BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 1.1 Hasil Penelitian Hasil penelitian ini disajikan berdasarkan data-data yang terkumpul di lapangan. Data-data lumadu yang dievokasi ditemukan melalui dokumentasi dan wawancara. Berdasarkan kedua data tersebut diformulasikan kembali berdasarkan konvensi kesastraan yang ditetapkan. Berdasarkan data dokumentasi, menurut Tuloli lumadu adalah puisi pengasah otak (2000:101).
Kemudian didipu menyebutkan
lumadu sebagai ungkapan tradisional (2011:76). Disebutkan oleh Farha Daulima pada halaman kata pengantar bahwa lumadu sebagai ungkapan dalam bahasa daerah Gorontalo. Melalui hakikat lumadu yang telah ditetapkan oleh para ahli, dijadikan sebagai landasan data dalam penelitian. Berdasarkan informasi yang ditemukan , dilakukan formulasi melalui analisis data sebagai bentuk tindakan dalam pemenuhan indakator penelitan.Hasil dari formulasi data yang dianalisis, ditemukan bentuk dan penjenisan lumadu berdasarkan fungsinya. Adapun hasil analisis atas pemenuhan indikator penelitian sebagai berikut.
4.1.2 Bentuk dan fungsi Lumadu Berdasarkan
informasi
yang
diperoleh
melalui
wawancara
dengan
narasumber, dihasilkan formulasi penelitian yang berbeda dari sebelumnya. Informasi yang ditemukan menjelaskan tentang lumadu, dan hasil informasi menjelaskan bahwa lumadu terdiri atas dua bentuk, dan setiap bentuk diklasifikasikan ke dalam jenis
yang berbeda. Lumadu terbagi atas dua bagian, yaitu lumadu sebagai sastra lisan Gorontalo dan lumadu sebagai gaya bahasa sastra lisan Gorontalo.Lumadu sebagai sastra lisan Gorontalo terklasifikasi menjadi lumadu jenis nasihat, lumadu jenis prinsip, dan lumadu jenis sindiran. Untuk lebih jelasnya, diuraikan penjelasannya sebagai berikut.
4.1.2.1 Lumadu sebagai sastra lisan Gorontalo Puisi lama adalah jenis sastra lisan yang terikat oleh jumlah bait, setiap bait dalam barisnya, dan terikat oleh suku kata dalam setiap barisnya. Puisi lama juga mengutamakan bentuk, bunyi, dan kepadatan makna di dalamnya. Puisi lama terbagi atas beberapa jenis, yaitu mantra, peribahasa, pantun, syair, dan gurindam. Puisi lama eksitensi sangat dominan dalam ranah kedaerahan disebabkan puisi lama banyak digolongkan sebagai sastra daerah. Sastra daerah terbagi menjadi dua kelompok, yaitu sastra lisan dan sastra tulisan. Sastra lisan adalah sastra daerah yang proses pewarisannya secara lisan, sedangkan sastra tulisan adalah sastra derah yang hadir dalam bnetuk tulisan. Berdasarkan data yang dikumpulkan, ditemukan lumadu yang berbentuk sastra lisan. Bentuk ini dikatakan sastra lisan karena terdapat kemiripan antara lumadu dengan puisi lama. Jenis puisi lama yang sama dengan lumadu adalah peribahasa. Peribahasa terbagi atas pepatah, perumpamaan, ungkapan, tamsil, pameo. Kemiripan antara lumadu dan puisi lama dijadikan dalil dalam penggolangan lumadu sebagai sastra lisan. Puisi adalah jenis sastra, dan lumadu eksitensinya diwariskan
secara lisan dari generasi ke generasi. Hal ini sebagai penjelas bahwa lumadu merupakan puisi lama yang diwariskan secara lisan oleh masyarkat Gorontalo, sehingga lumadu ini disebut sebagai sastra lisan Gorontalo. Pada definisi sebelumnya, disebutkan bahwa puisi lama terikat oleh bait dan baris, serta mengutamakan bunyi, bentuk, dan kepadatan makna. Definisi puisi lama dalam pargragraf sebelumnya merupakan definisi yang bersifat umum. Apabila definisi ini dihubungkan dengan lumadu maka terdapat perbedaan di dalamnya. Lumadu adalah sastra lisan yang berbentuk peribahasa. Lumadu sebagai puisi lisan Gorontalo di dalamnya terkandung kepadatan makna dan bentuknya berdasarkan jenis-jenis dalam peribahasa. Lumadu dikatakan sebagai sastra lisan karena kemiripan bentuknya dengan peribahasa. Contohnya, lumadu yang berbentuk pepatah, openu de moputi tulalo, bo dila moputi baya, artinya biarlah berputih tulang, yang penting tidak berputih wajah. Lumadu ini merupakan lumadu pepatah yang berisi pengajaran dalam menjunjung tinggi kehormatan. Jika diperhatikan secara seksama, maka lumadu ini terdapat kemiripan bentuk dengan pepatah “rajin pangkal pandai, hemat pangkal kaya. Keduanya terdapat kemiripan bentuk dan kepadatan makna di dalamnya. Lumadu yang bentuknya pepatah bukan berarti bahwa lumadu seluruhnya berbentuk pepatah. Selain berbentuk pepatah, lumadu juga berbentuk ungkapan, yang fungsinya memperhalus kalimat, contohnya po’o-po’oyo hulawa, bisa-bisala tombahu,yang artinya berdiam itu emas, bicara itu tembaga. Kalimat diperhalus dengan diksi hulawa yaitu emas, dan tombahu yaitu tembaga. Bentuk lumadu yang
lain, berbentuk pameo atau sindiran.Lumadu yang berbentuk pameo, contohnya yaitu, amula didi lo hipo. Lumadu ini digunakan sebagai sindiran bagi mereka yang datan tanpa salam dan pergi tanpa pamit. Peribahasa terbagi atas beberapa bentuk, yaitu pepatah, ungkapan, pameo, perumpamaan dan tamsil. Berdasarkan data yang ditemukan, bahwa ternyata terdapat kemiripan antara lumadu dengan puisi lama peribahasa, sehingga disebutkan bahwa lumadu merupakan bnetuk sastra lisan Gorontalo. Lumadu yang berbentuk sastra lisan Gorontalo merupakan lumadu yang berdiri sendiri yang sifatnya otonom sebagai sebuah sastra lisan. Bentuk lumadu ini adalah ungkapan halus yang digunakan oleh masyarakat Gorontalo dalam memberikan nasehat melalui sindiran, peringatan atau pengajaran tentang prinsipprinsip kehidupan. Bentuk lumadu ini ialah perumpamaan yang bunyinya halus dan maknannya baik untuk didengar. Penghalusan bunyi di dalamnya dilakukan melalui proses diksi yang tepat. Diksi yang digunakan seharusnya yang memiliki arti indah yang maknanya disepadankan dengan objek yang dimkasud. Dalam lumadu ini hanya berbentuk satu atau dua gatra yang di dalamnya terkandung amanat atau pesan tersirat yang bermanfaat. Jadi bentuk lumadu seperti ini ialah sastra lisan Gorontalo yang sifatnya otonom. Lumadu yang berbentuk sastra lisan ototnom, terklasifikasi menjadi tiga jenis, yaitu:
1. Lumadu prinsip Lumadu prinsip adalah lumadu yang terdiri atas satu atau dua gatra yang di dalamnya terkandung ajaran prinsip-prinsip hidup. Berdasarkan latar belakang budaya Gorontalo, masyarakat Gorontalo merupakan masyarakat yang kental akan buadyanya. Masyarakat Gorontalo terkenal dengan sifat yang fanatik terhadap adat dan kebudayaan yang diwariskan secara turun-temurun oleh leluhur. Sikap fanatik merupakan dogma dari leluhur yang terus terpatri dalam hati. Meskipun sikap fanatic terhadap budaya tidak lagi terlihat dilingkungan generasi saat ini, tapi masih sangat lekat dalam tindakan dan pola pikir orang-orang tua atau dalam bahasa Gorontalo disebut mongopanggola. Tindakan dan pola pikir mongopanggola merupakan prinsip hidup yang diperoleh melalui orang tua mereka. Pada dasarnya, lumadu prinsip adalah lumadu yang menggambarkan karakateristik individu-individu Gorontalo, secara umum, dalam kehidupannya.
Karakteristik sifat yang pada
dasarnya memiliki kesamaan antara individu yang satu dengan yang lain. Prinsip hidup dengan karakteristik lokal Gorontalo terdapat dalam sastra lisan lumadu yang dalam penelitian ini disebut lumadu prinsip. Berdasarkan makna yang terkandung dalam lumadu, disertai dengan fungsinya bagi masyarakat Gorontalo, ditemukanlah jenis lumadu prinsip. Lumadu prinsip adalah lumadu yang berfungsi sebagai pengajaran prinsip-prinsip kehidupan. Lumadu jenis ini di dalamnya terkandung makna yang berupa pesan implisit yang berupa pengajaran prinsip kehidupan. Ajaran prinsip kehidupan di dalam
lumadudisampaikan secara halus melalui satu atau dua gatra. Pesan disampaikan melalui diksi yang sifatnya halus dan maknanya mudah dicerna. Lumadu prinsip, di dalamnya terkandung filosofi kehidupan. Layaknya setiap prinsip kehidupan, tentu harus terkait dengan logika yang diarahkan pada kebaikan. Ada beberapa contoh lumadu, yang sebagian tidak disebutkan pada poin sebelumnya dan sebagiannya telah disebutkan, merupakan jenis lumadu prinsip. Lumadu tersebut antara lain sebagai berikut. 1.aOpenu de moputi tulalo, bo dila moputi baya Lumadu ini bertemakan keberanian. Keberanian dideskripsikan dalam lumadu melalui diksi yang maknanya halus. Diksi dalam lumadu dirangkai kedalam tipografi yang berbentuk kalimat dan di dalamnya terkandung pesan tersirat, berupa nasihat untuk bersikap berani. Diksi dalam tipografi lumadu ini mampu mengevokasi imaji penglihatan audiens. Kata moputi tulalo dan kata moputi baya sebagai pengevokasi imaji penglihatan. Secara konotasi, lumadu ini terkandung pesanimplisit bahwa sekalipun harus mati menjadi tulang belulang, yang penting tidak dijajah karena ketakutan. Pemaknaan konotasi ini berdasarkan pengetahuan penafsir. Pemaknaan berdasarkan latar belakang budaya juga melahirkan makna yang hampir sama. Berdasarkan latar belakang budaya lumadu ini bermakna lebih baik berputih
tulang
daripada
harus
menanggung
malu
(Daulima
dan
Eraku,2004:50-51). Meskipun pemaknaannya didasarkan pada dua latar belakang yang berbeda tetaplah lumadu ini merupakan lumadu yang berjenis lumadu prinsip. Di dalam lumaduini diajarakan prinsip siap menanggung segala sesuatu yang terjadi, apapun itu, daripada harus hidup diinjak-injak dan dihina.Berdasarkan prinsip tersebut, sangat jelas bahwa masyarakat Gorontalo adalah masyarakat yang menjunjung tinggi kehormatan. Kehormatan adalah segalanya bagi kehidupan. Bahkan dalam masyarakat Gorontalo, seorang anak yang telah mempermalukan keluarga akan dikeluarkan dari keluarga tersebut. Tindakan dan pola pikir seperti ini yang terbentuk merupakan proses dogma orang tua kepada anak mereka, kemudian dilanjutkan kepada keturunan selanjutnya. Cukup hanya dengan lumadu prinsip, akan tergambar dengan jelas idiologi lokal yang terbentuk dalam masyarakat Gorontalo.Lumadu ini digolongakan sebagai lumadu prinsip karena penggamabaran watak orang Gorontalo yang menjunjung tinggi kehormatan tergambar dengan jelas. Lumadu pada poin ini, di dalamnya terdapat kemiripan dengan peribahasa yang berbentuk pepatah. Pepatah adalah peribahasa yang mengandung nasihat atau ajaran dari orang tua. Berdasarkan fungsinya lumadu ini digunakan sebagai nasihat terhadap anak untuk selalu menjunjung tinggi kehormatan. Nasihat yang terdapat di dalamnya merupakan representasi bahwa lumadu ini merupakan sastra lisan yang bentuk puisi lama, seperti bentuk pepatah.
