BAB IV ANALISIS KINERJA TRANSPORTASI DI KOTA SOREANG BERDASARKAN INDIKATOR EKONOMI DALAM TRANSPORTASI BERKELANJUTAN Indikator-indikator keberlanjutan transportasi perkotaan dalam aspek ekonomi yang telah dibahas pada bagian sebelumnya akan digunakan dalam mengevaluasi kinerja sektor transportasi di Kota Soreang. Selanjutnya hasil analisis yang diperoleh dapat digunakan sebagai rekomendasi penting untuk peningkatan kinerja sektor transportasi di Kota Soreang di masa yang akan datang.
4.1
Karakteristik Responden Karakteristik responden penting untuk dipaparkan karena sebagian besar
analisis didasarkan atas persepsi masyarakat. Survey dilakukan terhadap 100 orang responden secara proporsional yang tersebar di 8 desa di Kota Soreang. Karakteristik reponden yang akan dijelaskan lebih lanjut terbatas pada beberapa hal yang terkait dengan gambaran persepsi dalam analisis yaitu tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, kepemilikan kendaraan dan tingkat penghasilan yang dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel IV. 1 Karakteristik Responden No
Karakteristik
1
Tingkat Pendidikan
2
Jenis Pekerjaan
3
Kepemilikan Kendaraan
4
Tingkat Penghasilan
Sumber : Hasil Survey, 2008
Keterangan SD SLTP SMU Perguruan Tinggi PNS/Pegawai Swasta Wiraswasta Buruh/Petani Tidak Bekerja Lain-lain Sepeda Motor Mobil Tidak memiliki kendaraan < Rp 700.000 Rp 700.000 - 1.500.000 Rp 1.500.000 - 2.500.000 Rp ≥ 2.500.000
Persentase (%) 4 11 52 33 29 46 16 1 8 57 12 31 20 48 29 3
Tinggi rendahnya pendidikan merupakan salah satu aspek yang mempengaruhi tingkat dan intensitas mobilitas seseorang. Dari 100 orang responden yang dilibatkan, terlihat bahwa pada umumnya responden memiliki tingkat pendidikan setara SMU (52 %) dan diikuti dengan Perguruan Tinggi sekitar 33 %. Bila dilihat sekilas, tingkat pendidikan seperti di atas bisa diakatakan masuk dalam kategori berpendidikan tinggi. Hal ini cukup membantu dalam hal keakuratan persepsi yang diberikan. Selain tingkat pendidikan, jenis pekerjaan juga merupakan hal yang menentukan daya mobilitas seseorang. Seseorang yang tidak bekerja secara tidak langsung akan memiliki daya mobilitas yang rendah karena masih terbatasnya ruang gerak yang akan dituju. Berdasarkan tabel di atas, jenis pekerjaan dominan dari responden adalah wiraswasta. Wiraswasta yang dimaksud meliputi usaha industri konveksi dan perdagangan. Industri konveksi merupakan jenis sektor usaha yang dominan di Kota Soreang. Industri ini tergolong berskala kecil dan menengah. Jenis pekerjaan lain yang cukup banyak dari responden adalah PNS/Pegawai Swasta yaitu sebesar 29 % dari total responden. Pada jenis pekerjaan ini, pada umumnya responden bekerja di luar Kota Soreang (commuter). Bagian berikutnya dari karakteristik responden adalah berhubungan dengan kepemilikan kendaraan. Seseorang yang memiliki kendaraan akan mempunyai tingkat mobilitas yang lebih tinggi dan lebih bebas dalam menempuh tujuan perjalanan. Kepemilikan kendaraan ini merupakan bagian yang cukup penting untuk dilihat karena pada bagian berikutnya akan dibahas persepsi masyarakat tentang facility & crash cost yang meliputi harga bahan bakar, tarif parkir, pajak, dan biaya pemeliharaan&kerusakan kendaraan. Tentunya informasi ini diperoleh melalui responden yang mempunyai kendaraan. Dari hasil survey, diketahui bahwa 69 % responden telah memiliki kendaraan pribadi, yang terdiri atas 57 % sepeda motor dan 12 % lainnya memiliki mobil. Hal ini dipengaruhi oleh tuntutan pekerjaan, tingkat penghasilan dan kemudahan untuk memperolehnya melalui sistem kredit yang lunak. Tingkat penghasilan juga mempengaruhi tingkat aktivitas seseorang termasuk
aktivitas
transportasi.
Penghasilan
responden
yang
memiliki
persentase terbanyak adalah berada pada rentang Rp 700.000 – 1.500.000, diikuti dengan Rp 1.500.000 – 2.500.000. Dilihat dari kemampuan keuangan,
dapat
dikatakan
bahwa
responden
berada
pada
kalangan
ekonomi
menengah/rata-rata. Dengan kata lain telah mampu memenuhi kebutuhan dasar.
4.2
Analisis Indikator Ekonomi Dalam Transportasi Perkotaan Yang Berkelanjutan Pada bagian ini akan dilakukan analisis yang bertujuan untuk menilai
sejauh mana kondisi transportasi di Kota Soreang dapat dikatakan mengarah kepada keberlanjutan. Penilaian tersebut dilihat dari beberapa dimensi analisis yang meliputi analisis tingkat ekonomi masyarakat, supply dan demand, tingkat aksessibilitas, tingkat aktivitas transportasi (transport activity), dan analisis biaya transportasi (transport cost).
4.2.1
Analisis Tingkat Ekonomi Masyarakat Hal dasar yang akan dilihat untuk menilai kinerja transportasi di Kota
Soreang ini adalah berkaitan dengan kondisi perekonomian masyarakat yang ada. Karena cukup menggambarkan tingkat kesiapan masyarakat dalam menanggung beban biaya yang harus dikeluarkan untuk melakukan aktivitas pergerakan sebagai salah satu aktivitas penting dalam menunjang kehidupan mereka. Beberapa indikator yang termasuk ke dalam dimensi analisis ini adalah PDRB per kapita, tingkat kemiskinan, dan tingkat pengangguran.
4.2.1.1 PDRB Per Kapita Indikator pertama yang termasuk ke dalam analisis ini adalah berkaitan dengan tingkat PDRB per kapita yang diperoleh. PDRB per kapita merupakan rata-rata nilai tambah bruto yang dihasilkan oleh setiap penduduk di suatu wilayah pada satu satuan waktu. Indikator PDRB per kapita sangat sering digunakan untuk menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat dalam suatu wilayah. Semakin besar PDRB per kapita, secara kasar menunjukkan semakin tingginya tingkat kemakmuran penduduk pada wilayah tersebut, begitupun sebaliknya. Tolok ukur yang digunakan untuk indikator ini adalah terjadinya peningkatan jumlah PDRB per kapita yang diterima setiap tahunnya. Data PDRB per kapita yang digunakan dalam analisis ini adalah PDRB yang diperoleh pada 3 tahun terakhir. Karena faktor ketersediaan data, maka tingkat perkembangan PDRB dilihat secara makro pada dua kecamatan yang termasuk ke dalam lingkup Kota Soreang yakni kecamatan Katapang dan
kecamatan Soreang. Berikut merupakan tabel jumlah PDRB per kapita yang diperoleh pada tiga tahun terakhir. Tabel IV. 2 PDRB per Kapita Atas Dasar Harga Berlaku (Juta Rupiah) Tahun 2005 – 2007
Tahun
Kecamatan 2005
2006
Tolok Ukur
Indikasi
Terjadinya peningkatan jumlah PDRB per kapita tiap tahunnya
Terjadi peningkatan jumlah PDRB pada tiap tahunnya.
2007
Katapang
15.49
16.05
17.43
Soreang
7.01
7.88
8.70
Sumber : PDRB Kabupaten Bandung Tahun 2007
Dari tabel di atas, diperlihatkan perkembangan PDRB per kapita dua kecamatan di Kota Soreang pada tahun 2005 – 2007. Dapat dilihat bahwa tingkat kesejahteraan penduduk di Kecamatan Katapang jauh lebih baik dari Kecamatan Soreang, yang tergambar dari tingginya PDRB per kapita yang diperoleh. Peningkatan jumlah PDRB yang diterima di Kecamatan Katapang terjadi sebesar 3.62 % pada tahun 2006 dan terjadi lagi peningkatan penerimaan yang cukup signifikan pada tahun 2007 yakni sebesar 8.59 %. Kecamatan Katapang ini termasuk ke dalam lima besar kecamatan yang memiliki pendapatan per kapita tertinggi di Kabupaten Bandung. Sementara itu, di Kecamatan Soreang peningkatan jumlah PDRB per kapita juga terjadi yakni sebesar 12.3 % pada tahun 2006 dan 10.4 % pada tahun berikutnya. Bila dilihat dalam konteks Kota Soreang, yang merupakan gabungan dari kedua kecamatan tersebut, dapat disimpulkan pada tiga tahun terakhir terjadi peningkatan jumlah PDRB per kapita rata-rata sebesar 8.01 % pada tahun 2006 dan meningkat lagi sebesar 9.50 % pada tahun 2007. Terjadinya peningkatan nilai per kapita ini sangat berkaitan erat dengan nilai tambah sektor industri yang terus berkembang di Kota Soreang sedangkan jumlah penduduk tidak mengalami peningkatan yang signifikan. Sektor industri yang cenderung bertambah adalah industri konveksi yang dikembangkan secara mandiri oleh masyarakat. Pertumbuhan sektor industri ini juga dipicu oleh terjadinya perluasan wilayah pemasaran yang tidak lagi melingkupi Kota Bandung tetapi juga kotakota besar lainnya seperti Jakarta, Surabaya, Medan, Batam, Palembang, Ujung Pandang bahkan luar negeri seperti Singapura dan Malaysia.
4.2.1.2 Tingkat Kemiskinan Indikator berikutnya yang digunakan dalam analisis ini adalah tingkat kemiskinan
masyarakat.
Jumlah
penduduk
miskin
yang
ada
juga
menggambarkan tingkat perekonomian masyarakat di suatu wilayah. Semakin tinggi
angka
kemiskinan
yang
ada
menunjukkan
rendahnya
tingkat
perekonomian di wilayah yang bersangkutan. Seringkali kemiskinan menjadi penghalang bagi masyarakat untuk melakukan pergerakan dari suatu tempat ke tempat lainnya. Hal ini disebabkan oleh terbatasnya kemampuan untuk membayar biaya yang harus dikeluarkan dalam satu kali perjalanan. Minimnya pergerakan yang terjadi secara tidak langsung juga akan menghambat pertumbuhan ekonomi daerah. Tolok ukur yang digunakan dalam unit analisis indikator ini adalah terjadinya penurunan tingkat kemiskinan tiap tahunnya. Data tingkat kemiskinan yang digunakan adalah jumlah penduduk miskin pada masing-masing desa di Kota Soreang pada tahun 2000 dan 2005 yang dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel IV. 3 Jumlah Penduduk Miskin di Kota Soreang Tahun 2000-2005 Tahun 2000 2005 1 Karamatmulya 202 193 2 Pamekaran 19 23 3 Soreang 125 108 4 Sadu 153 139 5 Panyirapan tidak ada 3 6 Parung Serab 6 10 7 Sekarwangi 124 136 8 Cingcin 76 69 Total 705 681 Sumber : Potensi Desa Tahun 2000,2005
No
Desa
Tolok Ukur Indikator
Terjadi penurunan tingkat kemiskinan tiap tahunnya
Indikasi
Secara umum terjadi penurunan angka kemiskinan di Kota Soreang sekitar 3.5 %
Berdasarkan tabel tersebut dapat disimpulkan secara umum terjadi penurunan tingkat kemiskinan di Kota Soreang sebesar 3.5 % dari tahun 2000 ke 2005. Namun, persentase penurunan tingkat kemiskinan yang terjadi tidak terlalu signifikan untuk kurun waktu perubahan 5 tahun. Penurunan tingkat kemiskinan paling tinggi terjadi di Desa Soreang yakni sekitar 15.7 % dan diikuti oleh Desa Cingcin dan Desa Sadu sebesar 10.14 % dan 10.07 %. Terjadinya penurunan
tingkat kemiskinan ini seiring dengan terus berkembangnya sektor industri rumah tangga dalam bidang konveksi seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Jumlah penduduk miskin tertinggi terdapat di Desa Karamatmulya, Sadu dan Sekarwangi. Kondisi ini disebabkan oleh mayoritas penduduknya masih bekerja sebagai buruh tani dengan penghasilan yang cukup minim karena sektor pertanian masih bersifat dominan di daerah ini. Bila dilihat lebih lanjut, tidak semua desa di Kota Soreang mengalami penurunan tingkat kemiskinan. Peningkatan jumlah penduduk miskin terjadi di Desa Pamekaran, Panyirapan, dan Parung Serab. Namun jumlah penduduk miskin di daerah-daerah ini tidak terlalu besar.
