BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Persepsi Peternak Terhadap IB Persepsi peternak sapi potong terhadap pelaksanaan IB adalah tanggapan para peternak yang ada di wilayah pos IB Dumati terhadap pelayanan IB dengan berdasarkan beberapa indikator pertanyaan yang diberikan melalui kuisioner yang dibagikan. Menurut Alim dan Nurlina (2011) penerimaan peternak terhadap inovasi berhubungan dengan persepsinya terhadap inovasi tersebut, sedangkan persepsi peternak itu sendiri berhubungan dengan latar belakang peternak masingmasing, karena penerimaan inovasi akan dipengaruhi oleh persepsi dan karakteristik peternak itu sendiri. Berdasarkan hasil penelitian pada Tabel 1 dapat dilihat dari 39 responden peternak sapi potong yang berada di wilayah pos IB Dumati Kecamatan Telaga Biru keseluruhannya pernah mendengar istilah Inseminasi Buatan (100%). Jawaban lainnya dari para responden juga menyatakan bahwa informasi-informasi mengenai IB tersebut diperoleh dari penyuluh/inseminator (94,9%) dan sebagian lainnya diperoleh dari sesama peternak (5%). Meski keseluruhan responden pernah mendengar dan tahu tentang istilah IB namun sebagian responden peternak sapi potong di wilayah pos IB Dumati belum menerapkan IB sebagai pilihan utama dalam melakukan perkawinan ternaknya. Sebanyak 44,7% responden menyatakan bahwa selain teknologi IB mereka masih menggunakan metode kawin alam untuk mengawinkan ternaknya dikarenakan beberapa faktor. Responden peternak sapi potong yang menyatakan
bahwa sistem perkawinan ternak yang mereka terapkan hanya IB tanpa kawin alam adalah sebanyak 55,3% sementara metode perkawinan dengan hanya kawin alam sudah ditinggalkan oleh para responden. Hal ini juga tergambar dari jawaban para responden yang keseluruhannya (100%) menganggap bahwa mengawinkan sapi potong dengan cara IB lebih baik dari pada kawin alam. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Alim dan Nurlina (2011) bahwa sebagian besar responden (62,50%) yang diteliti menyatakan bahwa menggunakan inseminasi buatan lebih baik daripada menggunakan pejantan/ kawin alami, namun sebagian kecil merasa khawatir akan resiko kematian induk pada saat melahirkan karena anak yang dilahirkan relatif lebih besar.
Berdasarkan tabel 1 dapat dilihat bahwa dari keseluruhan responden yang menerima kuisioner 51,4% menyatakan sudah setahun menggunakan IB sebagai pilihan utama dalam mengawinkan sapi potong yang dimiliki dan sisanya sebanyak 43.2% telah 3 tahun mengawinkan ternaknya dengan cara IB dan 5,4% menyatakan telah 5 tahun menggunakan cara IB. Pengalaman mengawinkan ternak dengan cara IB pada sapi potong oleh beberapa responden yang belum begitu lama menyebabkan para peternak masih sering meragukan apakah IB dapat mengatasi permasalahan mereka dalam meningkatkan populasi ternaknya. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Alim dan Nurlina (2011) menyatakan bahwa terdapat hubungan positif yang sangat lemah dari umur, pendidikan, dan pengalaman beternak dengan persepsi terhadap inseminasi buatan. Hal ini yang menyebabkan beberapa responden masih sering kembali ke sistem perkawinan
secara alami sehingga penyuluhan dan sosialisasi tentang manfaat IB sangat diperlukan. Tabel 1 Persepsi Peternak Sapi Potong Terhadap IB di Kecamatan Telaga Biru No
1
2
3
4
5
6
7
Uraian
Nilai Persentase
Jumlah sampel (n) Pernah dengar IB (%) Ya Tidak Metode Perkawinan (%) Kawin Alam (KA) Inseminasi Buatan Kawin alam dan IB Informasi IB dari (%) Penyuluh/Inseminator Sesama peternak Membaca IB lebih baik dari KA (%) Ya Tidak Lama menggunakan IB (%) 1 tahun 3 tahun 5 tahun Lebih 5 tahun Alasan memakai IB (%) Lebih murah Keberhasilannya lebih baik Keturunannya lebih unggul Tidak perlu pelihara pejantan Lainnya Kendala yang dialami Jarak pos IB jauh Pengetahuan estrus kurang Biaya IB tinggi Pakan dan obat kurang Lainnya
Beberapa
responden
39 Orang 100 55,3 44,7 94,9 5,1 100 51,4 43,2 5,4 21,1 71,1 7,9 13,2 36,8 50 -
(71,1%)
menyatakan
bahwa
alasan
mereka
menggunakan IB untuk mengawinkan sapi potong yang dimiliki adalah karena
