BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai hasil penelitian dan pembahasannya, penulis akan memaparkan berdasarkan fakta dan data yang penulis temukan.
A. Penerapan Kerjasama 1.
Penerapan Kerjasama Dalam Pengolahan Lahan Berikut adalah adalah data kepemilikan lahan perkebunan kopi di desa Tombo. Tabel 4.3 Data kepemilikan lahan Count of Kpemilikan Row Labels Maro Perhutani Sendiri Sendiri, Perhutani Sewa Grand Total
Column Labels Centuko
Tampingan 29 35 1 1 66
5 76
81
Grand Tombo Total 2 2 2 36 191 302 1 1 195 342
Sumber : Tim sosial pemetaan desa Tombo, 30 Oktober 2015 Selama penelitian penulis mendapatkan data kepemilikan, dari data kepemilikan diatas penulis juga mendapatkan informasi tentang ada tidaknya perjanjian pengolahan perkebunan kopi. Jumlah jiwa yang memiliki lahan perkebunan kopi adalah 325 jiwa tetapi didalam data ada perbedaan jumlah jiwa karena didalam data ada 1 nama yang memiliki 2
65
66
lahan yang berbeda, penulis sengaja tidak menggabungkan ketika ada 1 nama memiliki 2 lahan atau lebih karena faktor kepemilikan yang berbeda, dan salah satu lahan tidak sepenuhnya adalah tanaman kopi. Hampir 88 % kebun yang dimiliki adalah milik sendiri itu artinya dalam hal ini pemilik lahan tidak ada perjanjian dalam pengolahan dengan pihak lain, 10% lahan yang dikelola masyarakat adalah milik perhutani dalam hal ini juga tidak ada perjanjian dalam pengolahan perkebunan karena dari pihak perhutani hanya meminjamkan saja tanpa dipungut biaya dan dipercayakan hanya kepada orang-orang tertentu saja. Dan sisanya 1% adalah sewa dan maro, sewa dan maro adalah perjanjian dalam pengolahaan lahan di desa Tombo. Perjanjian sewa dimana pemilik lahan dibayar sesuai dengan perjanjian diawal, sedangkan maro adalah perjanjian pemilik lahan dan pengelola lahan dimana nantinya hasilnya dibagi 2 bagian pemilik lahan mendapat bagian 40% dan pengelola lahan mendapat 60% hasilnya. a.
Perjanjian Maro (Mangan dibagi loro) Pemilikan dan penguasaan lahan pertanian yang sempit dan timpang di pedesaan bukan merupakan suatu persoalan yang baru. Semenjak awal abad ke-20 pemerintah Belanda telah menyadari hal ini. Melalui survai yang dilakukan pada tahun 1903, menunjukkan bahwa hampir separuh petani menguasai lahan kurang dari 0,50 ha. 1
1
.syahyuti,(2002),”Reforma agraria dan masa depan pertanian”,Jurnal litbang pertanian.
