BAB IV ANALISIS SEMIOTIK TERHADAP TEKS PIAGAM MADINAH untuk menafsirkan sebuah teks bukan memberinya sebuah makna … sebaliknya, menghargai kemajemukan apa yang membangunnya ROLAND BARTHES [Prancis, 1915-1980] Dikutip dari Yasraf Amir Piliang, 2003
A. Dimensi Semiotik Dimensi sintaktis mengkaji tanda secara individual maupun kombinasinya (struktur dan kombinasi tanda). Analisis sintaksis (syntactic) terhadap teks Piagam Madinah, mengkaji peristiwa (discourse), kepentingan, serta logika/nalar, yang menuntut sebuah teks atau kebijakan lahir; sesuatu yang mengiringi lahirnya teks; latar belakang lahirnya teks. Dalam mengkaji teks Piagam Madinah, pasal demi pasal dalam Piagam Madinah dimaknai/dimaksudkan sebagai kebijakan yang gulirkan (dengan maksud dan tujuan tertentu) dari si pembuat kebijakan (author).1 Selanjutnya, untuk mengetahui relasi antara tanda dan signifikasi atau maknanya; mengetahui makna sebuah tanda atau teks atau kebijakan; mengetahui makna yang timbul dari struktur teks, dilakukan analisis tahap kedua, yaitu semantis (semantics). Analisis semantis terhadap teks Piagam Madinah, mencari atau melacak makna-makna sebuah teks atau kebijakan. Pendeknya, analisa pada level ini bertujuan mengetahui makna yang ditunjukkan oleh struktur teks/kebijakan. Baik makna eksplisit maupun makna implisit, makna yang sengaja disembunyikan. Dengan memilah-milah makna eksplisit Author bisa berupa seorang (pribadi), maupun komunitas atau lembaga yang memiliki kewenangan. 1
|84
dan implisit, dapat diketahui bagian terpenting dari sebuah struktur teks. Makna eksplisit adalah makna yang sengaja ditonjolkan untuk kepentingan tertentu. Sebaliknya, makna implisit adalah makna samar-samar. Tujuannya jelas untuk mengkaburkan makna. Analisis tahap ketiga atau yang terakhir adalah pragmatis (pragmatics). Analisis pada tahap ini terkonsentrasi untuk melacak dan menemukan relasi antara tanda dan penggunanya (user), khususnya yang berkaitan dengan penggunaan tanda secara konkret dalam berbagai peristiwa (discourse), serta efek terhadap penggunanya (interpreter), para subjek pengguna tanda (orang-orang yang menjadi bagian dari kebijakan), dalam konteks Piagam Madinah adalah orangorang/kaum/komunitas yang menyepakati isi perjanjian (ahl alShahifah). Pendeknya, penerimaan dan efek tanda pada masyarakat. Aanalisis pragmatik berkaitan dengan nilai (value), maksud, dan tujuan dari sebuah tanda (teks, kebijakan publik, dan lain-lain), yang menjawab pertanyaan; “untuk apa” dan “kenapa” serta pertanyaan mengenai pertukaran (exchange) dan nilai utilitas tanda bagi pengguna. Melalui analisis semiotik2 dengan model tiga dimensi ini; sintaksis, semantis, dan pragmatis, maka akan dapat ditemukan faktor yang melatarbelakangi (lahirnya) teks/kebijakan, makna teks, dan juga efek yang sampai pada "masyarakat" pengguna teks tersebut. Dengan demikian, melalui pembacaan ini, teks Piagam Madinah bisa dikuak sisi historisnya, signifikansinya, dan tentu saja gejolak yang ditimbulkan teks. 2 Baca Yasraf Amir Piliang, Semiotika sebagai Metode dalam Penelitian Desain (penyunting: Christomy dan Untung Yuwono), 2004, hlm. 89-90. Dengan bahasa yang berbeda, Wijana (1996) menulis: menurut Charles Morris, semiotik kaitannya dengan ilmu bahasa memiliki tiga cabang, yakni sintaktika “studi relasi formal tanda-tanda”, semantika “studi relasi dengan penafsirannya”, dan pragmatika “cabang ilmu bahasa yang mengkaji penggabungan satuan-satuan kebahasaan, lihat Alex Sobur, Analisis Teks Media, hlm. 102.
|85
B. Perjanjian, sebuah Tradisi , ﺑﲔ ﺍﳌﺆﻣﻨﲔ ﻭﺍﳌﺴﻠﻤﲔ ﻣﻦ ﻗﺮﻳﺶ ﻭ ﻳﺜﺮﺏ, ﻫﺬﺍ ﻛﺘﺎﺏ ﻣﻦ ﳏﻤﺪ ﺍﻟﻨﱮ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ,ﺑﺴﻢ ﺍﷲ ﺍﻟﺮﲪﻦ ﺍﻟﺮﺣﻴﻢ
. ﻭﺟﺎﻫﺪ ﻣﻌﻬﻢ,ﻢ ﻓﻠﺤﻖ,ﻭﻣﻦ ﺗﺒﻌﻬﻢ
(1) Ini adalah "kitab" dari Nabi Muhammad, (yang mengatur hubungan) antara kaum Mukmin dan Muslim yang berasal dari Quraisy (imigran dari Makkah) dan Yatsrib, dan orang-orang yang mengikuti mereka, kemudian menggabungkan diri dan berjuang (berjihad) bersama mereka
Setiap masyarakat yang mendiami suatu kawasan tertentu memiliki tradisi/kebudayaan, landasan berfikir dan bersikap, serta ciri khas dalam hal tertentu, yang dari hal ini akan melahirkan keunikan tertentu yang hanya dimiliki oleh si pelaku dan tidak terdapat atau dimiliki masyarakat lain di wilayah yang berbeda. Begitu pula masyarakat Arab di Jazirah Arabia. Sejak sebelum kelahiran Islam, mereka telah memiliki keragaman budaya: agama, hukum, dan filsafat, lengkap dengan kelebihan dan kekurangannya. Masyarakat yang diklaim berasal dari ras Semit ini dikenal berwatak keras karena pengaruh alam yang mereka diami. Tetapi, yang penting dikatakan di sini, mereka juga memiliki sikap-sikap positif, seperti kesatria, teguh memegang janji, rasa kesetiakawanan dengan sesama anggota suku yang luar biasa, dan bahkan sampai kelewat batas. Segala sifat atau karakter masyarakat yang menjadi landasan beraktifitas, berinteraksi, dan bereksistensi oleh bangsa Arab, baik dengan sesama anggota komunitas suku, maupun partner dari komunitas lain, di sini, penulis menyebut dengan "nalar" atau paradigma. Paradigma ini menjadi landasan segala perbuatan bangsa Arab dari waktu ke waktu. Meski tidak bisa dinafikan, seiring perkembangan zaman, paradigma ini mengalami evolusi, interaksi dan degradasi. Pertanyaan mendasar yang perlu dijawab, berkaitan dengan pasal pertama, mengapa jawaban dari semua persoalan yang terjadi di
|86
Arabia, atau titik sentralnya di Madinah (Mendung di Madinah) adalah sebuah perjanjian tertulis? Sebuah medium rekonsiliasi yang memiliki nilai utilitas yang mengikat semua fihak yang berkepentingan, yang mengikrarkan diri pada sebuah kesatuan masyarakat. Perjanjian ini ditunjukkan pasal pertama, dan dikatakan dengan bahasa "Kitab", atau Kitab al-Nabi (yang berarti buku berisi aturan-aturan; aturan tertulis, dan disebut sebanyak 2 kali), juga dikatakan dengan bahasa
al-
Shahifah (yang berarti lembaran tertulis, disebut sebanyak 8 kali). "Kitab" berasal dari kata "kataba" yang berarti menulis. Kata kitab ()ﻛﺘــﺎﺏ, dalam al-Quran, disebut dalam 46 ayat, dan diulang sebanyak 47 kali. Yaitu dalam surah al-Ahqaf: 12 ( )ﻛﺘﺎﺏdisebut sebanyak 2 kali. Sedangkan kata al-Kitab ()ﺍﻟﻜﺘـﺎﺏ, dalam al-Quran, disebut dalam 151 ayat, dan diulang sebanyak 163 kali. Kitab juga menjadi nama lain dari al-Quran. Seperti disebut dalam al-Quran, surah al-Baqarah/1: 89, ﺮﻓﹸـﻮﺍ ﻋ ـﺎﻢ ﻣ ﻫ ﺎ َﺀﺎ ﺟﻭﺍ ﹶﻓﹶﻠﻤﻦ ﹶﻛ ﹶﻔﺮ ﻋﻠﹶﻰ ﺍﱠﻟﺬِﻳ ﻮ ﹶﻥﺘ ﹾﻔِﺘﺤﺴ ﻳ ﺒﻞﹸﻦ ﹶﻗ ﻮﺍ ِﻣﻭﻛﹶﺎﻧ ﻢ ﻌﻬ ﻣ ﺎﻕ ِﻟﻤ ﺪ ﺼ ﻣ ﻨ ِﺪ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪﻦ ِﻋ ﺏ ِﻣ ﺎﻢ ِﻛﺘ ﻫ ﺎ َﺀﺎ ﺟﻭﹶﻟﻤ ﻋﻠﹶـﻰ ﺍﹾﻟﻜﹶـﺎِﻓﺮِﻳﻦ ـ ﹸﺔ ﺍﻟﻠﱠـ ِﻪﻌﻨ ﻭﺍ ِﺑ ِﻪ ﹶﻓﹶﻠ ﹶﻛ ﹶﻔﺮ, kitab yang dimaksud di sini adalah al-Quran. Sementara dalam bagian awal surah al-Baqarah/1: 2, dijelaskan, Tuhan menamakan al-Quran dengan al-Kitab, yang berarti "yang ditulis", sebagai isyarat bahwa al-Quran diperintahkan untuk ditulis.3 Yang menjadi pertanyaan selanjutnya, adakah hubungan antara perjanjian (yang ditulis dengan bahasa kitab) dengan kondisi Madinah? Apa bila ada, apa hubungan itu? Sebagaimana kita tahu, hingga Nabi menetap di sana masih dalam suasana tegang karena konflik. Bahkan, karena ketegangan ini pula, para pimpinan Aus dan Khazraj, dua suku yang berdiam di Madinah berada dalam keputusasa-an, seolah tidak lagi solusi yang
3
Lihat tafsir/penjelasannya dalam al-Quran dan Terjemahan, Depag RI.
|87
bisa ditempuh untuk mendamaikan suasana. Sampai akhirnya, waktu mempertemukan salah seorang anggota sukusuku yang berdiam di Madinah dengan Nabi, yaitu ketika menunaikan ibadah haji. Pertemuan seperti ini terjadi sebanyak dua kali, dengan dua fihak yang sama. Pertemuan tersebut (perjanjian antara Nabi dengan penduduk Yatsrib) dikenal dengan nama Bai'at (sumpah kesetiaan) 'Aqabah, pertama dan kedua. Pertemuan ini menjadi titik awal lahirnya perjanjain (di masa sesudahnya) yang anggotanya (komponen yang tergabung di dalamnya) lebih banyak lagi. Apa bila di perjanjian 'Aqabah hanya ada dua pihak, Nabi dengan penduduk Yatsrib dari suku Aus dan Khazraj, dan hasil perjanjian adalah nota kesepahaman antara dua belah fihak, dalam perjanjian selanjutnya (yaitu perjanjian tertulis atau Piagam Madinah) anggotanya bertambah lagi, yaitu kaum Yahudi. Sudah menjadi tradisi dalam masyarakat Arab, ketika terjadi perselisihan maka perjanjian, sumpah, dan bai'at menjadi solusinya. Khalil Abdul Karim menyebutkan, sejak Makkah dikuasai suku Quraisy telah terjadi perjanjain dan sumpah kesetiaan dan damai di antara
suku.
Perjanjian
itu
antara
lain,
Hilf
al-Fudhul
(Sumpah/Perjanjian Istimewa), yaitu sebuah rekonsiliasi, kesepakatn dan sumpah bersama (dengan duduk saling bersebelahan) antara masyarakat Quraisy yang bertekad memperkokoh ikatan sesama anggota suku.4 Sebuah perjanjian juga berlangsung sepeninggal Qushai, pimpinan suku Quraisy saat itu. Pasalnya, anggota suku Quraisy ini berebut bisa menduduki pos-pos penting, seperti petugas
Dikutip Khalil Abdul Karim, Hegemoni Quraisy, Agama, Budaya, dan Kekuasaan, terj. M. Faisol Fatawi, hlm.11-12, dari Ali bin Burhanuddin al-Halabi, Insan al-'Uyun fi Sirah al-Amin al-Ma'mun, Juz I, Mesir: Maktabah Musthafa al-Bab al-halabi wa auladuh, tth., hlm. 21. 4
|88
perairan, pembawa panji-panji perang, pelayanan haji, dan lain sebagainya. Sebuah konflik terjadi ketika Bani Abdi Manaf tidak puas dengan keputusan bahwa tugas-tugas itu dipegang oleh Abdi Dar, putra Qushai. Permusuhan pun mulai terjadi, dan masing-masing pihak saling mendukung kelompoknya. Dalam suasana inilah, dimulai dari bani Abdi Manaf, kelompok ini bersumpah dengan mencelupkan tangan-tangan mereka pada mangkuk besar yang sudah diberi wangiwangian, lalu mereka berdiri dan mengusapkan tangan ke Ka'bah. Kelompok ini bersumpah bahwa kelompok mereka adalah suci (alMutathayyibin).5 Sementara kelompok Abdi Dar mengajak Bani Abdi Manaf, para pemimpinnya, membuat kesaksian di sisi Ka'bah. Mereka bersepakat tidak saling membunuh dan menyerang sesama suku Quraisy. Mereka menamakan diri sebagai al-Ahlaf,6 orang yang mengadakan perjanjian. Dengan perjanjian ini mereka terhindar dari saling bunuh, setelah terlebih dahulu dilakukan pembagian tugastugas dengan adil dan bisa diterima kedua belah pihak. Selain itu, juga pernah terjadi perjanjian lain, yaitu perjanjian sesendok darah (Hilf Lu'qah al-Dam), yang terjadi ketika perselisihan dalam menentukan orang yang menaruh Hajar Aswad, setelah renovasi bangunan itu. Akhirnya, Nabi adalah orang yang memapu memberi jalan keluar dengan tanpa ada kekecewaan di antara pemimpin suku.7 Di sini terjawab, mengapa perjanjian ditempuh Nabi dalam mengatasi "Mendung di Madinah", yaitu dengan menciptakan perdamaian dan kesepakatan yang mengikat. Ternyata perjanjian, bagi 5 Dikutip Khalil Abdul Karim, Hegemoni Quraisy, Ibid, hlm. 62, dari Ibnu Katsir, al-Sirah al-Nabawiyyah, Juz I, Mesir: Dar Ihya al-Kutub al-'Arabiyyah, tth., hlm. 252. 6 Baca Abi Muhammad Abd al-Malik ibn Hisyam ibn Ayyub, al-Shîrah alNabawiyyah, Juz I, Bairut, Libanon: al-Maktabah al-Ilmiyyah, tth., hlm. 153. 7 Baca Khalil Abdul Karim, Hegemoni Quraisy, op. cit., hlm. 63.
|89
masyarakat Arab, adalah mekanisme yang biasa ditempuh untuk menyelesaikan konflik tertentu. Perjanjian menjadi bagian nalar mereka
(bangsa
Arab),
kebiasaan,
adat
dan
budaya
dalam
menyelesaikan kasus-kasus tertentu, sesuai karakter mereka (yang menghargai nilai sebuah kesepakatan). Tentu saja, langkah Nabi dalam mewujudkan perdamaian, yang dia tempuh dengan membuat sebuah perjanjian, sangat beralasan dan tidak mengada-ada; perjanjian adalah kebiasaan bangsa Arab; nalar Arab. Dengan kesepakatan bersama, perjanjian (sesuai tradisi mereka), sebuah perdamaian lebih mungkin diwujudkan di antara komponen masyarakat Madinah atau Arab pada umumnya. Juga untuk mewujudkan cita-cita membangun tatanan sosial kemasyarakat dan melahirkan kesejahteraan umat. Aturan main (code of conduct) seperti ini tentu tidak berlaku bagi masyarakat yang tidak memiliki latar belakang sebagai masyarakat yang memegang teguh sebuah perjanjian.
Karena
dalam
masyarakat
yang
demikian,
sebuah
perjanjian tidak akan pernah berarti apa-apa. Selain itu, masyarakat Arab berpotensi menjadi bangsa besar. Sifat dan karakter mereka bisa menjadi modal utama untuk melangkah, membangun sebuah bangsa yang bermartabat dan berperadaban.8 Piranti yang belum dimiliki adalah ideologi persatuan dan jiwa nasionalisme. Mereka tidak memiliki sentimen kebangsaan, selain sentimen suku dan keluarga (ashabiyyah). Di sini, dibutuhkan piranti untuk menumbuhkan jiwa nasionalisme, melalui sebuah ikatan perjanjian. Musuh yang sebenarnya bukanlah sesama kelompok di antara mereka sendiri, tetapi orang yang ingin membuat kerusakan di bumi mereka dan di mana saja. Persatuan dan rasa nasionalisme Lihat Nourrouzzaman Shiddieqy, Pengantar Sejarah Muslim, Yogyakarta: Cakra Donya, 1981, hlm. 132-140. 8
|90
adalah "barang" yang di-idam-idamkan para pendiri dan tokoh-tokoh Quraisy sedari semula.9 Bahwa, faktor yang menyebabkan mereka (masyarakat Arab) tidak bisa mengejar ketertinggalan dengan bangsabangsa tetangganya adalah karena mereka rapuh dalam persatuan, sudah menjadi rahasia umum (bagi masyarakat itu sendiri), namun mereka selalu gagal menciptakan persatuan dan kesatuan. Lalu, ada apa dengan suku-suku di Madinah? Kenapa semudah itu mereka menerima Nabi, kenapa semudah itu menerima ajaran Islam? Benar, karena pertanyaan serupa juga diajukan sukusuku Yahudi dan juga suku Quraisy.10 Kaum Yahudi terheran-heran, kenapa
suku
Arab
Madinah
begitu
kompak
menggandeng
Muhammad dan berbondong-bondong memeluk Islam? Mengapa juga mereka menyepakati sebuah perjanjain dan mengangkat Muhammad sebagai pemimpin? Kaum Yahudi yang bertempat tinggal di Yatsrib, apa bila berselisih dengan orang Arab Yatsrib selalu mengatkan: “Seorang Nabi akan segera diutus, dan waktunya sudah dekat. Kami akan menjadi pengikutnya, dan dengan bantuannya kami akan membunuh kalian seperti dalam perang ‘Ad dan Iram”. Agaknya, keterangan seperti ini membekas dalam fikiran masyarakat Arab Yatsrib, dan karenanya menjadi salah satu faktor yang mendukung mempercepat masyarakat ini menerima Islam. Selain itu, seperti dijelaskan di atas, masyarakat Yatsrib menunggu orang yang bisa menyelesaikan konflik yang terjadi
Baca Khalil Abdul Karim, Hegemoni Quraisy, op. cit., hlm. 69. Baca Ali Bulac, dalam Charles Kurzman, Liberal Islam: A Sourcebook (Islam Liberal, Pemikian Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global), Jakarta: Paramadina, 2003, hlm. 266. 9
10
|91
di Madinah.11 Di sini, terjawab sudah mengapa suku Arab Yatsrib begitu mudah menerima Muhammad dan memeluk agama Islam. Penyantuman kata al-Mukminun dan al-Muslimun juga patut mendapat perhatian. Kedua kata ini dipakai untuk memberi sifat terhadap komponen yang mengikat diri dalam perjanjian. Meskipun, kemudian dijelaskan dengan keterangan Quraisy, dan lain sebagainya. Dalam kehidupan masyarakat Arab, kita menemukan tradisi ritual keagamaan, seperti persembahan untuk Tuhan di Ka'bah, yang begitu kental dan sangat dipegang teguh. Bahkan anak sendiri pun akan dikorbankan untuk Tuhan mereka, ketika mereka telah mengucapkan
sumpah.
