PENYELESAIAN SENGKETA WANPRESTASI PADA PELAKSANAAN AKAD MUDHARABAH MENURUT HUKUM ISLAM Suratmanto Program Ekstensi, Fakultas Hukum Universitas Indonesia
[email protected] Abstrak. Salah satu konsep ekonomi Syari’ah yang berkembang di indonesia adalah akad mudharabah, yakni akad kerjasama usaha antara pihak pemilik dana (shahibul maal) dengan pihak pengelola dana (mudharib) dimana keuntungan dibagi sesuai nisbah yang disepakati, sedang kerugian ditanggung pemilik dana (modal).Konsep Ekonomi syariah mulai berkembang di Indonesia
sejak Indonesia mengalami krisis Ekonomi pada akhir tahun 1990-an. Perkembangan ini diikuti dengan timbulnya ide-ide pembaharuan dalam berbagai ekonomi. Konsep yang ditawarkan dalam konsep ekonomi Syariah antara lain adalah konsep bagi hasil dalam bentuk Mudharabah.Hal yang menjadi Pokok permasalahan penelitian ini adalah:1) bagaimana pelaksanaan akad mudharabah antara pihak X dan pihak BMT Y) bagaimana pandangan hukum Islam terhadap putusan hakim mengenai perkara wanprestasi dalam putusan No. 0463/Pdt.G/2011/PA.Btl?Penelitian ini mengangkat kompensasi kesesuaian Putusan Pengadilan Agama Nomor 0463/Pdt. G/2011/PA. Btl. dan Putusan Nomor 63/Pdt. G/2011/PTA. Yk. dengan peraturan terkait yaitu antara KUH Perdata dengan Hukum Islam. Penelitian dilakukan secara deskriptif dengan menggunakan teknik analisis data melalui pendekatan kualitatif. Dalam penelitian ini, penulis menganalisa praktik akad Mudharabah antara X dan BMT Y. Penulis menyimpulkan bahwa Putusan Pengadilan Agama Nomor 0463/PDT. G/2011/PA. Btl dan Putusan Pengadilan Tinggi Agama Nomor 63/Pdt. G/2011/PTA. Yk. sudah tepat. Kata kunci: mudharabah, wanprestasi, hukum Islam, putusan PENDAHULUAN Salah satu lembaga keuangan yang berfungsi sebagai perantara antara masyarakat yang berkelebihan dana dengan masyarakat yang lemah secara finansial adalah Bank Islam atau yangdisebut juga sebagai Bank Syariah. Selain itu, Bank Syariah berfungsi juga sebagai lembaga intermediasi, yakni lembaga yang bertugas menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kembali kepada masyarakat yang membutuhkan dalam bentuk fasilitas pembiayaan dengan harapan dapat meningkatkan taraf hidup rakyat (Muhammad, 2009). Selain Bank Syariah yang akhir-akhir ini banyak bermunculan di Indonesia, banyak pula terbentuk lembaga-lembaga keuangan yang menganut prinsip syariah seperti Baitul Maal Wa Tamwil atau yang sering disebut dengan BMT. Keberadaan Baitul Maal Wa Tamwil (BMT) merupakan suatu usaha untuk memenuhi keinginan sebagian besar umat Islam yang menginginkan jasa layanan
lembaga keuangan syariah dalam mengelola
perekonomiannya. BMT merupakan salah satu model lembaga keuangan syariah yang paling
Penyelesaian sengketa…, Suratmanto, FH UI, 2013
sederhana yang saat ini banyak muncul di Indonesia hingga jumlahnya mencapai ribuan. BMT bergerak di kalanganmasyarakat ekonomi bawah sertaberupaya mengembangkan usaha-usaha produktif dan investasi dalam rangka meningkatkan ekonomi bagi pengusaha kecil. Hal ini dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip syariah dimana dana yang ada kemudiandisalurkan melalui pembiayaan-pembiayaan (Ilmi, 2002). Pembiayaan
yang
seringdigunakan
dalam
lembaga
keuangan
syariah
diantaranyasistem pembiayaan mudharabah. Pembiayaan mudharabah ini dipandang mampumemperlancar roda perekonomian umat dengan harapan bahwa aplikasi sistem mudharabah ini dapat menekanterjadinya inflasi sehubungan dengan tidak adanya ketetapan bunga yang harus dibayarkan ke bank.Selain itu, mudharabah diharapkan dapat mengubah haluan kaum muslimindalam setiap transaksi perdagangan dan keuangan sehingga dalam pelaksanaannya sejalan dengan ajaran syariah Islam (Agustianto, 2022). Pembiayaan mudharabah secara tidak langsung merupakan sebuah bentuk penolakan terhadap sistem bunga yang diterapkan oleh bank konvensional dalam mencari keuntungan. Sistem bunga apabila ditinjau dari sudut pandang ajaran Islam termasuk perbuatan riba yang diharamkan dalam Al-Quran. Riba dilarang karena riba samasekali tidakmeringankan beban orangyang dibantu (yang dalam hal ini adalah nasabah), melainkan justru memperalat dan memakan harta orang yang bersangkutan (Qardawi, 1997). Dalam operasionalnya,pembiayaan mudharabah merupakan akad kerjasama usaha antara dua belah pihak dimana pihak pertama berperan sebagai pemilik modal (shahibul maal), sedangkanpihak lainnya menjadipengelola modal (mudharib), dengan syarat bahwa hasil keuntungan yang diperoleh akan dibagi untuk kedua belah pihak sesuai dengan kesepakatan bersama (nisbah yang telah disepakati). Apabila terjadi kerugian,maka shahibul maal-lah yang akan menanggung (Andi, 2013). Dasar perjanjian mudharabah adalah kepercayaan murni, sehingga dalam hal pengelolaan dana oleh mudharib, shahibul maal (penyedia modal) tidak diperkenankanmelakukan intervensi dalam bentuk apapunselain hak melakukan pengawasan untuk menghindari pemanfaatan dana diluar rencana yang telah disepakati.