4.2.1.3 Tingkat Pengangguran Gambaran tingkat ekonomi masyarakat juga dapat dilihat berdasarkan indikator tingkat pengangguran di suatu wilayah. Pertumbuhan ekonomi daerah akan semakin kondusif dengan rendahnya jumlah pengangguran yang ada. Pada dasarnya, tingkat pengangguran yang tinggi disebabkan oleh masih rendahnya kualitas sumber daya manusia yang dimiliki sehingga akses untuk mendapatkan dan membuka lapangan pekerjaan sendiri sangat terbatas. Untuk indikator ini, tolok ukur yang digunakan adalah terjadinya penurunan jumlah pengangguran tiap tahunnya. Sedangkan data yang digunakan adalah jumlah penduduk yang menganggur pada tahun 2000-2005 di masing-masing desa yang ada di Kota Soreang. Berikut merupakan tabel jumlah pengangguran di Kota Soreang pada tahun 2000-2005. Tabel IV. 4 Jumlah Pengangguran di Kota Soreang Tahun 2000-2005
No 1 2 3 4 5 6 7 8
Desa Karamatmulya Pamekaran Soreang Sadu Panyirapan Parung Serab Sekarwangi Cingcin
Tahun 2000 2005 368 310 2865 2463 450 386 465 400 Tidak ada 6 95 142 41 61 65 97
Total 4349 3865 Sumber : Potensi Desa Tahun 2000,2005
Tolok Ukur Indikator
Indikasi
Terjadi penurunan tingkat pengangguran tiap tahunnya
Secara umum terjadi penurunan tingkat pengangguran di Kota Soreang sekitar 12.5 %
Sama
halnya
dengan
tingkat
kemiskinan,
penurunan
jumlah
pengangguran juga terjadi di Kota Soreang, yakni sebanyak 4349 orang pada tahun 2000 dan turun sebesar 12.5 % menjadi 3865 orang pada tahun 2005. Terjadinya penurunan jumlah pengangguran ini selain karena terbukanya peluang kerja dengan adanya perkembangan sektor industri, juga disebabkan oleh ketertarikan masyarakat untuk menyediakan jasa ojeg seiring dengan bertambahnya permintaan untuk moda transportasi ini. Kondisi ini masih cukup memprihatinkan karena peralihan profesi yang terjadi masih belum mengarah ke aspek yang lebih potensial untuk meningkatkan taraf ekonomi masyarakat. Pada tabel di atas juga dapat dilihat bahwa sekitar 63.73 % jumlah penganggur di Kota Soreang berasal dari Desa Pamekaran. Hal ini terjadi karena jumlah angkatan kerja wanita sangat dominan di daerah ini yang menyebabkan ketergantungan terhadap orang tua masih sangat tinggi. Sehingga tanggung jawab untuk mencari pekerjaan sendiri menjadi rendah. Mengingat cukup berperannya sektor industri dalam peningkatan taraf hidup masyarakat di Kota Soreang, diharapkan pemerintah dapat ambil bagian dalam upaya peningkatan sektor ini. Misalnya dengan pemberian kredit lunak kepada masyarakat dengan prosedur yang juga relatif murah. Sehingga secara tidak langsung dapat menekan angka kemiskinan dan pengangguran serta meningkatkan PDRB per kapita di daerahnya.
4.2.2
Analisis Tingkat Supply dan Demand Supply dan Demand merupakan hal yang sangat penting digunakan
untuk melihat kinerja sektor transportasi di Kota Soreang. Sektor transportasi dapat dikatakan memiliki kinerja yang baik bila keseimbangan/kesesuaian supply dan demand telah terpenuhi. Bagian lebih lanjut yang akan dilihat pada dimensi ini berkaitan dengan ketersediaan dan kapasitas sarana & prasarana transportasi. Ketersediaan berhubungan dengan penyediaan sarana transportasi yang akan menentukan kelancaran arus barang dan jasa serta penghubung antar sistem kegiatan. Sedangkan kapasitas menunjukkan tingkat kecukupan dari infrastruktur transportasi yang telah tersedia dan seringkali kapasitas ini juga dikaitkan dengan kondisi sarana yang bersangkutan. Indikator yang termasuk ke dalam dimensi ini adalah ketersediaan moda transportasi, kapasitas dan kondisi jaringan jalan dan kapasitas terminal.
4.2.2.1 Ketersediaan Moda Transportasi Ketersediaan moda transportasi merupakan indikator pertama yang akan dilihat untuk menggambarkan tingkat keseimbangan supply dan demand sektor transportasi.
Moda
transportasi
sebagai
sarana
yang
digunakan
untuk
mengangkut penumpang dan barang, harus memiliki jumlah yang cukup untuk menunjang kelancaran aktivitas transportasi masyarakat. Kelancaran aktivitas yang ditunjang oleh ketersediaan moda transportasi ini pada akhirnya akan dapat meningkatkan perekonomian dan taraf hidup masyarakat setempat. Hal yang akan dilihat dari indikator ini tidak hanya sebatas pada tingkat ketersediaan saja, tetapi juga ditekankan pada tingkat kecukupan moda transportasi yang akan digunakan oleh masyarakat. Tingkat ketersediaan moda transportasi ini dinilai berdasarkan persepsi masyarakat di Kota Soreang. Tolok ukur yang akan digunakan dalam indikator ini adalah ≥ 50 % masyarakat menyatakan moda transportasi telah tersedia dan jumlahnya telah mencukupi. Penggunaan tolok ukur ini didasarkan atas tidak terdapatnya suatu standar khusus yang menentukan jumlah armada angkutan ideal untuk pelayanan kebutuhan transportasi masyarakat kota. Ketersediaan moda transportasi dilihat dalam dua hal, yaitu ketersediaan angkutan penumpang dan angkutan barang.
a.
Angkutan Penumpang Secara umum di Kota Soreang, moda transportasi yang digunakan untuk
mengangkut orang adalah kendaraan bermotor seperti ojeg, angkutan kota (angkot), minibus untuk melayani pergerakan antar kota dan kendaraan non motor seperti delman dan becak. Persepsi masyarakat tentang ketersediaan angkutan penumpang ini akan dilihat dalam dua bagian, yakni untuk pergerakan internal (dalam Kota Soreang) dan eksternal (antara Kota Soreang dengan daerah lain). Pemisahan penilaian menjadi dua bagian ini didasarkan atas terdapatnya perbedaan yang cukup signifikan tentang ketersediaan angkutan yang melayani pergerakan internal dan eksternal tersebut. Persepsi masyarakat tentang ketersediaan moda transportasi jenis angkutan penumpang di Kota Soreang terdapat pada tabel IV.5
Tabel IV. 5 Persepsi Masyarakat Tentang Ketersediaan Angkutan Penumpang di Kota Soreang
Pergerakan
% Tingkat Ketersediaan & Kecukupan Tidak Cukup Cukup
Internal
21
79
Eksternal
87
13
Tolok Ukur Indikator
Indikasi
≥ 50 % masyarakat menyatakan moda transportasi telah tersedia dan mencukupi jumlahnya
Belum tersedia angkutan penumpang yang cukup untuk melakukan pergerakan internal Angkutan penumpang untuk pergerakan eksternal telah tersedia dan mencukupi jumlahnya
Sumber : Hasil Analisis, 2008
Berdasarkan tabel terlihat dengan jelas perbedaan persepsi masyarakat tentang ketersediaan moda untuk pergerakan internal dan eksternal. Untuk pergerakan internal, hanya 21 % masyarakat yang menyatakan angkutan penumpang telah tersedia dan jumlahnya telah mencukupi. Hal ini disebabkan oleh tidak terdapatnya angkot yang melayani rute ini. Sehingga perjalanan hanya dapat dilakukan dengan menggunakan ojeg, delman dan becak. Kesulitan akan lebih terasa jika pergerakan melibatkan orang dalam jumlah yang banyak, mengingat kapasitas/daya tampung ojeg, delman dan becak cukup kecil. Bila dilihat dari segi kuantitas, ojeg, delman dan becak di Kota Soreang cukup banyak jumlahnya. Pada tahun 2005, terdapat 429 ojeg, 335 delman dan 135 becak yang tersebar di seluruh desa di Kota Soreang. Jumlah ini diperkirakan meningkat sampai sekarang. Namun, banyaknya angkutan tersebut dinilai masyarakat masih belum bisa mendukung kelancaran dalam melakukan pergerakan di dalam Kota Soreang. Sementara itu, 87 % masyarakat merasa angkutan untuk melayani pergerakan eksternal telah tersedia dengan baik dan telah mencukupi jumlahnya. Rute angkutan umum yang menghubungkan Kota Soreang dengan daerah sekitarnya adalah Soreang-Bandung, Soreang-Banjaran, Soreang-Ciwidey, Soreang-Margaasih, dan Soreang-Baleendah. Jumlah armada terbanyak adalah trayek Soreang-Bandung dengan jumlah 359 unit kendaraan. Terdapatnya ketimpangan dalam hal ketersediaan angkutan penumpang yang melayani pergerakan internal dan eksternal tersebut hendaknya menjadi
perhatian serius bagi pemerintah setempat untuk meningkatkan kelancaran perjalanan yang dilakukan masyarakat.
b.
Angkutan Barang Ketersediaan moda transportasi tidak hanya terfokus pada angkutan
penumpang saja, tetapi ketersediaan moda untuk mengangkut barang juga sangat penting untuk diperhatikan. Angkutan barang sangat diperlukan untuk mendistribusikan hasil dari sektor industri dan pertanian serta barang untuk sektor perdagangan sebagai sektor-sektor utama mata pencaharian penduduk di Kota Soreang. Tersedianya angkutan barang yang cukup akan dapat menunjang taraf perekonomian karena angkutan ini berkaitan langsung dengan proses distribusi hasil produksi dalam usaha masyarakat. Pada tabel di bawah ini dapat dilihat persepsi masyarakat tentang ketersediaan angkutan barang di Kota Soreang. Tabel IV. 6 Persepsi Masyarakat Tentang Tingkat Ketersediaan Angkutan Barang di Kota Soreang Tingkat Ketersediaan & Kecukupan
Persentase
Cukup
71
Tidak Cukup
29
Tolok Ukur
Indikasi
≥ 50 % masyarakat menyatakan moda transportasi telah tersedia dan mencukupi jumlahnya
Moda transportasi untuk mengangkut barang telah tersedia dan mencukupi jumlahnya
Sumber : Hasil Analisis, 2008
Pada umumnya, moda pengangkut barang ini bersifat sewaan atau dimiliki sendiri oleh masyarakat. Hasil industri biasanya diangkut dengan kendaraan jenis truk atau pick up, sedangkan hasil pertanian dibawa dengan menggunakan becak atau motor untuk jarak yang dekat dan menggunakan mobil jenis pick up bila akan dijual ke lokasi yang lebih jauh. Ketersediaan moda pengangkut barang ini dipandang sebagai suatu keharusan dan resiko operasional dan distribusi hasil usaha oleh masyarakat. Karena hal inilah, 71 % masyarakat menyatakan bahwa angkutan barang di Kota Soreang telah tersedia dengan baik dan jumlahnya mencukupi. Namun ada juga masyarakat yang masih mengalami kesulitan dalam pengadaan angkutan barang karena terbatasnya dana untuk membayar uang
sewa kendaraan terutama bagi petani. Kendala seperti ini menyebabkan hasil pertanian hanya dapat dipasarkan ke lokasi dengan jarak lebih dekat atau menunggu datangnya pedagang pengumpul untuk menjemput ke lahan pertanian. Hal ini dapat disiasati melibatkan peran pemerintah untuk pengadaan koperasi bagi para petani untuk menampung hasil pertanian yang dapat menekan biaya distribusi.
