 menunjukkan sebuah deskripsi mengenai nilai akhlak yang ditunjukkan Walidah kepada kedua orang tuanya. Walidah berterima kasih dan mencium tangan kedua orang tuanya atas persetujuan dari kedua orang tuanya untuk menikahkan Ia dengan Darwis. Ia juga berharap nantinya Ia tidak akan mengecewakan harapan dari kedua orang tuanya tersebut. Hal itu
menunjukkan adanya kesopanan yang ditunjukkan oleh Walidah kepada kedua orang tuanya. Halaman 159 – 160 menunjukkan deskripsi mengenai nilai akhlak tentang pesan Rasulullah SAW tentang sifat kejujuran. Kiai Fadlil menyampaikan kepada Kiai Dahlan sebagai menantunya bahwa dalam berdagang sifat jujur itu penting, karena apabila dalam berniaga harus menjual barang yang sesuai dengan kondisinya. Tidak bisa menjual barang yang kurang sempurna dengan harga yang sama seperti menjual barang yang bagus. Teks penanda pada halaman 166 menunjukkan deskripsi mengenai nilai akhlak rendah hati yang dimiliki oleh Kiai Dahlan. Ia merasa belum pantas untuk menggantikan bapaknya sebagai khatib di Masjid Gedhe Kauman, karena Ia merasa bahwa ilmu dan wawasan yang dimilikinya tidak sebanding dengan ayahnya. Pada halaman 229 menunjukkan sebuah deskripsi mengenai nilai akhlak yakni tabayun. Kiai Dahlan selalu berharap bahwa para Kiai khususnya di Kauman selalu bertabayun dalam segala hal, tidak ikut – ikut mengucapkan kata – kata ceroboh seperti mengatakan bahwa Kiai Dahlan merupakan Kiai kafir, karena pada saat itu Kiai Dahlan dituduh sebagai Kiai kafir. Halaman 235 menunjukkan sebuah deskripsi mengenai nilai akhlak, yakni kesabaran Kiai Ahmad Dahlan. Awalnya Daniel menyarankan beliau untuk memarahi Jono, seorang marbut yang menyampaikan surat dari Kiai Penghulu, tetapi dengan sikap beliau yang penyabar, beliau tidak ingin menghabiskan
tenaga untuk memarahi seseorang yang keliru, karena surat yang disampaikan oleh Kiai Penghulu kepada Kiai Dahlan tentang perintah untuk menutup langgar kidul sudah disampaikannya secara berulang kali. Teks penanda pada halaman 262 menunjukkan sebuah deskripsi mengenai nilai akhlak yakni sifat saling membantu yang dilakukan Mas Saleh kepada adiknya, Kiai Ahmad Dahlan. Kiai Dahlan merasa sangat bahagia dengan keseriusan Mas Saleh untuk melanjutkan perjuangan adiknya di Kauman dengan membantu dana untuk pembangunan langgar kidul milik Kiai Dahlan yang sebelumnya sempat dirobohkan secara paksa oleh orang – orang suruhan Kiai Penghulu. Kiai Ahmad Dahlan juga sangat bangga dengan Mas Saleh karena dahulu pada saat beliau pergi haji, semua biaya perjalanan ke tanah suci ditanggung oleh Mas Saleh. Pada halaman 264 menunjukkan sebuah deskripsi mengenai nilai akhlak yakni keikhlasan yang ditunjukkan oleh Mas Saleh dan istrinya, Nyai Saleh. Mereka ikhlas membantu adiknya yaitu Kiai Ahmad Dahlan, yang saat itu sedang mengalami kesulitan karena langgar-nya dihancurkan secara paksa oleh rombongan orang atas perintah Kiai Penghulu. Halaman 357 menunjukkan deskripsi mengenai nilai akhlak mengenai sikap yang mencerminkan diri seseorang. Mas Noor berkata kepada adiknya Kiai Ahmad Dahlan bahwa sikap dan tindakan adalah cerminan diri seseorang, karena orang – orang memandang seseorang dari tingkah laku dan akhlaknya. Mas Noor berkata begitu karena pada saat itu Kiai Dahlan memakai pakaian modern seperti
yang dipakai oleh orang – orang Belanda saat beliau bergabung dalam organisasi Budi Utomo, sehingga banyak yang mengatakan bahwa Kiai Ahmad Dahlan kafir. Teks penanda pada halaman 370 menunjukkan deskripsi mengenai nilai akhlak mengenai akhlak mulia yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW kepada umatnya. Kiai Ahmad Dahlan berkata bahwa yang sering dilupakan oleh umat Islam sekarang adalah akhlak. Nabi Muhammad diberi banyak mukjizat oleh Allah tetapi yang banyak diceritakan dalam Al – Qur‟an adalah akhlak beliau yang sangat mulia, bahkan musuh – musuh Nabi Muhammad SAW yang kafir sekaligus menjadi saksi atas kemuliaan akhlak beliau. Pada halaman 404 menunjukkan sebuah deskripsi mengenai nilai akhlak yakni sikap hormat yang ditunjukkan oleh murid Indo kepada Kiai Ahmad Dahlan. Murid Indo tersebut menghaturkan sikap hormat kepada Kiai Dahlan sebelum Ia bertanya mengenai sekolah yang dirikan oleh Kiai Ahmad Dahlan yaitu Madrasah Ibtidaiyah Diniyah di Kauman. Halaman 445 menunjukkan sebuah deskripsi mengenai nilai akhlak yaitu sikap sopan santun yang ditunjukkan oleh Abdul Rosid kepada Kiai Kholil Kamaludiningrat dengan menghaturkan sembah yang dilakukan seperti layaknya masyarakat jawa lakukan kepada seseorang yang lebih tinggi atau paling tinggi kedudukannya. Teks penanda pada halaman 447 – 448 menunjukkan sebuah deskripsi mengenai nilai akhlak tentang khalifah atau kepemimpinan. Kiai Ahmad Dahlan
berkata kepada Kiai Penghulu bahwa sebelum menjadi khalifah atau pemimpin bagi orang lain, ada baiknya menjadi pemimpin bagi diri sendiri terlebih dahulu. Beliau mengatakan itu ketika beliau berdamai dengan Kiai Penghulu setelah konflik diantara mereka selesai. 2. Nilai pendidikan aqidah Akidah secara syara‟ yaitu iman kepada Allah, para Malaikat-Nya, Kitab – kitab-Nya, para Rasul-Nya, dan kepada Hari Akhir, serta qadar yang baik maupun yang buruk (Shalih, 2015: 3). Dalam novel Sang Pencerah karya Akmal Nasery Basral juga terkandung nilai pendidikan aqidah, yaitu ditandai dengan contoh teks – teks sebagai berikut: Tabel 2. Nilai pendidikan aqidah dalam novel Sang Pencerah Hal 29
Signifier (Penanda) “hafal Al – Qur‟an setebal ini dalam umur tujuh tahun?” jawabku tak percaya sambil memegang Al – Qur‟an yang tebal. “bagaimana caranya menghafal bapak?”
Signified (Petanda) Nilai aqidah iman kepada Allah.
”kalau Allah sudah menghendaki, tak ada yang tak mungkin, Anakku.” 6
“suara anak – anak perempuan yang sedang belajar Al – Qur‟an di serambi Masjid Gedhe Kauman selalu membelah keheningan senja di kawasan ini seperti aliran sungai yang bening, jernih, menyejukkan”.
Nilai aqidah berupa iman kepada Kitab Allah.
19
“tapi kenapa lantai maksura itu lebih tinggi dibandingkan lantai untuk jamaah yang lain
Nilai aqidah yang menunjukkan iman
bapak?”
kepada Allah.
“itu untuk menunjukkan bahwa posisi Kanjeng Sultan kebih tinggi dibandingkan manusia biasa”. “tapi bukankah Islam mengajarkan bahwa semua manusia itu sama dan yang membedakan hanyalah takwanya kepada Allah?” “itu benar Darwis, yang membedakan satu manusia dengan manusia lainnya di sisi Allah Ta‟ala hanyalah ketakwaannya”. 44 – 45
“ya sekolah setopia itu, kamu nanti sekolah disana juga wis?” “ndak.”
Nilai aqidah yang menunjukkan iman kepada Allah dan Kitab-Nya.
“kenapa ndak? Kamu kan keluarga priyayi?” “aku mau meneruskan kerja bapakku saja, no. Aku suka bingung melihat warga yang pada shalat dan mengaji tapi rajin kasih sesajen di kuburan”. 106 “masih tujuh tahun tapi wis pinter. Mbok ya nanti besanan sama saya saja, Dimas,” katanya kepada bapak”.
