BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Lokasi Penelitian 1. Latar Belakang Pendirian Ma’had Sunan Ampel Al-Ali Pendirian ma’had al-Aly diperuntukkan untuk mahasiswa UIN Malang sejak masa kepemimpinan Prof. Dr. H. Imam Suproyogo, ketika itu masih menjabat sebagai ketua STAIN Malang. Peletakan batu pertama tersebut di mulai pada ahad wage, 4 april 1999, oleh 9 kyai Jawa Timur dan disaksikanoleh sejumah kyai dari Kota dan Kabupaten Malang. Dalam jangka waktu setahun UIN Malang telah berhasil menyelesaikan 4 unit gedung yang terdiri dari 189 kamar dan 5 rumah pengasuh dan 1 rumah mudir ma’had. 2. Visi, Misi dan tujuan Ma’had Sunan Ampel al-Aly 1. Visi Terwujudnya
pusat
pemantapan
akidah,
pengembangan
ilmu
keislaman, amal sholeh, akhlak mulia, pusat informasi pesantren dan sebagai sendi terciptanya masyarakat muslim Indonesia yang cerdas, dinamis, kreatif, damai dan sejahtera.
151
152
2. Misi a)
Mengantarkan
mahasiswa
memiliki
kemantapan
akidah
dan
kedalaman spiritual, keluhuran akhlak, keluasan ilmu, dam kemantapan profesional. b) Memberikan keterampilan berbahasa arab dan berbahasa inggris c)
Memperdalam bacaan dan makna Al-Qur.an dengan benar dan baik.
3. Tujuan a)
Terciptanya suasana kondusif bagi pengembangan kepribadian mahasiswa yang memiliki kemantapan akidah dan spiritual, keagungan akhlak atau moral, keluasan ilmu dan kemantapan profesional.
b) Terciptanya suasana yang kondusif bagi pengembangan kegiatan keagamaan. c)
Terciptanya bi’ah lughowiyah yang kondusif bagi pengembangan bahasa arab dan bahasa inggris.
d) Terciptanya lingkungan yang kondusif bagi pengembangan minat dan bakat. 3. Program Kegiatan Ma’had Sunan Ampel al-Aly 1.
Peningkatan Kompetensi Akademik Meliputi: a) Ta’lim al-Afkar al-Islamiyah
153
Ta’lim
sebagai
media
proses
belajar
mengajar
ini
diselenggarakan dua kali dalam satu pecan selama dua semester, didikuti oleh semua santri di masing-masing unit hunian dan diasuh langsung oleh para pengasuhnya. Pada setiap akhir semester diadakan tes/evaluasi. b) Ta’lim Al-Qur’an Ta’lim ini diselenggarakan tiga kali dalam sepekan dalam satu semester, diikuti oleh semua santri dengan materi yang meliputi Taswit, Qiro’ah, Tarjamah dan Tafsir dan dibina oleh Musyrif, Murobby, komunitas JQH, dan pengasuh. Capaian ta’lim ini adalah di akhir semester genap semua santri telah mampu membaca AlQur.an dengan baik dan benar, hafal surat-srat tertentu, bagi santri yang memiliki kemampuan lebih akan diikutkan kelas terjamah dan tafsir sehingga memiliki kemampuan tehnik-tehnik menerjemah dan menafsirkan. c) Khataman Al-Qur’an Program ini diselenggarakan secara bersama setiap selesai sholat shubuh pada hari jum’at, melalui program ini diharapkan masing-masing santri mendapatkan kesempatan praktek membaca Al-Qur.an dengan baik dan benar dan diharapkan dapat
154
memperhalus budi, memperkaya pengalaman religiusitasnya serta memperdalam spiritualnya. 2.
Peningkatan Kompetensi Kebahasaan Upaya ini dilakukan dengan mengkondisikan lingkungan di ma’had sehingga kondusif untuk belajar dan praktik berbahasa melalui pemberian statement tertulis dibeberapa tempat yang strategis, baik berupa ayat Al- Qur.an, al Hadist, peribahasa yang dapa memotivasi penggunaan bahasa Arab dan bahasa Inggris, layanan kebahasaan, labelisasi benda-benda yang ada di unit hunian dan di sekitar ma’had dengan memberinya nama dalam bahasa Arab maupun bahasa Inggrisnya, pemeberian maeri dan kosa kata kedua bahasa tersebut, memberlakukan wajib berbahasa Arab dan berbahasa Inggris bagi bagi semua penghini ma’had serta membentuk mahkamah bahasa yang bertugas memberikan sangsi terhadap pelanggaran berbahasa.