Pengawasan
ini
sekaligus
merupakantindakan
antisipatif
atas
terjadinyakecerobohan atau kecurangan yang mungkin dapat dilakukan oleh mudharib. Dariketerangan diatas dapat disimpulkan bahwa pembiayaan mudharabah merupakan wahana utama bagilembaga keuangan syariah (termasuk Baitul Maal Wa Tamwil/BMT) untuk memobilisasi dana
masyarakat yang terserak dalam jumlah besar serta untuk
menyediakan fasilitas pembiayaan, semisal fasilitas pembiayaan bagi para pengusaha (Ilmi, 2002). Baitul Maal Wa Tamwil (BMT) sebagai lembaga mikro syariah yang bersentuhan
Penyelesaian sengketa…, Suratmanto, FH UI, 2013
langsung dengan kehidupan masyarakat kecil diharapkan mampu menjalankan misinya serta dapat mengurangi ketergantunganmasyarakat dan pedagang-pedagangkecil dari lembaga keuangan non-syariah yang bunganya relatif tinggi (Andi, 2013). Baitul Maal Wa Tamwil adalah lembaga keuangan yang kegiatan utamanya menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk tabungan (simpanan) maupun deposito dan menyalurkan kembali kepada masyarakat dalam bentuk pembiayaan yang berdasarkan prinsip syariah melaluimekanisme yang lazim dalam dunia perbankan (Ilmi, 2002). Sejak awal pendiriannya, BMT dirancang sebagai suatu lembaga ekonomi rakyat yang baik secara konseptualmaupun secara realita lebih memfokuskan perhatiankepada masyarakat bawah. Agenda utamanya adalah pengembangan usaha-usaha melalui bantuan permodalan. Untuk melancarkan usaha pembiayaantersebut, BMT berupaya menghimpun dana yang diutamakan berasal dari masyarakat lokal di sekitarnya. Dengan kata lain, BMT pada prinsipnya berupaya mengorganisasi usaha saling tolong-menolong antar warga masyarakatsuatu wilayah dalam masalah ekonomi demi meningkatkan kesejahteraan anggota dan umatnya. Selanjutnya dalam artikel ini akan dibahas penerapan akad mudharabah padasebuahBMT Y. Penulismenganalisis Putusan Nomor 0463/Pdt.G/2011/PA.Btl untuk melihat apakah putusan tersebut sudah sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. METODOLOGI Dalam penulisan artikel ini, penulis menggunakan metode pendekatan tertentu untuk memperoleh serta menganalisis data. Adapun metode yang dipergunakan adalah metode kepustakaan, yang dalam penelitian ini bersifat yuridis dan dinamakan penelitian hukum normatif karena pemaparannya di bidang hukum atau yuridis. Penelitian yuridis normatif atau penelitian hukum kepustakaan adalah penelitian yang mengacu pada norma hukum dalam peraturan perundang-undangan serta norma-norma yang berlaku dan mengikat masyarakat berikut kebiasaan yang ada dalam masyarakat. Untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penelitian ini, alat pengumpulan data yang dipergunakan adalah studi dokumen atau bahan pustaka sehingga data yang didapatkan (ditinjau dari sumbernya)merupakan data sekunder. Data sekunder di dalam penelitian hukum normatif mencakup (a) bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan akad mudharabah. Penggunaan bahan hukum primer ini berfungsi sebagai rujukan hukum terhadap permasalahan yang ada, (b) bahan hukum sekunder berupa buku, artikel, dan hasil-hasil penelitian. Pemanfaatan bahan hukum sekunder ini diharapkan dapat
Penyelesaian sengketa…, Suratmanto, FH UI, 2013
memaksimalkan tujuan penelitian karena data sekunder berfungsi sebagai bahan dalam rangka pencapaian ilmu pengetahuan, dalam hal ini ilmu pengetahuan hukum, khususnya yang terkait dengan akad mudharabah dalam suatu lembaga keuangan. Bentuk penelitian pada penelitian yang berjudul “Pelaksanaan Akad Mudharabahdan Penyelesaian Sengketa Jika Terjadi Wanprestasi: Sebuah Studi Kasus dalam Sudut Pandang Hukum Islam (Analisis Putusan No.0463/Pdt.G/2011/PA.Btl)” adalah penelitian yuridis normatif, atau yang lebih dikenal sebagai penelitian hukum kepustakaan.Penelitian yuridisnormatif mengacu kepada norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, serta norma-norma yang berlaku dan mengikat masyarakat, atau yang menyangkut kebiasaan yang ada dalam masyarakat. Dalam penelitian ini, penulis melakukan penelitian dengan menggunakan norma hukum tertulis seperti undang-undang dan bahan pustaka lainnya. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan data seteliti mungkin, terutama untuk mempertegas hipotesa-hipotesa, agar nantinya dapat membantu dalam memperkuat teori-teori lama dan atau dalam rangka menyusun teori-teori baru. Dalam hal ini peneliti akan mengeksplorasi seteliti mungkin dalam mendeskripsikan “Pelaksanaan Akad Mudharabah dan Penyelesaian Sengketa Jika Terjadi Wanprestasi: Sebuah Studi Kasus dalam Sudut Pandang Hukum Islam(AnalisisPutusan No. 0463/Pdt.G/2011/PA.Btl dan Putusan No. 63/Pdt.G/2011/PTA.Yk )” Metode analisis data dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dimana data yang ada dianalisis berdasarkan kualitas data dalam rangka memperoleh gambaran permasalahan secara mendalam dan komprehensif. Sedangkan tipe penelitian ini dapat dilihat dari beberapa segi, yaitu (1) dari segi sifat, penelitian yang penulis lakukan bersifat eksplanatoris (menjelaskan) karena penulisan artikel ini bertujuan untuk menggambarkan atau menjelaskan lebih dalam suatu gejala tertentu. Penelitian ini bersifat mempertegas hipotesa yang ada, (2) dari segi bentuk, penelitian yang penulis lakukan merupakan penelitian evaluatif, karena penulis akan memaparkan serta memberikan penilaian atas kegiatan atau program yang telah dilaksanakan, (3) dari segi tujuan, penelitian yang penulis lakukan merupakan penelitian problem finding karena tujuan penelitian ini adalah untuk menemukan permasalahan sebagai akibat dari suatu kegiatan, (4) Dari segi disiplin ilmu yang digunakan, penelitian ini merupakan penelitian monodisiplinerkarena penelitian ini didasarkan pada beberapa disiplin ilmu. Penelitian ini berbentuk deskriptif karenahasil penelitiannya berupa penjelasan mengenai“Pelaksanaan Akad Mudharabah dan Penyelesaian Sengketa Jika Terjadi
Penyelesaian sengketa…, Suratmanto, FH UI, 2013
Wanprestasi: Sebuah Studi Kasus dalam Sudut Pandang Hukum Islam(Analisis Putusan No. 0463/Pdt.G/2011/PA.Btl dan Putusan No. 63/Pdt.G/2011/PTA.Yk )” HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengertian Akad Akad adalah ikatan antaraijab dan qabul yangdiselenggarakan menurut ketentuan syariah dimana terjadikonsekuensi hukumatas sesuatu yang karenanya akad diselenggarakan (Basri, 2000). Ijabadalah ungkapan atau ucapan atau sesuatu yang bermakna demikian yang datang dariorang yang memiliki barang. Qabul adalah ungkapan atau ucapan atau sesuatu yang bermakna demikian yang datang dari orang yang kepadanya kepemilikan barang tersebut akan dipindahkan (Basyir, 2000). Jika transaksi itu jual beli, maka ucapan si penjual kepada pembeli yang berbunyi “Saya jual pensil inikepada anda” merupakan ijab sekalipun hal itu diucapkan belakangan. Dalam transaksi jual beli disini, qabuladalah ucapan si pembeli kepada penjual:“Saya beli pensil ini” sekalipun ucapan itu dikeluarkan di depan. Jika ijab dan qabulini sudah diikat satu sama lain sementara keduanya diucapkan oleh orang yang sehat akalnya maka akan terjadi perubahan status hukum atas barang yang diselenggarakan akadnya, dalam hal ini pensil tersebut. Perubahan status hukum disini ditandai dengan adanya perpindahan kepemilikan. Sebelum akad, pensil tersebut milik si penjual. Setelah akad, status kepemilikannya berpindah kepada si pembeli yang telah membayar sejumlah uang sebagai harga dari pensil itu. Ijab dan qabul ini sangat penting karena menjadi indikator kerelaan mereka yang melakukan akad. Dalam fiqih muamalah, ijab dan qabul ini merupakan komponen dari sighotul aqd, yaitu ekspresi dari dua pihak yang menyelenggarakan akad atauaaqidan (pemilik barang dan orang yang akan dipindahkan kepemilikan barang kepadanya) yang mencerminkan
kerelaan
hatinya
untuk
memindahkan
kepemilikan
dan menerima kepemilikan. Dari penjelasan di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa dalam setiap akad, sighotul akad harus selalu diekspresikan karena merupakan indikator kerelaan dari aaqidan. Undang-Undang No.21 tahun 2008 menyebutkan tentang definisi akad sebagai berikut:“Akad adalah kesepakatan tertulis antara Bank Syariah atau UUS dan pihak lain yang memuat adanya hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai dengan prinsip syariah.”