1.bEya dila pito-pito’o Penyampaian lumadu ini dalam bentuk kalimat berfungsi sebagai dogma agama. Diksi yang digunakan tetaplah santun. Kesantunan dalam diksi tentu dapat melahirkan nada yang halus dalam lumadu ini. Lumadu ini sebagai pengevokasi imaji penglihatan bahwa Tuhan tidak buta. Kata dila pito-pito’o merupakan kata nyata yang mengevokasi imaji pengihatan. Lumadu yang berbunyi Eya dila pito-pito’o terkandung arti di dalamnya bahwa Allah tidak menutup mata. Lumadu ini merupakan jenis lumadu prinsip karena lumadu ini berisi pesan tersirat yang diajarakan turun temurun kemudian menjadi karakateristik orang Gorontalo. Karakteristik orang Gorontalo adalah meyakini keberadaan Allah, dan meyakini kekuasaanya atas segala sesuatu. Keyakinan yang berakar dari Islam telah mempengaruhi budaya prinsip masyarakat Gorontalo, baik dari sektor pola pikir, dan tindakan. Akar keislaman dalam diri orang Gorontalo tertanam dengan kuat. Meskipun sebagian besar dari individu Gorontalo tidak bersikap keras terhadap pengamalan Islam, tapi mereka bersikap keras terhadap keyakinan islam. Contohnya, pelaksanaan shalat lima waktu dalam sehari hanya dilakukan oleh sebagian orang saja, sedangkan sebagian besar dalam kesehariannya selalu lalai dalam pelaksanaan shalat lima waktu. Meskipun sebagian besar orang Gorontalo lalai dalam shalat lima waktu, mereka tetap akan bertahan pada agama islam. Bujuk rayu berupa ajakan tidak akan
diterima dan bahkan ditolak dengan keras. Pola pikir islam telah menjadi budaya yang kental dalam masyarakat.Prinsip hidup islam telah digamabarkan pada poin lumadu ini. Lumadu ini digolongkan sebagai lumadu prinsip karena penggambaran pola pikir keislaman dan keyakinan individu-individu Gorontalo. Lumadu ini merupakan lumadu yang bentuk sama dengan pepatah. Lumadu ini berfungsi sebagai pengajaran dalam meneguhkan iman, bahwa Allah Tuhan semesta alam tidak pernah tertutup matanya. Mata yang selalu terbuka petanda bahwa Allah terus mengawasi setiap tindakan manusia dalam kehidupan dunia. 1.cPo’o-po’oyo hulawa, bisa-bisala tombaha Diksi yang berfungsi sebagai penyantun bahasa tampak jelas dalam lumadu ini. Kata hulawa dan tombaha berfungsi sebagai penyantun bahasa dan juga telah dijadikan sebagai gaya perumpamaan dari lumadu. Diksi dalam lumadu berubah kata nyata sebagai pengevokasi imaji pneglihatan. Lumadu di atas dapat diterjemahkan menjadi “diam itu adalah emas, berbicara itu adalah tembaga”. Sikap diam merupakan karakteristik orang Gorontalo. Orang Gorontalo pada umumnya adalah orang yang pendiam tidak banyak bicara. Banyak bicara merupakan tindakan yang tidak baik menurut pandangan orang Gorontalo. Bahkan dalam kesehariannya, masyarakat Gorontalo sering terlihat inferior karena tindakan yang sedikit bicaranya. Masyarkat Gorontalo sejak dahulu tidak aksara, sehingga banyak sastra
daerah Gorontalo lahir dalam bentuk lisan. Sastra daerah yang semuanya lahir dalam bentuk lisan dalam masyarakat Gornotalo, tidak berarti bahwa masyarakat Gorontalo adalah masyarakat yang berkarakter banyak bicara. Sastra lisan yang berbentuk prosa disebut wungguli yang berarti cerita, tidak dapat dijadikan landasan bahwa orang Gorontalo banyak bercerita atau banyak bicara. Sikap diam masyarakat Gorontalo merupakan tindakan yang menghindari pertentangan. Watak pendiam orang Gorontalo pada umumnya telah menjadi prinsip hidup yang berakar dari Islam. Prinsip yang terkandung dalam lumadu ini, selaras dengan sabda nabi yang dijadikan prinsip hidup oleh umat muslim. Rasulullah bersabda “lebih baik diam atau berkata yang baik”. Prinsip hidup yang disampaikan oleh Rasulullah dimanifestasikan ke dalam prinsip hidup orang Gorontalo yang tergambar dalam lumadu ini, yang berbunyi Po’opo’oyo hulawa, bisa-bisala tombaha. Lumadu ini digolongkan sebagai lumadu prinsip karena dalam lumadu ini diajarkan dengan jelas karateristik orang Gorontalo, yaitu karakter pendiam dan tidak banyak bicara. 1.dDidi hulawa to lipu lo tawu, dila mo’o labota didi botu to lipu lo hilawo Perbedaan unsur imaji tampak pada lumadu ini dibandingkan dengan lumadu pada poin-poin sebelumnya. Imaji yang tampak dalam lumadu ini adalah imaji perasa. Kata nyata yang terkadung di dalamnya berperan sebagai pengevokasi imaji perasa. Seorang audiens ketika mendengar lumadu ini
akanbenar-benar merasakan bagaimana rasanya hujan emas dan hujan batu. Jadi kata nyata terdapat pada semua kalimat. Diksi dan tipografi yang digunakan pun tetap sama, yaitu bermakna halus dan berbentuk kalimat. Bila diterjemahkan lumadu di atas, dapat diartikan “hujan emas di tanah kelahiran orang, tidak akan melebihi hujan batu di tanah sendiri”. Lumadu ini adalah lumadu yang disampaikan kepada para perantau, jika telah sukses dikampung orang segeralah kembali ke tanah Gorontalo, tanah kelahiran. Lumadu ini jelas mengajarkan sebuah prinsip cinta tanah air. Cinta tanah air dan sikap patriotik merupakan karakteristik orang Gorontalo. Digambarkan dalam lumadu ini bahwa meskipun kita hidup di tanah orang dalam keadaan senang, kesenangan itu tidak dapat menandingi kebahagiaan di tanah kelahiran meski harus hidup menahan siksa. Sekali lagi dalam lumadu ini pula, diajarkan bahwa kesenangan dan kebahagiaan adalah dua hal yang berbeda. Pembedaan antara senang dan bahagia adalah prinsip. Prinsip cinta tanah air dalam diri orang Gorontalo menjadikan mereka nyaman dan dapat bertahan hidup di tanah Gorontalo, meski dengan cuaca yang panas. Prinsip hidup yang terkandung dalam lumadu ini tergambar dalam kehidupan sehari-hari. Contohnya, seorang nenek yang berasal dari Gorontalo, telah hidup di Jakarta bersama anaknya yang sukses. Namun kesuksesan ini tidak dapat membetahkan nenek tersebut untuk tetap tinggal di Jakarta. Pada akhirnya permintaan nenek kepada anaknya adalah meminta anaknya untuk pulang ke tanah Gorontalo. Contoh lain juga, banyak orang-
orang cerdas di Gorontalo tidak melanjutkan studi karena kerinduan mereka terhadap tanah Gorontalo. Lumadu ini digolongkan sebagai lumadu prinsip karena di dalamnya diajarkan prinsip cinta tanah air, yaitu tanah Gorontalo. 1.eOlohiyo butuhiyo, lantingiyo polangiyo Lumadu ini serupa dengan lumadu sebelumnya. Imaji dalam lumadu yang dievokasi adalah imaji perasa. Audiens melalui kata nyata berusaha diajak ke dalam dunia kontemplasi bagaimana rasanya butuhiyo atau kenyang, dan bagaiman rasanya polangiyo atau lapar. Diksi dan tipografi, serta nada yang digunakan tetaplah sama dengan lumadu prinsip pada poin-poin sebelumnya. Olohiyo butuhiyo, lantingiyo polangiyo, jika diterjemahkan ditemukan arti “rajinnya kenyangnya, malasnya laparnya”. Berdasarkan lumadu ini tergambarkan lagi karakteristik orang Gorontalo, yaitu pekerja keras. Prinsip kerja keras telah menjadi budaya yang lekat dengan orang Gorontalo. Orang Gorontalo berasumsi bahwa manusia yang malas adalah manusia yang selama hidupnya akan ditimpa kelapran. Sedangkan manusia yang rajin akan selalu terpenuhi kebutuhannya dan dapat bermanfaat untuk orang lain. Prinsip kerja keras pada zaman sekarang berbeda dengan zaman dahulu. Pada zaman dahulu sebagian besar orang Gorontalo beranggapan bahwa lebih baik bekerja daripada harus sekolah. Prinsip mengutamakan kerja dibanding sekolah merupakan karakteristik orang Gorontalo sebagai manusia pekerja keras. Pada zaman dahulu berbeda dengan zaman sekarang. Zaman
dahulu prinsip kerja keras orang Gorontalo masih sangat primitif sehingga mereka mengutamakan bekerja dibandingkan bersekolah. Pada zaman sekarang, zaman ketika Gorontalo telah tersentuh dunia modern, orang Gorontalo mulai mengutamakan sekolah dibanding kerja. Hal ini bukan berarti bahwa prinsip kerja keras dalam orang Gorontalo telah hilang. Prinsip kerja keras tetap eksis dalam pola pikir dan tindakan orang Gorontalo, tapi hanya manifestasi dari prinsip tersebut telah berubah. Saat ini orang Gorontalo lebih memilih sekolah daripada bekerja dengan tujuan agar hasil dari bersekolah tersebut dapat memberikan kemampuan dan kecerdasan untuk bekerja. Setelah mendapatkan pekerjaan, tentu dapat terpenuhi semua kebutuhan hidup. Contohnya, seorang ayah akan bekerja dengan sekuat tenaga hanya demi menyekolahkan anaknya, dengan harapan ketika kelak anaknya lulus akan mendapatkan pekerjaan yang layak untuk memenuhi kebutuhan. Dari contoh tersebut, terlihat bahwa seorang ayah bekerja keras untuk menyekolahkan anaknya agar anaknya kelak akan menjadi pekerja keras juga, dengan kemampuan yang lebih dari ayahnya. Jadi dapat dikatakan bahwa orang Gorontalo adalah orang yang bekerja untuk pekerjaan. Berdasarkan pandangan tersebut, maka lumadu ini digolongkan sebagai lumadu prinsip. Kelima lumadu tersebut digolongkan sebagai lumadu prinsip. Kelima lumadu tersebut hanya sebagai contoh dari lumadu prinsip, sebab tidak menutup
kemungkinan
masih
banyak
lagi
lumadu
yang
berjenis
lumaduprinsip di Gorontalo. Kelima contoh lumadu prinsip tersebut dijadikan sebagai bukti bahwa sastra lisan lumadu memiliki jenis lumadu prinsip.
2. LumaduPeringatan Orang Gorontalo adalah orang yang mudah hawatir dengan segala sesuatu yang akan terjadi pada anak-anak mereka. Kehawatiran tersebut banyak menghadirkan peringatan atau teguran kepada anak untuk tetap berada di jalan yang benar. Jalan yang benar akan berdampak positif dalam hidup Teguran atau peringatan yang disampaikan sering berbentuk lumadu. Lumadu peringatan adalah lumadu yang ungkapannya berisi nasihat berupa peringatan agar tetap berjalan pada jalan yang baik.Lumadu peringatan berbeda dengan lumadu prinsip. Lumadu prinsip berfungsi sebagai pengajaran prinsip kehidupan, sedangkan lumadu peringatan berfungsi sebagai peringatan jika lupa terhadap prinsip yang diajarkan. Pada dasarnya lumadu jenis ini sama dengan lumadu prinsip, yaitu sebagai pengajaran terhadap anak, tapi lumadu prinsip berisi prinsip kehidupan, sedangkan lumadu peringatan berisi peringatan. Berdasarkan penjelasan di atas, akan diuraikan beberapa contoh lumadu yang digolongkan ke dalam jenis lumadu peringatan, antara lain sebagai berikut. 2.aDahayi moputu dila Dahayi moputu dila, dapat diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi “hati-hati putus lidah”.