67
Peran sektor pertanian di pedesaan sebagai penyedia bahan kebutuhan pokok utama masyarakat Indonesia tentunya tidak dapat diabaikan begitu saja. Ekonomi pedesaan merupakan bagian integral dari sistem perekonomian secara keseluruhan. Berbagai perubahan terjadi mewarnai sosial ekonomi pedesaan dan perkotaan adalah merupakan dampak dari kebijakan pembangunan. Dari ribuan pulau yang membentuk Republik Indonesia, Jawa karena letaknya sentral, mungkin yang paling banyak terkena alunan kebudayaan asing. Salah satu bentuk kerjasama antar warga dalam bidang pertanian adalah penggarapan sawah dengan cara bagi hasil. Masyarakat
pedesaan
yang
sebagian
besar
masyarakatnya
mempunyai mata pencaharian sebagai petani tidak semuanya mempunyai lahan pertanian. Dalam kerjasama ini petani yang mempunyai sawah akan memberi ijin kepada orang lain untuk mengolah sawahnya, kemudian hasilnya dibagi antara pemilik sawah dan orang yang mengolah sawahnya (penggarap) sesuai dengan aturan yang merupakan hasil kesepakatan antar kedua belah pihak. Pemerintah yaitu dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 1960 tentang perjanjian bagi hasil, secara garis besarnya adalah perjanjian yang dibuat antara pemilik tanah dengan seseorang atau badan hukum (penggarap) di mana penggarap diperkenankan oleh pemilik tanah untuk menyelenggarakan usaha pertanian di atas tanahnya dengan
68
pembagian hasilnya yang telah disepakati oleh kedua belah pihak (UU No. 2 Tahun 1960 pasal 1 huruf C).2 Perjanjian pengusahaan tanah dengan Bagi Hasil semula diatur didalam hukum Adat yang didasarkan pada kesepakatan antara pemilik tanah dan petani penggarap dengan mendapat imbalan hasil yang telah disepakati sebelumnya oleh kedua belah pihak. Dalam perkembangannya, perjanjian bagi hasil kemudian mendapat pengaturan dengan Undang-Undang Nomor 2 tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil yang lahir berdasarkan pada hukum adat di Indonesia. Perjanjian Bagi Hasil itu merupakan suatu perjanjian yang sudah tidak asing lagi bagi masyarakat pedesaan, yang sebagian besar dari mereka umumnya adalah petani. Perjanjian
bagi
hasil
dalam
masyarakat
desa
yang
dilatarbelakangi oleh keadaan saling membutuhkan, sukarela dan tanpa paksaan. Hal ini baik pemilik sawah maupun penggarap merasa sama-sama diuntungkan, dan ini telah berlangsung secara turun temurun, dengan didorong oleh sifat kekeluargaan serta dapat terbentuk suatu solidaritas di dalam warga masyarakat. Pelaksanaan bagi hasil mempunyai tujuan untuk menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran baik bagi penggarap maupun pemilik lahan dan dapat meningkatkan solidaritas masyarakat.Dari ribuan pulau yang membentuk Republik Indonesia, Jawa karena letaknya sentral, 2
.Undang – undang no2 tahun 1960
69
mungkin yang paling banyak terkena alunan kebudayaan asing. Salah satu bentuk kerjasama antar warga dalam bidang pertanian adalah penggarapan lahan dengan cara bagi hasil. Masyarakat pedesaan yang sebagian besar masyarakatnya mempunyai mata pencaharian sebagai petani tidak semuanya mempunyai lahan pertanian.Dalam kerjasama ini petani yang mempunyai sawah akan memberi ijin kepada orang lain untuk mengolah sawahnya, kemudian hasilnya dibagi antara pemilik sawah dan orang yang mengolah sawahnya (penggarap) sesuai dengan aturan yang merupakan hasil kesepakatan antar kedua belah pihak. Di desa Tombo ada sistem perjanjian kerja sama yang biasa dikenal dengan maro, maro adalah penggarap harus membayar buruh tani, membeli pupuk dan bibit sendiri, serta menyerahkan setengah dari hasil panen, dan pemilik sawah yang membayar bayar pajak sawah serta hanya membantu penggarap dengan memberikan sedikit pengganti pembelian pupuk.3 Dari penelitian ini bahwa sudah dari jaman dulu masyarakat sudah menerapkan kerjasa maro, maro berasal dari bahasa jawa yaitu “mangane dibagi loro” (makan dibagi dua). Dalam hal ini “mangan dibagi loro” adalah memakan hasil panen kopi yang telah umur dan sudah laku dijual, perjanjian ini juga tanpa menggukan perjanjian hitam diatas putih. Masyarakat desa Tombo juga memiliki rasa 3
.Tri wahyuningsih,(2011),”Sistim bagi hasil maro sebagai upaya mewujudkan solidaritas masyarakat”,Jurnal kominitas
70
saling percaya diantara warganya, pembagian hasil dari maro sendiri tergantung perjanjian diantara kedua pihak. Biasanya 50% atau sama rata pembagiannya, karena kedua pihak menanggung bibit, dan pupuk bersama hanya saja pihak pertama hanya menyediakan lahan dan pihak kedua menggarap lahan. Dari perjanjian maro ini dapat menimbulkan semakin erat solidaritas antar kedua belah pihak, karena perjanjian ini didasari oleh rasa sling percaya satu dengan yang lainnya.Perjanjian bagi hasil dalam masyarakat desa yang dilatarbelakangi oleh keadaan saling membutuhkan, sukarela dan tanpa paksaan. Hal ini baik pemilik lahan maupun penggarap merasa sama-sama diuntungkan, dan ini telah berlangsung secara turun temurun, dengan didorong oleh sifat kekeluargaan serta dapat terbentuk suatu solidaritas di dalam warga masyarakat. Pelaksanaan bagi hasil mempunyai tujuan untuk menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran baik bagi penggarap maupun pemilik lahan dan dapat meningkatkan solidaritas masyarakat. b.