4.2.2.2 Kapasitas dan Kondisi Jaringan Jalan Jaringan jalan sebagai prasarana utama dalam sektor transportasi harus mempunyai kondisi yang baik dan dapat memperlancar aktivitas yang dilakukan masyarakat. Selain itu juga harus memiliki kapasitas yang mencukupi. Kapasitas yang cukup bukan berarti pembangunan jaringan jalan yang sebanyakbanyaknya, namun lebih kepada fungsinya yang berjalan dengan baik dan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat akan infrastruktur transportasi ini. Di dalamnya juga akan dilihat tentang kondisi jaringan jalan yang terdapat di Kota Soreang. Penilaian indikator ini juga didasarkan atas dua bagian, yaitu : a. Kapasitas jaringan jalan dilihat berdasarkan persepsi masyarakat. Sedangkan tolok ukur yang digunakan adalah ≥ 50 % masyarakat menyatakan jaringan jalan yang tersedia telah dapat memenuhi kebutuhan b. Kondisi jaringan jalan dilihat berdasarkan persentase jaringan jalan yang berada dalam kondisi baik. Tolok ukur yang digunakan adalah jaringan jalan yang tersedia berada dalam kondisi baik lebih besar jumlahnya dibandingkan dengan yang berada dalam kondisi rusak. Sedangkan data yang digunakan adalah data inventarisasi jaringan jalan di Kota Soreang tahun 2005 (data terakhir yang tersedia). Bila dilihat dari segi ukurannya, jaringan jalan yang ada telah mempunyai lebar yang dapat dilalui oleh kendaraan bermotor baik yang beroda dua atau empat. Secara umum, kapasitas jaringan jalan juga dapat menampung kendaraan yang lewat dalam artian tidak terdapat hambatan jalan yang besar seperti kemacetan dan kepadatan lalu lintas yang tinggi. Namun, berdasarkan survey yang dilakukan, diperoleh kesimpulan bahwa kapasitas jaringan jalan yang tersedia di Kota Soreang masih belum memadai. Hal ini terbukti dengan lebih dari 50 % masyarakat menyatakan demikian. Pada tabel di bawah ini dapat
dilihat persepsi masyarakat Kota Soreang tentang kapasitas jaringan jalan yang tersedia. Tabel IV. 7 Persepsi Masyarakat Tentang Kapasitas Jaringan Jalan di Kota Soreang Kapasitas Jaringan Jalan
Persentase
Memadai
44
Tidak Memadai
56
Tolok Ukur
Indikasi
≥ 50 % masyarakat menyatakan jaringan jalan yang tersedia telah memadai
Jaringan jalan yang tersedia belum memadai/memenuhi kebutuhan masyarakat.
Sumber : Hasil Analisis, 2008
Dilihat dari ketersediaannya, telah terdapat jaringan jalan sebagai sarana penghubung di semua desa di Kota Soreang. Namun masih belum dapat berfungsi
optimal
karena
kapasitasnya
masih
belum
bisa
menampung
kendaraan-kendaraan besar. Terutama pada jalan-jalan kabupaten yang melewati Desa Sadu, Desa Sekarwangi, Desa Panyirapan dan Desa Parung Serab. Terjadinya hal tersebut juga berkaitan dengan konstruksi jaringan jalan yang masih sangat berdebu bila dilewati kendaraan besar sehingga cukup mengganggu masyarakat. Kondisi ini cukup memprihatinkan, mengingat Kota Soreang yang sedang tumbuh berkembang yang membutuhkan dukungan pengembangan jaringan jalan yang memadai. Masyarakat sangat mengharapkan pembangunan jaringan jalan hendaknya dilakukan merata di seluruh penjuru Kota Soreang, bukan hanya di kawasan alun-alun sebagai pusat pemerintahan Kabupaten Bandung yang memiliki kualitas jalan yang sangat baik. Lebih lanjut, kondisi jaringan jalan yang ada di Kota Soreang dapat dilihat dari tabel di bawah ini. Tabel IV. 8 Kondisi Jaringan Jalan di Kota Soreang (Dalam %) No 1 2 3
Kelas Jalan
Kondisi Jalan Rusak Rusak Baik Ringan Berat
Jalan Desa 40.17 13.89 Jalan Kabupaten 33.19 12.77 Jalan Propinsi 81.48 9.26 Sumber : Hasil Analisis, 2008
45.94 54.04 9.26
Tolok Ukur
Indikasi
Persentase jaringan jalan dengan kondisi baik lebih besar
Kondisi jaringan jalan di Kota Soreang masih belum memiliki kualitas yang baik
Berdasarkan analisis yang dilakukan terhadap data inventarisasi jaringan jalan yang ada di Kota Soreang, terlihat bahwa jaringan jalan yang berada dalam kondisi rusak lebih banyak dibandingkan dengan yang berada dalam kondisi baik. Untuk jalan desa, hanya 40.17 % jaringan jalan berada dalam kondisi yang baik. Kerusakan terbanyak terdapat di Desa Panyirapan dan Desa Parung Serab. Sedangkan untuk desa yang lain, tingkat kerusakan cukup merata jumlahnya. Sementara itu, 66.81 % dari jalan kabupaten, berada pada kondisi rusak, 54.04 % di antaranya rusak berat. Jalan kabupaten yang memiliki kerusakan terbesar merupakan jalur yang melewati Desa Sadu dan Desa Sekarwangi. Keadaan yang cukup berbeda ditunjukkan oleh kondisi jalan propinsi. Sekitar 81.48 % dari jaringan jalan ini berada pada kondisi yang baik. Kenyataan ini tidak menunjukkan hal yang positif karena jalan propinsi bukan jaringan jalan yang dominan di Kota Soreang. Selain itu, hal ini bisa dimaklumi karena orientasi pembangunan jalan memang ditekankan pada kelas jalan propinsi. Dapat ditarik kesimpulan bahwa jaringan jalan yang ada di Kota Soreang masih belum memiliki kualitas yang baik. Hal ini harus menjadi perhatian utama bagi pemerintah setempat untuk segera membenahi keadaan yang ada. Karena jaringan jalan memiliki peran yang sangat penting dalam memicu perkembangan suatu wilayah terutama sektor perekonomiannya.
4.2.2.3 Kapasitas Terminal Terminal merupakan sarana perhubungan untuk keperluan memuat dan menurunkan
orang
dan/atau
barang
serta
mengatur
kedatangan
dan
pemberangkatan kendaraan umum, yang merupakan salah satu wujud simpul jaringan transportasi. Karena itu, indikator ini juga penting untuk dilihat dalam menganalisis tingkat supply demand sarana transportasi di Kota Soreang. Idealnya, suatu kota harus memiliki terminal yang mampu menampung aktivitas bongkar muat penumpang dan barang dari angkutan yang tersedia. Analisis pada indikator ini juga dilakukan berdasarkan persepsi masyarakat tentang memadai atau tidaknya kapasitas terminal yang telah tersedia. Sedangkan tolok ukur yang digunakan adalah ≥ 50 % masyarakat menyatakan kapasitas terminal yang tersedia cukup memadai. Berikut merupakan tabel persepsi masyarakat tentang kapasitas terminal yang ada di Kota Soreang.
Tabel IV. 9 Persepsi Masyarakat Tentang Kapasitas Terminal di Kota Soreang Kapasitas Jaringan Jalan
Persentase
Memadai
41
Tidak Memadai
59
Tolok Ukur
Indikasi
≥ 50 % masyarakat menyatakan terminal yang tersedia telah memadai
Kapasitas terminal yang tersedia belum memadai
Sumber : Hasil Analisis, 2008
Saat ini, di Kota Soreang terdapat dua buah terminal tipe B yang terdapat di Pasar Soreang dan di Jalan Cipeer. Namun, terminal di Jalan Cipeer ini tidak berfungsi optimal. Berdasarkan tabel terlihat bahwa 59 % masyarakat masih merasa bahwa kapasitas terminal yang tersedia masih belum memadai kapasitasnya. Hal ini ditandai dengan banyaknya angkutan yang melakukan bongkar muat penumpang di jalan raya sekitar Pasar Soreang yang mengakibatkan terjadinya ketidak lancaran lalu lintas di lokasi tersebut. Semua trayek angkutan yang beroperasi di Kota Soreang berkumpul di terminal ini. Optimalisasi pengoperasian terminal yang ada di Jalan Cipeer, Desa Cingcin merupakan suatu solusi yang dapat dilakukan untuk mengantisipasi keterbatasan kapasitas terminal di Pasar Soreang. Selain terminal tipe B, pada umumnya di setiap desa di Kota Soreang memiliki pangkalan ojeg, delman dan becak yang tersebar cukup banyak dan merata di semua desa. Lokasi pangkalan ini berada dekat dengan pemukiman penduduk untuk mempermudah akses. Meskipun banyak jumlahnya, namun masyarakat masih merasa kapasitas pangkalan masih belum memadai. Hal ini bisa dimaklumi mengingat keberadaan pangkalan tidak resmi tidak termasuk dalam kewenangan Dinas Jasa Marga. Sehingga penyedia jasa membuat sendiri pangkalan
tersebut
dengan
kondisi
seadanya
sehingga
tidak
mampu
menilai
kinerja
menampung kendaraan yang ada.
4.2.3
Analisis Tingkat Aksesibilitas Dimensi
berikutnya
yang
akan
digunakan
untuk
transportasi di Kota Soreang adalah tingkat aksesibilitas. Aksesibilitas sangat erat kaitannya dengan sektor transportasi karena dimensi ini menggambarkan
tingkat keterjangkauan yang dapat dicapai oleh sistem transportasi yang ada di suatu wilayah. Indikator yang termasuk ke dalam unit analisis ini adalah akses ke basic service, akses untuk mendapatkan pelayanan transportasi dan mixed use guna lahan.