B. Hasil Penelitian 1. Pelaksanaan Penelitian Penelitian dilakukan setelah mahasiswa baru mulai aktif perkuliahan, tepatnya mulai tanggal 15 Juni 2012. Peneliti menyebarkan angket sebanyak 84 eksemplar dan berhasil kembali utuh. 2. Uji Hasil Validitas Berikut ini merupakan hasil analisis validitasnya:
155
Hasil Uji Kematangan Emosi No.
Indikator
No. Item Valid
No.Item
Jumlah
Gugur 1.
Adanya kontrol
2,3,4,5,6,9,10
1.7.8
10
11,12,14,15,16,17,18,19,20
13
10
21,22,23,24,25,26,27,28,29,30
0
10
32,34,36,37,38,39,40
31,33,35
10
33
7
40
emosi dan terarah. 2.
Stabilitas emosi.
3.
Bersikap kritis terhadap situasi yang ada.
4.
Kemampuan penggunaan katarsis mental. Total
156
Hasil Uji Validitas Problem Focused Coping No
Indikator
No. Item Valid
. 1.
No.Item
Jumlah
Gugur Confrontive
1.2.3.4.5.6.7.8.9.10,11,12,13,14
0
14
11.12.13.14.15.16.17.18.20,21,23.24
19,22
14
24,26,27,28,29,30,31,33,34,36,38,39,40,41
25,32,35,37
14
6
42
Coping (konfrontasi) 2.
Seeking Social Support (mencari dukungan sosial)
3.
Planful Problem Solving
,42
(merencanakan pemecahan masalah) Total
36
157
3. Uji Hasil Reliabilitas Hasil Uji Reliabilitas Skala Kematangan Emosi Dengan Problem Focused Coping Mahasiswa Putra Variabel
Alpha
Keterangan
Kematangan Emosi
0,845
Reliabel
0,820
Reliabel
Problem Focused Coping
4. Uji Hipotesis 1. Kategorisasi Kematangan emosi Kategorisasi tingkat Kematangan Emosi dilakukan setelah diketahui Meanhipotetik (Mhipotetik) dan Standar Deviasihipotetik (SDhipotetik). Alasan pengkategorisasian dengan menggunakan skor hipotetik adalah karena sedikitnya subjek penelitian yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu berjumlah 84 orang. Adapun langkah-langkah dalam pembuatan skor hipotetik dalam penelitian ini adalah. 1. Menentukan skor minimum dan skor maksimum dari masing-masing item. skala Kematangan Emosi yang diterima, yaitu item. Skor minimum : banyaknya item yang diterima 33 x 1 = 33
158
Skor maksimum : banyaknya item yang diterima 33 x 4 = 132 2. Skor maksimum – skor minimum. 132 - 33 = 99 3. Hasil pengurangan tersebut dibagi dengan 2. 99/ 2 = 49,5 4. Untuk mencari Meanhipotetik (Mhipotetik), didapatkan dengan cara menambahkan hasil dari pembagian tersebut (langkah 3) dengan nilai skor minimum (langkah a). 49,5 + 33 = 82,5 5. Untuk mencari Standar Deviasihipotetik (SDhipotetik) adalah dengan cara membagi Meanhipotetik (Mhipotetik) dengan 6. 82,5 / 6 = 13,75 6. Kategorisasi: Tinggi : (M + 1,0 SD) < X Sedang : (M – 1,0 SD) < X ≤ (M + 1,0 SD) Rendah : X ≤ (M – 1,0 SD)
159
Tabel 1 Hasil Deskriptif Variabel Kematangan Emosi Menggunakan Skor Hipotetik No. Kategori
Norma
Interval
Frekuensi Prosentase
1.
Tinggi
(M + 1,0 SD) < X
96,25< X
66
79%
2.
Sedang
(M – 1,0 SD) < X ≤ (M + 1,0 SD)
68,75< X ≤
18
21%
0
0%
96.25 3.