Penyelesaian sengketa…, Suratmanto, FH UI, 2013
B. Pengertian Mudharabah Menurut Adiwarman Karim (2004), mudharabah merupakan produk perbankan syariah yang populer atau banyak dikenal. Disebutkan pula bahwa pengertian mudharabah adalah “bentuk kerjasama antara dua pihak atau lebih pihak di mana pemilik modal (shahib al-maal) mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola (mudharib) dengan suatu perjanjian pembagian keuntungan” (Karim, 2004). Isretno (2011) memberikan pengertian: “Mudharabah, usaha yang berisiko tinggi (risky business) adalah akad kerjasama usaha antara pihak pemilik dana (shahibul maal) dengan pihak pengelola dana (mudharib) dimana keuntungan dibagi sesuai nisbah yang disepakati, sedang kerugian ditanggung pemilik dana (modal). Istilah lain dari mudharabah adalah muqarabah dan qiradh.”
Istilah bagi hasil (mudharabah) juga sering diidentikkan dengan istilah profit sharing. Profit sharing dalam kamus ekonomi diterjemahkan sebagai pembagian laba, yang artinya adalah distribusi beberapa bagian dari laba para pegawai dari suatu perusahaan (Isretno, 2011). Selain itu ada juga yang menyebut istilah bagi hasil dengan istilah profit and loss sharing (PLS). Dalam kaitannya dengan perbankan syariah, teori ini menyatakan bahwa bank Islam akan memberikan sumber pembiayaan (finansial) yang luas kepada peminjam (debitur) berdasarkan atas bagi resiko (baik menyangkut keuntungan maupun kerugian) yang berbeda dengan pembiayaan (finansial) sistem bunga pada dunia perbankan konvensional yang resikonya ditanggung oleh pihak peminjam (Saeed, 2004). C. Pengertian Wanprestasi Subekti, dalam bukunya Hukum Perjanjian menyebutkan bahwa wanprestasi adalah suatu keadaan dimana si berutang (debitur) tidak melakukan apa yang dijanjikannya. Perkataan wanprestasi sendiri berasal dari bahasa Belanda, yang berarti prestasi buruk. Wanprestasi yang merupakan kelalaian atau kealpaan seseorang dapat berupa empat macam, yaitu (a) tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya, (b) melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan, (c) melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat, dan (d) melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan. Berbicara mengenai wanprestasi tentu tidak terlepas dari perikatan dan perjanjian yang menjadi dasar penentu ada atau tidaknya wanprestasi. Berkaitan dengan wujud isi atau prestasi perikatan, terdapat pengelompokkan perikatan sebagai berikut (1) kewajiban untuk memberikan sesuatu, (2) kewajiban untuk melakukan atau berbuat sesuatu, dan (3) kewajiban untuk tidak melakukan sesuatu (Satrio, 1993).
Penyelesaian sengketa…, Suratmanto, FH UI, 2013
Berdasarkan Pasal 1338 KUH Perdata, semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Berkaitan dengan hal ini, tiap pihak yang terkait dalam suatu perjanjian tersebut haruslah beritikad baik. Dengan terjadinya wanprestasi maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat unsur itikad baik yang diupayakan para pihak. D. Akibat Wanprestasi Dalam hal debitur tidak memenuhi kewajibannya atau tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana mestinya dan tidak dipenuhinya kewajiban itu karena ada unsur salah padanya, maka ada akibat hukum yang bisa menimpa dirinya. Akibat hukum tersebut antara lain adalah (a) sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1236 dan 1243 KUH Perdata, dalam hal debitur lalai untuk memenuhi kewajiban perikatannya, kreditur berhak untuk menuntut penggantian kerugian yang berupa ongkos-ongkos, kerugian dan bunga. Akibat hukum seperti ini menimpa debitur baik dalam perikatan untuk memberikan sesuatu, untuk melakukan sesuatu ataupun untuk tidak melakukan sesuatu; (b) Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1237 KUHPerdata, bahwa apabila debitur lalai, maka risiko atas objek perikatan menjadi tanggungan debitur; (c) sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1266 KUHPerdata, bahwa jika perjanjiannya berupa perjanjian timbal balik maka kreditur berhak menuntut pembatalan perjanjian dangan atau tanpa disertai dengan tuntutan ganti rugi; (d) debitur diharuskan membayar ganti rugi yang telah diderita oleh kreditur (Pasal 1243 KUH Perdata); dan (e) Debitur diwajibkan membayar biaya perkara di pengadilan apabila perkarawanprestasinya itu sampai kepada pengadilan (Pasal 181 HIR). Namun demikian, semua akibat wanprestasi di atas tidak mengurangi hak dari pihak kreditur untuk tetap