Perjanjian sewa Dalam rangka untuk melindungi golongan petani yang ekonomi lemah terhadap praktek-praktek golongan orang yang kuat dan mengandung unsur-unsur exploitation, maka pemerintah Indonesia mengatur tentang perjanjian tersebut dalam UndangUndang No.2 Tahun 1960, yang merupakan dasar pembenar (justification), yang jelas adalah bahwa gejala bagi hasil tanah
71
pertanian ini hanya ada dalam masyarakat di mana sektor pertanian masih mempunyai arti penting dalam menunjang perekonomian masyarakat tersebut.Perjanjian bagi hasil tanah pertanian yang berlaku didalam masyarakat umumnya, dilakukan secara lisan dan atas dasar saling percaya kepada sesama anggota masyarakat.4 Tidak hanya maro saja perjanjian adat yang sudah ada di desa Tombo,
yaitu
perjanjian
sewa
tanah
perkebunan
maupun
persawahan. Yang membedakan sistem sewa dan maro adalah dimana sistem sewa membayar uang sewa dengan jumlah tertentu atau bisa membayar dengan hasil panennya nanti dan semua modal berasal dari pihak penyewa, sedangkan maro modal ditanggung bersama dan hasil dibagi menjadi dua. Didalam perjanjian ini biasanya pembayaran dilakukan dengan hasil panennya, berapa besar pembayaran sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak yang dilandasi suka rela. Pada praktek kegiatan sewa-menyewa ini tidak semudah yang diperkirakan, akan tetapi didalam prakteknya hendaknya perlu diperhatikan isi perjanjian yang telah disepakati bersama tersebut. Isi perjanjian hendaknya disepakati kedua belah pihak. Jika nantinya perjanjian ini dilanggar ataupun diingkari, ini akan menjadi permasalahan yang perlu diselesaikan dengan mempertimbangkan segala aspek yang ada, misal suatu masa kontrak yang disepakati dengan ketentuan harga 4
.A.P.Parlindungan,(1991),”Undang – undang bagi hasil di Indonesia”,Bandung : CV.Mandar Maju
72
yang disepakati, hendaklah dipatuhi oleh semua pihak, karena masing-masing pihak mempunyai kewajiban dan hak yang dipenuhinya. Tidak diperbolehkan salah satu pihak mengakhiri atau membatalkan isi kontrak tanpa sepengetahuan pihak yang lainnya. Jika hal ini terjadi maka akan menjadi masalah yang harus diselesaikan oleh kedua belah pihak. Dengan adanya kesepakatan sewa menyewa atas obyek tanah pertanian dan segenap persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan sebelumnya, sudah terjadilah perjanjian yang dimaksud dan menurut hukum adat perjanjian yang demikian ini sudah sah dan menjamin kepastian hukum terhadap kedua belah pihak. Adapun untuk syarat syahnya perjanjian sewa atas tanah menurut hukum adat adalah berlaku azas riil dan konkrit. Artinya nyata dan jelas dapat ditangkap panca indera kita, penyerahan kekuasaan atas sesuatu benda dan pembayaran suatu harga sewa terjadi secara tunai. Didalam perjanjian sewa menyewa ini dilakukan hanya secara lisan saja tidak ada hitam diatas putih, karena semua pihak saling percaya satu dengan lain. Dari saling percaya ini membuat rasa tenggang rasa ditengah masyarakat sangat tinggi 2.
