Thermoregulasi dan hen day production ayam petelur
paliadi
THERMOREGULASI DAN HEN DAY PRODUCTION AYAM PETELUR FASE LAYER PADA TEMPERATURE HUMIDITY INDEX YANG BERBEDA THERMOREGULATION AND HEN DAY PRODUCTION OF LAYING HEN IN DIFFERENCE OF TEMPERATURE HUMIDITY INDEX Paliadi, T. Widjastuti, A. Mushawwir Universitas Padjadjaran Alumni Fakultas Peternakan Unpad Tahun 2015 Email:
[email protected] ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perbedaan Themperature Humadity Index (THI) terhadap Thermoregulasi ayam petelur fase layer dan Hen Day Production (HDP) ayam petelur fase layer. Penelitian ini dilakukan terhadap 120 ekor ayam untuk penelitian Thermoregulasi dan 7500 ekor untuk penelitian HDP dari masing-masing THI yang berbeda (THI=89 di Kuningan dan THI=72 di Cililin). Penelitian ini dilaksanakan pada bulan AprilMei 2015 di CV. Acum Jaya Abadi, Kuningan untuk THI tinggi dan di Dusun Cihampelas, Cililin Bandung Barat untuk THI rendah. Penelitian ini menggunakan metode uji-T tidak berpasangan. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa HDP lebih rendah pada lokasi pemeliharaan dengan THI = 89 dibandingkan pada THI rendah = 72. THI yang tinggi juga menyebabkan suhu permukaan Jengger, bulu, dan shank lebih tinggi dibandingkan pada THI rendah, kecuali suhu permukaan pial. Dengan demikian penelitian ayam petelur pada THI rendah (72) lebih baik dibandingkan dengan pada THI tinggi (89). Kata Kunci: themperature humadity index, thermoregulasi, hen day production, ayam petelur ABSTRACT This study to know the effect of Themperature Humadity Index (THI) on Thermoregulation and Han Day Production (HDP) of laying hen was conducted in April to Mey 2015, with using 7500 laying hen in each research site (kuningan, THI=89 and Cililin, THI=72). Data were collected and analyzed using T-Student independent test analyzis. Based on this work showed that HDP in high THI (89) less than HPD in low THI (72). High THI (89) also contributed of an increased themperature of comb, feather and shank higher than low THI (72), significantly, except on watle themperature. There one production of laying hen in low THI (72) showed a good performance than in high THI (89). Keyword : themperature humadity index, thermoregulation, hen day production, laying hen PENDAHULUAN Ayam petelur termasuk hewan homoiterm dengan tingkat metabolisme yang tinggi, hewan yang dapat menjaga dan mengatur suhu tubuhnya agar tetap normal melalui proses yang disebut homeostasis. Suhu tubuh akan konstan meskipun hidup pada suhu lebih rendah atau lebih tinggi dari pada suhu tubuhnya, hal ini dikarenakan adanya reseptor dalam otaknya, yaitu hipotalamus untuk mengatur suhu tubuh. Ayam petelur terutama pada fase layer akan berproduksi optimal pada zona nyamannya (comfort zone). Apabila kondisi lingkungan berada di bawah atau di atas zona nyaman ayam petelur akan mengalami stres. Stres yang biasa terjadi pada peternakan ayam petelur di
Thermoregulasi dan hen day production ayam petelur
paliadi
Indonesia adalah stres panas dimana suhu dan kelembaban lingkungan yang tinggi menyebabkan naiknya suhu tubuh ayam sehingga produksi telur pada ayam menurun. Faktor lingkungan berpengaruh cukup besar terhadap tingkat produksi ternak. Faktor lingkungan yang merupakan hasil perpaduan antara suhu, kelembaban, kecepatan gerakan udara dan panas radiasi. Suhu dan kelembaban merupakan dua faktor iklim yang selalu berkaitan erat. Kedua faktor iklim ini dapat menggambarkan nilai Temperature Humidity Index (THI). Berdasarkan pertimbangan dua faktor iklim suhu dan kelembaban maka perlu dilakukan studi terhadap imbangan kedua faktor tersebut atau nilai indeks Temperature Humidity Index yang tidak menimbulkan aktivitas Thermoregulasi (pengaturan panas) dan penurunan produksi yang lebih tinggi pada ayam petelur. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk mengkaji pengaruh dua level indeks THI yang berbeda terhadap aktivitas Thermoregulasi dan Hen Day Production pada ayam petelur.