menuntut pemenuhan atas kewajiban pihak debitur atau pihak yang melakukan wanprestasi. Dari sini dapat disimpulkan bahwa debitur bisa saja menuntut pemenuhan kewajiban yang belum terlaksana sekaligus menuntut pemenuhan hal-hal di atas sesuai dengan ketentuan dalam KUH Perdata. E. Pengaturan Force MajeureKontrak Jual-Beli dalam KUH Perdata Pasal 1460 KUH Perdata mengatur tentang risiko sebagai akibat dari force majeure untuk kontrak jual beli. Dalam Pasal 1460, walaupun benda tersebut belum diserahkan atau belum masanya diserahkan, risiko beralih kepada pihak pembeli setelah kontrak jual beli tersebutditandatangani. Hal ini merupakan ketentuan yang kurang tepat karena pengalihan risiko akibat dari force majeure tersebut seharusnya terjadi sejak saat penyerahan dilakukan. Suatu kontrak hanya bersifat obligator saja di dalam KUH Perdata. Ini berarti bahwa setelah kontrak dilakukan, kontrak tersebut masih memerlukan tindakan hukum lainnya yang hanya
Penyelesaian sengketa…, Suratmanto, FH UI, 2013
dapat dilakukan setelah kontrak jual-beli dilakukan. Seharusnya risiko baru beralih sejak saat penyerahan benda tersebut dilakukan, bukan pada saat kontrak jual-beli dilakukan. Oleh karena Pasal 1460 KUH Perdata ini berada di luar sistem dan dirasakan sangat tidak adil bagi pihak pembeli, maka Mahkamah Agung Republik Indonesia melalui Surat Edaran No. 3 Tahun 1963 meminta agar para hakim tidak memberlakukan Pasal 1460 tersebut. Disamping itu, pengaturan risiko sebagai akibat dari force majeure dalam Pasal 1460 tersebut tidak dapat dipakai sebagai pedoman untuk mengartikan risiko dalam hukum kontrak secara umum karena hal tersebut. F. Syarat-Syarat Force Majeure dalam KUH Perdata Dari seluruh pasal-pasal dalam KUH Perdata yang mengatur tentang force majeure, dapat ditarik kesimpulan bahwa syarat-syarat dari suatu force majeure adalah sebagai berikut: a. Peristiwa yang menyebabkan terjadinya force majeure tersebut haruslah “tidak terduga” oleh para pihak (vide Pasal 1244 KUH Perdata), b. peristiwa tersebut tidak dapat dimintakan pertanggungjawabannya kepada debitur selaku pihak yang harus melaksanakan prestasi tersebut (vide Pasal 1244 KUH Perdata), c. peristiwa yang menyebabkan terjadinya force majeure tersebut berada diluar kesalahan pihak debitur (vide Pasal 1545 KUH Perdata), d. peristiwa yang menyebabkan terjadinya force majeure tersebut bukan kejadian yang disengaja oleh debitur. Ini merupakan perumusan yang kurang tepat. Semestinya tindakan tersebut berada “diluar kesalahan” para pihak (lihat Pasal 1545 KUH Perdata), bukan “tidak disengaja”. Kesalahan para pihak baik yang dilakukan dengan sengaja maupun yang tidak disengaja disebut sebagi “kelalaian” (negligence). e. Para pihak tidak dalam keadaan beritikad buruk (vide Pasal 1244 KUH Perdata). f. Jika terjadi force majeure, maka kontrak tersebut menjadi gugur, dan sedapat mungkin para pihak dikembalikan kepada keadaan dimana kontrak seolah-olah tidak pernah dilakukan (vide Pasal 1545 KUH Perdata). g. Jika terjadi force majeure, maka para pihak tidak boleh menuntut ganti rugi(vide Pasal 1244 juncto Pasal 1533 ayat (2) KUH Perdata). h. Risiko sebagai akibat dari force majeure, beralih dari pihak kreditur kepada pihak debitur sejak saat seharusnya barang tersebut diserahkan (vide Pasal 1545 KUH Perdata). Pasal 1460 KUH Perdata mengatur hal ini secara tidak tepat (di luar sistem). G. TINJAUAN UMUM BAITUL MAAL WA TAMWIL (BMT)
Penyelesaian sengketa…, Suratmanto, FH UI, 2013
BMT singkatan dari Baitul Maal wa Tamwil. BMT terdiri dari dua istilah yaitu baitul māl dan baitul tamwil. Apabila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti rumah uang dan rumah pembiayaan. Baitul maal lebih mengarah pada usaha-usaha pengumpulan dan penyaluran dana yang non profit, seperti zakat, infaq, dan shodaqoh serta menjalankan sesuai dengan peraturan dan amanahnya.Sedangkan Baitul Maal wa Tamwil sebagai usaha pengumpulan dan penyaluran dana komersial. Menurut Makhalul ‘Ilmi, secara istilah pengertian baitul maal adalah lembaga keuangan berorientasi sosial keagamaan yang kegiatan utamanya menampung serta menyalurkan harta masyarakat berupa zakat, infak, shodaqoh (ZIS) berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan Al Qur’an dan sunnah Rasul Nya, dan pengertian dari Baitul Maal wa Tamwil adalah lembaga keuangan yang kegiatannya menghimpun dana masyarakat dalam bentuk tabungan (simpanan) maupun deposito dan