BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN NIKAH DI BULAN MUHARRAM MENURUT ADAT JAWA
A. Analisis Terhadap Sistem Penanggalan (Neptu) Dalam Adat Jawa Dalam sejarah penyebaran agama di Jawa, Islam mengalami perkembangan yang cukup unik, dari segi agama, suku Jawa sebelum menerima pengaruh agama dan kebudayaan Hindu masih dalam taraf animistis dan dinamistis, mereka memuja roh nenek moyang dan percaya adanya kekuatan ghaib atau daya magis yang terdapat pada benda, tumbuhtumbuhan, binatang dan yang dianggap memiliki daya sakti. Kepercayaan dan pemujaan seperti tersebut diatas dengan sendirinya belum mewujudkan diri sebagai suatu agama secara nyata dan sadar. Dalam taraf keagamaan seperti itu suku Jawa menerima pengaruh agama dan kebudayaan Hindu. Hinduisme pada prinsipnya bersendikan adat kebudayaan Hindu. Di Jawa Hinduisme ini kelihatan menyebar dari istana kerajaan melalui pemahaman dan pengolahan golongan bangsawan serta para cendikiawan. Dari pemahaman pengolahan para cendikiawan inilah para orang-orang awam menerima pengaruh Hinduisme. Para cendekiawan yang mengerti bahasa sangsekerta akhirnya dapat megolah huruf-huruf yang berasal dari Hindu, untuk menulis bahasa Jawa. Penggunaan tulisan huruf Jawa merupakan permulaan sejarah bagi suku Jawa, penggunaan huruf Jawa dan
perhitungan
tahun
saka,
merupakan
modal
bagi
pertumbuhan
dan
perkembangan kepustakaan Jawa. Suatu hal yang sangat menarik ditinjau dari segi sudut agama adalah pandangan yang bersifat singkretis yang mempengaruhi watak dari kebudayaan dan kepusutakaan Jawa. Singkretisme ditinjau dari segi agama adalah suatu sikap atau pandangan yang tidak mempesoalkan benar salahnya suatu agama, yakni suatu sikap yang tidak mempersoalkan murni atau tidak murninya suatu agama. Orang yang berfaham singkretis, semua agama dipandang baik dan benar, penganut paham singkretisme suka memadukan unsur-unsur dari berbagai agama yang pada dasarnya berbeda atau bahkan berlawanan. Sesudah kerajaan Majapahit runtuh dan berganti dengan zaman Islam, menjadikan dasar pandangan singkretis dari kebudayaan Jawa secara langsung menunjang pertumbuhan kepustakaan Islam kejawen, maka dalam sejarah penyebaran Islam di Jawa berkembanglah dua jenis kepustakaan yakni kepustakaan Islam santri dan kepustakaan Islam kejawen. Santri adalah sebutan bagi semua orang Islam di Jawa yang menjalankan syari’at (lima rukun Islam), dengan kesadaran dan taat, baik mereka yang pernah belajar dipondok pesantren maupun yang tidak pernah belajar dipondok pesantren, bagi para santri syari’at merupakan dasar yang fundamental, oleh karena itu kepustakaan yang berkembang dalam pesantren dan
surau-surau,
berdasarkan
dan
berkaitan
dengan syari’at-syari’at
merupakan induk pelajaran agama. Dan syari’at merupakan ukuran untuk
membedakan antara ajaran yang lurus dan yang benar dengan ajaran-ajaran yang menyimpang dari tuntunan Islam. Dengan demikian kepustakaan Islam pesantren sangat terikat dengan syari’at-syari’at dalam pengertian yang luas disebut syar’i yang berati agama. Kepustakaan Islam kejawen adalah salah satu kepustakaan Jawa yang memuat panduan antara tradisi Jawa dengan unsur-unsur ajaran Islam terutama aspek-aspek ajaran tasawuf dan budi luhur yang terdapat dalam perbendaharaan kitab-kitab tasawuf. Ciri kepustakaan kejawen ialah mempergunakan bahasa Jawa, dan sangat sedikit mengungkapkan aspek syari’at, bahkan sebagian ada yang kurang menghargai syari’at yakni, syariat dalam arti hukum atau aturan-aturan lahir dari pada agama Islam. Bentuk kepustakaan ini termaktub dalam lingkungan kepustakaan Islam,
karena
ditulis oleh orang-orang yang telah menerima Islam sebagai agama mereka. Nama yang sering dipergunakan untuk menyebut kepustakaan Islam kejawen, ialah primbon, wirid dan suluk-suluk dan wirid berkaitan isinya dengan ajaran tasawuf,
yang sering disebut ajaran mistik
dalam Islam.
Karena memang kedua ajaran tersebut bersumber dari ajaran tasawuf. Adapun primbon isinya merangkum berbagai macam ajaran yang berkembang dalam tradisi Jawa seperti, ngilmu petung, ramalan, guna-guna
dan lainnya
disamping itu primbon umumnya juga memuat aspek-aspek ajaran Islam.1 1. Kedudukan Neptu Dalam Adat Jawa
1
Simuh, Mistik Islam Kejawen-Raden Ngabehi Ronggowarsito, Suatu Studi Terhadap Serat Wirid Hidayat Djati, Cet-I, Jakarta, Universitas Indonesia, 1988, hlm. 2-3.