BAHAN DAN METODE 1. Bahan Ternak yang digunakan dalam penelitian terdiri dari ayam petelur fase layer sebanyak 120 ekor untuk pengukuran thermoregulasi dan 7500 ekor untuk penentuan hen day production di masing-masing tempat penelitian, masing-masing berumur 56 minggu dengan Strain Leghorn. Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: a) Thermometer Infrared b) Thermomerter Bola Kering/Dry Bulb (DB), c) Thermometer Bola Basah/Wet Bulb (WB) dan d) Thermometer Klinik 2. Metode Penelitian (1). Pengukuran Suhu Tubuh Ayam a.
Suhu tubuh ayam diukur dengan menggunakan Thermometer Infrared.
b.
Suhu tubuh ayam diukur pada bagian Pial, jengger, bulu dan shank.
c.
Pengukuran ini dilakukan pada waktu pagi jam 04.30, siang 14.00, dan sore hari 17.00 selama satu bulan.
(2). Pengukuran Suhu dan Kelembaban a.
Suhu dan kelembaban kandang diukur dengan menggunakan thermometer bola kering (DB) dan bola basah (WB).
Thermoregulasi dan hen day production ayam petelur b.
paliadi
Thermometer ditempatkan di tiga titik dalam kandang, data yang diperoleh dari tiga titik tersebut dirata-ratakan.
c.
Pengukuran dilakukan pada pagi jam 04.30, siang jam 14.00, dan sore hari jam 17.00
d.
pengukuran dilakukan selama satu bulan.
e.
Menulis hasil pengamatan pada tabel
f.
THI dikalkulasikan berdasarkan Mader, dkk (2006)
(3). Penentuan Temperature Humidity Index (THI) a.
Sumbu X ditepakan sebagai suhu (ºC) dan sumbu Y sebagai kelembaban.
b.
Skala minimal suhu 15ºC dan maksimal 50ºC, dengan menggunakan tingkat ketelitian skala 0,2, contoh 15; 15,2; 15,4 ... 50ºC
c.
Skala minimal kelembaban 0% dan maksimal 100%, dengan ketelitian skala 5, contoh 0,5, 10 ... 100%
d.
Formula yang digunakan untuk membuat grafik THI, berdasarkan (Mader dkk, 2006) : THI = (0,8 × T_db) + ((RH/100) × (T_db - 14,4)) + 46,4
e.
Program
Microsoft
Office
Excel
digunakan
untuk
mempermudah
perhitungan dan penyusunan grafik THI. f.
Masing-masing comfort zone-nya diberi warna atau garis berbeda
(4). Pengukuran Hen Day Production (HDP) Hen Day Production (HDP) adalah cara menghitung produksi telur harian; perhitungannya adalah jumlah telur dibagi jumlah ayam saat itu x 100% biasa dihitung selama 1 bulan (rata-rata selama 1 bulan). a. Menghitung jumlah produksi telur (butir) b. Menghitung jumlah ayam yang ada dikandang saat itu (ekor) c. Melakukan perhitungan dengan membagi jumlah produksi telur dengan jumlah ayam
HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Hen Day Production (HDP) Hen Day Production (HDP) ayam petelur pada THI yang berbeda (kuningan dan Cililin) berdasarkan hasil penelitian, dapat dilihat pada Tabel 1.
