BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN AKAD NIKAH DI DEPAN MAYAT
A. Hukum Pelaksanaan Akad Nikah di Depan Mayat dan Implikasinya terhadap Masyarakat Terlepas dari proses terbentuknya sebuah kebudayaan, keluarga, sebagai salah satu bentuk struktur sosial, ditandai oleh suatu stabilitas yang terjadi berdasarkan perkawinan dan itu berarti hubungan kelamin yang direstui masyarakat.1 Berkaitan dengan nikah ini, tradisi atau kebudayaan masyarakat untuk melakukan akad nikah di depan mayat seperti yang dilakukan sekelompok masyarakat di desa Kawedusan kecamatan Kebumen kabupaten Kebumen perlu mendapat perhatian khusus dari para ahli fiqh. Hal ini sebagai usaha untuk memelihara tradisi masyarakat dengan mempertimbangkan nilai-nilai syar’inya. Pertama yang penulis lakukan untuk melihat hukum akad nikah didepan mayat ini adalah dengan merujuk dan bersandar kepada kaidah-kaidah fiqh yang telah disepakati bersama oleh para fuqaha, yang diambil dari al-Quran dan Sunnah. Dari kaidah-kaidah ini, dalil akan diambil dan hukum akan diletakkan diatasnya.
1
T.O. Ihromi (ed.), Pokok-pokok Antropologi Budaya, Jakarta: Gramedia, 1986, hlm. 18
41
42
Merujuk pada al-Qur'an, bahwa nikah itu sangat dianjurkan dalam Islam, seperti dalam surat ar-Rum ayat 21:
ل َﺒ ْﻴ ﹶﻨ ﹸﻜ ْﻡ َ َﺴ ﹸﻜﻨﹸﻭﺍ ِﺇﹶﻟ ْﻴﻬَﺎ ﻭَﺠَﻌ ْ ﺴ ﹸﻜ ْﻡ َﺃ ْﺯﻭَﺍﺠﺎﹰ ِﻟ ﹶﺘ ِ ﻥ َﺃ ﹾﻨ ﹸﻔ ْ ﻕ ﹶﻟ ﹸﻜ ْﻡ ِﻤ ﺨﹶﻠ ﹶ ﻥ ﹶ ْ ﻥ ﺁﻴَﺎ ِﺘ ِﻪ َﺃ ْ َﻭ ِﻤ ﺕ ﻟِ ﹶﻘ ْﻭﻡٍ ﻴَ ﹶﺘ ﹶﻔ ﱠﻜﺭُﻭﻥ ٍ ﻥ ﻓِﻲ ﹶﺫﻟِﻙَ ﻟﹶﺂﻴﺎ ﺤ َﻤ ﹰﺔ ِﺇ ﱠ ْ َﻤ َﻭ ﱠﺩ ﹰﺓ َﻭ َﺭ Artinya : "Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kamu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tandatanda bagi kaum yang berpikir".(QS. Ar-Ruum:21)2 Oleh karena nikah merupakan salah satu anjuran, maka para ahli fiqh kemudian mensyaratkan beberapa hal yang harus dipenuhi dalam melaksanakan akad nikah tersebut sebagai usaha untuk mencegah umat dari perbuatan yang dilarang oleh agama.3 Melihat pelaksanaan akad nikah didepan mayat yang terjadi di daerah Kawedusan, penulis menilai bahwa disatu sisi mereka tetap berpegang teguh pada syar’i dalam artian mereka tidak meninggalkan syarat-syarat yang ditentukan oleh para ahli fiqh. Hal ini terlihat dengan adanya ijab dan qabul yang tetap dilaksanakan oleh masyarakat. Mengenai ucapan atau lafal yang digunakan masyarakat di desa Kawedusan lebih memilih memakai bahasa mereka sendiri.
2
Departemen Agama RI., al-Qur’an dan Terjemahannya, Semarang: Kumudasmoro Grafindo, 1994, hlm. 644 3
Mengenai hal ini lihat bab II dari skripsi ini.