Rendah
X ≤ (M – 1,0 SD) Total
X ≤ 68,75
84
100
Hasil penelitian pada variabel kematangan emosi ini dapat digambarkan secara sederhana dari hasil pengkategorian tersebut pada 84 responden, didapatkan 66 orang (79%) berada pada tingkat tinggi, didapatkan 18 orang (21%) berada pada tingkat sedang, dan didapatkan 0 orang pada tingkat rendah. Sehingga Kematangan Emosi yang dimiliki para mahasiswa putra di Ma’had putra Sunan Ampel Al Ali UIN Maliki Malang hanya ada pada tingkat tinggi dan sedang. Tingkat Kematangan Emosi mahasiswa yang tinggal ma’had putra dapat kita lihat juga pada histogram dibawah ini:
160
Tabel 2 Histogram Kematangan Emosi
Kematangan Emosi tinggi 18%
sedang
rendah
0%
82%
Histogram di atas dapat diketahui bahwa tingkat Kematangan Emosi yang dimiliki para mahasiswa putra di Ma’had putra Sunan Ampel Al Ali UIN Maliki Malang berada pada kategori tinggi, yaitu 79%.
2. Kategorisasi Problem Focused Coping Kategorisasi tingkat Problem Focused Coping dilakukan setelah diketahui Meanhipotetik (Mhipotetik) dan Standar Deviasinyahipotetik (SDhipotetik). Adapun langkah-langkah dalam pembuatan skor hipotetik dalam penelitian ini adalah. 1. Menentukan skor minimum dan skor maksimum dari masing-masing item. skala Kematangan Emosi yang diterima, yaitu item.
161
Skor minimum : banyaknya item yang diterima 36 x 1 = 36 Skor maksimum : banyaknya item yang diterima 36 x 4 = 144 2. Skor maksimum – skor minimum. 144 - 36 = 108 3. Hasil pengurangan tersebut dibagi dengan 2. 108/ 2 = 54 4. Untuk mencari Meanhipotetik (Mhipotetik), didapatkan dengan cara menambahkan hasil dari pembagian tersebut (langkah 3) dengan nilai skor minimum (langkah a). 54 + 36 = 90 7. Untuk mencari Standar Deviasihipotetik (SDhipotetik) adalah dengan cara membagi Meanhipotetik (Mhipotetik) dengan 6. 90 / 6 = 15 8. Kategorisasi: Tinggi : (M + 1,0 SD) < X Sedang : (M – 1,0 SD) < X ≤ (M + 1,0 SD) Rendah : X ≤ (M – 1,0 SD)
162
Tabel 3 Hasil Deskriptif Variabel Problem Focused Coping Menggunakan Skor Hipotetik No. Kategori
Norma
Interval
Frekuensi Prosentase
1.
Tinggi
(M + 1,0 SD) < X
105< X
69
82 %
2.
Sedang
(M – 1,0 SD) < X ≤ (M + 1,0
75 < X ≤
15
18%
SD)
105
X ≤ (M – 1,0 SD)
X ≤ 75
0
0%
3.
Rendah
Total
84
100
Hasil penelitian pada variabel problem focused coping dapat digambarkan secara sederhana dari hasil pengkategorian tersebut pada 84 responden, didapatkan 69 orang (82%) berada pada tingkat tinggi, didapatkan 15 orang (18%) berada pada tingkat sedang, dan didapatkan 0 orang berada pada tingkat rendah. Sehingga Problem Focused Coping yang dimiliki para mahasiswa putra di Ma’had putra Sunan Ampel Al Ali UIN Maliki Malang ada pada tingkat tinggi (82%) dan sedang (18%). Tingkat Problem Focused Coping mahasiswa yang tinggal ma’had putra dapat kita lihat juga pada histogram dibawah ini:
163
Tabel 4 Histogram Problem Focused Coping
Problem Focused Coping tinggi
sedang
18%
0%
rendah
82%
Histogram di atas dapat diketahui bahwa tingkat Kematangan Emosi yang dimiliki para mahasiswa putra di Ma’had putra Sunan Ampel Al Ali UIN Maliki Malang berada pada kategori tinggi, yaitu 82 %.
3. Analisis Data Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Korelasi Product Moment. Korelasi Product moment ini digunakan untuk mengetahui hubungan dua variabel yang sama-sama berjenis interval (Winarsunu, 2002:72).
