PIAGAM MADINAH DAN TEORI KONTRAK SOSIAL JEAN JACQUES ROUSSEAU
Oleh: Muamar
KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARI'AH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1428 H / 2007 M
PIAGAM MADINAH DAN TEORI KONTRAK SOSIAL JEAN JACQUES ROUSSEAU SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh: Muamar NIM : 102045225177
Di Bawah Bimbingan
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma., SH. MA. MM. NIP. 150 210 422
KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI J I N A Y A H S I Y A S A H FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1428 H/2007 M
ﺑﺴﻢ اﷲ اﻟﺮﺣﻤﻦ اﻟﺮﺣﻴﻢ KATA PENGANTAR Segala puja dan puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan semesta alam, Allah SWT, yang telah memberikan banyak limpahan karunia dan nikmatnya serta pertolongan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai ungkapan rasa syukur atas studi yang penulis jalani. Shalawat beriring salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Alhamdu lillâhi rabbil ‘âlamîn, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik, meskipun banyak halangan dan hambatan yang menghadang dalam penulisan skripsi ini, namun akhirnya atas pertolongan Allah penulis dapat terus istiqamah dan menyelesaikan skripsi ini. Dalam kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu atas terselesaikannya penulisan skripsi ini, terutama kepada: 1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM., selaku dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Semoga Fakultas Syariah dan Hukum tetap eksis di tengah-tengah perkembangan dan perubahan zaman. 2. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM., sebagai pembimbing skripsi yang telah bersabar serta bersedia meluangkan waktu, tenaga, dan pikirannya dalam membimbing skripsi ini. 3. Kedua orang tua penulis, Ayahanda H. Mukri dan Ibunda Hj. Marsidah yang telah mendidik, membimbing dan membesarkan penulis hingga saat ini dan seterusnya, ya Allah limpahkanlah rahmat, maghfiroh, inayah dan keridhoan-Mu kepada mereka sebagaimana mereka telah mendidikku sejak aku kecil. Doakan
anakmu agar menjadi anak yang shalih berbakti kepada kedua orang tua dan bermanfaat bagi nusa, bangsa dan agama. 4. Ketua dan Sekretaris Program Studi Jinayah Siyasah dan para Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, terima kasih atas segala ilmu yang telah kalian berikan, semoga ilmu yang telah kalian berikan bermanfaat dan mendapatkan ridha dari Allah SWT. 5. Pegawai Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum, dan Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu penulis dalam penelusuran bahan pustaka guna penyempurnaan skripsi ini. 6. Guru penulis, Habib Yusuf Syaikh Abu Bakar yang do’anya menjadi ruh yang terus memacu penulis untuk senantiasa berbuat lebih baik. 7. Rekan-rekan mahasiswa Konsentrasi Siyasah Syar’iyyah angkatan 2002 yang dengan kekritisannya terus memacu semangat penulis dalam berkompetisi secara akademis. Semoga kekritisan tersebut dapat berkembang menjadi kesuksesan dalam karir selanjutnya. 8. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu, semoga kebaikan dan bantuan kepada penulis menjadi amal ibadah dan mendapat ridha dari Allah SWT. Semoga skripsi ini bermanfaat dalam menambah wawasan khususnya bagi penulis dan umumnya bagi seluruh umat manusia, serta dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan ekonomi Islam. Semoga Allah senantiasa meridhai setiap aktifitas kita dalam berjuang di jalan-Nya, serta menjadikan kita semua sebagai hamba-Nya yang bahagia di dunia dan akhirat. Âmin Allâhumma âmîn.
Jakarta, 9 Februari 2007 Penulis Muamar
DAFTAR ISI
....
i
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI .................................................................................................. ........ iv BAB I
: PENDAHULUAN ....................................................................... .......
1
A. Latar Belakang ....................................................................... ……
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ..................................... .......
5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .............................................. …...
7
D. Metode Penelitian.................................................................... ……
8
E. Sistematika Penulisan ............................................................. …… 11 BAB II : PIAGAM MADINAH ................................................................. …… 13 A. Pengertian dan Ruang Lingkup Piagam Madinah................... ........ 13 B. Prinsip-prinsip Piagam Madinah............................................ ........ 19 C. Piagam Madinah Sebagai Proteksi Hukum dan Demokrasi .. ........ 23 BAB III : KONTRAK SOSIAL JEAN JACQUES ROUSSEAU ................ ........ 27 A.
Prinsip-prinsip Dasar Teori Kontrak Sosial Jean Jacques Rousseau ................................................................................. ……. 27
B.
Interaksi Kontrak Sosial Jean Jacques Rousseau Terhadap Substansi Hukum dan Demokrasi ........................................... ……. 33 BAB IV: PERBANDINGAN PIAGAM MADINAH DAN TEORI KONTRAK SOSIAL
JEAN JACQUES ROUSSEAU DARI SISI HUKUM DAN DEMOKRASI
…… 39
A. Definisi dan Interaksi Hukum dan Demokrasi......................... …… 39 B. Persamaan visi antara Piagam Madinah dan Kontrak Sosial Jean Jacques Rousseau ............................. …… 50 C. Perbedaan Piagam Madinah dan Kontrak Sosial Jean Jacques Rousseau dari Segi Hukum dan Demokrasi............................ …… 55 BAB V : PENUTUP …… 65 A. Kesimpulan ............................................................................ …… 65 B. Saran-saran ............................................................................. …... DAFTAR PUSTAKA …… 70 LAMPIRAN …… 73
69
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Saat ini dalam studi politik Islam orang masih banyak berdebat mengenai ada atau tidaknya demokrasi dalam ajaran Muhammad. Memang pada kenyataannya Muhammad tidak pernah menggunakan istilah demokrasi sepanjang hidupnya, akan tetapi subtansi dari demokrasi tersebut memang secara riil sudah ada pada masa kenabiannya dan dalam sejarahnyapun pernah dilaksanakan pasca wafatnya Muhammad SAW dan dimasa itulah pemilihan pemimpin di era kekosongan terjadi (vacum of power) dengan kandidatnya adalah Abu Bakar As-Shiddiq dan Umar ibnu Khattab. Dari sedikit contoh aktifitas kekuasaan tersebut, substansi demokrasi memang sudah sering diterapkan dalam kehidupan Muhammad SAW, dari perjanjian-perjanjian yang diakhiri dengan kesepakatan yang tertulis dan dijadikan hukum bersosial dan bermasyarakat. Juga disusul dengan era-era yang selanjutnya yaitu para penggantinya, walaupun banyak anggapan sering terjadi ketidakadilan yang dipublikasikan oleh pihak-pihak tertentu. Pada era selanjutnya muncul perdebatan mengenai konsep negara, terutama negara demokrasi yang didalamnya mengedepankan hak-hak individual rakyat, dalam perdebatan secara periodik itu, banyak filosof-filosof kenamaan, diantaranya, Thomas
Aquinas (1226-1274 M), Thomas Hobbes (1588-1679 M), Jhon Locke (1632-1704 M), Jean Jacques Rousseau (1712-1778 M) dan lain-lainnya.1 Para pemikir Barat tersebut melandaskan ajaran-ajaran demokrasi sebagai sistem negara yang ideal, yaitu dengan mengangkat nilai-nilai keluhuran manusia. Dari dua peradaban kuno yakni Romawi dan Yunani, bergulirlah konsep demokrasi dengan negara kota (city state). Jauh sebelum masa tersebut (622 M), Muhammad SAW telah menggulirkan perjanjian atau kontrak sosial dengan suku dan penganut agama lain di kota Yatsrib dan sekitarnya. Diantara komunitas penganut Islam sampai kini mempunyai beberapa pandangan, salahsatunya adalah pola yang mengatur interaksi antara Islam dan ketatanegaraan, pandangan pertama menyatakan bahwa Islam bukanlah semata-mata agama dalam pengertian Barat, yakni hanya hubungan antara manusia dan Tuhan, sebaliknya Islam adalah agama sempurna yang mencakup segala aspek kehidupan manusia. Para pengikut pandangan ini pada umumnya berprinsip bahwa “Islam adalah agama yang serba lengkap, baik dari segi sosial, budaya, politik dan ketatanegaraannya yang mempunyai cara dan karakter tersendiri, tidak meniru Barat.2 Sejarah mencatat, setelah hijrahnya Muhammad SAW bin Abdullah dari Mekkah ke Madinah, tak lama kemudian terbentuklah golongan yang menjunjung
h.61
1
Nuktoh Arfawie, Teori Negara Hukum, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005), Cet. Ke-1,
2
Munawir Sadzali, Islam dan Tata Negara, (Jakarta, UI Press: 1993), ed. 5, h.1
nilai-nilai hak azasi manusia yang akhirnya melahirkan kesepakatan bersama antara Muhammad SAW dan pengikutnya dengan suku-suku yang tinggal di Yatsrib dan sekitarnya. Pada tahun 622 M, Muhammad SAW berhasil memformulasikan nilai sebuah konstitusi dengan 13 komunitas yang plural dengan kebijakannya masingmasing, konsensus tersebut tertuang dalam 47 Pasal. Konstitusi Madinah ini digalang untuk kepentingan bersama, mengantisipasi meluasnya diskriminasi dan intimidasi antar sesama suku.3 Banyak diantara para pemimpin dan pakar ilmu politik Islam beranggapan bahwa piagam Madinah adalah konstitusi atau undang-undang dasar bagi negara Islam yang pertama dan yang dipelopori oleh Muhammad SAW di kota Madinah.4 Kekaguman itu akan bertambah apabila dikaitkan dengan masa pembentukannya yang ada dipermulaan dasawarsa ketiga abad ke-7 Masehi, tepatnya 15 abad yang lalu.5 Disinilah, karakter Syari’at Islam menuntut penyelenggaraan pemerintahan dan Rasulullah SAW mulai mengumpulkan komunitas yang minoritas tersebut menjadi kesatuan mayoritas yang kuat dalam pemerintahan yang dikendalikannya,6 dengan berbagai perjanjian-perjanjian, walaupun kontroversi tersebut ada, namun perjanjian
3
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta, Konstitusi Press, 2005), Cet, Ke-1, h. 16 4 Munawir Sadzali, Islam dan Tata Negara, Op. Cit, h. 10 5 Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan UUD 1945, (Jakarta, UI Press, 1995), Cet. Ke-1, h.3 6 Abdul Aziz, Masalah Kenegaraan Dalam Pandangan Islam, (Jakarta, Yayasan Al-Amin, 1984), Cet. ke-1, h. 7
sudah riil dibentuk oleh Muhammad SAW, akan tetapi tentang seputar kelanjutan mendirikan pemerintahan itu masih menjadi perdebatan dikalangan para pemikir Islam, tarik ulur antara tujuan dakwah dan tujuan mendirikan pemerintahan. Dalam kaitannya dengan persoalan diatas, Barat juga mempunyai teori tersendiri dalam mencari hak-hak manusia dimuka bumi ini dengan hak yang utuh dan murni dari tuhannya. Sebut saja teori yang digagas oleh Jean Jacques Rousseau misalnya, dengan karangannya yang berjudul “the social contract”7 ia menggarisbawahi bahwa dalam sebuah negara haruslah terdapat kontrak sosial antara pihak pemerintah dan rakyat dalam mencapai keadilan dan kesejahteraan dalam hidupnya, diantaranya penegakan hukum, penghapusan perbudakan, menghargai kebebasan berpendapat dan mengakui persamaan derajat. Penguasa pemerintahan dapat melahirkan kebijakan yang menempatkan hukum sebagai acuan, menegakkan keadilan dan mengangkat supremasi hukum, maka ruang gerak hukum diberi otoritas atau wewenang untuk menjaga kondisi yang merugikan rakyat dan pemerintah, sebaliknya, penguasa pemerintahan yang membatasi ruang gerak hukum, terutama dengan mempersempit gerak hukum dengan mengadakan kecurangan-kecurangan faktual atau pembodohan terhadap alat-alat negara yang dibawah payung hukum, dengan kata lain, hukum-pun dapat 7
Jean Jacques Rousseau, The Social Contract yang di alih bahasakan oleh Sumardjo, (Jakarta, PT. Erlangga, 1986), tanpa cetakan, h. 4
berubah menjadi buram dan kondisi bangsa juga mengalami keterpurukan mental serta pengkerdilan terhadap hukum itu sendiri sebagai akibat dari intervensi penguasa. Perkembangan hukum banyak diwarnai dengan adanya peristiwa-peristiwa kenegaraan, kebijakan-kebijakan pemerintah baik yang pro maupun yang kontra terhadap kepentingan kalangan bawah ataukah pemerintahan formalitas yang sekedar menjalankan kekuasaan saja, tanpa adanya kebijakan yang bermuara pada kesejahteraan yang bersifat menyeluruh. Kontrak sosial tersebut dibarengi dengan penerapan hukum (diatas) memang banyak dialami kerajaan atau negara manapun karena penguasanya pada saat itu sangat berperan aktif dalam menjalankan politik dan roda pemerintahannya, dari perannya tersebut hukum dapat dicipta dan diamandemen sesuai dengan perjanjian yang disetujui antara kedua belah pihak. Oleh karena itu, dengan didukung beberapa referensi yang valid, akhirnya penulis mengambil keputusan untuk menyusun sebuah karya ilmiah berbentuk skripsi dengan judul dibawah ini: “PIAGAM MADINAH DAN TEORI KONTRAK SOSIAL JEAN JACQUES ROUSSEAU”
B.
Pembatasan dan
Perumusan Masalah Dalam upaya mendapatkan pembahasan tentang relevansi piagam madinah dan teori kontrak sosial yang masing-masing dirumuskan oleh tokoh yang sangat populer di dunia yang berasal dari kawasan timur tengah yaitu Muhammad SAW dan Jean Jacques Rousseau adalah seorang tokoh yang hidup pada (1712-1778 M) dengan karakter dan kesamaan visi antara keduanya. Agar memperoleh hasil dan sesuai dengan subtansi yang penulis maksudkan, maka bahasan yang sistematis dan terarah akan penulis sajikan dengan beberapa batasan seputar masalah hukum dan demokrasi. Oleh karena itu, obyek penelitiannya adalah membandingkan piagam madinah dengan teori kontrak sosial dalam pembentukan hukum dan demokrasi, kedua teori tersebut terdapat kesamaan dan perbedaannya dalam menciptakan tatanan dunia, dengan demikian, maka pengumpulan data-data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research). 1.
Ruang Lingkup Piagam Madinah dan Kontrak Sosial Jacques Rousseau.
2.
Lahirnya Kedua Embrio Hukum dan Demokrasi di Era Klasik.
3.
Relevansi Dua Teori Yang Saling Membangun Nilai Kemanusiaan.
Adapun pembatasan diatas diharapkan dapat mengakomodir semua bahasan tanpa melenceng sedikitpun dari garis yang penulis persiapkan sebelumnya.
Dengan urutan latar belakang dan pembatasan masalah yang membahas tentang relevansi piagam madinah dan teori kontrak sosial dalam era demokrasi
modern ini, maka fokus penulisan skripsi ini diharapkan mampu memberikan pemahaman bagi para pembaca, berikut ini beberapa perumusan masalah yang perlu dikaji dan dikritisi dalam membentuk format yang tepat dan relevan. Sehubungan dengan permasalahan diatas, penulis akan menyajikan pertanyaan sebagai rumusan masalah yang harus diteliti keberadaannya, adapun rumusan masalahnya sebagai berikut: 1. Apa prinsip dasar piagam madinah dan kontrak sosialnya Jean Jacques Rousseau dan tujuan utamanya? 2. Bagaimana proses lahirnya piagam madinah dan teori kontrak sosialnya Jean Jacques Rousseau? 3. Apakah piagam Madinah dan teori Kontrak Sosial Jean Jacques Rousseau memuat aspek hukum dan demokrasi? 4. Faktor apa yang menyebabkan persamaan dan perbedaan karakter antara piagam madinah dan kontrak sosialnya Jean Jacques Rousseau?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Berkenaan dengan penelitian ini, maka penulis akan berusaha melakukan penelitian yang bersifat ilmiah terhadap pembentukan teori hukum dan kenegaraan Islam dan Barat. Sedangkan tujuan dari penelitian ini antara lain : 1.
Untuk mengetahui formulasi Piagam Madinah dan teori kontrak sosialnya Jean Jacques Rousseau.
2.
Mengetahui aspek hukum dan demokrasi dalam Piagam Madinah dan teori Kontrak Sosial Jean Jacques Rousseau.
3.
Mengetahui komparasi Piagam Madinah dan teori kontrak sosialnya Jean Jacques Rousseau beserta kesamaannya.
Adapun manfaat dari penelitian ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu; manfaat secara teoritis yakni untuk memperkaya khasanah keilmuan dilingkungan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada umumnya dan dilingkungan Fakultas Syari’ah pada khususnya. Sedangkan makna secara praktis yaitu mengetahui lebih detail tentang konsep ketatanegaraan
Romawi dan negara Islam di era Muhammad SAW beserta praktik kedua negara tersebut sampai dengan diciptakannya hukum yang dipakai sebagai pedoman dan undang-undang.
D. Metode Penelitian Dengan jenis penelitian kualitatif ini, penulis berusaha mengkaji berbagai sumber dan literatur untuk memperoleh keterangan rinci mengenai aspek hukum dan demokrasi dalam Piagam Madinah dan teori Kontrak Sosial Jean Jacques Rousseau. Sedangkan literatur dan data-data yang diperlukan pembahasan masalah ini berasal dari buku yang berinteraksi dengan judul dan permasalahan yang ada, seperti majalah, surat kabar, jurnal, internet, dan sumber-sumber yang mempunyai kekuatan hukum kebenarannya sebagai bukti yang otentik dalam mencapai hasil penelitian. Sehubungan dengan abstraksi pembahasan diatas, maka, penulis akan menjadikan pembahasan ini secara konkrit dengan menggunakan pendekatan deskriptif serta analisis-komparatif. Adapun pendekatan tersebut diharapkan dapat memperkuat jenis penelitian kualitatif, yakni penulis berusaha memadukan secara sinergis dan ilmiah, Sebagai langkah awal, penulis mengadakan pengolahan data yang sudah terkumpul yaitu data kualitatif, yakni dengan menelaah dan menimbang pembahasan yang ada relevansinya dengan data-data yang lainnya, yaitu, literatur-literatur yang dikaji dan poin-poin dari bagian yang penting serta berinteraksi dengan isi yang diperoleh, setelah itu diklasifikasikan sesuai dengan obyek permasalahannya. Selanjutnya, penulis menguraikan permasalahan dengan metode komparatif. Cara menyusun dan mendapatkan data yang berurutan dengan tema yang dibahas, penulis akan menyajikannya dalam bentuk kerangka, yaitu kerangka deduktif (memaparkan terlebih dahulu melalui pendekatan sejarah secara umum kemudian secara spesifik membahas pengertian piagam madinah dan pengertian kontrak sosial, komparasi dan interaksinya dengan era demokrasi modern, dua teori, penulis akan memberikan penjelasan yang detail dan lengkap dan diharapkan dapat memaparkan maksud dan tujuan yang mendekati sempurna). Sehubungan dengan keterangan yang penulis himpun diatas, maka data yang dubutuhkan dalam penelitian ini adalah jenis data kualitatif, data-data diformulasikan dari bentuk yang abstrak menjadi konkrit, dan data tersebut dibedakan dalam tiga sifat, yakni data yang bersifat primer, skunder dan tersier, sebagai sumber primernya (primery resource) adalah teks Piagam Madinah yang terdapat dalam buku karangan Prof. Dr. Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, (Jakarta: Litera Antar Nusa,
2005) Cet. Ke 30, dan J. J. Rousseau, The Social Contract, Terj. Kontrak Sosial (Jakarta: Erlangga, 1986), Cet. Ke-1. Selain sumber primer tersebut, penulis juga akan merujuk pada sumber skunder (scondery resource) yakni buku karangan, Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan UUD 1945 (Jakarta: Penerbit UI 1995), Cet. Ke- 1, Hannah Rahman, "Pertentangan Antara Nabi dan Golongan Oposisi Nabi Di Madinah", Pandangan Barat Terhadap Islam Lama, (Jakarta: Seri INIS, 1980), Jilid IV. Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Konspress, 2005). Munawir Sadzali, Islam dan Tata Negara, (Jakarta: UI Press: 1993), Nuktoh Arfawie Teori Negara Hukum, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), Cet. Ke-1. Abdul Qadir Djaelani, Negara Ideal Menurut Konsepsi Islam, (Surabaya: Bina Ilmu, 1995), Cet. Ke-1. Abdul Aziz, Masalah Kenegaraan Dalam Pandangan Islam, (Jakarta: Yayasan Al-Amin, 1984), Cet. ke-1. Selanjutnya, penulis juga akan merujuk pada sumber lainnya (tersier resource) seperti Ensiklopedi, Kamus, Kumpulan Karangan dan lain-lainnya yang relevan dengan kajian penulisan karya ilmiah ini, sebagai pendukung terhadap beberapa referensi yang telah penulis sebutkan sebelumnya. Sedangkan teknik penulisan karya ilmiah ini secara umum berpedoman pada kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang benar dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Namun, dalam hal-hal yang lebih spesifik penulis mengacu pada buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2005.
E. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan merupakan pola dasar dalam pembahasan karya ilmiah ini, dengan bentuk bab dan sub-bab yang secara berkaitan serta kebulatan dari pembahasan yang diteliti, maka sistematika penulisan skripsi ini terbagi dengan empat bab, antara lain: Bab I:
Pendahuluan, dimulai dengan tekanan utamanya menjelaskan latar belakang, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian dan teknik penulisan, dan sistematika penulisan.
Bab II:
Piagam Madinah dengan sub bab sebagai berikut: Pengertian dan Ruang Lingkup Piagam Madinah, Prinsip-Prinsip Piagam Madinah, Proteksi Hukum dan Demokrasi dalam Piagam Madinah Sebagai Proteksi Hukum dan Demokrasi.
Bab III:
Kontrak sosial Jean Jacques Rousseau yang antara lain dengan sub bab sebagai berikut: Prinsip-prinsip Dasar Teori Kontrak Sosial Jean Jacques Rousseau, Interaksi Teori Kontrak Sosial Jean Jacques Rousseau Terhadap Substansi Hukum dan Demokrasi.
Bab IV:
Perbandingan Piagam Madinah dan Teori Kontrak Sosial Jean Jacques Rousseau Dari Sisi Hukum dan Demokrasi, antara lain; Definisi dan Interaksi Hukum dan Demokrasi, Persamaan Visi Piagam Madinah dan Teori Kontrak Sosial Jean Jacques Rousseau, Perbedaan Piagam Madinah dan Teori Kontrak Sosial JJ. Rousseau Dari Segi Hukum dan Demokrasi.
Bab V:
Kesimpulan dan Saran.
BAB II PIAGAM MADINAH Pengertian dan Ruang Lingkup Piagam Madinah Kata piagam dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan dengan surat resmi yang berisi pernyataan tentang sesuatu hal.8 Sedangkan menurut William H. Harris and Judith S, Levey, The New Columbia Encyclopedia, piagam merupakan suatu dokumen yang menjamin hak-hak, kekuasaan-kekuasaan, dan kewajibankewajiban tertentu, baik piagam badan yang memerintah suatu negara, piagam universitas, piagam badan hukum, maupun piagam yang memberikan kekuasaan kepada suatu masyarakat.9 Setelah menetap di Yatsrib Muhammad membuat perjanjian tertulis atau piagam kesepakatan dengan penduduk Yatsrib dan sekitarnya (lihat Lampiran 1).10 Para ahli menyebut Piagam Madinah ini dengan istilah yang bermacammacam, Montgomery Watt menyebutnya dengan the constitution of Madina, Nicholson menyebutnya Charter, Majid Khuddari menggunakan perkataan Treaty, Phillips K. Hitti menyebutnya Agreement, dan Zainal Abidin Ahmad memakai perkataan Piagam sebagai terjemahan dari al-shahifah. Nama al-shahifah merupakan nama yang disebut dalam naskah Piagam Madinah itu sendiri. Dalam pada itu kata kitab lebih menunjuk pada tulisan (tentang sesuatu hal).11 Padanan istilah constitution yang dalam Bahasa Indonesia menjadi "konstitusi" atau jika disederhanakan menjadi "undang-undang dasar." Secara
8
Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ( Jakarta, Balai Pustaka, 1990), Cet. Ke-2, h. 680 9 William H. Harris and Judith S, Levey, The New Columbia Encyclopaedia, (Columbia, University Press New York & London, 1975), h. 514 10 Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, (Jakarta, Litera Antar Nusa, 2005), Cet. Ke-30, h. 202. 11 Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta, UI Press, 1995), Cet. Ke-1, h. 2
leksikal Indonesia ia berarti segala ketentuan atau aturan mengenai ketatanegaraan (undang-undang dasar dan sebagainya), atau undang-undang dasar suatu negara.12 Konstitusi, menurut Budiardjo, adalah suatu piagam yang menyatakan citacita bangsa dan merupakan dasar organisasi kenegaraan suatu bangsa." Di dalamnya terdapat berbagai aturan pokok yang berkaitan dengan kedaulatan, pembagian kekuasaan lembaga-lembaga negara, cita-cita dan ideologi negara, masalah ekonomi, dan sebagainya. Namun mengenai unsur ketetapannya tidak ada kesepakatan di kalangan para ahli.13 Kata ini bahkan disebut sebanyak delapan kali dalam teks piagam. Perkataan charter sesungguhnya identik dengan piagam dalam bahasa Indonesia, sedangkan perkataan treaty dan agreement lebih berkenaan dengan isi piagam atau charter itu. Namun fungsinya sebagai dokumen resmi yang berisi pokokpokok pedoman kenegaraan menyebabkan piagam itu itu tepat juga disebut sebagai konstitusi, seperti yang dilakukan oleh Montgomery Watt ataupun seperti yang dilakukan oleh Zainal Abidin Ahmad seperti di atas. Para pihak yang di ikat dalam piagam yang berisi perjanjian ini ada tiga belas, yaitu komunitas yang disebut secara eksplisit dalam teks piagam. Secara keseluruhan, piagam Madinah itu berisi 47 pasal ketentuan.14 Baik disebut sebagai “perjanjian” maupun “Piagam”, dan “konstitusi” bentuk dan muatan shahifat itu tidak menyimpang dan pengertian ketiga istilah tersebut. Dilihat dari pengertian treaty Shahifat itu adalah dokumen perjanjian antara 12 13
h. 95.
14
Ibid, h. 475 Miriam Budiardjo, Dasar·Dasar 1lmu Polilik, (Jakarta, PT Gramedia, 1989), Cet. Ke-19,
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta, Konstitusi Press, 2005), Cet, Ke-1, h. 18
beberapa golongan, Muhajirin-Ansar-Yahudi dan sekutunya bersama Nabi dilihat dari segi pengertian charter, ia adalah dokumen yang menjamin hak-hak semua warga Madinah dan menetapkan kewajiban-kewajiban mereka serta kekuasaan yang dimiliki oleh Nabi. Kemudian dilihat dari pengertian constitution, ia juga memuat prinsip-prinsip pemerintahan yang bersifat fundamental. Artinya kandungan shahifat itu dapat mencakup semua pengertian ketiga istilah tersebut. Sebab ia adalah dokumen perjanjian persahabatan antara Muhajirin-Ansar-Yahudi dan sekutunya bersama Nabi yang menjamin hak-hak mereka, menetapkan kewajiban-kewajiban mereka dan membuat prinsp-prinsip pemerintah yang bersifat funda mental yang sifatnya mengikat untuk mengatur pemerintahan dibawah pimpinan Nabi. Karenanya, Marmaduke Pickthal, H.A.R.Gibb Wensinck, dan Watt sebagai telah disebut menyebut shahifat tersebut sebagai “konstitusi” Namun masih perlu diuji apakah memenuhui syarat untuk disebut konstitusi. Piagam Madinah adalah piagam yang tertulis pertama dalam sejarah umat manusia yang dapat dibandingkan dengan pengertian konstitusi dalam arti modern adalah Piagam Madinah. Piagam ini dibuat atas persetujuan bersama antara nabi Muhammad SAW dengan wakil-wakil penduduk kota Madinah tak lama setelah beliau hijrah dari Makkah ke Yatsrib, nama kota Madinah sebelumnya, pada tahun 622 M. Banyak buku yang menggambarkan piagam Madinah, kadang-kadang disebut konstitusi Madinah. Berdasarkan konklusi itu, maka harus diakui bahwa Piagam madinah tidak dapat memenuhinya secara paripurna. Sebab, di dalamnya tidak ditemui penjelasan tentang pembagian kekuasaan antara badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Tetapi ia menetapkan adanya pemegang hukum tertinggi. Namun demikian, ia dapat disebut sebagai konstitusi, karena ciri-ciri lain dapat ia penuhi, yaitu: ia dalam bentuk tertulis, menjadi dasar organisasi pemerintahan masyarakat Madinah sebagai suatu umat; adanya kedaulatan negara yang dipegang oleh Nabi; dan adanya ketetapan prinsip-prinsip pemerintahan yang bersifat fundamental, yaitu mengakui kebiasaan-kebiasaan masyarakat Madinah, mengakui hak-hak mereka dan menetapkan kewajiban-kewajiban mereka. sebagai himpunan peraturan yang mengatur kehidupan masyarakat Madinah ia bercita-cita
mewujudkan persatuan dan kesatuan semua golongan menjadi satu umat dan hidup berdampingan secara damai sebagai satu umat yang bermoral, menjunjung tinggi hukum dan keadilan atas dasar iman dan takwa. Oleh sebagian sarjana politik istilah konstitusi diartikan sama dengan undang-undang dasar.15 Tapi kepustakaan Belanda membedakan pengertian konstitusi (constitution) dan undang-undang dasar (grondwet). Konstitusi adalah peraturan baik yang tertulis maupun tidak tertulis, sedangkan undang-undang dasar rnerupakan bagian tertulis dalam konstitusi.16 Bagi banyak sarjana ilmu politik, istilah konstitusi merupakan sebutan bagi keseluruhan peraturan, baik tertulis maupun tidak tertulis, yang sifatnya mengikat dalam rnengatur dan menyelenggarakan pemerintahan dalam suatu masyarakat. Tapi dalam kenyataannya, yang berlalu hampir di semua negara dewasa ini bentuknya selalu tertulis, kecuali Inggris. Walaupun demikian, namun tidak ada konstitusi yang memasukkan semua peraturan yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Karena konstitusi, sebagai telah disebut, merupakan dokumen yang hanya memuat prinsip-prinsip pemerintahan yang bersifat fundamental. Artinya, ia hanya mengandung hal-hal yang bersifat pokok, mendasar atau asas-asasnya saja. Jadi, tidak semua masalah yang dianggap penting bagi negara dimasukkan ke dalam konstitusi
atau undang-undang
dasar
Karena itu,
C.F. Strong
mengemukakan bahwa "tidak ada konstitusi yang seluruhnya tak tertulis; 15
Muh. Ridhwan Indra, UUD 1945 Sebagai Karya Manusia, (Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1990), Cet. Ke-1, h. 32. 16 Miriam Budiardjo, Op. Cit., h. 95.
demikian pula tidak ada konstitusi yang seluruhnya tertulis.17 Jadi, cukup hal-hal yang bersifat fundamental dan universal saja yang dimasukkan dalam konstitusi. Unsur-unsur yang luas dikemukakan oleh Budiardjo, yaitu ketentuan tentang organisasi negara, misalnya pembagian kekuasaan antara badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, tentang hak asasi manusia, tentang prosedur mengubah undang-undang dasar, tentang cita-cita rakyat dan asas-asas ideologi negara. Dari berbagai keterangan tentang pengertian konstitusi dan 'usur-unsur atau ciri-cirinya yang dikemukakan di atas, maka suatu konstitusi adalah himpunan peraturan-peraturan pokok mengenai penyelenggaraan pemerintahan dalam suatu masyarakat yang berkaitan dengan organisasi negara, kedaulatan negara, dan pembagian kekuasaan antara badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, hak-hak dan kewajiban rakyat dan pemerintah di bidang-bidang sosial, politik, ekonomi, agama, dan budaya, cita-cita dan ideologi negara dan sebagainya. Pembentukan didasari oleh semangat Muhammad dalam memelihara persatuan dan kesatuan antar suku agar tidak terjadi sikap diskriminasi dan hegemoni antara suku yang kuat menindas suku yang lain, disebut “Piagam” (charter),18 Karena isinya mengakui hak-hak kebabasan beragama dan berkeyakinan, kebebasan Hak kebabasan beragama dan berkeyakinan, kebebasan berpendapat dan kehendak umum warga Madinah supaya keadilan terwujud
h. 66
17
C.F. Strong, Modern Political Constitution, (London, Sidgwick and Jackson Ltd, 1963),
18
William H. Harris and Judith S, Levey. Op. Cit, h. 514
dalam kehidupan mereka, mengatur kewajiban-kewajiban kemasyarakatan semua golongan, menetapkan pembentukan persatuan dan kesatuan semua warga dan prinsip-prinsipya untuk menghapuskan tradisi dan peraturan kesukuan yang tidak baik. Disebut “Konstitusi” (constitution)19 Karena didalamnya terdapat prinsipprinsip untuk mengatur kepentingan umum dan dasar sosial politik yang bekerja untuk membentuk suatu masyarakat dan pemerintahan sebagai wadah pesatuan penduduk Madinah yang majemuk tersebut.
B. Prinsip-prinsip Piagam Madinah Mengenai isi pokok atau prinsip-prinsip yang terdapat di dalam konstitusi Madinah, para ahli yang mengkajinya berbeda dalam membuat rumusannya. Muhammad Khalid merumuskan 8 prinsip. 1) Kaum Muhajirin dan Ansar serta siapa saja yang ikur berjuang bersama mereka adalah umat yang satu. 2) Orangorang mukmin harus bersatu menghadapi orang bersalah dan mendurhaka meskipun anak mereka sendiri. 3) Jaminan Tuhan hanya satu dan sama untuk semua melindungi orang-orang kecil. 4) Orang-orang mukmin harus saling membela di antara mereka dan membel golongan lain, dan siapa saja kaum Yahudi yang mengikut: mereka berhak memperoleh pembelaan dan bantuan seperti yan diperoleh orang muslim. 5) Perdamaian kaum muslim itu adalah satu. 6)
Bila 19
terjadi
persengketaan
di
antara
rakyat
yang
beriman
maka
Konstitusi merupakan prinsip-prinsip pemerintah yang bersifat fundamental dalam suatu bangsa atau pernyataan secara tidak langsung mengenai peraturan-peraturan, institusi-institusi, dan kebiasan, baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Konstitusi tidak tertulis adalah British Constitution Lihat Ibid, h. 638
penyelesaiannya dikembalikan kepada (hukum) Tuhan kepada Muhammad sebagai kepala negara. 7) Kaum Yahudi adalah umat yang satu bersama kaum muslim. Mereka bebas memeluk agama mereka. 8) Sesungguhnya tetangga adalah seperti diri kita sendiri, tidak boleh dilanggar haknya dan tidak boleh berbuat kesalahan kepadanya. Munawir Sjadzali menulis bahwa batu-batu dasar yang ditetapkan oleh Piagam Madinah sebagai landasan bagi kehidupan bernegara untuk masyarakat majemuk di Madinah itu adalah sebagai berikut. 1) Semua pemeluk Islam, meskipun berasal dari banyak suku, tetapi merupakan satu komunitas. 2) Hubungan antara sesama anggota komunitas Islam dan antara anggota komunitas Islam dan anggota komunitas-komunitas lain didasarkan atas prinsip-prinsip: a) bertetangga baik, b) saling membantu dalam menghadapi musuh bersama, c) membela yang teraniaya, d) saling menasehati, e) menghormati kebebasan beragama, dan Piagam itu sebagai konstitusi negara Islam yang pertama tidak rncnyebut agama negara.20 Gambaran mengenai prinsip-prinsip Piagam tersebut, yang menjadi landasan bagi pembentukan umat dan pemerintahan di Madinah, ternyata tidak mendukung kesimpulan Watt. ia menyatakan "pada asalnya negara Islam itu mendasarkan pada konsep politik pra-Islam dan ia merupakan contoh teladannya.