4.2.3.1 Akses ke Basic Service Akses ke basic service merupakan indikator pertama yang digunakan untuk menilai tingkat aksesibilitas di Kota Soreang. Basic service yang dimaksud berkaitan dengan tempat kerja, sekolah, pasar dan pusat pusat kesehatan. Data yang digunakan untuk indikator ini bersifat perseptual yang diperoleh berdasarkan persepsi masyarakat tentang akses ke basic service di Kota Soreang. Sedangkan tolok ukur yang digunakan untuk menilai indikator ini adalah ≥ 50 % masyarakat menyatakan mudah untuk menjangkau tempat kerja, sekolah, pasar dan pusat kesehatan. Persepsi masyarakat Kota Soreang tentang tingkat akses ke Basic service dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel IV. 10 Persepsi Masyarakat Tentang Akses ke Basic Service di Kota Soreang
Akses ke
% Tingkat Aksesibilitas Tidak Mudah mudah
Tempat kerja
52
48
Sekolah
71
29
Pasar
84
16
Pusat 87 kesehatan Sumber : Hasil Analisis, 2008
13
Tolok Ukur Indikator
Indikasi
≥ 50 % masyarakat menyatakan mudah untuk menjangkau tempat kerja, sekolah, pasar dan pusat kesehatan
Secara umum, aksessibilitas ke tempat kerja, sekolah, pasar dan pusat kesehatan di Kota Soreang cukup baik
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa secara umum, tingkat aksessibilitas ke tempat kerja, sekolah, pasar dan pusat kesehatan di Kota Soreang cukup baik. Hal tersebut dapat disimpulkan karena lebih dari 50 % masyarakat Kota Soreang menilai bahwa tingkat aksessibilitas ke basic service mudah untuk dijangkau. Penilaian mudah diakses bagi masyarakat lebih
didasarkan karena faktor ketersediaan fasilitas-fasilitas utama seperti pasar, sekolah dan pusat kesehatan di dalam Kota Soreang. Untuk akses ke tempat kerja, sekitar 51 % masyarakat menilai mudah untuk menjangkau lokasi ini. Penilaian seperti ini didasarkan atas beberapa alasan, yaitu : a. Lokasi kerja yang berada tidak jauh dari tempat tinggal, seperti industri rumah tangga dan konveksi yang masih berlokasi di dalam Kota Soreang, dan kantor pemerintahan Kabupaten Bandung yang juga berpusat di Kota Soreang tepatnya di Desa Pamekaran b. Tempat kerja mudah diakses dengan angkutan umum. c. Kepemilikan kendaraan yang mempermudah masyarakat menjangkau tempat kerja yang berada jauh dari Kota Soreang Tetapi jumlah ini tidak dominan karena 48 % masyarakat masih menyatakan tidak mudah untuk menjangkau lokasi kerja ini. Terutama bagi masyarakat yang lokasi kerjanya berada di luar Kota Soreang dan tidak memiliki kendaraan pribadi. Sehingga dibutuhkan jarak dan waktu yang relatif lama untuk menempuhnya. Tingkat aksesibilitas ke sekolah juga dinilai mudah untuk dijangkau oleh 71 % masyarakat. Hal ini disebabkan oleh pada umumnya fasilitas sekolah sudah terdapat di dalam Kota Soreang dan tersebar di 8 desa sehingga tidak berada jauh dari tempat tinggal masyarakat. Fasilitas TK dan SD sudah tersebar merata di semua desa, sementara SMP dan SMU
hanya terdapat di Desa
Parung Serab, Cingcin, Panyirapan, Soreang dan Pamekaran. Namun masih mudah diakses oleh masyarakat yang berada di desa lain karena jarak antar desa yang berdekatan. Kemudahan akses juga terlihat pada tingkat aksesibilitas masyarakat menuju pasar. Sekitar 84 % masyarakat menyatakan mudah untuk menjangkau pasar. Terdapat 2 pasar di Kota Soreang yaitu terletak Desa Pamekaran dan Desa Soreang. Walaupun hanya terdapat dua pasar, namun akses menuju lokasi tersebut dinilai mudah karena posisinya yang berada di tengah-tengah kota dan didukung oleh kondisi jalan penghubung yang cukup baik serta bisa ditempuh dengan berjalan kaki atau menggunakan jasa ojeg dan delman. Pusat kesehatan seperti Puskemas atau poliklinik pada umumnya telah terdapat di seluruh desa di Kota Soreang sehingga memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk mengaksesnya. Sedangkan Rumah Sakit untuk skala
pelayanan lokal dan bahkan regional telah terdapat di pusat Kota Soreang. Lokasi ini juga dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat karena kondisi jalan yang sangat baik. Hal tersebut lah yang merupakan alasan bagi 87 % masyarakat untuk menyatakan kemudahan tingkat aksesibilitas menuju pusat kesehatan di Kota Soreang.
4.2.3.2 Akses Mendapatkan Pelayanan Transportasi Tingkat aksessibilitas berikutnya dilihat berdasarkan akses masyarakat untuk mendapatkan pelayanan transportasi. Pelayanan transportasi yang dimaksud berkaitan dengan pergerakan internal (dalam Kota Soreang) dan eksternal (antara Kota Soreang dengan daerah lain). Penekanan pada indikator ini bukan didasarkan oleh faktor kepemilikan kendaraan, tetapai pada kemudahan mendapatkan layanan angkutan umum. Dengan kata lain, indikator ini digunakan untuk melakukan penilaian tentang kemudahan masyarakat dalam mendapatkan layanan angkutan umum untuk pergerakan internal maupun eksternal di Kota Soreang. Tolok ukur yang digunakan untuk indikator ini adalah ≥ 50 % masyarakat menyatakan mudah untuk mendapatkan pelayanan transportasi. Pada tabel berikut dapat dilihat persepsi masyarakat berkaitan dengan akses untuk mendapatkan pelayanan transportasi pada pergerakan internal dan eksternal.
Tabel IV. 11 Persepsi Masyarakat Tentang Akses Untuk Mendapatkan Pelayanan Transportasi Dalam Pergerakan Internal dan Eksternal di Kota Soreang
Akses
Internal
% Tingkat Aksesibilitas Tidak Mudah mudah 82
Tolok Ukur Indikator
18
≥ 50 % masyarakat menyatakan mudah untuk mendapatkan
Eksternal
47
53
Sumber : Hasil Analisis, 2008
pelayanan transportasi
Indikasi Terdapat kemudahan untuk mendapatkan pelayanan transportasi dalam melakukan pergerakan internal Akses untuk mendapatkan pelayanan transportasi dalam melakukan pergerakan eksternal tidak mudah
Dalam tabel di atas dapat dijelaskan bahwa terdapat perbedaan penilaian masyarakat tentang kemudahan pelayanan angkutan untuk pergerakan internal dan eksternal. Untuk pergerakan internal, 82 % masyarakat menyatakan mudah mendapatkan pelayanan transportasi. Masyarakat menilai mudah karena banyak tersedia jasa angkutan berupa ojeg dan delman di sekitar tempat tinggal penduduk yang dapat digunakan sebagai sarana transportasi menuju lokasi yang masih berada di dalam Kota Soreang. Hal ini bagi masyarakat dapat sedikit menutupi kekurangan Kota Soreang yang tidak memiliki angkot penghubung antar desa (untuk melayani pergerakan internal masyarakat). Sebaliknya, untuk pergerakan eksternal hanya 47 % masyarakat yang menyatakan mudah dalam mendapatkan pelayanan transportasi. Hal ini disebabkan oleh jalur angkot menuju luar Kota Soreang tidak dapat diakses langsung oleh masyarakat. Sehingga terlebih dahulu dibutuhkan angkutan penghubung dari tempat tinggal untuk menjangkau terminal / jalur yang dilewati angkot tersebut. Dengan kata lain terdapat ketidak efektifan masyarakat dalam melakukan pergerakan eksternal yang juga akan menambah cost dalam melakukan perjalanan. Kondisi ini dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi pemerintah daerah untuk membenahi dan mengatur trayek angkot agar lebih efektif lagi.
4.2.3.3 Mixed Use Lahan Mixed use lahan juga termasuk hal yang dilihat untuk menilai tingkat aksesibilitas yang ada di Kota Soreang. Karena hal ini berkaitan dengan keefektifan dalam melakukan perjalanan. Semakin banyak mixed use lahan terutama berkaitan dengan fasilitas perkotaan, semakin banyak kemudahan yang akan diperoleh oleh masyarakat. Dengan kata lain masyarakat tidak perlu mengeluarkan biaya lagi untuk menempuh perjalanan menuju lokasi fasilitas perkotaan lainnya karena semua telah berada pada satu lokasi yang sama. Indikator ini secara tidak langsung juga akan mencerminkan kinerja transportasi di Kota Soreang yang mengarah pada keberlanjutan. Dalam hal ini, tolok ukur yang digunakan adalah terdapatnya mix used lahan dan terjadi peningkatan pada tiap tahunnya. Hal yang ditekankan pada indikator ini adalah berkaitan dengan kedekatan antar lokasi fasilitas perkotaan yang ada di Kota Soreang. Untuk indikator ini, data diperoleh melalui observasi dan berdasarkan pemetaan dari pemerintah setempat.
Di Kota Soreang, telah terdapat mixed use lahan namun tidak merata terjadi di semua daerah. Mixed use dengan skala cukup besar terjadi di Desa Pamekaran. Berdasarkan observasi, terlihat jelas bahwa fasilitas utama perkotaan seperti pasar, terminal, sekolah, pusat pertokoan, dan kantor pemerintahan berpusat di desa ini. Keberadaan fasilitas tersebut berada pada lokasi yang berdekatan sehingga bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Lokasi ini tepatnya berada di alun-alun Kota Soreang yakni di sepanjang Jalan Raya Soreang-Banjaran dan perempatan dengan Jalan Raya Terusan Kopo. Fasilitas perkotaan yang terdapat adalah Kantor Pemerintahan Kabupaten Bandung, Kantor DPRD Kabupaten Bandung, Mesjid Raya Soreang, Gedung KONI, Sekolah MTS Aliyah, STAI Yamisa, Bank BRI, Pasar Soreang, Terminal Soreang, TK, SD Soreang I, Rumah Sakit Umum Soreang, dan Kantor Desa Pamekaran. Banyaknya fasilitas perkotaan yang dapat dijumpai pada lokasi yang berdekatan ini didasarkan oleh RDTR Kawasan Kota Soreang yang berorientasi pada pengembangan fasilitas yang bersifat aglomerasi. Sementara itu, untuk daerah lain mixed use lahan juga terjadi, namun hanya meliputi fasilitas perkotaan dalam jumlah kecil. Seperti yang terjadi di Desa Soreang. Mixed use lahan tepatnya terjadi di perempatan Jl. SoreangBanjaran dan Jl. Terusan Al-Fathu. Di lokasi ini terdapat Kantor Desa Soreang, pertokoan, sekolah, dan Puskesmas. Di Desa Cingcin, tepatnya di perempatan Jl. Cebek dan Batu Goong terdapat fasilitas berupa Hotel, Kantor Telkom Soreang, SMA Putera, poliklinik. Pemusatan fasilitas perkotaan tidak begitu terlihat untuk desa-desa lainnya.
Sementara fasilitas-fasilitas perkotaan lain,
tumbuh dan berkembang pada jalan utama Bandung-Soreang. Berdasarkan fakta di atas, dapat disimpulkan bahwa sektor transportasi di Kota Soreang cukup ditunjang dengan terjadinya mixed use lahan di Kota Soreang terutama di desa Pamekaran. Hal positif juga ditunjukkan dengan arahan pembangunan pada RDTR Kawasan Kota Soreang yang mengarahkan pengembangan fasilitas perkotaan yang bersifat teraglomerasi pada masa yang akan datang. Pemerintah setempat juga dapat mengaktifkan kembali terminal yang ada di Desa Cingcin. Karena beberapa fasilitas pada dasarnya telah terbangun di lokasi ini, namun belum termanfaatkan secara optimal.
4.2.4
Analisis Tingkat Aktivitas Transportasi (Transport Activity) Analisis tingkat aktivitas transportasi merupakan dimensi selanjutnya
yang akan dilihat untuk memberikan gambaran intensitas aktivitas transportasi harian yang dilakukan oleh masyarakat Kota Soreang. Gambaran ini dapat digunakan sebagai salah satu input kebijakan yang akan ditempuh dalam sektor transportasi oleh pemerintah setempat. Semakin tinggi tingkat aktivitas transportasi yang dilakukan masyarakat, semakin tinggi permintaan terhadap kinerja transportasi yang baik di Kota Soreang. Beberapa indikator yang termasuk ke dalam dimensi ini adalah rata-rata frekuensi pergerakan harian, lama perjalanan dan jarak tempuh perjalanan.