Praktek Kerjasama Petani Kopi Dikaji Dalam Prespektif Fiqh Muamalah Pada dasarnya ditemukan dua perjanjian kerjasama pengolahan lahan perkebunan di desa Tombo yaitu maro dan sewa. Penulis akan mengkaji kedua perjanjian tersebut dalam prespektif fiqh muamalah.
73
a.
Akad Syirkah Syirkah atau sering juga disebut dengan syarikah adalah bentuk perseroan dalam Islam yang pola operasionalnya melekat prinsip kemitraan usaha dan bagi hasil. Secara prinsip syirkah berbeda dengan model perseroan dalam sistim ekonomi kapitalisme. Perbedaan-perbedaan yang ada tidak hanya terletak pada tidak adanya praktik bunga dalam model ini, tetapi juga berbeda dalam hal transaksi pembentukannya, operasionalnya maupun pembentukan keuntungan dan tanggungjawab kerugian. Model syirkah merupakan sebuah konsep yang secara tepat dapat memecahkan permasalahan permodalan. Satu sisi, prinsip Islam menyatakan bahwa segala setuatu yang dimanfaatkan oleh orang
lain
berhak
memperoleh
kompensasi
yang
saling
menguntungkan, baik terhadap barang modal, tenaga atau barang sewa. Disisi lain Islam menolak dengan tegas kompensasi atas barang modal berupa bunga. Dalam kerangka keterbatasan modal bagi para pelaku usaha, Islam memberikan alternatif kemitraan berupa pembiayaan tanpa riba. Pembiayaan tanpa riba yang dimaksud adalah qard al-hasan dan syirkah. Qard al-hasan adalah pembiayaan yang dilakukan tanpa kompensasi apapun. Bentuk pembiayaan ini hanya bersifat tolong memolong dengan saling keridhaan antar pelaku usaha. Biasanya
74
model qard al-hasan ini dilakukan dalam
jangka pendek.
Berdasarkan sifatnya tersebut maka syirkah menjadi alternatif lain dalam umat Islam melakukan usaha yang mengharapkan kompensasi keuntungan dalam usaha yang dilakukan. Para ahli ekonomi Islam mendukung pentingnya peranan syirkah dalam pertumbuhan ekonomi masyarakat. Kemandekan ekonomi sering terjadi karena pemilik modal tidak mampu mengelola
modalnya
sendiri
atau
sebaliknya
mempunyai
kemampuan mengelola modal tetapi tidak memiliki modal tersebut. Semua hal tersebut dapat terpecahkan dalam syirkah yang dibenarkan dalam syariah Islam. 5 Dasar hukum syirkah diterangkan didalam Al – Qur’an surat shad ayat 24.
Artinya: “Daud berkata: Sesungguhnya dia telah berbuat zalim kepadamu dengan meminta kambingmu itu untuk ditambahkan kepada kambinya. Dan sesungguhnya kebanyakan orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh, dan amat sedikitlah mereka ini. Dan Daud mengetahui bahwa kami mengujinya, maka ia
5
.Qardawi,(1997),”Norma dan etika ekonomi islam”,Jakarta:GIB
75
meminta ampun kepada Tuhannya lalu menyungkur sujud dan bertaubat”. QS Shad ayat 24.