20
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta, UI Press, 1990), Cet. Ke-2, h. 15
Demikian pula kesimpulan Hannah Rahman yang menyatakan dengan Piagam itu Nabi "bukannya memaksakan suatu tatanan sosial yang sama sekali baru"21 Sebab, antara keadaan sosial politik Madinah sebelumnya dan sesudah diorganisir oleh Nabi, jelas berbeda. Sebelumnya, antar suku selalu terjadi konflik, norma-norma sosialnya menurut aturan suku, dan masing-masing membanggakan sukunya. Akibatnya, tidak ada persatuan. Setelah diorganisir oleh Nabi, semua suku dipersatukan, hak-hak dan keamanannya dilindungi. Watt sendiri menyebutnya "kesatuan politik tipe baru" (political unit a new type). Prinsip-prinsip yang terkandung di dalam Piagam itu dapat dikatakan suatu ide yang revolusioner untuk saat itu. Dari sudut tinjauan modern ia dapat diterima sebagai sumber inspirasi untuk membangun masyarakat yang majemuk. Dalam kaitan ini Nurcholish Madjid berkomentar: Bunyi naskah Konstitusi itu sangat menarik. Ia memuat pokok-pokok pikiran yang dari sudut tinjauan modern pun mengagumkan. Dalam konstitusi itulah untuk pertama kalinya dirumuskan ideide yang kini menjadi pandangan hidup modern, seperti kebebasan beragama, hak setiap
kelompok
untuk
mengatur
hidup
sesuai
dengan
keyakinannya,
kemerdekaan hubungan ekonomi dan lain-lain. Tetapi juga ditegaskan adanya suatu kewajiban umum, yaitu partisipasi dalam usaha pertahanan bersama
21
Hannah Rahman, "Pertentangan Antara Nabi dan Golongan Oposisi Nabi di Madinah" H.L. Beck dan N.J.G. Kaptein, (red.), Pandangan Barat Terhadap Islam Lama, (Jakarta, Seri INIS, 1980), Jilid IV, h. 51
menghadapi musuh dari luar.22 Oleh karena itu, Piagam Madinah atau Konstitusi Madinah yang dibuat untuk mempersatukan kelompok-kelompok sosial di Madinah menjadi satu umat dan mengakui hak-hak mereka demi kepentingan bersama, "merupakan contoh teladan dalam sejarah kemanusiaan dalam membangun masyarakat yang bercorak majemuk." Hal ini tidak hanya dalam gagasan sebagai tertuang dalam teks Piagam, tetapi juga tampak dalam praktek Nabi dalam memimpin masyarakat Madinah. Bahkan penulis tegaskan bahwa ide-ide dalam ketetapan-ketetapannya tetap mempunyai relevansi kuat dengan perkembangan dan keinginan masyarakat internasional dewasa ini, dan telah menjadi pandangan hidup modern berbagai negara di dunia. Hal ini dapat dibandingkan dengan isi berbagai piagam, konstitusi, dan deklarasi hak-hak asasi manusia yang lahir puluhan abad kemudian sesudah lahirnya Konstitusi Madinah.23
22
Nurcholish Madjid, "Cita-Cita Politik Kita" dalam Bosco Carvallo dan Dasrizal, (ed.), Aspirasi Umat lslam lndonesia, (Jakarta, Leppenas, 1983), h. 11 23 Seperti Magna Charta (Piagam Agung, 1215) yang dibuat oleh Raja John dari Inggris yang memberikan hak kepada beberapa bangsawan bawahannya dan membatasi kekuasaan Raja John atas permintaan mereka; Bill of Rights (Undang-undang Hak 1689) yang diterima oleh Parlemen Inggris sesudah berhasil "'gadakan perlawanan terhadap Raja James II dalam suatu revolusi tak berdarah Tahun 1688; Declaration des droits de’ homme et du Citoyen (Pernyataan hak-hak manusia dari warga negara, 1789) yang lahir pada permulaan Refolusi Perancis; Bill of Rights (Undang-Undang Hak, 1798) yang disusun oleh rakyat Amerika; The Four Freedoms (Empat Kebebasan), yaitu kebebasan 'bicara dan menyatakan pendapat, kebebasan beragama, kebebasan dari ketakutan, dan kebebasan dari kemelaratan yang dirumuskan oleh Presiden Amerika Serikat Franklin D. Roosevelt; Undang Undang Dasar 1945 Republik Indonesia juga memuat hak-hak asasi; Declaration of Human Rights (Deklarasi " Huk Asasi Manusia, 1948) oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, (Jakarta, IAIN Press, 2000), Cet. Ke-1, h. 207
C. Piagam Madinah Sebagai Proteksi Hukum dan Demokrasi Sejak revolusi Prancis perlindungan terhadap hukum dan demokrasi dianggap berjalan ketika meliputi perlindungan terhadap tiga aspek kehidupan yaitu Liberte (kebebasan), Egalite (persatuan), dan Freternite (persaudaraan). Dalam sub-bab ini penulis mencontohkan nilai kemanusiaan yang terkandung dalam Piagam Madinah, yakni kebebasan, sebab kebebasan adalah hak dasar manusia sejak lahir dan kebebasan adalah hak manusia yang bersifat utuh, akan tetapi sebelumnya dibatasi oleh hukum agar terjaganya ketertiban masyarakat. Dalam pandangan modern, kebebasan individu hanya terbatas pada tingkat bahwa suatu hukum memiliki kekuatan memaksa untuk mendikte melakukan perbuatan tertentu. Dalam hukum adat yang menentukan batasan tindakan seseorang, tidak menjadi halagan bagi kemerdekaan seseorang, dia bisa merencanakan untuk menghindari diri Karena itu, prinsip kebebasan mutlak perlu dikembangkan dan dijamin pelaksanaannya guna terjaminnya keutuhan masyarakat pluralistik. Karakter yang lengkap tersebut dituangkan dengan beberapa pasal yang tidak memihak golongan manapun Adapun kebebasan tersebut meliputi: Pertama kebebasan melakukan adat kebiasaan yang baik. Golongan Muhajirin dari Quraisy tetap berpegang pada adat kebiasaan baik mereka, mengambil dan membayar diat (tebusan) di antara mereka, dan menebus tawanan-tawanan mereka menurut kebiasaan baik (ma'aruf) dan adil (alqisth) di antara mereka yang mukmin. Ketetapan-ketetapan tersebut menunjukkan bahwa kebiasaan mereka dalam hal mengambil dan membayar diat dan menebus tawanan yang sudah berlaku sebelum Islam tidak dihapuskan. Ini berarti bahwa Nabi mengakuinya sebagai sesuatu yang baik dalam menyelesaikan perselisihan di antara mereka dalam kasus pembunuhan. Karena, kebiasaan tersebut merupakan salah satu cara dan
bentuk penghargaan terhadap martabat manusia bagi yang terbunuh atau tertawan, walaupun nilai manusia tidak dapat diukur dengan uang atau harta benda. Karena itu, mereka boleh meneruskan kebiasaan tersebut menurut adat kebiasaan yang baik dan adil. Al-Quran juga menetapkan jika hukum qisas tidak dilaksanakan karena keluarga si terbunuh memaafkan keluarga si pembunuh, maka alternatifnya ialah si pembunuh harus membayar diyat kepada pemberi maaf (keluarga si terbunuh) dengan cara yang baik. Kedua, kebebasan dari kekurangan. Hal ini dapat dilihat dalam ketetapan Piagam Madinah yang menyatakan bahwa "Sesungguhnya orang-orang mukmin tidak boleh membiarkan seseorang di antara mereka menanggung beban utang dan beban keluarga yang harus diberi nafkah, tetapi memberinya bantuan dengan cara yang baik dalam menebus tawanan atau membayar diat. Ketetapan ini memberi tanggung jawab kepada seluruh orang mukmin yang mampu agar membebaskan orang-orang mukmin lain yang berada dalam kekurangan karena dibebani utang untuk membiayai hidup keluarga, atau karena ada anggota keluarganya yang tertawan musuh dan ia tidak mampu menebusnya, dan atau karena ada anggota keluarganya melakukan kejahatan pembunuhan dan dia tidak mampu membayar diat kepada keluarga si terbunuh. Ketiga, kebebasan dari penganiayaan dan menuntut hak. Prinsip ini dipahami dari ketetapan Piagam yang menyatakan: "Bahwa kaum Yahudi yang mengikuti kami berhak mendapat perlindungan dan hak persamaan tanpa ada penganiayaan atas mereka dan tidak pula ditolong orang yang menjadi musuh mereka. Keempat, kebebasan dan rasa takut. Teks Piagam menyatakan: "Bahwa siapa saja yang keluar dadari kota Madinah tetap tinggal (di dalarnnya) ia akan aman kecuali orang berbuat zalim dan dosa. Ketetapan ini merupakan pengakuan akan hak hidu dan keselamatan diri, hak atas perlindungan din, hak atas perlindungan dan keamanan diri pribadi setiap penduduk Madinah, Setiap warganegara yang keluar masuk dan dan ke kota itu maupun tinggal di dalamnya, keamanannya dijamin. Kelima, kebebasan berpendapat. Prinsip ini tidak dinyatakan oleh teks Piagam secara eksplisit. Prinsip ini dipahami dari pasal 37 yang menyatakan: " dan bahwa di antara mereka saling memberi saran dan nasihat yang baik dan bcrbuat kebaikan, tidak dalam perbuatan dosa. Dua ketetapan ini mengisyaratkan adanya jaminan kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat bagi penduduk Madinah. Keenam, kebebasan beragama. Penetapan prinsip ini di dalam Piagam Madinah tampaknya menjadi jawaban nyata
terhadap situasi sosial penduduk Madinah, yakni adanya keragaman komunitas agama dan keyakinan di kota itu.24
Kebebasan-kebebasan yang dibutuhkan manusia adalah kebebasan beragama, kebebasan dari perbudakan, kebebasan dari kekurangan, kebebasan dari rasa takut, kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan bergerak, kebebasan dari penganiayaan dan lain-Iain. Di dalam Piagam Madinah juga terdapat ketetapanketetapan mengenai kebebasan yang diperuntukkan bagi segenap penduduk Madinah dan hal itu bermuara pada al-Qur’an dan as-Sunnah, misalnya berlaku adil dan bijaksana merupakan nilai luhur dari kebebasan itu sendiri, kebebasan mempunyai koridor diatas norma-norma, Sebagaimana termaktub dalam al-Qur’an surat al-Maidah: 8, sebagai berikut: ﻋ ِﺪﻟُﻮا ُه َﻮ ْ ﻋﻠَﻰ َأﻟﱠﺎ َﺗ ْﻌ ِﺪﻟُﻮا ا َ ن َﻗ ْﻮ ٍم ُ ﺷﻨَﺂ َ ﺠ ِﺮ َﻣ ﱠﻨ ُﻜ ْﻢ ْ ﻂ َوﻟَﺎ َﻳ ِﺴ ْ ﺷ َﻬﺪَا َء ﺑِﺎ ْﻟ ِﻘ ُ ﻦ ِﻟﱠﻠ ِﻪ َ ﻦ ءَا َﻣﻨُﻮا آُﻮﻧُﻮا َﻗﻮﱠاﻣِﻴ َ ﻳَﺎَأ ﱡﻳﻬَﺎ اﱠﻟﺬِﻳ (5/8 : ن )اﻟﻤﺎﺋﺪة َ ﺧﺒِﻴ ٌﺮ ِﺑﻤَﺎ َﺗ ْﻌ َﻤﻠُﻮ َ ن اﻟﱠﻠ َﻪ ب ﻟِﻠ ﱠﺘ ْﻘﻮَى وَا ﱠﺗﻘُﻮا اﻟﱠﻠ َﻪ ِإ ﱠ ُ َأ ْﻗ َﺮ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
24
J. Suyuthi Pulungan, Prinsip-Prinsip Pemerintahan Dalam Piagam Madinah Ditinjau Dari Pandangan Al-Qur’an, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1996), Cet. Ke-2, h. 22
Selain persamaan di atas, di dalam Islam juga ditegakkan persamaan dalam hal sosial kemasyarakatan, antara lain:58 Persamaan mendapat hak hidup; persamaan mendapat keamanan; persaman mendapat perlindungan baik laki-laki maupun perempuan, dan baik golongan Islam maupun golongan non-Islam; persamaan hak dalam membela diri; persamaan hak memberikan saran dan nasihat untuk kebaikan; serta persamaan tanggung jawab mempertahankan keamanan kota Madinah (bela atau mempertahankan tanah air).
58
AM. Saefudin, Ijtihad Politik Cendekiawan Muslim, , (Jakarta, Gema Insani Press, 1996), Cet. Ke-1, h. 151.
BAB III KONTRAK SOSIAL JEAN JACQUES ROUSSEAU A. Prinsip-prinsip Dasar Teori Kontrak Sosial Jean Jacques Rousseau Kontrak sosial terdiri dari dua kata, kontrak dan sosial. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, Kontrak mengandung arti perjanjian (secara tertulis) antara dua pihak dalam perdagangan, sewa menyewa, dan sebagainya, atau persetujuan yang bersanksi hukum antara dua pihak atau lebih untuk melakukan atau tidak melakukan kegiatan. 25 Sedangkan sosial mengandung arti hal yang berkenaan arti hal berkenaan dengan masyarakat; atau suka memperhatikan kepentingan umum.26 Jadi, kontrak sosial adalah perjanjian dalam bentuk tertulis atau persetujuan yang bersangsi hukum yang dibuat masyarakat. Perjanjian masyarakat dalam ilmu politik sering disebut juga dengan istilah kontrak sosial. Menurut J.J Rousseau, kontrak sosial menunjukan janji timbal-balik, dan usaha masing-masing pihak dalam kontrak berkaitan dengan kewajiban yang akan
25
Tim Penyusunan Kamus Besar Bahasa Indonesia Depertemen Pendidikan Dan Kebudayaan Kamus Besar Bahasa Indoensia ( Jakarta, Balai Pustaka, 1998), Cet Ke-1, h. 458 26 Ibid. h. 88
memberikan kepuasan beberapa kepentingan kepada pihak lain yang ada dalam kontrak itu. 27 Sedangkan kontrak sosial dalam istilah ilmu politik menurut ahli tata negara Inggris, G.H. Sabine seperti yang dikutip oleh M. Hasbi Amiruddin adalah teori yang menyatakan bahwa seseorang atau sekelompok manusia menyerahkan hak kekuasaan dirinya pada seseorang atau kepala lembaga yang disepakati.28 Berbicara tentang sejarah timbulnya teori kontrak sosial, biasanya dikaitkan dengan teori Jean Jacques Rousseau mengenai perjalanan masyarakat. Hal ini wajar, mengingat Rousseau adalah pemikir yang pertama kali menggunakan istilah social contract. Teori ini dikemukakan sejak pemikiran politik rasional muncul dimuka bumi ini. Dengan demikian, teori perjanjian ini boleh dikatakan sudah cukup tua dan usang. Tiga tokoh teori ini yang paling dikenal ialah Thomas Hobbes, John Locke dan Jean Jacques Rousseau yang masing-masing mempunyai pandangan tersendiri mengenai latar belakang timbulnya teori perjanjian masyarakat tersebut. Thomas Hobbes misalnya, mengikuti jalan pikiran teori-teori perjanjian masyarakat yang memisahkan kehidupan manusia dalam dua suasana, yakni kadaan sebelum ada negara dan keadaam setelah bernegara. 29
27
J. J Rousseau, The Social Contract, Terj. Oleh Sumardjo, (Jakarta, Erlangga, 1986) h. xix Hasbi Amiruddin. Konsep Negara Islam menurut Fazlur Rahman (Yogyakarta, UII Press, 2000), Cet. Ke-1, h. 50 29 Cheppy Hericahyono, Ilmu Politik dan Perspektifnya, (Yogyakarta Tiara Wacana, 1986), Cet. Ke-1, h. 201 28
Menurut Hobbes keadaan alamiah sama sekali bukan keadaan yang aman bagi manusia, suatu keadaan yang tidak memberikan keadilan dan kemakmuran, tetapi merupakan keadaan sosial yang serba kacau sebagaimana yang bisa kita simpulkan dari pendapat Hobbes bellum omnium contra omnes (peperangan antara orang yang satu dengan yang lainnya, antara seorang dengan semua orang, dan juga antara semua orang melawan semua orang). Dalam keadaan demikian, “hukum” dibuat oleh mereka yang fisiknya terkuat sebagaimana keadaam di hutan belantara. Dalam keadaan alamiah, struktur sosial politik dan kekuatan belum berbentuk. Manusia bebas melakukan apapun yang dikehendakinya sesuai tuntutan nalurinya. Meskipun demikian, Hobbes berpendapat manusia dalam keadaan alamiah bukanlah sejenis hewan sosial (social animal) seperti yang dikemukakan Aristoteles. Meski sama-sama memiliki naluri, manusia berbeda dengan hewan. Naluri hewani mendorong seekor semut atau lebah untuk berkompromi dan berdamai. Jadi secara instingtif, semut dan lebah memiliki watak sosial.30 Sebaliknya, naluri manusia mendorong seseorang untuk berkompetisi atau berperang. Manusia watak itu membuat manusia berperang satu sama lainnya. Keadaan seperti itulah yang kemudian memaksa akal manusia untuk mencari kehidupan alternatif yang lebih baik dimana manusia dapat mengekang hawa
30
Cranston, Hobbes, Makers of Modern Thought, (New York, American Heritage Publishing Co. Inco. 1992), p. 193
nafsunya. Kehidupan alternatif itu ditemukan Hobbes setelah manusia mengadakan perjanjian untuk membentuk negara.31 Kita dapat tiga penyebab pokok untuk berselisih Pertama, persaingan yang membuat manusia menyerang agar memperoleh keuntungan, Kedua tiadanya kepercayaan untuk mendapatkan keamanan dan ketiga kejayaan untuk reputasi. Yang pertama mempergunakan kekerasan, agar manusia itu menguasai pribadi manusia lain, istrinya, anak-anaknya, dan ternaknya, yang kedua untuk mempertahankannya; yang ketiga untuk memperoleh kelebihan dalam hal-hal kecil, seperti kata, senyum, pendapat yang berbeda, dan apapun yang menyangkut dengan hal-hal kecil ini. 32 Dengan latar belakang berbeda, di mana masa kecil Locke persis yang dialami Hobbes, adalah masa tragis dan ironis. Dari tragedi masa kecil itu memberikan banyak pelajaran berharga baik Locke. Ia mulai memahami berapa pentingnya penghargaan terhadap kebebasan, demokrasi, pembatasan kekuasaan dan toleransi agama. Dalam karyanya, Two Treaties of Government dengan mengemukakan asalmuasal pemerintahan. Menurutnya, asal-muasal pemerintahan adalah satu keadaan alamiah. John Locke menafsirkan keadaan yang alamiah itu merujuk pada keadaan dimana manusia hidup dalam kedamaian, kebijakan, saling melindungi, penuh kebebasan, tak ada rasa takut dan penuh kesetaraan, artinya manusia hidup secara
31
Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara Masyarakat dan Kekuasaan (Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 2001). 32 Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negeri Barat (Bandung, Mizan, 2000), Cet. Ke-6, h. 109
rukun dan tentram sesuai dengan hukum (law of reason) yang mengajarkan bahwa manusia tidak boleh menganggu hidup, kesehatan, kebebasan, dan miliki sesamanya. Tetapi walaupun dalam keadaan merdeka, ini tidak berarti suka hati, walau dalam keadaan itu manusia mempunyai kemerdekaan tiada terkontrol untuk berbuat apa saja tentang dirinya atau miliknya, namun ia tidak merdeka untuk menghancurkan dirinya atau makhluk lain yang berbeda dalam kekuasaannya (milik) nya kecuali bila ada maksud lain yang lebih mulia dari pada sekedar mempertahankannya tiap orang dan mengajarkan manusia bahwa karena semua sama dari bebas, tidak seorang pun akan melukai atau merusakkan orang lain dalam hidupnya kesehatannya, kemerdekaannya, atau miliknya. Kendatipun keadaan alamiah itu boleh dikatakan sebagai keadaan yang ideal, tetapi John Locke juga merasakan bahwa keadaan semacam itu dapat menimbulkan anarki, karena manusia hidup tanpa organisasi dan pemimpin yang dapat mengatur kehidupan mereka. Karena itu manusia berusaha membentuk negara dengan suatu perjanjian bersama. Sementara Rousseau yang juga memisahkan kehidupan manusia dalam dua suasana mempersepsikan keadaan alamiah sebagai suatu keadaan sebelum manusia melakukan dosa, yaitu suatu keadaan yang aman dan tentram. Dalam keadaan alamiah itu manusia hidup secara bebas dan sederajat kebebasan manusia adalah kebebasan alami, berupa hak-hak yang tiada tentu dan tidak terbatas untuk
mengambil apa saja yang menarik minatnya. Hak-hak ini, katanya lebih lanjut, hanya dapat ditegakkan selama manusia itu cukup kuat untuk mempertahankannya. Tetapi dibalik itu manusia sadar akan ancaman potensial atas kehidupan dan kebahagiannya yang sewaktu-waktu dapat menimpa mereka dalam keadaan alamiah itu. Keadaan alamiah itu juga dapat berubah menjadi keadaan yang apabila terjadi kesenjangan derajat manusia, berbeda dengan Hobbes yang melihat ‘perang’ akibat watak agresif manusia. Rousseau menekankan pentingnya nilai-nilai kebebasan dalam karyakaryanya terutama Du Contract
Social
tetapi itu bukanlah berarti
Rousseau
menghendaki kebebasan yang tanpa batas yang dapat menimbulkan anarki sosial kebabasan tidak boleh menjadikan manusia anarkis. Dalam keadaan alamiah manusia mempunyai kebebasan penuh dan bergerak menurut nafsu dan nalurinya. Sebaik apa pun keadaan alamiah disadari bahwa situasi demikian teramat rentan dan dapat mengancam eksistensinya manusia. Perang dan pertikaian akan mudah terjadi kekhawatiran itulah yang kemudian menggerakkan manusia untuk mengadakan ikatan bersama, berupa kontrak sosial. Manusia berdasarkan kesadaran penuh, berusaha untuk keluar dari keadaan alamiah dan membentuk negara. Jadi secara singkat sejarah timbulnya teori kontrak sosial dapat disimpulkan sebagai berikut: pokok : pokok pikiran teori ini ialah mula-mula ada dalam keadaan bebas atau liar dan kemudian mengadakan suatu organisasi kenegaraan yang
menjadikan manusia tidak lagi dalam state of nature, tetapi dalam keadaan hidup bermasyarakat atau bernegara. Pelaksanaan ini dicapai melalui kontrak sosial.