Secara lugas bahwa peringatan dalam lumadu ini untuk
berhati-hati jangan sampai lidah putus. Secara logika, bahwa lidah akan putus apabila
terkena benda tajam. Tapi yang jadi pertanyaan bahwa peringatan dalam lumadu ini adalah menjaga jangan sampai lidah putus. Berdasarkan latar belakang budaya, yang dimaksudkan di sini adalah jagalah lidah, jangan sampai menucapkan kata-kata kotor atau dusta. Peringatan menjaga lidah dari kata-kata kotor dan dusta, ternyata berkaitan dengan pengajaran lumadu prinsip yang mengajarkan untuk bersikap pendiam. Sikap pendiam merupakan sikap yang terhindar dari asal-asal bicara sehingga tidak dapat berkata kotor atau dusta. Berdasarkan penjelasan sebelumnya, bahwa lumadu peringatan berfungsi sebagai peringatan ketika telah lupa dengan prinsip yang diajarkan. Prinsip yang diajarkan terkadang tidak diamalkan atau lupa diamalkan karena sebab tertentu, disaat itulah fungsi lumadu peringatan dilaksanakan. Contohnya pada lumadu ini. Lumadu ini adalah lumadu peringatan bagi yang tidak mengamalkan lumadu prinsip yang berbunyi Po’o-po’oyo hulawa, bisa-bisala tombaha. Orang yang banyak bicara tentu lidah juga banyak bergerak, sehingga dari pembicaraannya keluarlah kata-kata kotor atau dusta. Orang yang banyak bicara dihawatirkan lidahnya akan putus karena banyak bergerak. Begitu juga dengan orang yang berkata kotor dan dusta, dihawatirkan lidahnya akan diputuskan oleh Allah SWT. Kedua tindakan ini pada dasarnya akan menyebabkan sesuatu yang buruk bagi lidah atau seluruh tubuh, sehingga diberilah peringatan dengan lumadu ini, lumadu yang berjenis lumadu peringatan.Lumadu ini digolongkan sebagai lumadu peringatan karena berisi sebuah peringatan.
2.bElayi batanga, umuru dila tutumulo hu’idu Lumadu ini secara lugas berarti “ingatlah diri, umur tidak seperti hidupnya gunung”. Lumadu ini berfungsi sebagai peringatan bahwa umur manusia tidak seperti umurnya gunung, atau lama waktu untuk hidup bagi manusia tidak seperti lama waktu hidupnya gunung. Seperti yang diketahui bersama, bahwa gunung tidak sifatnya kekal, selama bumi belum hancur gunung masih tetap ada. Gunung juga sebagai saksi bisu sejarah, karena gunung telah ada sebelum manusia ada dan gunung tetap setelah manusi telah tiada. Berbeda dengan manusia. Manusia sebagian besar hanya dapat bertahan hidup, kurang lebih hingga 60 tahun. Ada juga sebagian manusia yang bertahan hidup hingga pada umur 200 tahun, tapi usia gunung tetap tidak tertandingi karena gunung hidup lebih dari 200 tahun. Lumadu ini merupakan peringatan kepada manusia agar selama hidupnya, agar senantiasa mengisi waktu yang ada dengan sesuatu yang bermanfaat. Peringatan yang terkandung dalam lumadu ini, selaras dengan ajaran Islam dan sabda Rasulullah SAW yang berbunyi “waktu adalah pedang, maka gunakanlah untuk memotong, apabila kamu tidak gunakan untuk memotong maka dia yang akan memotongmu”. Jadi,lumadu ini digolongkan sebagai lumadu peringatan karena di dalamnya tekandung
peringatan
untuk
memanfaatkan
waktu
dengan
sebaik-baiknya.
Memanfaatkan waktu pada sesuatu yang bermanfaat. 2.cDiila bolo huliye ta’ato Ta’ato yang berarti ikat pinggang. Ikat pinggang biasanya akan dilepas apabila perut telah kenyang. Perut yang kenyang tentu akan berubah ukurannya, dari
yang kecil menjadi besar. Perut besar terjadi sebab kekenyangan yang dipaksakan untuk tetap melahap makanan. Hal ini merupakan suatu keburukan dalam hidup. Perut besar merupakan awal dari segala penyakit. Untuk itu, tindakan seperti ini, diingatkan dengan lumadu peringatan yang berbunyi Diila bolo huliye ta’ato, yang artinya jangan sekali-kali melepaskan ikat pinggang. Berdasarkan arti yang ada, dijelaskan bahwa untuk pencapaian kehidupan yang lebih baik seyogyanya harus bersikap hemat atau menghindari sikap boros. Sikap boros dalam lumadu ini digambarkan dengan melepaskan ikat pinggang, yaitu merupakan lambang dari orang yang sudah kenyang tapi masih tetap makan, sehingga harus melepaskan ikat pinggang. Oleh sebab itu dalam lumadu digunakan kata diila bolo yang artinya jangan sekali-kali, sebagai bentuk peringatan. Jadi, lumadu ini digolongkan sebagai lumadu peringatan sebab lumadu ini berisi peringatan untuk tidak makan banyak, dalam konotasinya tidak bersikap boros. Orang Gorontalo adalah orang yang terkenal keras dalam mengingatkan anak-anak mereka untuk bersikap hemat. Kerasnya tindakan peringatan kepada anak merupakan sebab tertanamnya nilai-nilai hemat pangkal kaya dalam kehidupan mereka. Sebagian orang Gorontalo ketika masa muda tidak peduli akan hal ini, tapi dengan terpaksan masa tua, ketika pikiran telah bijak, akan membawa mereka kembali pada hal ini. Sehingga dari generasi ke generasi terus berlanjut sikap hemat dalam diri. 3. Lumadu Sindiran Lumadu sindiran merupakan lumadu yang berisi sindiran dengan tujuan agar orang yang disindir merasa tersinggung dan mengubah sikap yang tidak baik. Sikap
yang tidak baik terkadang tidak akan hilang meski ditegur secara langsung, untuk itu sindiran diharapkan dapat memperbaiki sikap atau perangai tidak baik dalam diri seseorang. Sindiran merupakan suatu hal yang tidak lepas dari budaya Gorontalo sebagai tindakan dalam memperbaiki sikap orang lain. Secara sekilas, lumadu sindiran sama dengan lumadu peringatan. Akan tetapi, lumadu sindiran diberikan tempat tersendiri dalam penggolongannya, karena gaya teguran dalam lumadu sindiran berbeda dengan lumadu peringatan. Lumadu peringatan
penyampaian
pesan
peringatan
secara
langsung,
sedangkan
lumadusindiran tidak secara langsung. Lumadu sindiran penyampaian pesan terjadi melalui gaya sindiran. Gaya sindiran yang terdapat dalam kata-katanya sebagai umpan agar orang yang disindir dapat berpikir bahwa sikapnya kurang baik. Jumlah lumadu sindiran sangat banyak. Berikut ini diuraikan beberapa contoh lumadu sindiran. Tidak seluruhnya diuaraikan karena banyknya jumlah lumadu sindiran. Untuk itu, diuraikan beberapa lumadu sindiran tersebut sebagai berikut. 3.aAmula didu lo hiipo Lumadu sindiran yang berbunyi amula didu lo hiipo yang artinya “seperti sudah tidak bertiup”. Lumadu ini sering digunakan sebagai sindiran bagi orang-orang yang tidak permisi ketika datang ataupun pergi. Tindakan yang tidak permisi merupakan tindakan yang tidak menghargai orang lain. pengharagaan terhadap orang lain adalah sesuatu yang sangat penting dalam tatakrama orang Gorontalo. Tatakrama adalah salah satu poin utama pengajaran terhadap anak.
Tatakrama orang Gorontalo yang paling utama yaitu ketika memasuki sebuah rumah. Jika rumah tersebut berpenghuni maka yang datang harus berucap salam. Jika akan pergi keluar rumah seharusnya pamit terhadap orang yang ada di dalam rumah. Sikap berucap salam ketika masuk rumah, dan sikap pamit ketika pergi turun dari rumah merupakan tatakram yang baik menurut pandangan orang Gorontalo. Sikap yang tidak bersalam dan berpamitan,
selalu ditegur melalui sindiran, diantaranya disindir melalui
lumadu ini. Berdasarkan data dokumentasi yang ditemukan bahwa lumadu ini digunakan seabgai sindiran bagi mereka yang tidak bertatakrama berkunjung. Sindiran yang jelas terdapat pada kata hiipo. Kata hiipo diibaratkan sebuah kapal. Ketika kapal tiba, terdengar bunyi petanda bahwa kapal telah tiba. Ketika kapal akan pergi berlabuh kembali, terdengar bunyi petanda bahwa kapal akan pergi. Orang yang tidak bersalam ketika datang, dan tidak berpamit ketika pergi diibaratkan kapal yang rusak. Berarti orang tersebut tidak berperilaku baik. Oleh sebab itu orang yang seperti ini ditegur dengan lumadu ini, yang berbunyi amula didu lo hiipo. 3.bAmula didu tuntu mololohe ali, bo ma ali uhe molohe tuntu Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa lumadu ini bermakna bahwa bukan lagi pendatang yang bekerja untuk memperoleh hasil tapi tuan tanah yang menjadi pekerja di tanahnya sendiri untuk memberikan hasil kepada pendatang. Jadi, secara makan konotasi ini, telah jelas bahwa
lumadusindiran ini ditujukan kepada pendatang yang berlagak seperti tuan tanah. Selain makna konotasi tadi, ada juga makna kontasi lain yang dilihat berdasarkan latar budaya orang Gorontalo. Berdasarkan latar budaya Gorontalo, lumadu ini ditujukan kepada wanita yang selalu mengejar laki-laki, yang sehursnya laki-laki yang mengejar wanita. Tindakan wanita yang mengejar laki-laki merupakan hal yang tidak terpuji. Jika terjadi seperti itu berarti wanita tersebut tidak lagi memiliki kehormatan dalam dirinya. Kehormatan adalah junjungan tertinggi orang Gorontalo, sehingga wanita yang mengejar laki-laki akan disindir dengan lumadu ini karena tidak ada lagi kehormatan di dalam dirinya. Lumadu ini digolongkan sebagai lumadu sindiran karena berisi sindiran bagi wanita yang tidak tahu menjaga kehormatannya. Selain itu, berdasarkan makna pada poin sebelumnya, lumadu ini juga sebagai sindiran bagi pendatang yang tidak tahu tidak terima kasih. Layaknya lumadu yang lain, lumadu ini juga berfungsi sebagai pengajaran, tapi sekali lagi bahwa lumadu ini hanya sebagai umpan agar orang yang disindir dapat berpikir. Pikiran yang hadir akan terbawa oleh akal budi sebagai fitrah manusia, sehingga orang tersebut secara manusiawi akan berpikir bahwa tindakannya salah, dan segera mengubah sifat dan perangai yang ada dalam dirinya.
4. Lumadu Doa Lumadudoa adalah lumadu yang berisi doa atau harapan agar sesuatu yang diinginkan dikabulkan oleh Allah. Doa merupaka amalan yang diajarkan oleh setiap agama. Agama yang berkembang di Gorontalo adalah agama Islam, sehingga dapat disimpulkan bahwa lumadu ini berkaitan dengan ajaran Islam. Islam ternyata tidak dapat lepas dari kebudayaan masyarakat Gorontalo. Kebudayaan masyarakat Gorontalo berasimilasi dengan ajaran Islam sehingga keterkaitan hasil budaya Gorontalo dengan ajaran Islam sangat dekat. Pada awalnya pengklasifikasian jenis lumadu akan terhenti pada jenis lumadu sindiran. Tapi, setelah dilakukan penelusuran data melalui teknik dokumentasi, ternyata ditemukan ada sebagian lumadu yang berisi harapan dan doa. Lumadu ini disebut sebagai lumadu doa karena di dalamnya terkandung doa dan harapan dengan menggunakan diksi berupa perumapamaan. Pada dasarnya lumadu adalah sebuah perumpamaan. Salah satu contoh lumadu doa yaitu yang berbunyi potala tumuhu tumango, yang “artinya semoga/mudah-mudahan tumbuh dan berkembang”. Secara jelas bahwa lumadu ini berisi sebuah doa, dan secara jelas kata tumbuh dan berkembang merupakan sebuah perumpamaan. Perumpamaan ini bukan bermakna sebuah tanaman, tapi bermakna perubahan dari sesuatu yang biasa menjadi luar biasa. Perumpamaan dalam lumadu ini diperuntukkan bagi orang yang diberi modal untuk sebuah usaha, agar dengan modal awal tersebut usahanya akan tumbuh dan berkembang.