Syirkah boleh dilakukan antara sesama Muslim, antara sesama kafir dzimmi atau antara seorang Muslim dan kafir dzimmi. Maka dari itu, seorang Muslim juga boleh melakukan syirkah dengan orang yang beda agama seperti Nasrani, Majusi dan kafir dzimmi yang lainnya selagi apa-apa yang di-syirkah-kan adalah usaha yang tidak diharamkan bagi kaum Muslim. Ada 3 rukun sah syirkah, diantaranya adalah: 1. Ijab dan qobul 2. Dua pihak yang berakad, syaratnya memiliki kecakapan melakukan pengelolaan harta. 3. Obyek akad mencakupi pekerjaan dan/atau modal. Syarat sah syirkah sendiri ada 2, yaitu : 1. Obyek akadnya adalah pengelolaan harta 2. Obyek akadnya dapat diwakilkan, agar keuntungan syirkah menjadi hak bersama untuk pihak-pihak yang melakukan kerjasama. Terdapat enam penyebab utama berakhirnya syirkah yang telah diakadkan oleh pihak-pihak yang melakukan syirkah, yaitu: 1.Syirkah akan berakhir apabila terjadi hal- hal dimana jika salah satu pihak membatalkannya meskipun tanpa persetujuan pihak yang lainnya. Hal ini disebabkan syirkah adalah akad
76
yang terjadi atas dasar rela sama rela dari kedua belah pihak yang tidak ada kemestian untuk dilaksanakan apabila salah satu pihak tidak menginginkannya lagi. 2.Salah satu pihak kehilangan kecakapan untuk bertasharruf (keahlian mengelola harta) baik karena gila ataupun karena alasan lainnya. 3.Salah satu pihak meninggal dunia. Tetapi apabila anggota syirkah lebih dari dua orang yang batal hanyalah yang meninggal saja. Syirkah berjalan terus pada anggota-anggota yang masih hidup. Apabila ahli waris anggota yang meninggal menghendaki turut serta dalam syirkah tersebut maka dilakukan perjanjian baru bagi ahli waris yang bersangkutan. 4.Salah satu pihak ditaruh dibawah pengampuan. Pengampuan yang dimaksud di sini baik karena boros yang terjadi pada waktu perjanjian syirkah tengah berjalan maupun sebab yang lainnya. 5.Salah satu pihak jatuh bangkrut yang berakibat tidak berkuasa lagi atas harta yang menjadi saham syirkah. Pendapat ini dikemukakan oleh Mazhab Maliki, Syafi’i dan Hambali. Hanafi berpendapat bahwa keadaan bangkrut itu tidak membatalkan perjanjian yang dilakukan oleh yang bersangkutan. 6.Modal para anggota syirkah lenyap sebelum dibelanjakan atas nama Syirkah. Bila modal tersebut lenyap sebelum terjadi
77
percampuran harta hingga tidak dapat dipisah-pisahkan lagi yang menanggung resiko adalah para pemilikya sendiri. Apabila harta lenyap setelah terjadi percampuran yang tidak bisa dipisah-pisahkan lagi menjadi resiko bersama. Kerusakan yang terjadi setelah dibelanjakan menjadi resiko bersama. Apabila masih ada sisa harta Syirkah masih dapat berlangsung dengan kekayaan yang masih ada. Persamaan antara akad syirkah dengan maro adalah rukun yang harus dipenuhi oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Hanya saja memang masyarakat desa Tombo hanya menggunakan perjanjian maro. Karena perjanjian maro ini sudah ada sejak jaman nenek moyang dulu, dan kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap fiqh muamalah masyarakat menjadi asing ketika mendengar akad syirkah. Inti dari perjanjian maro dan akad syirkah adalah perjanjian kedua belah pihak dimana satu pihak menyediakan lahan dan satu pihak untuk menggarap lahan, bibit dan segala kebutuhan ditanggung kedua pihak. Ketika panen hasil yang didapatkan dibagi menjadi dua bagian sesuai kesepakatan semua pihak Perjanjian maro dan akad syirkah ini harus berlandaskan saling percaya diantara pihak- pihak yang melakukan kerja sama. Penulis menyimpulkan bahwa perjanjian maro yang ada di desa Tombo ini jika dipandang dengan kaca mata prespektif fiqh muamalah bisa dikategorikan adalah akad syirkah, karena rukun
78
yang harus dipenuhi sama. Hanya saja masyarakat kurang memahami apa itu fiqhh muamalah dan apa itu syirkah, jadi masyarakat
masih
berpikir
konvensional
dan
menggunakan
perjanjian adat. b.