4.2.4.1 Frekuensi Perjalanan Perjalanan merupakan kegiatan pergerakan yang dilakukan dari suatu daerah asal menuju daerah tujuan tertentu. Penghitungan satu kali perjalanan merupakan kegiatan pergerakan yang dilakukan dari satu daerah asal (origin) menuju satu daerah tujuan (destination). Dari indikator ini dapat dilihat tingkat tarikan antar zona dan intensitas pergerakan harian masyarakat Kota Soreang. Semakin tinggi intensitas pergerakan harian masyarakat, secara tidak langsung akan membutuhkan dukungan sarana dan prasarana transportasi yang baik untuk memperlancar pergerakan yang dilakukan. Rata-rata pergerakan harian masyarakat Kota Soreang dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel IV. 12 Rata-rata Frekuensi Perjalanan Harian Masyarakat Kota Soreang Frekuensi Perjalanan 2 kali
Persentase (%)
> 2 kali Total
57 43 100
Sumber : Hasil Analisis, 2008
Rata-rata frekuensi pergerakan harian yang dominan dilakukan oleh masyarakat Kota Soreang yakni sekitar 57 % berkisar pada 2 kali perjalanan. Yaitu perjalanan ketika menuju tempat kerja dan perjalanan ketika pulang dari tempat kerja ke tempat tinggal. Pada umumnya lokasi pekerjaan responden pada penelitian ini berada di luar Kota Soreang yakni Kota Bandung, sehingga dibutuhkan dukungan kondisi prasarana jalan yang baik. Mengingat intensitas
masyarakat melewati koridor ini cukup tinggi. Sementara armada angkutan pada koridor ini telah mencukupi jumlahnya. Disamping itu, 43 % responden melakukan kegiatan perjalanan lebih dari 2 kali. Perjalanan yang dimaksud adalah dari tempat tinggal menuju lokasi kerja yang terlebih dahulu menuju pasar atau sekolah dan kembali ke tempat tinggal. Frekuensi perjalanan yang lebih dari 2 kali ini cenderung masih dilakukan di internal Kota Soreang. Sehingga ketersediaan moda angkutan dalam Kota Soreang ini harus mendapat perhatian lebih dari pemerintah setempat.
4.2.4.2 Lama Perjalanan Indikator selanjutnya yang akan dilihat adalah lama perjalanan (waktu tempuh). Pada dasarnya tidak terdapat standar baku untuk menentukan lama atau tidaknya suatu perjalanan dilakukan. Namun indikator ini hanya digunakan untuk menunjukkan tingkat kedekatan antar zona yang sering dilalui oleh masyarakat. Berdasarkan indikator ini secara tidak langsung juga dapat dilihat kinerja sarana dan prasarana transportasi yang mendukungnya. Lama perjalanan akan dilihat berdasarkan dua jenis pergerakan yaitu pergerakan internal (dalam Kota Soreang) dan eksternal (antara Kota Soreang dengan daerah sekitarnya).
a.
Pergerakan Internal Berdasarkan penjelasan sebelumnya, pergerakan internal ini meliputi
pergerakan yang terjadi antara zona-zona yang masih berada di dalam Kota Soreang. Idealnya waktu tempuh yang dibutuhkan akan lebih sedikit karena jarak yang akan ditempuh tidak jauh. Pada tabel di bawah ini dapat dilihat bahwa umumnya rata-rata waktu tempuh yang dibutuhkan oleh masyarakat dalam melakukan pergerakan di dalam Kota Soreang adalah dibawah 15 menit. Di samping itu, dengan besar persentase yang tidak berbeda terlalu jauh yakni sekitar 41% masyarakat membutuhkan waktu sekitar 15-30 menit. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa masyarakat tidak membutuhkan waktu tempuh yang lama untuk melakukan pergerakan internal. Pergerakan ini biasanya dilakukan untuk menuju sekolah, pasar dan pusat kesehatan dengan lokasi yang tidak berada jauh dari tempat tinggal penduduk yang dapat ditempuh dengan berjalan kaki atau menggunakan ojeg. Keberadaan fasilitas-fasilitas yang dapat diakses
dengan waktu yang tidak lama seperti ini perlu dipertahankan dan dikembangkan oleh pemerintah setempat. Hal ini juga dapat dijadikan sebagai salah satu input untuk arahan pembangunan Kota Soreang di masa yang akan datang. Tabel IV. 13 Waktu Tempuh Rata-rata Pergerakan Internal Harian Masyarakat Kota Soreang Lama Perjalanan
Persentase (%)
< 15 menit
49
15 – 30 menit
41
30 – 45 menit
9
> 45 menit
1
Total
100
Sumber : Hasil Analisis, 2008
b.
Pergerakan Eksternal Pergerakan eksternal ini merupakan pergerakan yang menghubungkan
zona-zona yang berada di dalam Kota Soreang dengan zona yang berada di luarnya. Pada umumnya masyarakat melakukan pergerakan ini karena lokasi kerja yang berada di luar Kota Soreang. Daerah luar kota yang paling sering dikunjungi untuk pergerakan ini adalah Kota Bandung. Sehingga objek untuk pergerakan eksternal yang akan dilihat adalah pergerakan dari Kota Soreang menuju Kota Bandung. Oleh karena itu rata-rata waktu tempuh yang akan dibahas lebih lanjut juga hanya dibatasi pada waktu tempuh dari Kota Soreang menuju Kota Bandung saja. Hal ini dilakukan agar tidak terdapat bias dalam penarikan kesimpulan. Rata-rata waktu tempuh untuk pergerakan internaleksternal masyarakat ini dapat dilihat pada tabel IV. 14 Tabel IV. 14 Waktu Tempuh Rata-rata Pergerakan Eksternal Harian Masyarakat Kota Soreang Lama Perjalanan
Persentase (%)
< 1 jam
29
1 jam
61
2 jam
8
> 2 jam
2
Total Sumber : Hasil Analisis, 2008
100
Waktu tempuh rata-rata yang dibutuhkan oleh masyarakat berkisar 1 jam dalam satu kali perjalanan dengan besar persentase 61 %. Hanya 29 % yang menyatakan membutuhkan waktu dibawah 1 jam. Perbedaan waktu tempuh ini diakibatkan oleh masih buruknya kinerja jaringan jalan koridor Jalan Raya Soreang-Bandung
dan
adanya
kemacetan
pada titik-titik
tertentu yang
mengakibatkan waktu tunda yang cukup besar. Karena bila dilihat dari segi armada angkutan Soreang-Bandung, jumlahnya dapat dikatakan sudah sangat mencukupi karena saat ini telah tersedia ± 359 armada yang melayani rute ini. Perlu perhatian lebih lanjut dari Pemerintah Kota Soreang untuk mengantisipasi terjadinya waktu tunda yang lebih lama lagi dengan perbaikan jaringan jalan dan ketegasan regulasi untuk mengantisipasi kemacetan.
4.2.4.3 Jarak Perjalanan Indikator jarak perjalanan dapat menunjukkan karakteristik aktivitas transportasi yang dilakukan oleh masyarakat Kota Soreang karena memberikan gambaran kedekatan antar zona yang sering dikunjungi oleh masyarakat. Melalui indikator ini juga dapat diberikan rekomendasi untuk peningkatan kinerja sarana dan prasarana transportasi yang ada di Kota Soreang.
a.
Pergerakan Internal Untuk pergerakan di dalam Kota Soreang, jarak dominan yang sering
ditempuh oleh masyarakat adalah berkisar pada 1–5 km. Sekitar 59 % masyarakat menempuh jarak ini. Diikuti oleh 34 % masyarakat yang menempuh perjalanan dengan jarak kurang dari 1 km. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel IV. 15 Jarak Tempuh Rata-rata Pergerakan Internal Harian Masyarakat Kota Soreang Jarak Perjalanan
Persentase (%)
< 1 km
34
1 – 5 km
59
> 5 km Total Sumber : Hasil Analisis, 2008
7 100
Pada saat ini, tidak terdapat angkot yang melayani rute perjalanan di dalam Kota Soreang. Sehingga masyarakat hanya mengandalkan jasa angkutan lainnya seperti ojeg, delman dan becak untuk melakukan perjalanan di dalam kota. Bila dilihat berdasarkan jarak yang paling sering ditempuh oleh masyarakat dalam pergerakan internal ini yaitu 1-5 km, dapat disimpulkan bahwa Kota Soreang membutuhkan layanan angkot untuk rute dalam kota mengingat jarak tempuh yang cukup jauh untuk kategori pergerakan internal. Hal ini juga ditunjang oleh keterbatasan kapasitas angkut dari jasa angkutan yang saat ini tersedia.
b. Pergerakan Eksternal Berdasarkan pergerakan ini juga dapat dilihat karakteristik kedekatan antar zona yang sering ditempuh oleh masyarakat. Sama halnya dengan waktu tempuh, jarak perjalanan untuk pergerakan internal-eksternal ini hanya difokuskan pada jarak tempuh Kota Soreang ke Kota Bandung. Jarak antara Kota Soreang ke Kota Bandung adalah sekitar 18 km. Namun lebih lanjut dapat dilihat jarak tempuh rata-rata yang dilakukan masyarakat pada tabel berikut. Tabel IV. 16 Jarak Tempuh Rata-rata Pergerakan Eksternal Harian Masyarakat Kota Soreang Jarak Perjalanan
Persentase (%)
15 - 20 km
30
20 – 25 km
49
> 25 km
21
Total
100
Sumber : Hasil Analisis, 2008
Jarak perjalanan yang dimaksudkan untuk tabel di atas adalah jarak tempuh untuk melakukan satu kali perjalanan. Dari tabel terlihat bahwa 49% masyarakat menempuh jarak 20-25 km untuk satu kali perjalanan. Sedangkan 30% menyatakan menempuh jarak 15-20 km untuk melakukan satu kali perjalanan. Dengan kata lain rata-rata dibutuhkan jarak 40-50 km untuk melakukan perjalanan ke luar Kota Soreang. Berdasarkan fakta ini, sangat dibutuhkan dukungan kinerja transportasi yang baik agar masyarakat dapat melakukan perjalanan dengan aman dan nyaman karena jarak yang harus ditempuh cukup jauh.
4.2.5
Analisis Biaya Transportasi (Transport Cost ) Dimensi ini merupakan bagian yang cukup penting dalam melihat
keberlanjutan transportasi dalam aspek ekonomi di Kota Soreang. Karena berkaitan dengan keterjangkauan masyarakat dalam menanggung besarnya biaya yang harus dikeluarkan dalam melakukan aktivitas transportasi. Biaya transportasi yang ideal adalah yang besarnya mampu dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat sebagai esensi utama dari keberlanjutan transportasi dalam aspek ekonomi. Hal ini bertujuan agar transportasi tak hanya dinikmati oleh lapisan tertentu saja dalam masyarakat. Analisis biaya transportasi ini akan dilihat berdasarkan beberapa indikator yaitu alokasi income untuk sektor transportasi,
keterjangkauan
ongkos
transportasi
(travel
cost)
dan
keterjangkauan biaya pemeliharaan dan kerusakan, tarif parkir, pajak, bahan bakar (facility & crash cost).