Pada dasarnya orang-orang Jawa di Bambangkerep mengakui tiga fase kehidupan yang harus dilalui seorang manusia
yaitu, fase kelahiran,
fase perkawinan, dan fase kematian. Seseorang dituntut untuk dapat melaluinya dengan baik. Perkawinan bagi masyarakat Bambangkerep dianggap sebagai suatu yang sangat penting dan berperan besar dalam kehidupan selanjutnya. Hal ini menjadi sebab mengapa gadis-gadis desa pada masa dahulu menikah pada usia muda. Bagi keluarga yang akan menikahkan anaknya, mereka tidak segan-segan untuk mengeluarkan biaya perkawinan yang sangat banyak walaupun kekayaan yang mereka miliki tidak mencukupi untuk menyelenggarakanya,
namun mereka tetap berusaha
untuk
melaksanakannya secara prestise. Perkawinan yang merupakan upacara adat orang Jawa mempunyai tempat yang sangat urgen dalam tata kehidupan masyarakat Jawa. Hal ini disebabkan sifat orang Jawa yang begitu kuat memegang tradisi dan kepercayan mereka terhadap kekuatan supranatural membuat mereka takut untuk meninggalkan suatu tradisi yang sudah ada. Pelaksanaan dalam perkawinan adat Jawa merupakan suatu hal yang mempunyai kedudukan penting dalam suatu perkawinan dan mempunyai dampak yang sangat berarti dalam kehidupan sehari-hari.2 Pedoman
yang
digunakan
masyarakat
Jawa
dalam
dalam
menentukan jodoh ialah “Pasatahan Salakurabi” perhitungan ini dilakukan sebelum acara “Penigsetan” maka, terlebih dahulu dirundingkan tanggal, hari
2
Wawancara dengan Mashuri, Pucung, Bambangkerep, tanggal 7 Nopember 2003
serta bulan untuk melaksanakan perkawinan. Dalam perundingan itu diperhitungkan “weton“ ialah perhitungan hari kelahiran kedua calon pengantin berdasarkan kombinasi. Nama sistem perhitungan tanggal pasaran (mingguan orang Jawa), merupakan unsur amat penting.3 Sebagai contoh misalnya : Pitung Salakurabi Wetone penganten lanag wadon kagunggung banjur kebage 10 utowo 7, turahe ora keno luweh soko 7, menowo kabehe 10 turah soko 7, iku banjur kabehe pitu, banjur kabehe 7 ongko turahe nuduhake ketemuning pitungan. Upomo penganten lanang wetone rebo paing, kang wadon kemis pon, neptune ono = 7 + 9 + 8 + 7 = 31 kebage 10 turah 1 (siji), pitungan tibo = waseso segoro Dene umpomo gunggunge neptu mau ketemu
28, iku menowo
kabage 10 ketemu turah 8 sadi luweh soko 7 iku ora keno mulo ora kabege 10 nanging kudu kabage 7 ing kono ketemu turah 7 petunge ketemu “Lebu katiup angin” pratelane ono ing ngisor iki : Yen turah 1
:Wasesone
segoro,
kamot,
jembar
budhine,
sugih
pangapuro gede prabowone. Yen turah 2
: Tunggak semi, cepak rejekine
Yen turah 3
: Satrio wibowo oleh kamulyan lan kaluhuran
Yen turah 4
: Sumur sinobo dadi pangunsening kapinteran
3
Koentjoroningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia , Jakarta, Djambatan, 1988, hlm. 338
Yen turah 5
: Satrio wirang pandang duka cita
kewirangan isyarat
panulake, ngetokake getih umpomo mbelih ayam Yen turah 6
: Bumi kapetak, petingan aten nanging tebeti ing gawe kuat nandang lara lapa, resikan isyarat panulake mendem lemah
Yen turah 7
: Lebu katiup angin mandang bopo citrako kabeh karepe ora dadi karep ngelih omah isyarat penolake ngebulngebul lemah.4
Perhitungan seperti tersebut diatas adalah merupakan salah satu contoh penggunaan “neptu” untuk menentukan jodoh, maka dari perhitungan itu dapat kita perhatikan, apabila perhitungan jatuh pada waseso segoro, satrio segoro atau tunggak semi” maka perkawinan akan lebih disukai untuk dilaksanakan. Sedangkan apabila perhitungan didalam menjodohkan putraputrinya jatuh pada “sartrio wirang atau bumi kapetak “ hal itu kurang disukai, akan tetapi apa bila dalam memilih jodoh setelah di perhitungkan ternyata neptunya jatuh pada “lebu katiup angin” maka sebisa-bisanya sebaiknya dihindari dan tidak perlu dilangsungkan suatu pekawinan. Untuk mencari waktu yang dianggap baik guna akat nikah dicarikan hari sebagai berikut : jumlah neptu hari dan pasaran dari pengantin laki-laki dengan neptu hari dan pasaran pengantin perempuan,……ditambah dengan …….mencari neptu hari dan pasaran ……apabila dibagi 9 dapat habis (tidak biasa), jika terdapat sisa : 4
Tjakradiningrat KPH, Primbon Lukman Hakim Adam Makna (dihimpun olehnya Siti Woeryan Soemodiyan Noeradya), Soemodidjojo, Maha Dewa , Yogyakarta, 1994, hlm. 36
1……4……7…..: tidak baik 2……5…….8…..: sedang 0……3……10….: baik sekali Contoh : Pemuda X Kelahiran Senin Legi
Senin Neptunya ....... 4 Legi Neptunya ......... 5 Jumlah ...................... 9
Gadis Y Kelahiran Saptu Pon
Sabtu Neptunya ......... 9 Pon Neptunya........... 7 Jumlah ..................... 16
Jumlah neptu kedua pengantin = 9 + 16 = 25 Umpama dicarikan hari nikahnya jumuah legi Jumuah neptunya 6 Legi neptunya 5 Jumlah neptu hari dan pasaran kedua pengantin = 25 Jumlah neptu hari dan pasaran untuk menikah = 11 Jumlah semua =36 36 : 9 = 4 sisa 0 berarti penganten baik sekali Contoh satu lagi : Pemuda R lahir selasa pahing seloso neptunya ……3 Pahing neptunya ………9 Jumlah …………..12 Gadis M lahir kemis wage
kemis wage neptunya3
Wage neptunya 4 Jumlah……………12 Jumlah kedua neptu pengantin = 12 + 12 = 24 Umpmanya dicarikan hari nikah jumuah paing Jumuah neptunya ……..6 Paing neptunya 9 Jumlah ……….15 Jumlah kedua neptu penganten = 24 Jumlah neptu hari nikah = 15 Jumlah semua 39 39 = 9 = 4 sisa 3 berati penganten baik sekali5 Neptu hari Senin................... 4 Selasa ................. 3 Rabo ................... 7 Kamis ................. 8 Jum’at................. 6 Sabtu................... 9 Minggu ............... 5 Neptu pasaran Pon .................... 7 Wage .................. 4 5
Muhammad Ali Akbar, Perbandingan Hidup Secara Islami Dengan Tradisi Dipulau Jawa, Cet-Pertama, PT Al-Ma’arif, Bandung, 1980, hlm. 131
Kliwon................ 8 Legi .................... 5 Paing................. 9
6
Bulan-bulan yang baik (tidak baik untuk perkawinan) 1.
Sura ....................
: Akan terjadi perselisihan hebat
2.
Sapar ..................
: Banyak hutang
3.
Mulud.................
: Kalah salah satu
4.
Bakda mulud ......
: Sering mendapat celaan
5.
Jumadil awal ......
: Sering kehilangan
6.
Jumadil akhir......
: Bahagia
7.
Rejep ..................
: Banyak anak
8.
Ruwah ................
: Bahagia
9.
Poso....................
: Banyak godaan
10. Syawal................
: Banyak hutang
11. Apit ....................
: Bercerai
12. Besar ..................
: Bahagia7
Hari-hari yang tidak untuk perkawinan : 1. Sura........................
: Rabu pahing
2. Sapar .....................
: Kamis pon
3. Mulud ....................
: Jum’ah wage
6 7
Ibid Ibid, hlm. 132
4. Bakda mulud..........
: Sabtu kliwon
5. Jumadil awal ..........
: Senin kliwon
6. Jumadil ..................
: Selasa legi
7. Rejeb .....................
: Rebo pahing
8. Ruwah ...................
: Kamis pahing
9. Pasa .......................
: Jum’ah wage
10.sawal ....................