Dua
peristiwa
--satu
di
antaranya
monumental-- terkait dengan persembahan ini adalah Nabi Ibrahim yang berniat menyembelih Ismail putranya, dan Abdul Muththalib yang akan mengorbankan Abdullah putra kesayangannya. Nabi Ibrahim adalah Rasul yang menancapkan fondasi aqidah di kawasan Arabia dan sekitarnya. Dimana, agama
yang
dibawanya
ini
mengajarkan untuk menyembah hanya kepada Allah. Ibrahim adalah pribadi yang shaleh, serta "bapak" (senior) para Nabi dan utusan. Surah al-Nahl/16: 123, menjelaskan: Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): "Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif." Dan dia bukanlah termasuk orang yang menyekutukan Tuhan, ( ﺑﺮَﺍﻫِﻴ َﻢﻊ ِﻣ ﱠﻠ ﹶﺔ ِﺇ ﺗِﺒﻚ ﹶﺃ ِﻥ ﺍ َ ﻴ ﻴﻨَﺎ ِﺇﹶﻟ ﻭ َﺣ ﻡ ﹶﺃ ُ ﲔ َ ﺸ ِﺮ ِﻛ ) َﺣﻨِﻴﻔﹰﺎ َﻭﻣَﺎ ﻛﹶﺎ ﹶﻥ ِﻣ َﻦ ﺍﹾﻟﻤ. Yang dimaksud dengan Hanif adalah seorang yang berpegang kepada kebenaran, dan tidak pernah meninggalkannya.12 Ajaran Ibrahim ini diwarisi, dijaga, dan dilanjutkan secara turun-temurun oleh anak-cucu Ibrahim (keturunan ras Semit). Dan 11 Baca kesaksian 'Aisyah yang dikutip Akram Diyauddin Umari, Madinan Society at the Time of the Prophet: Its Characteristic and Organization, hlm. 67. 12 Baca al-Quran al-Karim, Yayasan Penyelenggara Penerjemah al-Quran Departemen Agama Republik Indonesia, Semarang: PT. Tanjung Mas Inti, 1992.hlm. 420.
|92
adalah Abdul Muththalib, -- pimpinan Quraisy yang mengharamkan minum khamar pada masa jahiliyyah, melarang anak-anaknya berbuat dzalim dan menganjurkan untuk selalu berperilaku baik, beriman atas adanya hari akhir dan di akhir hayatnya tidak mau menyembah berhala dan mengesahkan Tuhan Muhammad—adalah penganut taat agama Ibrahim.13 Dari sini bisa ditarik satu asumsi, bahwa penduduk Semenanjung Arabia adalah masyarakat agamis yang sungguhsungguh
dalam
persembahan,
dan
memegang
dan
mengutamakan
melaksanakan sebuah
ajarannya;
kebahagiaan
yang
disandarkan pada kepuasan Tuhan sesembahannya. Praktik ritual keagamaan menjadi bagian dari tradisi turun temurun, yang terus dilestarikan oleh anak keturunan mereka, bahkan sampai Islam datang. Dalamnya budaya "berketuhanan" menancap dalam sanubari bangsa keturunan ras Semit ini, menjadikan diri mereka seolah tanpa eksistensi, kecuali untuk Tuhan sesembahannya. Kepuasan mereka seolah bergantung pada kepuasan (baca: "Ridha") Tuhan yang mereka sembah. Pola hidup sebagai masyarakat yang agamis juga tampak dalam tingkah laku mereka sehari-hari, ketika terbentur masalah, memiliki hajat hidup yang melahirkan pilihan serba sulit, akan melaksanakan perjalanan, juga ketika memiliki hajat mengawinkan salah seorang anaknya, mereka menjalani semua dengan bersandar pada Tuhan, yang oleh akal primitif mereka, meminta bantua (wasilah) kepada seorang dukun/paranormal/al-Kahinun yang dianggap serba bisa dan mengetahui yang baik dan yang buruk. Bangsa Arab (sebagian masyarakat Makkah dan Madinah) adalah bangsa yang setia memegang
janji,
tidak
hanya
kepada
relasi
atau
Baca Khalil Abdul Karim, Hegemoni Quraisy, Agama, Budaya, dan Kekuasaan, op. cit., hlm. 38. 13
teman
|93
sepergaulannya, tetapi juga dengan dewa-dewa yang disembahnya. Kepribadian sebagai bangsa ber-Tuhan ini terus dipertahankan oleh generasi dan keturunan mereka, meski terjadi proses dinamika, seiring waktu dan interaksi budaya dengan masyarakat di sekitarnya. Kondisi yang demikian sangat sesuai dengan misi Nabi Muhammad, sebagaimana misi setiap Nabi dan rasul, yang diutus ke muka
bumi
untuk
menciptakan
komunitas
yang
"beriman",
menjunjung tinggi aspek moral, dan berbuat keadilan. Bagi orang yang beriman/beragama, puncak kebahagiaan, kepuasan, dan keselamatan adalah menuruti, atau melakukan sesuai perintah-Nya.14 Mereka yang telah melakukan segala ajaran dan perintah Allah adalah orang beriman dan Muslim. Paradigma ini sudah menjadi nalar Arab, dan menyatu dalam jiwa-jiwa mereka. Ini menjadi bukti, bahwa betapa agama menjadi suatu yang urgen bagi masyarakat Arab. Pemakaian redaksi al-Mukminin dan al-Muslimin merupakan cermin nalar bangsa Arab, budaya, dan kebiasaan sehari-hari, yaitu bangsa Arab yang agamais, yang bisa jadi mengalir dalam setiap gerak, dan fikiran yang tanpa mereka sadari. C. Mengobarkan Semangat Persatuan dan Kemajuan .ﻢ ﺍﻣﺔ ﻭﺍﺣﺪﺓ ﻣﻦ ﺩ ﻭﻥ ﺍﻟﻨﺎﺱﺍ (2) Sesungguhnya mereka adalah ummah (masyarakat, komunitas, civil) yang satu, yang lain dari umat manusia lainnya15
Dalam praktik kehidupan masyarakat Arab telah tertanam benih-benih budaya yang luhur serta potensi cara fikir yang maju, seperti ramainya aktifitas perdagangan, yang karena kemasyhurannya, dikenal bangsa-bangsa lain di sekitarnya. Yang terjadi di Makkah,
Lihat Ali Bulac, op. cit., hlm. 266. Zainal Abidin memberi sifat "bebas dari (pengaruh dan kekuasaan) manusia lainnya". 14 15
|94
misalnya, kota ini menjadi transit perdagangan Timur-Barat. Jalan keluar masuk dari dan ke Makkah melalui tiga jalur, sebelah selatan menuju Yaman, sebelah utara menuju Yatsrib, Palestina dan Syiria, dan sebelah barat menuju Laut Merah dan Jeddah. Posisi ini berpengaruh positif terhadap income ekonomi penduduk kota ini, yang aktifitas utamanya adalah dagang. Kafilah dagang mereka menjadi penghubung barang-barang perdagangan antara Timur–Barat. Mereka membeli barang-barang dari India dan Tiongkok di Yaman, kemudian menjualnya di Syria. Di kota ini, mereka membeli barang-barang yang bisa dijual di Makkah dan Yaman. Bisa dikatakan, tonggak ekonomi Makkah adalah perdagangan.16 Praktik kapitalis juga tumbuh subur di dalam kehidupan suku-suku Arab; praktik meraup keuntungan yang sebanyakbanyaknya, dengan cara apa saja dan tidak peduli dengan nasib yang menimpa orang lain. Sistem perbudakan adalah fakta historis yang sulit kita tampik kebenarannya. Nasib para budak yang tidak akan berubah, sementara di sisi lain, para tuan mereka hidup bergelimang dan bebas memperlakukan mereka semena-mena. Praktik ini berjalan sejak Islam belum lahir. Dan ketika Islam datang, sistem ini diperangi dengan anjuran pembebasan budak, dan di sisi Allah orang yang membebaskan budak dengan tujuan luhur mendapat "surga kekal". Riba juga menjadi sistem dalam perputaran uang dalam masyarakat ini. Semua budaya ini terlah bercokol sejak lama di kalangan masyarakat Arab. Mereka juga memiliki jiwa ramah, setia, namun 16 Aktifitas dagang orang-orang Arab (Quraisy) sudah sangat dikenal dunia luas, saat itu. Mereka membentuk "Sindikat Dagang Internasional", lihat Ali Romdhoni, Membangun Kemandirian Petani, dalam Surat Kabar Mahasiswa AMANAT Institut Agama Islam Negeri Walisongo, Edisi 105/Desember 2005, Semarang, 2005, hlm. 10-11. Bahkan Montgomery Watt menjuluki Makkah tidak hanya sebagai pusat perdagangan, tetapi pusat keuangan, lihat M. Zuhri, ibid., hlm. 15.
|95
sekaligus
garang
terhadap
lawan.
Sayangnya
mereka
mudah
terperangkap dalam jurang permusuhan dengan kawan sebangsa dan setanah kelahiran sendiri. Konflik ini, terkadang, terjadi karena faktor sepele. Di sisi lain, bangsa Arab hidup di antara hegemoni kekuasaan Romawi dan Persia; dan merasakan betapa secara psikologi mereka tertekan akibat peperangan yang tidak pernah berakhir kecuali dalam waktu yang lama. Mereka, secara politis, tidak berkepentingan dengan kondisi perpolitikan yang menimpa kedua bangsa tersebut. Benarkah kata ummah merujuk pada arti negara? Negara yang bermaksud "menjawab" hegemoni politik Romawi dan Persia? Kata ummah (bentuk tunggal) dan umam (bentuk jamak) berasal dari kata amma (berarti menuju, menjadi ikutan) secara leksikal mengandung beberapa arti, antara lain: pertama, al-Jama'ah yaitu suatu golongan manusia,17 kedua, setiap generasi manusia yang dinisbatkan (dibangsakan) kepada seorang nabi adalah umat yang satu, seperti umat Muhammad, beliau diutus kepada mereka (umatnya, kaumnya) baik yang mau beriman maupun yang ingkar, dan ketiga, setiap generasi manusia adalah umat yang satu. Arti lain kata ummah adalah al-Qashd (tujuan), yaitu tujuan jalan yang lurus (al-Qashd al-Thariq alMustaqim), al-Thariq (jalan), al-Hin (masa) yaitu suatu kurun dari manusia juga setiap jenis dari hewan selain Bani Adam, imam (ikutan), dan al-Qamah (menuju). Kata ummah (bentuk tunggal) di dalam al-Quran disebut sebanyak 53 kali, sedangkan umam (bentuk jamak) sebanyak 13 kali. Dalam al-Quran, kata ini digunakan untuk berbagai arti. Surah alMukminun: 52 (Makkiyyah), ﺪ ﹰﺓ ﺍ ِﺣﻣ ﹰﺔ ﻭ ﺱ ﺃﹸ ﺎﻛﹶﺎ ﹶﻥ ﺍﻟﻨ, kata ummah, oleh Mufassirin, dimaknai agama (millah), begitu dalam surah al-Baqarah/1: 213, ummah Lihat Louis Ma'luf, Qamus al-Munjid fi al-Lughah wa al-'Alam, Bairut, Libanon: Dar al Masyriq, 1987, hlm. 17. 17
|96
berarti agama. Ummah juga bermakna yang lain, seperti bintang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya (al-An'am/6: 38), berarti makhluk Jin (al-A'raf/7: 38, Fushshilat/41:25, dan al-Ahqaf/46: 18), imam (al-Nahl/16: 120), waktu (Hud/11: 28). Selain makna di atas, ummah juga mengandung arti golongan manusia yang diturunkan (kepada mereka ) seorang utusan, seperti surah alBaqarah/1: 128. Ali Syari'ati memaknai kata ummah dengan "jalan yang lurus", atau sekelompok manusia yang bersama-sama dan bermaksud menuju ke arah kebaikan, kemajuan (taqaddum). Dasar atau kesamaan yang mengikat sekelompok manusia ini, kata Ali Syari'ati, adalah aqidah.18 Jadi, kata ummah merujuk pada sebuah keinginan bersama untuk bangkit menuju arah kemajuan dan kebaikan, baik dalam kondisi sosial dan budaya, maupun religiusitas atau pemahaman dan praktek keagamaan. Ini karena mereka terpuruk dari sisi kedua hal tersebut. Secara sosio kultur, mereka hidup dengan sistem organiasi kemasyarakat yang didasarkan pada ikatan darah (ashabiyyah). Struktur sosial seperti ini tidak pernah menguntungkan bagi siapa pun dan bangsa mana pun. Karena kelompok mereka tercerai-berai menjadi banyak bagian. Mereka juga terjebak pada sentimen suku yang berlebihan. Mereka menemukan sosok musuh dalam diri teman mereka, sebangsa dan setanah kelahiran sendiri. Yang lebih fatal lagi, mereka tidak memiliki rasa nasionalisme dan ideologi persatuan untuk menghalau serangan musuh, dalam bentuk apa pun, termasuk hegemoni. Semetara dari sisi kepercayaan, keagamaan, akidah, dan keimanan, mereka, akal primitif mereka, tidak mampu menjangkau hal Lihat Ali Syari'ati, Ummah dan Imamah, terj. Muhammad Faishol Hasanuddin, Jakarta: Yapi, 1990, hlm. 36. 18
|97
yang transenden, selain penghambaan kepada satu hal yang nyata (tangible thing), Tuhan mereka berbentuk, seperti, patung, dan lain sebagainya). Mereka kehilangan kepekaan sebagai makhluk sosial, jiwa individualis begitu kuat mengendalikan egonya. Yang ada dalam jiwa mereka hanyalah keinginan untuk menghabisi orang yang dianggap lawan, untuk meraup keuntungan pribadi. Kondisi yang seperti ini, diperlukan nasionalisme dan ideologi "persatuan Arab". Hal ini masih harus ditambah dengan reformasi paradigma dan cara memahami agama yang dianut. Akal yang hanya berhenti kepada hal yang nampak bisa dikatakan tidak memiliki kecerdasan spiritual, yang hanya bisa ditangkap melalui rasa. Di sini, Nabi (orang yang bertanggungjawab penuh atas gagasan perjanjian tertulis) menjatuhkan pilihan pada aqidah. Aqidah dijadikan ideologi, pengganti ideologi mereka sebelumnya, ashabiyyah. Aqidah dijadikan sabuk pengikat kelompok manusia lintas suku, ras, keturunan, dan kebangsaan, namun tetap dalam satu iman; untuk menciptakan kebaikan di muka bumi serta menyembah kepada Allah. Dengan berbekal aqidah dan keimanan mereka saling mengasihi, menyayangi, dan saling menolong. Yang terjadi di sini berbeda dengan budaya (di Jazirah) Arab sebelumnya, yang berkelompok berdasarkan suku dan keluarga (ashabiyyah, fanatisme kesukuan). Juga beda dengan budaya di Syiria yang berkelompok berdasarkan kewarganegaraan, dan di Byzantine Empire, yang berkelompok berdasarkan agama (Kristen).19 Pilihan Aqidah sebagai tali persatuan adalah melangkahi budaya yang ada di mana pun, saat itu. Apa bila "proyek" ini berhasil, tentu akan dapat mengimbangi, bahkan mengungguli peradaban di sekitarnya. Termasuk hegemoni Romawi dan Persia. Akram Diyauddin Umari, Madinan Society at the Time of the Prophet: Its Characteristic and Organization, hlm. 87. 19
|98
Menurut Georg Wilhelm Friedrich Hegel dalam The Philosophy of History-nya, manusia merupakan tujuan eksistensi bagi dirinya sendiri, dalam kaitannya dengan makna intrinsik tujuan tersebut. Artinya, manusia memiliki kekuatan (kebebasan) untuk menentukan diri sendiri. Agama, Etika, Moralitas, dan sebagainya, dasar dan sumbernya adalah prinsip tersebut. Para individu, sejumlah kebebasan mereka, bertanggungjawab atas kerusakan dan kelemahan moral dan agama. Ini adalah tanda martabat manusia yang mutlak dan luhur, bahwa manusia mengetahui apa yang baik dan apa yang buruk. Martabat manusia adalah kemampuannya untuk menghendaki yang baik dan yang buruk. Pendek kata, dia adalah pelaku kesalahan moral, dan kesalahan bukan hanya karena kejahatan, melainkan juga karena kebaikan. Juga bukan hanya dalam kaitannya dengan masalah ini atau itu, dan segala sesuatu yang terjadi ab extra, melainkan juga kebaikan dan kejahatan yang terikat dengan kebebasan individualnya. Adapun yang membentuk pengetahuan (dalam bahasa Hegel Ideal Rasio) adalah personalitas itu sendiri, keinginan manusia, subjektivitas umum. Dalam pengetahuan dan kemauan manusia, karena unsur materialnya, Rasio mencapai eksistensi positif. Tujuan kemauan subjektif adalah kebenaran, dan hakekatnya adalah realitas, yang merupakan nafsu besar sejarah dunia. Karena kehendak subjektif bekerja dengan nafsu yang terbatas, ia tergantung, dan dapat memenuhi keinginanya hanya dalam batas ketergantunagn ini. Namun, kehendak subjektif juga memiliki hidup substansial --sebuah realitas—ia bergerak di dalam kawasan ada hakiki, dan yang hakiki itu sendiri menjadi tujuan eksistensinya. Ada yang hakiki merupakan kesatuan antara kehendak yang subjektif dengan yang rasional: merupakan keseluruhan moral, Negara, yang merupakan bentuk realitas yang di situ individu memiliki dan menikmati kebebasannya;
|99
namun dalam kondisi pengenalannya, dan kemauannya yang umum bagi keseluruhan. Hukum, moralitas, dan pemerintah merupakan realitas positif dan kebebasan yang sepenuhnya. Kemauan subjektif (nafsu) adalah
yang
mendorong
manusia
melakukan
kegiatan,
yang
mempengaruhi realits "praktis". Ide merupakan sumber batin perbuatan; Negara merupakan kehidupan moral yang ada secara aktual, yang terrealisasikan. Karena ia merupakan kesatuan antara kehendak universal, yang hakiki dengan yang individual; dan ini adalah "moralitas". Hukum moralitas tidak bersifat kebetulan, melainkan pada dasarnya bersifat Rasional. Ia merupakan tujuan Negara yang sangat penting dalam aktivitas praktis manusia, dan di dalam penyusunannya, sepatutnyalah dikenali, bahwa ia akan memiliki
eksistensi
yang
maujud,
dan
mempertahankan
kedudukannya. Negara merupakan realisasi kebebasan, yaitu tujuan akhir mutlak, dan bahwa negara itu ada demi dirinya sendiri. Selanjutnya harus dimengerti bahwa semua nilai yang dimiliki umat manusia – semua realitas spiritual, dimiliki hanya melalui negara. Karena realitas spiritualnya terkandung di sini, sehingga hakikatnya sendiri –Rasio— hadir secara objektif untuk negara, sehingga rasio memiliki eksistensi langsung bagi negara. Jadi, hanya negara yang sadar sepenuhnya; hanya negara yang menjadi pelaku moralitas –kehidupan berkeadilan, kehidupan sosial moral dan kehidupan politik. Karena Kebenaran adalah kesatuan antara kehendak yang universal dan yang subjektif; dan yang Universal ditemukan di dalam Negara, di dalam hukumnya, ketetapan universal dan rasionalnya.20 Lihat Georg Wilhelm Friedrich Hegel, The Philosophy of History (Filsafat Sejarah), terj. Cuk Ananta Wijaya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002, hlm. 47-54. 20
|100
Jadi, yang perlu ditekankan di sini, kata ummah bukan merujuk pada makna bangsa atau negara, tetapi sebuah "komunitas" yang bersama-sama mengidentifikasi diri dan berkeinginan kuat untuk bangkit menuju arah kemajuan dan kebaikan, baik dalam kondisi sosial dan budaya, maupun religiusitas (pemahaman dan praktek) keagamaan. Kalaupun ternyata di masa sesudahnya, generasi pasca Nabi maupun al-Khulafa' al-Rasyidin, lahir sebuah pemerintahan, itu merupakan sesuatu alamiah, sebagaimana pendapat Hegel, bahwa ketika ideologi, pengetahuan, dan kebenaran telah ada, dengan sendirinya,
membutuhkan
piranti
untuk
melanggengkan
Rasio/pengetahuan itu; sebuah Negara. D. Moral dan Keadilan, Fondasi Pluralisme, Budaya dan Hukum Dalam kehidupan bangsa Arab belum berlaku sistem kesatuan "pemerintahan" atau "negara", yang dengan hukum dan undang-undangnya,
berfungsi
mengayomi
seluruh
masyarakat
Semenanjung Arabia. Organisasi sosial kemasyarakatan yang lazim berlaku di antara mereka berbentuk suku (marga, clan), yang berdasarkan ikatan darah atau keluarga. Struktur sosial yang sempit seperti ini menjadikan mereka rawan perselisihan, karena terlibat persaingan antar suku. Akibatnya, mereka gagal menciptakan persatuan sebagai ideologi dan nasionalisme. Struktur sosial yang seperti ini pula, menjadikan setiap suku memiliki aturan dan undangundang yang berfungsi sebagai aturan mengikat bagi seluruh anggota di komunitasnya, juga mengatur hubungan anggota kelompok tersebut dengan anggota/kelompok lain. Persaingan antar kelompok sedemikian tinggi, sehingga kelompok lain lebih diposisikan/ dianggap sebagai musuh dari pada stakeholder, kolega, atau teman dalam hubungan niaga.
