BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4. 1 Stabilitas Agregat, Permeabilitas, dan Bobot Isi Polimer hidroksi alumunium (PHA) yang bermuatan positif berperan sebagai jembatan yang menghubungkan antar partikel liat yang bermuatan negatif melalui pengikatan secara kimia. Dalam hal ini, muatan negatif partikel liat dengan muatan partikel liat lainnya dihubungkan oleh PHA melalui ikatan: liat – polimer Al - OH – liat. Pemberian senyawa humat melibatkan ikatan: liat – (Al,Fe) – humat – (Al,Fe) – liat (Hsu, 1989). Pengikatan ini membentuk agregat– agregat kecil yang disebut flokul. Flokul tersebut selanjutnya akan stabil selama agen penyemen masih ada. Aktivitas penyemenan menyebabkan partikel–partikel tanah membentuk agregat yang lebih besar dan mantap, dan pada akhirnya meningkatkan indeks stabilitas agregat. Penyiraman
diduga
menyebabkan
terhidrolisisnya
PHA
sehingga
terpolimerisasi lebih lanjut. Polimer tersebut kemudian diikat oleh partikel liat sehingga merangsang agregasi, seperti yang telah dijelaskan diatas. Adanya kekuatan pemadatan karena aktifitas penyiraman juga dapat menyebabkan partikel–partikel liat yang terflokulasi tadi membentuk agregat–agregat yang lebih mantap. Sedangkan pada saat air menguap butir–butir liat akan saling mendekat satu sama lain, sehingga lebih memudahkan terjadinya pengikatan antar partikel liat oleh PHA yang selanjutnya merangsang proses agregasi. PHA dapat memberikan coating effect pada permukaan liat, yaitu pembungkusan partikel– partikel liat sehingga keberadaan polimer tersebut menurunkan potensi pengembangan dan pengerutan tanah, ditunjukan oleh semakin menurunnya nilai COLE (Gambar 4). Dengan menurunnya pengembangan tanah, partikel–partikel
tanah menjadi tidak mudah terdispersi sehingga menunjang proses agregasi, yang selanjutnya akan dapat membentuk agregat yang lebih stabil. Nilai indeks stabilitas agregat pada perlakuan PHA cenderung meningkat dibandingkan dengan kontrol. Pada perlakuan kontrol K nilai indeks stabilitas agregat sebesar 125,07, meningkat pada perlakuan PHA 4 menjadi 163,82, pada perlakuan PHA 6 meningkat menjadi 158,42, pada perlakuan PHA 10 meningkat menjadi 165,94, dan pada perlakuan PHA 15 nilai indeks stabilitas agregat meningkat menjadi 151,59 (Gambar 1). Senyawa humat berperan sebagai granulator yang dapat memperbaiki struktur tanah. Senyawa organik dapat meningkatkan populasi organisme tanah, diantaranya adalah jamur, cendawan dan bakteri. Cendawan dan jamur mampu menyatukan butir tanah menjadi agregat, membuat tanah menjadi lebih gembur dan berstruktur remah. Struktur remah menyebabkan agregat mudah hancur pada saat proses pengayakan. Hal inilah yang menyebabkan nilai stabilitas agregat pada perlakuan senyawa humat menjadi turun dibanding kontrol. Pada perlakuan kontrol K nilai indeks stabilitas agregat sebesar 125,07, nilai indeks stabilitas agregat turun pada perlakuan H 5 menjadi 72,89, pada perlakuan H 10 turun menjadi 114,43, dan pada perlakuan H 25 turun menjadi 124,77 ditunjukkan pada Gambar1. Klasifikasi stabilitas agregat (Black, 1965) pada Tabel Lampiran 1.
Gambar 1. Pengaruh Beberapa Dosis PHA dan Senyawa Humat Terhadap Stabilitas Agregat
Pada dasarnya tanah–tanah yang mempunyai kandungan liat tinggi dan mempunyai kemampuan untuk mengembang akan memiliki nilai permeabilitas tanah yang rendah. Keadaan demikian disebabkan oleh tersumbatnya pori–pori tanah pada saat tanah mengembang dan pada akhirnya menghambat pergerakkan air dalam tanah. Pemberian PHA membentuk agregat yang lebih stabil, pada agregat yang stabil akan tercipta ruang–ruang pori tanah yang semakin baik sehingga meningkatkan permeabilitas tanah. Dapat dilihat pada data, nilai permeabilitas pada perlakuan kontrol K sebesar 4,66 cm/jam, nilai permeabilitas meningkat pada perlakuan PHA 4 menjadi 7,23 cm/jam, pada perlakuan PHA 6 meningkat menjadi 15,20 cm/jam, pada perlakuan PHA 10 meningkat menjadi 6,40 cm/jam dan pada perlakuan PHA 15 meningkat menjadi 9,74 cm/jam (Gambar 2). Cendawan dan jamur mampu menyatukan butir-butir tanah, merangsang proses agregasi dan granulasi. Proses ini menciptakan kondisi tanah yang lebih sarang sehingga kemampuan tanah untuk melewatkan air akan semakin meningkat sedangkan bobot isi menjadi rendah. Nilai permeabilitas pada perlakuan kontrol (K) sebesar 4,66 cm/jam, meningkat pada perlakuan H 5 menjadi 7,32 cm/jam, pada perlakuan H 10 meningkat menjadi 5,55 cm/jam dan pada perlakuan H 25 meningkat menjadi 11,90 cm/jam (Gambar 2). Nilai bobot isi pada perlakuan kontrol (K) sebesar 1,047 gr/cm³, turun menjadi 0,993 gr/cm³ pada perlakuan H 5, pada perlakuan H 10 turun menjadi 0,884 gr/cm³ dan pada perlakuan H 25 turun menjadi 0,929 gr/cm³ (Gambar 3). Metode klasifikasi permeabilitas (Uhland dan Oneil, 1972 dalam Hardjowigeno, Widiatmaka, dan Yogaswara, 1999) dapat dilihat pada Tabel Lampiran 2.