43
Misalnya dengan ucapan kulo nikahaken …. Putro saking bapak …. Kalian ….. putri saking bapak ….. Dari sini penulis belum menemukan adanya penyimpangan syar’i yang terjadi dalam pelaksanaan akad nikah di depan mayat, karena yang mereka lakukan hanya sebuah tradisi yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat dan bukan menjadi satu bagian daripada syarat maupun rukun nikah itu sendiri. Bila dilihat dari kedudukan jenazah itu sendiri, tidak ditemukan adanya penyimpangan terhadap syar’i sebab jenazah dalam pelaksanaan akad nikah tidak memiliki peran sama sekali, baik sebagai wali maupun saksi. Hal ini penulis lihat terlepas dari sisi normatifnya sebab masyarakat setempat tidak pernah merasakan hal ini sebagai sebuah aib bagi pelakunya. Yang menjadi landasan penulis adalah kaidah yang mengatakan bahwa;
ﻻﻴﻨﻜﺭ ﺘﻐﻴﺭ ﺍﻻﺤﻜﺎﻡ ﺒﺘﻐﻴﺭ ﺍﻻﺯﻤﺎﻥ Artinya: “Tidak dapat diingkari bahwa hukum berubah karena perubahan keadaan (zaman).”4 Begitu juga dari persyaratan yang harus dipenuhi calon mempelai pria dalam melakukan khitbah sebelum dilangsungkannya akad nikah, tidak ada penyimpangan. Dalam Islam diajarkan, bahwa syarat akad nikah antara lain adalah (a) adanya calon istri dan calon suami (b) masing-masing bukan termasuk
4
Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh : Sejarah dan Kaidah Asasi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002, hlm., 156
44
mawani’un-nikah, (c) antara keduanya merupakan sejodoh atau kafa’ah.5 Dan bagi masyarakat Kawedusan, hal ini merupakan sesuatu yang tidak boleh dilanggar. Berkaitan dengan keharusan untuk melakukan tradisi ini, banyak para ahli mengatakan bahwa manusia, baik sebagai individu maupun sebagai masyarakat, tidak bisa lepas dari mitos ini.6 Namun disisi lain, penulis melihat ada satu persoalan yang dikhawatirkan justru akan mendatangkan satu permasalahan dikemudian hari. Persoalan ini bisa muncul akibat dari adanya sanksi adat tentang tidak dilaksanakannya akad nikah di depan mayat bagi mereka yang seharusnya melaksanakan maupun yang timbul dari adanya tentang sah tidaknya pernikahan didepan mayat. Dalam agama, pernikahan di depan mayat ini termasuk dalam katagori mitos atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah myth.7 Mitos ini menurut hemat penulis lebih disebabkan oleh faktor hinduisme yang mengakar lebih dahulu dibanding dengan tradisi Islam. Sebagaimana telah banyak dikemukakan oleh para ahli sejarah, bahwa pengaruh Hinduisme sangat mempengaruhi budaya Jawa, dan terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur hingga pulau Bali. Hal ini disebabkan oleh Hinduisme 5
Hady Mufaat Ahmad, Fiqh Munakahat (Hukum Permasalahannya), Semarang: Duta Grafika, 1992, hlm. 103 – 113 6 7
Perkawinan
dan
Beberapa
Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban, Jakarta: Paramadina, 2000, hlm. 176
Mitos bisa diartikan sebagai sebuah penuturan yang khayal belaka, yang biasanya melibatkan tokoh-tokoh, tindakan-tindakan dan kejadian-kejadian luar alami (supernatural) dan meliputi beberapa ide umum mengenai gejala alam atau sejarah. Mengenai hal ini lih. Ibid, hlm. 174
45
yang memberikan tata tulis, perhitungan tahun Saka, serta sastra yang mengandung filsafat keagamaan beserta ajaran mistik yang cukup halus. Artinya, Hinduisme memberikan dan mengangkat budaya intelektual selapis suku Jawa dan melahirkan kerajaan-kerajaan besar dengan budaya religi animisme dan dinamisme yang asli dan telah mengakar dengan berbagai macam tradisi dan aturan-aturan (hukum) adatnya. Kemudian kedatangan agama Islam yang mulai menyebar di Indonesia semenjak abad ke-13 M, ternyata juga tidak mengganggu budaya asli animisme-dinamisme di Jawa, karena budaya asli ini memiliki watak yang elastis atau amat kenyal, sehingga