: Sabtu kliwon
11. Apit ....................
: Senin kliwon
12. Besar ...................
: Selasa lagi.8
Begitu juga yang harus di perhatikan terhadap penganten baru adalah larangan-larangan (pantangan) dalam adat Jawa yaitu : 1. Pengantin baru sebelum sebesar (seminggu) tidak boleh adat jauh, melawat jenazah, ziarah kubur. 2. Pengantin baru sebelum selapan (sebulan) dilarang memasuki hutan, menyeberang bengawan, berlayar, maksudnya apapila di langgar akan mendapat halangan.9 Juga dalam jalannya hari dan pasaran menurut adat Jawa itu mempunyai hitungan-hitungan tersendiri di antaranya : hari ahad, utara tempatnya, rupanya kelabu dan Nabi Nuh yang memiliki. Hari senin empat, penghidupannya selatan tempatnya, rupanya kuning dan Nabi Musa yang memilikinya :
8 9
Ibid. Ibid
Hari selasa tiga penghidupannya di selatan Barat tempatnya, rupanya merah dan kuning dan Nabi Isa yang memiliki. Jika hari rabu itu tujuh, penghidupannya di selatan timur tempatnya, rupanya hitam dan putih dan Nabi Ibrahim yang memiliki. Hari Kamis delapan, penghidupannya di timur tempatnya, rupanya merah dan Dewi Fatimah yang memiliki. Hari jum’at enam, penghidupannya di barat tempatnya, rupanya hitam dan Nabi Muhammad yang memiliki. Hari sabtu sembilan, pengidupanya di utara barat tempatnya, rupanya putih dan Nabi Yusuf yang memilikinya.10 Begitu juga jalannya pasaran : Jika legi timur, rupanya putih, katanya selaka, lautnya santen, burungnya kutut, kayunya sekara petak dn harada dewanya. Pahing selatan rupanya merah, kotanya tembaga, lautnya darah, kayunya ingas, burungnya kuning, kotanya kencana, lautnya madu, kayunya kemuning, burungya podang dan dewanya kumajaya. Wage utara, rupanya hitam, kotanya besi, lautannya nila, kayunya telasih, burungnya dandang dan dewanya wisnu. Kliwon tengah betul tempatnya, rupanya putih ada merah kuning majupat, kotanya seloko tembaga kencana besi, burungya bayan ulesnya
10
Ahmad Qusyairi, Mujarabat Lengkap, Jakarta: Bintang Terang, t, th., hlm. 74
bermcam-macam, lautnya majapat, timur santen, selatan darat barat madu dan utara mula.11 Begitu pula hitungan jalannya pertemuan hari dan pasaran : Jika bertemu tujuh jalannya bumi Jika bertemu delapan jalannya api Jika bertemu sembilan jalanya arsy empat Jika bertemu sebelas jalannya bunga Jika bertemu dua belas jalannya syetan Jika bertemu tiga belas jalannya bintang Jika bertemu empat belas jalanya bulan Jika bertemu lima belas jalannya matahari Jika bertemu enam belas jalannya air Jika bertemu tuju belas jalannya bumi Jika bertemu delapan belas jalanya api Dari gambaran di atas, bisa diketahui bahwa sebelum Islam masuk ke tanah Jawa, sebenarnya telah ada beberapa kepercayaan yang dikenal masyarakat dan telah am tertenam di hari pemeluknya. Terutam Hindu Budha. Keprcayaan ini cukup lama mendominasi kehidupan masyarakat Jawa., sehingga tidak mengherankan apabila adat istiadat, kebiasaan serta bidang kebudayaanya, banyak di warnai olehnya. Setelah mendominasi dan bertahan sekian lama, kerajan-kerajan Hindu-Budha mulai goyah, agama Hindu-Budhapun juga goyah. Belum ada
11
Ibid
teori yang pasti apakah goyahnya kerajaan mempengaruhi keberadaan agama ataukah sebaliknya. Yang jelas menurunya hegemoni Hindu-Budha tersebut, ditandai dengan jatuhnya kerajaan Majapahit akibat perebutan tahta sepeninggalan Hayam Wuruk pada tahun 1389. Sebagai lambang supremasi Hindu-Budha tentu saja keberadaan kerajaan menjadi sangat menentukan bagi perkembangan agama dan peradaban Hindu-Budha itu sendiri. Bersamaan dengan itu, para penganut Islam, secara individual mulai aktif memberikan dakwahnya.12 Jawabannya petung sala kirabi semacam ini tidak dijupai dalam syari’at Islam. Maka bagaimana pandangan syari’at Islam terhadap kedudukan “neptu” untuk memilih hari dan bulan. Untuk melaksanakan pernikahan sebagaimana yang berlaku di kalangan masyarakat suku Jawa ini ? adakah larangan yang mengaturnya ataukah ada suatu kaidah fiqhiyah yang dapat memberi jalan keluar, maksudnya adakah dalil syar’i yang membolehan. Sepanjang penulis mengadakan suatu penelitian dalam menyusun skripsi ini. Belum penulis dapati adanya suatu perintah ataupun suatu larangan tentang pemakaian “neptu” untuk menentukan memilih jodoh ataupun melaksanakan perikahan. Maka kita kembalikan permasalahan tersebut kepada kaidah fiqh, mengenai bagaimana kedudukan “urf” (adat kebiasaan) dalam syaria’t Islam. Jalal ad-Din as-Suyuti dalam kitab “as-Bah wa al-Nadha’ir” nya meletakkan
12
Joko Triharyanto, (ed), IAIN Walisongo Mengeja Tradisi Merajut Masa Depan, cet. 1, Semarang, Puslit IAIN Walisongo, 2003, hlm. 5
suatu kiadah fiqhiyah mengenai kedudukan adat dalam syari’at Islam sebagai berikut : 13
Artinya : “Adat kebiasaan itu dikokohkan” Kaidah ini memberi suatu pengertian bahwa, untuk menentukan hukum-hukum ijtihadiah, adat kebiasaan dapat diterima sebagai salah satu sumbernya. Tetapi perlu diketahui pula bahwa “urf” (adat kebiasaan) itu tidak mesti semuanya baik sehingga dapat dijadikan sandaran ijtihadiah, maka ada kalanya “urf” itu sahih dan ada pula “urf” itu sendiri adalah “Urf Fasid”. Urf sahih dikatakan demikian apa bila adat kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang tidak bertentangan dengan dalil syara’, tidak menghalalan yang haram dan tidak membatakan yang wajib.14 ‘Urf dikatakan fasid bila mana kebiasaan yang dilakukan oleh orangorang, berlawanan dengan syar’at Islam, karena membawa penghalalan yang haram atau membatalkan yang wajib, misalnya kebiasaan-kebiasaan dalam akad perjanjian yang bersifat riba, kebiasaan-kebiasaan mencari dana dengan mengadakan macam-macam kupon berhadiah, menarik pajak hasil perjudian dan lain sebagainya.15 Dari keterangan menganai u’rf fasid dan ‘urf sahih tersebut di atas, maka jelaskah kiranya bahwa ‘urf itu sendiri untuk bisa dijadikan sebagai
13
Jalal ad-Din as-Suyuti, al-Asbah wa al-Nadha’ir fi al-Furu’, Dar al- Fikr, Beirut , t. th., hlm. 23. 14 Muhtar Yahya dan Faturrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam, PT. al-Maarif Bandung, 1988, hlm. 110 15 Ibid.