B. Interaksi Teori Kontrak Sosial Jean Jacques Rousseau Terhadap Substansi Hukum dan Demokrasi Jean Jasques Rousseau dilahirkan di Jenewa tahun 1712 ia adalah seorang pemikir yang banyak memberi pengaruh di berbagai bidang termasuk filsafat, kesusastraan dan politik.33 Dalam berbagai ajarann filsafatnya, Rousseau telah memasuki unsur perasaan, suatu hal yang tidak dilakukan oleh pemikir-pemikir sebelumnya. Kecuali itu yang sangat menarik dan Rousseau adalah sikapnya yang sangat menarik dari Rousseau adalah sikapnya yang sangat bebas terhadap keadaan-keadaan atau masalah-masalah yang sudah berlaku umum dalam zamannya kebebasan sikap atau penderian itu tidak hanya terbatas pada pimikirannya tentang negara dan hukum, tetapi sikap itu pertama-tama ditujukan kepada sifat-sifat yang tidak sesuai dengan alam, yang diakibatkan oleh peradaban dan kebaktian manusia itu sendiri. Dalam hubungan ini Rousseau berpendirian bahwa manusia yang menurut kodratnya itu baik sebenarnya telah dirusak oleh peradaban yang dikembangkannya sendiri.
33
Ibid, h. 149
Ia juga menyatakan bahwa peradaban modern dengan logika Rasionalisme Cartesiannya membuat manusia menjadi terasing dari kehidupannya Rasionalisme membuat manusia mengabaikan asfek emosi dan romantisme dalam dirinya. Manusia tidak lagi menjadi manusia yang alamiah. Pemikiran Rousseau tentang masyarakat dan negara di tuangkan dalam tulisannya Du Contract Sosial (Perjanjian social). Dalam tulisannya ini, Rousseau mengemukakan perjanjian bersama sebagai jalan membentuk negara polis seperti pada masa Yunani Kuno, republik atau badan politik. Istilah ini bagi Rousseau dapat dipertukarkan dengan istilah-istilah lain, seperti rakyat berdaulat, kekuasaan, ataupun rakyat saja tergantung pada cara melihat negara itu. Dalam menjawab pertanyaan tentang asal mula negara, Rousseau tidak begitu berbeda dengan penganut ajaran hukum alam lainnya. Artinya Rousseau sependapat dengan teori perjanjian masyarakat yang umumnya berkembang sebagai akibat adanya kekacauan dan berbagai pertentangan dari keadaan alamiah manusia. Akan tetapi segisegi tertentu Rousseau memiliki corak tersendiri, yaitu dengan memasukkan pemikirannya tentang kedaulatan rakyat. Mengenai perjanjian masyarakat, bagi Rousseau yang penting adalah bagaimana menciptakan keseimbangan antara kekuasaan pihak-pihak yang telah ditunjuk untuk berkuasa dengan kebebasan rakyat yang memberi kuasa. Dalam hubungan ini dipersoalkan bagaimana cara mendapatkan suatu alasan yang masuk akal dan rasional tentang keseimbangan antara perjanjian masyarakat yang mengikat dengan kebebasan
orang-orang yang menyelenggarakan
perjanjian masyarakat yang mengikat dengan
kebabasan orang-orang yang menyelenggarakan perjanjian masyarakat tersebut J.J Rousseau berpendirian bahwa ini perjanjian masyarakat adalah menemukan satu bentuk kesatuan yang mampu membela dan melindungi kekuasaan bersama disamping kekuasaan pribadi dan milik setiap orang, sehingga semuanya dapat bersatu kedatipun masing-masing orang tetap mempertahankan dirinya sendiri atau memperhitungkan kemerdekaan dan kebebasan yang telah dibawahnya sejak lahir. Dengan perjanjian masyarakat itu, setiap orang melepaskan dan menyerahkan haknya kepada kesatuannya, yaitu masyarakat. Sebagai konsekuensinya
adalah,
pertama, akan tercipta kemampuan umum (volonte generale), yaitu kesatuan kemauan orang-orang yang telah menyelenggarakan perjanjian masyarakat tadi. Volone generale inilah yang merupakan kesatuan tertinggi dalam masyarakat; kedua. terciptanya suatu masyarakat atau gemeinschaf,
yaitu kesatuan orang-orang yang menyelenggarakan
perjanjian masyarakat tadi. Masyarakat ini memiliki kemauan umum (volne generale), suatu kekuasaan tertinggi atau kedaulatan tersebut disebut kedaulatan rakyat. Dengan perjanjian masyarakat akan tercipta masyarakat, dan selanjutnya bisa meluas menjadi negara. Dengan demikian berarti telah terjadi suatu peralihan dari keadaan alam bebas keadaan bernegara. Karena peralihan tersebut, naluri manusia telah diganti dengan keadilan dan tindakan-tindakan yang mengandung kesusilaan. Kebebasan dan kemerdekaan alamiah yang tanpa batas diganti dengan kebebasan dan kemerdekaan
yang dibatasi oleh kemauan umum yang ada dalam masyarakat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Beberapa sifat dan kontrak Rousseau adalah. Pertama, kontrak sosial itu hanya antara sesama rakyat atau anggota-anggota masyarakat, kedua, melalui kontrak sosial itu masing-masing melimpahkan segala hak perorangannya kepada komunitas sebagai satu keutuhan.34 Jika Hobbes hanya mengenal pactum subjections dan Locke mengkontruksi dua jenis perjanjian saja, yaitu hanya pactum unionis, perjanjian masyarakat yang sebenarnya. Rousseautidak mengenal pactum subjectionis yang membentuk pemerintah yang ditaati. Pemerintah tidak mempunyai dasar kontraktual. Hanya organisasi politiklah yang dibentuk dengan kontrak. Pemerintahan sebagai pimpinan organisasi itu dibentuk dan ditentukan oleh yang berdaulat dan merupakan wakil-wakilnya (gecommitterde). Yang berdaulat adalah rakyat seluruhnya melalui kemauan umumnya. Negara atau “badan koperatif kolektif” yang dibentuk itu menyatakan kemauan umumnya (generalwill) yang tidak dapat khilaf, keliru atau salah, tetapi yang tidak senantiasa progressif. Kemauan umum inilah yang mutlak berdaulat kemauan umum tidak selalu berarti kemauan seluruh rakyat. Adakalanya terdapat perbedaan-perbedaan antara kemauan umum dan kemauan seluruh rakyat (will of all). Kemauan selalu benar dan ditujukan untuk kebahagian
34
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta, UI Press, 1993), Cet. Ke-5. h. 69
bersama, sedangkan kemauan seluruh rakyat juga memperhatikan kepentingan individual (particular interest) dan karena itu merupakan keseluruhan kemauan-kemauan khusus (partikular will) tersebut. Dengan kontruksi perjanjian masyrakat itu, Rousseau menghasilkan bentuk negara yang kedaulatannya berada dalam tangan rakyat melalui kemauan umumnya. Ia adalah peletak dasar paham kedaulatan rakyat atau jenis negara yang demokratis, yakni rakyat dan penguasa-penguasa negara hanyamerupakan wakil-wakil rakyat.35 Gagasan Rousseau mengenai negara dan kekuasaan merupakan refleksi kritisnya atas sistem kenegaraan yang berlaku pada masa itu. Tidak sulit memahami mengapa demikian. Penguasa mengklaim Geneva sebagai sebuah republik, negara yang amat mementingkan kedaulatan rakyat dan rakyat sebagai sumber legitimasi kekuasaannya, tetapi dalam praktiknya negara Geneva adalah sebuah negara yang dikuasai oleh segelincir keluarga bangsawan (aristokrasi) dan kekuasaanya bersifat turun-temurun. Negara atau sistem pemerintahan yang bagaimanakah yang ideal menurut Rousseau? Dalam Du Contrat Social, ia mendambakan suatu negara atau sistem pemerintahan yang memberlakukan demokrasi langsung, yaitu suatu sistem kenegaraan dimana setiap warga negara-negara jumlahnya tidak begitu banyak menjadi pembaut keputusan dalam suatu wilayah yang tidak terlalu luas. Rousseau mendambakan negaranegar kota seperti zaman romawi kuno, sistem pemerintahan didesa-desa di Swiss ketika
35
Tim ICCE UIN Jakarta, Pendidikan Kewarganegaraan Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, (Jakarta: Renada Media, 2003), Cet. Ke-1, h. 40
ia masih kanak-kanak. Di negara-negara kota seperti itu, rakyat dapat menjadi subyek pemerintahan sekalipun berada dibawah kekuasaan negara. Jean Jacques Rousseau yang berjudul “the social contract” atau dalam bahasa Indonesia dikenal dengan kontrak sosial, secara universal manusia lahir membawa kebebasan yang utuh dengan hak-hak yang melekat pada diri manusia itu sendiri dan wajib bertanggungjawab untuk menentukan nasibnya, disadari atau tidak diskriminasi dan intimidasi tetap ada. Untuk mencegah meluasnya diskriminasi dan intimidasi, dibutuhkan sifat kritis dan berani (membela hak-hak individu yang dirampas oleh kelompok tertentu).
BAB IV
PERBANDINGAN PIAGAM MADINAH DAN TEORI KONTRAK SOSIAL JEAN JACQUES ROUSSEAU DARI SISI HUKUM DAN DEMOKRASI A. Definisi dan Interaksi Hukum dan Demokrasi Hukum adalah produk politik penguasa, dan demokrasi merupakan sebuah konsep yang harus diberlakukan, apabila ketidakadilan hukum terhadap kepentingan kelompok mayoritas (rakyat) tersebut dihilangkan, ini berarti contoh tidak terakomodirnya aspirasi rakyat. Keadilan bukan milik pengusa dan kelompok yang terkuat, akan tetapi milik semua manusia. Misalnya perbudakan, praktik ini tergolong klasik dan penuh dengan perjanjian yang mengikat antara majikan dan sibudak yang diambilnya. Peralihan peradaban lambat laun menghapuskan praktik perbudakan, hal ini sangat bertentangan dengan hak, baik seseorang terhadap orang lainnya, atau dari orang terhadap penduduk, sikap inkonsisten terhadap konsesnsus yang diadakan mereka cenderung dilanggar oleh majikan dan akhirnya membuat sibudak melepaskan
kemerdekaannya,
nurut
dan
pasrah,
tanpa
kekuatan
untuk
mempertahankan hak-haknya. Kesepakatan sosial (social compact) memberikan dimensi yang utuh dalam mempertahankan prinsip, terutama prinsip kenegaraan yang melepaskan atribut individual menuju atribut universal dalam menyepakati nilai-nilai kehidupan yang
aman dan tertib bermasyarakat. Pengorbanan yang didorong dengan sifat patriotis membuahkan suatu tatanan yang harmonis. Keruntuhan sebuah dinasti atau bangsa, terletak kepada kesepakatan sosial dan menjaga komunikasi antara penguasa dan rakyat. Konsepsi negara hukum mengandung pengertian bahwa negara memberikan perlindungan hukum bagi warga negara melalui pelembagaan peradilan yang bebas dan tidak memihak dan pinjaman hak asasi manusia, adapun konsep rechtsstaat mempunyai ciri-ciri berikut: 1).Adanya perlindungan terhadap HAM 2). Adanya pemisahan dan pembagian kekuasaan pada lembaga negara untuk menjamin perlindungan HAM; 3). Pemerintah berdasarkan peraturan. Infrastruktur Politik merupakan komponen yang dapat mendukung tegaknya demokrasi, infrastruktur politik terdiri dari partai politik (political party), kelompok gerakan (movement group) dan kelompok penekan atau kelompok kepentingan (pressurelintrest group). Partai politik merupakan struktur kelembagaan politik yang anggota–anggotanya mempunyai orientasi, niai-nilai dan cita-cita yang sama yaitu memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik dalam mewujudkan kebijakan-kebijakan. Agar analisa pembahasan ini sistimatis dan terarah, maka sebelumnya pengertian demokrasi perlu diulas kembali, bahwasannya secara etimologis demokrasi berasal dari bahasa Yunani kuno yang terdiri dari kata demos yang berarti rakyat dan kratos atau kratein berarti kekuasaan atau berkuasa. Jadi demokrasi menurut asal kata berarti
“rakyat berkuasa” atau “government or rule by the people.”36 Dengan kata lain demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat; atau kedaulatan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan rakyat.37 Secara terminologis, menurut Joseph A. Schmeter, demokrasi merupakan suatu perencanaan institusional untuk menyampaikan keputusan politik di mana individuindividu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan dengan cara perjuangan kompetitif atau suara rakyat. Sidney Hook berpendapat bahwa demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana keputusan-keputusan pemerintah yang penting secara langsung atau tidak langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat yang sudah dewasa. Philippe C. Schmitter dan Terry Lynn menegaskan bahwa demokrasi merupakan suatu sistem pemerintahan di mana pemerintah dimintai tanggung jawab atas tindakan-tindakan mereka di wilayah publik oleh warga negara yang bertindak secara tidak langsung, melalui para wakil mereka yang terpilih. Menurut Hendry B. Mayo, demokrasi merupakan sistem politik yang menunjukkan bahwa kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil rakyat yang diawasi secar efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik.38
1
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta, Gramedia Pustaka Utama 1998), Cet. Ke-19, h. 51. 37 Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, (Jakarta, Gaya Media Pratama 1995), Cet. Ke-3, h. 165 38 Tim ICCE UIN Jakarta, Pendidikan Kewarganegaraan Demokrasi, HAM dan Masyaralat Madani, (Jakarta, Renada Media, 2003), Cet. Ke-1, h. 111
Menurut Robert A. Dahl dalam buku Democracy and Its Critics, seperti dikutip Syamsuddin Haris, demokrasi merupakan sarana, bukan tujuan utama, untuk mencapai persamaaan (equality) politik yang mencakup tiga hal: kebebasan manusia (baik secara individu maupun kolektif), perlindungan terhadap nilai (harkat dan martabat) kemanusiaan, dan perkembangan diri manusia.39 Sementara bagi Willy Eichler, esensi demokrasi adalah proses, karenanaya ia merupakan sistem yang dinamis menuju ke arah yang lebih baik dan maju dibanding dengan yang sedang dialami masyarakat (negara), atau sebelumnya.40 Sekalipun terminologi demokrasi memiliki banyak pengertian dan ragam, namun batasan yang dikemukakan para pemikir politik tersebut tampak menemukan titik temu yang sama. Yaitu, bahwa demokrasi memiliki doktrin dasar yang tak pernah berubah. Doktrin tersebut adalah: adanya keikutsertaan anggota masyarakat (rakyat) dalam menyusun agenda-agenda politik (pemerintahan) yang dapat dijadikan landasan pengambilan keputusan, adanya pemilihan yang dilakukan secara umum dan berkala, adanya proses yang berkesinambungan, serta adanya pembatasan kekuasaan politik. Menurut Robert A. Dahl dalam buku Democracy and Its Critics, seperti dikutip Syamsuddin Haris, demokrasi merupakan sarana, bukan tujuan utama, untuk mencapai persamaaan (equality) politik yang mencakup tiga hal: kebebasan manusia (baik secara individu maupun kolektif), perlindungan terhadap nilai (harkat dan 39
Syamsuddin Haris, Demokrasi di Indonesia, (Jakarta, LP3ES, 1995), Cet. Ke-1, h. 5 Nurcholis Madjid, Demokrasi dan Demokratisasi di Indonesia, dalam Elsa Pedi Taher (ed.), Demokratisasi Politik, Budaya dan Ekonomi, (Jakarta, Paramadina, 1994), Cet. Ke-1, h. 203 40
martabat) kemanusiaan, dan perkembangan diri manusia. Sementara bagi Willy Eichler, esensi demokrasi adalah proses, karenanaya ia merupakan sistem yang dinamis menuju ke arah yang lebih baik dan maju dibanding dengan yang sedang dialami masyarakat (negara), atau sebelumnya. Sekalipun terminologi demokrasi memiliki banyak pengertian dan ragam, namun batasan yang dikemukakan para pemikir politik tersebut tampak menemukan titik temu yang sama. Yaitu, bahwa demokrasi memiliki doktrin dasar yang tak pernah berubah. Doktrin tersebut adalah: adanya keikutsertaan anggota masyarakat (rakyat) dalam menyusun agenda-agenda politik (pemerintahan) yang dapat dijadikan landasan pengambilan keputusan, adanya pemilihan yang dilakukan secara umum dan berkala, adanya proses yang berkesinambungan, serta adanya pembatasan kekuasaan politik. Demokrasi dalam sejarahnya, mengalami pertumbuhan dan perkembangan melalui proses-proses historis yang sangat panjang dan kompleks. Konsep demokrasi bukanlah konsep yang mudah dipahami, sebab ia memiliki konotasi makna, variatif, evolutif dan dinamis. Untuk keperluan dan memudahkan proses penulisan ini, penulis tidak menjabarkan secara mendetail dan menyeluruh, melainkan hanya membaginya dalam babakan-babakan yang berdasarkan priode. Adapun perode-periodenya adalah: Pertama, pada masa Yunani Kuno, abad ke-6 SM sampai abad ke-4 M. Pada masa ini, demokrasi yang diterapkan adalah demokrasi langsung (direct democracy), artinya rakyat membuat keputusan-keputuan politik dan dijalankan secara langsung oleh seluruh warga negara. Di mana warga
negara memiliki hak dan kewajiban yang sama di depan hukum, merumuskan undang-undang, dan tidak didiskriminasi dalam proses perumusan kebijakan negara.41 Praktik demokrasi langsung untuk pertama kalinya diterapkan di negarakota (city-state) Atena,Yunani Kuno. Praktik demokrasi inilah yang menjadi salah satu faktor bagi munculnya gagasan, ide, dan lembaga demokrasi pasca kekalahan negara-kota Atena dari Sparta. Yaitu, terbentuknya negara kesejahteraaan (walfare state), yang digagas oleh filsuf Yunani Kuno, seperti Plato, Aristoteles (384-323 sM), M. Tullius Cicero (106-43 SM), dan lainya. Kedua, abad pertengahan (600-1400 M). Masa ini ditandai oleh pola kehidupan negara yang bersifat feodalistik dan mengagung-agungkan bangsawan, Gereja sebagai lembaga agama di bawah kepemimpinan Paus memainkan peran sangat besar, bahkan gereja membawahi negara. Pada masa ini pula, banyak terjadi perebutan kekuasaan untuk mempengaruhi raja yang dilakukan oleh para bangsawan, dan munculnya konsep demokrasi melalaui Magna Charter (Piagam Besar) diakhir abad pertengahan sebagai tonggak perkembangan gagasan demokrasi. Piagam ini berintikan perjanjian antara kaum bangsawan dan raja John di Inggris, untuk mengakui dan menjamin hak-hak (privileges) rakyat sebagai imbalan bagi penyerahan dana pada kerajaan untuk membiayai kebutuhannya. Selain itu, piagam
41