mampu menyusup dalam Islam khususnya pesantrenan.8 Lebih lanjut Nurcholish Madjid mengatakan bahwa agama sebagai sumber makna hidup yang terpenting dalam sistem kultural manusia, tidak bisa lepas dari mitos.9 Lagi pula, setiap kebudayaan adalah jalan atau arah di dalam bertindak dan berfikir sehubungan dengan pengalaman-pengalaman yang fundamental, oleh karena itu kebudayaan tidak dapat lepas dengan individu maupun masyarakat.10 Oleh karena itulah, dalam melihat hukum pelaksanaan akad nikah di depan mayat ini, penulis mencoba memahami realitas obyek penelitian. Dimana realitas disini mengatakan bahwa apa yang terjadi di masyarakat Kawedusan, melaksanakan akad nikah di depan mayat, bukanlah satu kewajiban syar’i yang 8
Simuh, Keunikan Interaksi Islam dan Budaya Jawa, makalah dalam acara Seminar Pengaruh Islam Terhadap Budaya Jawa, 31 Nopember 2000 9
Nurcholish Madjid, op.cit., hlm. 184
10
Joko Tri Prasetyo, et. al., Ilmu Budaya Dasar, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1998, hlm. 37
46
harus dilaksanakan namun itu hanya sebuah “kewajiban” tradisi lokal yang diwarisi dari nenek moyang mereka yang jika tidak dilakukan juga tidak akan mengakibatkan sebuah konsekuensi hukum agama. Mengenai batalnya pertunangan yang telah dilakukan oleh mempelai pria, juga tidak ditemukan adanya pelanggaran terhadap syar’i mengingat khitbah hanyalah sebatas perjanjian hendak melakukan akad nikah dan membatalkannya merupakan hak kedua belah pihak. Apalagi pembatalan ini (dalam kasus di desa Kawedusan) sudah merupakan konsekuensi logis dari tindakan melanggar adat istiadat yang berlaku dan diluar keinginan mereka.11 Mengingat khitbah merupakan salah satu bentuk sumpah atau janji maka penulis dalam hal ini lebih berpijak pada firman Allah yang menerangkan tentang sumpah sebagai berikut;
ﺕ ﹸﻗﻠﹸﻭ ُﺒ ﹸﻜ ْﻡ ﻭَﺍﻟﱠﻠ ُﻪ ﺨ ﹸﺫ ﹸﻜ ْﻡ ِﺒﻤَﺎ ﹶﻜﺴَﺒَ ﹾ ِ ﻥ ُﻴﺅَﺍ ْ ِﺨ ﹸﺫ ﹸﻜ ُﻡ ﺍﻟﻠﱠ ُﻪ ﺒِﺎﻟﱠﻠ ﹾﻐ ِﻭ ﻓِﻲ َﺃ ْﻴﻤَﺎ ِﻨ ﹸﻜ ْﻡ ﻭَﹶﻟﻜ ِ ﻻ ُﻴﺅَﺍ ﹶ ﺤﻠِﻴ ٌﻡ َ ﻏﻔﹸﻭ ٌﺭ ﹶ Artinya: “Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.” (Q.S. alBaqarah:225)12 Lebih lanjut, kebudayaan dalam fiqh islam dikenal dengan istilah ‘urf yaitu sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan di 11
Mengenai hal ini lih. Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah Jilid 6, Bandung: PT. al-Ma’arif, 1994,
12
Departemen Agama RI., op.cit., hlm. 54
hlm. 45
47
kalangan mereka baik berupa perkataan maupun perbuatan. Sedangkan ‘urf ini dapat dibagi atas beberapa bagian. Ditinjau dari segi sifatnya, ‘urf terbagi atas; 13 a. ‘urf qauli, yaitu 'urf yang berupa perkataan. b. ‘urf amali, yaitu ‘urf yang berupa perbuatan. Sedangkan ditinjau dari segi diterima atau tidaknya ‘urf, terbagi atas: a. ‘urf shahih, yaitu‘urf yang baik dan dapat diterima karena tidak bertentangan dengan syara'. b. ‘urf fasid, yaitu ‘urf yang tidak baik dan tidak dapat diterima, karena bertentangan dengan syara'. Ditinjau dari ruang lingkup berlakunya, ‘urf terbagi kepada: a. ‘urf 'âm, yaitu ‘urf yang berlaku pada suatu tempat, masa dan keadaan. b. ‘urf khash, yaitu ‘urf yang hanya berlaku pada tempat, masa atau keadaan tertentu saja. Dengan melihat macam-macam bentuk ‘urf dapat dikatakan bahwa kasus yang terjadi di desa Kawedusan ini termasuk ‘urf shahih mengingat apa yang dilakukan dengan tradisi ini ternyata bisa diterima oleh masyarakat dimana tradisi tersebut dijalankan dan juga tidak bertentangan dengan syara’. Lebih lanjut, mengenai tradisi atau kebudayaan ini Ralp Linton menyebutkan bahwa kebudayaan merupakan seluruh cara kehidupan dari masyarakat yang mana pun dan tidak hanya mengenai sebagian dari cara hidup
13
147-149
Kamal Muchtar, et.al, Ushul Fiqh, Jilid I, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995, hlm.