Nilai aqidah yang menunjukkan iman kepada Allah
“InsyaAllah, Kangmas. Jika Allah menghendaki, apa pun bisa terjadi. Sebaliknya, meski kita sudah membuat rencana, jika Allah belum menghendaki, semua tak akan terwujud.” “benar sekali Dimas, ujar si tamu”. 308 “sampai sekarang, aku masih ingat bagaimana dua tahun lalu, Kiai Dahlan membuat para
Nilai aqidah mengenai ziarah
Kiai kebakaran jenggot karena mengatakan ziarah kubur itu perbuatan kufur, musyrik, dan karena itu diharamkan”. 415 “sebagai orang Islam kita harus tunjukkan bahwa kita bisa bekerja sama dengan semua kalangan. Tapi prinsipnya adalah lakum dinukum waliyadin. Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku”.
kubur yang bertentangan dengan keimanan terhadap Tuhan, Allah SWT. Nilai aqidah yang menunjukkan ketauhidan tentang agama atau ajarannya masing – masing yang tertera dalam surat Al – Kafirun ayat 6.
46
“kita berdo‟a saja, bu. Semoga keinginan ibu itu dikabulkan Allah”.
Nilai aqidah iman kepada Allah
59
“kalau begitu bapak ke masjid dulu buat persiapan shalat jum‟at”.
Nilai aqidah yang menunjukkan iman kepada Allah
60
“alhamdulillah Darwis, semoga Allah terus menjaga ingatanmu”.
Nilai aqidah iman kepada Allah.
65
“susah dijelaskan dengan akal pikiran biasa wis, Nilai aqidah yang kata bapak. Tapi jika di hatimu selalu timbul menunjukkan iman keinginan untuk membantu orang, meringankan kepada Allah. beban orang, Allah akan selalu mengalirkan rezeki kepada orang yang selalu membantu makhluk Allah lainnya. Ini yang terjadi pada Kiai Hamid”.
81
“Mas Saleh tersenyum. “Bukan memercayai dalam arti seperti kita memercayai Allah dan Rasul-Nya”.
Nilai Aqidah iman kepada Allah dan Rasul-Nya.
84
“maksudnya sederhana itu cukup berdo‟a saja, pak. Tidak perlu dengan upacara berlebihan apalagi dengan memberikan sesajen”.
Nilai Aqidah yang menunjukkan iman kepada Allah.
91
“ini rezeki dari Gusti Allah, bukan dari saya, ujarku. Sering – seringlah berterima kasih kepada Allah”.
Nilai aqidah iman kepada Allah.
97
“kuambil kerudung dan Al – Qur‟an. Aku baca beberapa ayat dari Juz „Amma, bagian terakhir Al – Qur‟an yang banyak diisi surat dengan ayat – ayat pendek. Aku pusatkan pikiran pada surat – surat yang sedang aku baca sampai aku mengingat lagi Mas Darwis”.
Nilai aqidah iman kepada Kitab Allah.
110 “bapak ndak maksa kamu Idah. Bapak hanya mengarahkan”, ujar bapak. “bapak dan ibu wajib mengarahkanmu agar bisa mendapatkan suami yang bertanggung jawab, alim, amanah, karena ini merupakan tanggung jawab yang harus bapak lakukan di hadapan Allah Azza wa Jalla nanti di hari kiamat”.
Nilai aqidah yang menunjukkan iman kepada Allah.
113 “do‟a kita sudah dijawab Allah Walidah. Keluarga Kiai Abu Bakar setuju untuk menikahkan Darwis denganmu, ujar bapak. Aku menangis bahagia dalam pelukan ibu”.
Nilai aqidah iman kepada Allah.
135 “benar Darwis, karena itu jika Allah – mengizinkanmu untuk menunaikan ibadah haji 136 kelak, kau harus ingat bahwa kesempatan itu tak mudah didapatkan oleh orang kita, sehingga kau harus gunakan dengan sungguh – sungguh”.
Nilai aqidah berupa iman kepada Allah SWT.
137 “akhirnya impianku tercapai, sebentar lagi aku akan menjadi tamu Allah langsung di rumah-Nya di Makkah Al – Mukarramah, mengunjungi Ka‟bah yang dibangun Nabi Ibrahim a.s. bapak para Nabi. Tak terasa air mataku mengalir. Allahu Akbar!”
Nilai aqidah berupa keimanan kepada Allah dan para Rasul-Nya.
141 “Islam adalah jalan manusia menuju selamat”, ulas Syaikh, “Allah berfirman dalam Al – Qur‟an
Nilai aqidah berupa keimanan kepada
bahwa tidaklah aku ciptakan manusia kecuali untuk berserah diri kepadaku. Maka kita sebagai manusia berserahlah, bersujud. Sebab, ketika manusia berserah, hati dan pikirannya menyatu, menuju kepada Allah”.
Allah dan KitabNya.
176 “Allah juga berfirman dalam kitab suci-Nya bahwa Dia begitu dekat dengan kita, lebih dekat dari urat leher, sehingga Allah berfirman “maka berdo‟alah kepada-Ku dengan sungguh – sungguh, memohon ampun. Niscaya akan Aku kabulkan janji Allah”.
Nilai aqidah yang menunjukkan keimanan kepada Allah dan KitabNya.
214 “terngiang – ngiang lagi ucapan Kiai Siraj Pakualaman di telingaku. “kita harus berhati – hati pada kaum kafir dan munafik. Mereka akan menggunakan berbagai cara untuk memengaruhi keimanan kita”.
Nilai aqidah yang menunjukkan kewaspadaan Kiai Siraj terhadap kaum kafir dan munafik yang dapat memengaruhi keimanannya.
237 “aku hanya berusaha sekuat tenaga agar bisa menjadi orang muttaqin, Syam. Perkara apakah aku sudah bisa dimasukkan ke dalam golongan orang – orang muttaqin atau belum, itu adalah hak Allah semata, kataku”.
Nilai aqidah muttaqin, yakni orang – orang yang bertakwa kepada Allah, dengan menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya.
275 “begitu juga dengan seorang Kristen yang paham seluk – beluk agama Islam tidak bisa disebut Muslim kecuali sampai dia benar – benar mengamalkan ajaran Islam. Dan sebaliknya, orang Islam yang tahu seluk beluk agama Kristen juga tidak lantas menjadi Kristen, kecuali kalau mereka
Nilai aqidah yang ditunjukkan melalui keyakinan terhadap agama dan pengamalan terhadap ajaran
memang mengamalkannya”.
agama.
274 “bukankah itu berbahaya Dahlan? Ujar Mas Noor – pada kesempatan yang lain. Apa artinya saling 275 menghormati jika pada akhirnya Dimas malah bisa tepo seliro terhadap ajaran mereka, dan lama – lama malah merasa bisa menerima ajaran mereka? Itu sudah menyalahi tauhid yang kita yakini, Dimas”.
Nilai aqidah berupa kekhawatiran Mas Noor terhadap Kiai Dahlan yang dapat menyalahi tauhid.
278 “baiklah, ujarku sambil membuka pengajian dengan tahmid dan sholawat kepada Rasulullah SAW”.
Nilai aqidah yang menunjukkan keimanan kepada Allah.
344 “ketika Allah menurunkan wahyu pertama kepada Kanjeng Nabi Muhammad Iqro‟, bacalah, maka suruhan untuk membaca itu adalah perintah untuk belajar, memperhatikan, melihat dengan teliti”.
Nilai aqidah berupa iman kepada Allah, iman kepada Kitab Allah, dan iman kepada Nabi dan Rasul.
341 “berarti mereka Islam juga ya mas Budi?” kataku. “betul, tapi kebanyakan dari mereka Islam karena mengikuti leluhur saja, Kiai Dahlan. Malahan ada di antara mereka yang pindah agama karena kepentingan politik, dagang, atau perkawinan. Terang Budiharjo”.
Nilai aqidah tentang keyakinan agama Islam yang dianut.
365 “kalau semua hal kita ketahui dengan pasti kondisinya, kita tidak akan pernah belajar Mas, katanya sambil menyeka genangan air di sudut mataku. Dan yang Mahatahu itu hanya Allah semata, bukan kita sebagai makhluk yang dhaif mas”.
Nilai aqidah yang menunjukkan keimanan kepada Allah.
419 “Alhamdulillah setelah semalam melakukan shalat Nilai aqidah yang
istikharah aku mendapatkan keyakinan bahwa Muhammadiyah merupakan nama yang cocok untuk perkumpulan ini, kataku dengan gembira”.
menunjukkan keimanan kepada Allah.
430 “Kiai Dahlan bukan Kiai kafir bu, aku lihat sendiri Nilai aqidah yang dia shalat dan melakukan ibadah lain yang menunjukkan iman dikerjakan para Kiai”. kepada Allah.