Akad ijarah Telah
menjadi
sunnatullah
bahwa
manusia
harus
bermasyarakat dan saling menolong antara satu dengan yang lainnya. Sebagai makhluk sosial, manusia menerima dan memberikan andilnya kepada orang lain, saling berinteraksi untuk memenuhi kebutuhannya dan mencapai kemajuan dalam hidupnya. Hal tersebut tidak dapat dipungkiri, yang lebih jauh diterangkan dalam pengetahuan sosiologi. Tidak ada alternatif lain bagi manusia normal, kecuali menyesuaikan diri dengan peraturan Allah (sunnatullah) tersebut dan bagi siapa yang menentangnya dengan jalan memencilkan diri, niscaya akan terkena sanksi berupa kemunduran, penderitaan, kemelaratan dan malapetaka. Ada banyak bentuk kegiatan manusia yang telah diatur oleh agama, salah satunya adalah sewa-menyewa. Sewa menyewa pada dasarnya
adalah
penukaran
manfaat
sesuatu
dengan
jalan
memberikan imbalan/ jasa dalam jumlah tertentu. Pada dasarnya sewa-menyewa merupakan penukaran manfaat barang yang telah jelas wujudnya tanpa menjual 'ain dari benda itu sendiri.
79
Bentuk transaksi sewa-menyewa ini dapat menjadi solusi bagi pemenuhan kebutuhan manusia, karena keterbatasan keuangan yang
dimilikinya manusia tetap dapat memenuhi kebutuhannya
tanpa melalui proses pembelian. Selain sebagai kegiatan muamalah, sewa-menyewa juga mempunyai fungsi tolong menolong dalam pemenuhan kebutuhan manusia yang tidak terbatas sifatnya. Menurut ulama Hanafiyah, sewa-menyewa adalah akad atau transaksi terhadap manfaat dengan imbalan. Menurut ulama Syafi'iyah, sewa-menyewa adalah transaksi terhadap manfaat yang dikehendaki secara jelas harta yang bersifat mubah dan dapat dipertukarkan dengan imbalan tertentu. Menurut ulama Malikiyah dan Hanabilah, sewa-menyewa adalah pemilikan manfaat suatu harta benda yang bersifat mubah selama periode waktu tertentu dengan suatu imbalan. 6 Didalam akad ijarah ini haruslah jelas berapa besar uang sewa yang harus dibayar tanpa ada yang merasa dirugikan dengan perjanjian. Didalam al-qur’an ada dalil yang menerangkan tentang ijarah, yaitu surat az-zukhruf ayat 32
6
.Ghufron A Mas’adi,(2002),”fiqh muamalah kontekstual”,Jakarta : PT,Raja Grafindo Persada
80
Artinya: “Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menetukan antara mererka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”. Akad sewa-menyewa merupakan akad pengambilan manfaat sesuatu benda, maka syarat kemanfaatan obyek sewa harus menjadi perhatian oleh kedua belah pihak. Manfaat barang yang disewakan harus jelas dan dapat dimanfaatkan oleh penyewa (musta'jir) sesuai dengan kegunaan barang tersebut, seandainya barang tersebut tidak dapat digunakan sebagaimana yang diperjanjian maka perjanjian sewa-menyewa itu dapat dibatalkan. Adapun rukun ijarah ada empat, yaitu : 1. Aqid ( orang yang aqad ) 2. Shighat akad 3. Ujrah ( Upah ) 4. Manfaat Syarat sah ijarah, yaitu: 1. Aqid
81