48
mereka.14 Sebagai sebuah cara hidup, kebudayaan tidak bisa lepas dari sistem sosial yang mencakup pranata-pranata. Pada tahap selanjutnya, sistem sosial ini akan
membentuk
sebuah
kelompok
sosial
yang
menghasilkan
sebuah
kebudayaan. Oleh karena itu, implikasi dari pelaksanaan tradisi ini bagi masyarakat adalah terciptanya sikap toleransi antara mereka yang melaksanakan, disatu sisi, dengan mereka yang tidak mau melaksanakan, disisi lain. B. Istinbat Hukum tentang Pelaksanaan Akad Nikah di Depan Mayat dan Implikasinya terhadap Masyarakat. Jika tidak terdapat hukum yang dikehendaki dalam al-Quran atau Sunnah, maka keadilan boleh merujuk kepada sumber atau kaidah yang lain seperti ijma’, qiyas dan sumber-sumber lain selama tidak bertentangan dengan prinsip umum yang ditetapkan oleh al-Qur’an dan Sunnah. Apa yang diwahyukan oleh Allah harus diyakini akan membawa keadilan, kebaikan dan kebenaran untuk manusia seluruhnya sepanjang zaman. Walau bagaimanapun, tidak semua masalah hukum boleh diijtihadkan. Oleh kerana adanya perintah kepada kita untuk mematuhi Allah dan Rasul-Nya (Q.4:59), maka kita wajib patuh kepada al-Qur’an dan al-Sunnah. Kita tidak perlu menggunakan ijtihad, bahkan tidak boleh, jika nash al-Quran dan al-Sunnah itu mempunyai makna dan tujuan yang tegas dan qat'i, yang mempunyai hanya satu makna saja dan tidak memerlukan penafsiran.
14
T.O. Ihromi (ed.), Op.cit., hlm. 91
49
Dalam istinbat hukum, memang masih membutuhkan teori istihsannya Hanafiah, maslahah mursalahnya Malikiah, atau konsep qiyasnya Syafi'iah sebagai spirit. Namun begitu, penulis dalam menganalisis mengenai istinbat hukum nikah di depan mayat ini akan menggunakan teori maqasid syari’ah-nya Syatibi yang menyatakan bahwa Tuhan menetapkan hukum demi kemaslahatan umat-Nya dan bukan untuk kemanfaatan Tuhan itu sendiri. Oleh karena itu, kalau Syatibi, sebagaimana tokoh-tokoh sebelumnya, menetapkan 5 pokok (agama, jiwa, harta, keturunan, dan akal) sebagai maslahah yang sifatnya dlaruriyyat, maka sekarang dan kini sudah ditetapkan oleh OKI beberapa tahun kebelakangditambah dua; hak kebebasan (huriyah) dan harga diri.15 Dalam sebuah hadits, Nabi Saw. bersabda;
ﻴﺴﺭ ﺍ ﻭﻻ ﺘﻌﺴﺭ ﺍ ﻭ ﺒﺸﺭ ﺍ ﻭ ﻻﺘﻨﻔﺭ ﺍ ﻭ ﺘﻁﺎﻭﻉ Artinya: “Permudahkanlah dan jangan persulitkan. Berikan berita gembira dan jangan menyebabkan orang lari.” (Riwayat Al-Bukhari & Muslim)16 Dari sini kemudian penulis melihat bahwa yang terpenting adalah menguasai ilmu maqasid syari’ah secara penuh dan peka terhadap fenomena yang ada. Maqasid syari’ah menurut bahasa berarti tujuan. Sedangkan ulama ushul fiqh mendefinisikan maqasid syari’ah dengan makna dan tujuan yang dikehendaki
15 16
Diambil dari http://afkar.numesir.org tanggal 19 Januari 2004
Imam Abi Husain Muslim Ibnu Hajjaj Qusayri Naisaburi, Shahih Muslim,juz II, ttp.: Dar al-Fikr, tth., hlm. 132
50
syara’ dalam mensyari’atkan suatu hukum bagi kemaslahatan umat manusia.17 Karenanya kajian tentang hukum akad nikah di depan mayat secara sosiologis18 harus mendapatkan porsi yang cukup sebagai salah satu piranti ushul fiqh, yang sebelumnya hanya berkisar pada pembahasan ilmu bahasa, hukum Syara' dan ilmu kalam.19 Lebih-lebih maqasid syari’ah harus mempertimbangkan al-Masalih al-Mursalah dengan dua orientasi: duniawi dan ukhrawi, seperti yang dikatakan oleh ‘Izuddin ibn Abd. al-Salam; “Kemaslahatan itu untuk dunia dan akhirat. Apabila kemaslahatan itu sirna, maka rusaklah urusan dunia dan akhirat. Apabila kemafsadatan muncul hancurlah penghuninya.”20 Berkaitan dengan pelaksanaan akad nikah di depan mayat yang merupakan sebuah tradisi masyarakat setempat yang telah menjadi norma sosial, maka manfaat dari dilakukannya akad nikah didepan mayat ini akan lebih berimplikasi pada kehidupan sosial masyarakat. Pada dasarnya tradisi atau budaya tidak bisa dilihat secara parsial tapi harus lebih difahami secara menyeluruh