Teks penanda pada halaman 29 menunjukkan deskripsi mengenai nilai aqidah dari sebuah dialog antara Kiai Abu Bakar dengan Muhammad Darwis. Kiai Abu Bakar bercerita tentang Imam Syafi‟i bahwa beliau sudah hafal Al – Qur‟an pada umur tujuh tahun. Muhammad Darwis pun seperti tidakpercaya dengan cerita ayahnya tersebut, lalu Kiai Abu Bakar memberitahu Darwis bahwa jika Allah berkehendak, semua bisa terjadi. Hal tersebut menunjukkan adanya iman kepada Allah, yaitu melalui kata – kata yang diucapkan Kiai Abu Bakar kepada Darwis, bahwa jika Allah menghendaki, semua bisa terjadi. Pada halaman 6 menunjukkan deskripsi tentang nilai aqidah iman kepada kitab Allah, yaitu Al – Qur‟an. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya pengajian Al – Qur‟an yang diikuti oleh anak – anak perempuan pada saat senja hari di Masjid Gedhe Kauman. Dialog antara Kiai Abu Bakar dengan Muhammad Darwis halaman 19 menunjukkan deskripsi mengenai nilai aqidah. Ketika Darwis bertanya tentang maksura atau tempat shalat Kanjeng Sultan lebih tinggi dibandingkan tempat shalat jamaah yang lain, Kiai Abu Bakar menjawab bahwa karena kedudukan
Kanjeng Sultan itu lebih tinggi dibandingkan yang lain, lalu Darwis bertanya lagi mengenai perbedaan manusia hanyalah terletak pada ketakwaannya kepada Allah, lalu Kiai Abu Bakar mengapresiasi Darwis dengan meyakinkan kembali bahwa yang membedakan manusia di mata Allah hanyalah ketakwaannya. Takwa yang memiliki arti menjalankan semua perintah Allah dan menjauhi segala larangan Allah membuktikan adanya nilai aqidah yakni iman kepada Allah. Pada halaman 44 – 45 menunjukkan deskripsi mengenai adanya nilai aqidah tentang iman kepada Allah dan kitab-Nya. Darwis yang ditanya oleh Pono mengenai sekolah STOVIA tetapi Ia tidak tertarik karena Ia ingin melanjutkan pekerjaan bapaknya. Darwis suka bingung mengenai cara masyarakat di Kauman dalam mengimani Allah dan kitab-Nya, karena mereka rajin menunaikan ibadah shalat dan mengaji Al – Qur‟an tetapi masih sering memberi sesajen di kuburan. Teks penanda pada halaman 106 menunjukkan deskripsi tentang nilai aqidah yang ditunjukkan oleh Kiai Fadlil kepada si tamu. Si tamu tersebut meminta Kiai Fadlil agar kelak putrinya yang bernama Siti Walidah bisa menikah dengan anaknya, lalu Kiai Fadlil hanya berkata InsyaAllah, jika Allah menghendaki semua akan terjadi, tetapi jika Allah belum berkehendak semuanya tidak akan terjadi. Hal tersebut menunjukkan adanya nilai aqidah yaitu iman kepada Allah. Pada halaman 308 menunjukkan deskripsi mengenai nilai aqidah. Kiai Ahmad Dahlan pernah berkata kepada para Kiai di Kauman bahwa ziarah kubur
adalah perbuatan musyrik, kufur, dan karena itu diharamkan. Hal tersebut dikarenakan pada saat itu, masyarkat Kauman sering memberi sesajen di kuburan, padahal mereka rajin ibadah. Nilai aqidah yang terdapat pada perkataan Kiai Ahmad Dahlan adalah iman kepada Allah yang bertentangan dengan tradisi masyarakat terdahulu. Halaman 415 menunjukkan deskripsi tentang nilai aqidah bahwa sebagai umat Islam kita boleh bekerja sama dengan siapapun, tetapi dalam masalah tauhid, prinsipnya adalah lakum dinukum waliyadin (Al – Kafirun ayat 6) yaitu bagiku agamaku, dan bagimu agamamu. Teks penanda pada halaman 46, 59, dan 60 menunjukkan adanya nilai aqidah yaitu iman kepada Allah yang ditunjukkan melalui do‟a, ibadah shalat, dan rasa syukur terhadap Allah SWT. Pada halaman 65 menunjukkan deskripsi mengenai nilai aqidah. Kiai Abu Bakar berkata kepada Darwis bahwa jika dihati Darwis selalu timbul keinginan untuk membantu orang, maka Allah akan selalu mengalirkan rezeki kepada seseorang yang menolong orang lain. Hal tersebut membuktikan adanya keimanan kepada Allah yang ditunjukkan oleh Kiai Abu Bakar kepada anaknya. Halaman 81 menunjukkan sebuah deskripsi mengenai nilai aqidah yang membuktikan bahwa Mas Saleh dan Darwis beriman kepada Allah dan RasulNya yaitu melalui kata – kata Mas Saleh yang mengatakan bahwa bukan percaya seperti Ia dan Darwis memercayai Allah dan Rasul-Nya.
Teks penanda pada halaman 84 dan halaman 91 menunjukkan deskripsi tentang nilai aqidah yaitu beriman kepada Allah dengan berdo‟a dan percaya bahwa Allah lah pemberi rezeki. Pada halaman 97 menunjukkan deskripsi mengenai nilai aqidah yang ditunjukkan oleh walidah dengan membaca Al – Qur‟an. Walidah mengambil kerudung dan Al – Qur‟annya kemudian Ia membaca surat yang ada dalam juz amma atau juz 30. Hal tersebut membuktikan bahwa Walidah beriman kepada kitab Allah, yaitu Al – Qur‟an. Halaman 110 menunjukkan deskripsi mengenai nilai aqidah yaitu iman kepada Allah dan hari akhir yang ditunjukkan oleh Kiai Fadlil kepada anaknya, Siti Walidah. Kiai Fadlil berkata kepada Walidah bahwa beliau sebagai orang tuanya wajib mengarahkan anaknya, karena hal tersebut merupakan tanggung jawab beliau dihadapan Allah kelak di hari kiamat. Teks penanda pada halaman 113 dan 135 – 136 menunjukkan deskripsi mengenai nilai aqidah yang ditunjukkan oleh Kiai Fadlil dengan memberitahu kepada Siti Walidah dan istrinya bahwa do‟anya selama ini telah dijawab oleh Allah tentang persetujuan keluarga Kiai Abu Bakar untuk menikahkan Muhammad Darwis dengan Siti Walidah. Pada teks penanda berikutnya dibuktikan dengan perkataan Kiai Abu Bakar kepada Muhammad Darwis bahwa jika Allah mengizinkan Darwis untuk pergi berhaji kelak Ia harus ingat bahwa kesempatan tersebut tidak mudah didapatkan oleh warga Kauman.
Halaman 137 menunjukkan sebuah deskripsi mengenai nilai aqidah yaitu iman kepada Allah dan Rasul-Nya yang dibuktikan oleh Muhammad Darwis melalui perkataannya bahwa Ia akan menjadi tamu Allah di Makkah dan mengunjungi ka‟bah yang dibangun oleh Nabi Ibrahim a.s, bapak para Nabi. Teks penanda pada halaman 141 dan 176 menunjukkan deskripsi tentang nilai aqidah yang dibuktikan dengan perkataan Syaikh Rasyid Ridha bahwa Allah berfirman dalam Al – Qur‟an yang intinya apabila manusia berserah diri, hati dan pikirannya menyatu, menuju kepada Allah. Teks penanda berikutnya dibuktikan dengan firman Allah dalam Al – Qur‟an yang menunjukkan bahwa Allah itu begitu dekat dengan hamba – hambanya, lebih dekat dari pada urat leher. Oleh karena itu, umat Islam dianjurkan untuk berdo‟a dan memohon ampun kepada-Nya. Pada halaman 214 menunjukkan deskripsi mengenai nilai aqidah yang ditunjukkan oleh kewaspadaan Kiai Siraj yang terngiang – ngiang di telinga Darwis karena Ia pernah mendengarnya. Kiai Siraj selalu waspada kepada kaum kafir dan munafik karena dikhawatirkan mereka akan menggunakan berbagai cara untuk mempengaruhi keimanannya. Halaman 237 menunjukkan sebuah deskripsi mengenai nilai aqidah yang dibuktikan oleh Kiai Dahlan, bahwa beliau selalu berusaha untuk menjadi orang muttaqin atau orang – orang yang bertakwa, yakni menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Hal tersebut menunjukkan adanya nilai keimanan kepada Allah.