4.2.5.1 Alokasi Income Untuk Transportasi Indikator pertama yang digunakan dalam analisis ini adalah alokasi income untuk sektor transportasi. Bagian lebih lanjut yang akan dilihat adalah tingkat keproporsionalan pengeluaran untuk sektor transportasi bila dibandingkan dengan total pengeluaran dalam keluarga pada tiap bulannya. Pada tabel berikut terdapat rincian alokasi rata-rata pendapatan untuk berbagai sektor pada tiap keluarga di Kota Soreang. Tabel IV. 17 Alokasi Income Rata-rata Masyarakat Per Bulan Dalam Berbagai Aspek di Kota Soreang No 1 2 3 4 5 6 7
Jenis Pengeluaran
Alokasi Rata-rata (%)
Makanan Perumahan,bahan bakar Transportasi Aneka barang dan jasa Biaya pendidikan Biaya kesehatan Pakaian, alas kaki Barang-barang tahan 8 lama 9 Pajak dan asuransi 10 Kep. pesta dan upacara Total Sumber : Suseda Kota Soreang, 2007
47.21 7.49 15.36 9.64 3.68 2.95 10.01 1.49 1.03 1.14 100.00
Tabel di atas menunjukkan bahwa besarnya rata-rata biaya yang harus dikeluarkan oleh masyarakat untuk sektor transportasi adalah sekitar 15.36 % dari total income yang diperoleh tiap bulannya. Alokasi biaya untuk transportasi ini merupakan bagian terbesar kedua setelah pengeluaran untuk makanan. Namun untuk melihat proporsional atau tidaknya persentase pengeluaran untuk transportasi ini dilihat berdasarkan perseptual masyarakat. Tolok ukur yang digunakan dalam indikator ini adalah ≥ 50 % masyarakat menyatakan alokasi income untuk sektor transportasi masih proporsional. Persepsi masyarakat tentang keproporsionalan alokasi income untuk sektor transportasi dapat dilihat pada tabel IV. 18 Tabel IV. 18 Persepsi Masyarakat Tentang Tingkat Keproporsionalan Alokasi Income Untuk Sektor Transportasi di Kota Soreang
Tingkat Keproporsionalan
Persentase
Alokasi income proporsional
68
Alokasi income tidak proporsional
32
Tolok Ukur
Indikasi
≥ 50 % masyarakat menyatakan alokasi income untuk sektor transportasi masih proporsional
Alokasi income yang dikeluarkan untuk sektor transportasi masih proporsional
Sumber : Hasil Analisis, 2008
Dari tabel di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa alokasi income untuk sektor transportasi masih proporsional yang didukung oleh 68 % masyarakat. Kenyataan ini menunjukkan bahwa pengeluaran untuk transportasi bagi masyarakat tidak bersifat memberatkan. Karena melakukan aktivitas transportasi dipandang sebagai suatu keharusan untuk memenuhi rutinitas pekerjaan yang dilakukan dan untuk kepentingan lainnya. Masyarakat menilai alokasi income tidak lagi proporsional bila antara jumlah pengeluaran untuk kebutuhan pokok dan transportasi memiliki selisih yang kecil. Sementara 32 % masyarakat masih menyatakan alokasi income untuk transportasi masih belum proporsional. Pada umumnya
masyarakat
yang
menyatakan
tidak
proporsional
ini
adalah
masyarakat yang berpenghasilan tidak terlalu besar. Sehingga cukup terbebani dengan biaya yang harus ditanggung yang cukup mahal bila dibandingkan dengan penghasilan yang diterima.
4.2.5.2 Travel Cost Travel cost merupakan besarnya biaya yang diperlukan untuk melakukan perjalanan dari daerah asal menuju daerah tujuan yang diinginkan. Indikator ini lebih difokuskan pada besaran biaya angkutan umum yang harus dibayar oleh masyarakat dalam melakukan perjalanan. Ongkos transportasi hendaknya tidak terlalu besar dan terjangkau oleh masyarakat sehingga tidak menemui keterbatasan untuk melakukan perjalanan. Indikator ongkos transportasi ini juga dilihat berdasarkan persepsi masyarakat. Sedangkan tolok ukur yang digunakan untuk indikator ini adalah ≥ 50 % masyarakat menyatakan ongkos untuk melakukan perjalanan terjangkau.
Tabel IV. 19 Persepsi Masyarakat Tentang Keterjangkauan Travel Cost di Kota Soreang
Persepsi
Persentase (%)
Terjangkau
51
Tidak terjangkau
49
Tolok Ukur Indikator
Indikasi
≥ 50 % masyarakat
Ongkos angkutan cukup terjangkau bagi masyarakat di Kota Soreang tetapi tingkat keterjangkauan tidak dominan
menyatakan ongkos untuk melakukan perjalanan terjangkau
Sumber : Hasil Analisis, 2008
Berkaitan dengan tarif moda transportasi di Kota Soreang, pada tabel terlihat sekitar 51 % masyarakat menyatakan bahwa tarifnya masih dapat dijangkau. Namun keterjangkauan ini tidak bersifat dominan karena masih banyak masyarakat yaitu 49 % yang menyatakan bahwa tarif transportasi ini belum dapat dijangkau sepenuhnya. Untuk
pergerakan
dari
Kota
Soreang
ke
daerah
luarnya,
bila
menggunakan angkot, masyarakat biasanya mengeluarkan ongkos sebesar Rp. 2.500 – Rp. 5.000 tergantung jauh atau tidaknya tujuan yang akan ditempuh. Sedangkan bila menggunakan minibus untuk jarak yang relatif jauh, ongkos yang dikeluarkan berkisar Rp. 8.000 – Rp. 15.000. Sementara itu, untuk pergerakan internal, masyarakat biasanya menggunakan jasa angkutan berupa ojeg dengan biaya berkisar antara Rp. 2.000 – Rp. 7.000 dan delman dengan ongkos sebesar Rp. 2.000 - Rp. 4.000. Tarif ini tergolong cukup mahal karena terkadang masyarakat
hanya
menggunakan
jasa
angkutan
ini
sebagai
angkutan
penghubung dari tempat tinggal untuk menjangkau angkot yang akan digunakan untuk melakukan perjalanan. Masyarakat tetap menggunakan angkutan ini karena lokasi tempat tinggal mereka yang tidak terlewati jalur angkot. Dengan fakta ini, pemerintah perlu melakukan pembahasan tentang rencana pengadaan angkot yang dapat melayani pergerakan internal di Kota Soreang mengingat belum efektifnya pelayanan angkutan umum yang ada di kota ini sementara ongkos yang harus dikeluarkan masyarakat masih relatif besar.
4.2.5.3 Facility & Crash Cost Biaya yang dilihat pada indikator ini meliputi tarif parkir, harga bahan bakar, pajak dan biaya pemeliharaan dan perbaikan kendaraan. Keterjangkauan biaya ini juga dinilai berdasarkan persepsi masyarakat tetapi dikhususkan pada masyarakat yang memiliki kendaraan pribadi. Indikator ini didasarkan pada tolok ukur ≥ 50 % masyarakat menyatakan tarif parkir, harga bahan bakar, pajak, biaya pemeliharaan dan perbaikan kendaraan terjangkau. Secara rinci, persepsi masyarakat tentang keterjangkauan facility & crash cost terdapat pada tabel di bawah ini. Tabel IV. 20 Persepsi Masyarakat Tentang Keterjangkauan Facility & Crash Cost di Kota Soreang
Biaya
% Tingkat Keterjangkauan Tidak Terjangkau terjangkau
Biaya Parkir
73
27
Harga Bahan Bakar
62
38
Pajak
51
49
Biaya Pemeliharaan & 54 Perbaikan kendaraan Sumber : Hasil Analisis, 2008
46
Tolok Ukur Indikator
Indikasi
≥ 50 % masyarakat menyatakan tarif parkir, harga bahan bakar, pajak, biaya pemeliharaan dan perbaikan kendaraan terjangkau.
Facility & Crash Cost masih terjangkau oleh masyarakat
Berdasarkan tabel, terlihat secara umum masyarakat menyatakan bahwa facility & crash cost yang harus ditanggung masih terjangkau. Alasan keterjangkauan masyarakat didasarkan pada keefisienan dan besarnya manfaat yang diperoleh dari penggunaan kendaraan pribadi dibandingkan dengan
angkutan umum. Tak hanya efektif dalam hal biaya, tetapi juga waktu perjalanan. Karena itu masyarakat merasa bahwa facility & crash cost yang harus dikeluarkan hanya sebagai suatu bentuk konsekuensi yang harus ditanggung untuk mendapatkan keefisienan dalam perjalanan dan bukan sebagai beban. Namun sejauh ini, masyarakat masih belum puas dengan pembangunan infrastruktur yang dilakukan pemerintah karena bentuk kewajiban melalui pajak telah dipenuhi dengan rutin pada tiap tahunnya. Hal ini dapat dijadikan sebagai masukan kepada pemerintah daerah untuk lebih meningkatkan pelaksanaan pembangunan karena masyarakat telah ikut memberikan partisipasi dengan membayar pajak.
4.3
Analisis Keterkaitan Indikator Berdasarkan Persepsi Masyarakat Analisis pada sub bab ini mengidentifikasi keterkaitan antar indikator
dengan menggunakan metode statistik Chi square. Variabel yang diuji merupakan variabel indikator yang didasarkan atas persepsi masyarakat yang diperkirakan mempunyai keterkaitan yang cukup logis. Pada bagian ini, faktor/variabel yang diuji antara lain ketersediaan angkutan penumpang untuk pergerakan internal dan eksternal, akses ke basic services (tempat kerja, sekolah, pasar, pusat kesehatan), kapasitas jaringan jalan, akses mendapatkan pelayanan transportasi, biaya transportasi, dan rata-rata frekuensi harian. Pengujian dengan menggunakan metode Chi square, dilakukan dengan memberikan tabulasi silang antar dua variabel, yang biasa dikenal dalam statistik sebagai analisis dua variabel atau crosstab. Nilai Chi square digunakan sebagai pengujian untuk mengetahui apakah variabel ini memiliki keterikatan/asosiasi. Caranya dengan membandingkan hasil chi square perhitungan (yang berada di bawah tabulasi silang) dengan nilai chi square pada tabel ( dapat dilihat pada lampiran). Jika nilai chi square perhitungan lebih besar daripada nilai chi square tabel, maka kedua variabel tersebut memiliki keterkaitan, begitupun sebaliknya. Cara mendapatkan nilai chi square tabel dengan melihat derajat kebebasan
yang
diperoleh
pada
tabel
baris
dan
tingkat
kepercayaan
(signifikansi tes) sebesar 95 % pada tabel kolom. Tingkat kepercayaan 95 % artinya hanya 5 % kesalahan, sehingga pada tabel nilai chi square dilihat pada kolom ∂ = 0.05. Penggunaan tingkat kepercayaan pada dasarnya bebas, hanya saja mengacu pada umumnya yang lazim digunakan adalah tingkat kepercayaan 95 % sebagai acuan.
Keterangan signifikansi yang berada di bawah tabel tabulasi silang dua variabel merupakan tingkat kesalahan yang terdapat pada tabulasi silang, yang digunakan untuk menolak Ho yaitu antara kedua variabel saling independen. Semakin besar nilai signifikansinya, artinya semakin besar tingkat kesalahan (error) untuk menolak Ho. Namun dalam penelitian ini, tidak dijelaskan secara eksplisit mengenai hipotesa, melainkan langsung membandingkan antara nilai chi square hasil hitung dengan nilai chi square tabel untuk menyederhanakan analisis.
4.3.1
Ketersediaan Angkutan Penumpang Dan Akses Ke Basic Services Bagian pertama yang akan dilihat adalah keterkaitan antara ketersediaan
angkutan penumpang dan akses ke basic services. Bagian ini penting untuk dilihat untuk mengetahui secara tidak langsung variabel yang mempengaruhi kemudahan akses menuju basic services di Kota Soreang.
4.3.1.1 Ketersediaan Angkutan Penumpang (Pergerakan Eksternal) Dan Akses ke Tempat Kerja Ketersediaan
angkutan penumpang dan akses ke
tempat kerja
merupakan variabel yang akan dilihat keterkaitannya. Apakah ketersediaan angkutan
penumpang
untuk
melakukan
pergerakan
eksternal
akan
mempengaruhi akses ke tempat kerja di Kota Soreang. Ketersediaan angkutan penumpang yang dilihat khusus untuk pergerakan eksternal, mengingat tempat kerja masyarakat yang mayoritas berada di luar Kota Soreang. Keterkaitan ini dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel IV. 21 Tabulasi Silang Ketersediaan Angkutan Penumpang dan Akses ke Tempat Kerja Ketersediaan Angkutan Penumpang (pergerakan eksternal) cukup tidak cukup Total
Akses ke Tempat Kerja mudah tidak mudah
Total
46
41
87
6
7
13
48
100
52 Sumber : Hasil Analisis, 2008 X2 = 0.024, Derajat Kebebasan = 1, X2 tabel = 3.84, ∂ = 0.05
Idealnya, semakin cukup tingkat ketersediaan angkutan, semakin mudah untuk menjangkau tempat kerja. Berdasarkan aturan statistik menggunakan Chi
square, terlihat nilai X2 = 0.024, (df = 1, X2 tabel = 3.84, ∂ = 0.05). Maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat asosiasi/ hubungan antara kedua variabel tersebut. Hal ini mungkin disebabkan oleh terdapatnya variabel lain yang lebih mempengaruhi kemudahan akses menuju tempat kerja. Misalkan kepemilikan kendaraan, lokasi kerja, dan faktor lainnya.