Thermoregulasi dan hen day production ayam petelur
paliadi
Tabel 1. Hen Day Production (HDP) ayam petelur pada THI yang berbeda (Kuningan dan Cililin) Berdasarakan Hasil Penelitian Rata-rata
No
Lokasi
THI
1
Kuningan
89
79,4a
2
Cililin
72
83,7b
HDP (%)
Keterangan : Notasi huruf yang berbeda pada kolom rata-rata HDP menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0.01) Hasil analisis uji T-tidak berpasangan (Tabel 1) menunjukkan bahwa rata-rata HDP ayam petelur yang dipelihara di lokasi dengan THI lingkungan kandang sebesar 89 (Kuningan) berbeda sangat nyata lebih rendah (p < 0,01) yaitu sebesar 79,4% dibandingkan HDP ayam petelur yang dipelihara dengan THI lingkungan kandang lebih rendah (Cililin = 72) yaitu sebesar 83,7%. Hasil pengukuran dan analisis statistikanya dapat dilihat pada Lampiran 4. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa temperatur dan kelembaban merupakan faktor yang sangat menentukan performans ayam petelur. Diketahui bahwa THI merupakan interaksi antara temperatur dan kelembaban. Temperatur yang tinggi disertai kelembaban yang tinggi menyebabkan THI menjadi meningkat. Dalam kondisi seperti ini maka beban panas dalam tubuh ternak ayam menjadi sulit disirkulasikan ke lingkungannya, sehingga efisiensi nutrien menjadi menurun, karena sebagian besar digunakan untuk proses homeostasis. Menurut Andi Mushawwir dan D. Latipudin (2013) bahwa nutrisi yang digunakan untuk produksi telur hanya merupakan kelebihan dari nutrisi yang digunakan untuk proses homeostasis dan hidup pokok. Terkait dengan pernyataan tersebut maka dapat dijelaskan bahwa ayam ras petelur yang dipelihara pada THI tinggi (Kuningan = 89), menyebabkan ayam cenderung menghabiskan energinya untuk melakukan proses homeostasis agar suhu tubuhnya tetap dipertahankan dalam keadaan normal. Selain itu pada THI yang tinggi akan menyebabkan terjadi penyesuaian pusat regulasi panas tubuh yang berdampak pada menurunnya konsumsi pakan sehingga mengakibatkan produksi telur menurun. 2. Pengaturan Panas Tubuh (thermoregulasi) pada Ayam Petelur Fase Layer Pengaturan panas tubuh (thermoregulasi) ayam petelur pada THI yang berbeda (kuningan dan Cililin) berdasarkan hasil penelitian, dapat dilihat pada Tabel 2.
Thermoregulasi dan hen day production ayam petelur
paliadi
Tabel 2. Pengaturan panas tubuh (Thermoregulasi) ayam petelur fase layer pada Thempetarure Humadity Index (THI) yang berbeda No
Lokasi
THI
1
Kuningan
2
Cililin
Rata-rata Suhu Permukaan Tubuh (0C) Jengger
Pial
Bulu
Shank
89
37,8a
35,0a
33,6a
40,2a
72
35,6b
34,9a
31,8b
38,1b
Keterangan : Notasi huruf yang berbeda pada kolom rata-rata yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (p < 0,01). Hasil penelitian terhadap pengukuran suhu tubuh ayam petelur fase layer pada THI yang berbeda menunjukkan hasil bahwa pengukuran suhu permukaan tubuh pada bagian pial tidak berbeda nyata (p > 0,05). Namun demikian, suhu permukaan tubuh pada bagian jengger, bulu, dan shank menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (p < 0,01) lebih tinggi di lokasi penelitian dengan THI = 89 (Kuningan), dibangdingkan pada THI = 72 (Cililin). Rata-rata temperatur permukaan jengger, bulu dan shank yang lebih tinggi pada lokasi penelitian dengan THI = 89 dibandingkan dengan suhu permukaan jengger, bulu dan shank pada lokasi penelitian dengan THI = 72, menunjukkan bahwa semakin tinggi THI maka usaha mengevaporasikan panas tubuh ayam tersebut juga semakin tinggi. Sebagaimana pernyataan Guay dkk. (2007) dan Aengwanich (2007) bahwa dalam kondisi cekaman panas, meskipun ternak unggas tidak memiliki kelenjar keringat namun evaporasi panas dilakukan melalui panting dan melalui permukaan tubuhnya. Hasil penelitian yang sama juga telah dilaporkan oleh Andi Mushawwir dan Diding Latipudin (2012) bahwa permukaan radius ulna (Shank= betis) dan jengger menunjukkan dua permukaan tubuh yang paling efektif mengeluarkan panas, semakin tinggi suhu dan kelembaban maka temperature ke dua bagian tubuh tersebut juga semakin tinggi. Evaporasi panas melalui permukaan tubuh dapat dilakukan dengan bantuan sistem pembuluh darah yang mengalirkan panas tubuh melalui pembuluh darah, selanjutnya diradiasikan ke lingkungannya. Semakin tinggi panas tubuh yang datang dari lingkungan, maka semakin banyak pula panas yang dievaporasikan ke lingkungan nya. Hasil penelitian ini sesuai dengan penyataan Dawson dan Whittow (2000) bahwa panas tubuh dapat dievaporasikan melalui pembuluh-pembuh darah kecil yang beredar dipermukaan tubuh ayam, meskipun mekanisme ini tidak lebih efektif dibandingkan melalui panting. Pernyataan yang senada dengan hasil penelitian ini juga dikemukan oleh Yanagi dkk. (2002); Mutaf dkk. (2008) dan Yahav dkk. (2008) bahwa perubahan proporsi darah yang