Penanda pada halaman 275 menunjukkan sebuah deskripsi mengenai nilai aqidah yang menunjukkan bahwa seseorang belum bisa dikatakan Islam apabila Ia tidak mengamalkan ajaran Islam, begitu juga sebaliknya, seseorang belum bisa dikatakan Kristen apabila Ia tidak mengamalkan ajaran agama Kristen. Teks penanda pada halaman 274 – 275 juga menunjukkan deskripsi mengenai nilai aqidah yang ditunjukkan oleh kekhawatiran Mas Noor terhadap Kiai Ahmad Dahlan yang selalu menghormati umat agama lain yang mana hal tersebut dikhawatirkan dapat menyalahi tauhid mereka sebagai umat Islam yang taat. Pada halaman 278 menunjukkan sebuah deskripsi mengenai nilai aqidah tentang sholawat dan kalimat tahmid yang diucapkan oleh Kiai Ahmad Dahlan sebelum memulai pengajian. Teks penanda pada halaman 344 menunjukkan deskripsi tentang nilai aqidah yaitu iman kepada Allah, ketika Allah menurunkan wahyu pertama. Iman kepada kitab Allah, wahyu yang diturunkan yaitu kalimat iqro’. Iman kepada Nabi dan Rasul, ketika wahyu tersebut diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Teks penanda pada halaman 341 menunjukkan deskripsi mengenai nilai aqidah yaitu keyakinan terhadap agama Islam yang dianut oleh murid – murid di Kweekschool hanya mengikuti leluhurnya saja, ada juga diantara mereka yang berpindah keyakinan demi mementingkan urusan dagang, politik, dan perkawinan.
Teks penanda pada halaman 365 dan 419 menunjukkan deskripsi tentang nilai aqidah yaitu iman kepada Allah. Yang pertama iman kepada Allah melalui sifat-Nya, yakni Allah Mahatahu, kemudian yang kedua iman kepada Allah dilakukan dengan penerapan shalat istikharah yang dilakukan oleh Kiai Ahmad Dahlan sebelum beliau memutuskan nama yang cocok untuk perkumpulan Islam yang akan didirikannya, yaitu Muhammadiyah. Pada halaman 430 menunjukkan sebuah deskripsi mengenai nilai aqidah tentang iman kepada Allah yang menunjukkan bahwa Kiai Ahmad Dahlan bukan lah Kiai kafir, karena beliau menunaikan shalat dan melakukan ibadah – ibadah yang lain menurut ajaran agama Islam. 3. Nilai pendidikan syariah Dilihat dari segi hukum, syariat merupakan norma hukum dasar yang ditetapkan oleh Allah SWT, yang wajib diikuti oleh orang Islam berdasarkan iman yang berkaitan dengan akhlak, baik dalam hubungannya dengan Allah SWT maupun dengan sesama manusia dan benda dalam masyarakat (Ali, 2015: 46). Dalam novel Sang Pencerah karya Akmal Nasery Basral juga terkandung adanya nilai pendidikan syariah, yaitu ditandai dengan contoh teks – teks sebagai berikut: Tabel 3. Nilai pendidikan syariah dalam novel Sang Pencerah Hal
Signifier (Penanda)
Signified (Petanda)
19
“kamu ingin mencoba berdiri di dalam maksura itu, Darwis?” “tapi itu kan tempatnya Kanjeng Sultan, Bapak.” “kamu tak ingin mencoba shalat di dalamnya?” “Bapak pernah?” “tidak. Belum.”
Nilai syariah yang menunjukkan bahwa ibadah shalat itu bisa dilakukan di tempat yang sederhana, tidak harus di tempat yang seharusnya diperuntukkan untuk seseorang yang lebih tinggi kedudukannya.
“kenapa?” “karena seluruh tempat di atas bumi Allah ini adalah tempat shalat yang bisa digunakan”. 40
“tradisi ya tradisi, tidak bisa dibarengkan dengan ajaran agama, ujar Mas Darwis. Sekarang ini sudah makin banyak tradisi yang masuk ke dalam ajaran agama kita”.
Nilai syariah yang menunjukkan bahwa tradisi itu tidak bisa disamakan dengan ajaran agama.
176 “jadi, dalam berdo‟a yang dibutuhkan adalah sabar, ikhlas, dan keyakinan bahwa Allah akan mengabulkan do‟a kita. Itulah indahnya ajaran Islam dan kita sebagai umat Nabi Muhammad yang tidak mengenal sistem kepanditaan seperti pada ajaran agama lain”.
Nilai syariah yang menunjukkan bahwa dalam ajaran agama Islam seorang hamba jika berdo‟a harus selalu sabar dan ikhlas, serta percaya bahwa Allah akan mengabulkan do‟anya.
239 “pertanyaan saya hanya satu, kalau sekiranya kita tidak perlu repot – repot menentukan arah kiblat, lantas mengapa Allah menetapkan Ka‟bah di Masjidil Haram sebagai kiblat bagi kita umat Nabi
Nilai syariah yang menunjukkan bahwa dalam berkiblat untuk shalat, kita harus benar – benar teliti dalam
Muhammad SAW., tidak lagi menghadap ke Masjidil Aqsha seperti sebelumnya?”.
menentukan arah kiblat yang benar menurut ilmu falaq.
239 “maaf Mas Noor”, jawab Walidah. “saya sendiri tidak tahu pasti siapa yang benar dalam hal ini. Saya hanya perempuan biasa, makmum dalam keluarga. Kewajiban saya adalah mengikuti imam saya, Mas Dahlan”.
Nilai syariah yang menunjukkan bahwa dalam ajaran agama Islam kewajiban seorang istri adalah mengikuti suaminya.
299 “itulah bahayanya jika kita percaya membabi buta pada guru – guru sebelum kita, Kiai Dahlan. Dan ini juga terjadi akibat kegandrungan umat Islam yang berlebihan terhadap tasawuf, sehingga enggan untuk melihat kenyataan kehidupan modern sekarang dengan perkembangan teknologi yang sebetulnya bisa digunakan sebagai sarana dakwah”.
Nilai syariah yang menunjukkan kegandrungan yang berlebihan terhadap tasawuf.
385 “Agama Islam itu sebenarnya sangat memudahkan bagi umatnya. Dalam Islam, untuk mendo‟akan almarhum bapak atau orangtua kita justru sebenarnya tidak perlu ramai – ramai baca Yasin dan membuat tahlilan. Apalagi repot – repot membuat apem dan nasi kuning. Kenapa? Karena do‟a seorang anak yang saleh itu sudah cukup bagi kedua orangtuanya, dan akan diterima Allah SWT. Kanjeng Nabi Muhammad SAW pernah bersabda bahwa amal baik seseorang itu terputus saat dia meninggal dunia, kecuali tiga hal, dimana salah satunya adalah do‟a anak saleh seperti sampeyan”.
Nilai syariah mengenai cara mendo‟akan orang yang sudah meninggal menurut ajaran agama Islam.
29
“karena syarat bagi seseorang agar diizinkan memberikan fatwa adalah orang itu selain
Nilai syariah tentang persyaratan seseorang
hafal Al – Qur‟an dan tafsirnya, juga harus menguasai ilmu hadis 9 sanad dan syarah-nya, dan berbagai ilmu agama lain dengan sangat baik”.
yang apabila memberikan fatwa.
32
“setelah selesai membuang hadas kecil, aku berwudhu dan kembali ke tempat dudukku semula”.
Nilai syariah tentang thaharah.
37
“Darwis, ayo bangun”
Nilai syariah tentang shalat.
“ada apa bu?” “bapak sudah menunggu untuk shalat Subuh berjamaah”. 42
“namun sebagai seorang anak khatib dan imam Nilai syariah tentang Masjid Gedhe Kauman, aku tak punya banyak hukum seorang muslim kesempatan untuk menghabiskan waktu di yang menuntut ilmu. Malioboro, karena aku harus belajar agama”.
45
“ibuku pinjam uang dari Mak Odah. Nanti mengembalikannya harus lebih banyak dari jumlah pinjaman”.
298 “betul itu, Syaikh Rasyid Ridha. Juga menyangkut beberapa tradisi di masyarakat kami yang selalu dikaitkan dengan agama Islam, tapi menurut saya itu tidak dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad SAW”. 60
“ini salah satu cara bapak untuk menguji lagi ingatanku tentang materi yang pernah beliau ajarkan, tanpa membutuhkan waktu tersendiri. Maka aku kutip sebuah hadis tentang itu yang sangat ku hafal. “diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda: “siapa yang mandi pada hari jum‟at seperti cara mandi junub, kemudian pergi seawal mungkin untuk
Nilai syariah yang menunjukkan adanya riba. Nilai syariah yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW
Nilai syariah yang menunjukkan tentang hukum mandi sebelum shalat jumat.
mengerjakan shalat jum‟at, seolah dia berkurban seekor unta. Siapa yang pergi untuk melaksanakan shalat jum‟at pada waktu yang kedua, maka seolah dia berkurban seekor sapi. Siapa yang pergi pada waktu yang ketiga, maka seolah dia berkurban seekor kambing. Siapa yang pergi pada waktu yang keempat, maka dia seolah berkorban seekor ayam. Siapa yang pergi pada waktu yang kelima, maka seolah dia berkorban sebutir telur. Apabila imam sudah berada di atas mimbar, para malaikat berkumpul untuk mendengarkan khutbahnya”. 64
“itulah salah satu rahasia untuk tidak pernah kekurangan, ujar bapak. Dengan banyak memberi”.