|101
Pasal-pasal di bawah ini merupakan rumusan yang mengatur dan menetapkan adat, budaya, dan kebiasaan (tradisi, konvensi) masyarakat Madinah sebagai bagian hukum yang hidup. . ﺑﺎﳌﻌﺮﻭﻑ ﻭﺍﻟﻘﺴﻂ ﺑﲔ ﺍﳌﺆﻣﻨﲔ22 ﻭﻫﻢ ﻳﻔﺪﻭﻥ ﻋﺎﻧﻴﻬﻢ, ﺑﻴﻨﻬﻢ, ﻳﺘﻌﺎﻗﻠﻮﻥ21ﺍﳌﻬﺎﺟﺮﻭﻥ ﻣﻦ ﻗﺮﻳﺶ ﻋﻠﻰ ﺭﺑﻌﺘﻬﻢ (3) Muhajirin Quraisy tetap mengikuti adat-istiadat/kebiasaan23 yang baik24 yang berlaku di kalangan mereka, mereka bersama-sama membayar dan menerima tebusan darah (diyah) mereka, dan menebus tawanan mereka dengan baik dan adil yang umum di kalangan orang-orang beriman
. ﺑﺎﳌﻌﺮﻭﻑ ﻭﺍﻟﻘﺴﻂ ﺑﲔ ﺍﳌﺆﻣﻨﲔ26 ﻛﻞ ﻃﺎﺋﻔﺔ ﺗﻔﺪﻯ ﻋﺎﻧﻴﻬﺎ, ﺍﻻﻭﱃ25ﻭﺑﻨﻮ ﻋﻮﻑ ﻋﻠﻰ ﺭﺑﻌﺘﻬﻢ ﻳﺘﻌﺎﻗﻠﻮﻥ ﻣﻌﺎﻗﻠﻬﻢ (4) Bani Auf (dari Yatsrib) tetap menurut adat kebiasaan baik mereka yang berlaku, mereka membayar dan menerima tebusan darah mereka, dan setiap golongan menebus tawanan-tawanan mereka dengan baik dan adil yang umum di kalangan orang-orang beriman
. ﻭﻛﻞ ﻃﺎﺋﻔﺔ ﺗﻔﺪﻯ ﻋﺎﻧﻴﻬﺎ ﺑﺎﳌﻌﺮﻭﻑ ﻭﺍﻟﻘﺴﻂ ﺑﲔ ﺍﳌﺆﻣﻨﲔ,ﻭﺑﻨﻮ ﺳﺎﻋﺪﺓ ﻋﻠﻰ ﺭﺑﻌﺘﻬﻢ ﻳﺘﻌﺎﻗﻠﻮﻥ ﻣﻌﺎﻗﻠﻬﻢ ﺍﻻﻭﱃ (5) Bani Sa’idah tetap menurut adat kebiasaan baik mereka yang berlaku, mereka membayar dan menerima tebusan darah mereka, dan setiap golongan menebus tawanan-tawanan mereka dengan baik dan adil yang umum di kalangan orang-orang beriman
. ﻭﻛﻞ ﻃﺎﺋﻔﺔ ﺗﻔﺪﻯ ﻋﺎﻧﻴﻬﺎ ﺑﺎﳌﻌﺮﻭﻑ ﻭﺍﻟﻘﺴﻂ ﺑﲔ ﺍﳌﺆﻣﻨﲔ,ﻭﺑﻨﻮ ﺍﳊﺎﺭﺙ ﻋﻠﻰ ﺭﺑﻌﺘﻬﻢ ﻳﺘﻌﺎﻗﻠﻮﻥ ﻣﻌﺎﻗﻠﻬﻢ ﺍﻻﻭﱃ (6) Bani al-Harits (Ibn al Khazraj) tetap menurut adat kebiasaan baik mereka yang berlaku, mereka membayar dan menerima tebusan darah mereka, dan setiap golongan menebus tawanan-tawanan mereka dengan baik dan adil yang umum di kalangan orang-orang beriman
. ﻭﻛﻞ ﻃﺎﺋﻔﺔ ﺗﻔﺪﻯ ﻋﺎﻧﻴﻬﺎ ﺑﺎﳌﻌﺮﻭﻑ ﻭﺍﻟﻘﺴﻂ ﺑﲔ ﺍﳌﺆﻣﻨﲔ,ﻭﺑﻨﻮ ﺟﺸﻢ ﻋﻠﻰ ﺭﺑﻌﺘﻬﻢ ﻳﺘﻌﺎﻗﻠﻮﻥ ﻣﻌﺎﻗﻠﻬﻢ ﺍﻻﻭﱃ (7) Bani Jusyam tetap menurut adat kebiasaan baik mereka yang berlaku, mereka membayar dan menerima tebusan darah mereka, dan setiap golongan menebus tawanan-tawanan mereka dengan baik dan adil yang umum di kalangan orang-orang beriman
Dalam Sirah Ibnu Hisyam diterangkan: ﺍﳊﺎﻝ ﺍﻟﱵ ﺟﺎﺀ ﺍﻻﺳﻼﻡ ﻭﻫﻢ ﻓﻴﻬﺎ:ﺍﻟﺮﺑﻌﺔ Sebagaimana dalam Sirah Ibnu Hisyam, ﺍﻻﺳﲑ: ﺍﻟﻌﺎﱐyaitu tawanan. 23 Zainal Abidin memaknainya hak asli (former condition). 24 Kitab (perjanjian) ini ditandatangani/digaransi oleh Rasulullah, sudah pasti adat yang dimaksud adalah kebiasaan baik dalam rangka menciptakan satu ummah yang sejaahtera, sesuai missi Rasul. Sementara Suyuthi mengikuti Ibn Hisyam, adat kebiasaan yang Islam tidak melarangnya. 25 Dalam Sirah Ibnu Hisyam, . ﻣﻌﻘﻠﺔ: ﺍﻟﻮﺍﺣﺪﺓ. ﺍﻟﺪﻳﺎﺕ: ﺍﳌﻌﺎﻗﻞ 26 D alam Sirah Ibnu Hisyam, ﺍﻻﺳﲑ: ﺍﻟﻌﺎﱐyaitu tawanan. 21 22
|102
. ﻭﻛﻞ ﻃﺎﺋﻔﺔ ﺗﻔﺪﻯ ﻋﺎﻧﻴﻬﺎ ﺑﺎﳌﻌﺮﻭﻑ ﻭﺍﻟﻘﺴﻂ ﺑﲔ ﺍﳌﺆﻣﻨﲔ,ﻭﺑﻨﻮ ﺍﻟﻨﺠﺎﺭ ﻋﻠﻰ ﺭﺑﻌﺘﻬﻢ ﻳﺘﻌﺎﻗﻠﻮﻥ ﻣﻌﺎﻗﻠﻬﻢ ﺍﻻﻭﱃ (8) Bani al Najjar tetap menurut adat kebiasaan baik mereka yang berlaku, mereka membayar dan menerima tebusan darah mereka, dan setiap golongan menebus tawanan-tawanan mereka dengan baik dan adil yang umum di kalangan orang-orang beriman
. ﻭﻛﻞ ﻃﺎﺋﻔﺔ ﺗﻔﺪﻯ ﻋﺎﻧﻴﻬﺎ ﺑﺎﳌﻌﺮﻭﻑ ﻭﺍﻟﻘﺴﻂ ﺑﲔ ﺍﳌﺆﻣﻨﲔ,ﻭﺑﻨﻮ ﻋﻤﺮﻭ ﺑﻦ ﻋﻮﻑ ﻋﻠﻰ ﺭﺑﻌﺘﻬﻢ ﻳﺘﻌﺎﻗﻠﻮﻥ ﻣﻌﺎﻗﻠﻬﻢ ﺍﻻﻭﱃ (9) Bani Amr bin Auf tetap menurut adat kebiasaan baik mereka yang berlaku, mereka membayar dan menerima tebusan darah mereka, dan setiap golongan menebus tawanan-tawanan mereka dengan baik dan adil yang umum di kalangan orang-orang beriman
. ﻭﻛﻞ ﻃﺎﺋﻔﺔ ﺗﻔﺪﻯ ﻋﺎﻧﻴﻬﺎ ﺑﺎﳌﻌﺮﻭﻑ ﻭﺍﻟﻘﺴﻂ ﺑﲔ ﺍﳌﺆﻣﻨﲔ,ﻭﺑﻨﻮ ﺍﻟﻨﺒﻴﺖ ﻋﻠﻰ ﺭﺑﻌﺘﻬﻢ ﻳﺘﻌﺎﻗﻠﻮﻥ ﻣﻌﺎﻗﻠﻬﻢ ﺍﻻﻭﱃ (10) Bani al-Nabit tetap menurut adat kebiasaan baik mereka yang berlaku, mereka membayar dan menerima tebusan darah mereka, dan setiap golongan menebus tawanan-tawanan mereka dengan baik dan adil yang umum di kalangan orang-orang beriman
. ﻭﻛﻞ ﻃﺎﺋﻔﺔ ﺗﻔﺪﻯ ﻋﺎﻧﻴﻬﺎ ﺑﺎﳌﻌﺮﻭﻑ ﻭﺍﻟﻘﺴﻂ ﺑﲔ ﺍﳌﺆﻣﻨﲔ,ﻭﺑﻨﻮ ﺍﻻﻭﺱ ﻋﻠﻰ ﺭﺑﻌﺘﻬﻢ ﻳﺘﻌﺎﻗﻠﻮﻥ ﻣﻌﺎﻗﻠﻬﻢ ﺍﻻﻭﱃ (11) Bani al-Aus tetap menurut adat kebiasaan baik mereka yang berlaku, mereka membayar dan menerima tebusan darah mereka, dan setiap golongan menebus tawanan-tawanan mereka dengan baik dan adil yang umum di kalangan orang-orang beriman
Ketika Nabi datang pertama kali di Yatsrib, kota ini dihuni oleh masyarakat multi etnis dengan keyakinan agama yang beragam. Intelektual Muslim Turki, Ali Bulac (lahir 1951), dalam buku Liberal Islam-nya Charles Kurzman, membagi kelompok sosial utama di Madinah pasca hijrah, menjadi tiga kelompok besar, pertama, kaum Muslim, kedua, kaum Yahudi, dan ketiga kaum Musyrik Arab. Kelompk Muslim terdiri dari orang-orang Muhajirin (pengungsi yang berasal dari Makkah) dan orang-orang Anshar (secara harfiah berarti “para penolong”, yaitu orang-orang Madinah yang menerima Islam). Kelompok Anshar merupakan gabungan dari suku Auz dan Khazraj.27 Sedikit berbeda dengan Bulac, Hasan Ibrahim (dalam Suyuthi Pulungan), membagi penduduk Madinah pasca hijrah menjadi empat 27
Ali Bulaca, op. cit., hlm. 264.
|103
kelompok. Pertama, kelompok Muhajirin, kedua, Anshar, ketiga, kaum munafik dan musyrik, dan keempat, kaum Yahudi yang tinggal di Madinah. Muhammad Zafrullah Khan juga menyebut empat golongan dengan rumusan yang berbeda, yaitu pertama, kaum Muslim (terdiri dari Muhajirin dan Anshar). Kedua, golongan Aus dan Khazraj yang keislamannya masih dalam tingkat nominal, bahkan ada yang secara rahasia memusuhi Nabi. Ketiga, golongan Auz dan Khazraj yang masih menganut paganisme, tetapi dalam waktu yang singkat menjadi Muslim. Dan keempat, Yahudi (terdiri dari tiga suku utama, Qainuqa’, Nadzir, dan Quraidhah)28 Emile Dermenghem juga membagi penduduk Madinah ke dalam empat golongan, yaitu Muhajirin, Anshar, kaum munafiq (suku-suku pagan, musyrik), dan Yahudi.29 Sedangkan Syed Amir Ali hanya menyebut tiga golongan saja, tetapi mengandung maksud yang sama dengan pendapat di atas. Yaitu Muhajirin dan Anshar, munafik, dan Yahudi. Madjid Khadduri, George E. Kerk, dan Ahmad A. Galwash hanya menyebut tiga golongan tanpa menyebut golongan munafik (Muhajirin, Anshar, dan Yahudi). Galwash memasukkan kaum munafik ke dalam kaum Anshar. Kaum munafik berada di bawah pimpinan ‘Abdullah bin Ubay bin Salul yang memiliki cara berfikir dan bertindak sendiri, dan mereka hanya berpura-pura masuk Islam karena masih suka menyembah berhala.30 Bouquet menyebut tiga golongan (Muhajirin, Anshar, dan munafik) tanpa menyebut kaum Yahudi. Alasan dia, orang-orang Yahudi maupun Kristen menganggap risalah Muhammad tidak baru, dan Muhammad
28 29
Suyuthi Pulungan, op. cit., hlm. 54. Zainal Abidin Ahmad, Piagam Nabi Muhammad, Jakarta: Bulan Bintang,
1973, hlm. 93. 30
Dalam Suyuthi Pulungan, op. cit., hlm. 56.