keturunan hasil IB lebih unggul dibandingkan kawin alam. Melalui IB keturunan yang dihasilkan akan memiliki kelebihan dibandingkan dengan kawin alam sebab sperma yang diinseminasikan berasal dari pejantan unggul dan telah diseleksi secara berulang-ulang tentang keunggulan reproduksinya. Hal ini juga sesuai dengan yang dikemukakan oleh Toelihere (1993) bahwa inseminasi buatan dapat mempertinggi breeding efficiency, karena hanya semen yang fertilitasnya tinggi yang diberikan kepada peternak. Alasan lainnya mengapa peternak memakai IB adalah keberhasilannya lebih baik dari kawin alam (21,1%) dan juga tidak perlu memelihara pejantan (7,9%). Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Toelihere (1993) beberapa keuntungan IB antara lain menghemat biaya pemeliharaan pejantan sehingga penambahan jumlah betina dapat dilakukan oleh peternak sebab peternak tidak harus memelihara pejantan, efisiensi reproduksi akan lebih baik (calving interval diperpendek). Hasil survai lainnya terhadap responden peternak sapi potong yang berada di wilayah pos IB Dumati bahwa disamping keuntungan para responden peternak juga memiliki kendala-kendala dalam penerapan IB di lapangan. Kendala yang paling banyak dialami oleh beberapa responden adalah ketersediaan pakan dan obat-obatan kurang (50%) dan pengetahuan tentang estrus juga yang masih sangat kurang (36,8%) sehingga hal ini perlu direspon melalui beberapa kegiatan diantaranya peningkatan pengetahuan melalui penyuluhan tentang identifikasi birahi pada ternak. Kendala lainnya yang dialami para responden adalah jarak pos IB dan lokasi kandang cukup jauh sehingga seringkali pelayanan IB menjadi lebih lama setelah pelaporan (6.7%), Hasil penelitian yang dilakukan oleh Alim dan
Nurlina (2011) juga menyatakan kendala teknis yang sering dialami peternak seputar IB di lapangan berupa kurangnya pengetahuan peternak terhadap siklus berahi dan mendeteksi berahi dan kendala non teknis berupa jarak yang cukup jauh antara tempat tinggal peternak dengan inseminator sehingga menghabiskan biaya dan waktu. Beberapa kendala yang dialami para responden di Kecamatan Telaga Biru tersebut dapat menyebabkan kegagalan kebuntingan sehingga bila hal ini terjadi maka para peternak akan kembali menggunakan perkawinan alami sebagai alternatif cara mengembangbiakkan ternaknya.
B. Evaluasi Keberhasilan IB Tolak ukur tingkat keberhasilan pelaksanaan IB dilapangan adalah kelahiran dari pedet hasil inseminasi. Namun hal ini dirasa terlalu lama untuk mengambil keputusan sehari-hari terutama pada sapi potong untuk mensukseskan program IB sebab harus menunggu 9 bulan sampai anaknya lahir. Beberapa alat ukur yang sering digunakan untuk mengevaluasi keberhasilan pelaksanaan IB dalam waktu yang cepat adalah service perconception (S/C) dan conception rate (CR). Metode ini meskipun dirasa kurang sempurna namun minimal dapat memberikan gambaran umum mengenai fertilitas sapi potong yang di IB sebagai dasar penentuan kebijakan selanjutnya. Berdasarkan hasil pengamatan terhadap para responden peternak sapi potong yang berada dalam wilayah pos IB Dumati bangsa ternak sapi yang dipelihara adalah sapi Bali, dan sapi Lokal. Sebutan sapi lokal dipopulerkan oleh para peternak sapi potong di Kecamatan Telaga Biru sebab secara fenotipe sapi ini memilliki perbedaan dengan sapi Bali maupun sapi Onggole atau PO. Sapi ini
terbentuk sebagai hasil persilangan dari beberapa bangsa sapi potong yang dilakukan oleh para peternak namun tidak dilakukan dengan pola sistematis sehingga tidak jelas sifat dominasi berasal dari bangsa sapi yang mana. Menurut Pane (1993) yang tergolong sapi lokal adalah sapi Bali, sapi Madura, sapi Jawa, dan sapi Madura. Perkembangan selanjutnya sapi PO yang merupakan hasil persilangan antara sapi lokal dengan sapi Onggole digolongkan sebagai sapi lokal. 1. Service per Conception Berdasarkan Tabel 2 hasil analisis nilai S/C pada bangsa sapi potong di Kecamatan Telaga Biru yang diamati diperoleh hasil induk sapi Bali yang di inseminasi memiliki nilai S/C yang lebih rendah (1,22) dibandingkan dengan sapi lokal (1.46). Nilai ini dapat dianggap baik sebab menurut Toelihere (1993) nilai S/C yang normal berkisar 1,6 sampai 2,0. Makin rendah nilai tersebut, makin tinggi kesuburan hewan-hewan betina dalam kelompok tersebut dan sebaliknya makin tinggi nilai S/C makin rendah nilai kesuburan kelompok betina tersebut.