Pada penjelasan ini, meski hanya satu lumadu doa yang diuraikan tapi bukan berarti bahwa lumadu doa hanya berjumlah satu di Gorontalo. Keyakinan masih tetap terjaga bahwa lumadu doa masih banyak jumlahnya, namun karena keterbatasan waktu sehingga satu lumadu yang ditemukan. Satu lumadudoa yang dijadikan contoh dapat dijadikan bukti keluasan khsanah kebudayaan Gorontalo.
4.1.2.2 Lumadu sebagai gaya bahasa sastra lisan Gorontalo Pada awal penelitian, terlintas dalam benak sebuah asumsi bahwa lumadu hanya merupakan sastra lisan Gorontalo yang berdiri sendiri. Asumsi ini tidak bertahan lama setelah diadakan pengumpulan data melalui wawancara bersama narasumber.
Narasumber
adalah orang
yang berpengetahuan luas tentang
lumadu.Lumadu yang dijadikan sebagai topik wawancara, agar data-data tentang lumadu lebih luas dan tidak hanya berbentuk asumsi-asumsi. Pengetahuan tentang lumadu dijadikan sebagai informasi dasar melalui dokumentasi dalam penelitian ini. Ternyata pengetahuan dasar tentang lumadu berbeda dengan informasi yang ditemukan di lapangan. Di lapangan ditemukan informasi bahwa lumadu bukan hanya sekadar lumadu sebagai sastra lisan, tapi lumadu juga terdapat dalam sastra lisan Gorontalo yang lain. Temuan informasi ini berbeda dengan temuan-temuan sebelumnya. Dalam penelitian ini, formulasi terbaru dari informasi yang ditemukan, dapat dinyatakan bahwa lumadu berdiri sendiri sebagai sebuah sastra lisan yang otonom, namun lumadu juga dapat berupa gaya bahasa dalam sastra lisan. Gaya bahasa yang
dimaksud adalah gaya klise atau perumpamaan. Klise yang berarti tiruan. Jadi, gaya bahasa klise adalah gaya perumpamaan antara satu benda dengan benda yang lain, singkatnya bahwa gaya bahasa ini berupa majas perbandingan. Perbandingan yang dimaksud seperti pada karya sastra umumnya, membandingkan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Lumadu sebagai gaya bahasa sastra lisan Gorontalo, tidak dapat disebut sebagai sastra lisan. Lumadu yang terdapat dalam tubuh sastra lisan Gorontalo, berfungsi sebagai nilai tambah akan estetika di dalamnya. Estetika yang terdapat dalam sastra lisan dibangun melalui unsurlumadu yang terdapat di dalamnya . Karakteristik sastra lisan Gorontalo tercermin melalui gaya bahasanya. Lumadu yang berbentuk gaya bahasa terkandung dalam sastra lisan yang digunakan dalam prosesi adat Gorontalo. Prosesi adat Gorontalo tidak terlepas dari sastra lisan Gorontalo. Prosesi tidak akan lengkap kesakralannya jika tidak disertai dengan pelafalan sastra lisan ketika proeses ritual berlangsung. Sastra lisan Gorontalo dalam ritual adat, ibarat doa dalam ibadah, jika ditinjau dari sudut pandang agama. Kesakralan yang terdapat dalam gaya bahasalumadu mewajibkan dalam sastra lisan adat harus terdapat bahasa halus di dalamnya. Layaknya sesuatu yang sakral harus ada kemuliaan di dalamnya. Kemuliaan dalam sastra lisan terdapat pada bahasa penyampaiannya, yaitu bahasa yang bermakna halus. Bahasa yang bermakna halus penyampainnya
adalah
lumadu.
kehalusan
perumapamaan-perumpamaan yang digunakan.
penyampaiannya
terdapat
pada
Gaya bahasa lumadu bentuknya serupa dengan gaya bahasa majas. Gaya bahasa lumadu yang banyak ditemukan serupa dengan majas ialah majas perbandingan. Majas perbandingan terbagai atas beberapa bagian. Meskipun ditemukan bahwa gaya bahasa lumadu serupa dengan beberapa majas perbandingan, bukan berarti bahwa gaya bahasa lumadu adalah majas perbandingan. Majas bukanlah gaya bahasa, tetapi majas merupakan bagian dari gaya bahasa. Gaya bahasa terbagi atas beberapa bagian, yang di antaranya adalah diksi. Diksi adalah pilihan kata yang digunakan. Diksi merupakan unsure pembangun puisi. Jadi, dalam pengkalasifikasian bentuk lumadu sebagai gaya bahasa bukan hanya dilhat dari sisi majas tapi dilihat pula sisi diksi yang digunakan. Oleh sebab itu lumadu merupakan gaya bahasa sastra lisan Gorontalo yang terdiri atas elemen diksi, majas, dan seluruh yang menjadi bagian dari gaya bahasa. Untuk lebih jelasnya, diuraikan beberapa contoh lumadu yang berbentuk unsur pembangun dalam sastra lisan, antara lain sebagai berikut. 1. Dalam sastra lisan Tuja’i Sastra lisan tuja’i ada banyak jenis disesuaikan dengan tahap-tahap prosesi. Contoh yang diambil sebagai bukti adanyagaya bahasalumadu yang terkandung dalam sastra lisan tuja’i, yaitu pada prosesi mopolengga atau mempersilahkan berdiri, bunyi sastra lisannya beserta arti, sebagai berikut.
Wombu hulawa tuluto “cucunda emas nan murni”
Bulewe mombuto “kembang sudah mekar” Ami mongotiyombu tuluto “kami para pemangku adat” Momudu’o momuloto “menjemput dan mempersilahkan” Wonu towuli mohuto “apabila berkenan” Ayitayi to eluto “peganglah pedangmu”
Huruf yang tercetak tebal merupakan gaya bahasalumadu yang terdapat dalam sastra lisan tuja’i. pada baris pertama yang berbunyi wombu hulawa tuluto, yang “artinya cucunda emas nan murni”. Pada baris ini digunakan gaya bahasalumadu karena di dalamnya terdapat gatra yang membandingkan emas seperti manusia yang masih muda, segar dan rupawan. Baris kedua bulewe mombuto yang berarti “kembang sudah mekar”, yang bermakna manusia yang sudah siap untuk menjalani sebuah rumah tangga. Dalam gatra tersebut manusia yang telah siap dibandingkan dengan kembang yang sudah mekar. Gatra yang berbentuk perbandingan ini, disebut dengan gaya bahasalumadu, karena bentuknya yang serupa dengan majas metafora. Selain tuja’idi atas, akan diuraikan sekali lagi tuja’i yang di dalamnya terkandung gaya bahasalumadu, yaitu tuja’i pada prosesi mopodiyambango atau mempersilahkan berjalan. Berikut di bawah ini. Dahayi umayango “hati-hati jangan lengah”
Ode botu to payango “laksana batu dalam peraduannya” Momulo lo bayango “tanamkanlah yang bermanfaat” Molayowa modiyambango “silahkan melangkah dengan santai” Pada dua baris pertengahan yang terdapat dalam tuja’i di atas, yang telah dicetak tebal, merupakan gaya bahasalumadu yang membentuk estetika tuja’i tersebut. Baris tuja’i yang berbunyi ode botu to payango yang artinya laksana batu dalam peraduannya merupakan perumapamaan agar pengantin ketika mengahadapi permasalahan dalam rumah tangga harus bersikap keras terhadap pendiriannya. Tidak terpengaruh dengan hasutan yang buruk. Kemudian dilajutkan dengan momulo lo bayango, yang artinya tanamkanlahyang bermanfaat. Kalimat lumadu ini merupakan perumpamaan dengan diksi yang halus bermakna dalam kehidupan yang baru setelah pernikahan seyogyanya
melakukan
hal-hal
yang
bermanfaat.
Kata tanam
diumpamakan dengan sebuah perlakuan yang manfaatnya dapat terus tumbuh dan berkembang. 2. Dalam sastra lisan Tinilo Sastra lisan tinilo juga terdapat gaya bahasalumadu di dalamnya.Tinilo adalah sastra lisan yang digungakan dalam upacara adat dan sebagai hiburan, yang pelafalannya dalam bentuk lagu. Tinilo lahir dengan banyak variasi berdasarkan fungsinya di dalam masyarakat.
Tinilo dalam upacara adat merupakan sastra
lisanyang digunakan ketika upacara berlangsung sesuai dengan mekanisme adat yang
telah dibentuk, dan tinilo hiburan adalah sastra lisan yang digunakan untuk menghibur, biasanya pada saat pengantar tidur untuk seorang anak yang dilafalkan dalam bentuk lagu. Tinilo sebagai sastra lisan Gorontalo juga terkandung gaya bahasalumadu di dalamnya sebagai unsur pembangunnya. Untuk lebih jelasnya diuraikan salah satu tinilo hiburan yang di dalamnya terkandung gaya bahasa lumadu, sebagai berikut. Mamalo du’o-du’olo “anakku yang disanjung” Baya mahemo tanggalo “wajah semakin berseri” Bo’odelo bango hulalo “seperti cahaya bulan” Polumbulu wonelo “dipelihara dengan ramuan” Daata ta mongilalo “akan banyak mendambakan”
Larik dalam tinilo di atas yang tercetak tebal merupakan gaya bahasalumadu sebagai unsur pembangun tinilo tersebut. Tinilo ini dibangun oleh tiga lumadu yang berfungsi untuk memperindah diksi, sehingga dapat menghibur anak yang akan ditidurkan. Lumadu dalam larik kedua bayamahemo tanggalo yang artinya wajah semakin berseri, merupakan pujian kepada sang anak melalui diksi yang indah, bahwa sang anak semakin nampak sifat rupawannya. Kemudian larik ketiga berbunyi bo’odelo bango hulalo yang artinya seperti cahaya bulan. Larik ketiga yang merupakan gaya bahasalumadu tersebut bermakna bahwa rupa wajahnya yang indah
bagaikan keindahan cahaya bulan ketika malam hari. Setelah larik ketiga, dilanjutkan dengan larik keempat yang berbunyi polumbulu wonelo yang artinya dipelihara dengan ramuan. Larik ini bermakna bahwa seorang anak menjadi begitu rupawan disebabkan sang anak dipelihara dan dirawat dengan sebaik-baiknya, bukan dirawat hanya dengan semabarang perawatan. Kata ramuan dalam larik yang merupakan perumapamaan dari tindakan perawatan yang baik kepada sang anak. Gatra yang berbunyi bo’odelo bango hulalo merupakan majas simile. Majas asosiasi adalah majas perbandingan yang membandingkan sesuatu dengan keadaan yang lain sesuai dengan keadaan yang dilukiskannya. Dalam gatra ini dilukiskan keadaan bulan yang terang dengan keadaan wajah anak yang semakin ruapawan. Perbandingan keadaan bulan dengan wajah si anak merupakan bentuk kemiripan yang terjadi antara gaya bahasa lumadu dalam tinilo dan gaya bahasa majas asosiasi dalam penggunaan berbahasa. Jadi, terdapat kesamaan antara bentuk gaya bahasa lumadu tersebut dengan gaya bahasa majas asosiasi. Lumadu yang terdapat dalam tinilo merupakan bentuk dari sebuah gaya bahasa Berdasarkan contoh Tinilo di atas, jelaslah bahwa lumadu bukan hanya sebagai sastra lisan tapi juga sebagai gaya bahasa dalam sastra lisan Gorontalo. Tinilo yang dijadikan contoh di atas, hanya merupakan sebagian dari tinilo yang di dalamnya terkandung lumadu. Jadi disimpulkan bahwa tinilo dibangun dengan gaya bahasa lumadu.