|104
bukanlah pelopor agama yang murni.31 Al Quran juga menyinggung tentang penduduk Madinah yang terdiri dari berbagai kelompok keyakinan. Surah al Taubah/9 ayat 100 dan 117 menyebut kaum Muhajirin dan Anshar, dan ayat 101 menyebut adanya golongan munafik di sekitar mereka. Sedangkan Yahudi, Nasrani, dan musyrik (baik yang tinggal di Madinah maupun di sekitarnya) disebut dalam surah al Ma’idah/5: 82. Dari pendapat-pendapat tersebut bisa diambil kesimpulan, penduduk Madinah pasca hijrah adalah pertama, kaum Arab Madinah yang telah masuk Islam (Anshar). Kedua, Muslim Arab Makkah yang datang ke Madinah (Muhajirin). Ketiga, orang Arab Madinah penganut paganisme. Keempat, golongan munafik. Kelima, Yahudi yang terdiri dari berbagai suku, baik bangsa Yahudi (asli) maupun Arab yang menjadi orang Yahudi. Keenam, penganut Kristen minoritas.32 Komposisi atau struktur masyarakat Madinah yang heterogen (berbeda-beda jenis, beraneka ragam) ini tetap dijaga (dibiarkan) Nabi,33 bahkan sampai dia menjadi orang berpengaruh atau orang nomor satu di Madinah.34 Struktur masyarakat yang seperti ini tentu memiliki potensi konflik yang tinggi. Dan memang demikian yang terjadi, sejak sebelum kedatangan
Nabi
di
Madinah,
pluralitas
dan
kemajemukan
Lihat Zainal Abidin Ahmad, Piagam Nabi Muhammad, Jakarta: Bulan Bintang, 1973, op. cit., hlm. 94-95. Pendapat ini disanggah Suyuthi Pulungan, menurutnya dalam teks Piagam Madinah dengan jelas disebutkan bahwa beberapa golongan Yahudi disebut sebagai bagian dari orang mukmin. Lebih detail, lihat Suyuthi, op. cit., hlm. 56. 32 Baca Suyuthi Pulungan, op. cit., hlm. 57. 33 Heterogenitas penduduk Madinah adalah dalam hal etnis dan bangsa, asal daerah, ekonomi, agama dan keyakinan, serta adat istiadat. Wajar apa bila karena perbedaan ini membuat mereka memiliki cara pandang (karakter baik sebagai individu maupun kelompok/masyarakat) yang beragam dalam memaknai tindakan dan hidup mereka. 34 Lihat Suyuthi Pulungan, op. cit., hlm. 61. 31
|105
masyarakat kota ini tidak membawa keindahan, sebagai wilayah yang kaya akan keragaman budaya. Antara satu golongan dengan golongan lainnya justru terlibat dalam permusuhan. Tugas Nabi, sebagai tokoh yang didaulat menjadi pemimpin baru di Madinah, tentu sangat berat. Karena Nabi harus merumuskan konsep hidup berdampingan dengan tetap memberi kesempatan setiap elemen masyarakat, suku, dan bahkan agama, untuk hidup dan apa adanya. Meminjam bahasa Ali Bulac, you are what you are, kamu adalah apa adanya kamu. Sembilan pasal di atas, menyebut/mengakui eksistensi adat dan budaya yang berlaku dalam kehidupan suku-suku (yang menjadi) anggota perjanjian. Budaya yang hidup, dan hukum, yang menjadi aturan main (code of conduct) dalam kehidupan sehari-hari di dalam kelompok tidak serta merta dihapus, bahkan diakui keberadaannya, dan dilindungi. Namun, hanya adat budaya yang mendasarkan pada kebaikan, keadilan, dan lazim di kalangan orang yang berimanlah yang mendapat jaminan. Ini menegasikan budaya yang merusak dan yang mengancam terciptanya tatanan sosial yang cita-citakan kesatuan masyarakat tersebut. Selain itu, menyampaikan ajaran keagamaan yang inti pesannya moral, keimanan, dan hukum, adalah menjadi misi setiap Nabi dan Rasul, dan Muhammad adalah salah satu di antara Nab dan Rasul itu. Di antara adat yang dilindungi eksistensinya, serta diberi porsi lebih (dengan disebit atau dicantumkan secara langsung) dalam teks perjanjian ini adalah hukum/kebiasaan membayar tebusan darah. Bagi masyarakat keturunan ras Semit ini, persoalan nyawa adalah hal terpenting yang menyangkut harga diri. Konflik yang timbul karena kasus kriminal (pembunuhan) ini bisa berlarut-larut hingga dalam waktu yang lama. Penyebutan ini menegaskan perlunya aturan itu, dengan mendasarkan pada keadilan dan adat yang layak bagi orang
|106
beriman. Titik tekannya pada predikat keimanan. Artinya, kebiasaan itu masih bisa dipertahankan sejauh masih dalam batas-batas perilaku seorang beriman, dan tidak berlebihan dalam membalas (meminta tebusan) darah/kematian. Sementara dalam adat yang berlaku sebelumnya, dendam tidak pernah berkesudahan. Berlarut-larut dan terus diwarisi generasi sesudahnya. Mereka tidak memiliki wakti dan tenaga untuk mengurusi pekerjaan lain selain urusan dengan suku lain. Hal ini tentu menjadi
perhatian
Nabi,
bagaimana
faktor
yang
menjadikan
masyarakat ini rapuh, dirombak sehingga tatanan baru yang lebih baik terwujud. Artinya, dengan aturan main yang baru ini, diharapkan masyarakat Arab bisa menjadi kelompok kesatuan yang lebih baik. E. Persatuan dan Kebersamaan Menggantikan Ashabiyyah Pasal-pasal di bawah ini menekankan persatuan dan kebersamaan
sebagai
ideologi/dasar,
yang
melandasi
setiap
keputusan dan tindakan. Tetapi, secara spesifik, pasal demi pasal akan menjelaskan peraturan sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan dan kondisi budaya saat itu. Misalnya, masalah rasa sepenanggungan dan bantu membantu dalam meringankan beban sesama Mukmin, ketika tertimpa beban menanggung biaya tebusan darah, masalah aturan dalam menjalin persekutuan dengan kelompok lain. Tetapi sekali lagi, predikat Mukmin masih menjadi tali pengikat dengan semua aturan itu. . ﺑﻴﻨﻬﻢ ﺍﻥ ﻳﻌﻄﻮﻩ ﺑﺎﳌﻌﺮﻭﻑ ﰲ ﻓﺪﺍﺀ ﺍﻭ ﻋﻘﻞ35) ﺍ ( ﻭﺍﻥ ﺍﳌﺆﻣﻨﲔ ﻻﻳﺘﺮﻛﻮﻥ ﻣﻔﺮﺣﺎ (12 a) Sesungguhnya orang–orang yang beriman tidak akan melalaikan tanggung-jawabnya untuk memberi sumbangan bagi orang-orang (di antara mereka) yang terbebani hutang karena membayar uang tebusan darah (diyah) dengan baik dan adil
35
Dalam Sirah Ibn Hisyam dijelaskan . "ﻣﻔﺮﺟﺎ" ﻭﻫﻮ ﲟﻌﲎ ﺍﳌﻔﺮﺡ ﺑﺎﳊﺎﺀ ﺍﳌﻬﻤﻠﺔ:ﻭﻳﺮﻭﻱ
|107
Sebelum masa Islam, kebiasaan yang berlaku di kalangan masyarakat Arab, tindakan/ kesalahan personal (anggota sebuah suku) ditimpakan atau menjadi tanggungan suku (lembaga) di mana dia beraviliasi. Konsekuensi dari aturan ini, sesama anggota sebuah suku wajib membela personal yang berada dalam ancaman kelompok lain ketika dia berbuat kesalahan, sekalipun orang tadi memang bersalah dan patut mendapat hukuman dari suku yang merasa dirugikan. Akibatnya, seorang akan dengan enaknya berbuat onar di luar kelompoknya, karena merasa terlindungi dan mendapat backing gengnya. Permusuhan pribadi dengan sendirinya menjadi konflik terbuka antar suku, dan seterusnya. Salah satu cara untuk menghentikan kebiasaan pertempuran di antara suku adalah membuat peraturan baru, bahwa kesalahan pribadi menjadi tanggungjawab pribadi, sehingga orang tidak seenaknya melakukan kesalahan, meskipun memiliki kelompok kuat. Karena tidak ada jaminan bahwa setiap tindakan yang dilakukan setiap person dengan otomatis didukung suku. Hal yang menjadi patokan kemudian, adalah benar dan tidaknya dia dalam masalah tersebut. Artinya, ketika dia berada di posisi benar, hukum akan melindunginya, dan sebaliknya, ketika seseorang memang terbukti melakukan kesalahan, hukum akan mengadili. Jadi bukan suku yang asal membela, bahkan ketika dalam posisi salah sekalipun. Tetapi benar dan tidaknya di hadapan hukum. Pasal ini merespon aturan baru tersebut; bahwa kesalahan personal menjadi tanggung jawab pribadi. Karena masyarakat sudah terbiasa tidak menanggung denda pembunuhan sendiri, tetapi menjadi tanggungan suku, ada semaca keberatan ketika kesalahan harus diselesaikan sendirian tanpa sokongan suku. Inilah yang menjadi pokok pesan pasal ini. Diktum ini menyatakan, bahwa rang-
|108
orang beriman memiliki rasa kebersamaan yang kuat, sehingga tidak perlu khawatir, ketika terdapat masalah orang-orang mukmin akan diam saja. Asalkan orang tersebut dalam posisi benar dan tidak melanggar hukum. Dengan aturan ini, diharapkan masyarakat memahami bahwa ketika perbuatan pribadi menjadi resiko pribadi, akan lahir sikap hati-hati dalam setiap tindakan dan keputusan, lebih memungkinkan
terciptanya
kemaslahatan
dan
keadilan.
Serta
meyakinkan, bahwa di kalangan Mukmin juga ada rasa solidaritas yang tinggi. .)ﺏ( ﻭﺍﻥ ﻻﳛﺎﻟﻒ ﻣﺆﻣﻦ ﻣﻮﱃ ﻣﺆﻣﻦ ﺩﻭﻧﻪ (12 b) Orang Mukmin tidak boleh mengadakan persekutuan/aliansi dengan mawla36 dari kalangan Mukmin lain
Sebagaimana dijelaskan di atas, masyarakat Makkah, sebagai bagian dari bangsa Arab, dikenal memiliki rasa solidaritas yang tinggi, yang menumbuhkan sikap loyal kepada kesatuan sukusuku mereka. Kecenderungan mereka disebut Ashabiyyah, semangat yang
rentan
dapat
menimbulkan
chauvinisme,
memandang
orang/suku lain sebagai musuh. Setiap suku merasa yakin bisa hidup sendiri tanpa membutuhkan suku lain. Kondisi ini menjadikan hubungan harmonis antara satu suku dengan suku lain nyaris tidak ada. Mereka saling menyimpan dendam. Faktor ini pula yang mengakibatkan sering terjadi permusuhan atau peperangan antar suku.37 Semangat permusuhan masyarakat Arab ini terrekam dalam salah satu syair Arab kuno.
36 Mawla: orang yang sudah diikat dengan tali persaudaraan. Lihat Ali Bulac (Charles Kurzman: editor), Liberal Islam, edisi Indonesia, hlm. 269. 37 Peperangan paling masyhur di kalangan Arab jahiliyyah adalah perang Busus, antara suku Bakar dan Taghlib di Timur Laut Arabia. Kemudian perang Dahis, dan al-Ghubra, yaitu perang antara dua pimpinan suku ini di Arabia Tengah, masing-masing berlangsung 40 tahun karena masalah sepele. Perang Fijar, yaitu perang antara suku-suku di Hijaz yang berlangsung selama 4 tahun. Peperangan
|109
ﻭﻣﻦ ﱂ ﻳﺬﺩ ﻋﻦ ﺣﻮﺿﻪ ﺑﺴﻼﺣﻪ – ﻳﻬﺪﻡ ﻭﻣﻦ ﻻﻳﻈﻠﻢ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻳﻈﻠﻢ Siapa yang tidak mempertahankan sumurnya dengan senjatanya, ia akan dirobohkan. Dan siapa yang tidak menganiaya (orang lain), ia akan dianiaya.38 Syair ini mengingatkan sebuah tradisi, yang di Indonesia, dikenal dengan "hukum rimba". Dua pilihan yang harus diambil, membunuh atau dibunuh. Memangsa atau dimangsa. Semangat Ashabiyyah juga bedampak pada sikap exclusive terhadap suku lain. Akibatnya, mereka mudah sekali terpecah-belah. Masing-masing suku tidak mempunyai keprihatinan sosial terhadap nasib suku lain. Struktur yang seperti ini menjadikan masyarakatnya terbagai menjadi banyak dan dengan jumlah yang relatif kecil. Efek lain adalah mereka tidak bisa membuat prestasi besar kecuali yang berhubungan dengan kepentingan sentimen keluarga dan seputarnya. Ada yang perlu dimiliki masyarakat ini, apa bila Arabia ingin besar dan setarap dengan bangsa-bangsa di sekitarnya, yaitu ideologi persatuan yang lebih makro. persatuan yang diikat oleh hal yang lebih universal dibanding ikatan darah. Bentuknya tentu bisa wilayah yang luas (bangsa), agama, dan lain sebagainya. Menurut
Suyuthi
Pulungan, pada masa Nabi, sifat tersebut bisa hilang. Tetapi setelah beliau wafat semangat Ashabiyyat tumbuh kembali.39 Nabi (Islam) dalam konteks ini mendasarkan ikatan pada keimanan, aqidak, dan kesamaan visi untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik. Pasal ini merespon, bahwa budaya ashabiyyah masih kental. Apa bila dibiarkan berkoalisi, mengancam terciptanya sebuah masyarakat besar yang cita-citakan. Persekutuaan umat Mukmin adalah satu, artinya tidak ada persekutuaan dalam persekutuan antara suku ini dikenal dengan istilah Ayyam al-Arab (The Days of the Arabian). Cerita lebih detail, baca Suyuthi Pulungan, op. cit., hlm. 40-41. 38 al-Iskandari dan Anani, dalam Suyuthi Pulungan, op. cit., hlm. 42. 39 Lihat catatan Suyuthi Pulungan, ibid., hlm. 42.
|110
(Mukim yang satu), dengan sendirinya Mukminin adalah bersahabat, bersatu, dan memiliki satu sama lainnya. Persekutuan di antara "kelompok" dalam "kelompok" hanya menimbulkan kecurigaan dan rasa iri, yang pada gilirannya menimbulkan perpecahan. Itu kenapa persekutuan di antara Mukminin harus melalui prosedur tertentu. Di antaranya diketahui Mukmin lainnya. Selain itu, dikhawatirkan dari persekutuan kecil, nantinya menimbulkan tindakan makar dan penghianatan dari dalam. ﻭﺍﻥ ﺍﻳﺪﻳﻬﻢ ﻋﻠﻴﻪ, ﺍﻭﻓﺴﺎﺩ ﺑﲔ ﺍﳌﺆﻣﻨﲔ, ﺍﻭﻋﺪﻭﺍﻥ, ﺍﻭﺍﰒ, ﻇﻠﻢ40 ﺍﻭﺍﺑﺘﻐﻰ ﺩﺳﻴﻌﺔ,ﻭﺍﻥ ﺍﳌﺆﻣﻨﲔ ﺍﳌﺘﻘﲔ ﻋﻠﻰ ﻣﻦ ﺑﻐﻲ ﻣﻨﻬﻢ . ﻭﻟﻮ ﻛﺎﻥ ﻭﻟﺪ ﺍﺣﺪﻫﻢ,ﲨﻴﻌﺎ (13) Orang-orang yang bertaqwa (al muttaqun) akan berjuang melawan para (pelaku tindakan agresif) pemberontak atau mereka yang berusaha menyebarkan ketidakadilan, atau dosa, atau permusuhan, atau korupsi (kerusakan) di antara orang-orang beriman, setiap orang harus melawannya kendati dia adalah anak salah seorang dari mereka sendiri
Pasal ini, dengan latar yang sama, menegaskan perlunya mengedepankan keadilan, menjalankan hukum yang sudah disepakati dengan apa adanya tanpa membeda-bedakan antara satu kelompok, kelas dengan lainnya; adanya kesamaan di depan hukum. Tanpa ini, hukum hanya sebagai sebongkok aturan yang tidak memiliki kekuatan untuk menciptakan keadilan. Dengan jelas disinggung, bahkan ketika yang melanggar adalah orang terdekat; anak sendiri sekalipun. Penegasan pasal ini tentu semakin memberi keyakinan kepada masyarakat Madinah akan adanya tatanan baru yang menjamin kebebasan mereka dalam berekspresi dan bereksistensi sebagai bagian dari masyarakat. . ﻭﻻ ﻳﻨﺼﺮ ﻛﺎﻓﺮﺍ ﻋﻠﻰ ﻣﺆﻣﻦ,ﻭﻻ ﻳﻘﺘﻞ ﻣﺆﻣﻦ ﻣﺆﻣﻨﺎ ﰲ ﻛﺎﻓﺮ
Lihat Sirah Ibn Hisyam, ﺎ ﻭﺍﺭﺍﺩ. ﻣﺎﳜﺮﺝ ﻣﻦ ﺣﻠﻖ ﺍﻟﺒﻌﲑ ﺍﺫﺍ ﺭﻏﺎ: ﻭﻫﻲ ﰲ ﺍﻻﺻﻞ, ﺍﻟﻌﻈﻴﻤﺔ:ﺍﻟﺪﺳﻴﻌﺔ . ﻣﺎﻳﻨﺎﻝ ﻋﻨﻬﻢ ﻣﻦ ﻇﻠﻢ:ﻫﺎﻫﻨﺎ 40
|111
(14) Orang Mukmin tidak boleh membunuh Mukmin lain untuk kepentingan orang kafir, dan tidak boleh membantu orang kafir dengan merugikan orang Mukmin
Pada
masa-masa
sebelumnya,
pembunuhan
menjadi
pemandangan biasa di kalangan masyarakat Arab. Masalah sepele bisa berakhir dengan insiden mengerikan, pertumpahan darah, di antara mereka yang berseteru. Pembunuhan sudah barang tentu berbuntut pembunuhan di belakangnya, terus dan seterusnya. Kawan dan lawan hanya bisa dibedakan dengan suku. Tidak ada ketentuan hukum yang mampu melindungi seseorang. Hanya mereka yang memiliki kekuatan (dengan dukungan sukunya) yang bisa memenangkan persengketaan dalam suatu masalah. Nabi menawarkan kesepakatan, yaitu persatuan di antara anggota perjanjain, hukum pembunuhan diterapkan dengan tegas. Yaitu larangan pembunuhan dengan sesama Mukmin. Ini tentu bagian dari konsekuensi penerapan perastuan dan kebersamaan di atas. Adapun kasus kriminal, bagaimana penyelesaiannya, diatur dalam pasal lain dalam teks perjanjian tertulis ini. . ﻭﺍﻥ ﺍﳌﺆﻣﻨﲔ ﺑﻌﻀﻬﻢ ﻣﻮﺍﱃ ﺑﻌﺾ ﺩﻭﻥ ﺍﻟﻨﺎﺱ, ﳚﲑ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﺍﺩﻧﺎﻫﻢ,ﻭﺍﻥ ﺫﻣﺔ ﺍﷲ ﻭﺍﺣﺪﺓ (15) Sesungguhnya jaminan atau perlindungan Allah adalah satu, melindungi nasib orang-orang lemah, dan sesungguhnya seorang Mukmin adalah saudara (mawla) bagi yang lainnya, dengan mengenyampingkan seluruh umat manusia
Sebagai penguat atas aturan-aturan di atas, disinggung pula dengan pernyataan, bahwa sesungguhnya seluruh orang beriman berada dalam satu perlindungan, satu kesatuan, yaitu dalam lindungan Allah. Sebuah persatuan persaudaraan yang bermartabat dan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, dan didasarkan pada satu predikat bernama keimanan. Ini adalah ekspresai dari ajaran Islam dan juga ajaran agama Ibrahim, budaya yang hidup, secara turun-menurun
|112
diwarisi bangsa ini dari pendahulunya, juga jati diri bangsa Arab yang sangat menghargai wilayah keimanan dalam praktek kehidupan sehari-hari. Sehingga tidak ada kepuasan yang melebihi dari ketaatan, pengorbaaanan dan "Ridha" dari Tuhan Yang Maha Esa.41 F. Jaminan Keamanan bagi Sekutu . ﻏﲑ ﻣﻈﻠﻮﻣﲔ ﻭﻻ ﻣﺘﻨﺎﺻﺮﻳﻦ ﻋﻠﻴﻬﻢ,ﻭﺍﻧﻪ ﻣﻦ ﺗﺒﻌﻨﺎ ﻣﻦ ﻳﻬﻮﺩ ﻓﺎﻥ ﻟﻪ ﺍﻟﻨﺼﺮ ﻭﺍﻻﺳﻮﺓ (16) Sesungguhnya orang Yahudi yang mengikuti kita berhak mendapat pertolongan dan persamaan tanpa ada penganiayaan dan tidak ada yang menolong musuh mereka
Perjanjian antara Nabi dan penduduk Madinah dalam peristiwa Bai'at 'Aqabah pertama dan kedua, dihadiri oleh pihak Muslim Makkah (diwakili Nabi) dan pimpinan suku-suku Arab yang berdiam di Madinah, saat itu, tanpa kehadiran pihak Yahudi. Bergabungnya Yahudi dalam perjanjian itu adalah pada waktu-waktu setelahnya. Karena itu, pasal ini menyiratkan, Yahudi adalah sekutu baru yang bergabung kemudian, sekutu yang datang belakangan. Tetapi, meskipun bergabung di waktu kemudian, dia juga berhak mendapatkan "fasilitas" yang sama, sebagaimana yang didapat oleh kelompok masyarakat yang lebih dahulu bergabung dalam kesatuan. Dan dalam beberapa pasal, memang Yahudi diposisikan sebagai pihak kedua, setelah umat Islam yang terdiri dari Muhajirin dan Anshar. Pasal ini juga bisa dimaknai untuk menarik fihak-fihak tertentu (baca: Yahudi), supaya mau bergabung, atau bergabung dengan sepenuh hati, karena dalam persekutuan yang dibangun tidak ada diskriminasi di antara kelompok-kelompok, bahkan sebaliknya, menjunjung tinggi asas pluralisme, persatuan, kesamaan hak, dan sejajar di hadapan hukum. Lihat kembali praktek ritual keagamaan primitif bangsa Arab, misalnya, kisah rencana Abdul Muththalib yang bermaksud mengorbankan putranya sendiri, juga hal yang sama yang terjadi pada Ibrahim as. 41
|113
G. Perdamaian Perdamaian dalam beberapa pasal, mendapat perhatian (penekanan) tersendiri. Baik perdamaian yang bersifat pribadi, seperti kasus pembunuhan atas seseorang yang menjadikan keluarga si korban tidak bisa menerima atas tindakan tersebut, maupun perdamaian kolektif seperti dalam kasus peperangan. . ﺍﻻ ﻋﻠﻰ ﺳﻮﺍﺀ ﻭﻋﺪﻝ ﺑﻴﻨﻬﻢ, ﻻ ﻳﺴﺎﱂ ﻣﺆﻣﻦ ﺩﻭﻥ ﻣﺆﻣﻦ ﰲ ﻗﺘﺎﻝ ﰲ ﺳﺒﻴﻞ ﺍﷲ,ﻭﺍﻥ ﺳﻠﻢ ﺍﳌﺆﻣﻨﲔ ﻭﺍﺣﺪﺓ (17) Sesungguhnya perdamaian orang beriman itu satu, seorang Mukmin tidak diperkenankan membuat perjanjian damai tanpa melibatkan Mukmin lainnya ketika dalam keadaan perang di jalan Allah, kecuali atas dasar persamaan dan keadilan di antara mereka
Pasal ini memiliki kaitan erat, dan dengan latar yang sama dengan pasal 12, 13, 14, dan pasal 15. Apa bila dalam pasal 15 dinyatakan,
bahwa
orang-orang
yang
beriman
satu
dalam
perlindungan Allah, maka dalam pasal ini disinggung bahwa orangorang yang beriman adalah satu kesepakatan, tidak boleh berceraiberai, baik ketika memutuskan perdamaian atau berperang, dan satu komando dalam keadilan, persamaan membela agama Allah. Pasal ini melarang perjanjian yang dilakukan oleh orang Mukmin, dengan tanpa meminta atau melibatkan Mukmin lainnya. Apabila kita cermati secara mendalam, sebuah perjanjian yang dilakukan oleh Mukmin, tetapi tidak melibatkan Mukmin lain, berarti tindakan tersebut adalah penghianatan terhadap kesatuan Mukmin. Sehingga hal ini harus diwaspadai, mengingat, semangan kebersamaan masih relatif lemah, dan rentan perpecahan. Azaz keadilan dan etika juga disinggung dalam pasal ini untuk dijadikan satu-satunya pengikat persatuan. H. Koalisi dalam Perang .ﻭﺍﻥ ﻛﻞ ﻏﺎﺯﻳﺔ ﻏﺰﺕ ﻣﻌﻨﺎ ﻳﻌﻘﺐ ﺑﻌﻀﻬﺎ ﺑﻌﻀﺎ (18) Sesungguhnya semua kelompok pasukan yang berperang, yang bergabung dengan kita satu sama lain harus saling bahu-membahu
|114
.ﻭﺍﻥ ﺍﳌﺆﻣﻨﲔ ﻳﺒﺊ ﺑﻌﻀﻬﻢ ﻋﻠﻰ ﺑﻌﺾ ﲟﺎ ﻧﺎﻝ ﺩﻣﺎﺀﻫﻢ ﰲ ﺳﺒﻴﻞ ﺍﷲ (19) Orang Mukmin boleh melakukan pembalasan pertumpahan darah satu sama lain hanya untuk kepentingan agama Allah
Masyarakat Muslim, terutama kelompk Muhajirin, memiliki sejarah pahit, yaitu ketika kondisi di Makkah memanas karena respon terhadap
ajaran
yang
dibawa
Nabi.
