BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hen Day Production (HDP) Hen Day Production (HDP) ayam petelur pada THI yang berbeda (kuningan dan Cililin) berdasarkan hasil penelitian, dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Hen Day Production (HDP) ayam petelur pada THI yang berbeda (Kuningan dan Cililin) Berdasarakan Hasil Penelitian
No
Lokasi
THI
Rata-rata HDP (%)
1
Kuningan
89
79,4a
2
Cililin
72
83,7b
Keterangan : Notasi huruf yang berbeda pada kolom rata-rata HDP menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0.01) Hasil analisis uji T-tidak berpasangan (Tabel 1) menunjukkan bahwa ratarata HDP ayam petelur yang dipelihara di lokasi dengan THI lingkungan kandang sebesar 89 (Kuningan) berbeda sangat nyata lebih rendah (p < 0,01) yaitu sebesar 79,4% dibandingkan HDP ayam petelur yang dipelihara dengan THI lingkungan kandang lebih rendah (Cililin = 72) yaitu sebesar 83,7%. Hasil pengukuran dan analisis statistikanya dapat dilihat pada Lampiran 4. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa temperatur dan kelembaban merupakan faktor yang sangat menentukan performans ayam petelur. Diketahui bahwa THI merupakan interaksi antara temperatur dan kelembaban. Temperatur yang tinggi disertai kelembaban yang tinggi menyebabkan THI menjadi meningkat. Dalam kondisi seperti ini maka beban panas dalam tubuh ternak ayam menjadi sulit
29
disirkulasikan ke lingkungannya, sehingga efisiensi nutrien menjadi menurun, karena sebagian besar digunakan untuk proses homeostasis. Menurut Andi Mushawwir dan D. Latipudin (2013) bahwa nutrisi yang digunakan untuk produksi telur hanya merupakan
kelebihan dari nutrisi yang digunakan untuk proses
homeostasis dan hidup pokok. Terkait dengan pernyataan tersebut maka dapat dijelaskan bahwa ayam ras petelur yang dipelihara pada THI tinggi (Kuningan = 89), menyebabkan ayam cenderung menghabiskan energinya untuk melakukan proses homeostasis agar suhu tubuhnya tetap dipertahankan dalam keadaan normal. Selain itu pada THI yang tinggi akan menyebabkan terjadi penyesuaian pusat regulasi panas tubuh yang berdampak pada menurunnya konsumsi pakan sehingga mengakibatkan produksi telur menurun. Data konsumsi ransum (Lampiran 3) menunjukkkan bahwa rata-rata konsumsi ransum pada THI 89 (kuningan) yaitu sebesar 105g /ekor/hari dan pada THI rendah 72 (cililin) konsumsi ransum rata-rata sebesar 115g /ekor/hari. Konsumsi yang lebih rendah pada THI yang tinggi menjadi salah satu faktor utama lebih rendahnya HDP. Konsumsi yang rendah merupakan perilaku fisiologis guna mengurangi head increment agar beban panas tubuhnya dapat dikurangi. Dawson dan whictow (2000) mengungkapkan bahwa regulasi temperatur tubuh menjadi sangat berat ketika radiasi dan konveksi panas dari lingkungan sangat tinggi, apalagi jika diikuti dengan kelembaban yang tinggi. Salah satu cara untuk mengurangi beban panasnya maka ternak akan mengurangi konsumsi ransum.
30
Temperatur yang tinggi tidak hanya menurunkan konsumsi ransum hingga menyebabkan penurunan HDP. Dampak secara selular, akan meningkatkan tingginya produksi senyawa superoxide (O2-) dan hidroksil radikal (HO-) (Weng dkk., 2007). Senyawa-senyawa tersebut merupakan senyawa yng bersifat radikal yang dapat menurunkan sintesis protein, merusak protein, dan mematikan sel-sel baik secara mikrosis (kematian karena kerusakan menbran) maupun kematian secara apoptosis (kematian karena kerusakan inti sel atau nukleus) (monteiro dkk., 2009). Salah satu protein yang dihambat sintesisnya karena tinggi senyawa radikal adalah 3-β-hydroxi steroid dehydrogenase (3-β-HSD). Protein ini merupakan gen enzim yang bertanggung jawab dalam sintesis hormon-hormon steroid di ovarium. Pertumbuhan folikel (yolk) sangat dipengaruhi oleh ekspresi hormo-hormon steroid seperti progesteron dan estrogen. Berdasarkan uraian sebelumnya maka dapat dikemukakan pula bahwa peningkatan temperatur disertai dengan kelembaban yang tinggi (ditunjukkan dengan nilai THI tinggi) berdasarkan penelitian ini, juga berdampak terhadap menurunnya ekspresi gen-gen 3-β-HSB sehingga menurunkan level hormonhormon steroid , yang berdampak terhadap rendahnya perkembangan folikel (yolk). Hasil penelitian ini sejalan dengan dengan hasil penelitian terdahulu yang dilaporkan oleh Taira dan Beck (2004;2006) bahwa peningkatan temperatur lingkungan
secara
signifikan
menurunkan
aktifitas
3-β-hydroxi
steroid
dehydrogenase didalam sel-sel granulosa di ovarium dan penurunan perkembangan folikel.