menyalurkan kembali ke masyarakat dalam bentuk pembiayaan berdasarkan prinsip syariah melalui mekanisme yang lazim dalam dunia perbankan. Sedangkan menurut Muhammad, pengertian baitul maal adalah suatu badan yang bertugas mengumpulkan, mengelola serta menyalurkan zakat, infak, dan shodaqoh yang bersifatsocial oriented, dan baitut tamwil adalah suatu lembaga yang bertugas menghimpun, mengelola serta menyalurkan dana untuk suatu tujuan profit oriented (keuntungan) dengan bagi hasil (qiradh/mudharabah, syirkah/musyarakah), jual beli (bai’u bitsaman ajil/angsur, murabahah/tunda) maupun sewa (al-al-ijarah). Dengan demikian BMT sesungguhnya merupakan lembaga yang bersifat sosial keagamaan sekaligus komersial. BMT menjalankan tugas sosialnya dengan cara menghimpun dan membagikan dana masyarakat dalam bentuk zakat, infaq, dan shodaqoh (ZIS) tanpa mengambil keuntungan. Disisi lain ia mencari dan memperoleh keuntungan melalui kegiatan kemitraan dengan nasabah baik dalam bentuk penghimpunan, pembiayaan, maupun layananlayanan pelengkapnya sebagai suatu lembaga keuangan Islam. Dilihat dari bangunan suatu kelompok, maka BMT tidak berbeda dari ormas Islam lainnya kecuali pada bidang geraknya secara ekonomis dan bisnis keuangan. Mulai dari tujuan, asas dan landasan, visi dan misi BMT, semuanya terlihat sebagai organisasi keuangan orang Islam pada umumnya. Visi BMT adalah semakin meningkatnya kualitas ibadah anggota BMT sehingga mampu berperan
sebagai wakil pengabdi Allah memakmurkan
kehidupan anggota pada khususnya dan umat manusia pada umumnya. Misi BMT adalah membangun dan mengembangkan tatanan perekonomian dan struktur masyarakat madani yang adil dan makmur berlandaskan syariah dan ridho Allah SWT. Disini BMT menempati
Penyelesaian sengketa…, Suratmanto, FH UI, 2013
fungsi lembaga usaha ekonomi kerakyatan yang dapat dan mampu melayani nasabah usaha mikro dan kecil-bawah. Pada awal konsepnya, BMT mempertegas ciri utamanya sebagai lembaga yang berorientasi bisnis dan bukan lembaga sosial. Akan tetapi ia bergerak juga untuk penyaluran dan penggunaan zakat, infaq, dan sadaqoh; ditumbuhkan dari bawah berlandaskan peran serta masyarakat disekitarnya, milik bersama masyarakat kecil-bawah dan kecil dari lingkungan BMT itu sendiri, bukan milik seseorang atau orang dari luar masyarakat itu. Ciri khasnya meliputi etos kerja bertindak proaktif (service excellence) dan menjemput bola kepada calon anggota dan anggota; pengajian rutin secara berkala tentang keagamaan dan kemudian tentang bisnis. Secara kelembagaan BMT didampingi atau didukung Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (PINBUK). PINBUK sebagai lembaga primer karena mengemban misi yang lebih luas, yakni menetaskan usaha kecil. Dalam prakteknya PINBUK menetaskan BMT dan pada gilirannya BMT menetaskan usaha kecil. Keberadaan BMT merupakan representasi dari kehidupan masyarakat dimana BMT itu berada, dengan jalan ini BMT mampu mengakomodir kepentingan ekonomi masyarakat. Peran umum BMT yang dilakukan adalah melakukan pembinaan dan pendanaan yang berdasarkan sistem syari’ah. Peran ini menegaskan arti penting prinsip-prinsip syari’ah dalam kehidupan ekonomi masyarakat. Sebagai lembaga keuangan syariah yang bersentuhan langsung dengan kehidupan masyarakat kecil yang serba kekurangan baik di bidang ilmu pengetahuan atau materi, maka BMT mempunyai tugas penting dalam mengemban misi keislaman dalam segala aspek kehidupan masyarakat. H. ANALISIS PUTUSAN TENTANG AKAD MUDHARABAH ANTARA X DAN BMT Y H.1. Rukun dan Syarat Sahnya Akad Mudharabah Dalam sengketa antara X dan BMT Y yang diselesaikan melalui Pengadilan Agama Bantul dengan Putusan Nomor 0463/PDT.G/2011/PA.Bantul, kedudukan para pihak adalah sebagai berikut: Xbertindak sebagai Penggugat dan BMT Y bertindak sebagai Tergugat. Sementara itu, kedudukan para pihak dalam proses penyelesaian sengketa lanjutan di Pengadilan Tinggi (banding)adalah sebagai berikut: X bertindak sebagai Pembanding dan BMT Y bertindak sebagai Terbanding Dalamputusan
hakimpengadilantingkat
pertama
No.0463/Pdt.G/2011/PA.Bantul
dinyatakan bahwa persidangan dimenangkan oleh Tergugat. Hakim menolak gugatan
Penyelesaian sengketa…, Suratmanto, FH UI, 2013