dasar hukum (ijtihadiah dalam fiqh, tentunya memiliki persyaratanpersyaratan tetentu). Dr. Subhi Mahmasani, mensyaratkan adanya kebiasaan yang dapat dijadikan sebagai dasar (hujjah) hukum dalam Islam sebagai berikut : 1. Adat kebiasaan harus diterima oleh watak yang baik yaitu dapat diterima oleh akal yang sehat atau pendapat yang umum. 2. Hal-hal yang dianggap sebagai adat, harus berlangsung berulangh-ulang dengan tersebar luas. 3. Yang dianggap perilaku dalam perbuatan mu’amalah ialah adat kebiasaan yang lama atau campuran bukan yang terakhir ……. dan lain-lain.16 Tersebut adalah suatu keharusan.Allah mencela hambanya yang taklid buta (mengekor) terhadap ajaran nenek moyang tenap pernah berpikir ebanr atau salah. Sebagaimana firman Allah : B. Penggunaan Neptu Dalam Pandangan Hukum Islam Menurut perhitungan kalender Islam, dalam satu tahun itu dibagi 12 bulan tiap-tiap bulan terdiri dari 29 dan 30 hari dengan berganti-ganti. Tahun itu ada dua yaitu, satu tahun Qomariyah, dan dua tahun Syamsiyah, tahun Qamariyah atau tahun bulan, adalah dasar tahun bangsa Arab dan Islam dihitung dari terbitnya awal bulan pada peredaranya mengelilingi bumi sampai terbenam, yang lamanya memakan waktu 29 hari, 12 jam 44 menit menurut hakikinya, kemudian timbulah bulan baru. Kalau didasarkan dengan tahun matahari yaitu bumi mengelilingi matahari selama 365 hari, 5 jam dan 46 16
Subhi Mahmasani, (ter. Sarjono), Filsafat Hukum Islam, PT. al-Ma’arif, Bandung, 1981, hlm. 195
menit, maka tahun Qomariyah terdiri 13 (tiga belas), bulan. Untuk keterangan jumlah bilangan dari dalam setahun adalah sebagai berikut, 6 bulan yang mempunyai 29 hari dan 6 bulan lagi yang mempunyai 30 hari yaitu : 6 x 29 hari = 174 hari 6 x 30 hari = 180 hari Jumlah = 354 hari (tahun basitah), dan 355 hari pada tahun kabisatnya. Tahun masehi dihitung dengan peredaran bumi mengelilingi matahari terdiri dari 12 jam (dua belas), bulan yang dimulai dari januari, pebruari, maret,
april, mei, juni, agustus,
september, oktober, november, dan
desember. Perselisihan jumlah
hari antara tahun Islam dengan tahun masehi,
tepatnya antara tahun Qamariyah dengan tahun Syamsiyah adalah 11 hari yaitu: 365 –354 17 sebenarnya tahun itu ada 2 (dua) yang sangat perlu diketahui dan yang sangat banyak dipergunakan oleh umat manusia didunia ini yaitu : Tahun masehi (Syamsiyah) Tahun hijriyah (Qamariah) Dan tahun Jawa itu termasuk kedalam lingkungan pehitungan “tahun hijrah atau tahun Arab atau tahun Islam. Tahun masehi itu, menurut lamanya bumi beredar mengelilingi matahari yaitu, 365 hari 5 jam dan 48 menit, 46 detik atau 365 hari ditambah hampir 6 jam. Untuk menggenapkan perhitungan harinya maka, kelebihan yang 6 jam tersebut ditetapkan oleh para ahli falaq
17
hlm. 12
Amir Taat Nasution, Muharram dan Hijriyah, Cet-1, Surabaya: PT Bina Ilmu, 1982,
setiap 4 tahun sekali yaitu 4 x 6 jam = 24 jam atau 1 hari itulah yang disebut tahun kabisat atau panjang. Maka pada tahun kabisat itu jumlah hitungan hari ada sebanyak 366 hari kelebihan yang satu hari itu dimaksukan pada bulan kedua tiap tahun yaitu bulan pebruari, maka jumlah hari dalam bulan pebruari pertama ini ada 28 hari, maka pada bulan pebruari tahun kabisat itu jadi 29 hari.
Demikianlah
serba ringkas tentang tahun masehi atau tahun Syamsiyah itu, atau tahun matahari.18 Berlainan dasar perhitungan tahun hijriyah ini didasarkan dari peredaran bulan mengelilingi bumi selama 29 hari, 12 jam, 44 menit,
dan 3 detik.
Menurut perhitungan hakikinya oleh ahli ilmu falaq tahun hijriyah ini disebut juga tahun Qamariyah atau tahun bulan, karena bulan mengelilingi bumi. Lama waktu peredaran bulan ini lebih 12 jam, 44 menit dan 3 detik sedikit saja dari setengah
hari, maka lama waktu bulan hijrah itu dalam
setahun 6 bulan memakai 29 hari dan 6 bulan memakai 30 hari. Dari tahun masehi (Syamsiyah-matahari), menghasilkan 4 musim dalam setahun yaitu : 1.
Musim dingin
2.
Musim berbunga
3.
Musim berbuah
4.