31
Menurunnya aktivitas adalah 3-β-hydroxi steroid dehydrogenase (3-βHSD) yang menyebabkan penurunan pertumbuhan follikel oleh meningkatnya cekaman panas (THI tinggi). Penurunan 3-β-hydroxi steroid dehydrogenase menjadi salah satu alasan rendahnya HDP di lokasi pemeliharaan dengan THI tinggi yaitu Kuningan, dibandingkan dengan lokasi THI lebih rendah yaitu Cililin. Selain faktor penurunan ekspresi gen seperti dikemukan sebelumnya, faktor penyebab lain yang menyebabkan lebih rendahnya HDP di lokasi THI tinggi adalah aktifitas pengeluaran panas (thermoregulasi) sebagai bagian mekanisme homoestasis menyebabkan meningkatnya katabolisme nutrien menjadi energi. Dampak kerugian homoestasis ini bagi produksi telur, antara lain konsumsi energi intraselluler akan meningkat untuk mendorong perombakan nutrien menjadi energy sehingga bahan pembentukan telur berkurang. Hasil penelitian ini sesuai dengan pernyataan Gasser dkk. (2006) dan Bird dkk. (2003) bahwa dalam kondisi cekaman panas terjadi peningkatan perombakan glikogen menjadi glukosa yang berdampak terhadap laju vitellogenesis sehingga menurunkan produksi telur. Merujuk pada hasil penelitian Gasser dkk. (2006) dan Bird dkk. (2003) maka dapat dikemukakan bahwa pemanfaatan nutrien untuk energi dan produksi di lokasi penelitian dengan THI yang lebih rendah (Cililin) lebih efisien, ditandai dengan HDP yang lebih tinggi yaitu (83,7%).
32
4.2.
Pengaturan Panas Tubuh (thermoregulasi) pada Ayam Petelur Fase
Layer Pengaturan panas tubuh (thermoregulasi) ayam petelur pada THI yang berbeda (kuningan dan Cililin) berdasarkan hasil penelitian, dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Pengaturan panas tubuh (Thermoregulasi) ayam petelur fase layer pada Thempetarure Humadity Index (THI) yang berbeda No Lokasi
THI
Rata-rata Suhu Permukaan Tubuh (0C) Jengger
Pial
Bulu
Shank
1
Kuningan
89
37,8a
35,0a
33,6a
40,2a
2
Cililin
72
35,6b
34,9a
31,8b
38,1b
Keterangan : Notasi huruf yang berbeda pada kolom rata-rata yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (p < 0,01). Hasil penelitian terhadap pengukuran suhu tubuh ayam petelur fase layer pada THI yang berbeda menunjukkan hasil bahwa pengukuran suhu permukaan tubuh pada bagian pial tidak berbeda nyata (p > 0,05). Namun demikian, suhu permukaan tubuh pada bagian jengger, bulu, dan shank menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (p < 0,01) lebih tinggi di lokasi penelitian dengan THI = 89 (Kuningan), dibangdingkan pada THI = 72 (Cililin). Rata-rata temperatur permukaan jengger, bulu dan shank yang lebih tinggi pada lokasi penelitian dengan THI = 89 dibandingkan dengan suhu permukaan jengger, bulu dan shank pada lokasi penelitian dengan THI = 72, menunjukkan bahwa semakin tinggi THI maka usaha mengevaporasikan panas tubuh ayam tersebut juga semakin tinggi. Sebagaimana pernyataan Guay dkk. (2007) dan
33