Nilai syariah tentang sedekah.
98
“wis, agama itu harus diajarkan dengan lemah lembut, jawab seorang anggota takmir lainnya. Tradisi bisa menjadi cara yang baik untuk menyampaikan ajaran agama”.
Nilai syariah yang menyangkut tradisi.
99
“sampai saat ini aku juga belum tahu pasti apakah ada larangan atau tidak mengenai soal padusan dan ruwatan ini. Insya Allah nanti akan aku pelajari lagi. Tapi menurut Mas Saleh, kakak iparku yang pernah belajar di Saudi, ruwatan itu tidak wajib”.
Nilai syariah yang menunjukkan hukum dari tradisi masyarakat jawa.
100 “tahun – tahun sebelumnya puasaku juga penuh semua pak. Bapak lupa ya?”
Nilai syariah tentang puasa.
“astaghfirullah, bapak lupa. Iya, betul tahun lalu puasa kamu sudah penuh”. 124 “sama halnya dalam bidang agama, sikap nrimo orang jawa ini membuat hampir tidak adanya keinginan masyarakat untuk
Nilai syariah tentang tradisi dengan ajaran
mengetahui lebih jauh tentang praktik – praktik keagamaan yang selama ini mereka lakukan: apakah hal itu betul – betul dipraktikan oleh Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Atau hanya tradisi masyarakat jawa yang sebetulnya tidak dipraktikkan oleh umat Islam di tempat lain di luar jawa?”.
Islam.
155 “saya akan segera melakukan shalat istikharah untuk memantapkan hati dalam urusan ini pak, bu, jawabku kepada orangtuaku. Mudah – mudahan Gusti Allah segera melimpahkan kemantapan hati kepada saya, kataku kali ini sambil menganggukkan kepala kepada pakde dan bude Fadlil”.
Nilai syariah tentang shalat.
156 “aku dan Siti Walidah baru saja disahkan sebagai suami – istri, dalam sebuah akad nikah sederhana”.
Nilai syariah tentang pernikahan.
169 “awalnya jenazah bapak akan dishalati di Nilai syariah tentang Langgar kidul, tempatnya mengajar selama ini. shalat jenazah. Tetapi atas permintaan Kiai Penghulu Kamaludiningrat dan para khatib amin Masjid Gedhe kauman lainnya, akhirnya bapak dishalati di Masjid Gedhe”. 169 “sebagai anak laki – laki tertua, aku menjadi imam shalat yang diikuti oleh banyak sekali jama‟ah hingga Masjid Gedhe terasa penuh sesak saking banyaknya masyarakat yang ikut”.
Nilai syariah tentang kewajiban sebagai seorang laki – laki.
188 “mas Noor sendiri tahu seruan – seruanku masih berada dalam ajaran mazhab Syafi‟i untuk fiqih, dan ajaran – ajaran Al – Ghazali untuk tasawuf. Hampir tidak ada bedanya dengan sebagian besar keyakinan masyarakat
Nilai syariah tentang madzhab.
jawa”.
282 “ajaran Islam itu sudah paling sempurna di antara semua ajaran Kiai, sahut Jazuli”.
Nilai syariah tentang ajaran Islam yang sempurna.
297 “kedatanganku di tanah suci sangat berbeda dibandingkan kedatangan pertama yang memang diniatkan untuk memperdalam ajaran Islam. Kali ini niat kedatanganku adalah untuk beribadah haji, dengan waktu yang lebih terbatas”.
Nilai syariah tentang ibadah haji.
358 “aku mengajarkan agama lewat tembang itu supaya memudahkan anak – anak memahami inti agama. Tidak dilakukan pun tidak apa – apa. Sedangkan tradisi seperti padusan atau ziarah kubur yang aku kritik itu adalah karena sudah dianggap masyarakat harus dilakukan, sudah seperti wajib saja hukumnya”.
Nilai syariah tentang hukum ziarah kubur dan padusan.
379 “kalau sudah shalat, pekerjaan yang tadinya diperbolehkan sebelum shalat menjadi tidak diperbolehkan karena kita hanya diperbolehkan untuk mengingat Allah saja. Allah yang Mahabesar”.
Nilai syariah tentang ibadah shalat.
383 “menikah itu tidak perlu slametan pak, jawabku. Cukup ada wali, saksi, dan mahar. Setelah itu kabarkan ke tetangga agar mereka tahu siapa yang menikah dengan siapa supaya tidak menimbulkan fitnah”.
Nilai syariah tentang pernikahan.
392 “begini saja Mas Noor. Apakah berpakaian Nilai syariah tentang seperti yang saya lakukan dengan jas, dasi, dan
sepatu itu diharamkan dalam Islam? Kalau menurut Mas Noor iya, tolong sebutkan dalilnya? Tanyaku”.
dalil cara berpakaian.
“kalau diharamkan sih tidak, jawab Mas Noor sambil melihat ke arah Kiai Penghulu. Bagaimana Kiai Penghulu, dan para khatib amin, adakah dalil haram yang ditanyakan Kiai Dahlan, atau tidak? Lanjut Mas Noor. Para Kiai dan khatib amin itu menggelengkan kepala mereka hampir bersamaan dengan kata – kata seperti “rasanya tidak pernah dengar atau tidak pernah ada”. 403 “jadwal mengajarku di Kweekschool Jetis jadi semakin sering. Dan murid – murid yang rata – rata berumur 13 tahun ini pun semakin terbiasa mendengarkan ajaran Islam yang kusampaikan lewat tanya – jawab yang cair”.
Nilai syariah tentang pengajaran Kiai Ahmad Dahlan dalam menyampaikan ajaran Islam di Kweekschool.
427 “saya khawatir jika diizinkan berdiri di Kauman, Muhammadiyah akan menyebarkan paham modern yang bertentangan dengan syariat Islam seperti yang ditunjukkan Kiai Dahlan dengan pakaian dan cara dakwahnya selama ini dengan memakai musik, ujar Kiai Faqih”
Nilai syariah yang menunjukkan kekhawatiran Kiai Faqih apabila Muhammadiyah didirikan akan bertentangan dengan ajaran Islam.
272 “Bersediakah Bapak Pendeta agar kita sama – sama keluar dari agama kita sekarang untuk mencari ajaran mana yang lebih benar? Kalau ajaran Protestan yang Bapak yakini selama ini yang benar, saya bersedia dan ikhlas untuk mengikuti keyakinan bapak”, ujarku yang melihat ekspresi terkejut terpantul dari matanya. “tapi jika sebaliknya Bapak merasa ajaran Islam yang benar, Bapak harus ikhlas juga
Nilai syariah tentang ajaran Islam yang paling benar.
untuk memeluk Islam, lanjutku”.
Teks penanda pada halaman 19 menunjukkan deskripsi dialog antara Darwis dengan ayahnya mengenai nilai syariah tentang ibadah shalat. Mereka membicarakan tentang maksura atau tempat shalat khusus yang digunakan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono. Kiai Abu Bakar mencoba merespon rasa penasaran anaknya dengan pertanyaan dan jawaban, lalu Kiai Abu Bakar menerangkan bahwa seluruh tempat di atas bumi Allah ini dapat digunakan untuk melaksanakan shalat. Pada halaman 40 menunjukkan deskripsi mengenai nilai syariah tentang tradisi yang dibarengkan dengan ajaran agama. Darwis berkata bahwa tradisi itu tidak bisa dibarengkan dengan ajaran agama, sedangkan pada saat itu sudah banyak tradisi yang masuk dalam ajaran agama Islam. Oleh karena itu Darwis tidak setuju dengan tradisi para masyarakat Kauman dahulu yang membarengkan tradisi tersebut dengan ajaran agama Islam. Halaman 176 menunjukkan deskripsi mengenai nilai syariah tentang ajaran agama Islam yang tidak mengenal sistem kepanditaan seperti ajaran agama Nasrani. Jadi dalam ajaran Islam, dalam berdo‟a yang dibutuhkan hanyalah sabar dan yakin Allah akan mengabulkan do‟a – do‟a yang dipanjatkan oleh hamba – hambanya.
