BAB IV ANALISIS PENELITIAN
Pada bab ini akan menjelaskan tentang keberadaan masyarakat, status tanah, hak atas tanah, serta alat bukti hak atas tanah adat di Kampung Naga dan Kasepuhan Ciptagelar, sebagai masukan untuk mendapatkan sistem konversi yang cocok diterapkan di Kampung Naga dan Kasepuhan Ciptagelar sebagai sampel wilayah penelitian di Jawa Barat.
4.1 Keberadaan Masyarakat Adat Dalam Pasal 3 UUPA disebutkan bahwa pelaksanaan hak ulayat dan hakhak yang serupa itu adalah sepanjang masyarakat adat menurut kenyataannya masih ada. Untuk membuktikan adanya masyarakat adat dapat dilihat dari adanya kesepakatan-kesepakatan masyarakat secara adat setempat mengenai kepentingan masyarakat yang bersangkutan termasuk tanah adat. Beberapa persamaan karakteristik kepentingan masyarakat adat, termasuk tanah di Kampung Naga dan Kasepuhan Ciptagelar antara lain : 1.
Masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (kampung) dan bertempat tinggal di dalam wilayah hukum adat yang bersangkutan;
2.
Status tanahnya berupa tanah ulayat.
3.
Masyarakatnya berasal dari keturunan-keturunan kerajaan sunda.
4.
Masih memegang teguh aturan adat dan budaya tradisional nenek moyang.
5.
Tidak mempunyai aturan tertulis.
6.
Umumnya berada di wilayah pedalaman atau pelosok desa.
7.
Memiliki ciri khas dalam arsitektur wilayah dan bangunannya.
8.
Memiiki struktur pemerintahan yang khas dan penguasa adat sebagai bagian teratas dalam pemerintahannya.
9.
Mempunyai wilayah hutan adat yang jelas batas-batasnya, diakui dan disepakati masyarakat dan antar masyarakat adat di sekitarnya;
10. Ada pranata hukum adat yang berkaitan dengan hutan yang wajib ditaati.
55
11. Masyarakat yang bersangkutan masih melaksanakan pemanfaatan dan pemungutan hasil hutan di hutan sekitarnya untuk pemenuhan kehidupan sehari-hari. 12. Adanya hubungan religi antara masyarakat dengan hutan adatnya. Berdasarkan karakteristik masyarakat yang ada di Kampung Naga dan Kasepuhan Ciptagelar, dapat dinyatakan bahwa keberadaan masyarakat adat di Kampung Naga dan Kasepuhan Ciptagelar terbukti adanya, sehingga pelaksanaan hak ulayat dari tanah tersebut tetap diakui oleh undang-undang. Dengan adanya pengakuan dari undang-undang, masyarakat adat mempunyai kewenangan dalam penggunaan dan pemanfaatan tanah yang mereka diami. Dengan demikian, pelaksanaan konversi bisa berlangsung pada tanah yang masih terdapat hak ulayat.
4.2 Status Tanah Adat Sebagai langkah awal dalam melakukan konversi hak atas tanah adat ke dalam hak atas tanah yang ada dalam UUPA, maka perlu dibuktikan adanya tanah adat yang didalamnya masih ada masyarakat adat. Akan tetapi, ketentuan konversi tersebut dapat dibatalkan dengan mengingat status tanah yang berlaku di wilayah masing-masing lingkungan adat. Seperti status tanah yang terjadi di Kasepuhan Ciptagelar yang berada dalam wilayah hutan milik negara yang dikelola oleh TNGHS. Dalam Pasal 2 ayat (4) UUPA, hak menguasai dari Negara pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah. Berarti tanah Kasepuhan Ciptagelar yang bertampalan dengan tanah milik negara dinyatakan bertentangan dengan kepentingan nasional yang memiliki maksud bahwa tanah di daerah tersebut merupakan hutan negara yang dilindungi. Akan tetapi, di dalam Undang-Undang Pokok Kehutanan disebutkan tentang masyarakat adat. Undang-undang tersebut mengatur hak masyarakat adat untuk memungut hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-harinya. Dengan demikian, hak ulayat masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar tetap diatur kewenangannya oleh pemerintah.