4.3.1.2 Ketersediaan Angkutan Penumpang (Pergerakan Internal) Dan Akses ke Sekolah Asosiasi antar variabel yang mempengaruhi akses ke sekolah juga penting untuk dilihat mengingat sekolah juga merupakan rutinitas wajib yang dilakukan pada tiap harinya. Pada bagian ini dilihat keterkaitan antara akses ke sekolah dengan ketersediaan angkutan penumpang. Namun ketersediaan angkutan penumpang dikhususkan pada ketersediaan angkutan penumpang dalam pergerakan internal, karena pada umumnya sekolah yang akan dituju masih berada di dalam (internal) Kota Soreang. Tabel IV. 22 Tabulasi Silang Ketersediaan Angkutan Penumpang dan Akses ke Sekolah Ketersediaan angkutan penumpang
Akses ke sekolah mudah
(pergerakan internal)
Total
tidak mudah
cukup
21
0
21
tidak cukup
50
29
79
Total
71
29
100
Sumber : Hasil Analisis, 2008 X2 = 9.148 , Derajat kebebasan = 1, X2 tabel = 3.84, ∂ = 0.05
Pada tabel di atas, dapat dilihat keterkaitan antara variabel ketersediaan angkutan penumpang dan akses ke sekolah. Berdasarkan hasil perhitungan, diperoleh X2 = 9.148 (df = 1, X2 tabel = 3.84, ∂ = 0.05). Secara statistik dapat disimpulkan bahwa antara kedua variabel tersebut memiliki keterkaitan karena X2 yang diperoleh dari perhitungan lebih besar dari X2 tabel. Dari tabel juga terlihat sebanyak 21 % responden menyatakan ketidak mudahan akses menuju sekolah disebabkan oleh tidak cukupnya ketersediaan angkutan penumpang. Dengan kata
lain,
kemudahan
akses
ke
sekolah
ditunjang
oleh
ketersediaan
angkutan/moda transportasi. Hal ini bisa menjadi bahan masukan agar
pemerintah setempat mempunyai perhatian yang lebih dalam menjamin ketersediaan moda transportasi untuk mendukung aktivitas masyarakat.
4.3.1.3 Ketersediaan Angkutan Penumpang (Pergerakan Internal) Dan Akses ke Pasar Bagian berikut akan melihat keterkaitan antara variabel ketersediaan angkutan penumpang dengan akses ke pasar. Angkutan penumpang yang dimaksud juga dikhususkan pada ketersediaan angkutan penumpang untuk pergerakan internal, karena pasar yang sering diakses masyarakat
masih
berada di dalam Kota Soreang. Keterkaitan antara dua variabel tersebut dapat dilihat pada tabel IV.23. Tabel IV. 23 Tabulasi Silang Ketersediaan Angkutan Penumpang dan Akses ke Pasar Ketersediaan angkutan penumpang (pergerakan internal)
Akses ke pasar mudah tidak mudah
Total
cukup
21
0
21
tidak cukup
63
16
79
Total 84 16 Sumber : Hasil Analisis, 2008 X2 = 3.668, Derajat kebebasan = 1, X2 tabel = 3.84, ∂ = 0.05
100
Dari perhitungan statistik yang dilakukan, diperoleh nilai X2 = 3.668, (df= 1, X2 tabel = 3.84, ∂ = 0.05). Karena nilai X2 hasil perhitungan lebih kecil dari pada X2 tabel, dapat disimpulkan bahwa antara kedua indikator ini tidak memiliki asosiasi.
Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat faktor lain yang lebih
mempengaruhi penilaian kemudahan akses menuju pasar di Kota Soreang. Misalkan kedekatan dengan tempat tinggal sehingga tidak tergantung dari ketersediaan angkutan penumpang untuk pergerakan internal.
4.3.1.4 Ketersediaan Angkutan Penumpang (Pergerakan Internal) Dan Akses ke Pusat Kesehatan Hubungan antara ketersediaan angkutan penumpang dengan akses ke pusat kesehatan juga penting untuk dilihat. Sama halnya dengan bagian sebelumnya, ketersediaan angkutan penumpang juga dikhususkan untuk pergerakan internal saja. Hubungan antara kedua variabel ini dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel IV. 24 Tabulasi Silang Ketersediaan Angkutan Penumpang dan Akses ke Pusat Kesehatan
Ketersediaan angkutan penumpang (pergerakan internal)
Akses ke pusat kesehatan mudah
Total
tidak mudah
cukup
20
1
21
tidak cukup
67
12
79
Total 87 13 Sumber : Hasil Analisis, 2008 X2 = 0.806, Derajat kebebasan = 1, X2 tabel = 3.84, ∂ = 0.05
100
Berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan diperoleh nilai X2 = 0.806 (df = 1, X2 tabel = 3.84, ∂ = 0.05). Dari perhitungan statistik ini, diketahui antara kedua variabel tidak memiliki keterkaitan. Dapat ditarik kesimpulan bahwa kemudahan akses untuk menjangkau pusat kesehatan di Kota Soreang tidak dipengaruhi oleh ketersediaan moda/ angkutan penumpang.
4.3.2
Kapasitas Jaringan Jalan Dan Akses Ke Basic Services Kemudahan akses ke basic services juga akan dilihat keterkaitannya
dengan kapasitas jaringan jalan. Apakah kemudahan akses menuju basic services dipengaruhi oleh kapasitas jaringan jalan yang memadai atau sebaliknya.
4.3.2.1 Kapasitas Jaringan Jalan Dan Akses ke Tempat Kerja Berikut akan dilihat hubungan antara kapasitas jaringan jalan dengan kemudahan akses menuju tempat kerja. Asosiasi antara kedua variabel ini dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel IV. 25 Tabulasi Silang Kapasitas Jaringan Jalan dan Akses ke Tempat Kerja Kapasitas jaringan jalan
Akses ke tempat kerja mudah
tidak mudah
Total
memadai
23
21
44
tidak memadai
29
27
56
Total 52 48 Sumber : Hasil Analisis, 2008 X2 = 0.002, Derajat kebebasan = 1, X2 tabel = 3.84, ∂ = 0.05
100
Pada tabel di atas, terlihat bahwa secara statistik diperoleh nilai X2 = 0.002 (df = 1, X2 tabel = 3.84, ∂ = 0.05). Karena nilai X2 lebih kecil dari pada X2 tabel, dapat disimpulkan bahwa antara kapasitas jaringan jalan dan akses ke tempat kerja tidak memiliki hubungan/asosiasi.
4.3.2.2 Kapasitas Jaringan Jalan Dan Akses ke Sekolah Idealnya, kemudahan akses menuju sekolah juga harus ditunjang oleh kapasitas jaringan jalan yang memadai. Karena itu pada bagian berikut akan dilihat asosiasi antara kedua variabel ini.
Tabel IV. 26 Tabulasi Silang Kapasitas Jaringan Jalan dan Akses ke Sekolah Akses ke sekolah Kapasitas jaringan jalan
mudah
tidak mudah
Total
memadai
34
10
44
tidak memadai
37
19
56
Total
71
29
100
Sumber : Hasil Analisis, 2008 X2 = 1.007, Derajat Kebebasan = 1, X2 tabel = 3.84, ∂ = 0.05
Dari tabel IV.26 di atas, dapat dilihat hubungan antara kapasitas jaringan jalan dan akses ke sekolah di Kota Soreang. Secara statistik, diperoleh nilai X2 = 1.007 (df = 1, X2 tabel = 3.84, ∂ = 0.05). Berdasarkan perhitungan ini dapat dinyatakan bahwa tidak terdapat hubungan antara kedua variabel di atas.
4.3.2.3 Kapasitas Jaringan Jalan Dan Akses ke Pasar Hubungan antara kapasitas jaringan jalan dan akses menuju pasar akan dilihat pada bagian ini. Kapasitas jaringan jalan yang memadai sangat diperlukan untuk mendukung kemudahan akses menuju pasar. Karena juga akan mendukung kelancaran distribusi barang dan jasa ke lokasi ini. Asosiasi antara kedua variabel ini dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel IV. 27 Tabulasi Silang Kapasitas Jaringan Jalan dan Akses ke Pasar Kapasitas jaringan jalan memadai tidak memadai
Akses ke pasar mudah tidak mudah 36 8 48
Total 44
8
56
Total 84 16 Sumber : Hasil Analisis, 2008 2 2 X = 0.064, Derajat Kebebasan = 1, X tabel = 3.84, ∂ = 0.05
100
Pada tabel di atas dapat dilihat bahwa nilai X2 yang diperoleh adalah 0.064 (df = 1, X2 tabel = 3.84, ∂ = 0.05). Dapat ditarik kesimpulan bahwa antara kedua variabel ini tidak memiliki keterkaitan karena nilai X2 hasil perhitungan lebih kecil daripada X2 tabel.
4.3.2.4 Kapasitas Jaringan Jalan Dan Akses ke Pusat Kesehatan Ada atau tidaknya asosiasi juga akan dilihat antara variabel kapasitas jaringan jalan dan akses ke pusat kesehatan. Tabel IV.28 akan memperlihatkan asosiasi antara kedua variabel ini. Tabel IV. 28 Tabulasi Silang Kapasitas Jaringan Jalan dan Akses ke Pusat Kesehatan
Kapasitas jaringan jalan
Akses ke pusat kesehatan mudah
Total
tidak mudah
memadai 40 4 tidak memadai 47 9 Total 87 13 Sumber : Hasil Analisis, 2008 X2 = 0.534 Derajat Kebebasan = 1, X2 tabel = 3.84, ∂ = 0.05)
44 56 100
Hasil perhitungan secara statistik menunjukkan X2 yang diperoleh adalah 0.534 (df = 1, X2 tabel = 3.84, ∂ = 0.05). Karena nilai X2 lebih kecil, dapat disimpulkan bahwa antara kedua variabel ini tidak memiliki hubungan. Dengan kata lain, kemudahan akses menuju pusat kesehatan ini dipengaruhi oleh faktor lainnya.
4.3.3
Travel Cost Dan Rata-rata Frekuensi Pergerakan Harian Bagian ini akan melihat keterkaitan antara keterjangkauan ongkos
transportasi terhadap rata-rata frekuensi pergerakan harian. Pada dasarnya,
semakin terjangkau ongkos transportasi, semakin tinggi intensitas pergerakan yang dilakukan oleh masyarakat. Namun, tingkat asosiasi yang terjadi akan dilihat berdasarkan perhitungan statistik pada tabel di bawah ini.
Tabel IV. 29 Tabulasi Silang Travel Cost dan Rata-rata frekuensi Pergerakan Harian Frekuensi perjalanan Travel Cost
2 kali
Total
> 2 kali
Terjangkau
14
37
51
Tidak terjangkau
43
6
49
Total
57 43 100 Sumber : Hasil Analisis, 2008 X2 = 34.658 Derajat Kebebasan = 1, X2 tabel = 3.84, ∂ = 0.05)
Berdasarkan tabel di atas, diperoleh nilai X2 = 34.658 (df = 1, X2 tabel = 3.84, ∂ = 0.05). Karena nilai X2 yang diperoleh jauh lebih besar daripada nilai X2 pada tabel, dapat disimpulkan antara kedua variabel ini memiliki hubungan. Terlihat dalam tabel, semakin terjangkau ongkos transportasi, semakin tinggi frekuensi pergerakan yang dilakukan masyarakat. Begitupun sebaliknya, frekuensi pergerakan relatif rendah bila ongkos transportasi tidak terjangkau oleh masyarakat.