164
Sedangkan untuk intepretasi hasil uji statistik adalah dengan melihat taraf kemaknaan yang ditunjukkan oleh indeks kesalahan yang mungkin terjadi atau probabilitas kesalahan (error probability) yang disingkat p. Apabila p < 0,05 berarti tidak segnifikan, apabila nilai p ≤ 0,05 berarti segnifikan, dan apabila p ≤ 0,01 berarti sangat segnifikan (Winarsunu, 2002:19). Berdasarkan hasil uji korelasi product moment pearson yang ditunjukkan pada tabel berikut ini: Cor relations
Kematangan Emosi
Problem Foc used Coping
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
Problem Focus ed Coping ,539** ,000 84 84 ,539** 1 ,000 84 84
Kematangan Emosi 1
**. Correlation is signif icant at the 0.01 lev el (2-tailed).
Maka dapat disimpulkan bahwa variable Kematangan Emosi dan Problem Focused Coping memiliki korelasi sebesar 0,539. Hal ini berarti korelasi sebesar 53,9 % dari kedua variable tersebut memiliki hubungan positif. Berikut ini adalah panduan untuk nilai korelasi tersebut (Sujianto, 2009: 27), yakni:
165
+ atau -
0.80 hingga 1.00
korelasi sangat tinggi
0.60 hingga 0.79
korelasi tinggi
0.40 hingga 0.59
korelasi moderat
0.20 hingga 0.39
korelasi rendah
0.01 hingga 0.19
korelasi sangat rendah
Berdasarkan tabel output SPSS terlihat bahwa nilai korelasi antara kematangan emosi dengan problem focused coping memiliki nilai sebesar 0.539 dengan nilai probabilitas 0.000 dan jumlah subyek pada penelitian sebanyak 84 mahasiswa. Menurut kriteria, hipotesis penelitian (Ha) diterima jika r hitung > r tabel, dan probabilitas (p) < r. Kriteria r tabel untuk subyek (N) = 84 orang adalah 0.213. Sedangkan tingkat signifikan yang digunakan dalam penelitian ini adalah α = 0.05. Dari hasil pengujian tersebut dapat diketahui nilai r hitung (0.539) > r table (0.213), sedangkan p (0.000) < r (0.05). Jadi dapat disimpulkan bahwa hipotesis penelitian diterima artinya terdapat hubungan antara tingkat kematangan emosi dengan tingkat problem focused coping mahasiswa di ma’had putra Sunan Ampel Al Ali Universitas Islam Negeri Maliki Malang.
166
C. Pembahasan 1. Kematangan Emosi Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa dari 84 mahasiswa yang menjadi subyek penelitian tidak satupun mahasiswa yang memiliki kematangan emosi rendah. Dari 84 mahasiswa yang menjadi sampel, didapatkan 66 orang (79%) berada pada tingkat tinggi, sedangkan 18 orang (21%) berada pada tingkat sedang. Artinya Kematangan Emosi yang dimiliki para mahasiswa putra di Ma’had putra Sunan Ampel Al Ali UIN Maliki Malang rata-rata memiliki tingkat kematangan emosi tinggi dan tidak ada mahasiswa yang memiliki tingkat kematangan emosi yang rendah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mayoritas mahasiswa putra di Ma’had putra Sunan Ampel Al Ali UIN Maliki Malang memiliki tingkat kematangan emosi yang tinggi. Hal itu berarti mahasiswa mampu mengatur emosi dengan baik. Kematangan emosi yang tinggi akan mempengaruhi perilaku individu sehingga mampu menyelesaikan masalah dengan baik. Dari hasil penelitian menunjukkan 66 orang (79%) berada pada tingkat tinggi, hal ini mengindikasikan bahwa sebanyak 66 mahasiswa di Ma’had Putra Sunan Ampel Al Ali memiliki kematangan emosi yang tinggi. Berdasarkan teori dari Hurlock (1994) maka mahasiswa memiliki kontrol emosi dan terarah (tidak meledakkan emosinya begitu saja tetapi mahasiswa akan mampu mengontrol emosi yang disetujui secara sosial, dengan kata lain menunjukkan perilaku yang diterima secara sosial), stabilitas emosi (mahasiswa akan
167