Kondisi
yang
demikian
mengharuskan umat Islam melakukan hijrah (kali pertama) untuk menyelamatkan diri dan agama ke negara Abissinia (Ethiopia). Umat Islam harus menerima perlakuan kejam dan intimidasi dari kaum elit Quraisy. Saat itu Nabi belum mampu memberi perlindungan kepada umat Islam. Akhirnya, tahun 615 M Nabi menyuruh umat Islam, --saat itu berjumlah 83 untuk laki-laki dan 13 orang wanita-- pergi/hijrah ke negeri Abissinia (Ethiopia). Kerajaan yang dipimpin Negus ini, mayoritas rakyatnya memeluk agama Kristen.42 Namun apa yang terjadi, para petinggi Quraisy tidak tinggal diam dengan keputusan umat Islam ini. Mengetahu kejadian ini, mereka melakukan pengejaran sampai ke negara Ethiopia. Tetapi sang Raja Negus menghalangi kaum Quraisy, yang bermaksud meminta kembali orang-orang Mukmin dan memaksa mereka meninggalkan ajaran Islam.43 "Aku tidak akan membiarkan siapa pun menyakiti kaum yang meminta perlindunganku," kata Negus, menjawab permintaan orangorang Quraisy ini. Meskipun sudah mencoba berbagai cara, termasuk lobi dan negosiasi, ketegasan dan kearifan Raja Nasrani ini mejadikan
42 Nabi bersabda kepada mereka (umat Islam): "Jika kalian mau pergi ke Abissinia (maka itu lebih baik), karena raja mereka tidak akan membiarkan ketidak-adilan, dan negara mereka adalah negara yang bersahabat sampai suatu saat Allah akan membebaskan kalian dari kesulitan". 43 Lihat Ibnu Ishaq, Sirah Ibnu Ishaq, Jilid I, op. cit., hlm. 298. Baca juga, Suyuthi Pulungan, op. cit., hlm. 50.
|115
delegasi Quraisy tadi pulang kembali ke Makkah dengan tangan hampa. Peristiwa ini agaknya sangat membekas dalam ingatan kaum Muslim. Ketika hal yang sama mereka lakukan, perpindahan dari Makkah ke Madinah, kemungkinan kafir Quraisy melakukan pengejaran menjadi hal pertama yang dipikirkan. Pasal ini, merespon kejadian ini. Nabi dan seluruh komponen masyarakat Madinah merasa perlu ada sebuah aturan kesepakatan yang menegaskan bahwa dalam waktu-waktu tertentu, ketika dibutuhkan, seluruh komponen akan bahu-membahu melawan serangan yang datang dari mana pun. Artinya, setiap musuh yang akan menyerang umat Madinah, baik Muslim maupun Yahudi menjadi tanggungjawab bersama. Kemudian, pertumpahan darah itu dibatasi hanya boleh dalam konteks membela agama Allah, menegakkan kebenaran dalam rangka mewujudkan kesejahteraan di muka bumi. Dan demi mewujudkan cita-cita Madinah; terwujudnya kesatuan masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama, moralitas, dan keadilan. Dengan begitu, umat Muslim merasa memiliki sekutu. Apa bila di Ethiopia, ada Raja Negus yang melindungi, dalam wujud yang berbeda mereka memiliki pelindung juga, yaitu sekutu dan kekuatan "pasukan" yang kuat dan bersatu, yaitu gabungan komponen masyarakat Madinah. I. Aqidah/Keimanan sebagai Etika .) ﺍ ( ﻭﺍﻥ ﺍﳌﺆﻣﻨﲔ ﺍﳌﺘﻘﲔ ﻋﻠﻰ ﺍﺣﺴﻦ ﻫﺪﻯ ﻭﺍﻗﻮﻣﻪ (20 a) Orang Mukmin yang bertaqwa mengikuti jalan yang paling baik dan lurus
Hampir dalam setiap pasal, ketika sebuah tindakan dilegalkan dan dinyatakan dalam teks perjanjian, maka ukuran yang
|116
menjadi sandaran adalah predikat keimanan; batas-batas tindakan seorang yang beriman. "Orang yang beriman hanya melakukan tindakan dengan mengikuti keinginan Allah, untuk menciptakan tatanan yang lebih baik dalam kehidupan, dan seseorang belum dikatakan beriman, apa bila melakukan tindakan yang merugikan orang lain". Dalam tradisi masyarakat Arab, paradigma seperti ini, menyandarkan suatu tindakan hanya untuk menuruti kepuasan (ridha) Tuhan, menjadi kebiasaan sejak lama, bahkan sejak Islam belum lahir. Ketika Nabi menyampaikan ajaran Islam, hal yang sama juga menjadi misi ajaran Islam, selain juga menjadi inti ajaran agama-agama samawi, yang dibawa para nabi sebelumnya. Sebagaimana ajaran agama Nabi Ibrahim as (hanif), dan lainnya. Banyak fakta historis yang mendukung asumsi ini. Tradisi-tradisi persembahan masyarakat primitif bangsa Arab, untuk Tuhan mereka, misalnya. Lahirnya teks ini bisa dimaknai sebagai melanjutkan tradisi yang sudah ada. Atau, setidaknya, tradisi lokal yang hidup di kalangan masyarakat Arab, saat itu, ikut mempengaruhi isi teks. Selain itu, teks ini juga merupakan implementasi ajaran Islam, untuk membuat tatanan yang bermanfaat dengan menjunjung tinggi nilainilai kemanusiaan, keTuhanan, dan keadilan dalam arti luas. Di sini, Islam (yang dalam bahasa pasal ini dikatakan dengan bahasa Iman/aqidah) dilihat dari fungsinya sebagai agama/ajaran dalam kehidupan masyarakat, bertugas melestarikan tata nilai dan sejumlah pola perilaku sosial yang mempertalikan pencapaian tujuan dengan kemuliaan cara yang digunakan untuk itu. Tata nilai dan pola perilaku itu sering disebut dengan al-Akhlaq al-Karimah. Islam berfungsi penuh dalam kehidupan masyarakat, melalui pengembangan nilai-nilai sebagai etika masyarakat yang bersangkutan. Islam berfungsi bagi kehidupan masyarakat tidak sebagai instansi/lembaga (baca: negara)
|117
tertentu, melainkan sebagai etika sosial yang akan memandu jalannya kehidupan bermasyarakat (bernegara) sesuai dengan martabat luhur dan kemuliaan derajat manusia. 44 Menurut Ali Bulac, dalam Islam berlaku prinsip bahwa hukum tidak dapat dipisahkan dari agama. Menurut prinsip ini, jika tidak ada agama atau ideologi resmi yang diwakili oleh aparatur yang memerintah dan yang ditentukan dari atas ke bawah, hukum itu akan bertentangan bagi aparat yang sama untuk menerapkan sebuah sistem hukum tunggal yang resmi.45 Dan demikianlah dalam pasal ini, etika dan keimanan menjadi landasan dan sugesti paling dalam segala tindakan dan keputusan. J. Tegas terhadap Lawan . ﻭﻻ ﳛﻮﻝ ﺩﻭﻧﻪ ﻋﻠﻰ ﻣﺆﻣﻦ,)ﺏ( ﻭﺍﻧﻪ ﻻﳚﲑ ﻣﺸﺮﻙ ﻣﺎﻻ ﻟﻘﺮﻳﺶ ﻭﻻ ﻧﻔﺴﺎ (20 b) Sesungguhnya orang musyrik tidak boleh melindungi harta dan jiwa orang Quraisy, dan tidak campur tangan terhadap lainnya yang melawan orang Mukmin
Sebagaimana kita tahu, Madinah dihuni bermacam-macam etnis dan golongan dengan beragam kepercayaan dan tradisi. Setidaknya, komposisi penduduk Madinah pasca hijrah adalah pertama, kaum Arab Madinah yang telah masuk Islam (Anshar). Kedua, Muslim Arab Makkah yang datang ke Madinah (Muhajirin). Ketiga, orang Arab Madinah penganut paganisme. Keempat, golongan munafik. Kelima, Yahudi yang terdiri dari berbagai suku, baik bangsa Yahudi (asli) maupun Arab yang menjadi orang Yahudi. Dan keenam adalah penganut Kristen minoritas.46
Baca Marzuki Wahid, Nilai-Nilai Pluralisme dalam Islam, (Sururin: editor), Bandung: Nuansa, 2005, hlm. 103. 45 Lihat Ali Bulac (Charles Kurzman: editor), Liberal Islam, ibid., hlm. 281. 46 Suyuthi Pulungan, op. cit., hlm. 61. 44
|118
Dalam masa-masa awal di Madinah, posisi umat Islam belumlah kuat untuk mengantisipasi serangan lawan. Lebih-lebih ketika diketahui, bahwa di dalam tubuh masyarakat Madinah sendiri tidak semua anggota masyarakat menerima kedatangan dan ajakan dari Nabi Muhammad untuk menciptakan tatanan masyarakat baru lengkap dengan visi dan misinya. Jelas, kondisi saat itu boleh dikata belum betul-betul aman, terlebih bagi umat Islam. Sesuai dengan teks pasal ini, larangan menjalin hubungan dengan lawan diberlakukan. Hal ini tentu demi mengantisipasi penghianatan orang dalam dengan menggandeng elompok-kelompok yang tidak "seideologi". Di antara kelompok yang diwaspadai adalah Quraisy yang menentang Nabi sejak masih di Makkah. Hal ini jelas terkait dengan sejarah masa lalu, hubungan umat Islam dengan Quraisy Makkah. Pasal ini menggambarkan bahwa kondisi masih "rawan". Dengan aturan dalam pasal ini, masyarakat Madinah diharapkan waspada menjalin dan berinteraksi dengan pihak manapun. Pasal ini diperjelas dengan pasal 43. K. Qishash, Tradisi Lama yang Dipertahankan. ﻭﻻ ﳛﻞ ﳍﻢ ﺍﻻ, ﻭﺍﻥ ﺍﳌﺆﻣﻨﲔ ﻋﻠﻴﻪ ﻛﺎﻓﺔ, ﻣﺆﻣﻨﺎ ﻗﺘﻼ ﻋﻦ ﺑﻴﻨﺔ ﻓﺎﻧﻪ ﻗﻮﺩ ﺑﻪ ﺍﻻ ﺍﻥ ﻳﺮﺿﻰ ﻭﱃ ﺍﳌﻘﺘﻮﻝ47ﻭﺍﻧﻪ ﻣﻦ ﺍﻋﺘﺒﻂ .ﻗﻴﺎﻡ ﻋﻠﻴﻪ (21) Jika seseorang ternyata terbukti secara meyakinkan telah membunuh seorang Muslim dan pihak korban tidak memberikan ma'af, aturan qishash harus diberlakukan. Dalam kasus ini semua orang Mukmin harus melawannya. Hal ini halal (benar) dilakukan sepenuhnya oleh mereka (dengan aturan ini)
Pasal ini, dengan latar yang sama dengan pasal 13, menegaskan betapa pentingnya berlaku adil terhadap siapa pun. Namun dalam pasal ini dibatasi secara spesifik kaitannya dalam kasus pembunuhan dan pemberian maaf dari pihak korban. Ini sekaligus 47
Dalam Sirah Ibn Hisyam, . ﺍﻱ ﻗﺘﻠﻪ ﺑﻼ ﺟﻨﺎﻳﺔ ﻣﻨﻪ ﺗﻮﺟﺐ ﻗﺘﻠﻪ:ﺍﻋﺘﺒﻂ
|119
sebagai solusi terhadap hukum/adat-istiadat yang tidak adil yang berlaku sebelumnya; ukuran benar dan salah, baik dan buruk tidak terletak pada standar hukum, tetapi pada kuat dan tidaknya mempertahankan diri. Mereka yang kuat selalu lolos dalam jeratan hukum, sementara yang lemah, meskipun dalam posisi benar akan digilas oleh yang kuat; hukum rimba. Pasal ini diperkuat dengan pasal 37 bagian kedua (b): "Orang yang didhalimi akan mendapat perlindungan dan pertolongan". Pasal ini bermaksud meyakinkan masyarakat, bahwa keadilan, terlebih dalam kaitannya dengan pembunuhan, betul-betul ditegakkan. , ﻭﺍﻧﻪ ﻣﻦ ﻧﺼﺮﻩ ﺍﻭ ﺍﻭﺍﻩ, ﺍﻥ ﻳﻨﺼﺮ ﳏﺪﺛﺎ ﻭﻻ ﻳﺆﻭﻳﻪ, ﻭﺍﻣﻦ ﺑﺎﷲ ﻭﺍﻟﻴﻮﻡ ﺍﻻﺧﺮ,ﻭﺍﻧﻪ ﻻ ﳛﻞ ﳌﺆﻣﻦ ﺍﻗﺮ ﲟﺎ ﰲ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﺼﺤﻴﻔﺔ . ﻭﻻ ﻳﺆﺧﺬ ﻣﻨﻪ ﺻﺮﻑ ﻭﻻ ﻋﺪﻝ,ﻓﺎﻥ ﻋﻠﻴﻪ ﻟﻌﻨﺔ ﺍﷲ ﻭﻏﻀﺒﻪ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﻘﻴﺎﻣﺔ
(22) Seorang Mukmin yang mengakui isi shahifah ini, beriman kepada Tuhan dan hari akhir, tidak boleh menolong pelaku kejahatan (tindak kriminal) atau memberi perlindungan (membelanya). Sesungguhnya siapa saja yang melakukan perbuatan tersebut, laknat dan amarah Allah akan menimpanya besok di hari kiamat. Penyesalan dan tebusannya juga tidak akan diterima
Pasal ini memiliki latar yang sama dengan pasal serupa sebelumnya, termasuk pasal 20 bagian pertama (a), menekankan beratnya
sangsi
yang
akan
ditimpakan
kepada
orang
yang
menghianati isi perjanjian. Paragrap yang berbunyi "Seorang Mukmin yang mengakui isi shahifah ini, beriman kepada Tuhan dan hari akhir, tidak boleh
menolong
pelaku
kejahatan
(tindak
kriminal)
atau
memberi
perlindungan (membelanya)," menyejajarkan kata-kata Mukmin yang mengakui isi perjanjian dengan orang yang beriman kepada Tuhan dan hari akhir, yang keduanya tidak pantas (dilarangan) melakukan perbuatan
menolong
pelaku
kejahatan
dan
atau
memberi
perlindungan atasnya. Apa bila logika pada pasal ini dibalik, akan menghasilkan kalimat sebagai berikut: "Apa bila seseorang terbukti telah menolong pelaku kejahatan (tindak kriminal) atau memberi perlindungan
|120
(membelanya), berarti dia telah mengingkari perjanjian ini. Apa bila seseorang telah mengingkari isi perjanjian yang telah disepakati bersama ini, dia bukanlah orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir. Dan bukankah dengan demikian, orang yang masuk kategori seperti ini pantas mendapat sangsi untuk dihukum sesuai dengan aturan yang berlaku, misalnya diasingkan dari pergaulan, diusir, dan lain sebagainya. Pasal ini bermaksud menegaskan bahwa orang yang mengakui dan konsisten dengan perjanjian ini sama dengan orang beriman. Juga, melegalkan hukuman bagi penghianat perjanjian ini. Untuk memperjelas asumsi ini, kita lanjutkan dengan mencermati paragrap berikutnya, "Sesungguhnya siapa saja yang melakukan perbuatan tersebut, laknat dan amarah Allah akan menimpanya besok di hari kiamat. Penyesalan dan tebusannya juga tidak akan diterima". Paragrap ini menegaskan sangsi yang begitu besar bagi pelaku perbuatan tersebut. Bahkan penyesalannya tidak akan pernah diterima. Tentu ini berpengaruh bagi mereka yang bermaksud membangkan dengan melakukan penghianata. Karena hal itu bisa berarti "bunuh diri". Paragrap ini memberi efek, seorang akan berfikir tiga kali untuk berani berbuat atau melakukan penghianatan terhadap perjanjian ini. L. Hukum Allah sebagai Rujukan dan Nabi sebagai Garansi. . ﻭﺍﱃ ﳏﻤﺪ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ, ﻓﺎﻥ ﻣﺮﺩﻩ ﺍﱃ ﺍﷲ ﻋﺰ ﻭﺟﻞ,ﻭﺍﻧﻜﻢ ﻣﻬﻤﺎ ﺍﺧﺘﻠﻔﺘﻢ ﻓﻴﻪ ﻣﻦ ﺷﺊ (23) Bila kamu sekalian berbeda pendapat dalam suatu hal, hendaklah perkaranya diserahkan kepada Allah dan Muhammad
Terdapat dua pasal, yang serupa, yang menegaskan bahwa setiap perselisihan dan beda pendapat yang terjadi, dirujukkan kepada hukum Allah melalui kitab-kitabnya. Sementara Muhammad adalah orang yang paling bertanggung jawab atas pelaksanaan Piagam Madinah; Muhammad sebagai garansi. Apabila kita melacak akar
|121
sejarah timbulnya perjanjian di antara komunitas Madinah ini, maka hal itu berpangkal pada dua kali pertemuan, yang dikenal dengan sumpah kesetiaan, Bai'at 'Aqabah. Dalam pertemuan 'Aqabah pertama, beberapa orang dari Madinah menyatakan diri masuk Islam, mereka juga melakukan bai’at (sumpah kesetiaan) kepada Nabi. Mereka mengakui kerasulan Muhammad, dan berjanji kepada beliau bahwa mereka
tidak
akan
menyembah
selain
Allah,
tidak
pula
menyekutukan-Nya, tidak mencuri, tidak berzina dan berbohong, serta tidak akan menghianati Nabi.48 Kemudian pada pertemuan berikutnya (dikenal dengan Bai’at ‘Aqabah kedua), mereka (yang berjumlah lebih banyak dibanding pertemuan pertama) mengakui Nabi sebagai pemimpin mereka, dan akan menjaga keselamatan beliau dan para pengikutnya. Nabi juga berjanji bahwa beliau akan memerangi siapa yang mereka perangi, dan akan berdamai dengan siapa saja yang mereka ajak berdamai.49 Dari uraian ini bisa diambil asumsi: Nabi berkedudukan sebagai pemimpin bagi sebagian masyarakat Madinah. Ini terbukti bahwa Nabi berhasil menawarkan konsep tatanan bermasyarakat/ lingkungan yang menjamin kebebasan setiap individu dan kelompok. Konsep itu digagas Nabi, meskipun tidak menafikan pendapat dari anggota lain. Di sini, Nabi menjadi konseptor bagi berlakunya aturang baru yang sedang "diujicobakan" pemberlakuannya. Wajar ketika kemudian, apa bila terdapat hal-hal yang kiranya mengundang perdebatan, Nabi adalah orang yang paling bertanggungjawab. Dalam bahasa lain, Nabi bisa dimaknai sebagai wasit dalam sebuah masalah, atau moderator dalam perselisihan tertentu, namun dia bukanlah
Lihat Ibnu Ishaq, Sirah Ibnu Ishaq, Jilid I, op. cit., hlm. 314-318. Ikrar ini terlebih dahulu berlangsung dialog antara Nabi dan rombongan tersebut, dan menghasilkan kesepakatan untuk kepentingan bersama. 48 49
|122
pemegang
otoritas
kebijakan
hukum.