Musim panas Dari tahun hijriyah (tahun Qamariyah-tahun Islam), menghasilkan 1
bulan (setiap mengelilingi bumi), dua minggu dengan perkembagan adanya
18
Ibid.,
besar bulan, yaitu minggu pertama disebut nilai, minggu kedua disebut badar (bulan purnama) minggu ketiga disebut nubut akhir dan minggu terakhir disebut muhaq, bulan genap dalam tempo 29 jam menjelang terbitnya awal bulan baru. Dari adanya minggu tersebut diketahuilah adanya hari yang didasarkan jangka waktu peredaran bumi disekeliling sumbunya selama 24 jam. Adanya jangka waktu peredaran bumi disekeliling sumbunya tersebut dibagi kepada 24 bagian tersebut dibagi kepada 24 bagian waktu dan itulah yang ditetapkan menjadi satu jam atau enampuluh menit. Kesimpulannya dari adanya tahun Qamariyah oleh bangsa Arab lahirlah bulan, minggu, hari dan jam.19 Adat dan kebiasaan boleh kita katakan mempunyai arti yang sama menurut definisi dari Ibnu Majah didalam “Syarih al Mughni”, adalah suatu pengertian dari yang ada didalam jiwa orang-orang berupa perkara-perkara yang berulangkali terjadi yang bisa diteima oleh tabiat yang waras. Ada dua macam adat kebiasaan pertama yang bersifat umum, yaitu kebiasaan yang dianut oleh seluruh rakyat dari suatu bangsa mengenai perbuatan-perbuatan yang termasuk muamalat, kedua yang bersifat khusus. Yaitu yang dianut oleh segolongan rakyat atau sebagian daerah saja dari suatu negara, akan tetapi kedua-duanya ini tetap dianggap sebagai ketentuan hukum yang mengikat.
19
Ibid, hlm. 13
Sesuai dengan pengertian ini maka, di katakan bahwa adat kebiasaan adalah menentukan ini termasuk salah satu dari empat kaidah yang menurut AlHusna berasal dari ilmu fiqih yang kemudian diambil alih oleh Al-Majjallah dengan rumusan “Al-Adatumuhakamah”yang berarti bahwa adat itu baik yang bersifat umum ataupun yang besifat khusus bisa dijadikan dasar hukum untuk menetapkan suatu hukum syari’at. Yang dijadikan dalil untuk berlakunya hukum adat ini didalam perkaraperkara syari’at adalah ijma’. Ahli-ahli fiqih yang diambil dari yuriprudensi peradilan Islam tentang ini ada sebuah kaul :
Artinya :”Apa yang menurut umat Islam baik, maka baik pula disisi Allah”20 Suatu tradisi betapapun mashurnya tetap dikenakan suatu hukum, bukan dia menjadi sumber hukum, sedang tradisi-tradisi betapapun kuatntya tetap ada kalahnya salah, dan ada kalanya bercampur antara yang hak dan yang batil untuk itu semua sebagai neraca ialah kitabullah dan sunnah rasulullah.SAW. Kiranya pelu kita ketahui, bahwa seseorang yang berjalan dalam arena kehidupan ini
tetapi ia telah kehilangan iradah, dan pikiranya telah mati,
manusia semacam itu tidak berarti lagi ini tidak lain justru karena kakinya diinjakkan di jalan yang telah diinjak juga oleh orang-orang dulu. Manusia semacam ini adalah manusia yang jalan pikiranya dan iradahnya Sudah jauh menyimpang dari Islam.21 20
hlm. 260
21
Subhi Mahmasani, Filsafat Hukum dalam Islam, Cet-1, Bandung, Al-Ma’arif, 1976,
Asy Syaikh Muhammad Al Ghozali, Laisa Mihal Islam, terj. H.Mua’mal Hamidy, Bukan Dari Ajaran Islam, Cet III, Surabaya , PT Bina Ilmu, 1982, hlm. 200
Apakah kesehatan generasi-generasi dulu justru karena tumbuh dengan tradisi-tradisi dan kebiasaan-kebiasaan yang tidak baik itu, untuk menjawab ini kiranya cukup apa yang di kisahkan Allah dalam Al-Qur’an Surat As-Shafa’at.
) + ,- % ./ &'&% (* ) "# $ % &'&% ! ( * ) %/ % 71 ( 3,$ % * ) 0 % 12" 3 45 %& 6 '* * ) 7@A $ B 5 ?8 * ) & 89 % /: ;5 %$ < =& >0 ?8 * ) E$ F% G& $ < & '* ) 7@% %< = ;C ;/% D6 Artinnya: “Sesungguhnya nenek moyang mereka itu dalam keadaan sesat, kemudian mereka dengan segera (meniru) jejak-jejak mereka itu. Padahal sesungguhnya kebanyakan orang-orang dulu sebelum mereka telah sesat, dan kepada mereka telah kami utus beberapa Nabi yang bertugas untuk menyadarkan (mundzirin), oleh karena itu lihatlah betapa akibatntya orang-orang yang diancam itu kecuali hamba-hamba Allah yang di bersihkan.”(Q.S.As-Syafa’at : 69-74)22 Islam tidak mengenal neptu-neptu sebagai mana pon, wage, kliwon, legi, paing. Islam hanya mengenal ahad, selasa, rabu, kamis, jum’at dan sabtu. Islam juga tidak mengenal pitung-pitung
naga tahun, pasatohan naga
jatigarang dan yang lainnya. Sebab ini bukan dari ajaran-ajaran syari’at Islam. Dalam Islam dilarang menikahkan dengan menghitung-hitung (berpedoman) : - Hari kelahiran si jejaka neptunya……. - Hari kekahiran si gadis neptunya……. - Perbintangan si jejaka……. - Perbintangan si gadis…. - Hari ijabnya harus hari …….bulan……..tahun - Harus memberi sajen-sajen dijalan perempatan…dan yang lainnya 22
Al-Qur’an dan Terjemahnya, op., cit, hlm. 793
Semuannya itu termasuk didalam lingkaran syirik sebab, Islam hanya percaya kepada tuhan 100%
tidak menggantungkan kepercayaan kepada
neptu-neptu kelahiran, horoskop-horoskop dan yang lain.23 Agama ini sangat menekankan agar tidak setiap kabar yang didengar atau dilihat diterima begitu saja tanpa ada sikap bertanya, apa, kenapa dan bagaimana, menurut kacamata Islam,
apalagi bila itu berkaitan dengan
keyakinan nenek moyang maka, tabayun.