Kedua belah pihak yang melakukan akad disyaratkan memiliki kemampuan, yaitu berakal dan dapat membedakan (baik dan buruk). Jika salah satu pihak adalah orang gila atau anak kecil, akadnya dianggap tidak sah. 2. Shigat akad Syarat sah sigat akad dapat dilakukan dengan lafad atau ucapan dengan tujuan orang yang melakukan perjanjian atau transaksi dapat dimengerti. Berkaitan dengan hal tersebut umum dilakukan dalam semua akad, karena yang dijadikan pedoman dalam ijab qabul adalah sesuatu yang dapat dipahami oleh dua orang yang melakukan akad sehingga tidak menimbulkan keraguan dan pertentangan. 3. Ujrah (upah) Para ulama telah menetapkan syarat upah, yaitu: pertama, berupa harta tetap yang dapat diketahui. Kedua, tidak boleh sejenis dengan barang manfaat dari ijarah, seperti upah menyewa rumah untuk ditempati dengan menempati rumah tersebut. Masyarakat desa Tombo melakukan perjanjian sewa hanya secara lisan saja, pada dasarnya masyarakat desa Tombo tidak tahu akad ijarah yang mereka tahu hanya perjanjian sewa biasa saja. Sama seperti halnya maro perjanjian ini sudah ada sejak nenek moyang, jika dilihat tata cara pelaksaan sewa sudah
82
termasuk akad ijarah hanya saja memang masyarakat masih menggunakan perjanjian sewa dan lebih mengerti sewa daripada ijarah. 3.
Faktor – faktor yang membentuk pola kerjasama di desa Tombo Tidak ditemukan penerapan fiqh muamalah dalam pengolahan lahan perkebunan di desa Tombo, bahkan masyarak tidak tahu apa itu fiqh muamalah. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi hal tersebut, penulis akan memaparkan faktor – faktor tersebut :
a.
Faktor pendidikan Latar pendidikan para petani desa Tombo rata-rata adalah sekolah dasar dan tidak bersekolah, faktor pendidikan sangatlah penting untuk mengetahui ilmu-ilmu yang telah ada sekarang ini. Jika dilihat dari faktor pendidikan memang petani desa Tombo terasa awam dengan kata-kata fiqh muamalah, memang dahulu masyarakat Tombo memandang bahwa pendidikan itu tidak penting. Pandangan oramg dulu yang penting bisa makan hari ini tanpa memikirkan jangka panja. Tetapi kita perlu flasback mengapa para petani tidak memikirkan pendidikan formal. Ternyata dulu akses menuju kesekolahan sangatlah jauh dan keaadan desa Tombo tak seramai sekarang ini, Tombo dulu masih banyak hutan yang lebat dan binatang buas. Yang ada dipikiran orang dulu hanya mencari nafkah untuk makan hari ini.
83
Faktor pendidikan menjadi salah satu faktor mengapa tidak diterapkannya fiqh muamalah di desa Tombo, padahal mayoritas warga adalah muslim. Mendengar kata fiqh muamalah saja terasa asing apalagi menerapkan dalam perjanjian pengolahan lahan. b.
Faktor Ekonomi Faktor
ekonomi
juga
salah
satu
faktor
penghambat
diterapkannya fiqh muamalah, pendapatan para petani desa Tombo sekitar Rp 500.000 – Rp 1.000.0000 dikategorikan didalam masyarakat menegah kebawah. Ketika penulis menanyakan kepada informan yang penulis ambil 10 sampel petani, semua petani menuturkan bahwa kami mikir untuk mendapatkan uang saja susah kenapa saya harus memikirkan fiqh muamalah yang paling penting saya kerja dapat uang buat makan. Dari penuturan informan tersebut ternyata faktor ekonomi mempengaruhi tidah diterapkannya fiqh muamalah, ini menjadi tugas penting bagi kita untuk meningkatkan kesejahteraan para petani. Dengan meningkatnya kesejahteraan petani kita bisa sedikit demi sedikit memperkenalkan fiqh muamalah. c.