3. Dalam sastra lisan Tahuda
Tahuda adalah kata-kata arif yang diciptakan oleh para leluhur untuk memantapkan dan mengarahkan segala keputusan yang ditetapkan, ataupun dalam pembentukan pribadi pemimpin, agar kebijakan dan kebijaksanaan senantiasa dalam lingkup yang benar (Daulima,2007:116). Tahuda merupakan sastra lisan yang di dalamnya dibangun oleh gaya bahasalumadu dalam proses etetikanya. Proses estetika tahuda melalui diksi yang digunakan. Tahuda berfungsi untuk dalam lingkup kepemimpinan, agar pemimpin tetap dalam jalan yang benar. Kata-kata arif yang digunakan banyak terkandung perumpamaan yang dapat mengevokasi logika orang yang ditujukan tahuda tersebut. Untuk jelasnya, keberadaan gaya bahasa lumadu di dalamnya, diuraikan sebagai berikut: Adati maa hunthi-hunthingo, bolo mopodembingo “adat sudah tergunting, tinggal merekatkan” Sekilas bahwa sastra lisan ini terlihat seperti lumadu, tapi sastra lisan ini bukan sastra lisan lumadu. Sastra lisan di atas ini adalah sastra lisan tahuda yang berfungsi untuk membentuk kepribadian yang kokoh bagi pemimpin. Seluruh tulisan dalam tahuda ini tercetak dengan tebal, sebab semua gatra yang ada di dalamnya merupakanlumadu, tapi bukan sastra lisan lumadu. Gatra yang terdapat dalam tahuda seluruhnya berbentuk seperti lumadu tapi tidak dapat disebut lumadu, karena masyarakat Gorontalo secara konvensi menamai sastra lisan tersebut sebagai sastra lisan tahuda. Sastra lisan lumadu juga memiliki tempat tersendiri dalam penamaan bentuk sastra lisan dalam masyarakat Gorontalo.
Berdasarkan hasil wawancara bahwa lumadu bukan sekadar sastra lisan tapi juga sebuah sastra lisan terkandung lumadu di dalamnya, bukan sastra lisan yang terkandung di dalamnya, melainkan gaya bahasa lumadu yang tekandung di dalamnya. Jadi lumaduyang dimaksud identik dengan sebuah gaya bahasa. Dalam tahuda ini semua gatranya adalah lumadu, sebab diksi dari gatra-gatra yang ada merupakan sebuah perumpamaan.
Gatra adati maa hunthi-hunthingo, bolo
mopodembingo yang artinya “adat sudah tergunting, hanya tinggal merekatkan”. Berdasarkan terjemahannya, terlihat bahwa adat diumpamakan dengan sebuah kertas yang dapat digunting. Kertas adalah benda yang dapat disentuh, sedangkan adat adalah benda yang sifanya abstrak, tidak dapat disentuh. Jadi kedua hal ini, antara adat dan kertas adalah dua hal yang jauh berbeda. Kedua hal yang berbeda kemudian dibandingkan merupakan gaya bahasa lumadu. Selain tahuda di atas. Ada juga tahuda lain yang di dalamnya terkandung gaya bahasalumadu. Tahuda yang dimaksud adalah tahuda dalam pemerintahan. Untuk lebih jelasnya diuraikan sebagai berikut. Wanu tangga kumewungo “jika landasan bengkok” Ito motituwawu dulungo “kita satu dalam tujuan”
Wawo bolo motitihelumo “da kita musyawarahkan Wanu ma helu-helumo “kalau sudah musyawarah”
Rahmati motonungo “rahmat yang diharapkan” Tahuda di atas terdapat gaya bahasa lumadu di dalamnya. Gaya bahasa lumadu yang terdapat dalam tahuda di atas berada pada baris pertama yang telah tercetak tebal. Dikatakan gaya bahasa lumadu karena dalam baris ini terdapat perbandingan antara sebuah pertentangan dengan landasan yang bengkok. Landasan merupakan dasar dalam melakukan sesuatu. Jika dalam landasan terdapat permasalahan maka tidak lain permasalahnnya adalah perbedeaan pendapat yang terjadi di antara petinggi-petinggi negeri.
Perbedaan pendapat hanya dapat
diselesaikan melalui musyawarah. Oleh sebab itu baris pertama yang berbunyi wonu tangga umewungo, dilanjutkan dengan baris kedua yang berbunyi ito motitituwawu dulungo, kemudian dilanjutkan baris ketiga wawo bolo motitihelumo, yang artinya dan kita musyawarahkan. Berdasarkan makna yang terkandung dalam tahuda, bahwa baris pertama yang berbunyi wonu tangga umewungo, yang artinya jika landasan bengkok, merupakan perumpamaan dari perbedaan pendapat yang terjadi antara petinggi-petinggi negeri. Jadi, dalam tahuda ini terdapat perumapamaan yang mengumpamakan suatu perbedaan pendapat dengan sebuah landasan yang bengkok. Selain kedua tahuda di atas. Ada lagi salah satu tahudayang di dalamnya terkandung gaya bahasa lumadu di dalamnya. Untuk lebih jelasnya, diuraikan sebagai berikut. Wolipopo to didi lobaya “kunang-kunang di dahi”
Tuwawu lo humaya “merupakan suatu tanda” U wito u tombuluwo “itu yang dihormati” Tuwoto tiyo woluwo “pertanda Dia itu ada”
Gaya bahasa lumadu terdapat pada baris pertama yang tercetak miring. Pada baris pertama terkandung arti “kunang-kunang di dahi”, berarti tempat bagian yang tersentuh tanah ketika bersujud. Berdasarkan dokumentasi yang ditemukan bahwa makna dari kunang-kunang di dahi adalah sebuah amanah dan tanggung jawab dari Allah SWT untuk seorang pemimpin. Makna konotasi yang dianalisis dan makna konotasi berdasarkan dokumentasi terdapat kesamaan di dalamnya. Amanah setiap pemimpin tidak lain adalah bersujud kepada Allah. Amanah menjalankan roda pemerintahan yang baik juga merupakan tindakan bersujud kepada Allah, yaitu patuh kepadanya. Gaya bahasa lumadu dalam gatra ini serupa dengan majas perumpamaan. Jadi, dalam tahuda ini terdapat gaya bahasa lumadu yang sebagai perumpamaan kunang-kunang di dahi diumpamakan dengan sebuah amanah dan tanggung jawab. 4. Sastra lisan dalam prosesitolobalango Berdasrkan wawancara yang dilakukan, ditemukan sebuah sastra lisan dalam tolobalango yang di dalamnya terkandung gaya bahasa lumadu. Menurut informasi narasumber bahwa sastra lisan ini adalah sastra lisan yang digunakan ketika proses
peminangan berlangsung. Sastra lisan ini bukanlah lumadu tapi terkandung lumadu di dalamnya, bukan lumadu sebagai sastra lisan tapi lumadu sebagai gaya bahasa. Untuk lebih jelasnya, diuraikan sebagai berikut. Hulawntho ngo pata “ibarat seuntai emas milik bapak” Wahu to bubalata “sedang berada dalam peraduannya” Bilahu lo paramata “dibalut dengan permata nilam” Tineliyo dunggilata “sinarnya nan gemilang” Bulilangiyo mola to maka “pancaran cahanya hingga ke mekkah” Wanu bolo dipou ta hilapat patata “kalau mungkin belum ada yang menanyakan” Sastra lisan ini digunakan untuk meminang seorang wanita yang akan dinikahi. Sastra lisan ini di dalamnya terkandung gaya bahasa lumadu yang terdapat pada baris pertama dan baris ketiga, yang dicetak tebal. Baris pertama terkandung arti “ibarat sebuah emas”. Makna dari sebuah emas di dalamnya adalah seorang wanita yang akan dipinang oleh seorang lelaki. Dikatakan emas karena wanita tersebut begitu berharga dan mulia. Jadi, seorang wanita dalam sastra lisan ini diumpamakan dengan sebuah emas yang berharga. Dapat disimpulkan bahwa baris pertama yang berbunyi hulawantho ngo pata, yang artinya ibarat seuntai emas milik bapak, merupakan gaya bahasa lumadu yang terdapat dalam sastra lisan ini.
Selnjutnya, pada baris ketiga yang tercetak tebal pada sastra lisan di atas. Baris ketiga terkandung arti dibalut dengan permata nilam, yang maknanya bahwa wanita yang berharga tersebut diselimuti oleh kecantikan layaknya pertama nilam. Berdasarkan penjelasan narasumber bahwa kata permata nilam yang terdapat dalam sastra lisan ini adalah kecantikan wanita yang akan dipinang. Dapat disimpulkan bahwa pada baris ketiga kecantikan seorang wanita diumpamakan dengan sebuah permata nilam. Perumpamaan yang tergambarkan dalam sastra lisan tersebut sebagai penjelasan bahwa baris ketiga dalam sastra lisan tersebut adalah gaya bahasa lumadu. 5. Dalam sastra lisan Tanggi Dalam buku yang berjudul “Mengenal Sastra Lisan Gorontalo” jilid 1, dijelaskan bahwa teka-teki merupakan sastra lisan Gorontalo yang disebut dengan Tanggi(Daulima 2007:16). Tanggi adalah sastra lisan Gorontalo yang di dalamnya terdapat sebuah perumpamaan yang mengajak untuk di tebak. Tanggi berbentuk puisi yang bersajak a-a.Tanggi dalam masyarakat Gorontalo berungsi sebagai hiburan atau permainan anak-anak. Sastra lisan ini dapat bermanfaat dalam peningkatan daya pikir karena tanggi mengasah otak. Dapat dikatakan bahwa sastra lisan tanggi merupakan sastra lisan pengasah otak, atau disebut sastra lisan teka-teki. Tanggi sebagai sastra lisan yang berdiri sendiri, terdapat gaya bahasa lumadu dalam penggunaan diksinya. Fungsi lumadu dalam tanggi ini, untuk mengecoh atau menjebak agar salah dalam memberikan jawaban. Untuk lebih jelasnya, diuraikan sebagai berikut. Dutu-dutu lambutalo
“terletak berambut” Dengetalo duhualo “digigit berdarah” Jawabannya: Onde-onde
Sebelum dilanjutkan pada penjelasan atas tanggi ini, sebelumnya akan dijelaskan apa yang dimaksud dengan onde-onde. Onde-onde adalah sejenis kue berbentuk bulat, ditaburi parutan kelapa dan di dalamnya berisi gula merah cair. Onde-onde adalah makanan khas Gorontalo yang terbuat dari ubi jalar. Ubi jalar merupakan makanan pokok tradisional Gorontalo. Selanjutnya, Tanggi di atas hanya terdiri atas dua gatra. Setiap gatra yang terkandung gaya bahasa lumadu di dalamnya. Gatra yang terdapat pada baris pertama terkandung arti terletak berambut. Makna dari kata “berambut” dalam tanggi ini ialah kelapa yang di taburi pada onde-onde tersebut. Kemudian pada gatra yang berikutnya, kata “berdarah” dari arti kata duhualo, bermakna gula merah cair, yang apabila ondeonde digigit gula merah cair akan keluar. Dalam tanggi ini terdapat perumpamaan. Kata “berambut” diumpamakan dengan sebuah kelapa parut, kemudian kata “berdarah” diumpamakan dengan gula merah cair. Jadi, perumpamaan yang terkandung dalam tanggi ini, mempejelas bahwa tanggi merupakan salah satu sastra lisan Gorontalo yang di dalamnya terkandung gaya bahasa lumadu. 4.1.2 Makna yang terkandung dalam sastra lisan Lumadu Berdasarkan pengumpulan data, ditemukan beberapa lumadu yang akan dianalisis makna di dalamnya. Beberapa lumadu tersebut sebagai berikut.