4.3.4
Ketersediaan Angkutan Penumpang Dan Akses Untuk Mendapatkan Pelayanan Transportasi Keterkaitan antara kedua variabel ini juga penting untuk dilihat. Namun
ketersediaan angkutan yang dimaksud difokuskan pada ketersediaan angkutan untuk pergerakan internal, sementara akses pelayanan transportasi ditujukan untuk akses melakukan pergerakan eksternal. Hal ini disebabkan oleh timbulnya kesulitan yang dirasakan masyarakat untuk melakukan pergerakan ke luar Kota Soreang karena terlebih dahulu harus menggunakan angkutan penghubung berupa ojeg, delman dan becak untuk dapat menjangkau angkot yang melayani pergerakan eksternal. Sehingga dalam hal ini dibutuhkan ketersediaan angkutan internal yang memadai. Keberadaan hubungan antara kedua variabel ini dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel IV. 30 Tabulasi Silang Ketersediaan Angkutan Penumpang Dan Akses Untuk Mendapatkan Pelayanan Transportasi Ketersediaan angkutan penumpang (pergerakan internal)
Akses mendapatkan pelayanan transportasi (pergerakan eksternal) mudah
Total
tidak mudah
cukup
9
12
21
tidak cukup
38
41
79
Total
47
53
100
Sumber : Hasil Analisis, 2008 X2 = 0.033 (df = 1, X2 tabel = 3.84, ∂ = 0.05)
Secara statistik, berdasarkan tabel di atas tidak terdapat hubungan antara ketersediaan
angkutan
penumpang
dengan
akses
untuk
mendapatkan
2
pelayanan transportasi. Karena nilai X yang diperoleh lebih kecil daripada X2 tabel.
4.3.5
Ketersediaan
Angkutan
Penumpang
Dan
Rata-rata
Frekuensi
Pergerakan Harian Ketersediaan moda transportasi pada dasarnya dapat mempengaruhi intensitas pergerakan yang dilakukan masyarakat. Hubungan antara kedua variabel ini akan dilihat pada tabel berikut.
Tabel IV. 31 Tabulasi Silang Ketersediaan Angkutan Penumpang Dan Frekuensi Perjalanan Ketersediaan angkutan penumpang (pergerakan internal)
Frekuensi perjalanan 2 kali
cukup
> 2 kali
Total
6
15
21
51
28
79
Total 57 43 Sumber : Hasil Analisis, 2008 X2 = 7.358, Derajat Kebebasan = 1, X2 tabel = 3.84, ∂ = 0.05
100
tidak cukup
Pada tabel diperoleh X2 = 7.358 (df = 1, X2 tabel = 3.84, ∂ = 0.05). Karena nilai X2 lebih besar, maka dapat disimpulkan bahwa antara kedua variabel ini terdapat hubungan/asosiasi. Semakin cukup moda yang tersedia, semakin tinggi intensitas pergerakan yang dilakukan masyarakat.
4.3.6
Keterkaitan Antar Variabel Berdasarkan analisis yang telah dilakukan dapat disimpulkan keterkaitan
antar variabel yang terdapat pada tabel IV.31.
Tabel IV. 32 Keterkaitan Antar Variabel No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Asosiasi Ketersediaan Angkutan Penumpang Dan Akses ke Tempat Kerja Ketersediaan Angkutan Penumpang Dan Akses ke Sekolah Ketersediaan Angkutan Penumpang Dan Akses ke Pasar Ketersediaan Angkutan Penumpang Dan Akses ke Pusat Kesehatan Kapasitas Jaringan Jalan Dan Akses ke Tempat Kerja Kapasitas Jaringan Jalan Dan Akses ke Sekolah Kapasitas Jaringan Jalan Dan Akses ke Pasar Kapasitas Jaringan Jalan Dan Akses ke Pusat Kesehatan Travel Cost Dan Rata-rata Frekuensi Pergerakan Harian Ketersediaan Angkutan Penumpang Dan Akses Untuk Mendapatkan Pelayanan Transportasi Ketersediaan Angkutan Penumpang Dan Rata-rata Frekuensi Pergerakan Harian Sumber : Hasil Analisis, 2008
Dimensi
X2 (Chi square)
Signifikansi (95%)
2x2
0.024
Ditolak
2x2
9.148
Diterima
2x2
3.668
Ditolak
2x2
0.806
Ditolak
2x2
0.002
Ditolak
2x2
1.007
Ditolak
2x2
0.064
Ditolak
2x2
0.534
Ditolak
2x2
34.658
Diterima
2x2
0.033
Ditolak
2x2
7.358
Diterima
Dari tabel dapat dilihat bahwa masing-masing variabel memiliki tingkat keterkaitan yang berbeda antara satu dengan lainnya. Pada dasarnya, tingkat keterkaitan ini bersifat sangat relatif dan sangat tergantung pada keakuratan persepsi yang diberikan masyarakat. Berdasarkan uji statistik yang dilakukan, terlihat bahwa variabel yang memiliki hubungan/asosiasi antara satu dan yang lainnya adalah ketersediaan angkutan penumpang dan akses ke sekolah, antara travel
cost
dengan
rata-rata
frekuensi
pergerakan
harian,
dan
antara
ketersediaan angkutan dengan rata-rata frekuensi pergerakan harian. Adanya hubungan antara ketersediaan angkutan penumpang dan akses ke sekolah terlihat dari semakin mudahnya akses menuju sekolah seiring dengan cukupnya ketersediaan angkutan penumpang berdasarkan persepsi masyarakat yang ada di Kota Soreang. Sedangkan hubungan antara keterjangkauan ongkos
transportasi (travel cost) dan frekuensi pergerakan harian terlihat dari semakin tingginya intesitas pergerakan masyarakat bila persepsi tentang ongkos transportasi terjangkau. Sementara itu, hubungan antara ketersediaan angkutan penumpang dan rata-rata frekuensi pergerakan harian masyarakat terlihat dari rendahnya intensitas pergerakan yang terjadi bila angkutan penumpang yang tersedia tidak mencukupi, begitupun sebaliknya. Meskipun secara statistik beberapa variabel di atas tidak memiliki keterkaitan, namun pemerintah tetap harus memperhatikan ketersediaan sarana dan prasarana transportasi agar dapat mendukung kemudahan akses dan kelancaran aktivitas transportasi yang dilakukan masyarakat.
4.4
Rangkuman Hasil Analisis Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan, dapat disimpulkan
bahwa kondisi sektor transportasi di Kota Soreang masih belum memiliki kinerja yang baik dan belum mengarah pada konsep keberlanjutan. Hal ini disebabkan oleh masih banyaknya indikator yang belum memenuhi tolok ukur yang digunakan. Arahan kepada keberlanjutan dalam sektor ekonomi terlihat pada relatif baiknya kondisi perekonomian masyarakat yang ditandai dengan peningkatan
PDRB
perkapita,
dan
penurunan
tingkat
kemiskinan
dan
pengangguran. Kondisi ini juga berdampak pada kesanggupan masyarakat dalam menanggung biaya yang harus dikeluarkan untuk melakukan aktivitas transportasi. Selain itu, kondisi transportasi yang baik juga terlihat dari kemudahan akses yang dirasakan masyarakat menuju basic services (pasar, sekolah, tempat kerja dan pusat kesehatan) yang telah terdapat hampir di semua desa dan telah terdapatnya pembangunan yang bertumpu pada mixed use lahan sesuai dengan rencana pengembangan kawasan perkotaan yang dimiliki. Hal ini secara tidak langsung akan mampu menekan biaya transportasi yang harus dikeluarkan masyarakat dalam melakukan perjalanan. Sehingga terdapat efisiensi dan efektifitas dalam pergerakan yang akan dilakukan. Sementara itu, belum baiknya kinerja transportasi yang ada di Kota Soreang ditandai dengan masih buruknya tingkat ketersediaan sarana dan infrastruktur transportasi yaitu moda angkutan, jaringan jalan dan terminal. Hal ini cukup memprihatinkan mengingat ketiga elemen tersebut merupakan elemen dasar yang sangat dibutuhkan dalam mendukung kelancaran pergerakan yang akan dilakukan. Moda transportasi yang tersedia saat ini baru mampu mencukupi
untuk kebutuhan pergerakan eksternal, namun akses untuk memperolehnya masih sangat kurang disebabkan oleh jalur angkot menuju luar Kota Soreang tidak dapat diakses langsung oleh masyarakat. Sehingga terlebih dahulu dibutuhkan angkutan penghubung dari tempat tinggal untuk menjangkau terminal /jalur yang dilewati angkot tersebut. Dengan kata lain terdapat ketidak efektifan masyarakat dalam melakukan pergerakan eksternal yang juga akan menambah cost dalam melakukan perjalanan. Sedangkan untuk pergerakan internal, belum terdapat trayek angkutan umum untuk melayani rute ini. Sehingga masyarakat masih mengandalkan angkutan yang tersedia berupa ojeg, delman dan becak yang memiliki kapasitas yang sangat kecil. Kondisi seperti ini akan tambah buruk seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan semakin kompleksnya aktivitas yang akan dilakukan masyarakat di Kota Soreang. Kondisi dan kapasitas jaringan jalan dan terminal yang masih belum memadai juga memperburuk kinerja transportasi di Kota Soreang. Hal ini terlihat dari masih banyaknya jumlah jaringan jalan yang rusak dan belum mampu menampung kendaraan-kendaraan besar yang lewat. Kondisi seperti ini jelas sangat menghambat arus barang dan jasa di Kota Soreang yang secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap perkembangan sektor perekonomian. Di samping itu, terminal yang tersedia saat ini masih belum mampu berfungsi optimal. Sebenarnya terdapat dua terminal tipe B di Kota Soreang yaitu yang berada di Pasar Soreang dan di Jalan Cipeer. Namun hanya satu yang berfungsi dan belum mampu menampung aktivitas bongkar muat penumpang dan barang karena keterbatasan kapasitas yang dimiliki. Pada tabel berikut dapat dilihat indikasi kinerja transportasi di Kota Soreang berdasarkan indikator ekonomi dalam transportasi perkotaan yang berkelanjutan.
Tabel IV. 33 Indikasi Kinerja Transportasi di Kota Soreang Berdasarkan Indikator Ekonomi Dalam Transportasi Perkotaan Yang Berkelanjutan
Kategori/Dimensi
Indikasi Tolok Ukur Tolok Ukur Tercapai Tidak Tercapai
Indikator
√ √ √
Besarnya PDRB per kapita Tingkat pengangguran Tingkat kemiskinan
Kondisi Ekonomi Masyarakat
Ketersediaan moda transportasi Supply dan Demand
angkutan penumpang
internal eksternal
angkutan barang
√ √ √
Kapasitas jaringan jalan Kondisi jaringan jalan Kapasitas terminal Akses ke basic service (tempat kerja, sekolah, pasar, pusat kesehatan ) Akses untuk mendapatkan pelayanan transportasi
Aksesibilitas
Aktivitas Transportasi (Transport Activities)
Biaya Transportasi (Transport Cost)
√ √ √
internal eksternal
Mixed use guna lahan Rata-rata frekuensi perjalanan Rata-rata waktu perjalanan Jarak perjalanan Alokasi income untuk transportasi Travel Cost (ongkos/biaya perjalanan) Facility & Crash Cost (biaya parkir, harga bahan bakar, pajak biaya pemeliharaan/perbaikan kendaraan)
Sumber : Hasil Analisis, 2008
√ √ √ √
√ √ √