6 2" 3G$
45 % H< I & 6>" %=% GJ $ KL6 5 %< M %% >= N' & 8 8%I7O8! PQ % $ ?7O % 1% R" 3 ; 85
Artinya : “Dan apabila dikatakan kepada mereka”ikutlah apa yang teleh diturunkan Allah mereka menjawab ( tidak) tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kmi dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami. (apakah mereka akanmengikuti juga) walaupun nenek moyang itu tidak mengetahui suatu apapun dan tidak mendapat petunjuk. (al-Baqarah : 170).24 Pengaruh suatu bulan sebagai bulan sial tidak hanya terjadi Jawa saja, di berbagai daerah di tanah air juga mengalami hal sarupa bahkan keyakina begini sudah menjangkt luas ke berbagai belahan dunia dan sudah ada sejak zaman jahiiyah dahulu, sehingga yang terjadi sekarang adalah warisan lama. Dahulu, orang-orang jahiliyah menganggap bulan shafar adalah bulan kesialan dan tak menguntungkan, maka oleh Nabi Muhammad Saw. hal ini kemudian di batalkan.25 Hadits dari Abu Hurairah r.a ia menuturkan bahwa Rasulullah bersabda :
23
Muhammad Ali Akbar, Perbandingan Hidup Secara Islam Dengan Tradisi Di Pulau Jawa, op., cit, hlm. 112 24 Departemen Agama RI, al-Qur' an dan Terjemahnya, op. cit., hlm. 71 25 Majalah Keluarga Islami Nikah, Vol. 2 No. 11, Pebruari 2004, hlm. 6
26
1O8/4S O8 /TO8U8 O
Artinya : Tidak ada ‘adwa, thiyarah, shafar dan hamah” Menurut pendapat penulis di depan telah diuraikan tentang adat kebiasaan dapat dijadikan sebagai hujjah hukum apabila : 1. Adat kebiasaan itu dapat diterima oleh watak yang baik artinya dapat di terima oleh akal yang sehat atau pendpat yang umum. 2. Hal-hal yang dianggap sebagai adat, harus berlangsung secara berulangulang dengan tersebar luas. 3. Yang dianggap perilaku dalam perbuatan muamalah ialah adat kebiasaan yang lama atau campuran bukan yang terakhir…. dan lain-lain. 4. Ahmad Azhar Basyir dalam bukunya “Hukum Adat Bagi Umat Islam” menambahkan bahwa adat kebiasaan harus tidak bertentangan dengan nash al-Qur' an dan sunnah Rasul, begitu juga Nurruzzaman Shiddiqy dalam bukunya “ Fiqih Indonesia Penggagas dan Gagasannya” Bila kita lihat kembali perhitungan “weton” (perhatikan bab II mengenai petung persotahan salakirabi) maka lebih banyak bersifat meramal, yang seolah-olah manusia telah mengetahui terlebih dahulu akan takdirnya. Maka apabila “perhitunan weton” dalam melaksanakan pernikahan (jodoh ini kita hadapkan pada persyaratan ‘urf yang pertama seperti tersebut di atas, yaitu adat kebiasaan harus dapat diterima oleh akal yang sehat, maka apabila dipikir, sebagai akal yang waras rasanya sulit untuk menerima adat kebiasaan
26
Al-Imam Al-Khafid Abi Dawud Sulaiman Ibn Al-Asy’asyari Al-Asabkhasatani, Sunan Abu Dawud Juz III, Beirut-Libanon : Darul Kutub al-Ilmiyah, tt, hlm. 16
“petung weton” dalam memilih jodoh. Sedangkan apabila “perhitungan weton” atau “ neptu hari dan neptu pasaran” ini kita hadapkan pada kitab alQur' an dan sunnah Nabi Muhammad, maka rasanya perhitungan weton dalam perkawinan ini bertentangan denagan kedua sumber hukum Islam (al-Qur' an dan Hadits Nabi Muhmmad Saw) dat kebiasaan yang bertentangan dengan akal sehat, adalah termasuk ‘urf yang fasid. Sedang ‘urf yang fasid tidak dapat dipakai sebagai hujjah. Fiman Allah :
%/F %% %7 5! / 5% G%% B 8% G& $ ,V=N' W% 8 W% ; 8 * [YL Z) !< A !$ 0& >0 ? % G% B 8G& $ X 7 8 1/ 5 Artinya : “Dan tidaklah patut bai laki-lai yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suau ketetapan, akan ada pilihan bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan brang sifat mendurhakai Allaah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya dia telah sehat, sesat yang nyata,” (Q.S. al-Ahzab : 36).27 Atas dasar firman Allah tersebut, maka penulis berkesimpulan bahwa “ Neptu hari dan neptu pasaran, serta bulan” dipakai sebagai pedoman dalam memilih jodoh maupun dalam adat jiwa dapat digolongan ke dalam ‘urf yang kapid. Dengan demikian maka perhitungan weton” tidak perlu dijadikan hijjah dalam memilih jodoh mapu melaksanakan nikah. B. ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN NIKAH DIBULAN MUHARRAM DI DESA BAMBANGKEREP MENURUT ADAT JAWA
27
Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, op, cit, hlm. 748
Semenjak dahulu di berbagai negeri dan bangsa terdapat anggapan atau kepercayaan bahwa hari bulan atau soal tertentu tidak baik untuk melangsungkan pernikahan. Kalau hari atau saat yang dikatakan tidak baik tidak cocok itu hubungannya dengan keradaan ruhani atau jasmani kedua mempelai yang bersangkutan umpamanya mereka sedang sakit atau mempelai perempuan sedang dapat haid, maka hal itu memang masuk akal dan bisa dipikirkan sebab musyababnya. Akan tetapi anggapan itu hampir semuannya berdasarkan tahayul belaka dan tidak ada dasarnya sama sekali. Disini biasanya orang beranggapan bahwa hari selasa adalah hari yang naas buat pernikahan anehnya tidak ada seorangpun yang tahu dan bisa meneranmgkan mengapa hari itu dikatakan hari naas (sial), bagi perkawinan. dibaratpun orang tidak dapat menerangkan mengapa angka tiga belas (13) dianggap angka sial atau angka celaka. Kalau hari yang dianggap sial itu disebabkan oleh keadaan letak perbintangan dilangit, tidaklah dapat diterima oleh akal sehat bahwa bintang-bintang jaraknya bermilyar kilo meter di angkasa akan bisa mempengaruhi kehidupan dan nasip sekian banyak pasangan suami isteri saja diatas permukaan bumi ini. Bagaimana mestinya keyakinan dan pendirian kita dalam hal ini sudah tentu hal itun tidak termasuk hari-hari yang memang telah ditentukan hukum agama sebagai hari-hari yang dilarang bagi umat Muslim (muslimat), melakukan pernikahan. Semua hari adalah baik untuk melakukan pernikahan. Tuhan tidak menjadikan hari yang sial diantara hari-hari yang tujuh. Kecelakaan atau halangan dalam perkawinan jika terjadi bukanlah karena