Thermoregulasi dan hen day production ayam petelur
paliadi
mengalir menuju pembuluh darah kapiler antara lain dipengaruhi oleh temperatur sebagai mekanisme rangsangan syaraf symphatetik untuk mengeluarkan panas tubuh dalam rangka mempertahankan suhu tubuh ternak. Berdasarkan hasil penelitian (Tabel 2) tampak bahwa pada kedua lokasi pemeliharaan baik pada THI 89 maupun 72, jengger dan shank adalah organ yang memiliki temperatur permukaan yang lebih tinggi di antara organ yang lain. Hasil ini menunjukkan bahwa jengger dan shank merupakan organ yang paling efektif untuk mengevaporasikan panas tubuh ternak ayam tersebut. Faktor yang menyebabakan kedua organ tersebut yang efektif untuk mengevaporasikan panas karena disebabkan pada kedua organ tersebut terdapat dan mengalir banyak pembuluhpembuluh darah kecil, kemudian panas yang tinggi pada jenger dan shank akan terevaporasi melalui pergeseran dengan udara dari lingkungan. Sebagaimana dikemukakan pula oleh Yanagi dkk. (2002); Franco (2004) Mutaf dkk. (2008) dan Yahav dkk. (2008) bahwa pada unggas memiliki pembuluh darah kecil yang menegalir ke jengger dan shank sehingga kedua organ ini dapat mengevaporasikan panas melalui radiasi udara dari lingkungannya. Mekanisme fisiologik sehingga jengger dan shank mamp mengevaporasikan panas, terjadi karena perubahan pengaliran darah ke pembuluh darah kecil atau kapiler di jengger dan shank. Kemampuan perubahan laju alir darah di jengger dan shank karena disebabkan oleh peran pembuluh arteri-vena anastosoma (AVA) yang mampu merespon panas tubuh dan lingkungan. Suhu tubuh dan lingkungan yang tinggi menyebabkan dilatasi AVA pada kaki ungags dan jengger. Sebagaimana dikemukan oleh Yahav (2004); Mutah dan Seber (2005); Cangar dkk. (2008); Tan dkk. (2010) dan Rahardja (2010) bahwa panas tubuh dapat dievaporasikan karena kemampuan pembuluh darah melakukan dilatasi atau perbesaran yang disebabkan oleh respon areti-vena anastosoma (AVA), sehingga menyebabkan laju alir darah semakin tinggi. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan pernyataan Havenstein dkk. (2007) dan Shinder (2007) bahwa terkait dengan fungsi organ sebagai alat dalam mangevaporasikan panas organorgan yang memiliki pembuluh darah kapiler yang banyak akan efektif sebagai organ yang mengevaporasikan panas lebih tinggi, dengan meningkatkan laju alir dan proporsi darah ke organ-organ tersebut.
KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan ditemukan bahwa pada THI tinggi yaitu 89, produksi telur (HDP) ayam lebih rendah dibandingkan ayam petelur yang dipeliharan pada
Thermoregulasi dan hen day production ayam petelur
paliadi
lokasi dengan THI yang lebih rendah (72) dan pada THI berbeda tidak ditemukan perbedaan suhu dipermukaan tubuh ayam pada bagian pial. Perbedaan suhu permukaan tubuh ayam tampak berbeda pada bagian jengger, bulu, dan shank.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dosen pembimbing Prof. Dr. Ir. Hj. Tuti Widjastuti, MS., dan Andi Mushawwir, S.Pt., M.P., serta kepada dosen pembahas Endang Sudjana, S.Pt., MP., Dr. Rahmat Wiradimadja, S.Pt.,M.Si., Dr. Ir. Diding Latifudin, M.Si. Kepada kedua Orang tua penulis sendiri yaitu H. Rusdi dan Hj. Yusmaniar, Kepada semua saudara penulis, dan seluruh keluarga besar. Selanjutnya kepada Dosen Wali Deny Saefulhadjar S.Pt., M.Si., kepada Dekan Fakultas Peternakan Univesitas Padjadjaran Prof. Husmy Yurmiati, kepada seluruh dosen dan staf di Fakultas Peternakan, kepada semua rekan mahasiswa Fakultas Peternakan Brahman 2009, mahasiswa senior dan junior Fakultas Peternakan dan terkhusus kepada rekan mahasiswa kelas E 2009, kepada rekan mahasiswa Universitas Padjadjaran secara umum, kepada rekan mahasiswa UKM UPBM Unpad, rekan mahasiswa Pondok Komala, rekan mahasiswa Rami 2009, dan rekan mahasiswa PACE atas semua dukungannya, baik secara langsung maupun tidak langsung, secara moril maupun materi. Penulis berharap hasil penelitian dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak yang terkait.