Aengwanich (2007) bahwa dalam kondisi cekaman panas, meskipun ternak unggas tidak memiliki kelenjar keringat namun evaporasi panas dilakukan melalui panting dan melalui permukaan tubuhnya. Hasil penelitian yang sama juga telah dilaporkan oleh Andi Mushawwir dan Diding Latipudin (2012) bahwa permukaan radius ulna (Shank= betis) dan jengger menunjukkan dua permukaan tubuh yang paling efektif mengeluarkan panas, semakin tinggi suhu dan kelembaban maka temperature ke dua bagian tubuh tersebut juga semakin tinggi. Evaporasi panas melalui permukaan tubuh dapat dilakukan dengan bantuan sistem pembuluh darah yang mengalirkan panas tubuh melalui pembuluh darah, selanjutnya diradiasikan ke lingkungannya. Semakin tinggi panas tubuh yang datang dari lingkungan, maka semakin banyak pula panas yang dievaporasikan ke lingkungan nya. Hasil penelitian ini sesuai dengan penyataan Dawson dan Whittow (2000) bahwa panas tubuh dapat dievaporasikan melalui pembuluh-pembuh darah kecil yang beredar dipermukaan tubuh ayam, meskipun mekanisme ini tidak lebih efektif dibandingkan melalui panting. Pernyataan yang senada dengan hasil penelitian ini juga dikemukan oleh Yanagi dkk. (2002); Mutaf dkk. (2008) dan Yahav dkk. (2008) bahwa perubahan proporsi darah yang mengalir menuju pembuluh darah kapiler antara lain dipengaruhi oleh temperatur sebagai mekanisme rangsangan syaraf symphatetik untuk mengeluarkan panas tubuh dalam rangka mempertahankan suhu tubuh ternak. Berdasarkan hasil penelitian (Tabel 2) tampak bahwa pada kedua lokasi pemeliharaan baik pada THI 89 maupun 72, jengger dan shank adalah organ yang
34
memiliki temperatur permukaan yang lebih tinggi di antara organ yang lain. Hasil ini menunjukkan bahwa jengger dan shank merupakan organ yang paling efektif untuk mengevaporasikan panas tubuh ternak ayam tersebut. Faktor yang menyebabakn kedua organ tersebut yang efektif untuk mengevaporasikan panas karena disebabkan pada kedua organ tersebut terdapat dan mengalir banyak pembuluh-pembuluh darah kecil, kemudian panas yang tinggi pada jenger dan shank akan terevaporasi melalui pergeseran dengan udara dari lingkungan. Sebagaimana dikemukakan pula oleh Yanagi dkk. (2002); Franco (2004) Mutaf dkk. (2008) dan Yahav dkk. (2008) bahwa pada unggas memiliki pembuluh darah kecil yang menegalir ke jengger dan shank sehingga kedua organ ini dapat mengevaporasikan panas melalui radiasi udara dari lingkungannya. Mekanisme
fisiologik
sehingga
jengger
dan
shank
mamp
mengevaporasikan panas, terjadi karena perubahan pengaliran darah ke pembuluh darah kecil atau kapiler di jengger dan shank. Kemampuan perubahan laju alir darah di jengger dan shank karena disebabkan oleh peran pembuluh arteri-vena anastosoma (AVA) yang mampu merespon panas tubuh dan lingkungan. Suhu tubuh dan lingkungan yang tinggi menyebabkan dilatasi AVA pada kaki ungags dan jengger. Sebagaimana dikemukan oleh Yahav (2000); Mutah dan Seber (2005); Cangar dkk. (2008); Tan dkk. (2010) dan Rahardja (2010) bahwa panas tubuh dapat dievaporasikan karena kemampuan pembuluh darah melakukan dilatasi atau perbesaran yang disebabkan oleh respon areti-vena anastosoma (AVA), sehingga menyebabkan laju alir darah semakin tinggi.
35
Hasil penelitian ini juga sejalan dengan pernyataan Havenstein dkk. (2007) dan Shinder (2007) bahwa terkait dengan fungsi organ sebagai alat dalam mangevaporasikan panas organ-organ yang memiliki pembuluh darah kapiler yang banyak akan efektif sebagai organ yang mengevaporasikan panas lebih tinggi, dengan meningkatkan laju alir dan proporsi darah ke organ-organ tersebut.
36