Moh. Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, (Jakarta, Universitas Atmajaya, 2000), Cet. Ke-2, h. 58
ini juga memuat dua prinsip yang sangat mendasar: pertama, adanya pembatasan kekuasaan raja; kedua, hak asasi manusia lebih penting dari kedaulatan negara.42 Ketiga, abad renaisance (1350-1600 M) dan reformasi (1500-1650 M). Renaisance adalah ajaran yang ingin menghidupkan kembali minat pada kesusastraan dan kebudayaan Yunani Kuno yang selama abad pertengahan disisihkan. Sedangkan reformasi adalah revolusi agama yang terjadi di Eropa Barat yang berkembang menjadi
azas-azas
sewenang-wenang
protestanisme, atas
nama
seperti perjuangan menentang kekuasaan agama,
desakralisasi
kekuasaan
gereja,
memperjuangkan kebebasan beragam, kebebesan berfikir, kebebasan mengemukakan pendapat. dan pemisahan secara tegas antara wilayah agama (Gereja) dan negara. Dua kejadian ini telah mempersiapkan Eropa masuk kedalam Aufklarung (abad pemikiran) dan rasionalisme yang ditandai oleh merebaknya gagasan-gagasan demokrasi yang menjadi perhatian khusus banyak pemikir seperti Nicollo Machiavelli (1469-1527 M), Thomas Hobbes (1588-1679 M), Jhon Locke (1632-1704 M), Montesqueu (1689-1755 M) dan Jean-Jacques Rousseau (1712-1778 M).43 Mereka inilah para kampium gagasan demokrasi Barat, dan telah mendorong bagi lahirnya Revolusi Amerika (1774-1783 M) dan Revolusi Perancis (1786 M). Di abad modern, mulai pada abad ke-19, muncul pola pikir dan inspirasi baru bagi gerakan politik yaitu, demokrasi menjadi model yang diakui secara luas untuk pengorganisasian secara mandiri. Demokrasi muncul untuk mengatasi masalah-
42 43
Ibid, h. 65 Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, (Jakarta, Gramedia, 2001), h. 299-300
masalah terutama terkait dengan: bagaimana masyarakat dapat mencapai kesepakatan untuk mengatur tata tertib kehidupan bersama meski sistem nilai dan agamanya berbeda? Bagaimana cara menata kekuasan politik agar selaras dengan kepentingan, nilai dan aspirasi rakyat, serta bertindak atas nama mereka? Bagaimana menciptakan masyarakat yang menjunjung tinggi martabat manusia? Demokrasi akhirnya menemukan jati dirinya dalam kehidupan modern, yaitu membangun pemerintahan melalui proses pemilihan bebas, adanya pengawasan terhadap penguasa, serta pemisahan pusat-pusat kekuasaan.44 Demokrasi bukan hanya sebuah metode kekuasaan mayoritas melalui peran rakyat dan kompetisi yang bebas, akan tetapi mengandung nilai-nilai persamaan, kebebasan dan sebagainya. Kendatipun konsep pelaksanaannya beraneka ragam sesuai dengan kondisi budaya pada negara tersebut. Eksistensi demokrasi berkaitan erat dengan eksistensi hak manusia. Demokrasi tidak hanya berhubungan dengan institusi formal tetapi juga dengan eksistensi hak nilai-nilainya. Dalam kehidupan sosial politik, hal semacam ini bersumber dari Philppe C. Schmitter dan Terry Lynn Karl yang mengkarakterisasikan demokrasi bukanlah sebagai kekuasaan yang otokrasi, otoriter, zalim, totalitarian, dictator, tirani, absolut, tradisional, monarki, oligarki, kesultanan, plutokrasi dan aristokrasi. Pada tahun 431 SM Pericles, seorang negarawan ternama di Athena merumuskan beberapa nilai demokrasi, yaitu :
44
Thomas Meyer, Demokrasi Sebuah Pengantar untuk Penerapan, (Jakarta, Friedrich Ebert Stiftung, 2003), Cet. Ke-2, h. 4
Pertama, pemerintahan oleh rakyat dengan partisipasi rakyat yang penuh dan langsung. Kedua, kesamaan di depan hukum. Ketiga, pluralisme, yaitu penghargaan terhadap beragam kreativitas berkarya, berfikir dan berpendapatan. Keempat, penghargaan privasi personal untuk berekspresi.45 Sementara itu menurut Robert Dahl, nilai-nilai demokrasi itu adalah: Pertama, persamaan hak pilih dalam menentukan keputusan kolektif yang mengikat. Kedua, partisipasi efektif, yaitu kesepakatan yang sama bagi semua warga negara dalam proses pembuatan keputusan secara kolektif. Ketiga, pembeberan kebenaran, yaitu adanya peluang yang sama bagi setiap orang yang memberikan penilaian terhadap jalanya proses politik pemerintahan secara logis. Keempat kontrol terakhir terhadap agenda, yaitu adanya kekuasaan eksekutif bagi masyarakat yang menentukan agenda mana yang harus dan tidak harus diputuskan melalui proses pemerintahan yang mewakili masyarakat. Kelima pencakupan yaitu, terliputinya masyarakat mencakup semua orang dewasa dalam kaitannya dengan hukum.46 Sedangkan Gwendolen M. Carter, John H Hery dan Henry B. Mayo merumuskan nilai-nilai demokrasi sebagai berikut :
Pertama, pembatasan terhadap tindakan pemerintah yang memberikan perlindungan bagi individu dan kelompok dengan jalan menyusun pergantian pimpinan secara berkala, tertib dan damai dan juga melalui alat-alat perwakilan rakyat yang efektif. Kedua, adanya sikap toleransi terhadap pendapat yang berlawanan. Ketiga, persamaan di depan hukum yang diwujudkan dengan sikap tunduk rule of law tanpa
45
Eep Saifullah Fattah, Masalah dan Prospek Demokrasi di Indonesia, (Jakarta, Ghalia Indonesia, 1994), Cet. Ke-1, h. 7 46 Ibid, h. 6
membedakan kedudukan politik. Keempat, adanya pemilihan yang bebas dengan disertai adanya model perwakilan yang efektif. Kelima, didirikannya kebebasan berpartisipasi dan beroposisi bagi partai politik, organisasi masyarakat, perseorangan, serta prasarana pendapat umum semacam pers dan media massa. Keenam, dikembangkannya sikap menghargai hak-hak minoritas dan perorangan dengan lebih mengutamakan penggunaan cara-cara persuasi dan diskusi daripada koersi dan refresi.47 Secara umum nilai demokrasi yang diutarakan oleh para tokoh di atas, menunjukkan beragamnya nilai demokrasi. Namun terdapat nilai-nilai universal yaitu keterlibatan atau partisipasi masyarakat dalam proses formulasi kebijakan, pengawasan terhadap kekuasaan, persamaan perlakuan negara terhadap semua warga negara, persaingan secara adil dan bebas dalam pemilihan, pluralisme, kebebasan dan sebagainya. Oleh karena nilai-nilai universal ini sangat penting, maka akan dibahas secara rinci, mendasar dan berkaitan dengan judul ini yaitu kedaulatan rakyat, persamaan didepan hukum dan kebebasan. Pada zaman sebelum revolusi Perancis, yaitu masa berkuasanya feodalisme di Eropa, yang mempunyai kedaulatan hanyalah seorang raja. Setelah kekuasaan raja Lodenviji XVI dirampas oleh rakyat melalui revolusi, kedaulatan itu diambil alih oleh rakyat, kemudian Perancis menempatkan dalam Undang-Undang Dasarnya yaitu pasal 3 dari Declaration de droits de I du citiyen, yang menyatakan bahwa yang berdaulat dalam negara adalah rakyat. Menurut
47
Ibid, h. 7
Mohammad Yamin, dewasa ini lebih dari empat puluh lima negara yang menganut paham kedaulatan rakyat.48 Kedaulatan pada awalnya merupakan hasil terjemahan dari kata sovereignty (bahasa Inggris), Souverainate (bahasa Perancis), dan Sovranus (bahasa Italia); Supranus (bahasa Latin) berarti yang tertinggi.49 Dalam pengertian yang lebih luas diartikan sebagai kekuasaan tertinggi. Kata yang paling dekat dengan arti kedaulatan menurut Hendry C. Black, adalah kehendak atau kemauan, seperti diterapkan dalam masalah-masalah politik.50 Pada awalnya kedaulatan diartikan sebagai kekuasaan tertinggi dan bersifat mutlak, karena tidak ada kekuasaan lain yang bisa menandinginya, kemudian dengan timbulnya hubungan antar bangsa dan negara yang memaksa negara untuk membuat perjanjian internasional, negara terikat dengan perjanjian tersebut, akibatnya mengurangi kedaulatan negara keluar. Kedaulatan ke dalam dengan dibatasi oleh hukum positifnya, sehingga arti kedaulatan itu menjadi relatif. Dalam makna kekuasaan yang tertinggi ini, pengertian kedalatan telah dikenal pada zaman Yunani Kuno. Meskipun
demikian,
pembahasan
secara
sistematis
pertama
kali
dikemukakan oleh Jean Bodin (1530-1596) untuk mendukung raja Hendry IV menghadapi kekuatan politik dari kelompok bangsawan dari gereja yang mendefinisikan bahwa kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi terhadap para 48
Abdul Qadir Djaelani, Negara Ideal Menurut Kosepsi Islam, (Surabaya, Bina Ilmu, 1995), Cet. Ke-1, h. 110 49 F. Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, (Bandung, Bina Cipta, 1992), Cet. Ke-1, h.107. 50 Abdullah Ahmad Na’im, Terjemah Dekonstruksi Syari’ah, (Yogyakarta, LKIS, 1999), Cet. Ke-1, h. 158
warga negara dan rakyat tanpa suatu pembatasan undang-undang. Raja tidak terikat oleh undang-undang karena ia sebagai yang dipertuan yaitu orang yang menetapkan undang-undang. Raja mempunyai imperium, yakni hak berkuasa. Negara adalah sama dengan raja, dengan kata lain rajalah yang berdaulat. Konsep kedaulatan Jean Bodin ini melahirkan kekauasaan absolut para raja. Ajaran kedaulatan rakyat adalah yang memberi kekuasaan tertinggi kepada rakyat atau juga disebut pemerintahan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Ajaran ini dikemukakan oleh J.J. Rousseau. Yang menarik dari ajaran ini adalah adanya dua macam kehendak dari rakyat yang dinyatakan sebagai kehendak rakyat seluruhnya dan kehendak sebagian dari rakyat. Kehendak rakyat seluruhnya ini hanya dipergunakan oleh rakyat seluruhnya sekali saja yaitu pada saat negara hendak dibentuk melalui perjanjian masyarakat. Yang Kedua, kehendak sebagian dari rakyat, dinyatakan sesudah negara ada dengan keputusan suara terbanyak. Menurut Rousseau suara minoritas itu membawa kehendak yang tidak sesuai dengan kepentingan umum.
B. Persamaan visi antara Piagam Madinah dan Kontrak Sosial Jean Jacques Rousseau. Sebelum membahas persamaan visi antara Piagam Madinah dan Teori Kontrak Sosial Jean Jacques Rousseau indikator hukum dan demokrasi itu sendiri perlu penulis paparkan terlebih dahulu. Adanya aspek hukum diindikasikan dengan adanya perlindungan terhadap kebebasan menjalankan kebiasaan yang baik,
perlindungan terhadap hak azasi, dan proteksi terhadap keutuhan negara serta keutuhan masyarakat. Sementara itu penegakan demokrasi diindikasikan dengan adanya pengakuan atas kedaulatan dan kehendak rakyat. Adanya penghargaan terhadap keputusan dan pendapat mayoritas juga mengindikasikan adanya demokrasi. Indikator lainnya adalah jaminan atas kebebasan, persatuan, dan persaudaraan (liberte, egalite, dan fraternite).
1. Piagam Madinah Muhammad SAW Pembentukan Piagam Madinah didasari oleh semangat Muhammad dalam memelihara persatuan dan kesatuan antar suku agar tidak terjadi sikap diskriminasi dan hegemoni antara suku yang kuat menindas suku yang lain, karena isinya mengakui hak-hak kebabasan beragama dan berkeyakinan, kebebasan hak kebabasan beragama dan berkeyakinan, kebebasan berpendapat dan kehendak umum warga Madinah supaya keadilan terwujud dalam kehidupan mereka, mengatur kewajibankewajiban kemasyarakatan semua golongan, menetapkan pembentukan persatuan dan kesatuan semua warga dan prinsip-prinsipya untuk menghapuskan tradisi dan peraturan kesukuan yang tidak baik. Piagam Madinah didalamnya terdapat prinsipprinsip untuk mengatur kepentingan umum dan dasar sosial politik yang bekerja untuk membentuk suatu masyarakat dan pemerintahan sebagai wadah pesatuan
penduduk Madinah yang majemuk tersebutDalam peradaban modern istilah ini terkenal menjadi Konstitusi.51 Prinsip-prinsip yang digagas oleh Muhammad SAW memang sejalan dengan kondisi realitas hukum modern, yang mana kesemuanya pernah dituangkan dalam Piagam Madinahnya.52 Penulis melihat keunggulan dalam Piagam Madinah ini dimana terdapat pada pasal-pasal yang sangat detail dan kesemua fungsi dan kegunaannya hanya untuk menghilangkan diskriminasi dan intimidasi antara pihak yang satu dengan pihak yang lain, baik dalam konteks bangsa dan bernegara. Dari segi hukum, Piagam Madinah jelas merupakan sebuah produk hukum yang diproduksi oleh Muhammad kemudian ditawarkan kepada penduduk Yatsrib dan sekitarnya untuk disepakati bersama. Piagam Madinah berperan sebagai hukum atau norma yang berlaku bagi setiap orang yang telah menyepakatinya. Didalamnya terdapat proteksi terhadap perdamaian dalam kota dan menyebutkan hak dan
51
Konstitusi merupakan prinsip-prinsip pemerintah yang bersifat funda mental dalam suatu bangsa atau pernyataan secara tidak langsung mengenai peraturan-peraturan, institusi-institusi, dan kebiasan, baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Konstitusi tidak tertulis Adalah Britis Constitution. William H. Harris and Judith S, Levey, The New Columbia Encyclopaedia, (Columbia, University Press New York & London, 1975), h. 638 52 Rumusan-rumusan tersebut masih dalam ruang lingkup kandungan teks Piagam Madinah. Perbedaan poin-poin yang mereka kemukakan dipengaruhi oleh pola pikir masing-masing untuk menonjolkan aspek-aspek tertentu, ini tidak terlepas pula dari karakteristik ketetapan-ketetapan Piagam itu sendiri yang bersifat global la bisa dirumuskan secara singkat dan bisa pula ditafsirkan secara luas. Penulis sendiri merumuskannya ke dalam 14 prinsip, yaitu 1) prinsip umat; 2) prinsip persatuan dan persaudaraan; 3) prinsip persamaan; 4) prinsip kebebasan; 5) prinsip hubungan antar pemeluk agama; 6) prinsip tolong-menolong dan membela yang teraniaya; 7) prinsip hidup bertetangga; 8) prinsip perdamaian; 9) prinsip pertahanan; 10) prinsip musyawarah; 11) prinsip keadilan; 12) prinsip pelaksanaan hukum; 13) prinsip kepemimpinan; dan 14) prinsip ketakwaan, amar makruf dan nahi munkar. J. Suyuthi Pulungan, Prinsip-Prinsip Pemerintahan Dalam Piagam Madinah Ditinjau Dari Pandangan Al-Qur’an, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1996), Cet. Ke-2, h. 121
kewajiban setiap penduduk yang termasuk bagian dari ahl al-shahifah (orang yang sepakat dengan Piagam Madinah). Sementara itu, dari sudut pandang demokrasi Piagam Madinah merupakan kehendak masyarakat meskipun pada awalnya merupakan tawaran dari Muhammad. Di dalam Piagam Madinah dimuat elemen-elemen demokrasi seperti Liberte (kebebasan), Egalite (persatuan), dan Fraternite (persaudaraan). Piagam Madinah adalah hasil kesepakatan rakyat yang dibuat untuk kepentingan rakyat.
2. Teori Kontrak Sosial (Du Contrat Social) Menurut Jean-Jacques Rousseau: "Pemerintah menerima dari para penguasa perintah-perintah yang diberikannya kepada rakyat; dan jika negara harus dalam keseimbangan yang baik, penting, semua hal untuk dipertimbangkan, bahwa produk dan kekuasaan pemerintah yang ada pada dirinya sarna dengan produk dan kekuasaan warga negara yang berkuasa dalam satu sisi dan menjadi subjek dalam sisi yang lain." Di sini terlihat bahwa Rousseau menganggap adanya kaitan erat antara pemerintahan, negara, rakyat, dan kedaulatan.53 Persamaan di sini artinya semua orang sama mendapatkan perlindungan hukum dalam arti semua orang mempunyai hak kewarganegaraan yang sama seperti halnya orang lain, tunduk kepada peraturan yang sama. Persamaan di depan hukum lebih berarti pernyataan etis dari pada pengertian yang sesungguhnya di mana mereka setara dalam arti akan mendapat perlakuan yang sama. Dalam ekonomi politik dan
53
Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, (Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001), Cet. Ke-1, h. 254
sosial terdapat perbedaan antara ketidaksamaan alamiah dan konvensional, yang pertama artinya sesuatu yang berbeda dalam hal seks, umur, kekuatan, dan sebagainya sedangkan yang kedua artinya berbeda dalam hal status, kekuasaan dan seterusnya. J.J. Rousseau menerima ketidaksamaan alamiah tetapi menolak yang kedua karena yang kedua mengikuti arus perubahan zaman sedangkan yang pertama tetap konsisten. Konsep modern tentang persamaan berusaha menggabungkan tradisi liberal klasik dengan tradisi egalitarian. Yaitu munculnya ide tentang persamaan dalam kesempatan, dalam perkembangan selanjutnya menyerukan menghapuskan hambatan hukum yang bersifat diskriminatif terhadap gender, ras, dan hak istimewa lain. Kemudian kesempatan dalam pendidikan harus diutamakan. Sebelumnya definisi kebebasan tidak mengambil bentuk yang jelas kecuali pada abad 18. Menurut Warne Becker, mendefinisikan kemerdekaan sebagai seorang yang dalam batas-batas tertentu dapat melakukan atau meninggalkan apa yang dia inginkan. Batas-batas ini mungkin bersifat biologis. Biasanya dalam konteks demokrasi dibicarakan tentang kebebasan individu. Dalam praktek terkadang kebebasan berperilaku dibatasi oleh hukum serta sanksinya, sehingga kebebasan tadi terlihat bertentangan dengan hukum. Tradisi liberal dari John Locke yang mengatakan bahwa tujuan hukum bukan untuk menghapus atau mengekang tetapi untuk melindungi dan memperluas kebebasan. Namun dalam deklarasi kebebasan Perancis yang sangat terkenal dalam pasal 4 tahun 1789 menyatakan bahwa setiap manusia bebas melaksanakan aktivitas selama tidak mengganggu kebebasan orang lain. Pengertian dari deklarasi ini bahwa setiap orang mempunyai kebebasan yang sama. Dalam melaksanakan aktivitasnya manusia tidak
boleh melanggar kebebasan orang lain. Kebebasan tadi dibatasi oleh hukum agar terjaganya ketertiban masyarakat. Dalam pandangan modern, kebebasan individu hanya terbatas pada tingkat bahwa suatu hukum memiliki kekuatan memaksa untuk mendikte melakukan perbuatan tertentu.