memberikan reaksi emosional yang stabil dan tidak berubah-ubah dari emosi atau suasana hati lain seperti pada periode sebelumnya), mampu bersikap kritis terhadap situasi yang ada (mahasiswa tidak akan bertindak tanpa ada pertimbangan lebih dulu), dan kemampuan penggunaan katarsis mental (mahasiswa mempunyai kemampuan untuk menggunakan dan menyalurkan sumber-sumber emosi yang timbul). Sedangkan dari hasil penelitian sebanyak 18 orang (21%) berada pada tingkat sedang mengindikasikan bahwa mahasiswa di Ma’had Putra Sunan ampel al Ali cukup mampu mengontrol emosinya, menstabilkan emosinya, bersikap kritis terhadap situasi yang ada, dan cukup mampu menggunakan katarsis mental. Mahasiswa seharusnya memiliki kematangan emosi, karena dalam tahap perkembangan ini mahasiswa dituntut untuk dapat menunjukkan sikap yang dewasa. Hal itu menjadi salah satu tujuan Ma’had Sunan Ampel Al Ali yaitu untuk mengembangkan kepribadian mahasiswa. Selain hal tersebut, faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kematangan emosi dalam hal ini juga mempunyai peran yang penting. Beberapa faktor tersebut antara lain: Menurut Hurlock (1980:213) faktor yang mempengaruhi kematangan emosi adalah: 1. Gambaran tentang situasi-situasi yang dapat menimbulkan reaksireaksi emosional. 2. Membicarakan berbagai masalah pribadi dengan orang lain.
168
3. Lingkungan sosial yang dapat menimbulkan perasaan aman dan keterbukaan dalam hubungan sosial. 4. Belajar menggunakan katarsis emosi untuk menyalurkan emosi. 5. Kebiasaan dalam memahami dan menguasai emosi dan nafsu129 Melihat adanya faktor-faktor yang sangat mendukung kematangan emosi mahasiswa dalam kehidupan kesehariannya, maka sudah semestinya tingkat kematangan emosi mahasiswa kebanyakan berada pada kategori sedang sampai tinggi. Hal tersebut mengingat bahwa secara kualitas dunia pendidikan khususnya Ma’had Sunan Ampel Al Ali memiliki banyak porsi dalam menyediakan faktor-faktor pendukung kematangan emosi. 2. Problem Focused Coping Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa dari 84 mahasiswa yang menjadi subyek penelitian tidak satupun mahasiswa yang memiliki Problem Focused Coping rendah. Dari 84 mahasiswa yang menjadi sampel, didapatkan 69 mahasiswa (82%) berada pada tingkat tinggi, dan didapatkan 15 mahasiswa (18%) berada pada tingkat sedang. Sehingga Problem Focused Coping yang dimiliki para mahasiswa putra di Ma’had putra Sunan Ampel Al Ali UIN Maliki Malang ada pada tingkat tinggi (82%) dan sedang (18%). Artinya para mahasiswa putra di Ma’had putra Sunan Ampel Al Ali UIN Maliki Malang rata-rata memiliki tingkat Problem Focused Coping yang tinggi dan tidak ada mahasiswa yang memiliki tingkat Problem 129
EB Hurlock, Loc. Cit
169
Focused Coping yang rendah. Penelitian ini menunjukkan bahwa mayoritas mahasiswa putra di Ma’had putra Sunan Ampel Al Ali UIN Maliki Malang memiliki tingkat Problem Focused Coping yang tinggi. Hal itu berarti mahasiswa mampu menggunakan strategi penyelesaikan masalah dengan baik. Dari hasil penelitian menunjukkan 69 mahasiswa (82%) berada pada tingkat tinggi. Berdasakan teori Lazarus dan Folkman dalam Smet (1994) dapat disimpulkan bahwa mahasiswa mampu berpegang teguh pada pendiriannya dan mempertahankan apa yang diinginkannya, mengubah situasi secara agresif dan adanya keberanian mengambil resiko (Confrontive Coping), mahasiswa mampu mencari dukungan sosial (Seeking Social Support), dan mahasiswa mampu merencanakan pemecahan masalah dengan memikirkan, membuat, dan menyusun rencana untuk menyelesaikan masalah (Planful Problem Solving).130 Sedangkan dari hasil penelitian yang menunjukkan 15 mahasiswa (18%) berada pada tingkat sedang dapat disimpulkan bahwa mahasiswa cukup mampu berpegang teguh pada pendiriannya dan mempertahankan apa yang diinginkannya, mengubah situasi secara agresif dan adanya keberanian mengambil resiko, mampu mencari dukungan sosial, dan mampu merencanakan pemecahan masalah dengan memikirkan, membuat, dan menyusun rencana untuk menyelesaikan masalah.