17
Abdul Azis Dahlan, et.all., Ensiklopedi Hukum Islam, jilid IV, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, cet. I, 1996, hlm. 1108 18
Dengan sosiologi, kita bisa menghasilkan produk fiqh yang hidup, dan kita akan selalu membaca al-Qur'an sebagai sumber hukum pertama tidak semata pada apa yang terdapat dalam mushaf, tetapi lebih dari itu, kita perlu sosiohistoris turunnya al-Qur'an. Sehingga standar maslahat dan keadilan akan terus dipakai sepanjang masa, bahwa al-Qur'an itu tidak 'mati' dan tetap relevan lintas ruang dan waktu. Sehingga penulis setuju dengan slogan-slogan "kembali ke Qur'an dan Hadits", tapi dengan pengertian bahwa pembacaannya tidak selalu pada teks yang ada, tetapi juga pada konteksnya. 19
Kalau dulu dalam buku-buku klasik ditetapkan syarat-syarat mujtahid begitu ketat-menurut hemat penulis-hampir sama dengan menutup peluang ijtihad, maka syarat-syarat tersebut menjadi lebih longgar, tidak harus hafal al-qur'an 30 juz atau hadits sekian ribu, juga tidak mesti menguasai bahasa Arab sampai keakar-akarnya. 20
Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah Menurut al-Syatibi, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996, hlm. 143
51
karena tradisi bukanlah sebuah produk manusia sebagai individu namun manusia sebagai masyarakat. Oleh karenanya, ketika adat yang telah menjadi norma ini dilakukan maka secara psikologi mereka akan merasa tentram dan pada dasarnya hukum diciptakan untuk menciptakan suasana damai di tengah masyarakat. Lebih jelasnya, manfaat diberlakukannya tradisi sandung meja ini adalah (a) terciptanya tata kehidupan masyarakat yang harmonis, (2) terpeliharanya sikap toleransi antar masyarakat. Sedangkan mengenai madlarat diberlakukannya tradisi tersebut adalah adanya salah satu pihak (dalam hal ini pihak laki-laki) yang dirugikan yakni dengan pembatalan khitbah bila tidak dilaksanakan. Namun begitu, disini penulis melihat sangsi tersebut dikarenakan tradisi akad nikah di depan mayat telah menjadi norma yang harus ditaati bersama. Dari asas manfaat dan madlarat ini penulis melihat akan lebih banyak manfaatnya dari adat, karena justru ketika adat ini dilakukan ternyata masyarakat merasa lebih tentram karena bisa berbuat baik kepada orang tua (lihat histori tradisi sandung meja dalam bab II). Menurut Muhammad Salim Muhammad, perumusan maqashid syari’ah seperti itu bersifat relatif; tergantung kepada waktu, ruang, keadaan dan seseorang. Yang perlu ditekankan di sini adalah ketentuan bahwa pendefinisian
52
kemaslahatan dilakukan berdasarkan syara’ dan dilakukan dengan cara tertentu.21 Penulis melihat, karena maqashid ini bersifat relatif dan tidak terbatas, sehingga masih ada kemungkinan untuk dilakukan renovasi dan elaborasi. Dalam kerangka ini ijtihad dilakukan sebagai upaya menjawab persoalan kekinian dengan tujuan tahqiq mashalih al-nas atau merealisasikan maslahat bagi manusia. Karena pada dasarnya tujuan diturunkannya syariah adalah kemaslahatan. 22 Berkaitan dengan renovasi ini Hasan Hanafi mengemukakan supaya dilakukan reorientasi maqashid, kembali ke khittah yang semua dari sikap bottom up (dari manusia ke Allah) menjadi up to bottom (dari Allah kepada manusia). Artinya parameter kemaslahatan tidak lagi ditekankan pada upaya realisasi ridhoNya, melainkan menegaskan kembali bahwa kemaslahatan itu memang harus dicapai sebagai rahmat Allah kepada manusia. Lebih lanjut kemaslahatan tersebut oleh al-Syatibi dilihat dalam dua sudut pandang, (a) maqashid al-syari’ dan (b) maqashid al-mukallaf. Dalam arti yang pertama mengandung empat aspek, yaitu:23 1. Tujuan awal dari syari’at yakni kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat. 2. Syari’at sebagai sesuatu yang harus dipahami. 3. Syari’at sebagai suatu hukum taklif yang harus dilakukan.