Karena
otoritas
hukum
sepenuhnya ada pada hukum Allah. Ini menegaskan bahwa masyarakat Madinah adalah agamis/berketuhanan. M. Biaya dalam Peperangan .ﻭﺍﻥ ﺍﻟﻴﻬﻮﺩ ﻳﻨﻔﻘﻮﻥ ﻣﻊ ﺍﳌﺆﻣﻨﲔ ﻣﺎ ﺩﺍﻣﻮﺍ ﳏﺎﺭﺑﲔ (24) Sesungguhnya orang Yahudi dan orang Mukmin bekerjasa dalam menanggung biaya perang selama mereka melakukan pereng bersama
Pasal ini merupakan kelanjutan/keterangan pasal 18: "Sesungguhnya semua orang yang berperang, yang bergabung dengan kita satu sama lain harus saling bahu-membahu". Dengan latar yang sama, pasal ini bermaksud menjelaskan bahwa antara Yahudi dan pihak Islam secara bersama menanggung biaya peperangan. Tentu, item ini bermaksud menegaskan apabila para anggota perjanjian tidak ada yang dirugikan, kecuali saling menguntungkan dan sama-sama berkepentingan terhadap salah satu kebijakan yang diambil. Sekali lagi, pasal ini bermakud meyakinkan pihak Yahudi untuk bergabung dengan sepenu hati, dan jangan sampai memiliki dugaan adanya penghianatan. N. Ideologi dan Agama ﻓﺎﻧﻪ ﻻ, ﺍﻻ ﻣﻦ ﻇﻠﻢ ﻭﺍﰒ, ﻣﻮﺍﻟﻴﻬﻢ ﻭﺍﻧﻔﺴﻬﻢ, ﻟﻠﻴﻬﻮﺩ ﺩﻳﻨﻬﻢ ﻭ ﻟﻠﻤﺴﻠﻤﲔ ﺩﻳﻨﻬﻢ,ﻭﺍﻥ ﻳﻬﻮﺩ ﺑﲎ ﻋﻮﻑ ﺍﻣﺔ ﻣﻊ ﺍﳌﺆﻣﻨﲔ . ﻭﺍﻫﻞ ﺑﻴﺘﻪ, ﺍﻻ ﻧﻔﺴﻪ50ﻳﻮﺗﻎ
(25) Sesungguhnya kelompok Yahudi Bani 'Auf bersama dengan kelompok Mukmin merupakan sebuah ummah. Agama kaum yahudi untuk mereka sendiri dan agama agama kaum Muslim untuk mereka sendiri. Hal ini termasuk mawla dan diri mereka secara personal. Tetapi siapa saja yang berlaku dzalim dan berbuat dosa atau khianat hanya akan mencelakakan diri dan keluarganya
.ﻭﺍﻥ ﻟﻴﻬﻮﺩ ﺑﲎ ﺍﻟﻨﺠﺎﺭ ﻣﺜﻞ ﻣﺎ ﻟﻴﻬﻮﺩ ﺑﲏ ﻋﻮﻑ (26) Kaum Yahudi Bani al Najjar memiliki hak yang sama dengan kaum Yahudi Bani 'Auf
50
Dalam Sirah Ibn Hisyam, .ﻳﻮﺗﻎ ﺍﻱ ﻳﻬﻠﻚ
|123
.ﻭﺍﻥ ﻟﻴﻬﻮﺩ ﺑﲎ ﺍﳊﺎﺭﺙ ﻣﺜﻞ ﻣﺎ ﻟﻴﻬﻮﺩ ﺑﲏ ﻋﻮﻑ (27) Kaum Yahudi Bani al Harits memiliki hak yang sama dengan kaum Yahudi Bani 'Auf
.ﻭﺍﻥ ﻟﻴﻬﻮﺩ ﺑﲎ ﺳﺎﻋﺪﺓ ﻣﺜﻞ ﻣﺎ ﻟﻴﻬﻮﺩ ﺑﲏ ﻋﻮﻑ (28) Kaum Yahudi Bani Saidah memiliki hak yang sama dengan kaum Yahudi Bani 'Auf
.ﻭﺍﻥ ﻟﻴﻬﻮﺩ ﺑﲎ ﺟﺸﻢ ﻣﺜﻞ ﻣﺎ ﻟﻴﻬﻮﺩ ﺑﲏ ﻋﻮﻑ (29) Kaum Yahudi Bani Jusyam memiliki hak yang sama dengan kaum Yahudi Bani 'Auf
.ﻭﺍﻥ ﻟﻴﻬﻮﺩ ﺑﲏ ﺍﻻﻭﺱ ﻣﺜﻞ ﻣﺎ ﻟﻴﻬﻮﺩ ﺑﲏ ﻋﻮﻑ (30) Kaum Yahudi Bani al Aus memiliki hak yang sama dengan kaum Yahudi Bani 'Auf
. ﻓﺎﻧﻪ ﻻ ﻳﻮﺗﻎ ﺍﻻ ﻧﻔﺴﻪ ﻭﺍﻫﻞ ﺑﻴﺘﻪ, ﺍﻻ ﻣﻦ ﻇﻠﻢ ﻭﺍﰒ,ﻭﺍﻥ ﻟﻴﻬﻮﺩ ﺑﲎ ﺛﻌﻠﺒﺔ ﻣﺜﻞ ﻣﺎ ﻟﻴﻬﻮﺩ ﺑﲎ ﻋﻮﻑ (31) Kaum Yahudi Bani Tsa’labah memiliki hak yang sama dengan kaum Yahudi Bani 'Auf. Tetapi siapa saja yang berlaku dzalim dan berbuat dosa atau khianat hanya akan mencelakakan diri dan keluarganya
.ﻭﺍﻥ ﺟﻔﻨﺔ ﺑﻄﻦ ﻣﻦ ﺛﻌﻠﺒﺔ ﻛﺄﻧﻔﺴﻬﻢ (32) Keluarga Jafnah sebagai anggota dari kaum Yahudi Bani Tsa’labah berlaku ketentuan sebagaimana yang berlaku bagi Bani Tsa'labah
. ﻭﺍﻥ ﺍﻟﱪ ﺩﻭﻥ ﺍﻻﰒ,ﻭﺍﻥ ﻟﺒﲎ ﺍﻟﺸﻄﻴﺒﺔ ﻣﺜﻞ ﻣﺎ ﻟﻴﻬﻮﺩ ﺑﲏ ﻋﻮﻑ (33) Yahudi Bani Syutaibah memiliki hak yang sama dengan Yahudi Bani 'Auf. Kesalehan adalah perlindungan terhadap kemaksiatan
.ﻭﺍﻥ ﻣﻮﺍﱃ ﺛﻌﻠﺒﺔ ﻛﺎﻧﻔﺴﻬﻢ (34) Sesungguhnya mawali Bani Tsa’labah diperlakukan sama dengan Bani Tsa'labah sendiri
. ﻳﻬﻮﺩ ﻛﺎﻧﻔﺴﻬﻢ51ﻭﺍﻥ ﺑﻄﺎﻧﺔ (35) Sesungguhnya orang dekat/kepercayaan (Kolega, stakeholder) kaum Yahudi diperlakukan sama seperti kaum Yahudi
Dalam sejarah sebelumnya, bisa kita bisa jumpai bahwa dalam umat Islam sudah memberlakukan/menawarkan ideologi ini
51
Dalam Sirah Ibn Hisyam, . ﺧﺎﺻﺘﻪ ﻭﺍﻫﻞ ﺑﻴﺘﻪ:ﺑﻄﺎﻧﺔ ﺍﻟﺮﺟﻞ
|124
(ketika masih di Makkah). Yaitu sebuah ayat yang turun ketika Nabi masih berposisi di Makkah (ayat Makkiyyah), "Untukmu agamamu, dan untukku agamaku", al-Kafirun/109: 6, (ِﻲ ﺩِﻳﻦ ﻭِﻟ ﻢ ﻨ ﹸﻜﻢ ﺩِﻳ )ﹶﻟ ﹸﻜ. Ayat ini merupakan jawaban atas tawaran yang diberikan para kafir Quraisy untuk menyudahi menyebarkan ajaran yang dibawanya, sebagai gantinya Nabi diajak bersama-sama untuk menyembah Tuhan yang mereka sembah.52 Namun, para kafir ini justru tidak mau menerima tawaran Nabi, untuk hidup berdampingan dengan memberi kesempatan orang untuk tetap melakukan kepercayaannya (agama). Buktinya, mereka memaksa Nabi untuk mengikuti kemauan mereka, untuk memeluk agama yang sama dan meninggalkan ajaran Islam yang dibawanya. Ayat ini merupakan pokok ajaran dakwah Nabi, berusaha menyebarkan ajaran Islam. Tanpa ideologi ini Nabi tidak akan pernah berkesempatan menyiarkan ajaran Islam, agama yang bisa dibilang baru saat itu. Sementara kelompok kafir Makkah tidak ingin ada kepercayaan lain sebagai tandingan agamanya. Dengan menyetujui tawaran Nabi untuk hidup dalam keragaman agama, sama halnya memberi kesempatan ideologi lain tumbuh. Ini tidak mereka inginkan. Di sisi lain mempunyai misi untuk menyebarkan Islam. Maka, di Madinah ideologi ini ditawarkan dan dipakai sebagai konsep menciptakan kerukunan beragama. Dan perlu di tekankan, Nabi sudah memperjuangkan berlakunya sistem ini sejak di Makkah. Maka di Madinah, Nabi pun melakukan hal yang sama dengan ketika di Makkah. Dengan tetap berlaku adil, kepercayaan lain tetap dibiarkan hidup sebagaimana Islam mendapat kesempatan yang sama leluasanya. Dengan satu catatan, apapun agama yang dipeluk, Lihat penjelasan ayat ini dalam al-Quran al-Karim, Yayasan Penyelenggara Penerjemah al-Quran Departemen Agama Republik Indonesia, Semarang: PT. Tanjung Mas Inti, 1992, hlm. 1112. 52
|125
hendaknya mencerminkan seorang yang menjunjung tinggi keadilan, etika, dan keimanan. Bagi mereka yang mencoba berkhianat, ancamannya tidak tanggung-tanggung; sangsi tidak hanya ditimpakan kepada pelaku, tetapi juga keluarga. Ini adalah cermin sikap elegan Islam, yang memberi ruang kepercayaan lain hidup secara bersama. Penerapan ideologi ini jelas berpihak kepada kelompok Islam, karena posisinya sebagai agama yang sedang tumbuh dan berkembang. Sementara agama lain, misalnya Yahudi, sudah memiliki pengikut fanatik. Dan Islam adalah agama yang terus berusaha menarik simpatik dari berbagai kalangan. O. Tindakan Atas Nama Kelompok .) ﺍ ( ﻭﺍﻧﻪ ﻻ ﳜﺮﺝ ﻣﻨﻬﻢ ﺍﺣﺪ ﺍﻻ ﺑﺎﺫﻥ ﳏﻤﺪ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ (36 a) Sesungguhnya tidak seorang pun dari mereka53 (penduduk Madinah) dibolehkan keluar kecuali atas ijin Muhammad
Pasal ini memiliki latar yang hampir serupa dengan pasal 20 bagian kedua (b), yaitu dalam masa-masa awal di Madinah, posisi umat Islam belumlah kuat untuk mengantisipasi serangan lawan, juga menyadari bahwa di dalam tubuh masyarakat Madinah sendiri terdapat kelompok yang tidak sepenuhnya setuju dengan "proyek Nabi". Jelas, kondisi Madinah saat itu bisa dibilang dalam status siaga, dan belum betul-betul aman. Keluar dari Madinah, menjalin hubungan dengan lawan, tanpa kontrol yang ketat dari umat Islam lainnya (dalam hal ini Nabi), dikhawatirkan membawa dampak pada timbulnya
penghianatan
orang
dalam
dengan
menggandeng
kelompok-kelompok yang tidak "seideologi". Ada yang menafsiri bahwa yang dimaksud keluar adalah keluar untuk berperang. Namun dalam pasal pamungkas, dijelaskan Kata mereka dalam Ali Bulac (alih bahasa: Paramadina) dimaknai sebagai kaum Yahudi. Dan keluar diartikan berperang dalam barisan Muslim. 53
|126
bahwa siapa pun, yang berada di dalam dan mereka yang keluar aman dengan perlindungan persatuan dan kesatuan. Ini bisa dimaknai, ketika kondisi sudah memungkinkan, sudah aman, maka tidak ada larangan bergaul, mejalin relasi dengan siapa pun dan pihak mana pun. Aturan ini merupakan proses penguatan ideologi dan kesatuan umat Madinah. Bukan berarti sikap exclusive dari umat Islam atau Madinah. P. Ganti Rugi dalam Tindak Kriminal 54
. ﻭﺍﻥ ﺍﷲ ﻋﻠﻰ ﺍﺑﺮ ﻫﺬﺍ, ﺍﻻ ﻣﻦ ﻇﻠﻢ, ﻭﺍﻫﻞ ﺑﻴﺘﻪ, ﻭﺍﻧﻪ ﻣﻦ ﻓﺘﻚ ﻓﺒﻨﻔﺴﻪ ﻓﺘﻚ,)ﺏ( ﻭﺍﻧﻪ ﻻﻳﻨﺤﺠﺰ ﻋﻠﻰ ﺛﺎﺭ ﺟﺮﺡ
(36 b) Sesungguhnya tidak dilarang melakukan pembalasan sesuai dengan luka yang diderita. Tentu saja jika seseorang membunuh orang lain, dia dan keluarganya harus bertanggung-jawab sebagai konsekuensinya, jika tidak akan ada ketidak-adilan (berarti seorang yang tidak menaati peraturan ini telah berlaku tidak adil). Allah selalu bersama dengan mereka yang menaati dokumen ini
Pasal ini, dengan latar yang sama dengan pasal 13 dan 21. pasal
13
menekankan
berlaku
adil,
pasal
21
menekankan
pemberlakuan qishash terhadap kasus pembunuhan. Begitu juga dengan pasal ini, menuntut ganti rugi atas sebuah perbuatan kriminal (pembunuhan) diatur pelaksanaannya dalam pasal ini. Tradisi ini sudah berlaku sebelumnya dikalangan masyarakat Arab. Bahkan mereka sering kelewat batas dalam menuntut balas. Dalam hal ini, eksekusi dilakukan oleh lembaga bernama suku, sebuah lembaga yang menggantikan fungsi pemerintahan. Akibatnya, sebuah kasus yang dilakukan person menjadi konflik terbuka antar suku. Islam datang memberi solusi, pelaksanaan eksekusi tetap diberlakukan, hanya saja, sebuah eksekusi, "balas dendam", tuntutan
54
Dalam Sirah Ibn Hisyam, . ﺍﻱ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺮﺿﺎ ﺑﻪ:ﻋﻠﻰ ﺍﺑﺮ ﻫﺬﺍ
|127
atas sebuah kasus hendaknya dilakukan dengan berpegang pada keadilan dan ketaqwaan pada Allah.55 Q. Biaya Perang ﻭﺍﻥ, ﻭﺍﻥ ﺑﻴﻨﻬﻢ ﺍﻟﻨﺼﺮ ﻋﻠﻰ ﻣﻦ ﺣﺎﺭﺏ ﺍﻫﻞ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﺼﺤﻴﻔﺔ,)ﺍ( ﻭﺍﻥ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻴﻬﻮﺩ ﻧﻔﻘﺘﻬﻢ ﻭﻋﻠﻰ ﺍﳌﺴﻠﻤﲔ ﻧﻔﻘﺘﻬﻢ . ﻭﺍﻟﱪ ﺩﻭﻥ ﺍﻻﰒ,ﺑﻴﻨﻬﻢ ﺍﻟﻨﺼﺢ ﻭﺍﻟﻨﺼﻴﺤﺔ
(37 a) (Dalam kasus perang) kaum Yahudi dan kaum Muslim membiayai pihaknya masing-masing. Mereka harus bekerja sama satu sama lain, dalam melawan pihak yang memerangi kelompok-kelompok masyarakat yang menyetuji shahifah ini. Di antara mereka harus mendapat kebajikan dan perilaku yang baik. Aturan-aturan ini harus ditaati secara mutlak, tidak seorang pun boleh melanggarnya
Pasal ini mengandung pengertian yang sama dengan pasal 18, dan pasal 24, yaitu menjelaskan tentang aturan dalam pembiayaan perang, kerjasama dalam perang, serta mengobarkan semangat perlawanan bagi orang yang bermaksud merusak tata nilai yang ada dalam teks perjanjian.56 tentu, dengan pasal ini masyarakat semakin yakin dengan adanya pesatuan, termasuk dalam peperangan yang meminta biaya besar. R. Kesalahan (dosa) Kolektif . ﻭﺍﻥ ﺍﻟﻨﺼﺮ ﻟﻠﻤﻈﻠﻮﻡ,)ﺏ( ﻭﺍﻧﻪ ﱂ ﻳﺎﺀﰒ ﺍﻣﺮﺅ ﲝﻠﻴﻔﻪ (37 b) Seseorang tidak dipandang dosa karena dosa sekutunya. Yang dizalimi harus ditolong
Dalam hukum adat yang berlaku di kalangan masyarakat Makkah dan sebagian besar bangsa Arab, berlaku sebuah "nalar" atau paradigma Ashabiyyah, sebuah fanatisme terhadap kelompok yang berlebihan (chauvinisme), dan memosisikan orang/suku lain sebagai musuh. Bukan sebagai relasi, kolega, ataupun stakeholder. Setiap suku merasa yakin bisa hidup sendiri tanpa membutuhkan suku lain. Kondisi ini menjadikan hubungan harmonis antara satu suku dengan 55 56
Baca kembali penafsiran pasal 13 dan 21. Lebih detail, baca peembacaan pasal 18 dan 24.