56
Pada Tabel 4.1 ditampilkan karakteristik status tanah adat di Kampung Naga dan Kasepuhan Ciptagelar.
Tabel 4.1 Identifikasi karakteristik status tanah adat di Kampung Naga dan Kasepuhan Ciptagelar 1. 2. 3.
4. 5.
6. 7. 8. 9.
Kampung Naga Tidak dalam kawasan restricted area. Lokasinya dekat dengan jalan raya dan mudah diakses masyarakat umum. Tanahnya sudah ditarik pajak dan memiliki alat bukti pembayaran pajak (SPPT), akan tetapi tidak ada alat bukti kepemilikan tanah. Luas wilayah jelas yaitu 1,5 Hektar. Batas wilayah jelas dan tetap, serta menggunakan batas alam (sungai, bukit, dan hutan). Sudah terbentuk kapling-kapling khusus untuk pemukiman. Penggunaan tanah untuk kepentingan bersama. Tanah bersifat religi. Tanah berasal dari karuhun atau nenek moyang Sembah Daleum Singaparna.
1.
2.
3.
4.
5. 6.
7. 8. 9.
Kasepuhan Ciptagelar Berada dalam kawasan TNGHS (Taman Nasional Gunung Halimun Salak). Lokasinya sangat jauh dari jalan raya dan sulit diakses masyarakat umum. Tanahnya tidak ditarik pajak (tidak ada satupun tanda bukti kepemilikan tanah). Luas wilayah berdasarkan kehutanan, yaitu 4000 ha. Luas wilayah berdasarkan masyarakat, yaitu 70.000 ha. Luas wilayah berdasarkan delineasi batas kehutanan dan masyarakat, yaitu seluas ƒ 68.000 ha. Batas wilayah alamiah (batas alam). Tidak ada kapling atau batas yang mengkhususkan untuk pemukiman. Warga bebas menentukan ukuran tanah untuk pemukiman. Penggunaan tanah untuk kepentingan bersama. Tanah berifat religi. Tanah berasal dari peninggalan Kerajaan Pajajaran.
Selanjutnya berdasarkan karakteristik diatas, akan dibuat perbandingan karaktersitik status tanah dalam bentuk matriks yang menunjukan persamaan atau perbedaan dari karakteristik status tanah adat di Kampung Naga dan Kasepuhan Ciptagelar yang ditampilkan pada Lampiran 3. Berdasarkan matriks tersebut, dapat disimpulkan bahwa persamaan karakteristik status tanah adat di Kampung Naga dan Kasepuhan Ciptagelar terdapat pada tanda batas wilayah, sifat tanah dan penggunaan tanah. Namun,
57
tanah adat di Kampung Naga dan Kasepuhan Ciptagelar memiliki perbedaan dalam hal status hukum keberadaan tanah, lokasi tanah (akses dari jalan raya), perlakuan hukum terhadap tanah, luas wilayah, dan tanda batas pemukiman, dan asal pemberian tanah (nenek moyang) (Lihat Lampiran 3). Perbedaan status tanah tersebut akan berpengaruh pada pelaksanaan proses konversinya. Akan tetapi, perbedaan mengenai status tanah adat tersebut tidak berpengaruh pada pengaturan hak masyarakat adat dalam menggunakan tanah dan keberadaan masyarakat adatnya tetap diakui oleh pemerintah setempat dan undang-undang.