1. Bututu lo wolito Kata bututu merupakan tanda dalam gatra. Secara denotasi bututu artinya kantung, dan wolito artinya malu. Jadi Bututu lo wolito artinya kantung malu. Kata “kantung” dalam lumadu ini, memiliki dua makna di dalamnya. Secara denotasi berarti kantung, tapi secara konotasi berarti hati, karena hati adalah tempat atau wadah dalam menampung segala yang terjadi dalam pengalaman manusia. Kemudian, kata “malu” berarti merasa rendah atau merasa memiliki cacat. Jadi secara keseluruhan makna dari gatra bututu lo wulito adalah hati yang selalu merasa rendah dan tidak sombong meskipun telah memiliki kemampuan melebihi kemampuan orang lain. Hal ini senada dengan kenyataan bahwa tindakan-tindakan yang tidak tahu malu atau tindakan-tindakan yang tidak baik dilakukan oleh orang yang merasa sempurna dan sombong. 2. Monula lo yohu langge-langgelo Monula lo yohu langge-langgelo, terjemahannya adalah membuang ludah sambil bertengadah. Kata yohu merupakan tanda dalam lumadu tersebut. Kata yohu bermakna denotasi air liur. Apabila dianalisis secara dalam, air liur merupakan sesuatu yang kotor dan
jorok. Jadi secara konotasi kata yohu dalam lumadu
bermakna sesuatu yang tidak baik atau buruk. Kata Monula berarti membuang, tapi secara konotasi bermakna menyampaikan. Kemudian kata Langge-langgelo berarti menghadap ke atas atau ke tempat yang tinggi. Secara konotasi, kata ini juga bermakna kedudukan yang paling atas atau pemimpin. Jadi secara keseluruhan makna dari monula lo yohu langge-langgelo berarti menjelek-jelekan pemimpin.
Berdasarkan kenyataan bahwa, jika orang yang bertindak membuang ludah sambil bertengadah, maka air liur itu akan jatuh kembali kepadanya, hal ini selaras dengan tindakan menjelek-jelekan pemimpin berarti sama dengan menjelek-jelekan dirinya sendiri. 3. Diila o’onto, bo wolu-woluwo Diila o’onto, bo wolu-woluo, terjemahannya adalah tidak terlihat tapi sebenarnya ada. Semua gatra dalam lumadu ini merupakan tanda. Diila o’onto bermkana konotasi tuhan yang tak terlihat. Kemudian bo wolu-woluo bermakna konotasi dapat dirasakan. Untuk itu ditemukan makna konotasi dalam lumadu ini adalah tuhan itu tidak dapat dilihat tapi hanya dapat dirasakan keberadaannya. 4. Bo delo ta yilate Bo delo ta yilate, berarti hanya seperti mayat. Mayat adalah jasad yang tidak lagi memiliki roh di dalamnya. Roh yang telah dicabut oleh Allah menyebabkan mayat tidak dapat bergerak dan melakukan kegitan atau tindakan. Jadi kata ta yilate berkonotasi orang yang tidak dapat memberikan apa-apa karena tidak ingin bekerja. Berdasarkan kenyataan bahwa orang yang malas bekerja laksana orang yang telah mati yang tidak dapat berbuata sesuatu. 5. Openu de moputi tulalo, bo dila moputi baya Lumadu yang berbunyi openu de moputi tulalo, bo dila moputi baya berarti biarlah nanti berputih tulang, yang penting jangan berputih wajah. Makna konotasi dari openu de moputi tulalo adalah biaralah nanti tubuh ini mati menjadi tulangbelulang, dan makna konotasi dari bo dila moputi baya adalah yang penting jangan
dijajah karena ketakutan. Jadi makna konotasi dari lumadu ini adalah lebih baik mati daripada dijajah hingga ketakutan. 6. Odelo titihulo lo tangelo Odelo titihula lo tangelo ,terjemahannya adalah seperti berdirinya kayu tin. Tangelo yang berarti kayu tin adalah kayu yang kuat, sering digunakan sebagai pondasi rumah panggung, agar rumah terhindar dari kerobohan meski diguncang. Jadi, kayu tin dalam lumadu ini, bermakna konotasi kuat. Kemudian, kata titihula yang berarti berdiri merupakan kondisi tubuh yang tegak dan lurus dari atas ke bawah, tanpa berbengkok dengan menggunakan kaki sebagai penopang. Jadi, kata titihula dalam lumadu bermakna konotasi pendirian hidup yang lurus berdasarkan firman Allah yang diturunkan dari atas langit ke bumi. Dapat disimpulkan bahwa lumadu odelo titihula lo tangelo bermakna pendirian kuat yang tak mampu digoyahkan karena berdasarkan pada jalan yang lurus, jalan Allah SWT. 7. Mopo’o tanggalo duhelo Lumadu yang berbunyi mopo’o tanggalo duhelo mengandung arti secara denotasi adalah memperluas dada. Kata “luas” mengacu pada kondisi tempat yang dapat menampung sesuatu dalam jumlah yang banyak. Jadi, secara konotasi bermakna dapat menampung segala sesuatu. Kemudian kata duhelo yang berarti dada, adalah bagian tubuh manusia yang di dalamnya terdapat organ jantung, hati, dan paru-paru. Namun, dalam lumadu ini kataduhelo berkonotasi hati. Jadi dapat ditarik makna konotasi dalam lumadu ini ialah memperluas hati dan bersabar untuk menerima segala yang terjadi, yang menjadi takdir Allah SWT.
8. Momili’a layahu to dutalaa da’a Momili’a layahu to dutulaa da’a dapat diterjemahkan mengubah layar saat badai besar. Kata layahu berarti layar
dalamlumadu ini berkonotasi strategi.
Sedangkan kata dutulaa da’a berarti badai besar mengandung konotasi tantangan dan ujian dalam hidup. Jadi secara kontasi lumadu ini bermakna setiap tantangan yang datang harus diselesaikan dengan strategi yang berubah-ubah 9. Elayi batanga, umuru dila tutmulo hu’idu Secara denotasi, terjemahan dari lumadu ini adalah ingatlah diri, umur tidak seperti hidupnya gunung. Kata umuru berarti “umur”, kemudian makna konotasi dari kata “umur” adalah waktu untuk hidup. Sedangkan, kata hu’idu berarti gunung. Jadi, tutumulo hu’idu berarti hidupnya gunung atau lama hidupnya gunung. Gunung merupakan benda mati yang terdapat di alam, dan bersifat kekal selama dunia belum hancur. Gunung selalu menjadi saksi biksu sejarah karena gunung hidup lebih lama dari manusia. Jadi, secara konotasi makna dari lumadu ini adalah haruslah selalu mengingat diri dalam setiap tindakan karena waktu untuk hidup tidak akan kekal seperti hidupnya gunung.
10. Amula didu tuntu mololohe ali, bo ma ali uhe molohe tuntu Lumadu di atas dapat diterjemahkan secara leksikal berarti seperti bukan lagi timba yang mencari sumur tetapi sumur yang mencari timba. Namun, secara konotasi kata aliyang berarti “sumur” dimaknai sebagai tuan tanah, dan tuntu atau”timba”
adalah pendatang yang ingin bekerja dalam mengharapkan sesuatu dari tuan tanah. Jadi secara konotasi lumadu ini bermakna, bukan lagi pendatang yang bekerja untuk memperoleh hasil tapi tuan tanah yang menjadi pekerja di tanahnya sendiri untuk memberikan hasil kepada pendatang. Lumadu ini selaras dengan kenyataan Indonesia yang menjadi pekerja di tanahnya sendiri.
4.1.3Kedudukan sastra lisan Lumadu dalam masyarakat Gorontalo Masyarakat Gorontalo adalah masyarakat budaya. Masyarakat budaya adalah masyarakat yang tidak pernah lepas dari kebudayaan daerah. Buadya daerah dalam masyarakat Gorontalo sangat kental, dan dipegang secara fanatik oleh masyarakatnya. Sikap fanatik masyarakat Gorontalo terahadap budayanya peralahan-lahan mulai terkikis dan dilupakan. Eksitensi budaya telah terancam punah. Salah satu eksitensi budaya yang terancam punah adalah lumadu. masyarakat generasi muda tidak mengenal lumadu dalam kehidupan mereka. Pengawalan kebudayaan yang diselenggarakan oleh pemerintah melalui tokoh-tokoh adat, tidak mempermudah pemertahanannya di lingkungan masyarakat Gorontalo. Pemerintah merupakan pranta yang berfungsi sebagai motor penggerak roda pemerintahan tidak memiliki pengetahuan yang dalam akan khasanah kebudyaan yang sedang dipertahankan. Kebudayaan Gorontalo yang luas merupakan sebab kesulitan pemerintah dalam pengakomdiran pemertahanan kebudayaan. Kebudyaan Gorontalo yang berbentuk lisan yang yaitu sastra lisan lumadu. Sastra lisan lumadu sesuai dengan fungsinya, digunakan sebagai alat pengajaran
moral dalam lingkungan keluarga. Pengajaran moral melalui lumadu seharusnya berawal dari keluarga, kemudian merambah ke masyarakat yang lebih luas. Lumadu sebagai sastra lisan dijadikan sebagai tameng pencegahan dekadensi moral. Dekadensi moral yang terjadi dalam masyarakat adalah dampak dari tidak adanya pengajaran moral dalam keluarga. Keluaraga merupakan kelompok terkecil dari masyarkat yang luas. Berdasarkan pendapat narasumber-narasumber yang diwawancarai, dijelaskan bahwa pemertahan lumadu dalam masyarakat sangatlah minim tindakannya. Hal ini disebabkan pemertahan yang dilakukan hanya berada pada tokoh-tokoh adat, sedangkan dalam masyarkat umum tidak lagi ada eksistensi pemertahanan lumadu. Pengetahuan dasar lumadu telah luntur dalam kehidupan keluaraga dan masyarakat. Seorang tokoh adat menuturkan bahwa dekadensi moral yang terjadi diakibatkan oleh kurangnya pendidikan moral terhadap anak. Pendidikan moral dengan metode tradisional Gorontalo yaitu melalui lumadu. Lumadu diajarkan kepada sang anak, agar anak tersebut mudah dalam mengingatnya karena diksi-diksi yang indah untuk dilafal secara berulang. Pemangku adat atau tokoh adat merupakan pengawal perkembangan dan pemertahanan tradisi dan budaya. Namun berdasarkan penuturan narasumber, bahwa ada sebagian pemangku adat tidak berpengetahuan tentang lumadu secara mendalam. Contohnya ketika pada prosesi adat pernikahan, yang berpantun dengan diksi yang artinya kasar untuk didengar. Arti kata yang kasar, tidak dapat dikatakan lumadu,
sebab lumadu selamanya mengadung arti yang lembut untuk didengar. Hal ini terjelaskan bahwa, kemorosotan eksistensi lumadu semakin ke puncaknya.
4.2 Pembahasan Berdasarkan hasil analisis pada poin sebelumnya, perlu diadakan pembahasan sebagai bentuk pendalaman materi agar kejelasan dalam penelitian terungkap sesuai dengan tujuan yang akan diungkap. Adapun pemabahasannya sebagai berikut.