130
Lazarus dan Folkman, Loc. Cit
170
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi Problem Focused Coping dalam hal ini peneliti memakai teori strategi coping yang dijelaskan oleh Holahan & Moss (1987), yaitu : 1. Sosiodemografik, yang meliputi status sosial, status perkawinan, status pekerjaan, gender, tingkat pendidikan. 2. Peristiwa hidup yang menekan, yaitu peristiwa yang dialami individu
yang dirasa menekan dan mengancam kesejahteraan hidup seperti bencana, kehilangan sesuatu yang berharga dan lain sebagainya. 3. Sumber-sumber jaringan sosial, yang meliputi dukungan sosial. 4. Kepribadian, seperti locus of control, kecenderungan neurotic, optimism, self esteem, kepercayaan diri dan kematangan emosi.131 Dari penjelasan teori diatas jenis kelamin termasuk faktor yang mempengaruhi pemilihan strategi coping. Hal ini juga yang membuat peneliti memilih subjek berjenis kelamin laki-laki. Menurut Billing dan Moss (1981) jenis kelamin juga mempengaruhi perilaku coping. Wanita cenderung menggunakan emotion focused coping Karena wanita lebih cenderung dipengaruhi oleh emosi, sedangkan pria lebih cenderung menggunakan problem focused coping. Pendapat tersebut diperoleh dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Biling dan Moos terhadap 200 pasangan
131
C.J. Hollahan & R.H Moos, Loc. Cit
171
menikah (Sarafino, 1990: 145).
132
Teori diatas semakin memperkuat
pendapat peneliti bahwa laki-laki cenderung menggunakan problem focused coping. Meskipun begitu peneliti masih ragu tentang problem focused coping mahasiswa di Ma’had Sunan ampel Al Ali. Dan dari hasil penelitian ternyata menunjukkan bahwa mayoritas mahasiswa memiliki problem focused coping yang tinggi. Dari sini peneliti dapat membuktikan bahwa teori diatas memang benar. Sebagai lembaga keagamaan, Ma’had Sunan Ampel Al Ali memiliki banyak porsi dalam menyediakan faktor-faktor pendukung problem focused coping. Dalam prakteknya mahasiswa mampu menyelesaikan permasalahannya dengan baik dan menggunakan strategi coping yang tepat. 5. Hubungan antara Kematangan Emosi dengan Problem Focused Coping Berdasarkan hasil analisa data yang diperoleh dimana nilai koefisien korelasi (r) = (0,539) dengan taraf kesalahannya adalah (p) = 0,000 yaitu sangat signifikan, hal ini menunjukkan adanya hubungan positif yang sangat signifikan antara kedua variabel. Artinya jika mahasiswa memiliki tingkat kematangan emosi yang tinggi maka dia lebih cenderung memiliki tingkat problem focused coping yang tinggi. Mahasiswa putra tingkat kematangan emosinya mayoritas masuk dalam kategori tinggi yaitu berjumlah 66
132
E.P Sarafino, Loc. Cit
172
mahasiswa atau 79%, maka tingkat problem focused copingnya juga tinggi yiatu berjumlah 69 mahasiswa 82%. Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada korelasi antara tingkat kematangan emosi mempunyai terhadap tingkat perilaku problem focused coping pada mahasiswa di Ma’had Sunan Ampel Al Ali UIN Maliki Malang. Berdasarkan teori dari Hurlock (1994), mahasiswa
yang memiliki kematangan emosi yang tinggi mampu
mengontrol emosi ini berarti mahasiswa tidak meledakkan emosinya begitu saja tetapi mahasiswa akan mampu mengontrol emosi yang disetujui secara sosial, dengan kata lain menunjukkan perilaku yang diterima secara sosial, kemudian memiliki stabilitas emosi artinya mahasiswa akan memberikan reaksi emosional yang stabil dan tidak berubah-ubah dari emosi atau suasana hati lain seperti pada periode sebelumnya, selanjutnya mahasiswa mampu bersikap kritis terhadap situasi yang ada ini berarti mahasiswa tidak akan bertindak tanpa ada pertimbangan lebih dulu, dan mahasiswa memiliki kemampuan penggunaan katarsis mental artinya mahasiswa mempunyai kemampuan untuk menggunakan dan menyalurkan sumber-sumber emosi yang timbul.133 Berdasakan teori Lazarus dan Folkman dalam Smet (1994), mahasiswa yang memiliki problem focused coping tinggi mampu berpegang teguh pada pendiriannya dan mempertahankan apa yang diinginkannya, mengubah situasi secara agresif dan adanya keberanian mengambil resiko (Confrontive Coping), kemudian mahasiswa mampu mencari dukungan 133
EB Hurlock, Loc. Cit
173
sosial (Seeking Social Support), dan mahasiswa mampu merencanakan pemecahan masalah dengan memikirkan, membuat, dan menyusun rencana untuk menyelesaikan masalah (Planful Problem Solving). 134 Dari hasil observasi dan wawancara sebelumnya yang dilakukan peneliti pada tanggal 10 Maret 2012, ternyata tidak dapat dibuktikan. Berikut beberapa petikan wawancara dari beberapa mahasiswa: 1. Mahasiswa A mengatakan bahwa dia tidak bisa berpegang teguh pada pendiriannya.