Gambar 2. Pengaruh Beberapa Dosis PHA dan Senyawa Humat Terhadap Permeabilitas Tanah. Penurunan bobot isi tanah berkaitan dengan kemampuan PHA sebagai agen penyemen yang mendorong terbentuknya agregasi tanah sehingga partikel–partikel tanah yang saling lepas menjadi berikatan kembali membentuk agregat–agregat tanah baru yang lebih stabil. Dengan terbentuknya agregat yang lebih stabil, akan tercipta ruang–ruang pori tanah yang semakin baik pula, menyebabkan bobot isi tanahnya persatuan volume rendah. Pada perlakuan kontrol K nilai bobot isi tanah sebesar 1,047 gr/cm³, nilai bobot isi tanah turun pada perlakuan PHA 4 turun menjadi 0,903 gr/cm³, pada perlakuan PHA 6 turun menjadi 0,876 gr/cm³, pada perlakuan PHA 10 turun menjadi 0,960 gr/cm³, dan pada perlakuan PHA 15 turun menjadi 0,900 gr/cm³ (Gambar 3).
Gambar 3. Pengaruh Beberapa Dosis PHA dan Senyawa Humat Terhadap Bobot Isi 4.2 Nilai COLE Nilai COLE cenderung menurun dibandingkan dengan kontrol. PHA berperan dalam mengurangi pengembangan tanah. Menurut Rich (1968), PHA sangat efektif mengontrol pengembangan tanah dengan cara mengikat lapisan silikat dan menahan kekuatan pengembangan. Menurut Bohn et al (1979), PHA tersebut dipegang di dalam ruang antar lapisan silikat mineral liat yang dapat mengembang sehingga dapat mencegah runtuhnya lapisan–lapisan silikat tersebut sewaktu molekul air dipindahkan selama proses pengeringan. Keberadaan PHA dipegang kuat di dalam ruang antar lapisan mineral liat juga mampu membatasi pengerutan tanah. Pengembangan dan pengerutan tanah yang menurun ditunjukan oleh nilai COLE yang semakin rendah. Pada perlakuan kontrol (K) nilai COLE sebesar 0,176, menurun pada perlakuan PHA 4 menjadi 0,123, pada perlakuan PHA 6 menurun menjadi 0,162, pada perlakuan PHA 10 turun menjadi 0,136 dan pada perlakuan PHA 15 turun menjadi 0,098 (Gambar 4).
Pemberian senyawa humat ke tanah vertisol melibatkan ikatan: liat – (Al,Fe) – humat – (Al,Fe) – liat, Hsu (1989). Dengan adanya ikatan tersebut pengembangan liat dibatasi sehingga nilai COLE cenderung menurun. Pada perlakuan kontrol K nilai COLE sebesar 0,176, nilai COLE menurun pada perlakuan H 5 menjadi 0,136, pada perlakuan H 10 nilai COLE turun menjadi 0,136 dan pada perlakuan H 25 nilai COLE menurun menjadi 0,123 (Gambar 4). Besarnya kembang-kerut dan retakan tanah berhubungan dengan nilai COLE, semakin besar nilai COLE maka semakin besar retakan tanahnya (Gambar Lampiran 4 dan 5). Kembang-kerut tanah dapat menyebabkan dinding bangunan menjadi retak (Gambar Lampiran 6).
Gambar 4. Pengaruh Beberapa Dosis PHA dan Senyawa Humat Terhadap Nilai COLErod 4.3 Kadar Air Tersedia Ukuran pori yang menahan air pada pF 2,54 dan pF 4,20 masing–masing adalah ≤ 8,6 µ dan 0,2 µ, sehingga air yang terdapat pada pori yang berukuran
lebih besar daripada 8,6 µ dan 0,2 µ berturut–turut akan keluar pada saat diberi tekanan setara pF 2,54 (1/3 atm) dan pF 4,20 (15 atm) (Djusar, 1995). Menurunnya kadar air tersedia diduga berhubungan dengan ukuran pori yang terbentuk akibat perlakuan PHA dan senyawa humat. Dalam hal ini PHA dan senyawa humat berperan sebagai agen penyemen yang mendorong terbentuknya agregasi tanah, menyebabkan terbentuknya pori yang berukuran lebih besar. Sehingga jumlah pori yang dapat menahan air semakin menurun. Nilai kadar air tersedia pada perlakuan kontrol K sebesar 22,34 %, nilai kadar air tersedia menurun pada perlakuan PHA 4 menjadi 19,76 %, pada perlakuan PHA 6 turun menjadi 17,72 %, pada perlakuan PHA 10 turun menjadi 18,55 %, pada perlakuan PHA 15 turun menjadi 19,19 %. Dibandingkan dengan nilai kadar air pada perlakuan kontrol, nilai kadar air tersedia pada perlakuan H 5 turun menjadi 14,53 %, pada perlakuan H 10 nilai kadar air tersedia turun menjadi 18,37 % dan pada perlakuan H 25 turun menjadi 19,16 % (Gambar 5).
Gambar 5. Pengaruh Beberapa Dosis PHA dan Senyawa Humat Terhadap Kadar Air.