DAFTAR PUSTAKA Aengwanich, W. 2007. Effects of High Environmental Temperature on Blood Indices ofThai Indigenous Chickens, Thai Indigenous Chickens Crossbred and Broilers. International Journal of Poultry Science. 6: 427-430. Andi Mushawwir dan D. Latipudin. 2012. Respon Fisiologi Thermoregulasi Ayam Ras Petelur Fase Grower dan Layer. Proceeding of National Seminar on Zootechniques of Indogenous Resourches Development, Semarang. Andi Mushawwir dan D. Latipudin. 2013. Biologi Sintesis Telur, perspektif Fisologi, Biokimia dan Molekuler Produksi Telur. Penerbit Graha Ilmu, Yogyakarta. Cangar, O., J.M. Aerts, J. Buyse, and D. Berckmans. 2008. Quantification of the Spatial Distribution of Surface Temperatures of Broilers. Poultry Science. 87:2493–2499. Dawson, W. R., and G. C. Whittow. 2000. Regulation of body temperature dalam G. C. Whittow : Sturkie’s Avian Physiology. Academic Press, New York, NY. Pages 343–379
Thermoregulasi dan hen day production ayam petelur
paliadi
Franco,D. J. 2004. Effect of heat stres of production, physiologicaland metabolic parameters in three varieties of laying hens. PhD Dissertation, Univ. of Nebraska, Lincoln. Havenstein, G. B., P. R. Ferket, J. L. Grimes, M. A. Qureshi, and K. E. Nestor. 2007. Comparison of the performance of 1966-versus 2003-type turkeys when fed representative 1966 and 2003 turkey diet: Growth rate, livability, and feed conversion. Poult. Sci. 86:232–240. Mutaf, S., and N. Seber. 2005. The Effect of Insulation Level of Theconstruction Elements and Evaporative Cooling Systems in Thepoultry Houses on Laying Hen Performance in Hot Climate. Pages347–353 in Proc. 31st Commission International de l’Organisation Scientifique du Travail en Agriculture-International Commission of Agricultural Engineering (CIOSTA-CIGR) V. F. und T. MullerbaderGmbH, Filderstadt, Germany. Mutaf, S., N. Şeber Kahraman, and M. Z. Fırat. 2008. Surface Wetting and Its Effect on Body and Surface Temperatures of Domestic Laying Hens at Different Thermal Conditions. Poultry Science 87:2441–2450. Rahardja, D.P. 2010. Fisiologi Lingkungan. Universitas Hasanuddin. Makassar. Shinder, D., M. Rusal, J. Tanny, S. Druyan, and S. Yahav. 2007. Thermoregulatory Responses of Chicks (Gallus domesticus) to Low Ambient Temperatures at an Early Age. . Poultry Science. 86: 2200–2209. Tan, G.Y., L. Yang , Y.-Q. Fu , J.H. Feng, and M.H. Zhang. 2010. Effects of different acute high ambient temperatures on function of hepatic mitochondrial respiration, antioxidative enzymes, and oxidative injury in broiler chickens. Poultry Science. 89: 115–122. Yahav, S., A. Straschnow, D. Luger, D. Shinder, J. Tanny, and S. Cohen. 2004. Ventilation, sensible heat loss, broiler energy, and water balance under harsh environmental conditions. Poult. Sci. 83:253–258. Yahav, S., M. Rusal, and D. Shinder. 2008. The Effect of Ventilation on Performance Yanagi, T. Jr., H. Xin, and R. S. Gates. 2002. Optimization of partial surface wetting to cool caged laying hens. Appl. Eng. Agric. 45:1091–1100.