ANALISA TABEL TERHADAP PERSAMAAN PIAGAM MADINAH DAN TEORI KONTRAK SOSIAL JJ. ROUSSEAU 1.
Dari segi hukum baik Piagam Madinah Maupun Teori Kontrak Sosial J. J. Rousseau sama-sama menghendaki perlindungan terhadap kebebasan dan mencita-citakan ketertiban dalam kehidupan rakyat. Ini sejalan dengan fungsi hukum itu sendiri sebagai pemelihara ketertiban dan perlindungan terhadap hak azasi manusia.
2.
Dari sisi demokrasi keduanya sama-sama berkaitan dengan kehendak umum atau kehendak masyarakat. Keduanya juga berkaitan dengan kedaulatan rakyat dan menjunjung tinggi suara mayoritas.
C. Perbedaan Piagam Madinah dan Kontrak Sosial Jean Jacques Rousseau Dari Segi Hukum dan Demokrasi Sama halnya dengan sebelum membahas persamaan visi pada sub bab sebelumnya, dalam membahas perbedaan kita juga perlu memakai indikator yang sama mengenai hukum dan demokrasi. Penulis mengulas kembali bahwa adanya aspek hukum diindikasikan dengan adanya perlindungan terhadap kebebasan menjalankan kebiasaan yang baik, perlindungan terhadap hak azasi, dan proteksi terhadap keutuhan negara serta keutuhan masyarakat. Berjalannya demokrasi diindikasikan dengan adanya pengakuan atas kedaulatan dan kehendak rakyat. Adanya penghargaan terhadap keputusan dan
pendapat mayoritas juga mengindikasikan adanya demokrasi. Indikator lainnya adalah jaminan atas kebebasan, persatuan, dan persaudaraan (liberte, egalite, dan fraternite). Sebelum membahas perbedaan antara Piagam Madinah dan Teori Kontrak Sosial Jean Jacques Rousseau terlebih dahulu harus diketahui faktor-faktor yang menyebabkan perbedaan antara keduanya. Tentunya dapat diketahui bersama dari pembahasan pada bab sebelumnya bahwa faktor-faktor penyebab tersebut diantaranya: Pertama, faktor waktu, dari sini terlihat bahwa Piagam Madinah telah ada sejak tahun 622 Masehi, jauh sebelum Rousseau mengemukakan gagasannya tentang Kontrak sosial. Kedua, faktor pelaku. Muhammad adalah seorang nabi. Dengan demikian, amat jelas bahwa Muhammad adalah manusia yang taat terhadap tuhan. Sementara gagasan Rousseau tentang Kontrak Sosial adalah sebagai wujud ketidaksetujuannya terhadap dominasi gereja di Eropa. Ketiga, faktor bentuk. Piagam Madinah berbentuk perjanjian atau kesepakatan yang menjadi sebuah kontitusi yang mengikat masyarakat. Sementara itu teori Kontrak Sosial hanya sebuah ide sepihak yang tidak aplikatif. Secara rinci perbedaan tersebut amat nampak lewat penjelasan berikut: 1. Piagam Madinah Muhammad SAW Bertumpu pada sejarah ketatanegaraan di masa lalu telah mengajarkan kepada kita bahwa umat manusia tidak pernah berhenti memikirkan hubungan antara prinsip
ke-Tuhanan dengan persoalan kenegaraan. Salah satunya adalah Islam, sejarah dunia Islam memberikan tauladan yang baik agar kesatuan umat manusia ini dapat terjaga dan terpelihara, saling melindungi antara satu dengan yang lainnya, dalam hal ini Piagam Madinah misalnya, piagam ini dapat dikatakan sebagai piagam yang sangat mengutamakan kedamaian, penegakan hukum, perlindungan terhadap hak azasi manusia dan perlindungan terhadap etnis minoritas. Dalam piagam tersebut di kota Madinah posisi Muhammad bukan lagi mempunyai sifat Rasul Allah tetapi juga mempunyai sifat kepala negara.54 Dalam sejarah umum, juga digaungkan oleh tokoh-tokoh Barat, sebagian tokoh tersebut memperjuangkan hak-hak individu rakyat karena hal itu penting sebagai awal dari proses terbentuknya negara, hal ini dibuktikan dengan adanya perdebatan secara periodik yang banyak melibatkan filosof-filosof kenamaan, diantaranya, Thomas Aquinas (1226-1274 M), Thomas Hobbes (1588-1679 M), Jhon Locke (1632-1704 M), Jean Jacques Rousseau (1712-1778 M) dan lain-lainnya.55 Para filosof tersebut masing-masing melahirkan teori yang beragam. Pada zaman modern, konsep negara hukum di Eropa Kontinental dikembangkan oleh beberapa tokoh, yang antara lain oleh Immanuel Kant (1724-1804 M), Paul Laband, Julius Stahl, Fichte, dan lai-lain dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu rechtsstaat, sedangkan dalam Angelo Amerika adalah konsep negara hukum dikembangkan atas kepeloporan A.V.Dicey dengan sebutan rule of law. Walaupun ini 54 55
h.61
Ahmad Sukardja, Op. Cit, h. 2 Nuktoh Arfawie, Teori Negara Hukum, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005), Cet. Ke-1,
dinilai sebagai kemajuan peradaban Barat, Islam juga maju beberapa langkah dalam merumuskan unsur-unsur Piagam Madinah didalam kehidupan saat ini. Kontroversi pendapat memang ada,56 tapi tidak mengurangi sedikitpun subtansi yang terkandung dalam Piagam Madinah yang tidak lain adalah rekonstruksi terhadap lingkungan yang hiterogen, rekonsiliasi antara suku-suku Arab dan Yahudi dalam menyelesaikan konflik dan pertikaian, perbedaan yang mencolok dapat kita lihat pada Piagam Madinah dan perjanjian-perjanjian yang lain disepanjang sejarah perdaban umat manusia, tujuan utama dari piagam ini direalisasikan Muhammad SAW adalah untuk menata kembali hubungan masyarakat Muslim dengan Tuhan dan hubungan sosial antara sesama mereka serta menjadikan Muslim agar hidup bertauhid, bertakwa, bermoral dan dapat hidup berdampingan dalam kesatuan sosial dan politik. Namun menurut Jean Claude Vatin bahwasannya prinsip-prinsip persamaan, kemerdekaan, penghormatan terhadap sesama dengan jelas dikukuhkan pada tahap awal, sehingga menetapkan dunia Islam beberapa abad di depan Barat. Islam lebih awal menetapkan dan mempublikasikan hak-hak pribadi, keamanan, reputasi pribadi, kebebasan beragama, persamaan dimuka hukum dan lain-lainnya. Sebagai bukti nyata akan penterjemahan Piagam Madinah kedalam kehidupan umat Islam adalah konsep hukum Islam yang mempunyai relevansi terhadap perkembangan hukum modern seperti saat ini.
56
Kaum Orientalis mengatakan, diantaranya Watt, ia menyimpulkan bahwa pemerintahan pada masa Muhammad SAW berdasarkan pada konsep pra Islam dan ia merupakan contoh tauladannya, sedangkan Hanna Rahman menyatakan Nabi bukannya memksakan tatanan sosial yang baru sama sekali, dan bahkan Rosseau, Stuart Mill dan Renan berpendapat bahwa kemerdekaan politik tidak memiliki akar hukum di dunia Islam. Harun Nasution dan Bakhtiar Effendi, Hak Azasi Mnusia Dalam Islam, (Jakarta, Pustaka Firdaus, 1987), Cet. Ke-1, h. 121
Dalam hal ini, penulis condong terhadap contoh konsep Maqasid Al-Syari’ah, sebagai kelanjutan ide yang pernah dipopulerkan pada era klasik, sebab konsep ini adalah realisasi dari subtansi Piagam Madinah yang digagas oleh Muhammad SAW dalam menegakkan nilai-nilai murni dan hak-hak individu serta kebebasan yang bertalian dengan proses penegakan hukum dalam pemerintahan suatu negara, perjanjian antara rakyat dan penguasa, unsur kesamaan dimuka hukum inilah yang merupakan pilar utama dari konsep yang digagas oleh Al-Syatibi,57 adapun interaksi yang terbangun dalam konsep Maqasid Al-Syari’ah adalah nomokrasi dan konsep negara hukum. Sumber sejarah lain mencatat bahwasannya agama-agama besar di dunia juga melahirkan sistem dan konsep hidup bersama dalam satu tatanan yang didalamnya mengakomodasi kepentingan-kepentingan pemeluknya dalam berbangsa dan bernegara, antara lain, hukum Islam sendiri (Syari’ah Islamiyyah).58
57
Menurut pendapat Al-Syathibi seorang pakar hukum Islam (ushul fiqh) yang sangat tersohor karena pemikirannya yang ada dalam kitab al-Muwaafaqat fi Ushul al-Ahkam, al-Syathibi berpendapat bahwa makna kemaslahatan itu mempunyai arti yang luas dengan kriteria-kriteria kemaslahatan yang didalamnya harus terdapat lima unsur pokok yang dapat direalisasikan dan dipelihara kemurniannya, yaitu: memelihara agama (hifdz al-Din), jiwa (hifdz al-Nafs), akal (hifdz alAql), keturunan (hifdz al-Nasl) dan harta (hifdz al-Maal), kelima unsur tersebut dinamakan Ushul alKhamsah dan apabila kelima unsur ini dilanggar maka konsekuensinya adalah status sosial dan agamanya mengalami kesenjangan atau dapat bahkan dalam era sekarang ini dapat dikategorikan sebagai perbuatan melanggar hukum, baik dari segi hukum negara atau hukum IslamNama lengkap dari Al-Syathibi adalah Abu Ishak Ibrahim (790 H), Al-Syatibi adalah nama daerah yang asal keluarganya bermukim, nama Syatibi diambil dari urutan nama Syatibah (Jativa), dalam sejarahnya, kota ini jatuh ketangan penguasa Kristen dan para pemeluk Islam diusir dari kota itu dan sebagaian melarikan ke kota Granada-Spanyol. Menurut Fazlurrahman, Al-Syatibi adalah seorang ahli hukum yang cemerlang pada abad 8H/ 14 M, peletak fondasi-fondasi rasional moral dan spiritual hukum Islam. Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqasid al-Syari’ah Menurut al-Syatibi, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1996), h. 30 58 Al-Qur’an sebagai sumber hukum ajaran agama Islam memberikan pondasi yang penting terhadap kesamaan hak-hak manusia yakni the principle governing the interest of people (prinsip membentuk kemaslahatan manusia), dengan kata lain subtansi dari Maqasid Al-Syari’ah atau kita kenal dengan kemaslahatan bersama, menjaga dan memelihara hak-hak dasar manusia secara utuh dari
Secara garis besar Piagam Madinah lebih bersifat teosentris karena merupakan buah fikiran dari seorang utusan tuhan. Ini terlihat dari isinya yang memuat namanama Allah dan berisi permohonan perlindungan kepada-Nya. Piagam Madinah bersifat praktis bukan teoritis karena merupakan produk hukun yang bersumber dari Muhammad kemudian disepakati dan dijadikan hukum yang mengikat para pelakunya. piagam ini secara konkrit melindungi hak azasi manusia dan nilai-nilai demokrasi dalam masyarakat. 2. Teori Kontrak Sosial (Du Contrat Social) Perlu diketahui Jean Jacques Rousseau hanyalah seorang pemikir yang hanya bersifat teoritis dengan ide-ide yang di publikasikannya lewat buku, bukan pelaku peristiwa sepertihalnya Muhammad SAW, awalnya ia berfikir akan pentingnya interaksi negara dan rakyat jika dibangun perjanjian yang tidak merugikan antar keduanya, hingga ia memperoleh gagasan tentang keadaan masyarakat sebelum terbentuknya negara atau keadaan alamiah, paparan ini dijelaskan Rousseau dalam karya monumentalnya, Du Contrat Social yang menggunakan istilah du droit politique (political right) dalam pengertian yang sama seperti yang digunakan Burlamaqui dalam karyanya, Principe du Droit Politique (prinsip hak-hak politik), intervensi pihak lain, Syari’at Islam beradasar pada Al-Qur’an yang kemudian dijelaskan oleh Muhammad SAW baik dengan perkataan dan perbuatan, keduanya tersebut dinamakan As-Sunnah. Sesudah Islam meluas dan bangsa Arab mulai menghargai bangsa lain, tidak sukuisme, maka dibuatlah peraturan-peraturan yang menggunakan bahasa Arab, selain berfungsi sebagai bahasa resmi, bahasa Al-Qur’an juga menggunakan bahasa Arab dengan tujuan agar Al-Qur’an dapat dimengerti secara tekstual dan kontekstual karena didalamnya memuat aturan-aturan sosial dan hubungan antara Tuhan Allah dan mahluk-Nya. Hal ini membuat para ahli agama Islam (Ulama) menggali kemampuan agar dapat menterjemahkan hukum Islam yang sangat luas maknanya ini secara benar dan tidak kontroversial. A. Hanafie, Ushul Fiqh, (Jakarta, Widjaya, 2001 ), Cet. Ke-14,h. 9
karena istilah itu merupakan konsep pokok dalam karya-karya Rousseau, khususnya Du Contrat Social. Sekarang kita akan menelaah pemikiran Rousseau tentang teori kontrak sosial dan kaitannya dengan pembentukan dan kekuasaan. Menurut pemikir ini, negara merupakan sebuah produk perjanjian sosial. Individu-individu dalam masyarakat sepakat untuk menyerahkan sebagian hak-hak, kebebasan dan kekuasaan
yang
dimililikinya kepada suatu kekuasaan bersama. Kekuasaan bersama ini kemudian dinamakan negara, kedaulatan rakyat, kekuasaan negara, atau istilah-istilah lain yang identik dengannya, tergantung dari mana kita melihatnya. Dengan menyerahkan hakhak itu, Individu-individu itu tidak kehilangan kebebasan atau kekuasaanya. Mereka tetap dalam keadaan sediakala. Negara berdaulat karena mandat dari rakyat. Negara diberi mandat rakyat untuk mengatur, mengayomi dan menjaga keamanan maupun harta benda mereka. Kedaulatan negara akan tetap absah selama negara tetap menjalankan fungsifungsinya sesuai dengan kehendak rakyat. Negara harus selalu berusaha mewujudkan kehendak umum. Bila menyimpang dari kehendak rakyat atau kemauan umum, keabsahan kedaulatan negara akan mengalami krisis. Dari segi ini, teori negara berdasarkan kontrak sosial merupakan antitesis terhadap hak-hak ketuhanan raja. Dalam teori hak-hak ketuhanan raja, kekuasaan dan legitimasinya diperoleh dari Tuhan. Dengan teori kontrak sosialnya, Rousseau membalikkan sumber kekuasaan dari legitimasinya, dari Tuhan ke manusia.
Menarik menyimak bagaimana Rousseau memandang kekuasaan negara. Ia mengumpamakan negara memiliki sepuluh ribu warga. Kekuasaan negara yang merupakan manifestasi dari penyerahan hak, kebebasan dan kekuasaan serta kemauan individu haruslah dilihat secara kolektif dan sebagai suatu lembaga politik yang utuh. Meskipun demikian, setiap individu masyarakat yang merupakan subjek harus dilihat sebagai suatu entitas individual. Bukan sebagai entitas kolektif. Maka setiap orang memiliki akses sepersepuluh ribu dari kekuasaan. Menurut Rousseau, negara yang memiliki keabsahan memerintah atas kehendak umum atau rakyat itu memiliki dua hal; pertama kemauan, dan kedua, kekuatan. Yang dimaksud Rousseau dengan kemauan adalah kekuasaan legislatif (legislative power) sedangkan kekuatan adalah kekuasaan eksekutif (executive power). Dua bentuk kekuasaan ini hams bekerja sama secara harmonis apabila negara ingin menjalankan fungsinya secara baik. Tanpa kerja sama dan keberadaan kedua lembaga itu negara tidak bisa berbuat apa-apa. Gagasan Rousseau mengenai negara dan kekuasaan merupakan refleksi kritisnya atas sistem kenegaraan yang berlaku pada masa itu. Tidak sulit untuk memahami mengapa demikian. Penguasa mengklaim Geneva sebagai sebuah republik, negara yang amat mementingkan kedaulatan rakyat dan rakyat sebagai sumber legitimasi kekuasaannya, tetapi dalam praktik nyata negara Geneva adalah sebuah negara yang dikuasai oleh segelintir keluarga bangsawan (aristokrat) dan kekuasaannya bersifat turun-temurun. Negara atau sistem pemerintahan yang bagaimana yang ideal menurut Rousseau Dalam Du Contrat Social, ia mendambakan suatu negara atau sistem pemerintahan
yang memberlakukan demokrasi langsung, yaitu suatu sistem kenegaraan dimana setiap warga negara-yang jumlahnya tidak begitu banyak-menjadi pembuat keputusan dalam suatu wilayah yang tidak terlalu luas. Rousseau mendambakan negara-negara kota seperti zaman Romawi kuno, atau sistem pemerintah di desa-desa di Swiss ketika ia masih kanak-kanak. Di negara-negara kota seperti itu, rakyat dapat menjadi subjek pemerintahan sekalipun berada di bawah kekuasaan negara. Dengan kata lain, rakyat diperintah tetapi pada saat yang sama juga memerintah. Gagasan Rousseau ini menarik, tetapi juga sekaligus menafikan kenyataan perkembangan penduduk dan semakin kompleksnya struktur sosial politik. Semuanya ini menyebabkan negara yang didambakan Rousseau sulit terwujud dalam kenyataan sejarah. Negara kota akan hanya menjadi khayalan.