Faktor Budaya Budaya jawa masih sangat kental bagi masyarakat desa Tombo, karena masyarakat sadar bahwa masyarakat harus menjaga budaya-budaya jawa yang sudah ada. Perjanjian maro adalah salah satu contoh kecil dalam bekerja pada jaman dahulu, maro berasal
84
dari kata “mangan dibagi loro”. Masih banyak hal-hal kecil yang diwariskan dari budaya jawa kepada masyarakat desa Tombo, salah satu contoh lagi budaya jawa yang ada didesa Tombo yaitu budaya krama atau berbicara dengan bahasa jawa kromo alus kepada orang yang lebih tua kepada masyarakat yang disegani dan orang asing. Anak muda di desa Tombo sangat fasih sekali untuk berbicara jawa krama, karena sejak kecil sudah ditanamkan berbicara jawa krama. Ketika penulis menanyakan kepada informan tentang akad syrirkah, informan tidak tahu sama sekali. Dan ketika penulis memaparkan kepada informan tentang akad syirkah dan membandingkan akad syirkah dengan maro, informan lebih memilih maro dikarenakan maro sudah sangat familiar dan maro tidak sulit untuk dilakukan dikalangan
masyarakat
desa
Tombo
sedangkan
informan
mengatakan akad syirkah susah dijalankan karena ada syarat – syarat yang dipenuhi dan informan mengatakan takut jika melakukan perjanjian secara islami karena dengan islami harus benar – benar adil dalam pembagiannya.7 Dari situlah bahwa budaya jawa juga mempengaruhi penerapan fiqh muamalah yang ada di desa Tombo. d.
Faktor sosial keagamaan Mayoritas masyarakat desa Tombo adalah islam, dari segi agama
7
harusnya
masyarakat
tahu
.Ramelan.Petani Desa Tombo.Wawancara Pribadi.Batang
sedikit
mengenai
fiqh
85
muamalah.Nuansa islami di desa Tombo sangat kental sekali, itu dibuktikan anak-anak kecil yang ada di desa Tombo berlomba-lomba ke masjid untuk mengaji ketika sore hari. Ditambah para pemuda desa Tombo banyak sekali yang meramaikan mushola dengan bermain rebana selepas shalat isya. Tetapi anehnya mayoritas masyarakat desa Tombo tidak faham tentang fiqh muamalah, padahal seluruh masyarakat desa Tombo adalah muslim. Bahwa ada faktor lain yang menyebabkan masyarakat tidak faham dengan fiqh muamalah, itu penyebabnya adalah tidak ada pengajian dengan cara berdialog bahwa dengan berdialog secara intensif banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari para masyarakat. Kemudian ketika ada pengajian di desa hanya bersifat komunikasi satu arah itupun pemateri hanya menanamkan nilai-nilai akidah tidak pernah menyrtuh tentang fiqh salah satunya adalah fiqh muamalah. Disamping akidah sangat penting ditananamkan dalam diri manusia tetatpi fiqh juga harus dimengerti oleh masyarakat. Didalam setiap pengajian ataupun majlis taklim tidak pernah ada sosialisasi mengenai fiqh muamalah, karena yang diajarkan hanya akidah agama saja. Seharusnya ada sosialisasi mengenai fiqh muamalah, karena pada dasarnya fiqh muamalah juga penting dalam hubungan masyarakat. Inilah kesempatan kita ini adalah salah satu PR besar untuk STAIN Pekalongan perguruan tinggi Islam yang
86
tebesar di Pekalongan dan sekitarnya untuk mengajak masyarakat untuk menjelaskan apa itu muamalah, apa pentingnya bermuamalah, dengan cara pedekatan kepada masyarakat. Dengan cara ini STAIN Pekalongan mampu meraih Kampus yang rahmatan lil alamin.