Contohnya
ketika
dirinya
dihadapkan
dengan
permasalahan kuliah atau keluarga yang berat, mereka merasa tidak mampu bertahan dan putus asa, sehingga mereka memilih untuk berhenti kuliah atau pindah ke kampus lain. 4. Mahasiswa B mengatakan bahwa dirinya enggan mencari dukungan sosial dan merencanakan pemecahan masalah. dirinya tidak mau melibatkan orang lain dalam urusan mereka karena mereka menganggap hal itu akan membebani orang lain. 5. Mahasiswa
C
mengatakan
dirinya
tidak
terlalu
memikirkan
penyelesaian sebuah permasalahan. Karena dirinya yakin suatu saat pasti akan menemukan jalan keluarnya. Kemudian dirinya mencari kesenangan lain untuk melupakan masalahnya, contohnya bermain musik.
134
Bart Smet, Loc. Cit
174
3. Mahasiswa D mengatakan bahwa dia sering meledakkan emosinya didepan orang lain, contohnya memaki teman di tempat umum. 4. Mahasiswa C mengatakan bahwa dirinya tidak bersikap kritis terhadap situasi yang ada, dirinya bertindak tanpa ada pertimbangan terlebih dahulu, contohnya membolos kuliah dan tidak hadir waktu kegiatan ma’had. Mereka seakan lari dari masalah, melakukan sesuatu dengan tergesa-gesa tanpa dipikirkan terlebih dahulu. Hasil observasi dan wawancara dapat disimpulkan bahwa ada ketidak sesuaian dengan fakta dilapangan. Hal ini menimbulkan problem, dan peneliti harus membuktikannya. Dari hasil penelitian ternyata menyebutkan bahwa mayoritas mahasiswa di Ma’had Sunan Ampel Al Ali memiliki kematangan emosi dan problem focused tinggi. Hal tersebut berbeda, dikarenakan ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi. Peneliti memilih subjek berjenis kelamin laki-laki didasarkan pada teori Billing dan Moss (1981) yang menyebutkan bahwa jenis kelamin juga mempengaruhi perilaku coping. Wanita cenderung menggunakan emotion focused coping Karena wanita lebih cenderung dipengaruhi oleh emosi, sedangkan pria lebih cenderung menggunakan problem focused coping. Pendapat tersebut diperoleh dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Biling dan Moos terhadap 200 pasangan menikah (Sarafino, 1990: 145).135 Teori
135
E.P Sarafino, Loc. Cit
175
diatas semakin memperkuat pendapat peneliti bahwa laki-laki cenderung menggunakan problem focused coping. Laki-laki dekat dengan maskulinitas. Rahmawati (2004) melakukan penelitian terhadap siswa SMAN 19 Bandung dan SMAN 1 Banjaran siswa memiliki persepsi tentang konsep feminism
dan maskulin yang sesuai
dengan karakteristik nilai-nilai yang ada di masyarakat atau nilai-nilai tradisional. Pemahaman tentang karakteristik nilai tradisional adalah antara laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan dalam aspek perilaku maskulin dan feminim, remaja laki-laki dan perempuan memandang aspek menyelesaikan masalah, keterampilan mengambil keputusan dan memiliki sifat ambisius merupakan
hal yang sangat penting dalam menunjukkan
maskulinitas seseorang. Beynon melakukan kajian tentang berbagai bentuk maskulinitas dalam bukunya masculinity and culture. Secara umum laki-laki digambarkan sebagai berikut (Demartoto, 2009: 8) 1. No Sissy Stuff seorang laki-laki harus menghindari perilaku atau karakteristik yang berasosiasi dengan perempuan. Be a Big Wheel, maskulinitas dapat diukur dari kesuksesan, kekuasaan, dan pengaguman dari orang lain. Be a Sturdy Oak, maskulinitas membutuhkan rasionalitas, kekuatan dan kemandirian. Laki-laki tidak