Teks penanda pada halaman 239 menunjukkan deskripsi mengenai nilai syariah tentang penentuan arah kiblat. Kiai Ahmada Dahlan yang pada waktu itu sudah menguasai ilmu falaq merasa bahwa arah kiblat yang ada di Masjid Gedhe Kauman masih kurang tepat, sehingga beliau menentang dengan pertanyaan yang membuat para Kiai yang meghadiri musyawarah penentuan arah kiblat saat itu tercengang. Meskipun pada akhirnya banyak Kiai yang kurang setuju dengan keputusan Kiai Ahmad Dahlan untuk mengubah arah kiblat. Teks berikutnya menunjukkan deskripsi mengenai nilai syariah bahwa istri wajib menjadi makmum suaminya. Walidah saat itu tidak mengetahui secara mendalam mengenai masalah yang terjadi dan dialami oleh Kiai Ahmad Dahlan, karena Walidah sebagai seorang istri hanya mampu patuh dan taat kepada suaminya. Pada teks penanda halaman 299 menunjukkan deskripsi mengenai nilai syariah yang menunjukkan kegandrungan masyarakat terdahulu yang berlebihan terhadap tasawuf, sehingga enggan untuk memperhatikan perkembangan jaman modern seperti sekarang, sehingga melarang sarana yang digunakanan sebagai media dakwah yang tidak ada dalilnya atau larangannya dalam ajaran agama Islam. Teks penanda pada halaman 385 menunjukkan deskripsi mengenai nilai syariah yang menunjukkan bahwa dalam ajaran agama Islam itu tidak diwajibkan dalam mendo‟akan orang yang sudah meninggal beramai – ramai dan membuat makanan, karena yang diajarkan dalam Islam adalah do‟a anak yang sholeh dan sholehah.
Pada halaman 29 menunjukkan deskripsi mengenai nilai syariah yang menunjukkan bahwa dalam ajaran agama Islam seseorang yang diizinkan untuk memberikan fatwa adalah seseorang yang sudah memenuhi syarat menurut ajaran agama Islam, termasuk yang hafal Al – Qur‟an dan tafsirnya, serta menguasai ilmu Hadis 9 sanad dan syarah-nya, dan juga menguasai ilmu agama yang lain. Teks penanda pada halaman 32 menunjukkan deskripsi mengenai nilai syariah tentang thaharah. Ketika menghadiri yasinan di pak Poniman di rumah Pono, Darwis sempat membuang hadas di rumah Pono, setelah membuang hadas Ia berwudhu dan kemudian kembali ke tempat duduk seperti semula. Teks penanda pada halaman 37 menunjukkan deskripsi mengenai nilai syariah
tentang
ibadah
shalat.
Ketika
Darwis
sedang
tidur,
ibunya
membangunkannya dengan memanggil – manggil namanya untuk sholat subuh, kemudian ayahnya Darwis sudah menunggu untuk menunaikan shalat subuh berjamaah. Pada halaman 42 menunjukkan deskripsi mengenai nilai syariah tentang hukum menuntut ilmu untuk seorang muslim. Muhammad Darwis sebagai putra dari seorang khatib dan imam Masjid Gedhe Kauman tidak memiliki banyak kesempatan untuk menghabiskan waktunya di Malioboro, karena Ia harus belajar agama, karena Ia menyadari bahwa hukum seorang muslim dalam menuntut ilmu, khususnya ilmu agama adalah wajib. Teks penanda pada halaman 45 menunjukkan deskripsi mengenai nilai syariah yang menunjukkan adanya riba, yaitu peminjaman uang yang dilakukan
oleh ibunya Pono kepada Mak Odah tidak sama nominalnya ketika ibunya Pono nanti mengembalikan pinjamannya, karena terdapat bunga pinjaman. Riba diharamkan dalam ajaran agama Islam. Teks penanda pada halaman 298 menunjukkan deskripsi mengenai nilai syariah yang menunjukkan bahwa dalam ajaran agama Islam, Rasulullah SAW tidak mencontohkan tradisi yang dikaitkan dengan agama, karena tradisi merupakan warisan dari nenek moyang. Pada saat itu Muhammad Darwis bertemu dengan Syaikh Rasyid Ridho dan memberitahu mengenai tradisi yang ada di masyarakatnya. Pada halaman 60 menunjukkan deskripsi mengenai nilai syariah yang menunjukkan bahwa dalam ajaran agama Islam, mandi sebelum berangkat menunaikan ibadah shalat jumat adalah sunnah yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW kepada umatnya, dan pergi seawal mungkin untuk menunaikan ibadah shalat jumat merupakan kesempurnaan pahala tersendiri bagi yang melakukannya. Teks penanda pada halaman 64 menunjukkan deskripsi mengenai nilai syariah yang menunjukkan bahwa ajaran Islam mengajarkan untuk saling memberi, karena rahasia agar tidak kekurangan adalah dengan memberi atau bersedekah. Teks penanda pada halaman 98 menunjukkan deskripsi mengenai nilai syariah. Salah seorang takmir berkata kepada Darwis bahwa tradisi dapat
digunakan untuk menyampaikan ajaran agama Islam, karena agama itu harus diajarkan dan disampaikan dengan lemah lembut. Teks penanda pada halaman 99 menunjukkan deskripsi mengenai nilai syariah. Muhammad Darwis penasaran dengan tradisi ruwahan dan padusan yang menjadi tradisi di masyarakatnya apakah terdapat larangan atau tidak mengenai tradisi tersebut, sehingga Ia ingin mempelajarinya lagi. Kemudian Ia ingat perkataan Mas Saleh bahwa ruwahan dan padusan tersebut tidak wajib hukumnya dalam ajaran agama Islam. Halaman 100 menunjukkan deskripsi mengenai nilai syariah, yaitu puasa. Dialog antara Siti Walidah dengan bapaknya menunjukkan bahwa puasa Ramadhan Walidah terpenuhi pada tahun – tahun sebelumnya. Hal tersebut menunjukkan salah satu bentuk ketaatan Siti Walidah dalam menjalankan perintah agama, yaitu puasa Ramadhan. Teks penanda pada halaman 124 menunjukkan deskripsi mengenai nilai syariah yang menunjukkan bahwa sikap orang jawa yang selalu nrimo ini membuat mereka tidak ingin mengetahui secara lebih jauh tentang praktik – praktik keagamaan yang dilakukan mereka, apakah praktik – praktik keagamaan tersebut dicontohkan oleh Rasulullah SAW yang merupakan panutan umat Islam, atau malah tidak dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Pada halaman 155 menunjukkan sebuah deskripsi tentang nilai syariah, yaitu ketaatan Kiai Ahmad Dahlan dalam menentukan pilihannya, yakni dengan melaksanakan shalat istikharah, yang mana dalam ajaran agama Islam apabila
dalam menentukan pilihan diliputi rasa bimbang dan dilema, umat Islam dianjurkan untuk melaksanakan shalat istikharah. Halaman 156 menunjukkan sebuah deskripsi mengenai nilai syariah tentang pernikahan yang dilakukan oleh Kiai Ahmad Dahlan dan Siti Walidah melalui akad nikah yang sederhana dan dihadiri oleh beberapa saksi dari orang tua dan sanak saudara mereka. Teks penanda pada halaman 169 menunjukkan deskripsi tentang nilai syariah yaitu shalat jenazah. Ketika Kiai Abu Bakar meninggal dunia, banyak jamaah yang ingin menshalatkan jenazah beliau. Pada awalnya jenazah beliau akan dishalatkan di langgar kidul, tetapi atas permintaan Sri Sultan sebagai pemimpin tertinggi, beliau meminta supaya jenazah Kiai Abu Bakar dishalati di Masjid Gedhe Kauman. Sebagai anak laki – laki pertama dari Kiai Abu Bakar, maka Kiai Ahmad Dahlan memimpin shalat jenazah tersebut dengan diikuti oleh banyaknya jamaah yang juga ikut menshalati jenazah Kiai Abu Bakar. Pada halaman 188 menunjukkan deskripsi mengenai nilai syariah tentang madzhab dan ajaran – ajaran yang dianut oleh Kiai Ahmad Dahlan. Beliau berkata kepada Mas Noor bahwa seruan – seruan atau ajaran beliau masih mengacu pada madzhab Syafi‟i untuk masalah fiqh, dan ajaran – ajaran Al – Ghazali untuk masalah tasawuf, meskipun beliau telah dianggap kafir oleh masyarakat Kauman. Tetapi hal tersebut tidak menyurutkan semangat beliau dalam berdakwah dan menyampaikan ajaran Islam yang benar menurut syariah.
Halaman 282 menunjukkan sebuah deskripsi adanya dialog tentang nilai syariah yaitu ajaran Islam. Kiai Ahmad Dahlan bertanya kepada Jazuli apakah ada ajaran yang lebih sempurna dibandingkan dengan ajaran Islam, kemudian Jazuli menjawab dengan sangat yakin bahwa ajaran Islam sudah merupakan ajaran yang paling sempurna dibandingkan dengan ajaran – ajaran yang lain. Pada teks penanda halaman 297 menunjukkan deskripsi mengenai nilai akhlak tentang ibadah haji. Pada kedatangan Kiai Ahmad Dahlan yang kedua di tanah suci, beliau berniat untuk menunaikan ibadah haji dengan mengajak anaknya yang bernama Siraj yang usianya masih enam tahun. Pada halaman 358 menunjukkan sebuah deskripsi mengenai nilai syariah tentang kritikan Kiai Ahmad Dahlan terhadap tradisi yang tidak diwajibkan dalam ajaran Islam. Ziarah atau padusan yang dilakukan masyarakat sebagai tradisi mereka membuat Kiai Ahmad Dahlan membandingkan dengan cara dakwah beliau menggunakan tembang, beliau mengkritik bahwa ziarah atau padusan itu tidak wajib hukumnya, sama halnya dengan beliau mendakwahkan ajarannya dengan tembang. Halaman 379 menunjukkan deskripsi mengenai nilai syariah tentang shalat. Kiai Ahmad Dahlan berkata bahwa pekerjaan yang sebelumnya boleh dilakukan di luar shalat, akan haram hukumnya apabila dilakukan pada saat shalat, kecuali gerakan shalat itu sendiri. Hal tersebut menunjukkan bahwa apabila dalam menunaikan ibadah shalat, haram hukumnya melakukan gerakan atau perbuatan apapun selain gerakan shalat.