4.3 Jenis Hak Atas Tanah Adat Penting diketahui karakteristik hak yang dianut oleh masyarakat adat untuk mendefinisikan jenis hak atas tanah adat. Maka, hendaknya dilakukan penelitian pertanahan secara mendalam khususnya dalam mengidentifikasi jenis hak yang ada, yang dianut oleh masyarakat adat. Masyarakat Kampung Naga dan Kasepuhan Ciptagelar mempunyai dua jenis hak atas tanah adat yaitu Hak Ulayat dan Hak Perorangan. Hak ulayat dimiliki oleh seluruh anggota masyarakat adat secara bersamasama dalam hal penguasaan tanahnya. Setiap warga adat juga mempunyai hak perorangan untuk menggunakan sebagian dari objek penguasaan hak ulayat tersebut secara tertentu (dengan menggunakan tanda-tanda tertentu) agar diketahui para anggota masyarakat adat lain. Hak perorangan warga adat Kampung Naga dan Kasepuhan Ciptagelar dibagi menjadi dua yaitu Hak Mendirikan dan Memiliki Bangunan; dan Hak Menggarap Tanah dan Memiliki Hasilnya (pertanian, peternakan, perikanan, dan perkebunan). Perbandingan karakteristik hak ulayat dan hak perorangan dapat dilihat pada Tabel 4.2.
58
Tabel 4.2 Perbandingan karakteristik hak ulayat dengan hak perorangan di Kampung Naga dan Kasepuhan Ciptagelar 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Hak Ulayat Mempunyai tingkatan paling tinggi diatas hak lain. Tidak ada jangka waktu kepemilikan hak. Tidak dapat dialihkan (jual beli, tukar menukar). Dapat beralih (warisan/turun temurun dan ikatan kekeluargaan). Tidak dapat menjadi jaminan. Dimiliki oleh masyarakat adat. Terjadi sendirinya karena warisan dari budaya nenek moyang. Dapat hilang karena penetapan pemerintah dan konversi. Penggunaan hak untuk menguasai tanah termasuk mendirikan bangunan dan mengolah tanah secara bersamasama.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Hak Perorangan Mempunyai tingkatan dibawah hak ulayat. Tidak ada jangka waktu kepemilikan hak. Dapat dialihkan (jual beli, tukar menukar). Dapat beralih (warisan/turun temurun dan ikatan kekeluargaan). Tidak dapat menjadi jaminan. Dimiliki oleh setiap warga. Terjadi karena permohonan warga dan keputusan pemimpin adat. Dapat hilang karena keputusan pemilik hak dan pemimpin adat. Penggunaan hak untuk mendirikan dan memiliki bangunan, dan mengolah tanah.
4.4 Padanan Hak Atas Tanah Adat dalam UUPA Hak atas tanah adat yang ada di Kampung Naga dan Kasepuhan Ciptagelar akan dipadankan kepada hak atas tanah yang tertera pada UUPA. Penyepadanan hak tersebut digambarkan menggunakan sketsa penyepadanan hak yang dapat dilihat pada Lampiran 4. Padanan hak atas tanah pada UUPA yang akan diajukan oleh pemohon dan digunakan dalam proses penegasan haknya, bisa saja hak milik, hak guna bangunan, hak pakai atau hak guna usaha (Lihat sub bab 2.2.1). Selanjutnya, karakteristik dari hak atas tanah adat di Kampung Naga dan Kasepuhan Ciptagelar serta hak atas tanah dalam UUPA akan diidentifikasi berdasarkan karakteristik hak berikut ini (Lihat Tabel 4.3) : 1.
Tingkatan hak (tertinggi dan dibawah hak tertinggi)
2.
Jangka waktu kepemilikan hak (terbatas dan tak terbatas)
3.
Proses dialihkan (jual beli dan tukar menukar)
59
4.
Proses beralih (warisan/turun-temurun dan ikatan kekeluargaan)
5.
Berdasarkan Jaminan (bisa dijaminkan dan tidak bisa dijaminkan)
6.
Subjek hak (perorangan, bersama, dan badan hukum)
7.
Proses terjadinya hak (permohonan, pemberian, dan penetapan pemerintah)
8.