21
Muhammad Salim Muhammad, al-Ta'lil fî al-Qur'an, Kairo: Universitas Al-Azhar, Cet. I, 1995, hlm. 306 22 As Syatibi, al-Mwuafaqat fi Ushuli al-Syari’ah, Beirut: Dar al-Ma’arif, Juz 1, tth., hlm. 6-7 23 Asafri Jaya Bakri, op.cit., hlm. 70
53
Berkaitan dengan tradisi akad nikah di depan mayat, manusia harus dipahami lebih dari individu tetapi harus diartikan sebagai umat. Oleh sebab itulah hifzh al-hayat dalam konteks kontemporer berarti menjaga integritas umat dari kepunahan dan rongrongan internal/eksternal. Hifzh al-‘aql berarti membasmi kebodohan kolektif, kepercayaan khurafat, irrasionalitas dan ilmu yang tidak bermanfaat. Hifzh al-Din berarti menjaga nilai-nilai humanisme universal yang dirativikasi oleh semua bangsa. Hifzh al-mall berarti menjaga kekayaan negara dan sumber daya alam demi kemaslahatan umat manusia.24 Elaborasi juga bisa dilakukan dengan mempertegas fungsi manusia sebagai mandataris Allah yang ditugaskan untuk memakmurkan bumi. Karena itu al-kulliyat bisa diperluas menjadi al-kulliyat al-shittah dengan menambahkan domain keseimbangan alam. Selanjutnya Syatibi dalam memahami maqashid syari’ah melalui tiga cara, yaitu:25 1. Melakukan analisis terhadap perintah dan larangan, yang mana hal ini lebih dikhususkan pada persoalan ibadah. Berkaitan dengan nikah di depan mayat penulis mengembalikannya pada hukum asal nikah sebagaimana yang telah terjabarkan dalam bab sebelumnya.
102
24
Hasan Hanafi dalam Jurnal Islam al-Mu‘ashir, edisi 103, triwulan pertama 2002, hlm. 65-
25
Asafri Jaya Bakri, op.cit., hlm. 92-103
54
2. Penelaahan ‘illah al-amr dan al-nahy ini penulis lakukan mengingat hukum nikah dalam Islam kurang jelas.26 Di sini bisa dibuat satu landasan dalam menentukan hukum pelaksanaan akad nikah di depan mayat yang bagi penulis sah menurut hukum Islam, dalam artian tidak adanya satu pelanggaran terhadap hukum Islam. Hal ini penulis lakukan dengan landasan pada dalil yang menerangkan bahwa Allah SWT. menciptakan segala sesuatu dengan tujuan, itulah yang harus disadari oleh orang yang beriman sebagaimana firman-Nya.
ﺍﻟﺫﻴﻥ ﻴﺫﻜﺭﻭﻥ ﺍﷲ ﻗﻴﺎﻤﺎﻭﻗﻌﻭﺩﺍﻭﻋﻠﻰﺠﻨﻭﺒﻬﻡ ﻭﻴﺘﻔﻜﺭﻭﻥ ﻓﻲ ﺨﻠﻕ ﺍﻟﺴﻤﻭﺕ ﻭﺍﻻﺭﺽﺝ ﺭﺒﻨﺎﻤﺎﺨﻠﻘﺕ ﻫﺫﺍﺒﺎﻁﻼﺝﺴﺒﺤﻨﻙ ﻓﻘﻨﺎﻋﺫﺍﺏ ﺍﻟﻨﺎﺭ Artinya: (Yaitu) Orang orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka perihalah kami dari siksa api neraka.” (Q.S. AliImran: 191).27 3. Melakukan pemahaman terhadap permasalahan-permasalahan hukum yang tidak disebut dalam al-syari’. Oleh Syatibi langkah ini dibagi lagi dalam dua macam, yaitu; (a) al-sukut karena tidak ada motif atau faktor pendorong, yang
26
Nikah dalam Islam merupakan sebuah anjuran dimana hukum melakukannya tergantung pada orientasinya. 27
Departemen Agama RI., op.cit., hlm. 110
55
berkisar pada persoalan muamalah dan (b) al-sukut walau ada motif atau pendorong, yang berkisar pada persoalan ibadah. Berpijak pada langkah pertama, bisa dikatakan bahwa persoalan muamalah pada hakekatnya secara sosiologis muncul sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat itu sendiri. Dengan pijakan ini, kiranya bisa penulis berikan satu alasan, bahwasannya akad nikah di depan mayat di desa Kawedusan ini harus dipahami sebagai satu bentuk pesan Allah bagi manusia untuk melihat apa yang ada merupakan ketetapan-Nya. Firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 242;