Teks penanda pada halaman 383 menunjukkan sebuah deskripsi tentang nilai syariah, yaitu ketika Kiai Ahmad Dahlan ditanya oleh seorang bapak – bapak mengenai slametan pada saat melaksanakan pernikahan. Kiai Ahmad Dahlan lalu menjelaskan kepada bapak – bapak tersebut bahwa dalam ajaran agama Islam, yang dibutuhkan dalam pernikahan itu hanyalah wali, saksi, dan mahar, lalu memberitahu kepada tetangga agar pernikahan tersebut tidak menimbulkan fitnah. Pada halaman 392 menunjukkan deskripsi mengenai nilai syariah tentang cara berpakaian yang menggunakan jas, dasi, dan sepatu serta dalil yang melarangnya. Kiai Dahlan bertanya kepada Mas Noor tentang cara berpakaian beliau yang menggunakan jas, dasi, dan sepatu apakah diharamkan dalam ajaran agama Islam, lalu beliau menyuruh Mas Noor menyebutkan dalil yang melarangnya jika benar diharamkan. Mas Noor menjawab dengan jawaban yang menurutnya kurang memuaskan, lalu beliau meminta pendapat dengan Kiai Penghulu dan para khatib amin. Setelah mereka mengajukan pendapatnya, ternyata jawaban mereka adalah tidak ada dalil yang melarang cara berpakaian dengan menggunakan jas, dasi, dan sepatu. Hal tersebut menunjukkan bahwa cara berpakaian modern seperti jas, dasi, dan sepatu tidak diharamkan dalam ajaran agama Islam. Halaman 403 menunjukkan deskripsi tentang nilai syariah yang membahas ajaran Islam yang disampaikan oleh Kiai Ahmad Dahlan kepada murid – murid di Kweekschool Jetis. Jadwal mengajar Kiai Dahlan yang semakin
sering di Kweekschool Jetis membuat beliau lebih banyak dalam mendakwahkan ajaran Islam di sekolah tersebut dengan mengajar pendidikan agama Islam. Murid – murid di sekolah tersebut pun semakin terbiasa mendengarkan ajaran Islam yang disampaikan oleh Kiai Ahmad Dahlan lewat tanya jawab yang cair. Teks penanda pada halaman 427 menunjukkan deskripsi mengenai nilai syariah yang menjelaskan kekhawatiran Kiai Faqih terhadap rencana Kiai Ahmad Dahlan yang akan mendirikan perkumpulan Islam Muhammadiyah. Kiai Faqih berasumsi bahwa jika Muhammadiyah diizinkan berdiri di Kauman akan menyebarkan paham modern yang bertentangan dengan syariat Islam, karena beliau memandang dari cara berpakaian Kiai Ahmad Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah yang mirip dengan cara berpakaian orang – orang Belanda yang kafir. Pada halaman 272 menunjukkan sebuah deskripsi tentang nilai syariah yang menunjukkan bahwa ajaran agama Islam merupakan ajaran yang paling benar. Oleh karena itu, Kiai Ahmad Dahlan mengajak seorang pendeta agar sama – sama keluar dari agama untuk mencari ajaran mana yang paling benar. Lalu beliau membuat kesepakatan apabila ajaran Nasrani yang paling benar, maka beliau akan berpindah keyakinan ke dalam agama Nasrani, tetapi apabila ajaran Islam merupakan ajaran yang paling benar, seorang Pendeta tersebut harus ikhlas berpindah keyakinan ke dalam agama Islam.
C. Relevansi Nilai – Nilai Pendidikan Islam dalam Novel Sang Pencerah Karya Akmal Nasery Basral Terhadap Dakwah Muhammadiyah Nilai – nilai pendidikan Islam dalam novel Sang Pencerah tidak luput dari perjuangan K.H. Ahmad Dahlan dalam berdakwah. Nilai – nilai pendidikan Islam yang peneliti temukan dalam novel Sang Pencerah diantaranya adalah akhlak, aqidah, dan syariah. Nilai – nilai pendidikan Islam tersebut memiliki relevansi atau hubungan dengan dakwah Muhammadiyah, diantaranya adalah: 1. Nilai pendidikan aqidah dalam novel Sang Pencerah karya Akmal Nasery Basral dan relevansinya terhadap dakwah Muhammadiyah Perjuangan K.H. Ahmad Dahlan dalam berdakwah tidak lepas dari tuduhan – tuduhan dari masyarakat Kauman tentang sarana maupun metode K.H. Ahmad Dahlan dalam berdakwah yang menyebabkan beliau dianggap kafir oleh mereka. Adapun dialog maupun kutipan teks dalam novel Sang Pencerah yang membuktikan bahwa metode dan sarana prasarana beliau dalam berdakwah dianggap kafir oleh mereka adalah: “tetapi karena makin seringnya anak – anak non muslim itu datang ke rumahku, serta caraku mengajar yang kadang – kadang menggunakan musik sebagai bagian dari cara belajar, telah membuat sebagian masyarakat dan para Kiai melontarkan tuduhan yang semakin sadis kepadaku sebagai anak Kristen, dan bahkan sudah murtad dari agama Islam!”. “nak Sudja, ndak perlu pinter – pinter amat ngaji buat tahu bahwa kalau ada orang yang sehari – harinya menyerupai orang kafir, berpakaian seperti orang kafir, dan hidup dengan cara orang kafir, maka orang itu adalah bagian dari orang – orang kafir”.