Proses hilangnya hak (keputusan pemilik, keputusan pemimpin adat/negara, ketetapan pemerintah/UU, jangka waktu berakhir, dan tanahnya musnah).
9.
Penggunaan hak (memiliki tanah, mendirikan dan memiliki bangunan, dan mengolah tanah)
Tabel 4.3 Padanan hak atas tanah adat di Kampung Naga dan Kasepuhan Ciptagelar dengan hak atas tanah yang tertera pada UUPA berdasarkan identifikasi karakteristik hak No 1
Karakteristik Hak -
Tertinggi Dibawah hak tertinggi
-
Terbatas Tak terbatas
-
Jual beli Tukar menukar
-
Warisan/turun-temurun Ikatan kekeluargaan
-
Bisa dijaminkan Tidak bisa dijaminkan
2
3
4
5
6 7 8 9 -
HM
HGB
HP
Tingkatan hak √ √ √ Jangka waktu kepemilikan hak √ √ √ Proses dialihkan √ √ √ √ √ √ Proses beralih √ √ √ √ √ √ Jaminan √ √ √
Subjek hak Perorangan (warga) √ √ Bersama (masyarakat) √ √ Badan hukum √ √ Proses terjadinya hak Permohonan √ √ Pemberian/warisan √ Penetapan pemerintah/UU √ Proses hilangnya hak Keputusan pemilik hak √ √ Keputusan pemimpin adat/negara √ √ Ketetapan pemerintah/UU √ √ Tanahnya musnah √ √ Jangka waktu berakhir √ Penggunaan Hak Menguasai tanah √ Mendirikan dan memiliki bangunan √ √ Mengolah tanah √
60
HGU
HU
HMB
HMT
√
√
√
√
√ √
√ √
√ √
√ √
√ √
√
√
√
√
√
√ √
√ √
√ √
√ √
√
√
√ √ √ √ √ √ √ √ √
√ √ √
√ √ √
√
√
√
√
√ √ √ √ √
√ √
√ √ √ √ √
√
√ √
√ √ √
√ √
Keterangan : -
HM
: Hak Milik
-
HGB
: Hak Guna Bangunan
-
HP
: Hak Pakai
-
HGU
: Hak Guna Usaha
-
HU
: Hak Ulayat
-
HMB
: Hak Mendirikan dan Memiliki Bangunan
-
HMT
: Hak Menggarap Tanah dan Memiliki Hasilnya
Berdasarkan Tabel 4.3 dapat diketahui bahwa hak ulayat lebih banyak mempunyai karakteristik yang sama dengan hak milik, sehingga padanan hak yang tepat untuk hak ulayat di Kampung Naga dan Kasepuhan Ciptagelar yaitu hak milik. Akan tetapi, karena hak ulayat merupakan hak masyarakat bersama, maka padanan hak ulayat tersebut menjadi hak milik atas nama bersama atau disebut juga Hak Milik Bersama. Hak perorangan lebih mempunyai kesamaan dengan hak pakai, hak guna usaha dan hak guna bangunan. Sedangkan, hak perorangan di Kampung Naga dan Kasepuhan Ciptagelar yang terdiri dari : 1. Hak mendirikan bangunan, dipadankan dengan hak guna bangunan atau hak pakai, 2. Hak menggarap tanah (pertanian, peternakan, perkebunan, dan perikanan), dipadankan dengan hak pakai atau hak guna usaha.
4.5 Alat Bukti Hak Atas Tanah Adat Masyarakat Kampung Naga dan Kasepuhan Ciptagelar telah menguasai tanah adat sejak puluhan tahun yang lalu. Tidak ada alat bukti tertulis yang menyatakan kepemilikan tanahnya. Oleh karena itu kepemilikannya dapat dibuktikan
dengan
berdasarkan
penguasaan
fisik
oleh
pemohon
atau
pendahulunya, dengan syarat-syarat tertentu. Pembuktian penguasaan tersebut kemudian dituangkan dalam bentuk surat pernyataan pemilikan tanah.