ANALISA TABEL TERHADAP PERBEDAAN PIAGAM MADINAH DAN TEORI KONTRAK SOSIAL JJ. ROUSSEAU NO
PIAGAM MADINAH
1.
Piagam Madinah bersifat teosentris karena digagas oleh seorang rasul Allah yang juga seorang negarawan yang memimpin masyarakat.
2.
Piagam madinah berdasarkan AlQur’an dan Al-Sunnah dan ide dari Muhammad dan pimpinan-pimpinan masyarakat Yatsrib dan sekitarnya.
3.
Dari segi hukum Piagam Madinah di
TEORI KONTRAK SOSIAL JJ. ROUSSEAU Teori Kontrak Sosial bersifat antroposentris karena merupakan gagasan JJ.Rousseau yang berlandaskan pemikiran dan pengamatan pribadi terhadap kondisi masyarakat Eropa. Teori Kontrak Sosial hanyalah pemikiran yang tertuang dalam sebuah buku tanpa kesepakatan atau sumbangan pemikiran elemen-elemen masyarakat. Teori Kontrak Sosial tidak aplikatif
4.
5.
6.
7.
sepakati dan dijadikan aturan yang mengikat setiap anggota masyarakat yang menyepakatinya. Piagam Madinah sudah dibuat sejak tahun 622 M, jauh sebelum masyarakat dunia menjunjung tinggi Hak Azasi dalam ketatanegaraan. Dalam Piagam Madinah terdapat nilai-nilai ketuhanan bagi kaum Muslimin sekaligus sebagai proteksi terhadap nilai-nilai kemanusiaan bagi masyarakat Yatsrib dan sekitarnya. Dari sudut pandang demokrasi Piagam Madinah secara nyata merupakan kehendak umum atau kehendak rakyat yang menjelma menjadi konstitusi yang memuat perlindungan terhadap nilai-nilai demokrasi. Meskipun merupakan kehendak mayoritas Piagam Madinah tetap melindungi hak-hak minoritas sebagai bagian dari masyarakat.
karena hanya sebatas teori. Teori Kontrak Sosial baru dirumuskan oleh JJ. Rousseau pada abad 18. Kontrak Sosial J.J Rousseau formulasinya bercorak humanistik dan tidak mengacu kepada prinsip taat kepada Tuhan. Teori Kontrak Sosial secara fanatik berkiblat pada teori-teori demokrasi Yunani kuno tanpa aplikasi sedikitpun.
Teori kontrak sosial menganggap minotitas tak hanya sebagai golongan yang kalah tetapi juga salah.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan analisa yang telah penulis lakukan dalam karya ilmiah ini, maka penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Piagam Madinah adalah piagam yang pertama digagas oleh Muhammad SAW, yang menandai babak awal peradaban manusia modern dalam sejarah umat manusia, piagam ini bersifat humanistik dalam memelihara hak kemerdekaan berserikat dan berkumpul. 2. Melihat kedudukan Muhammad SAW di kota Madinah pada saat itu bukan hanya mempunyai sifat Rasul Allah akan tetapi juga mempunyai sifat kepala negara, atau seorang negarawan. 3. Piagam Madinah yang dipelopori oleh Muhammad SAW lahir karena kondisi para penduduk jazirah Arab mengalami krisis multidimensi, yang mana para pemuka etnis Arab belum menemukan format kehidupan sosial, budaya, keamanan, hukum, politik dan ekonomi secara normal, kondisi ini mendorong Muhammad SAW memunculkan kesepakatan dikalangan masyarakat yang heterogen dan pluralistik, hal ini dibentuk oleh Muhammad SAW agar keberadaan satu kelompok dengan kelompok yang lain tidak diskriminatif dan
anarkis, sebagai alternatif yang tepat Muhammad SAW mengadakan kesepakatan yang terkenal pertama sedunia dalam merumuskan perdamaian dunia tanpa adanya kekerasan fisik dan psikis. Sedangkan Menurut J.J Rousseau, kontrak sosial lahir karena ia melihat kekuasaan yang ada di alam ini ada dua, yakni penguasa dan rakyat, dan ia menuntut agar tidak terjadi kegiatan yang saling merugikan dalam hidup berdampingan yang tertuang dalam perjanjian yang jelas dan sama kedudukannya dimuka hukum. 4. Pembentukan Piagam Madinah didasari oleh semangat kenegaraan dan jiwa patriotis muhammad dalam menegakkan keadilan dan kebenaran di jazirah yang sarat dengan konflik antar etnis. 5. Tujuan akhir dari di deklarasikannya Piagam Madinah adalah bukti nyata dari rekonsiliasi dan tanggungjawab bersama dalam menjaga perdamanian antar sesama. 6. Prinsip yang ada dalam Piagam Madinah Muhammad SAW dan teori Kontrak Sosial J.J Rousseau adalah sama-sama memperjuangkan hak azasi manusia secara utuh dan tanpa adanya penindasan, kehidupan yang bebas, pemerintahan yang tidak diskriminatif dan diktator, mengutamakan kepada nilai damai dan rekonsiliasi dalam semua perbedaan. 7. Adapun faktor yang membedakan antara Piagam Madinah Muhammad SAW dan teori Kontrak Sosial J.J Rousseau adalah seiring sejalan dan saling melengkapi keberadaannya antara lain;
a. Selisih waktu dibentuknya, Piagam Madinah dibentuk pada abad 7 M tepatnya tahun 622 M, sedangkan JJ. Rousseau hidup pada abad 18 M, tepatnya tahun 1712-1778. b. Piagam Madinah bersumber dari Al-Qur’an dan as-Sunnah sedangkan teori Kontrak Sosial JJ. Rousseau berdasarkan pengamatan pribadi terhadap kondisi masyarakat dan penguasa Eropa pada abad 18 M. c. Piagam Madinah cenderung paraktis dan akomodatif sedangkan teori Kontrak Sosial J.J Rousseau hanya bersifat teoritis. d. Dari segi hukum, Piagam Madinah jelas merupakan sebuah produk hukum yang diproduksi oleh Muhammad kemudian ditawarkan kepada penduduk Yatsrib dan sekitarnya untuk disepakati bersama. e. Piagam Madinah berperan sebagai hukum atau norma yang berlaku bagi setiap orang yang telah menyepakatinya. Didalamnya terdapat proteksi terhadap perdamaian dalam kota dan menyebutkan hak dan kewajiban setiap penduduk yang termasuk bagian dari ahl al-shahifah (orang yang sepakat dengan Piagam Madinah). f. Dari sudut pandang demokrasi Piagam Madinah merupakan kehendak masyarakat meskipun pada awalnya merupakan tawaran dari Muhammad. g. Di dalam Piagam Madinah dimuat elemen-elemen demokrasi seperti Liberte
(kebebasan),
Egalite
(persatuan),
dan
Fraternite
(persaudaraan). Piagam Madinah adalah hasil kesepakatan rakyat yang dibuat untuk kepentingan rakyat. h. Teori Kontrak Sosial bersifat antroposentris karena merupakan gagasan JJ.Rousseau yang berlandaskan pemikiran dan pengamatan pribadi terhadap kondisi masyarakat Eropa. i. Teori Kontrak Sosial hanyalah pemikiran yang tertuang dalam sebuah buku tanpa kesepakatan atau sumbangan pemikiran elemen-elemen masyarakat. j. Teori Kontrak Sosial tidak aplikatif karena hanya sebatas teori. 8. Sedangkan persamaan antara Piagam Madinah dan teori Kontrak Sosial J.J Rousseau adalah sebagai berikut: a. Dari segi hukum baik Piagam Madinah Maupun Teori Kontrak Sosial J. J. Rousseau sama-sama menghendaki perlindungan terhadap kebebasan dan mencita-citakan ketertiban dalam kehidupan rakyat. Ini sejalan dengan fungsi hukum itu sendiri sebagai pemelihara ketertiban dan perlindungan terhadap hak azasi manusia.
b. Dari sisi demokrasi keduanya sama-sama berkaitan dengan kehendak umum atau kehendak masyarakat. Keduanya juga berkaitan dengan kedaulatan rakyat dan menjunjung tinggi suara mayoritas.
c. Persamaan dalam tata dan regulasi sebuah pemerintahan yang mengedepankan persatuan dan kesatuan serta kesamaan derajat di muka umum, menjaga perdamaian.
B. Saran-saran Untuk saran yang konstruktif, penulis mengharapkan kepada semua pihak baik politisi, penegak hukum, birokrat, militer dan militer atau masyarakat umum, agar: 1. Dapat mengambil pelajaran emas dari Piagam Madinah Muhammad SAW dan teori Kontrak Sosial J.J Rousseau sebagai lambang kedamaian, menghargai antara yang satu dengan yang lain dan mengutamakan kebebasan berpendapat untuk kesejahteraan bersama walaupun dalam kemajmukan. 2. Hendaknya Umat Islam dan lainnya dapat berlaku Humanis, demokratis, tidak berlaku diskriminatif dan anarkis dalam kehidupan beragama dan bernegara.
DAFTAR PUSTAKA
Al- Quran dan Terjemahnya, (Jakarta: Depag.RI, 1979). Amiruddin. M. Hasbi. Konsep Negara Islam menurut Fazlur Rahman (Yogyakarta, UII Press, 2000), Cet ke-1. Arfawie, Nuktoh. Teori Negara Hukum, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005), Cet. Ke-1. Arinanto, Satya. Teori Hukum dan Demokrasi, tentang pertumbuhan Rechtsstaat(3). (Jakarta, FH-UI, 2005), Cet. 1. Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta, Konstitusi Press, 2005), Cet, Ke-1. Aziz, Abdul. Masalah Kenegaraan Dalam Pandangan Islam, (Jakarta, Yayasan AlAmin, 1984), Cet. ke-1. Bakri, Asafri Jaya. Konsep Maqasid al-Syari’ah Menurut al-Syatibi, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1996). Budiardjo, Miriam. Dasar·Dasar 1lmu Polilik, (Jakarta, PT Gramedia, 1989), Cet. Ke- 19. Cranston, Hobbes, dalam Makers of Modern Thought, (New York, American Heritage Publishing Co. Inco. 1992). F. Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, Cet. IX, (Bandung, Bina Cipta, 1992). Fattah, Eep Saifullah. Masalah dan Prospek Demokrasi di Indonesia, (Jakarta, Ghalia Indonesia, 1994), Cet. Ke-1. Haekal, Muhammad Husain, Sejarah Hidup Muhammad, (Jakarta, Litera Antar Nusa, 2005), Cet. Ke-30. Hanafie, A. Ushul Fiqh, (Jakarta, Widjaya, 2001), Cet. Ke-14, Haris, Syamsuddin. Demokrasi di Indonesia, (Jakarta, LP3ES, 1995), Cet. Ke-1.
Harris, William H and, Judith S, Levey. The New Columbia Encyclopaedia, (Columbia, University Press New York & London, 1975). Hericahyono, Cheppy. Ilmu Politik dan Perspektifnya, (Yogyakarta, Tiara Wacana, 1986), Cet ke-1. Hilmi, Mahmud. Nizam al-hukm al-Islam Muqaranan bi al-Nuzum al_Mu’asarah, (Dar al-Huda, 1978), Cet. 4. Kusnardi, Moh. dan. Saragih, Bintan R. Ilmu Negara, (Jakarta, Gaya Media Pratama 1995), Cet. Ke-3. Madjid, Nurcholis. Demokrsi dan Demokratisasi di Indonesia, dalam Elsa Pedi Taher (ed.), Demokratisasi Politik, Budaya dan Ekonomi, (Jakarta, Paramadina, 1994), Cet. Ke-1. "Cita-Cita Politik Kita" dalam Bosco Carvallo dan Dasrizal, (ed.), Aspirasi Umat lslam lndonesia, (Jakarta, Leppenas, 1983). Mahfud, Moh MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesi, (Jakarta, Universitas Atmajaya, 2000), Cet. Ke-2. Meyer, Thomas. Demokrasi Sebuah Pengantar untuk Penerapan, , (Jakarta, Friedrich Ebert Stiftung, 2003), Cet. Ke-2. Na’im, Abdullah Ahmad. Terjemah Dekonstruksi Syari’ah, (Yogyakarta, LKIS, 1999), Cet. Ke-1. Na’im, Abdullah Ahmad. Terjemah Dekonstruksi Syari’ah, Cet. Ke-1 (Yogyakarta, LKIS, 1999). Noer, Deliar. Pemikiran Politik di Negeri Barat, (Bandung, Mizan, 2000), Cet. Ke-6. Pulungan, J. Suyuthi. Prinsip-Prinsip Pemerintahan Dalam Piagam Madinah Ditinjau Dari Pandangan Al-Qur’an, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1996), Cet. Ke-2. Qadir, Abdul Djaelani. Negara Ideal Menurut Kosepsi Islam, (Surabaya, Bina Ilmu, 1995), Cet. Ke-1.
Rahman, Hannah. "Pertentangan Antara Nabi dan Golongan Oposisi Nabi tli Madinah" dalarn H.L. Beck dan N.J.G. Kaptein, (red.), Pandangan Barat Terhadap Islam Lama, (Jakarta, Seri INIS, 1980), Jilid IV. Ridhwan, Indra Muh., UUD 1945 Sebagai Karya Manusia, (Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1990), Cet. Ke-1. Rousseau, J. J. The Social Contract, yang dialih bahasakan oleh: Sumardjo (Jakarta, Erlangga, 1986), Cet. Ke-1. Saefudin, AM. Ijtihad Politik Cendekiawan Muslim, , (Jakarta, Gema Insani Press, 1996), Cet. 1. Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta, UI Press, 1990), Cet. Ke-2. Strong, C.F. Modern Polilical Constitution, (London, Sidgwick and Jackson Ltd, 1963). Suhelmi, Ahmad. Pemikiran Politik Barat, (Jakarta, Gramedia, 2001). Suhelmi, Ahmad. Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara Masyarakat dan Kekuasaan (PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001). Sukardja, Ahmad. Piagam Madinah dan UUD 1945, (Jakarta, Penerbit UI, 1995), Cet. Ke- 1. Sumardjo, terjemahan dari The Social Contract, (Jakarta, PT. Erlangga, 1947), tanpa cetakan. Tim ICCE UIN Jakarta, Pendidikan Kewarga Negaraan Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, (Jakarta, Renada Media, 2003), Cet. Ke-1. Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta, Balai Pustaka, 1988), Cet. Ke-1. William H. Harris and Judith S, Levey, The New Columbia Encyclopaedia, (Columbia, University Press New York & London, 1975).