|128
suku lain nyaris tidak ada. Kondisi yang demikian, menimbulkan semacam keharusan yang tidak disadari oleh pelakunya, bahwa setiap anggota suku wajib membela sesama anggota suku ketika dalam keadaan bahaya, sekalipun sesungguhnya dalam posisi bersalah.57 Alhasil, tindakan perseorangan menjadi tanggung jawab sukunya. Dendam pembunuhan antar suku bisa berlangsung dalam jangka waktu yang cukup lama, yang mengakibatkan sering terjadi permusuhan atau peperangan antar suku.58 Bagaimana tidak, dendam pribadi segera menjadi dendam kolektif sebuah sebuah, pada gilirannya melahirkan konflik terbuka bagi setidaknya dua suku yang berseteru. Hal ini terus berlanjut. Akibatnya, mereka tidak bisa mengatasi persoalan interen mereka sebagai sebuah masyarakat yang besar, selain sebuah kelompok kecil bernama suku yang tidak memiliki kekuatan dan hegemoni bagi sebuah peredaban yang lebih besar. Pasal ini mengapus budaya tadi, dengan menetapkan bahwa tindakan personal harus dipertanggungjawabkan si pelaku, kecuali masalah yang mengancam keselamatn umat, harus ditanggung bersama. Dengan berlakunya aturan ini, seorang tidak bisa seenaknya berbuat keonaran, mentang-mentang memiliki kelompok yang kuat. Pasal ini merupakan sebuah upaya mewujudkan keadilan dan menekan tindakan kriminal, lebih-lebih pertumpahan darah. Dengan pasal
ini,
tingkat
kejahatan,
kriminalitas
tidak
lagi
menjadi
Lihat Suyuthi Pulungan, op. cit., hlm. 40. Peperangan paling masyhur di kalangan Arab jahiliyyah adalah perang Busus, antara suku Bakar dan Taghlib di Timur Laut Arabia. Kemudian perang Dahis, dan al-Ghubra, yaitu perang antara dua pimpinan suku ini di Arabia Tengah, masing-masing berlangsung 40 tahun karena masalah sepele. Perang Fijar, yaitu perang antara suku-suku di Hijaz yang berlangsung selama 4 tahun. Peperangan antara suku ini dikenal dengan istilah Ayyam al-Arab (The Days of the Arabian). Cerita lebih detail, baca Suyuthi Pulungan, op. cit., hlm. 40-41. 57 58
|129
pemandangan sehari-hari, sebuah tradisi yang "melegalkan" baku hantam sampai berdarah-darah. .ﻭﺍﻥ ﺍﻟﻴﻬﻮﺩ ﻳﻨﻔﻘﻮﻥ ﻣﻊ ﺍﳌﺆﻣﻨﲔ ﻣﺎ ﺩﺍﻣﻮﺍ ﳏﺎﺭﺑﲔ (38) Sesungguhnya kamu Muslim bersama kaum Yahudi menanggung biaya peperangan yang mereka lakukan bersama
Redaksi pasal ini sama persis dengan pasal 24 sebelumnya. 59 S. Madinah sebuah Wilayah Mandiri .ﻭﺍﻥ ﻳﺜﺮﺏ ﺣﺮﺍﻡ ﺟﻮﻓﻬﺎ ﻻﻫﻞ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﺼﺤﻴﻔﺔ (39) Sesungguhnya daerah (jawf) Yatsrib merupakan wilayah yang dilindungi (haram) bagi orang-orang yang menyepakati shahifah ini
Sebelum mengulas pasal ini, seyogyanya kita memfokuskan memori ingatan kita pada peristiwa yang menimpa umat Islam pada waktu hijrah untuk pertama kalinya, yaitu ke negara Abissinia (Ethiopia). Saat itu (tahun 620 M), pemeluk Islam masih sangat minim. Nominal yang sedikit sebenarnya tidak menjadi persoalan, tetapi ketika mereka menjadi kaum tertindas dan terhina, dan di sisi lain kekejaman dan intimidasi kaum elit Quraisy tidak kuasa mereka hindari, dan Nabi sendiri juga belum mampu memberi perlindungan kepada mereka, maka hal ini yang menjadi persoalan. Karena kondisi yang demikian, tahun 615 M Nabi menyuruh umat Islam, --saat itu berjumlah 83 untuk laki-laki dan 13 orang wanita-- pergi/hijrah (untuk menyelamatkan diri) ke negeri Abissinia (Ethiopia). Kerajaan ini rakyatnya memeluk agama Kristen.60 Mengetahu kejadian ini, para petinggi Quraisy mengirim delegasi kepada Raja Negus, yang
Lihat analisa pasal 24. Nabi bersabda kepada mereka (umat Islam): "Jika kalian mau pergi ke Abissinia (maka itu lebih baik), karena raja mereka tidak akan membiarkan ketidak-adilan, dan negara mereka adalah negara yang bersahabat sampai suatu saat Allah akan membebaskan kalian dari kesulitan". 59 60
|130
memberi
perlindungan
kepada
para
imigran
Makkah,
untuk
mengembalikan ke tangan orang Quraisy.61 Nah, ketika hal ini terulang, terjadi perpindahan dari Makkah ke Madinah, bukankah kafir Quraisy akan sangat mungkin melakukan hal serupa? Yaitu melakukan paksaan agar mereka mau kembali lagi ke Makkah? Karena pertimbangan ini pula, orang-orang musyrik Madinah sulit mau menerima dan bergabung dengan Nabi, sebagaimana komunitas di Madinah lainnya. Meskipun mayoritas komponen masyarakat Madinah, kaum Muslim dan kaum Yahudi dengan suka cita menerima struktur organisasi sosial dan yang dipelopori Nabi di Madinah. Yaitu berbagai komunitas menyatu dalam satu identitas. Tetapi kafir Madinah ini justru merasa terusik. Mereka memandang langkah agresif Nabi sebagai sebuah ancaman yang potensial menggeser posisinya (ststus quo), yang tidak sulit mereka fahami. Mereka (kafir Quraisy Madinah) juga sadar, Nabi dan para pengikutnya berhijrah adalah menghindari tekanan-tekanan yang dilakukan oleh kaum Musyrik Makkah. Orang-orang kafir Madinah tentu tidak mau mengambil resiko dengan menjalin hubungan baik dengan aliansi baru itu, yang dalam waktu yang tidak bisa diprediksi, kafir Qurasy Makkah melakukan hal yang sama ketika umat Islam hijrah ke Eithopia.62 Belajar dari kesulitan demi kesulitan yang terjadi selama dalam
perjalanan
mencari
bantuan
dan
perlindungan,
Nabi
mengambil langkah yang ekstra hati-hati serta penuh perhitungan; berharap kejaran Qurais Makkah tidak lagi mempersulit mereka, ketika
melaksanakan
hijrah
ke
Madinah.
Sejak
dini,
Nabi
Lihat Ibnu Ishaq, Sirah Ibnu Ishaq, Jilid I, op. cit., hlm. 298. Baca juga, Suyuthi Pulungan, op. cit., hlm. 50. 62 Lihat Ali Bulac, op. cit., hlm. 266. 61
|131
mendeklarasikan bahwa tujuannya bukan untuk mendirikan sebuah pemerintahan yang absolut di Madinah, melainkan untuk memberikan jaminan
keamanan
terhadap
komunitas
agamanya,
sekaligus
merupakan persyaratan yang diperlukan bagi perkembangan agama baru.63
Kemudian, demi menumbuhkan kepercayaan terhadap
penduduk Madinah, dia mensosialisasikan visi dan misinya dalam menciptakan tatanan masyarakat baru yang berdaulat, dan menjajaki komposisi demografis agama dan sosial dari penduduk Madinah. Untuk tujuan ini, dia melakukan sensus penduduk.64 Menurut laporan dari Hudzaifah (Ibn al Yaman, sahabat rasul), “Rasulullah berkata kepada kami: ‘Berikan kepada saya namanama orang yang memilih Islam sebagai agama mereka dan orangorang yang menjadi Muslim’. Dan kami pun menuliskannya serta memberikan 1.500 nama kepada beliau”.65 Melalui sensus tersebut mereka menemukan bahwa ternyata ada 10.000 orang penduduk yang menetap di Madinah yang terdiri dari 1.500 orang penduduk Muslim, 63 Bulac berasumsi, pada kenyataannya, bahkan di dalam wahyu-wahyu (al Quran yang lebih awal) di Makkah, sebuah prinsip politik telah diadopsi dengan menyatakan “Bagimu agamamu dan bagiku agamaku” (Q. 109: 6) namun, orang-orang Quraisy menolak proyek multirelijius yang pluralis ini, menghalangi penyebarluasan risalah keagamaan dan menyiksa orang-orang yang ingin masuk Islam. Karena faktor itu, seorang tidak akan berharap Rasulullah mengubah strategi yang telah dilaksanakannya. Berdasarkan kondisi-kondisi tersebut, kehidupannya di Madinah akan mengimplementasikan wahyu-wahyu Makkah pada tingkatan-tingkatan hukum, sosial, dan kelembagaan. Hal itu akan mentransformasi visi Makkah ke dalam praktik di Madinah; dan inilah yang terjadi. Dengan kata lain, dia mendemonstrasikan pada setiap orang dan komunitas, cara-cara yang mungkin dilakukan untuk dapat hidup berdampingan melalui realisasi sebuah proyek sosial yang pluralis berdasarkan otonomi keagamaan dan hukum. Tentunya, risalah keagamaan tersebut akan disebarluaskan, tetapi tidak seorang pun akan dipaksa untuk berpindah agama melalui kekuatan dan tekanan, orang-orang yang pindah agama tidak akan menemukan oposisi sebagaimana yang mereka alami di Makkah. Lihat Ali Bulac, op. cit., hlm. 266-267. 64 Langkah yang diambil Nabi ini tentu menjadi suatu hal yang asing pada saat itu. 65 Muhammad ibn Isma’il al Bukhari (810-871), penyusun hadits, dalam Ali Bulac, op. cit., hlm. 266.
|132
4.000 orang Yahudi, dan 4.500 orang musyrik Arab. Rasulullah juga menentukan batas-batas kota Madinah secara fisik, dengan menandai keempat sudutnya. Melalui cara ini, dia mengususkan wilayah Madinah, dijadikan sebagai “wilayah yang dilindungi (Haram),66 yang terletak di dalam lembah Madinah.67 Pasal ini, merespon kejadian ini; perlunya sebuah wilayah yang dilindungi dan menjadi tempat berlindung yang aman dari kemungkinan serangan musuh. Dengan cara seperti ini; penentuan wilayah yang dilindungi, dengan mudah kelompok Madinah melakukan
kontrol
keamanan
dan
lain
sebagainya.
Terlebih,
mengingat, Madinah, terutama Nabi dan pengikutnya masih dalam suasana tercekam akibat perlakuan kafir Quraisy sebelum mereka tiba di Madinah. Dengan disepakatinya Madinah menjadi tanah yang dilindungi (haram), dan ini tercantum dalam pasal perjanjian, maka tanggung jawab atas Madinah (baca: penghuninya; umat Muslim) menjadi tanggungjawab bersama. Dan bukan semata menjadi resiko umat Islam. . ﻛﺎﻟﻨﻔﺲ ﻏﲑﻣﻀﺎﺭ ﻭﻻ ﺍﰒ68ﻭﺍﻥ ﺍﳉﺎﺭ (40) Sesungguhnya tetangga (al-Jarr) atau yang berdampingan rumah, harus diperlakukan sebagai diri sendiri, tidak boleh diganggu ketenteramannya, dan tidak diperlakukan salah
.ﻭﺍﻧﻪ ﻻ ﲡﺎﺭ ﺣﺮﻣﺔ ﺍﻻ ﺑﺎﺫﻥ ﺍﻫﻠﻬﺎ (41) Seorang wanita hanya akan diberikan perlindungan dengan ijin keluarganya
66 Menurut Bulac, (tanah, wilayah) Haram berarti perbatasan-perbatasan yang dipertahankan, dan merujuk pada integritas teritorial dari sebuah kesatuan politik. Lihat Ali Bulac, op. cit., hlm. 277. 67 Masalah ini akan dibahas secara gamblang ketika mengkaji Piagam Madinah pasal 39. 68 Jarr tidak dimaknai tetangga namun orang yang dilindung. Ali Bulac.
|133
Ketika sebuah kawasan ditetapkan menjadi daerah yang dilindungi, dijamin keamanan dan segala resiko yang mungkin datang baik dari dalam senndiri maupun dari luar, aturan rumah tangga kawasan tersebut haus ada. Dalam konteks ini, aturan hidup bersama dalam satu komunitas/lingkungan kemasyarakatan harus ada. Yang konsep bertetangga dan hidup bersama. Tetangga adalah sebagaimana diri kita, tidak ada permusuhan dengan keluarga yang berdekatan. Hal ini dipraktekkan tidak saja dalam memberi perlindungan atau pertolongan
terhadap
orang
dekat
(dalam
arti
bertetangga,
bermasyarakat), tetapi juga menghargai mereka dengan tidak over lipping menjalankan tugas dan kewajiban masing-masing. Karenanya, memberi
perlindungan
terhadap
seorang
wanita
harus
seijin
suaminya, atau kalu bersuami harus mendapat ijin orang tuanya. Faktor dicantumkannya item ini, juga terkait dengan adat budaya saat itu, yang memposisikan perempuan sebagai kelas atau kelompok masyarakat kelas dua, yang perlu dilindungi. T. Hukum Allah dan Muhammad sebagai Rujukan Dalam sebuah keterangan, Nabi disebut sebagai figur yang menandatangani teks perjanjian. Ini bisa dimaknai, Nabi bertanggungjawab atas isi perjanjian. Nabi adalah orang yang menjadi rujukan isi perjanjian, yaitu ketika terjadi perselisihan, misalnya, ketika menafsiri atau memahami maksud perjanjian, maka orang yang dijadikan patokan,
atau
"moderator"
adalah
Nabi.