boleh
menunjukkan
emosi
dan
tidak
menunjukkan
kelemahannya. Give em Hell, Laki-laki harus memiliki aura
176
keberanian dan agresi serta harus mampu mengambil risiko walaupun alasan dan rasa takut menginginkan sebaliknya. 2. New man as nurturer, laki-laki mempunyai kelembutan sebagai seorang bapak, misalnya untuk mengurus anak, serta melibatkan diri pada arena domestic. Laki-laki dianggap pantas mengekspresiakn perasaan.
New
man
as
narcissist,
laki-laki
menunjukkan
maskulinitasnya dengan memanjakan diri deng melalui produkproduk yang membuatnya tampak sukses. Properti, mobil, pakaian, atau perlengkapan personal merupakan wujud dominan dalam gaya hidup. 3. Maskulinitas yang macho, kekerasan dan hooliganism. Laki-laki membangun kehidupannya disekitar football atau sepak bola dan dunia minum-minum, juga seks dan hubungan dengan para perempuan. Menghabiskan
waktu dengan teman-temannya untuk
bersenang-senang, menyumpah, menonton sepak bola, minum bir, dan
membuat
lelucon-lelucon
yang
dianggap
merendahkan
permpuan. Kebebasan remaja laki-laki menjauhkan diri dari hubungan yang bersifat domestic yang membutuhkan loyalitas dan dedikasi. 4. Metroseksual adalah laki-laki yang berasal dari kalangan menengah ke atas, mengagungkan fashion, peduli dengan gaya hidupteratur, menyukai detail, dan cenderung perfeksionis.
177
Teori diatas menyebutkan (Give em Hell) bahwa laki-laki harus memiliki aura keberanian dan agresi serta harus mampu mengambil risiko walaupun
alasan dan rasa takut menginginkan sebaliknya, Hal tersebut
sesuai dengan teori Lazarus dan Folkman (1986) tentang ciri-ciri Problem Focused Coping yaitu Confrontasi coping, individu berpegang teguh pada pendiriannya dna mempertahankan apa yang diinginkannya, mengubah situasi secara agresif dan adanya keberanian mengambil resiko. Carver,
dkk
(1989)
yang
mengkarakteristikkan
kepribadian
berdasarkan tipenya. Seseorang dalam kepribadian dengan ciri-ciri suka rileks, tidak terburu-buru, tidak mudah terpancing untuk marah, berbicara dan bersikap dengan tenang, serta lebih suka untuk memperluas pengalaman hidup, cenderung menggunakan strategi coping yang berorientasi pada masalah (PFC). 136Jadi dapat disimpulkan ada keterkaitan antara kepribadian dengan pemilihan strategi coping yaitu problem focused coping. Hasil dalam penelitian ini juga mendukung teori Lazarus dan Folkman yang menyatakan bahwa penilaian (appraisal) individu terhadap situasi yang dihadapi dan emosi .yang dirasakan individu akan mempengaruhi perilaku coping. Dan seperti penelitian yang telah dilakukan oleh Hasan (2002:45) bahwa semakin matang emosi remaja maka akan semakin mudah untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Dengan emosi yang matang remaja akan mampu
136
C.s Carver, M.F Scheier & J.K Meintraub,Loc. Cit
178
memiliki strategi coping dengan mudah sehingga remaja tidak akan kesulitan dalam memecahkan masalah yang dihadapinya dan tetap optimis, tenang dalam menghadapi permasalahan yang ada.