LAMPIRAN TEKS PIAGAM MADINAH ﺑﺴﻢ اﷲ اﻟﺮﺣﻤﻦ اﻟﺮﺣﻴﻢ هﺬا آﺘﺎب ﻣﻦ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻴﻦ اﻟﻤﺆﻣﻨﻴﻦ واﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﻣﻦ ﻗﺮﻳﺶ وﻳﺜﺮب وﻣﻦ ﺗﺒﻌﻬﻢ ﻓﻠﺤﻖ ﺑﻬﻢ وﺟﺎهﺪ ﻣﻌﻬﻢ .أﻧﻬﻢ أﻣﺔ واﺣﺪة ﻣﻦ دون اﻟﻨﺎس .اﻟﻤﻬﺎﺟﺮون ﻣﻦ ﻗﺮﻳﺶ ﻋﻠﻰ رﺑﻌﺘﻬﻢ ﻳﺘﻌﺎﻗﻠﻮن ﺑﻴﻨﻬﻢ وهﻢ ﻳﻔﺪون ﺑﺎﻟﻤﻌﺮوف واﻟﻘﺴﻂ ﺑﻴﻦ اﻟﻤﺆﻣﻨﻴﻦ .وﺑﻨﻮ ﻋﻮف ﻋﻠﻰ رﺑﻌﺘﻬﻢ ﻳﺘﻌﺎﻗﻠﻮن ﻣﻌﺎﻗﻠﻬﻢ اﻷوﻟﻰ .وآﻞ ﻃﺎﺋﻔﺔ ﺗﻔﺪي ﻋﺎﻧﻴﻬﺎ ﺑﺎﻟﻤﻌﺮوف واﻟﻘﺴﻂ ﺑﻴﻦ اﻟﻤﺆﻣﻨﻴﻦ. وأن اﻟﻤﺆﻣﻨﻴﻦ ﻻ ﻳﺘﺮآﻮن ﻣﻔﺮﺣﺎ ﺑﻴﻨﻬﻢ أن ﻳﻌﻄﻮﻩ ﺑﺎﻟﻤﻌﺮوف ﻓﻲ ﻓﺪاء أو ﻋﻘﻞ .وﻻ ﻳﺤﺎﻟﻒ ﻣﺆﻣﻦ ﻣﻮﻟﻰ ﻣﺆﻣﻦ دوﻧﻪ .وأن اﻟﻤﺆﻣﻨﻴﻦ اﻟﻤﺘﻘﻴﻦ ﻋﻠﻰ ﻣﻦ ﺑﻐﻲ ﻣﻨﻬﻢ أو اﺑﺘﻐﻰ وﺳﻴﻌﺔ ﻇﻠﻢ أو إﺛﻢ أو ﻋﺪوان أو ﻓﺴﺎد ﺑﻴﻦ اﻟﻤﺆﻣﻨﻴﻦ ,وأن أﻳﺪﻳﻬﻢ ﻋﻠﻴﻪ ﺟﻤﻴﻌﺎ وﻟﻮ آﺎن وﻟﺪ أﺣﺪهﻢ وﻻ ﻳﻘﺘﻞ ﻣﺆﻣﻦ ﻣﺆﻣﻨﺎ ﻓﻲ آﺎﻓﺮ وﻻ ﻳﻨﺼﺮ آﺎﻓﺮا ﻋﻠﻰ ﻣﺆﻣﻦ. وأن ذﻣﺔ اﷲ واﺣﺪة ﻳﺠﻴﺮ ﻋﻠﻴﻬﻢ أدﻧﺎهﻢ .وأن اﻟﻤﺆﻣﻨﻴﻦ ﺑﻌﻀﻬﻢ ﻣﻮاﻟﻲ ﺑﻌﺾ دون اﻟﻨﺎس .وأﻧﻪ ﻣﻦ ﺗﺒﻌﻨﺎ ﻣﻦ ﻳﻬﻮد ﻓﺈن ﻟﻪ اﻟﻨﺼﺮ واﻷﺳﻮة ﻏﻴﺮ ﻣﻈﻠﻮﻣﻴﻦ وﻻ ﻣﺘﻨﺎﺻﺮ ﻋﻠﻴﻬﻢ .وأن ﺳﻠﻢ اﻟﻤﺆﻣﻨﻴﻦ واﺣﺪة ﻻ ﻳﺴﺎﻟﻢ ﻣﺆﻣﻦ دون ﻣﺆﻣﻦ ﻓﻲ ﻗﺘﺎل ﻓﻲ ﺳﺒﻴﻞ اﷲ إﻻ ﻋﻠﻰ ﺳﻮاء وﻋﺪل ﺑﻴﻨﻬﻢ .وأن آﻞ ﻏﺎزﻳﺔ ﻏﺰت ﻣﻌﻨﺎ ﻳﻌﻘﺐ ﺑﻌﻀﻬﺎ ﺑﻌﻀﺎ .وأن اﻟﻤﺆﻣﻨﻴﻦ ﻳﺒﻲء ﺑﻌﻀﻬﻢ ﻋﻦ ﺑﻌﺾ ﺑﻤﺎ ﻧﺎل دﻣﺎءهﻢ ﻓﻲ ﺳﺒﻴﻞ اﷲ .وأن اﻟﻤﺆﻣﻨﻴﻦ اﻟﻤﺘﻘﻴﻦ ﻋﻠﻰ أﺣﺴﻦ اﻟﻬﺪى وأﻗﻮﻣﻪ .وأﻧﻪ ﻻ ﻳﺠﻴﺮ ﻣﺸﺮك ﻣﺎﻻ ﻟﻘﺮﻳﺶ وﻻ ﻧﻔﺴﺎ وﻻ ﻳﺤﻮل دوﻧﻪ ﻋﻠﻰ ﻣﺆﻣﻦ .وأﻧﻪ ﻣﻦ اﻋﺘﺒﻂ ﻣﺆﻣﻨﺎ ﻗﺘﻼ ﻋﻦ ﺑﻴﻨﺔ ﻓﺈﻧﻪ ﻗﻮد ﺑﻪ إﻻ أن ﻳﺮﺿﻰ وﻟﻲ اﻟﻤﻘﺘﻮل ,وأن اﻟﻤﺆﻣﻨﻴﻦ ﻋﻠﻴﻪ آﺎﻓﺔ وﻻ ﻳﺤﻞ ﻟﻬﻢ إﻻ ﻗﻴﺎم ﻋﻠﻴﻪ .وأﻧﻪ ﻻ ﻳﺤﻞ ﻟﻤﺆﻣﻦ أﻗ ﱠﺮ ﺑﻤﺎ ﻓﻲ هﺬﻩ اﻟﺼﺤﻴﻔﺔ وﺁﻣﻦ ﺑﺎﷲ واﻟﻴﻮم اﻵﺧﺮ أن ﻳﻨﺼﺮ ﻣﺤﺪﺛﺎ وﻻ ﻳﺆوﻳﻪ وأﻧﻪ ﻣﻦ ﻧﺼﺮﻩ أو ﺁواﻩ ﻓﺈن ﻋﻠﻴﻪ ﻟﻌﻨﺔ اﷲ وﻏﻀﺒﻪ ﻳﻮم اﻟﻘﻴﺎﻣﺔ وﻻ ﻳﺆﺧﺬ ﻣﻨﻪ ﺻﺮف وﻻ ﻋﺪل .وأﻧﻜﻢ ﻣﻬﻤﺎ اﺧﺘﻠﻔﺘﻢ ﻓﻴﻪ ﻣﻦ ﺷﻲء ﻓﺈن ﻣﺮدّﻩ إﻟﻰ اﷲ وإﻟﻰ ﻣﺤﻤﺪ –ﻋﻠﻴﻪ اﻟﺼﻼة واﻟﺴﻼم -وأن اﻟﻴﻬﻮد ﻳﻨﻔﻘﻮن ﻣﻊ اﻟﻤﺆﻣﻨﻴﻦ ﻣﺎداﻣﻮا ﻣﺤﺎرﺑﻴﻦ .وأن ﻳﻬﻮد ﺑﻨﻲ ﻋﻮف أﻣﺔ ﻣﻊ اﻟﻤﺆﻣﻨﻴﻦ .ﻟﻠﻴﻬﻮد ن ﻟﻴﻬﻮد ﺑﻨﻲ ﻻ ﻧﻔﺴﻪ وأهﻞ ﺑﻴﺘﻪ وأ ّ دﻳﻨﻬﻢ وﻟﻠﻤﺴﻠﻤﻴﻦ دﻳﻨﻬﻢ وﻣﻮاﻟﻴﻬﻢ وأﻧﻔﺴﻬﻢ إﻻ ﻣﻦ ﻇﻠﻢ او اﺛِﻢ ﻓﺎﻧّﻪ ﻻﻳﻮ ِﺗ ُﻎ ا ّ ﺠ ْﻔ َﻨ َﺔ وﻟﺒﻨﻲ اﻟ ّﻨﺠّﺎر وﻳﻬﻮد ﺑﻨﻲ اﻟﺤﺎرث وﻳﻬﻮد ﺑﻨﻲ ﺳﺎﻋِﺪة وﻳﻬﻮد ﺑﻨﻲ ﺟُﺜﻢ وﻳﻬﻮد ﺑﻨﻲ اﻷوس وﻳﻬﻮد ﺑﻨﻲ ﺛﻌﻠﺒﺔ وﻟ ِ ﻄ ْﻴ َﺒ ِﺔ ﻣِﺜﻞ ﻣﺎ ﻟﻴﻬﻮد ﺑﻨﻲ ﻋﻮف. ﺸَ اﻟ ُ ﻻ ﺑﺄذن ﻣﺤﻤّﺪ – ﻋﻠﻴﻪ ن ﺑﻄﺎﻧﺔ ﻳﻬﻮد آﺄ ﻧﻔﺴﻬﻢ .وأﻧّﻪ ﻻﻳﺨﺮج ﻣﻨﻬﻢ أﺣﺪ ا ّ ن ﻣﻮاﻟﻲ ﺛﻌﻠﺒﺔ آﺄﻧﻔﺴﻬﻢ .وأ ّ وأ ّ ن اﷲ ﻋﻠﻰ أﺑ ّﺮ هﺬا . ح .وأ ّ اﻟﺼّﻼة واﻟﺴّﻠﻢ – وأﻧّﻪ ﻻﻳﺘﺤﺠّﺮ ﻋﻠﻰ ﺛﺄ ٍر ﺟﺮ ٌ ن ﺑﻴﻨﻬﻢ اﻟﻨّﺼﺮ ﻋﻠﻰ ﻣﻦ ﺣﺎرب أهﻞ هﺬﻩ اﻟﺼّﺤﻴﻔﺔ. ن ﻋﻠﻰ اﻟﻴﻬﻮد ﻧﻔﻘﺘﻬﻢ وﻋﻠﻰ اﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﻧﻔﻘﺘﻬﻢ .وأ ّ وأ ّ ن اﻟﻨّﺼﺮ ﻟﻠﻤﻈﻠﻮم. ﺤِﻠ ْﻴ ِﻔ ِﻪ .وأ ّ ﺢ واﻟﻨّﺼﻴﺤﺔ واﻟ ِﺒ ﱠﺮ دون اﻷﺛﻢ .وأﻧّﻪ ﻟﻢ ﻳَﺄ َﺛ ِﻢ اﻣﺮؤ ِﺑ َ ﺼَ ن ﺑﻴﻨﻬﻢ اﻟ ﱡﻨ ْ وأ ّ وأن اﻟﻴﻬﻮد ﻳﻨﻔﻘﻮن ﻣﻊ اﻟﻤﺆﻣﻨﻴﻦ ﻣﺎداﻣﻮا ﻣﺤﺎرﺑﻴﻦ .وأن ﻳﺜﺮب ﺣﺮام ﺟﻮﻓﻬﺎ ﻷهﻞ هﺬﻩ اﻟﺼﺤﻴﻔﺔ .وأن اﻟﺠَﺎ َر آﺎﻟﻨﻔﺲ ﻏﻴﺮ ُﻣﻀَﺎ ﱟر وﻻ ﺁﺛﻢ .وأﻧﻪ ﻻﺗﺠﺎر ﺣﺮﻣﺔ إﻻ ﺑﺈذن أهﻠﻬﺎ .وأﻧﻪ ﻣﺎ آﺎن ﺑﻴﻦ أهﻞ هﺬﻩ اﻟﺼﺤﻴﻔﺔ ﻣﻦ ﺣﺪث أو اﺳﺘﺠﺎر ﻳُﺨﺎف ﻓﺴﺎدﻩ ﻓﺈن ﻣﺮدﱠﻩ إﻟﻰ اﷲ وإﻟﻰ ﻣﺤﻤﺪ رﺳﻮل اﷲ –ﺻﻞ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ -وأن اﷲ ﻋﻠﻰ أﺗﻘﻰ ﻣﺎ ﻓﻲ هﺬﻩ اﻟﺼﺤﻴﻔﺔ وأﺑﺮّﻩ .وأﻧﻪ ﻻ ﺗﺠﺎر ﻗﺮﻳﺶ وﻻ ﻣﻦ ﻧﺼﺮهﺎ .وأن ﺑﻴﻨﻬﻢ اﻟﻨﺼﺮ ﻋﻠﻰ ﻣﻦ َد ِه َﻢ ﻳﺜﺮب ,وإذا دُﻋﻮا ﻏﻠﻰ اﻟﺼﻠﺢ ﻳﺼﺎﻟﺤﻮﻧﻪ وﻳﻠﺒﺴﻮﻧﻪ ﻓﺄﻧﻬﻢ ﻳﺼﺎﻟﺤﻮن .وأﻧﻬﻢ إذا دﻋﻮا إﻟﻰ إﻟﻰ ﻣﺜﻞ ذﻟﻚ ﻓﺈن ﻟﻬﻢ ﻋﻠﻰ اﻟﻤﺆﻣﻨﻴﻦ إﻻ ﻣﻦ ﺣﺎرب ﻓﻲ اﻟﺪﻳﻦ .ﻋﻠﻰ آﻞ أﻧﺎس ﺣﺼﺘﻬﻢ ﻣﻦ ﺟﺎﻧﺒﻬﻢ اﻟﺬي ﻗﺒﻠﻬﻢ. وأن اﻟﻴﻬﻮد اﻷوس ﻣﻮاﻟﻴﻬﻢ وأﻧﻔﺴﻬﻢ ﻋﻠﻰ ﻣﺜﻞ ﻣﺎ ﻷهﻞ هﺬﻩ اﻟﺼﺤﻴﻔﺔ ﻣﻊ اﻟﺒ ّﺮ اﻟﻤﺤﺾ ﻣﻦ أهﻞ هﺬﻩ اﻟﺼﺤﻴﻔﺔ .وأن اﻟﺒ ّﺮ دون اﻹﺛﻢ ﻻ ﻳﻜﺴﺐ آﺎﺳﺐ إﻻ ﻋﻠﻰ ﻧﻔﺴﻪ. ب دون اﻟﻈﺎﻟﻢ أو ﺁﺛﻢ .وأن ﻣﻦ وأن اﷲ ﻋﻠﻰ أﺻﺪق ﻣﺎ ﻓﻲ هﺬﻩ اﻟﺼﺤﻴﻔﺔ وأﺑﺮﻩ .وأﻧﻪ ﻻ ﻳﺤﻮل هﺬا اﻟﻜﺘﺎ ُ ﺧﺮج ﺁﻣﻦ وﻣﻦ ﻗﻌﺪ ﺁﻣﻦ ﺑﺎﻟﻤﺪﻳﻨﺔ إﻻ ﻣﻦ ﻇﻠﻢ وأﺛﻢ .وأن اﷲ ﺟﺎ ٌر ﻟﻤﻦ ﺑ ّﺮ واﺗﻘﻰ. Artinya: Dengan nama Allah, Pengasih dan Penyayang.
Surat Perjanjian ini dari Muhammad - Nabi; antara orang-orang beriman dan kaum Muslimin dari kalangan Quraisy dan Yatsrib serta yang mengikut mereka dan menyusul mereka dan berjuang bersama-sama mereka; bahwa mereka adalah satu umat di luar golongan yang lain. Kaum Muhajirin dari kalangan Quraisy tetap menurut adat kebiasaan baik yang berlaku di kalangan mereka, bersama-sama menerima atau membayar tebusan darah antara sesama mereka dan mereka menebus tawanan mereka sendiri dengan cara yang baik dan adil diantara sesama orang-orang beriman. Bahwa Banu Auf tetap menurut adat kebiasaan baik mereka yang berlaku, bersama-sama membayar tebusan darah seperti yang sudah-sudah. Dan setiap golongan harus menebus tawanan mereka sendiri dengan cara yang baik dan adil diantara sesama orang-orang beriman. Kemudian disebutnya tiap-tiap suku Anshar itu serta keluarga tiap puak: Banu al-Haris, Banu Sa’idah, Banu Jusyam, Banu an-Najjar, Banu 'Amr bin 'Auf dan Banu an-Nabit. Selanjutnya disebutkan: Bahwa orang-orang yang beriman tidak boleh membiarkan seseorang yang menanggung beban hidup dan hutang yang berat diantara sesama mereka. Mereka harus dibantu dengan cara yang baik dalam membayar tebusan tawanan atau membayar diat. Bahwa seseorang yang beriman tidak boleh mengikat janji dalam menghadapi mukmin lainnya. Bahwa orang-orang yang beriman dan bertakwa harus melawan orang yang melakukan kejahatan diantara mereka sendiri, atau orang yang suka melakukan perbuatan zalim, kejahatan, permusuhan atau berbuat kerusakan diantara orang beriman sendiri, dan mereka semua harus sama-sama melawannya walaupun terhadap anak sendiri. Bahwa orang beriman tidak boleh membunuh sesama mukmin lantaran orang kafir untuk melawan orang beriman. Bahwa jaminan Allah itu satu: Dia melindungi yang lemah diantara mereka. Bahwa orang-orang yang beriman itu hendaknya saling tolong-menolong satu sama lain. Bahwa barangsiapa dari kalangan Yahudi yang menjadi pengikut kami, ia berhak mendapat pertolongan dan persamaan; tidak menganiaya atau melawan mereka. Bahwa persetujuan damai orang-orang beriman itu satu; tidak dibenarkan seorang mukmin mengadakan perdamaian sendiri dengan meninggalkan mukmin lainnya dalam keadaan perang di jalan Allah. Mereka harus sama dan adil. Bahwa setiap orang yang berperang bersama kami, satu sama lain harus saling bergiliran. Bahwa orang-orang beriman itu harus saling membela terhadap sesamanya yang telah tewas di jalan Allah. Bahwa orang-orang yang beriman dan bertakwa hendaknya berada dalam pimpinan yang baik dan lurus.
Bahwa orang tidak dibolehkan melindungi harta-benda atau jiwa orang Quraisy dan tidak boleh merintangi orang beriman. Bahwa barangsiapa membunuh orang beriman yang tidak bersalah dengan cukup bukti maka ia harus mendapat balasan yang setimpal kecuali bila keluarga si terbunuh sukarela (menerima tebusan). Bahwa orang-orang yang beriman harus menentangnya semua dan tidak dibenarkan mereka hanya tinggal diam. Bahwa orang beriman yang telah mengakui isi piagam ini dan percaya kepada Allah dan kepada hari kemudian, tidak dibenarkan menolong pelaku kejahatan atau membelanya, dan bahwa barangsiapa yang menolongnya atau melindunginya, ia akan mendapat kutukan dan murka Allah pada hari kiamat, dan tak ada sesuatu tebusan yang dapat diterima. Bahwa bilamana diantara kamu timbul perselisihan tentang sesuatu masalah yang bagaimanapun, maka kembalikanlah itu kepada Allah dan kepada Muhammad 'alaihi-shalaatu was-salaam. Bahwa orang-orang Yahudi harus mengeluarkan belanja bersama-sama orangorang beriman selama mereka masih dalam keadaan perang. Bahwa orang-orang Yahudi Banu Auf adalah satu umat dengan orang-orang beriman. Orang-orang Yahudi hendaknya berpegang pada agama mereka, dan orangorang Islampun hendaknya berpegang pada agama mereka pula, termasuk pengikutpengikut mereka dan diri mereka sendiri, kecuali orang yang melakukan perbuatan aniaya dan durhaka. Orang semacam ini hanyalah akan menghancurkan dirinya dan keluarganya sendiri. Bahwa terhadap orang-orang Yahudi Banu an-Najjar, Yahudi Banu al-Haris, Yahudi Banu Sa'idah, Yahudi Banu-Jusyam, Yahudi Banu Aus, Yahudi Banu Tsa'labah, Jafnah dan Banu Syutaibah berlaku sama seperti terhadap mereka sendiri. Bahwa tiada seorang dari mereka itu boleh keluar kecuali dengan ijin Muhammad s.a.w. Bahwa seseorang tidak boleh dirintangi dalam menuntut haknya karena dilukai; dan barangsiapa yang diserang ia dan keluarganya harus berjaga diri, kecuali jika ia menganiaya. Maka Allah juga yang menentukan ini. Bahwa orang-orang Yahudi berkewajiban menanggung nafkah mereka sendiri dan kaum Musliminpun berkewajiban menanggung nafkah mereka sendiri pula. Antara mereka harus ada tolong menolong dalam menghadapi orang yang hendak menyerang pihak yang mengadakan piagam perjanjian ini. Bahwa mereka sama-sama berkewajiban, saling nasehat-menasehati dan saling berbuat kebaikan dan menjauhi segala perbuatan dosa. Bahwa seseorang tidak dibenarkan melakukan perbuatan salah terhadap sekutunya, dan bahwa yang harus ditolong ialah yang teraniaya. Bahwa orang-orang Yahudi berkewajiban mengeluarkan belanja bersama orang-orang beriman selama masih dalam keadaan perang. Bahwa kota Yatsrib adalah kota yang dihormati bagi orang yang mengakui perjanjian ini.
Bahwa tetangga itu seperti jiwa sendiri, tidak boleh diganggu dan diperlakukan dengan perbuatan jahat. Bahwa tempat yang dihormati itu tak boleh didiami orang tanpa ijin penduduknya. Bahwa bila diantara orang-orang yang mengakui perjanjian ini terjadi suatu perselisihan yang dikuatirkan akan menimbulkan kerusakan, maka tempat kembalinya kepada Allah dan kepada Muhammad Rasulullah -s.a.w. - dan bahwa Allah bersama orang yang teguh dan setia memegang perjanjian ini Bahwa melindungi orang-orang Quraisy atau menolong mereka tidak dibenarkan. Bahwa antara mereka harus saling membantu melawan orang yang mau menyerang Yatsrib. Tetapi apabila telah diajak berdamai maka sambutlah ajakan perdamaian itu. Bahwa apabila mereka diajak demikian, maka orang-orang yang beriman wajib menyambutnya, kecuali kepada orang yang memerangi agama. Bagi setiap orang, dari pihaknya sendiri mempunyai bagiannya masing-masing. Bahwa orang-orang Yahudi Aus, baik diri mereka sendiri atau pengikutpengikut mereka mempunyai kewajiban seperti mereka yang sudah menyetujui naskah perjanjian ini dengan segala kewajiban sepenuhnya dari mereka yang menyetujui naskah perjanjian ini. Bahwa kebaikan itu bukanlah kejahatan dan bagi orang yang melakukannya hanya akan memikul sendiri akibatnya. Dan bahwa Allah bersama pihak yang benar dan patuh menjalankan isi perjanjian ini Bahwa hanya orang yang zalim dan jahat yang melanggar isi perjanjian ini. Bahwa barangsiapa yang keluar atau tinggal dalam kota ini, keselamatannya terjamin, kecuali orang yang berbuat aniaya dan melakukan kejahatan. Sesungguhnya Allah melindungi orang yang berbuat kebaikan dan bertakwa. Sumber: Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, (Jakarta, Litera Antar Nusa, 2005), Cet. Ke-30.