Tentu
saja,
Nabi
menggunakan standar hukum Allah (Syariat) dalam memutus kasus. ﻭﺍﱃ, ﻓﺎﻥ ﻣﺮﺍﺩﻩ ﺍﱃ ﺍﷲ ﻋﺰ ﻭﺟﻞ,ﻭﺍﻧﻪ ﻣﺎ ﻛﺎﻥ ﺑﲔ ﺍﻫﻞ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﺼﺤﻴﻔﺔ ﻣﻦ ﺣﺪﺙ ﺍﻭ ﺍﺷﺘﺠﺎﺭ ﳜﺎﻑ ﻓﺴﺎﺩﻩ .69 ﻭﺍﻥ ﺍﷲ ﻋﻠﻰ ﺍﺗﻘﻰ ﻣﺎ ﰲ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﺼﺤﻴﻔﺔ ﻭﺍﺑﺮﻩ,ﳏﻤﺪ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ
(42) Segala pertikaian atau kontroversi di antara kaum yang menyetujui shahifah ini, yang diperkirakan akan mengakibatkan keonaran dan gangguan
69
Dalam Sirah Ibn Hisyam, .ﺍﻱ ﺍﻥ ﺍﷲ ﻭﺣﺰﺑﻪ ﺍﳌﺆﻣﻨﲔ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺮﺿﺎﺑﻪ
|134
(trouble), hal itu harus dirujukkan kepada Allah dan Muhammad Rasulullah. Allah membenarkan dan memandang baik isi shahifah ini
Pasal ini memiliki maksud yang sama dengan pasal 23.70 U. Quraisy dan Status Madinah .ﻭﺍﻧﻪ ﻻ ﲡﺎﺭ ﻗﺮﻳﺶ ﻭﻻ ﻣﻦ ﻧﺼﺮﻫﺎ (43) Quraisy dan para koleganya tidak akan diberikan perlindungan
Pada saat awal, hubungan antara kaum Mukmin dengan suku Quraisy (yang memusuhi Nabi) memanas. Faktor pemicu permusuhan ini adalah perlakuan orang-orang dari suku Quraisy terhadap kelompok Nabi. Yaitu saat periode awal wahyu turun. Bisa kita simak dalam fakta historis, perlawanan yang dilancarkan oleh Quraisy begitu keras, karena terlalu gencar perlawanan mereka, umat Islam menanggung derita yang luar biasa. Umat Islam sampai pontang-panting mencari dukungan dan perlindungan kesana-kemari. Tidak jarang, Nabi sendiri mendapat perlakuan yang kasar dari kelompok ini dan sekutunya, misalnya, ketika Nabi menemui kepala suku di Thaif untuk meminta bantuan.71 Perjalanan sejarah yang demikian, membuat umat Islam menyimpan "catatan khusus" dengan suku Quraisy ini. Suku ini adalah yang pernah membuat Nasib, dan umat Islam terlunta serta tidak menentu. Pasal ini adalah langkah tegas terhadap Quraisy, yaitu memosisikan suku ini sebagai rival yang tidak berhak mendapat perlindungan. Dengan "embargo" dan "boikot" yang diperuntukkan bagi Quraisy, setidaknya kelompok ini tidak memandang remeh, bahkan bisa jera untuk tidak mengulangi perlakuannya pada waktu yang sudah-sudah.
70 71
Baca kembali pembacaan pasal 23. Lihat Ibnu Ishaq, Sirah Ibnu Ishaq, Jilid I, op. cit., hlm. 298.
|135
.ﻭﺍﻥ ﺑﻴﻨﻬﻢ ﺍﻟﻨﺼﺮ ﻋﻠﻰ ﻣﻦ ﺩﻫﻢ ﻳﺜﺮﺏ (44) Di kalangan mereka (Muslim dan Yahudi di Madinah) harus bekerja sama dalam menghadapi pihak lain yang melancarkan serangan terhadap Yatsrib
Pada 39 telah diulas mengenai faktor penyebab perlunya sebuah wilayah yang dilindungi dan menjadi tempat berlindung yang aman dari kemungkinan serangan musuh. Penentuan wilayah yang dilindungi diperlukan untuk mempermudah kerja kelompok Madinah dalam
mengontrol
keamanan
dan
lain
sebagainya.
Setelah
ditetapkannya sebuah wilayah menjadi kawasan yang dilindungi, hal yang menjadi kebutuhan mendesak adalah sistem keamanan. Untuk mengamankan wilayah yang besar tidak mungkin ditanggung oleh pihak tertentu saja. Di sini, butuh aturan dan kesepakatn bahwa tanggung jawab keamanan atas Madinah (baca: penghuninya; umat Muslim) menjadi tanggungjawab bersama, seluruh komponen yang bertempat tinggal di Madinah. Dengan demikian, keamanan Madinah mendapat jaminan, bukan dari kelompok tertentu, tetapi merupakan persoalan bersama. Berbeda dengan kecenderungan ashabiyyah, yang tidak memiliki rasa memiliki terhadap suatu kawasan, selain sentimen yang berlebihan terhadap kelompok mereka sendiri. Rasa memiliki dan tanggung jawab terhadap kawasan tertentu, dalam bahasa sekarang adalah sentimen negara bangsa, nasionalisme, dan cinta tanah air. Rasa ini belum dimiliki mastarakat Arab sebelumnya. Dengan demikian masyarakat Madinah akan merasa aman karena, baik dalam hal kemanan, maupun sistem hubungan sosial kemasyarakatan yang baru diproklamirkan tersebut. V. Perdamaian
|136
Penduduk
Madinah
sudah
membuat
kesepakatan,
menyatukan visi dan misi, membuat ukuran baik dan buruk (nilai), serta mengidentifikasi diri menjadi satu kelompok masyarakat yang menginginkan terciptanya sebuah peradaban dan tatanan sosial baru. Dengan pilihan seperti ini akan menjadi jelas, mana kelompok yang mendukung dan akhirnya bergabung, dan mana pihak-pihak yang tidak sepakat dan memilih mundur dari ikatan ini. Beberapa pasal di bawah ini, lahir sebagai respon atas kondisi tersebut. ﻢ ﺍﺫﺍ ﺩﻋﻮﺍ ﺍﱃ ﻣﺜﻞ ﺫﻟﻚ ﻓﺎﻧﻪ ﳍﻢ ﻭﺍ,ﻢ ﻳﺼﺎﳊﻮﻧﻪ ﻭﻳﻠﺒﺴﻮﻧﻪ ﻓﺎ,) ﺍ ( ﻭﺍﺫﺍ ﺩﻋﻮﺍ ﺍﱃ ﺻﻠﺢ ﻳﺼﺎﳊﻮﻧﻪ ﻭﻳﻠﺒﺴﻮﻧﻪ . ﺍﻻ ﻣﻦ ﺣﺎﺭﺏ ﰲ ﺍﻟﺪﻳﻦ,ﻋﻠﻰﺍﳌﺆﻣﻨﻮﻥ
(45 a) Bila kaum Yahudi diajak untuk berdamai oleh kaum Muslim atau untuk ambil bagian dalam sebuah kesempatan perdamaian, mereka harus memenuhinya dan ikut serta melaksanakannya. Jika mereka (kaum Yahudi) menawarkan ajakan yang sama kepada kaum Muslim, mereka memiliki hak yang sama dari kaum Muslim, dengan pengecualian kasus perang yang menyangkut isu agama
.)ﺏ( ﻋﻠﻰ ﻛﻞ ﺍﻧﺎﺱ ﺧﺼﺘﻬﻢ ﻣﻦ ﺟﺎﻧﺒﻬﻢ ﺍﻟﺬﻱ ﻗﺒﻠﻬﻢ (45 b) Setiap orang mempunyai bagiannya masing-masing dari pihaknya sendiri
Sebuah persekutuan mengharuskan adanya ikatan dan sumpah kesetiaan di antara pihak yang bersekutu. Dan pilihan untuk berkoalisi, mengikat diri menjadi bagian sebuah kelompok itu sudah terjadi ketika Nabi untuk pertama kalinya bertemu dengan para pelaku ritual keagamaan rutin tahunan di Ka'bah Makkah (haji) dari penduduk Yatsrib. Dimana ketika Nabi akhirnya mengalihkan ajakannya, yang semula ditujukan kepada masyarakat Arab Makkah, kepada kabilah-kabilah yang datang ke Makkah pada musim haji. Pada waktu itu beliau bertemu dengan rombongan Abu al Haisar bersama beberapa orang dari Banu ‘Abd Ashal, termasuk ‘Iyas bin Mu’adz (suku Aus) dari Yatsrib. Nabi mengenalkan Islam dan
|137
membacakan ayat al Quran. Saat itu tidak ada yang masuk Islam, kecuali Iyas.72 Dua tahun kemudia, tahun 620 M, beberapa orang Arab Madinah dari suku Khazraj (yang kebetulan sekutu Yahudi), datang ke Makkah pada musim haji. Seperti kejadian dua tahun yang lalau, ketika Nabi bertemu rombongan Iyas, Nabi membacakan ayat al Quran dan mengajak mereka bertauhid kepada Allah. Selesai Nabi bicara, mereka saling pandang dan berbicara: “Inilah Nabi yang pernah disebut-sebut oleh kaum Yahudi kepada kita. Jangan sampai mereka mendahului kita.”73 Mereka menyambut ajakan Nabi dengan baik dan mereka menyatakan masuk Islam, dan berkata: “Kami telah meninggalkan golongan kami, tidak ada lagi suku yang saling membunuh
dan
saling
mengancam.
Mudah-mudahan
Tuhan
menyatukan mereka melaluimu. Biarkan kami pergi kepada mereka untuk mengajak mereka masuk ke dalam agamamu. Dan jika Tuhan menyatukan mereka di dalamnya, maka tidak ada orang yang lebih baik dari padamu.” Kemudian mereka yang berjumlah enam orang kembali ke Yatsrib sebagai orang-orang yang telah beriman. Setiba di Yatsrib, mereka menceritakan kejadian yang baru saja dialaminya kepada masyarakat luas. Nabi pun menjadi pembicaraan masyarakat Yatsrib. Sebuah babak baru, penyebaran Islam di Yatsrib dimulai, setelah lebih kurang 10 tahun dakwah ditujukan kepada masyarakat sendiri, dengan hasil kurang menggembirakan. Musim haji berikutnya, tahun 621 M, datang 10 laki-laki
Khazraj dan 2 laki-laki Aus. Mereka
Lihat Ibnu Ishaq, Jilid I, ibid., hlm.306-309. Kaum Yahudi apa bila berselisih dengan orang Arab Yatsrib selalu mengatkan: “Seorang Nabi akan segera diutus, dan waktunya sudah dekat. Kami akan menjadi pengikutnya, dan dengan bantuannya kami akan membunuh kalian seperti dalam perang ‘Ad dan Iram”. 72 73
|138
bertemu dengan Nabi di ‘Aqabah. Selain menyatakan diri masuk Islam, mereka juga melakukan bai’at (sumpah kesetiaan) kepada Nabi. Bai’at ini dikenal dengan Bai’at Aqabah pertama. Dalam bai’at ini mereka mengakui kerasulan Muhammad, dan berjanji kepada beliau bahwa mereka tidak akan menyembah selain Allah, tidak pula menyekutukan-Nya, tidak mencuri, tidak berzina dan berbohong, serta tidak akan menghianati Nabi.74 Ketika rombongan ini kembali ke Yatsrib, Nabi menunjuk Mus’ab bin ‘Umair untuk menyertai mereka, sekaligus supaya dia mengajarkan Islam kepada mereka di Madinah. Sejak itu pemeluk Islam semakin banyak di kota Yatsrib. Pada musim haji tahun 622 M, datang serombongan haji sebanyak 73 orang, baik yang sudah Islam maupun yang belum. Mereka didampingi Mus’ab bin ‘Umair. Kedatangan mereka bermaksud mengajak Nabi agar mau pindah ke Yatsrib bersama mereka. Pertemuan diadakan di tempat semula, ‘Aqabah. Di sini terjadi bai’at ‘Aqabah kedua. Dalam perjanjian ini mereka mengakui Nabi sebagai pemimpin mereka, dan akan menjaga keselamatan beliau dan para pengikutnya. Nabi juga berjanji bahwa beliau akan memerangi siapa yang mereka perangi, dan akan berdamai dengan siapa saja yang mereka ajak berdamai.75 Kata-kata (sumpah setia) Nabi ini merupakan respon dan jawaban atas sumpah setia yang lebih dulu terucap dari penduduk Madinah, dan resiko sebuah persekawanan. Dengan adanya ikrar dan kata-kata seperti ini, lawan merasa bahwa sebuah persahabatan menjadi sejati dan "seia" dan "sekata". Namun demikian, kesepakatan bersama masih dibatasi oleh sebuah wilayah privasi; agama. Hala ini
Lihat Ibnu Ishaq, Sirah Ibnu Ishaq, Jilid I, op. cit., hlm. 314-318. Ikrar ini terlebih dahulu berlangsung dialog antara Nabi dan rombongan tersebut, dan menghasilkan kesepakatan untuk kepentingan bersama. 74 75
|139
karena agama adalah wilayah individual yang sulit dokompromikan, kecuali dihargai bagi yang berbeda. Sedangkan pasal berikutnya menegaskan aturan rumah tangga masing-masing suku. Setiap anggota suku hanya boleh meminta hak kepada suku yang dia diakui sebagai anggotanya. W. Persamaan Hak dan Tanggungjawab Personal ﻭﺍﻥ76, ﻋﻠﻰ ﻣﺜﻞ ﻣﺎﻻﻫﻞ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﺼﺤﻴﻔﺔ ﻣﻊ ﺍﻟﱪ ﺍﶈﺾ ﻣﻦ ﺍﻫﻞ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﺼﺤﻴﻔﺔ, ﻣﻮﺍﻟﻴﻬﻢ ﻭﺍﻧﻔﺴﻬﻢ,ﻭﺍﻥ ﻳﻬﻮﺩ ﺍﻻﻭﺱ . ﻭﺍﻥ ﺍﷲ ﻋﻠﻰ ﺍﺻﺪﻕ ﻣﺎ ﰲ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﺼﺤﻴﻔﺔ ﻭﺍﺑﺮﻩ, ﻻ ﻳﻜﺴﺐ ﻛﺎﺳﺐ ﺍﻻ ﻋﻠﻰ ﻧﻔﺴﻪ,ﺍﻟﱪ ﺩﻭﻥ ﺍﻻﰒ
(46) Kaum Yahudi Aus, yaitu mawla dan mereka sendiri, memiliki hak dan kewajiban seperti apa yang diperoleh kelompok lain pendukung shahifah ini, serta memperoleh perlakuan yang baik dari semua pemilik shahifah ini. Sesungguhnya kebaikan berbeda dari kejahatan. Setiap orang bertanggungjawab atas perbuatannya sendiri. Sesungguhnya Allah membenarkan dan memandang baik apa yang termuat dalam shahifah ini
Pasal
ini,
sebagaimana
pasal
25,
sampai
pasal
35,
menjelaskan persamaan hal di antara sesama anggota perjanjian. Tidak ada perbedaan hak dan kewajiba, semua sama di hadapan hukum. Yang menarik dicermati, mengapa setiap suku di sebutkan hak dan kewajibannya yang mengikat, juga mengikut sertakan mawla-nya? Lagi-lagi, ini karena budaya ashabiyyah-nya. Ikatan persekawanan mereka sudah sangat kuat, kalau orang Jawa bilang, "gelem aku, kudu gelem balaku" (menerima saya, konsekuensinya harus menerima juga teman-teman saya). Sehingga, dengan cara seperti ini, tidak ada lagi pihak yang tidak senang ketika sebuah komunitas bergabung dengan umat Islam, karena juga mengikutsertakan para sekutunya, relasinya, stakeholder-nya, dan orang-orang terdekatnya. Dengan demikian, tidak aada pihak yang tidak pus dengan bergabungnya sebuah sekutu baru, karena juga mengikutsertakan relasinya. 76
Disebutkan dalam Sirah Ibn Hisyam, . ﻭﻳﻘﺎﻝ ﻣﻊ ﺍﻟﱪ ﺍﶈﺴﻦ ﻣﻦ ﺍﻫﻞ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﺼﺤﻴﻔﺔ:ﻗﺎﻝ ﺍﺑﻦ ﻫﺸﺎﻡ
|140
X. Sangsi dari Sebuah Kesepakatan ﻭﺍﻥ ﺍﷲ ﺟﺎﺭ, ﺍﻻ ﻣﻦ ﻇﻠﻢ ﻭﺍﰒ, ﻭﻣﻦ ﻗﻌﺪ ﺁﻣﻦ ﺑﺎﳌﺪﻳﻨﺔ, ﻭﺍﻧﻪ ﻣﻦ ﺧﺮﺝ ﺁﻣﻦ,ﻭﺍﻧﻪ ﻻ ﳛﻮﻝ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﻜﺘﺎﺏ ﺩﻭﻥ ﻇﺎﱂ ﻭﺍﰒ 77
. ﻭﳏﻤﺪ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ,ﳌﻦ ﺑﺮ ﻭﺍﺗﻘﻰ
(47) Sesungguhnya tidak ada orang yang akan melanggar ketentuan tertulis (Kitab) ini kalau bukan penghianat dan pelaku kejahatan. Siapa saja yang keluar dari kota Madinah dan atau tetap tinggal di dalamnya, aman. Kecuali orang yang berbuat aniaya dan dosa. Sesungguhnya Allah adalah pelindung bagi orang-orang yang berbuat baik dan taqwa, dan Muhammad adalah utusan Allah Wallah a'lam bi al Shawwab
Pasal pamungkas ini memberi penegasan, bahwa semua pasal yang tercantum dalam dokumen perjanjian berisi tentan komitmen bersama untuk mewujudkan tatanan hidup dengan berdampingan, tidak ada yang merasa terancam maupun terganggu eksistensinya.
Komitmen
untuk
menciptakan
lahirnya
sebuah
kelompok masyarakat yang besar dengan bersumber pada ideologi keimanan dan keadilan. Dan orang atau kelompok/suku yang menjadi anggota perjanjian adalah orang yang menyetujui dan mendambakan terwujudnya sebuah kelompok kemasyarakatan yang baru, berbudaya luhur, saling menghargai antar anggota kelompok, serta memiliki jiwa persatuan dan rasa nasionalisme kuat. Semua itu sudah menjadi kesepakatn bersama, tidak boleh ada yang menghianati perjanjain tersebut. Karenanya, siapa saja yang menghianati adalah orang yang keluar dari jalan kebenaran. Dia berarti tidak menginginkan adanya sebuah tatanan yang benar dan hanya menjadi batu sandungan untuk kesejahteraan orang baanyak. Redaksi pasal ini menonjolkan sifat penghianat; orang tidak akan menghianati isi perjanjian ini, kecuali dia Disebut dalam Sirah Ibn Hisyam, ﺍﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻛﺘﺐ ﻫﺬﺍﺍﻟﻜﺘﺎﺏ ﻗﺒﻞ:ﻳﻘﺎﻝ ﻛﻤﺎ ﺷﺮﻁ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﰲ ﻫﺬﺍﺍﻟﻜﺘﺎﺏ ﺍﻟﻨﻔﻘﺔ ﻣﻌﻬﻢ ﰲ, ﻭﻛﺎﻥ ﻟﻠﻴﻬﻮﺩ ﺍﺫﺫﺍﻙ ﻧﺼﻴﺐ ﰲ ﺍﳌﻐﻠﻢ ﺍﺫﺍﻗﺎﺗﻠﻮﺍ ﻣﻊ ﺍﳌﺴﻠﻤﲔ, ﻭﺍﺫﺍ ﻛﺎﻥ ﺍﻻﺳﻼﻡ ﺿﻌﻴﻔﺎ.ﺍﻧﺘﻔﺮ ﺍﳉﺰﻳﺔ .(ﺍﳊﺮﻭﺑﺰ )ﺭﺍﺟﻊ ﺍﻟﺮﻭﺽ ﺍﻻﻧﻒ 77
|141
seorang penghianat. Predikat penghianat hanya layak disandang bagi penghianat isi perjanjain ini. Cita-cita menciptakan tatanan baru, yang tertuang dalam isi perjanjian, menjadi ukuran kebenaran, layak dan tidaknya keputusan/pilihan tindakan seseorang. Dan ketika seorang layak diberi predikat penghianat, bagi dia juga sangat etis untuk dijatuhi hukuman.