61
Hal-hal penting yang perlu diperhatikan sebelum membuat surat pernyataan pemilikan tanah adat di Kampung Naga dan Kasepuhan Ciptagelar dalam rangka kelancaran proses konversi, antara lain : 1.
Subjek hak (perorangan atau bersama-sama).
2.
Objek hak (tanah pemukiman, garapan atau bangunan).
3.
Jenis hak yang akan dikonversi (hak ulayat atau hak perorangan).
4.
Lamanya penguasaan tanah.
5.
Sejarah kepemilikan tanah.
6.
Saksi-saksi yang dipilih untuk mendatangani surat pernyataan pemilikan tanah.
7.
Persetujuan pihak adat ataupun pihak lain terhadap pembuatan pernyataan pemilikan tanah.
8.
Status hukum keberadaan tanah (sengketa atau tidak).
4.6 Mekanisme Konversi Hak Atas Tanah Adat Mekanisme konversi hak atas tanah adat Kampung Naga dan Kasepuhan Ciptagelar mengikuti ketentuan yang ada pada sub bab 3.3. Mekanisme tersebut terdiri dari pengakuan hak dan penegasan hak. Namun, jenis konversi yang tepat digunakan untuk tanah adat di Kampung Naga dan Kasepuhan Ciptagelar yaitu konversi hak ulayat. Penegasan hak yang tepat untuk proses konversi hak ulayat di Kampung Naga dan Kasepuhan Ciptagelar yaitu Hak Milik Bersama. Hak milik bersama lebih tepat digunakan dalam konversi hak atas tanah adat untuk proses penegasan haknya, karena hak milik adalah suatu hak atas tanah yang terpenuh, terkuat, dan paling sempurna di antara hak-hak atas tanah lainnya (Purbacaraka, 1983). Selain itu, dengan hak milik bersama, sifat kebersamaan dalam penggunaan tanah yang dianut masyarakat adat tidak akan hilang dan nilai-nilai kearifan dalam kehidupan bermasyarakat akan tetap terjaga. Dengan menegaskan hak atas tanah menjadi hak milik bersama, masyarakat adat Kampung Naga dan Kasepuhan Ciptagelar akan mempunyai legitimasi penuh atas penguasaan tanahnya.
62
Akan tetapi, pelaksanaan proses konversi di Kasepuhan Ciptagelar akan mengalami hambatan. Hal tersebut disebabkan posisi tanah adat Kasepuhan Ciptagelar yang berada di atas tanah hutan milik negara yang dikelola oleh TNGHS. Dengan diberlakukannya UUPK No. 5 tahun 1967 dan UUPK No. 41 tahun 1999, bentuk hak-hak atas tanah yang diberikan oleh BPN tidak berlaku lagi bagi tanah-tanah kawasan hutan. Hal ini juga dipertegas oleh Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XI Yogyakarta 2006 yang menyatakan bahwa status kawasan hutan TNGHS tetap sebagai hutan negara dengan tidak mengakui adanya tanah hak di dalamnya. Permasalahan tersebut tidaklah menjadi hambatan dalam proses konversinya. Kegiatan yang dilakukan selanjutnya yaitu proses penyelesaian masalah, dengan mengikuti ketentuan yang berlaku.
4.7 Penyelesaian Masalah Tanah Adat Kasepuhan Ciptagelar yang Berada di Kawasan Kehutanan Kasepuhan Ciptagelar memiliki wilayah adat yang berada di dalam tanah hutan milik Negara. Hal ini menyebabkan tanah di Kasepuhan Ciptagelar tidak dapat dilekatkan suatu hak atas tanah di dalamnya. Namun hal tersebut bisa diselesaikan dengan cara tertentu. Beberapa alternatif penyelesaian yang bisa dilakukan untuk memberikan kewenangan hak atau kepemilikan tanah kepada masyarakat di Kasepuhan Ciptagelar, yaitu : 1.