Tabel 2 Nilai Service Per Conception (S/C) Dan Conception Rate (%) Pada Beberapa Bangsa Sapi Potong Hasil IB di Kecamatan Telaga Biru Jenis Sapi Nilai Keberhasilan IB No Potong N Service per conception Conception Rate (%) 1
Bali
24
(S/C) 1,22
77,8
2
Lokal
13
1,46
61,5
Nilai S/C sapi potong di Kecamatan Telaga Biru ini lebih baik dari nilai S/C di beberapa daerah di pulau Jawa seperti di Grobogan dan Wonosobo Jawa Tengah memiliki nilai S/C sapi PO adalah 2,6 (Hadi dan Ilham, 2002) dalam
Susilo (2005), Jawa Timur 2,0 – 2,2 (Affandhy et al, 2003) dalam Susilo (2005), dan di Bantul Yogyakarta 2,1 – 2,3 (Sugiharto et al, 2004) dalam Susilo (2005). Nilai S/C baik pada sapi bali maupun pada sapi lokal yang lebih rendah dibandingkan dengan beberapa daerah lain menandakan bahwa efisiensi reproduksi sapi potong yang ada di Kecamatan Telaga Biru cukup baik. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan hal ini adalah para peternak yang mendapat pelayanan IB dari pos IB Dumati cukup responsif terhadap pelayanan IB sehingga ketika ternaknya telah menunjukkan gejala birahi maka secepatnya dilaporkan ke petugas inseminator untuk segera mendapat pelayanan IB. Keterlambatan peternak melaporkan ternaknya yang birahi dapat mempengaruhi proses fertilisasi sebab umur sel telur setelah ovulasi hanya beberapa jam dan bila tidak secepatnya dibuahi oleh spermatozoa dapat menyebabkan terjadinya kegagalan fertilisasi. Faktor lain yang mempengaruhi nilai S/C yang lebih baik adalah fasilitas pelayanan IB di pos IB Dumati yang sudah lebih baik dan mendapat dukungan dari pemerintah setempat sehingga operasional dilapangan dalam memberikan layanan IB dapat maksimal dilakukan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hadi dan Ilham (2002) bahwa beberapa hal yang dapat mempengaruhi tingginya nilai S/C di beberapa daerah antara lain petani terlambat melapor ke inseminator, kelainan organ reproduksi sapi betina, inseminator kurang terampil, dan fasilitas pelayanan inseminasi terbatas. 2. Conception Rate Angka kebuntingan atau concepton rate (CR) merupakan informasi berapa persen sapi yang menjadi bunting dari sejumlah sapi yang diinseminasi pertama secara bersama-sama (Jaenudeen dan Hafez, 1993). Perhitungan CR berdasarkan
jumlah sapi yang berhasil bunting pada inseminasi pertama melalui pemeriksaan kebuntingan dengan cara eksplorasi rektal pasca inseminasi selama 45 – 60 hari, 40 – 60 hari (Toelihere, 1993). Berdasarkan Tabel 2 nilai conception rate sapi bali lebih tinggi yaitu 77,8%, dibandingkan dengan sapi lokal yaitu 61.5%. Nilai CR sapi bali yang lebih tinggi dari sapi lokal sebab secara genetik sapi bali memiliki efisiensi reproduksi yang cukup baik bila dibandingkan dengan sapi impor. Nilai CR sapi Bali yang mencapai 77,8% lebih tinggi dari yang dikemukakan oleh Wiryosuhanto (1990) bahwa ternak yang mempunyai tingkat kesuburan tinggi nilai CR bisa mencapai 60% sampai 70% dan apabila CR setelah inseminasi pertama lebih rendah dari 60% sampai 70% dapat diindikasikan kesuburan ternak terganggu atau tidak normal. Menurut Jaenudeen dan Hafez (1993) CR sapi potong dengan manajemen yang baik bisa mencapai 70%, sedangkan Partodihardjo (1992) menyatakan bahwa CR ideal adalah 70% tetapi secara umum sebesar 40%. Hasil penelitian lainnya oleh Susilo (2005) bahwa pada lahan basah CR sapi lokal terendah adalah 38.8% dan tertinggi 47.36% dan pada lahan kering terendah sebesar 34.61% dan tertinggi 45.95%. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi nilai CR ditentukan antara lain yaitu kesuburan pejantan, kesuburan betina, dan teknik inseminasi. Menurut Partodihardjo (1992) faktor yang dapat berpengaruh terhadap nilai CR antara lain mortalitas embrio pada saat awal sapi bunting, pakan yang kekurangan mineral.