kesalahan hari, melainkan karena kekhilafan atau tidak ada persetujuan ruhani orang yang melakukan perkawinan itu sendiri.28 Bagi sebagian orang terutama di Jawa di desa Bambangkerep hari atau bulan menjadi pertimbanghan khusus dalam melakukan sesuatu. Ada hari-hari tertentu yang dianggab baik dan ada yang keramat dihri keramat seseorang dilarang keluar rumah, membangun rumah, pindah rumah, hajatan dan lain sebagainya. Demikian pula, ada bulan-bulan tertentu yang dianggap berkah dan ada yang bermasalah bagi mereka. Kalau berani melanggar apa yang dipantangkan tersebut pelakunya “dipastikan“ akan celaka, aatu bulan yang dipantangkan yaitu muharram (suro-Jawa), bulan ini dianggab gawat yang tidak boleh seseorang main-main atau bersenang-senang didalamnya seperti melaksanakan hajatan, pernikahan atau sunatan. Bulan suro (Jawa), atau muharram (hijriyah), memang cenderung dikeramatkan oleh sebagian masyarakat, khususnya yang menganut budaya jawa (kejawen), konon pada bulan itu nyi roro kidul yang diyakini sebagai penguasa laut selatan mantu (menikahkan anaknya), dan ada angin kencang yang mengiringi hajatan itu. Ada juga yang beranggapan bahwa bulan suro adalah bulan baik bagi keraton dan hanya keluarga keratonlah yang beerhak mengadakan hajatan dibulan itu, misalnya selametan , larung sajen, (melarung sesaji kelaut), jamasan wesi (memandikan pusaka-pusaka keraton), dan sebagainya yang terkait dengan budaya kejawen. Orang “biasa’ bukan orang 28
Sultan Marojo Nasiruddin Latif, Problermantika Seputar Keluarga dan Rumah Tangga, Cet-1, Bandung, Pustaka Hidayah, 2001, hlm. 27
keluarga keraton kalau mau mengadakan hajatan pada bulan itu takut kuatat. Yang jelas menurut yang percaya bila tak ingin celaka seseorang tidak boleh mengadakan hajatan di bulan keramat itu.29 Adapun nama-nama antara Arab dengan Jawa sebagai berikutt : Arab
Jawa
1. Muharram
1. Suro
2. Shafar
2. Sapar
3. Rabiul Awal
3. Grebeg Mulut
4. Rabiul Akhir
4. Silih Mulud
5. Jumadil Awal
5. Jumadi Awal
6. Jumadil Akhir
6. Jumadil Akhir
7. Rajab
7. Rejep
8. Sya’ban
8. Ruwah
9. Ramadhan
9. Poso/Syiam
10. Syawal
10. Syawal/Lebaran
11. Zulqai’dah
11. Silal atau Apit (Dulkaidah)
12. Zulhijah
30
12. Besar/Dul Kijah 31
Bawasanya hal seperti itu adalah mitos, istilah yunani mitos artinya adalah ucapan tetapi bukan asal ucapan, bukan sembarang ucapan, tetapi
29
Wawancara Dengan Bapak Teunku Tumirin, Staff Sesepuh Adat Desa. Bambangkerep Kec. Ngaliyan Kota. Semarang Tanggal 6 Januari 2004 30 H. Ibrahim Lubis, Agama Islam Suatu Pengantar, Cet-1, Jakarta, Galia Indonesia, 1982, hlm. 249 31 Amir Taat Nasution, Muharram dan Hijriyah, op., cit, hlm 17
ucapan suci. Dalam keseluruhan mitos bangsa primitif mitos sebagai suatu pernyataan yang berdasarkan kewibawaan dari yang ghaib yang luar biasa. Jadi mitos mereka dapat diserupakan dengan ilham, wahyu, tetapi muitos diterima oleh bangsa primitif karena berhubungan dengan alam. Gejala alam merupakan manifestasi dari yang suci, dan merupakan bahan bagi pembangunan mitos. Ucapan suci (mitos), tersebut selalu merupakan suatu rahasia yang ajaib dan diluar pemikiran manusia. Begitu pula wahyu Allah atau firman Allah seperti Al-Qur’an yang juga berarti ucapan (tetapi bukan arti kasar), dari Allah, akan tetapi firman Allah dalam Al-Qur’an mendukung susunan logis alam semesta, jadi berbeda dengan mitos yang tidak logis.32 Mitos bukan dongeng yang serta merta dianggap sebagai khayal, tetapi bagi bangsa primitif merupakan suatu gambaran keyakinan mereka mengenai rahasia-rahasia alam yang yang mengatasi segalakehidupan manusia yang sukar digambarkan atau dipikirkan. Oleh karena itu mitos bagi bangsa primitif dapat memberikan pedoman dan arah kepada mereka. Mitos dapat dicerminkan kembali pada saat-saat tertentu,tetapi dapat pula ditarikan atau dilakonkan pada suatu saat dan pada tempat tertentu.33 Al-Qur’an
telah
menyebutkan
tujuan
missi
kerasulan
Nabi
Muhammad SAW, dalam kalimat-kalimat padat dan tepat, salah satu darinya yang patut dikaji adalah “membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-
32
Derektorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam, Perbandingan Agama, Jilid I, Cet-II, Jakarta, 1982, hlm. 173 33 Ibid.,
belenggu yang ada pada mereka”
34
. Yakni melepaskan mereka dari berbagai
perbuatan sulit yang sia-sia dan menyingkirkan belenggu yang memikat tangan dan kaki mereka. Sekarang perlu dipahami dengan jelas apa yang dimaksud dengan belenggu yang mengikat tangan-tangan dan kaki orang-orang arab zaman jahiliyah, dimasa fajar Islam jelaslah itu bukan rantai dan belenggu besi, tapi kepercayaan yang mengakar dan takhayul yang telah mengekang pikiran mereka dari kemajuan.35 Mitos-mitos ini menghalangi jalan kemajuan Islam, dan karena itu Nabi berusaha sekuat-kuatnya
menghapus tanda-tanda kejahilan yang
berbentuk tahayul ketika mengutus Muadz bin Jabal ke Yaman beliau, memberikan intruksi kepadanya, hai Muadz singkirkan dari manusia tandatanda kejahilan serta gagasan dan kepercayaan takahyul, dan hidupkan tradisi Islam yang mengajak kita berfikir dan bersikap rasional.36 Sebagaimana hadits Nabi SAW : Di Jawa sebagian masyarakat memang menganggap waktu-waktu tertentu sebagian waktu spesial, salah satunya adalah bulan muharram. Spesialnya bukan dengan menganggapnya sebagai bulan suci, tetapi bulan tabu untuk aktivitas tertentu.