ﻜﺫﻟﻙ ﻴﺒﻴﻥ ﺍﷲ ﻟﻜﻡ ﺍﻴﺘﻪ ﻟﻌﻠﻜﻡ ﺘﻌﻘﻠﻭﻥ Artinya : “Demikianlah Allah menerangkan kepadamu ayat-ayat-Nya (hukum-hukum-Nya) supaya kamu memahami.” (QS. al-Baqarah: 242) Terlepas dari ketiga metodologi al-Syatibi di atas, berkenaan dengan hukum pelaksanaan akad nikah di depan mayat, penulis dalam hal ini juga tetap merujuk pada realitas yang ada seperti apa yang dikatakan oleh Imam Ibn Qayyim dalam bukunya I`ilam al-Muwaqqi`in; “Seorang mufti dan hakim tidak akan mampu untuk memberi fatwa atau hukum dengan benar kecuali dengan dua bentuk kefahaman. Salah satunya ialah memahami realitas dan hukum fiqh. Lalu menghasilkan pengetahuan mengenai hakikat yang sejajar dengan tanda-tanda dan petunjuk-petunjuk yang ada. Bentuk yang kedua ialah memahami kewajiban dalam berhadapan dengan realitas yaitu memahami hukum Allah yang ditetapkan dalam kitabNya atau melalui Rasul-Nya, kemudian menerapkan salah satu (Al-
56
Quran/Sunnah) pada yang lain. Siapa yang melakukan usaha dan upaya yang demikian itu, tidak akan hilang darinya dua pahala atau satu pahala.”28 Bertitik tolak dari obyek penelitian, penulis memakai penalaran istislahi, mengingat yang menjadi pedoman disini adalah kemaslahatan umum. Istislahi dipakai dengan pertimbangan bahwa yang menjadi permasalahan kedua adalah justru pada diharuskannya masyarakat Kawedusan untuk melaksanakan tradisi nikah di depan mayat. Selanjutnya, dengan metode al-masalih al-mursalah diharapkan dalam menentukan hukum nikah di depan mayat akan lebih bisa diterima. Dalam pemikiran ushul fiqh terdapat 3 (tiga) cara penentuan legalitas maslahat yang diantaranya adalah maslahat yang tidak terdapat legalitas nas baik terhadap keberlakuan maupun ketidakberlakuannya.29 Mengingat nikah di depan mayat merupakan satu tradisi suatu daerah, sehingga untuk mencari nas khusus, toh kalaupun ada hanya pada persoalan ‘urf. Tidak bisa dipungkiri, bahwasannya akad nikah di depan mayat, sebagai sebuah kebudayaan, merupakan sesuatu yang berada diluar kemauan manusia, diluar kemampuan seseorang dan keberadaannya memaksakan kehendaknya pada para individu.30 Kemudian dari sini muncullah pola budaya ideal yang memuat hal-hal yang diakui sebagai kewajiban yang harus dilakukan dalam keadaan tertentu dan pola seperti ini kemudian sering disebut dengan norma. Ketika sebuah tradisi telah menjelma dalam norma kehidupan, kesepakatan untuk 28
Ibn Qayyim, I`lam al-Muwaqqi`iin , As-Sa`aadah, Juz I, hlm. 77-78
29
Asafri Jaya Bakri, op.cit., hlm. 133-146
30
T.O. Ihromi (ed.), Op.cit., hlm. 26
57
merubahnya pun memerlukan satu proses dan jelas akan membutuhkan satu perjuangan tersendiri. Dalam konteks Indonesia, pemikiran hukum Islam sepertinya akan lebih banyak didominasi oleh warna aliran yang anti perubahan. Perubahan yang penulis maksudkan adalah perubahan substansial yang meliputi esensi materi hukumnya. Ketergantungan kepada teks fiqh klasik yang begitu kuat dan sempitnya peluang untuk menciptakan syarah interpretatif ketimbang syarah normatif, serta minimnya socio-religious response terhadap kasus-kasus hukum yang banyak terjadi menjadi bukti ketidak-berdayaan pemikiran hukum Islam di Indonesia. Seperti diketahui oleh banyak orang, masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang dipenuhi oleh kebudayaan lokal yang sampai saat ini masih mereka pegang teguh. Dengan mempertimbangkan dari sisi kaidah yang mengatakan bahwa adat dapat ditetapkan menjadi hukum, berarti dengan tidak ditemukannya pelanggaran terhadap syari’at agama dalam pelaksanaan akad nikah didepan mayat, maka masyarakat akan semakin merasa aman dalam melaksanakan tradisi yang telah berkembang sekian lama tanpa ada rasa takut akan melanggar ajaran agama Islam. Disinilah bisa dilihat tingkat fleksibilitas dalam Islam yang mencakup beberapa hal, yaitu : 1. Wilayah kekosongan hukum, yaitu wilayah yang dibiarkan oleh nash untuk diserahkan pada ijtihad para penguasa muslim, ulama dan para ahli ijtihad. Seperti kewajiban syura dalam Islam, bagaimanakah mekanisme syura itu