4.2.1 Bentuk dan Fungsi Lumadu Lumadu, teka-teki pengasah otak dan kiasan atau perumpamaan. Lumadu terdiri atas dua jenis, yaitu lumadu teka-teki dan lumadu kiasan atau perumpamaan. Selain batasan lumadu tersebut, ada juga definisi lain dari lumadu, yaitu lumadu adalah ungkapan tradisional yang di dalamnya terdapat nasehat dan pandangan hidup (Daulima, 2007:17). Secara totalitas lumadu didefinisikan sebagai sastra lisan Gorontalo yang berbentuk ungkapan tradsional yang berisi nasehat pandangan hidup dan berbentuk teka-teki. Paragraf di atas merupakan definisi lumadu yang dijadikan sebagai dasar pengetahuan dalam pelaksanaan penelitian. Definisi lumadu dalam paragraf di atas merupakan kumpulan definisi pakar budaya Gorontalo yang berasal dari informasi yang ditemukan kemudian diformulasi oleh mereka berdasarkan pendapat mereka. Para pakar budaya Gorontalo berpendapat bahwa lumadu adalah salah satu sastra lisan Gorontalo yang berbentuk ungkapan dan berbentuk teka-teki. Formulasi
penelitian yang dihasilkan oleh para pakar, berasal dari informasi yang ditemukan melalui tokoh adat. Tokoh adat dalam hal ini sebagai informan kemudian hasil informasi yang ditemukan, diformulasi kembali menjadi sebuah teori atau pendekatan. Teori dan pendekatan pada dasarnya berawal dari opini yang disertai dengan argumentasi. Tindakan para pakar dalam pengembangan tradisi lumadu ke dalam bentuk teori dan pendapat merupakan suatu hal yang harus diapresiasi dengan nilai yang setinggi-tingginya. Setiap pendapat ilmiah harus disertai dengan data-data dan argumentasi yang valid.Validitas sebuah argumentasi seyogyanya harus ada keterkaitan antara data dan analisis. Data adalah informasi mentah yang ditemukan melalui pengalaman di lapangan, sedangkan analisis adalah formulasi dalam pengolahan data, sehingga data dapat tersusun secara sistem yang berkaitan antara satu dengan yang lain, tentunya keterkaitannya harus selaras dengan logika. Logika manusia adalah wadah dalam proses formulasi infomasi untuk tujuan keilmiahan sebuah penelitian. Penelitian yang ilmiah adalah pengetahuan baru yang diperoleh melalui penyusunan data-data di lapangan dan pengetahuan dasar dalam analisis. Analisis yang sebelumnya tentang lumadu yang dilakukan oleh para pakar harus diacungi jempol karena telah menambah wawasan pengetahuan kedaerahaan. Definisi-definisi sebelumnya tentang lumadu merupakan hasil analisis ilmiah tentang lumadu. Analisis ilmiah sebelumnya berbeda dengan analisis yang terdapat dalam penelitian ini. Relevansi analisis sebelumnya dengan analisis ini terdapat keterkaitan di dalamnya, terdapat persamaan tapi juga terdapat sedikit perbedeaan. Diferensi
yang terjadi dalam analisis ini dengan analisis sebelumnya terdapat pada bentuk lumadu, bahkan dapat terjadi diferen terhadap definisi lumadu. Diferensi yang terdapat dalam analisis sebelumnya dengan analisis ini, tidak berarti bahwa penelitian ini merupakan bentuk penentangan terhadap yang sebelumnya. Tapi layaknya sifat ilmu pengetahuan selalu bersifat dinamis dan berkembang. Kedinamisan suatu pengetahuan pertanda perekemabangan pengetahuan tersebut semakin baik. Sekali lagi bahwa pengetahuan tidaklah
bersifat statis,
melainkan bersifat dinamis. Berdasarkan hasil informasi data yang ditemukan di lapangan dan formulasi data atas dasar pengetahuan, dikemukakan hasil penelitian yang dengan pernyataan bahwa lumadu adalah warisan budaya Gorontalo yang berbentuk sastra lisan dan berbentuk gaya bahasa. Asumsi awal tentang lumadu bahwa lumadu adalah sastra lisan Gorontalo. Akan tetapi, setelah diadakan pengumpulan informasi tentang lumadu, ternyata lumadu bukan hanya berbentuk sastra lisan Gorontalo, tapi lumadu juga berbentuk gaya bahasa yang terkandung dalam sastra lisan Gorontalo. Jadi, lumadu terbagi atas dua bentuk, bentuk lumadu sebagai sastra lisan dan lumadu sebagai gaya bahasa. Lumadu sebagai sastra lisan adalah lumadu yang semata-mata sebuah karya sastra daerah yang berbentuk lisan dan diwariskan secara turun-temurun melalui lisan. Sedangakan lumadu sebagai gaya bahasa adalah lumadu yang berfungsi sebagai unsur pemabangun dalam sastra lisan lain. Sebagian berpendapat, bahwa teka-teki merupakan jenis dari lumadu. Namun, sedikit perbedaan dari yang ditemukan.
Berdasarkan temuan ini diintroduksi bahwa teka-teki bukan merupakan sastra lisan lumadu tapi tergolong dalam sastra lisan tanggi. Tapi gaya bahasa lumadu terkandung dalam sastra lisan tanggi. Berdasarkan hasil wawancara, bahwa lumadu adalah sastra lisan, dan dalam sastra lisan bisa saja terkandung lumadu. Jika informasinya seperti ini, maka disimpulkan bahwa lumadu yang terdapat dalam sastra lisan bukan lagi sastra lisan tapi sebuah gaya bahasa. Secara teori bahwa tidak ada karya sastra dalam tubuh karya sastra, melainkan unsur pembangun yang terdapat dalam tubuh karya sastra. Kemudian, dijelaskan bahwa lumadu yang terdapat dalam tubuh sastra lisan yang lain berbentuk perumpamaan yang berfungsi mempehalus bahasa. Jadi, disimpulkan bahwa lumadu yang terdapat dalam tubuh sastra lisan lain merupakan sebuah gaya bahasa lokal.Diferensi yang terjadi dalam analisis ilmiah ini dengan analisis sebelumnya, merupakan sebuah kedinamisan pengetahuan. Berdasarkan hasil analisis, bahwa persamaan antara sastra lisan lumadu dengan gaya
bahasa
lumadu
terdapat
pada
perumpamaannya.
Sedangkan
perbedaannya terletak pada bentuknya, penamaannya, dan signifikasinya. Untuk lebih jelasnya, diuraikan penjelasannya sebagai berikut.
1. Sastra Lisan Lumadu Sastra lisan lumadu adalah sastra lisan yang hadir dalam bentuk ungkapan tradisional, yang berbentuk perumpamaan, berfungsi sebagai alat pengubah dan pencegah terjadinya dekadensi moral. Sastra lisan lumadu digunakan untuk menasehati, menyindir, dan mengajarkan prinsip-prinsip hidup. Penggunaan lumadu
sebagai alat pertahanan dekadensi moral selaras dengan fungsi karya sastra yaitu mengajarkan. Diksi yang digunakan dalamlumadu, berfungsi untuk memperhalus dan mempersantun ungkapan. Kesantunan dan kehalusan diksi dapat dijadikan alat pengajaran yang lebih mudah untuk diterima.Lumadu dibagi atas beberapa jenis, yaitu: 1. Lumadu prinsip, adalah lumadu yang di dalamnya terkandung pesan-pesan prinsip kehidupan yang harus dijadikan sebagai landasan kehidupan. 2. Lumaduperingatan, adalah lumadu yang di dalamnya terkandung peringatan akan kesalahan yang telah dilakukan. 3. Lumadu sindiran, adalah lumadu yang di dalamnya terdapat sindiran yang secara implisit penyampaiannya sebagai teguran. 4. Lumadu doa, adalah lumadu yang berisi doa dan harapan agar sesuatu yang diinginkan tekabul. Diksi dalam sastra lisan lumadu dapat berubah-ubah tapi pesan yang disampaikan tetap sama. Diksi yang berubah, tidak mengubah gaya dan struktur yang terdapat di dalamnya. Gaya perumpamaan dan struktur bebas dalam sastra lisan lumadu tidak berubah meski diksinya berubah. Bahkan perubahan ini tidak mengubah makna yang tekandung di dalamnya. Contohnya, lumadu yang berbunyi amula didu tunthu u mololohe ali, bo ma ali u mololohe tunthu yang artinya “seperti bukan lagi timba yang mencari sumur, tapi sumur yang mencari timba”. Berdasarkan latar budaya, lumadu ini digunakan untuk menyindir wanita yang melakukan tindakan tidak terhormat karena mengejar laki-laki yang seharusnya laki-laki yang mengejar
wanita. Jadi, secara makna bahwa “sumur” dari arti kata ali disimbolkan dengan seorang wanita karena wanita sikapnya harus menunggu di tempat, dan tunthu yang berarti “timba” disimbolkan dengan laki-laki, karena laki-laki yang bergerak mengejar wanita. Dalam ranah pengajaran melalui sindiran, lumadu ini sering diganti dengan lumadu yang berbunyi amula didu wadala u hemololohe hu’oyoto, bo ma hu’oyoto u hemololohe wadala, yang artinya “seperti bukan lagi kuda yang mencari rumput, tapi rumput yang mencari kuda”. Secara fungsi, lumadu ini juga digunakan sebagai sindiran bagi wanita yang mengejar laki-laki, kemudian secara struktur, lumadu ini juga terdiri atas dua kalimat, bahkan makna symbol di dalamnya tetap seperti lumadu sebelumnya. Jadi, sastra lisan lumadu adalah sastra lisan yang diksinya tidak bersifat paten, namun bertujuan sama. Sastra lisan lumadu adalah sastra lisan perumpamaan. Ciri-ciri lumadusebagai sastra lisan ialah sebagai berikut:
Struktur dan isi berbentuk peribahasa
Penggunaan diksi selalu bergaya perbandingan
Penyampaian pesannya utuh
Tidak digunakan dalam prosesi adat, tapi digunakan dalam kehidupan sehari-hari
Berifungsi sebagai sarana pembentukan moral
Penggunaan diksinya santun
2. Gaya bahasa Lumadu
Gaya bahasa lumadu adalah gaya bahasa perumpamaan sebagai unsur yang terdapat dalam tubuh sastra lisan Gorontalo. Sastra lisan lumadu berbeda dengan gaya bahasa lumadu. Sastra lisan lumadu berfungsi sebagai alat pendidikan moral, yang kehadirannya tercipta secara serta-merta dan tidak bersifat paten diksinya, sedangkan gaya bahasa lumadu adalah gaya bahasa perumpamaan dalam penyampaiannya. Di dalam lumadu terdapat gaya bahasa lumadu, tapi gaya bahasa lumadu bisa hadir dalam setiap sastra lisan Gorontalo.Lumadu terkandung dalam sastra lisan adalah gaya bahasa perumpamaan. Gaya bahasa ini diesbut oleh msyarakat Gorontalo dengan sebuatan lumadu. Lumadu yang terdapat dalam tubuh sastra lisan yang lain, tidak dapat berfungsi maknannya, apabila tidak dihubungkan dengan kalimat-kalimat sajak yang lain. Contohnya pada tuja’i prosesi mopolengge, sebagai berikut.
Wombu hulawa tuluto “cucunda emas nan murni” Bulewe mombuto “kembang sudah mekar”
Ami mongotiyombu tuluto “kami para pemangku adat” Momudu’o momuloto “menjemput dan mempersilahkan” Wonu towuli mohuto “apabila berkenan” Ayitayi to eluto
“peganglah pedangmu”
Baris pertama dan baris kedua adalah lumadu yang berbentuk gaya bahasa. Baris pertama dan kedua tidak dapat dikatakan sebagai sastra lisan lumadu, karena kedua lumadu tersebut tidak akan berfungsi maknannya apabila tidak dihubungkan dengan baris-baris sajak yang lain. Oleh sebab itu, lumadu dalam tubuh sastra lisan adalah sebuah gaya bahasa bukan sebuah sastra lisan.lumadu yang disebut sebagai sastra lisan adalah ungkapan perumpamaannya berfungsi dalam penyampaian pesan, sedangakan lumadu dalam tubuh sastra, seperti pada tuja’i di atas, disebut gaya bahasa karena penyampaian pesannya tidak akan utuh apabila tidak dihubungkan dengan makna baris yang lain. Jadi, lumadu dalam tubuh sastra lisan adalah gaya bahasa yang dijadikan sebagai salah satu unsur pemabangun sastra lisan tersebut. Lumadu sebagai gaya bahasa adalah warisan karakteristik sastra lisan Gorontalo. Jika ditinjau lebih teliti, dalam teori bahasa dan sastra dikenal majas perbandingan yang memiliki persamaan dengan lumadu. Salah satu majas perbandingan ialah metafora. Metafora adalah majas yang membandingakan dua hal dengan cara yang singkat dan padat. Contoh metafora yaitu, “ telah gugur ribuan bunga bangsa demi negara ini”. Gatra bunga bangsa dalam kalimat tersebut merupakan metafora, sebab bunga bangsa diartikan sebagai para pejuang negeri. Kemudian pada lumadu, contohnya yaitu, amula didu tunthu u mololohe ali, bo ma ali u mololohe tunthu yang artinya “seperti bukan lagi timba yang mencari sumur, tapi sumur yang mencari timba”. Kata “sumur” dalam lumadu disimbolkan dengan
seorang wanita, dan kata “timba” disimbolkan dengan seorang laki-laki. Jika ditinjau kemabali bahwa gaya bahasa majas metafora sama dengan gaya bahasa lumadu yang telah populer di Gorontalo sejak berabad-abad yang lalu. Akan tetapi, sebagai bentuk penghoramatan kepada leluhur yang telah mewariskan gaya bahasa ini, lumadu tetap disebut lumadu, metafora tetap disebut metafora. Ciri-ciri lumadu sebagai gaya bahasa adalah sebagai berikut:
Terdapat dalam tubuh sastra lisan
Sebagai unsur pemabangun dalam sastra lisan
Terikat oleh rima dalam sajak
Digunakan dalam prosesi adat dan kehidupan sehari-hari
Penggunaan diksi selalu bergaya perbandingan
Penggunaan diksinya santun
Penyampaian pesan tidak utuh apabila terpisah dari baris-baris sajak yang lain dalam sastra lisan
Jadi, dapat disimpulkan bahwa lumadu bukan hanya sebagai sastra lisan dan terbagi dalam beberapa jenis, tapi lumadu juga berbentuk gaya bahasa sastra lisan.