Masyarakat didesa Bambangkerep kecamatan
ngaliyan punya anggapan yang terlanjur menjadi keyakinan, bulan muharram
34
Ja’far Subhani, Ar-Risalah : Sejarah Kehidupan Rasulullah SAW, (terj) Muhammad Hasym, Cet-IV, Jakarta, Lentera, 2000, hlm.27 35 Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Q.S. Al-A’ Raaf 7:157, Semarang, Wicaksono, 1997, hlm.318 36 Ibid., hlm. 29
(dalam kaender jawa disebut suro), adalah bulan terlarang bagi hajatan pernikahan. Istilah suro lebih akrab terdengar dimasyarakat Bambangkerep dibanding muharram. Mitos pantang melakukan pernikahan tersebut tentu ada latar belakangnya dari hasil populasi dilapangan peneliti menyimpulkan ada beberapa versi mengapa sebagian besar masyarakat begitu takut melanggar pantangan tersebut paling tidak ada dua alasan yang peneliti tulis : Sebagian menjelaskan bahwa pada zaman bahula, pihak kerajaan mengelurakan maklumat, isinya menetapkan bahwa pada bulan suro adalah bulan larangan untuk melakukan hajatan dikalangan rakyat. Dalam ketetapan tersebut disertai ancaman bahwa barang siapa melanggar maklumat/larangan tersebut akan terkena bala alias mengalami celaka. Keputusan ini ditengarai bahwa pihak kerajaan tidak ingin rkayatnya tidak mengikuti upacara ritual dikeraton hanya gara- gara sedang menikahkan anaknya. Pihak lain berpendapat bahwa pantangan tersebut berasal dari pengaruh ajaran agama syiah seperti diketahui bersama bahwa cucu rasulullah yang diklaim kelompok syiah sebgai Imamnya terbunuh pada tanggal 10 muharram. Karena itu kelompok ini menjadikan bulan muharram yang bertepatan dengan bulan suro sebagai bulan kersedihan, bukan penuh duka . ajaran kelompok ini salah satunya adalah menjadikan bulan muharram sebgai waktu yang tidak boleh dilakukan perayaan, termasuk didalamnya adalah
pernikahan.37 Ironis memang, ternyata tidak sedikit kaum Muslim yang termakan oleh mitos pantang menikah dibulan suro, bagaimana layak seorang yang mengaku beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, percaya kepada takdir Allah, juga kitab-kitabnya bisa terpedaya oleh isu tidak populer tersebut. Baik karena alasan pertama ataupun kedua tentu tidak pantas seorang Muslim lantas begitu saja percaya dengan ancamanya. Percaya bahwa selain Allah bisa mencegah kejahatan dan mendatangkan manfaat merupakan dalam bentuk kesyrikan. Apalagi percaya kepada benda mati (abstrak), lagi. Suatu keyakinan yang secara akal tidak bisa dibenarkan lebih-lebih secara syari’at. Keyakinan demikian sebenarnya mirip dengan keyakinan orang-orang jahiliyah dahulu. Kaum yang belum tersentuh dakwah rasulullah SAW tersebut punya keyakinan bahwa bukan shafar adalah bulan kesalahan, yang berada di sini hanyalah hitungan bulannya, disini bulan muharram disana bulan shafar. Kebanyakan kaum jahiliyah tersebut dibantah oleh rasulullah Muhammad SAW beliau berkata, dan perkataan beliau merupakan pengejawantahan wahyu Allah yang Maha Suci.38 39
,4SO8 1O8 /TO8U8 O
Artinya :”Tidak ada adwa, tyaroh hamah , dan shafar “ Shafar adalah bulan kedua pada tahun kedua hijriyah. Walaupun hadits tersebut dikatakan bulan shafar, tetapi secara subtantif larangannya adalah menyandarkan kesalahan dan ketergantungan pada nama bulan. Kaum 37
2004
38
Wawancara dengan bapak Ridwan desa Bambangkerep pada tanggal 14 Desember
Majalah Keluarga Islami Nikah, op., cit, hlm. 6 Al-Imam Al-Khafid Abi Dawud Sulaiman Ibn Al-Asy’asyari Al-Asabkhasatani, op., cit, hlm. 16 39
muslimin yakin bahwa hidupnya bersama Allah, diawasi dan diatur oleh Allah, maka sudah semestinya bertawakal hanya kepada-Nya. Lalu mengapa warga masyarakat desa Bambangkerep mengeramatkan bulan muharram sedangkan menurut Islam bulan baik. Menurut pendapat penulis Jawabannya diantarannya adalah sebagai berikut : 1. Pengaruh Animisme dan Dinamisme Menilik sejarah bangsa Indonesia yang
lama terbelenggu dalam
praktek animisme dan dinamisme menjadikan bangsa ini kental dengan nuasa klenik dan sangat menyukai hal-hal yang berbau mistik. Hal ini kemudian turun-temurun melahirkan budaya-budaya baru seiring dengan masuknya agama samawi di Indonesia. Budaya kesyirikan (yang terlanjur mengakar tersebut ), belum juga pudar malah kemudian akulrurasi dengan ajaran agama
melahirkan beragam bid’ah, syirik, dan khurafat. Seperti
upacara sekatenan, ziarah kemakam wali, dan yang lain sebagainya. 2. Akibat Penggabungan Kalender Jawa dan Hijriyah Pada masa Sultan Agung (931H/1509), dilakukan penggabungan kalender jawa dan hijriyah. Penggabungan tersebut oleh sebagian orang diduga sebagai strategi untuk merukunkan dua golongan waktu itu, yaitu Islam santri dan Islam abangan Sultan Agung menginginkan persatuan rakyatnya untuk menggepur Belanda di Batavia dan menyatukan pulau Jawa dia ingin rakyatnya tidak terbelah karena hanya disebabkan keyakinan agama dalam penggabungan tersebut. 1 muharram (satu suro jawa), jatuh
pada hari jum’at legi. Oleh Sultan Agung hari jum’at legi dijadikan dino paseban (hari pertemuan resmi), sebagai pelaporan resmi
pemerintahan
daerah kepada keraton. Khusus daerah timur pada hari yang sama laporan pem,erintahann dilakukan sambil mengadakan pengajian oleh para penghulu kabupaten sekaligus dilakukan ziarah kubur dan haul (kalau tepat waktu), kemakam Sunan Ampel dan Sunan Giri sejak saat itulah 1 muharram (1 suro Jawa), kemudian dikeramatkan bahkan dianggap sial kalau ada orang yang memanfaatkannya diluar kepentingan mengaji ziarah dan haul. Keyakinan ini selanjutnya berkembang menjadi khurafatdan syirik, sebagaiman yang terjadi dikeraton Yogyakarta dan sekitarnya yang sampai sekarang terpelihara seperti upacara siraman pusaka keraton, mengitari benteng keraton di malam imuharrom, mandi derngan tujuh air dari tujuh sungai, mengisi enceh pusaka dimakam imogiri Yogyakarta dan sebagainya. 3. Ratapan Orang Syi’ah Terhadap Kematian Husain bin Ali Kematian cucu rasulullah husain bin Ali dikota karbala menimbulkan duka yang mendalam bagi mereka.
Terbunuhnya husain bin Ali oleh
pasukan yazid bin muawiyyah pada bulan muharram melahirkan sebuah kepercayaanbaru dikalangan syiah yang menganggap muharram sebagai bulan kesedihan dan bulan sial. Dalam perkembangan selanjutnya penganut syiah menciptakan ritual-ritual khusus untuk memperingati tragedi karbala berupa majelis-majelis ratapan (penyiksaan diri), yang berpuncak pada 10 muharram tepat pada wafatnya husain bin Ali. Keyakinan ililah yang kemudian menjadi beimbas pada sebagian kaum muslimin di Indonesia
yang menganggap bulan muharam sebagai bulan keramat sekaligus bulan kesialan.