58
diserahkan kepada ijtihad berdasarkan maslahat umat, 'urf dalam batasan yang tidak bertentangan dengan syari'at. 2. Wilayah nash interpretatif, yang menampung lebih dari satu penafsiran. Maka disitu terdapat keluasan bagi orang yang menginginkan preferensi, komparasi serta pendapat yang paling dekat kepada kebenaran. Berkaitan dengan hal ini, untuk menghindari kekeliruan dalam mengambil ‘urf sebagai hukum, perlu juga kiranya penulis sampaikan bahwa syarat diterimanya ‘urf atau adat istiadat untuk landasan hukum dalam Islam adalah;31 1. Perbuatan yang dilakukan logis dan relevan dengan akal sehat. Syarat ini menunjukkan bahwa adat tidak mungkin berkaitan dengan perbuatan maksiat. 2. Perbuatan, perkataan yang dilakukan selalu berulang-ulang 3. Tidak bertentangan dengan nash 4. Tidak mendatangkan kemadharatan serta sejalan dengan jiwa dan akal yang sejahtera. Yang menjadi permasalahan sekarang adalah justru adanya sanksi sosial yang diberikan kepada mereka yang tidak melakukan adat tersebut. Mengenai hal ini, penulis lebih melihat bahwa segala sesuatu yang telah menjadi satu kesepakatan ditingkatan masyarakat, sehingga segala resiko yang ditimbulkan dari adat merupakan konsekuensi logis yang harus dipatuhi. Apa yang terjadi di
31
Muchlis Usman, Kaidah Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah : Pedoman Dasar dalam Istinbath Hukum Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 142
59
desa Kawedusan mengenai nikah di depan mayat merupakan murni hasil kebudayaan masyarakat setempat yang diturunkan dari nenek moyang mereka. Selain itu juga, harus diakui bahwa memang alam pikiran yang mendasari tradisi Jawa adalah sistem religi animisme dan dinamisme yang mempercayai bahwa roh-roh orang telah mati itu tetap hidup dan dapat berbuat secara aktif untuk membantu, menolong atau sebaliknya mencelakakan orang-orang yang hidup (keluarganya) dengan perantara badan halus.32 Dalam kasus akad nikah di depan mayat yang perlu menjadi catatan besar adalah, bahwa dalam prosesi akad nikah ini tidak ada anggapan di kalangan masyarakat bahwa sang mayat mampu memberikan sesuatu kepada mempelai laki-laki mapun perempuan.33 Sekali lagi penulis harus mengatakan bahwa inilah bentuk sinkretis ajaran Islam dan Hindu yang kemudian membentuk Islam Jawa. Agaknya, hal ini bisa juga untuk memecahkan masalah trikotomi yang diungkapkan oleh antropolog Amerika, Clifford Geertz dalam bukunya The Religion of Java, yang mengajukan tesis tentang tiga varian budaya umat Islam, yaitu budaya priyayi, santri dan abangan, yang juga mencerminkan stratifikasi sosial lapisan atas, menengah dan bawah, atau lebih khusus lagi dikotomi, antara apa yang disebut sebagai Islam santri dan Islam abangan.
2003
32
Simuh, op.cit.
33
Wawancara dengan Bapak Muhammad Jaeni di Desa Kawedusan tanggal 28 Desember
60
Untuk terakhir kalinya, perlu penulis sampaikan kata-kata KH Sahal Mahfudz berkaitan dengan istinbat di Indonesia, "Apabila pelacuran dipandang sebagai sebuah dosa, maka perluasan industri seks baik melalui turisme seks atau lainnya harus pula dipandang sebagai refleksi kegagalan untuk mempertahankan tindakan moral yang ideal. Sebab, apalah artinya ’membenci dosa’, tapi mencintai ’pelaku dosa’. Dengan demikian, penanganan industri seks harus dilihat dari berbagai aspek dan perlu melibatkan banyak pihak".34
34
Sumanto al-Qurthubi, KH. MA Sahal Mahfudz: Era Baru Fikih Indonesia, Cermin, Yogyakarta, 1999, hal 101-102