4.2.2 Kedudukan sastra lisan Lumadu dalam masyarakat Gorontalo Dekadensi moralitas yang terjadi di seluruh dunia merupakan sebab dari kurangannya pendidikan dari lingkungan keluarga, sehingga dekadensi moral merambah ke lingkungan sosial yang lebih luas, yaitu masyarakat. Masyarakat pada
belahan dunia barat adalah masyarakat yang telah berproses dengan jutaan ilmu pengetahuan, yang ternyata berakibat pada terjadinya dekadensi moral. Ilmu pengetahuan yang terus berkembang telah bersikap sombong dan menentang tradisitradisi atau pengetahuan kuno yang dianggap ketinggalan. Sikap sombong ternyata adalah awal kehancuran dan kemorosotan moral yang terjadi di lingkungan sosial mereka. Tapi jika ditinjau lebih dalam, ternyata pengetahuan kuno yang dianggap ketinggalan merupakan pengetahuan yang di dalamnya terkandung jutaan kearifan yang dapat dijadikan sebagai tameng dari tejadinya dekadensi moral. Indonesia adalah negara yang beragam suku, beragam budaya, dan beragam bahasa telah tertimpa dekadensi moral. Indonesia ketika era majapahit, dahulu disebut nusantara, adalah tanah yang sangat kental dengan budayanya. Budaya yang kuat dapat berdampak pada kekuatan mental yang berakar dari kesucian moral. Dekadensi moral di Indonesia di awali dengan penjajahan Belanda, yang memperkenalkan pemikiran-pemikiran liberal dan gaya hidup yang tak bermoral. Dekadensi moral yang diderita oleh mereka, ditularkan kepada Indonesia yang ketika itu masih berpegang teguh pada ajaran-ajaran tradisi leluhur. Setiap daerah di Indonesia yang beragam budayanya, terdapat pengetahuan kuno yang merupakan tradisi dari leluhur mereka. Pengetahuan kuno tidak bersifat ilmiah tapi bersifat intuisi. Contohnya, pengetahuan dalam dunia kedokteran, atau bahasa tradisionalnya yaitu tabib. Dalam dunia kedokteran modern, obat-obatan yang di dalamnya terkandung efek penyembuh dapat dibuktikan secara ilmiah, melalui pembuktian zat-zat yang terkandung dalam obat. Obat pada zaman ini berbentuk pil.
Berbeda dengan zaman dahulu, pengetahuan kuno dalam dunia kedokteran atau tabib, obat-obatan yang berbentuk ramuan, terkandung efek penyembuh yang tidak dapat dibuktikan secara ilmia, namun dapat dibuktikan secara intuisi atau keyakinan. Meski tidak dapat dibuktikan efek penyembuh dari obat tradisional, namun di zaman ini, efek penyembuh obat tradisional dapat dibuktikan, dan ternyata jauh lebih baik dari obat-obatan yang beredar di zaman ini disebabkan zat yang tekandung dalam obat tradisional lebih alami dibandingkan obat modern. Hal ini sebagi bukti bahwa pengetahuan kuno lebih ampuh dari pengetahuan modern. Layaknya penyakit, dekadensi moral yang terjadi dalam masyarkat social merupakan penyakit yang harus diobati dengan solusi yang tepat. Dekadensi moral adalah penyakit social yang perlu dwaspadai keberadaannya. Penyakit social tidak dapat disembuhkan dengan obat pil atau ramuan. Penyakit social harus disembuhkan dengan solusi pengetahuan social yang dapat merestorasi kembali keseimbangan hidup. Temuan paham-paham social oleh para ilmuwan dipercaya dapat menanggulangi dekadensi moral. Ternyata paham social seperti itu adalah akar dari dekadensi moral. paham social marxisme, yang dipelopori oleh Karl Marx, dipercaya dapat memperbaiki tatanan sosial yang rusak, dan ternyata paham social ini merupakan akar dari lahirnya paham komunis. Paham komunis berakibat trejadinya dekadensi moral yang tergambar melalui pembunuhan dan diktatorisme. Di Indonesia terjadi dekadensi moral era orde lama, yang kini dikenal dengan G 30 S PKI. Indonesia sebenarnya merupakan negara yang kaya akan obat dekadensi moral. Obat dari dekadensi moral yang telah ada sejak dahulu, yaitu kearifan lokal
yang dapat dijadikan tameng dan obat bagi dekadensi moral. Indonesia adalah negara dengan sejuta kearifan lokal yang beragam, dan hal itu tertuang dalam sastra lisansastra lisan daerah. Sastra lisan berfungsi sebagai obat dekadensi moral, karena dalam sastra lisan terdapat petuah-petuah sebagai pengajaran dalam pembentukan moralitas. Di negara Indonesia terdapat satu daerah yang berkebudayaan luas, yaitu Gorontalo. Gorontalo adalah daerah yang di dalamnya terdapat ribuan petuah yang dapat dijadikan sebagai tameng dekadensi moral. Di daerah Gorontalo terdapat salah satu ragam sastra lisan yang dijadikan sebagai alat pengajaran dan pembentukan moral, yaitu Lumadu. Lumadu adalah sastra lisan yang di dalamnya terkandung pengajaran, peringatan, dan pandangan-pandangan hidup, yang dapat dijadikan tameng dekadensi moral. Lumadu juga dapat dijadikan obat atas dekadensi moral, karena lumadu berfungsi sebagai alat peringatan yang berbentuk halus melalui sindiran apabila seseorang telah melenceng tindakannya. Lumadu berisi bukan hanya pengajaran yang berfungsi sebagai tameng tapi juga berisi peringatan sebagai obat dekadensi moral. Pada dasarnya dalam perihal dekadensi moral, lumadu dapat dijadikan sebagai pencegah dan juga dapat dijadikan sebagai solusi. Namun, dalam kenyataan bahwa Indonesia yang telah ditimpa dekadensi moral, ternyata juga berpengaruh pada moralitas orang-orang Gorontalo. Orang Gorontalo pada umumnya, tidak lagi mengenal adanya petuah atau nasihat yang ada dalam lumadu. Bahkan sindiran yang diguna an sebagai peringatan atas tindakan yang tidak baik, tidak lagi dibudayakan dalam lingkungan keluarga, padahal keluarga adalah lingkup sosial yang terkecil. Jika
dari lingkungan keluarga tidak ada pencegahan maka akan berakibat pada lingkungan sosial yang lebih luas, yaitu masyarakat. Propaganda modern berdampak negatif pada perkembangan moral masyarakat Gorontalo. Diperkirakan dampak negatif tersebut dimulai pada era 70-an. Sebagai bukti, generasi 70-an yang saat ini telah berkeluarga tidak begitu tahu tentang lumadu, dan dalam keluarga mereka tidak lagi ada pengajaran atau sindiran ketika anak bertindak salah. Hingga pada generasi 80 dan 90-an, yang saat ini telah dewasa, tidak paham tentang lumadu yang berisi petuah-petuah dan nasihat-nasihat. Hal ini disebabkan pada era 70-an orang-orang Gorontalo mulai berkiblat pada dunia barat dan tidak peduli terhadap pesan yang disampaikan oleh orang tua mereka atau generasi terdahulu. Eksistensi sastra lisan lumadu tidak terlihat lagi di lingkungan masyarakat. Tidak terlihat bukan berarti hilang atau punah, tapi tersembunyi dan hanya segelintir orang yang mengetahuinya. Segelintir orang tersebut diantarnya, tokoh adat, praktisi budaya, dan akademisi budaya. Ketiga kelompok ini berusaha dalam pemertahanan dan pelestarian luamdu sebagai alat pengajaran dalam masyarakat Gorontalo. Eksistensi lumadu yang mulai redup, berakibat pada dekadensi moral masyarakat yang semakin lama tiba pada puncakannya. Ketiga kelompok tersebut, yaitu tokoh adat, praktisi budaya, dan akademisi budaya, tidak seluruhnya berpemahaman mendalam tentang lumadu. Bahkan tokoh adat atau pemangku adat, yang diyakini sebagai pengawal dan pelestari tradisi dan budaya, ternyata tidak seluruhnya paham akan lumadu. Contohnya, ketika dalam
prosesi pernikahan, seorang tokoh adat melafalkan sajak dengan menggunakan perumpamaan yang berdiksi kasar. Berdasarkan pendapat seorang tokoh adat, bahwa tindakan seperti ini terjadi karena kurangnnya pemahaman tentang lumadu. Seorang tokoh adat yang diyakini sebagai pelestari tradisi dan budaya ternyata tidak paham akanlumadu secara dalam, apalagi individu dalam masyarakat. Eksitensi sastra lisan lumadu mulai redup termakan zaman. Modernitas yang melanda Gorontalo berakibat fatal terhadap pemertahanan lumadu. Pemertahanan lumadu dalam masyarakat Gorontalo diintervensi langsung oleh pemerintah melalui tokoh-tokoh adat. Namun, hal ini ternyata tidak maksimal, karena intervensi yang dilakukan terkesan membiarkan para tokoh adat bergerak dengan sendirinya. Selain itu, tidak adanya konstitusi daerah sebagai pengatur dalam pemertahanan
lumadu,
berakibat
pada
kesulitan
tokoh
adat
dalam
mempertahankannya. Sarana dan prasarana dalam memperkenalkan lumadu ke masyarakat, yang seharusnya disediakan oleh pemerintah. Adapun seminar-seminar kebudayaan hanya terbatas pada akademisi dan segelintir orang yang peduli. Jadi, dalam pemertahanan eksistensi lumadu dibutuhkan solusi yang baru. Tindakan yang harus dilakukan dalam pemertahanan lumadu adalah dengan diadakannya promosi atau pentas yang dibalut dengan dunia modernitas. Generasi muda dilanda modernitas, untuk itu pemertahanan lumadu harus dimulai dari generasi agar tercipata regenerasi selanjutnya. Pada saat ini film adalah komoditas utama di tingkat generasi muda, mungkin pemerintah dengan sikap yang peduli seharusnya mengucurkan dana untuk pembuatan film yang di dalamnya banyak menyinggung
lumadu. Pengucuran dana harus dengan jumlah yang banyak agar film yang dihasilkan bagus dan tidak ketinggalan modernitas. Banyak film-film Gorontalo yang pembiayaannya sangat minim sehingga dihasilkan film dengan kualitas gambar yang rendah. Hal ini akan berdampak pada minat generasi muda. Intinya, pengucuran dana yang besar untuk pemertahanan lumadu harus berani dilakukan oleh pemerintah, dan setiap elemen masyarakat yang peduli terhadap budaya harus tetap istiqomah dalam pengembangan dan pelestriannya.