Membuat zone-zone adat yang dibuat berdasarkan kesepakatan antara masyarakat adat dengan pihak TNGHS. Dengan adanya zone ini, TNGHS memberikan kewenangan kepada masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar untuk menggarap dan mengambil hasil hutan pada batasan tertentu yang telah ditetapkan tanpa diberikan sertipikatnya. Tidak ada proses konversi dalam hal ini.
2.
Berdasarkan Overlay peta wilayah Ciptagelar & TNGHS dengan citra Landsat yang dilakukan oleh Wisudawanto (2008) dalam tugas akhirnya, diketahui bahwa terdapat wilayah adat Kasepuhan Ciptagelar yang berada di luar TNGHS. Dengan demikian, masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar dapat berpindah menuju tempat di luar wilayah TNGHS, sehingga tanah di luar wilayah tersebut dapat dikonversi dan didaftarkan.
63
3.
Dibuat suatu kebijakan dan aturan khusus yang melindungi hak-hak masyarakat adat oleh pemerintah setempat melalui suatu Peraturan Daerah (Perda), seperti Perda tentang Negeri adat di Kota Ambon, Perda Kabupaten Timor Tengah Selatan Nomor 17 Tahun 2001 tentang pemberdayaan, pelestarian, pengembangan dan perlindungan adat istiadat dan lembaga adat; dan Perda Kabupaten Kampar Nomor 12 Tahun 1999 tentang hak tanah ulayat. Selain itu dalam Pasal 67 ayat (2) UU Kehutanan No. 41/1999 beserta penjelasannya menyebutkan bahwa pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
4.
Pemberian tanah yang dikelola oleh TNGHS kepada Kasepuhan Ciptagelar melalui proses pelepasan tanah kawasan kehutanan. Pelepasan kawasan hutan tersebut
bisa diajukan
kepada
pemerintah
daerah, kemudian
akan
disampaikan kepada menteri kehutanan dan persetujuannya akan diberikan melalui surat keputusan menteri tentang pelepasan kawasan hutan menjadi tanah hak milik. Pelepasan tersebut diatur lebih lanjut oleh Menteri Kehutanan. 4.8 Dampak Konversi Pelaksanaan konversi hak atas tanah tentu akan memberikan pengaruh yang besar terhadap kehidupan masyarakat adat. Hal ini tentu akan menjadi bahan pertimbangan kepada pemerintah sebagai pelaksana konversi, apakah konversi hak atas tanah adat layak dilakukan terhadap tanah adat di Kampung Naga dan Kasepuhan Ciptagelar.
64
Pengaruh yang terjadi akibat pelaksanaan konversi hak atas tanah adat di Kampung Naga dan Kasepuhan Ciptagelar ditampilkan pada Tabel 4.4 dibawah ini : Tabel 4.4 Dampak konversi terhadap masyarakat adat 1. 2. 3. 4. 5.
Keuntungan Kerugian Menjamin kepastian hukum hak 1. Terindividualisasinya tanah berimbas atas tanah. pada individualistik masyarakat itu Terjadi unifikasi (keseragaman) sendiri. hak atas tanah di Indonesia. 2. Rentan terjadinya perebutan batas dan Menghindari terjadinya sengketa. kepemilikan sebelum dilakukannya Terjadi kenaikan harga tanah. konversi. Adanya rasa aman dalam memiliki 3. Hilangnya budaya kebersamaan diantara tanah. masyarakat. 4. Hilangnya budaya, aturan, dan norma adat. 5. Hilangnya fungsi sosial tanah. 6. Besarnya kemungkinan komersialisasi tanah yang mengakibatkan masuknya budaya luar ke dalam adat. 7. Hilangnya eksistensi masyarakat adat di Jawa Barat. 8. Intervensi ketua adat terhadap masyarakatnya lama-lama menjadi hilang.
65