K.H. Ahmad Dahlan dalam berdakwah memang sering menggunakan alat musik biola dan cara berpakaian beliau menyerupai orang – orang Belanda pada saat itu, sehingga tuduhan – tuduhan Kiai kafir terus dilontarkan oleh warga – warga Kauman maupun Kiai – Kiai di Kauman kepada K.H. Ahmad Dahlan. Menurut Shalih (2015: 3) sebagaimana telah dipaparkan pada halaman sebelumnya, menyatakan bahwa akidah secara syara‟ yaitu iman kepada Allah, para MalaikatNya, Kitab – KitabNya, para RasulNya dan kepada Hari Akhir serta kepada qadar yang baik maupun yang buruk. Hal ini disebut juga sebagai rukun iman. Dari pendapat diatas dapat dipahami bahwa sesungguhnya K.H. Ahmad Dahlan bukanlah Kiai kafir, karena beliau hanya mendakwahkan ilmunya melalui cara – cara seperti yang dipergunakan oleh orang – orang Belanda pada saat itu, hal tersebut tidak ada kaitannya dengan kekafiran seseorang, karena masalah cara mengajar yang menyerupai orang – orang barat atau Belanda tersebut tidak berkaitan dengan cara beriman seseorang kepada Tuhannya, sedangkan Hakikat kafir yang sebenarnya ialah keluarnya atau murtadnya seseorang dari agama Islam dan tidak percaya akan adanya Tuhan, serta mempersekutukan Tuhan dengan sesuatu yang lain. Nilai pendidikan aqidah yang terdapat dalam novel Sang Pencerah karya Akmal Nasery Basral adalah nilai keimanan yang ditunjukkan melalui tokoh dalam novel Sang Pencerah, yang mencakup iman kepada Allah, iman kepada kitab Allah, dan iman kepada Nabi dan Rasul. Pertama, iman kepada
Allah yang ditunjukkan melalui teks penanda pada halaman 29, 19, 44 – 45, 106, 308, 415, 46, 59, 60, 65, 81, 84, 91, 110, 113, 135 – 136, 137, 141, 176, 214, 237, 275, 274 – 275, 278, 344, 341, 365, 419, dan 430. Kedua, iman kepada Kitab Allah yang ditunjukkan melalui teks penanda pada halaman 6, 44 – 45, 415, 97, 141, 176, 214, 275, 274 – 275, dan 344. Ketiga, iman kepada Nabi dan Rasul yang ditunjukkan melalui teks penanda pada halaman 81, 137, 214, 275, 274 – 275, dan 344. 2. Nilai pendidikan akhlak dalam novel Sang Pencerah karya Akmal Nasery Basral dan relevansinya terhadap dakwah Muhammadiyah Cobaan demi cobaan dilalui oleh K.H. Ahmad Dahlan dalam berdakwah, salah satu cobaan terberat beliau ialah saat dihancurkannya langgar kidul yang merupakan saung dakwah beliau kepada murid – muridnya yang setia kepadanya. Meskipun beliau tidak menyaksikan secara langsung tragedi yang dapat menyayat hati beliau tersebut, tetapi beliau tetap sedih dan tersakiti hatinya akibat perbuatan orang – orang suruhan dari Kiai Kholil Penghulu Kamaludiningrat dan atas perintahnya untuk mengahncurkan langgar kidul. Adapun dialog maupun kutipan teks novel Sang Pencerah yang membuktikan bahwa langgar kidul milik K.H. Ahmad Dahlan dihancurkan adalah: “mereka terlihat seperti para kuli yang membawa banyak perkakas: linggis, palu, cangkul. Bayangkan mereka hanya diterangi secercah nyala obor di tengah gelap malam, membuat banyak bayangan hitam
yang kurang menyenangkan. Apalagi mereka terus saja menyerukan kalimat tahlil “Laa ilaaha illallah...” berulang – ulang, seperti hendak mengumpulkan keberanian dan kekuatan untuk menghantam pasukan Belanda”. “di tempat lain, Kiai Lurah Muhammad Noor yang rupanya sudah tau rencana itu memperhatikan bersama para santrinya pergerakan kelompok itu menuju langgar kidul. Awalnya dia berniat untuk tidak terlibat terlalu jauh, selain menyerahkan rencana itu sesuai dengan keinginan Kiai Penghulu Kholil Kamaludiningrat. Namun melihat cara para kuli itu berjalan rupanya membuat Mas Noor cemas, sehingga dia meminta salah seorang santrinya untuk menjemput Kiai Muhsin”. “aku sendiri sudah sampai di depan rumah mertuaku Kiai Fadlil. Hatiku terasa perih. Mataku perih dan terasa sembap. Tampaknya tak ada kemungkinan lain yang akan terjadi malam ini. Aku sangsi apakah Pakde Fadlil akan bisa menghentikan tindakan Kiai Penghulu Kamaludiningrat”. Tindakan yang dilakukan oleh Kiai Penghulu Kholil Kamaludiningrat merupakan tindakan zalim, yaitu zalim terhadap hamba Allah atau orang lain. “Kezaliman adalah dosa besar dalam Islam. Secara akal dan syariat, kita tidak melihat dosa yang lebih besar dari kezaliman.” (Mazaheri, 2005: 82) Menurut Al – Qur‟an dan riwayat – riwayat Ahlulbait as sebagaimana dikutip Mazaheri (2005:) menyatakan bahwa zalim kepada hamba – hamba Allah bahkan kepada makhluk – makhluk-Nya, dan termasuk ekstensinya yang nyata ialah merampas jiwa dan harta orang lain yang dikatakan itu adalah hak milik orang – orang. Dari kutipan teks Novel yang telah disebutkan, terbukti bahwa hak dari K.H. Ahmad Dahlan ini telah dirampas oleh Kiai Penghulu Kholil Kamaludiningrat, karena Kiai Kamaludiningrat telah memaksa K.H. Ahmad Dahlan untuk menutup langgar miliknya, tetapi K.H. Ahmad Dahlan tidak mau melakukannya, sampai akhirnya Kiai Kamaludiningrat menyuruh
pasukan – pasukannya untuk merobohkan langgar milik K.H. Ahmad Dahlan secara paksa. Nilai pendidikan akhlak yang terdapat dalam novel Sang Pencerah karya Akmal Nasery Basral adalah nilai pendidikan akhlak yang terpuji yang ditunjukkan melalui tokoh dalam novel Sang Pencerah, tetapi berdasarkan relevansinya, peneliti menganalisis akhlak yang kurang baik (tercela) yang dialami K.H. Ahmad Dahlan pada saat beliau berdakwah di masyarakatnya. Nilai akhlak terpuji terdapat pada teks penanda halaman 2, 10, 44, 62, 63, 84, 127, 129, 192, 221 – 222, 292, 3, 50, 19, 30, 33, 37, 46, 59, 62, 64, 76, 91, 89, 99, 113, 159 – 160, 166, 229, 235, 262, 264, 357, 370, 404, 445, dan 447 – 448. 3. Nilai pendidikan syari‟ah dalam novel Sang Pencerah karya Akmal Nasery Basral dan relevansinya terhadap dakwah Muhammadiyah Salah satu aspek yang berpengaruh atau yang berhubungan dengan dakwah K.H. Ahmad Dahlan adalah syari‟ah atau hukum Islam. “hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari dan menjadi bagian agama Islam”. (Ali, 2015: 42) Jika kita berbicara tentang hukum, secara sederhana segera terlintas dalam pikiran kita peraturan – peraturan atau seperangkat norma yang mengatur tingkah laku manusia dalam suatu masyarakat, baik peraturan atau norma itu berupa kenyataan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat maupun peraturan atau norma yang dibuat dengan cara tertentu dan ditegakkan oleh penguasa. (Ali, 2015: 43)
Dakwah K.H. Ahmad Dahlan di lingkungan masyaraktnya sering mendapat perlakuan aneh, terlebih apabila beliau pada saat berdakwah mengenakan pakaian orang – orang Budi Utomo, dan dianggap oleh sebagian besar masyarakat Kauman pada saat itu merupakan kombinasi yang aneh, karena pada saat itu K.H. Ahmad Dahlan memakai jas dan dasi seperti para anggota Budi Utomo lainnya. Bedanya adalah hanya beliau yang memakai serban. Adapun dialog maupun kutipan teks novel Sang Pencerah yang membuktikan bahwa K.H. Ahmad Dahlan dianggap sebagai Kiai Kafir karena cara berpakaian beliau yang menyerupai orang – orang kafir Belanda adalah: “apakah tidak ada kesulitan yang Kiai hadapi karena berpakaian begini?” tanya kepala sekolah yang rupanya sudah jauh lebih terbuka kepadaku sekarang. “tentu ada Meneer,” jawabku. “bahkan ada yang menuduh saya kafir.” “Kiai kafir? Apa maksudnya? Apakah karena Kiai Dahlan tidak sembahyang?” “Oh tidak, saya dianggap kafir karena pakaian seperti ini dianggap pakaian orang – orang kafir Belanda.” Mahmud Syaltout dalam Rosyada (1999: 3) menyatakan bahwa syari‟ah itu adalah ketentuan – ketentuan yang ditetapkan Allah, atau hasil pemahaman atas dasar ketentuan – ketentuan tersebut, untuk dijadikan pegangan oleh umat manusia baik dalam hubungannya dengan Tuhan, dengan manusia lainnya, orang Islam dengan nonmuslim, dengan alam, maupun dalam menata kehidupan ini. Dari penjelasan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwasannya K.H. Ahmad Dahlan dalam berpakaian seperti orang – orang kafir Belanda hanya untuk menjaga hubungan dengan para anggota Budi Utomo, karena beliau juga sempat bergabung dengan organisasi Budi Utomo, bukan berarti beliau
kafir karna pakaian tersebut, karena kafir merupakan urusan akidah atau tauhid, yaitu hubungan horizontal antara manusia dengan Tuhan. Nilai pendidikan syariah yang terdapat dalam novel Sang Pencerah Karya Akmal Nasery Basral adalah mengenai shalat, thaharah, menuntut ilmu, pernikahan, puasa, sedekah, ibadah haji, dalil cara berpakaian, dan tradisi yang menyangkut hukum Islam yang ditunjukkan melalui tokoh dalam novel. Pertama, nilai pendidikan syariah mengenai shalat terdapat pada teks penanda halaman 19, 239, 37, 60, 155, 169, dan 379. Kedua, nilai pendidikan syariah mengenai thaharah terdapat pada teks penanda halaman 32 dan 60. Ketiga, nilai pendidikan syariah tentang menuntut ilmu terdapat pada teks penanda halaman 42. Keempat, nilai pendidikan syariah tentang pernikahan terdapat pada teks penanda pada halaman 156. Kelima, nilai pendidikan syariah mengenai puasa terdapat pada teks penanda halaman 100. Keenam, nilai pendidikan syariah tentang sedekah yang terdapat pada teks penanda halaman 64. Ketujuh, nilai pendidikan syariah mengenai ibadah haji yang terdapat pada teks penanda halaman 297. Kedelapan, nilai pendidikan syariah mengenai dalil cara berpakaian yang ditunjukkan pada teks penanda halaman 392. Kesembilan, nilai pendidikan syariah tentang tradisi yang menyangkut hukum Islam yang ditunjukkan melalui teks penanda pada halaman 40, 98, 99, 385, 298, 299, dan 358.