Penggugat dengan pertimbangan bahwa Penggugat tidak dapat menunjukkan bukti tertulis sebagaimana ketentuan yang berlaku dalam Pasal 1 ayat (5) Undang-undang No. 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara, yaitu bahwa suatu perjanjian/akad hendaknya tertulis. Prinsip lain yang paling penting menurut Hukum Islam dalam melakukan akad adalah sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 282-283. Ayat ini mengisyaratkan bahwa akad tersebut harus dilakukan dengan cara kitabah (tertulis) demi menjaga agar akad yang dilakukan benar-benar berada dalam kebaikan bagi semua pihak yang melakukan
akad. Di samping itu juga diperlukan saksi-saksi (syahadah), rahn
(jaminan), serta prinsip tanggung jawab individu. “…kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan…’ (QS. Al Baqarah: 177), “Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya” ( QS Al Mu’minun : 8) Menurut pendapat penulis, pertimbangan hakim yang menyatakan bahwa penggugat tidak dapat memenuhi syarat keabsahan suatu perjanjian/akad sebenarnya tidak tepat, karena X dan BMT Y telah memenuhi rukun dan syarat akad yang terdapat KUH Perdata maupun dalam KHES dan Fatwa DSN MUI. Jika kita merujuk pada KUHPerdata pasal 1320, di situ dijelaskan bahwa syarat sahnya suatu perjanjian atau akad antara lain sebagai berikut: 1. Adanya kesepakatan antara mereka yang mengikatkan dirinya 2. Masing-masing pihak memiliki kecakapan untuk membuat perjanjian 3. Yang disepakati merupakan sesuatu hal yang halal 4. Kesepakatan dilatarbelakangi oleh suatu sebab yang halal Dilihat dari transaksi yang dilakukan para pihak, adanya simpanan/investasi sebesar Rp. 250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah) yang disepakati untuk dikelola oleh Tergugat (mudharib) melalui akad mudharabah mutlaqah dengan nisbah sebesar Rp. 6.375.000,- (enam juta tiga ratus tujuh puluh lima ribu rupiah) setiap bulannya serta fakta bahwa transaksi tersebut telah berjalan selama 4 bulan dari tanggal 10 Mei 2010 sampai September 2010, maka dapat disimpulkan keempat syarat sahnya perjanjiantelah terpenuhi. Sementara itu Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES)/PERMA No. 2 Tahun 2008) menyebutkan bahwa rukun dan syarat akad antara lain pihak-pihak yang berakad, obyek akad, tinjauan pokok akad, dan kesepakatan. Berdasarkan pasal ini, maka rukun dan syarat akad sudah terpenuhi oleh sebab adanya unsur-unsur berikut: pertama, penggugat dan tergugat sebagai pihak-pihak yang melaksanakan akad; kedua, usaha mudharabah sebagai
Penyelesaian sengketa…, Suratmanto, FH UI, 2013
obyek akad, ketiga, tujuan pokok akad yaitumelakukan simpanan untuk menjamin kebutuhan keluarga; keempat, adanya kesepakatan, penggugat menghadirkan saksi yang menyaksikan langsung pengisian formulir oleh Penggugat serta penerbitan sertifikat Koperasi Serba Usaha Syariah oleh Tergugat. Menurut penulis formulir dan sertifikat Koperasi Serba Usaha merupakan bukti tertulis yang bisa dijadikan bukti bahwa akad tersebut telah berlangsung, karena sertifikat Koperasi Serba Usaha tidak akan terbit sebelum terjadinya akad. Realisasi perjanjian/akad telah berjalan selama 4 bulan sejak tanggal 10 Mei 2010 sampai bulan September 2010. Kenyataan bahwa penggugat menerima nisbah bagi hasil sebagai prestasi, ini menunjukkan bahwa perjanjian/akad telah terjadi dan dinyatakan sah. Angka kedua Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) menyebutkan bahwa rukun dan syarat pembiayaan berbunyi: 1. Penyedia dana (shahibul maal) dan pengelola (mudharib) harus cakap hukum, 2. pernyataan ijab-qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad), dengan memperhatikan hal-hal berikut: a. Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menyatakan tujuan kontrak (akad), b. Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat kontrak c. Akad dituangkan secara tertulis mulai korespondensi,atau dengan menggunakan caracara komunikasi modern. Menurut fatwa DSN MUI tersebut, akad tertulis dapat dilakukan melalui korespondensi atau dengan menggunakan cara-cara modern. Dalam asas ini, akad tertulis (kitabah) telah terpenuhi dengan terbitnya Sertifikat Koperasi Serba Usaha Syariah berdasarkan bukti yang diajukan Penggugat. Hal sekaligus juga menunjukan telah berlakunya asas akad seperti yang dimaksud dalam Pasal 21 huruf m Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES). Sementara itu dalam Pasal 51 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) dinyatakan bahwa meskipun bukti akad secara tertulis memang tidak dapat ditunjukkan, maksud terjadinya akad danapa dan telah terealisasi dangan baik selama empat bulandapat digunakan sebagai bukti tersirat. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa meskipun perjanjian/ akad antara kedua pihak tidak bisa terlihat secara utuh, apabila kata sepakat sudah tercapai maka perjanjian tersebut dinilai sah secara hukum. H.2 Ingkar Janji/Wanprestasi dan Force Majeure MenurutSubekti, wanprestasi adalah suatu keadaan dimana si penghutang (debitur) tidak dapat melakukan yang dijanjikannya. Adapun kategori wanprestasi yang merupakan kelalaian/kealpaan dapat berupa empat macam, yaitu:
Penyelesaian sengketa…, Suratmanto, FH UI, 2013
1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan, 2. melaksanakan apa yang dijanjikannya, akan tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan, 3. melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat, 4. melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan. Berkaitan dengan wujud isi atau prestasi perikatan, terdapat penyelenggaraan perikatan sebagai berikut: 1. Kewajiban untuk memberikan sesuatu, 2. kewajiban untuk melakukan atau berbuat sesuatu, dan 3. kewajiban untuk tidak melakukan sesuatu Sedangkan KUHPerdata menjelaskan perihal wanprestasi dalam pasal 1338 yang isinya “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dengan terjadinya wanprestasi maka dapat disimpulkan baahwa tidak terdapat unsur iktikad baik yang diupayakan oleh para pihak. Berdasarkan penyelesaian perkara dalam putusan Nomor 0463/Pdt.G/ 2011/PA dan Nomor 63/Pdt. G/2011/PTA.Ykt Tergugat telah melakukan ingkar janji atauwanprestasi karena telah melaksanakan apa yang dijanjikan tetapi tidak sesuai dengan yang telah diperjanjikan. Tergugat dikatakan tidak melaksanakan isi perjanjian secara penuh karena tidak mampu memberikan nisbah bagi hasil secara penuh selama 6 (enam) bulan, melainkan hanya selama 4 (empat) bulan terhitung mulai bulan Juni 2010 sampai September 2010. Sedangkan apabila merujuk pada perjanjian, nisbah harusnya diberikan sampai bulan November 2010. Putusan hakim bahwa tergugat terbanding melakukan wanprestasi tepat, akan tetapi pertimbangan hakim belum berasaskan prinsip keadilan, karena jika melihat fakta yang terjadi, tergugat terbanding tidak ada iktikad buruk serta dalam keadaan terpuruk karena usahanya mengalami kerugian. Tergugat juga mengalami tuntutan perkara pidana, tentunya hal ini sangat membebani tergugat terbanding jika melihat dari sudut pandang keadilan, seharusnya hal ini menjadi bahan pertimbangan majelis hakim untuk memperingan ganti kerugian yang dibebankan yaitu dengan hanya mengembalikan ganti rugi sebesar investasi yang diberikan oleh tergugat tanpa harus menambah dengan nisbah bagi hasil yang diperjanjikan. Sehubungan dengan cidera janji (wanprestasi) ini, angka dua Fatwa DSN MUI menyatakan bahwa nasabah yang tidak atau belum mampu membayar disebabkan oleh forcemajeure tidak boleh dikenakan sanksi.Definisi force majeureatau yang sering disebut sebagai “keadaan memaksa” dalam Pasal 1224 KUHPerdata dikatakan sebagai keadaan dimana seorang debitur terhalang untuk melaksanakan prestasinya karena keadaan atau
Penyelesaian sengketa…, Suratmanto, FH UI, 2013
peristiwa yang tidak terduga pada saat dibuatnya kontrak dimana keadaan atau peristiwa tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada kreditur, sementara si debitur tidak dalam keadaan beriktikad buruk. Dari rumusan-rumusan yang termaktub dalam Pasal KUHPerdata diatas dapat dilihat bahwa kausa force majeure adalah sebagai berikut: 1. Force majeure karena sebab-sebab yang tidak terduga. Menurut pasal 1244, jika terjadi hal-hal yang tidak terduga (pembuktiannya ada di pihak debitur) yang menyebabkan terjadinya kegagalan dalam melaksanakan kontrak, hal tersebut bukan termasuk dalam kategori wanprestasi kontrak, melainkan termasuk dalam kategori force majeure. 2. Force majeure yang subjektif. Sebaliknya, force majeure yang bersifat subjektif terjadi manakala force majeure tersebut terjadi bukan dalam hubungannya dengan obyek (yang merupakan benda) dari kontrak yang bersangkutan, tetapi dalam hubungannya dengan perbuatan atau kemampuan debitur itu sendiri. 3. Force majeure karena masing-masing perbuatan tersebut dilarang. Apabila perbuatan (prestasi) yang harus dilakukan oleh debitur ternyata dilarang oleh undang-undang yang berlaku, maka debitur tersebit tidak terkena kewajiban membayar ganti rugi (Pasal 1245 KUHPerdata). Dari seluruh pasal-pasal KUHPerdata yang mengatur force majeure, dapat ditarik kesimpulan bahwa syarat-syarat dari suatu force majeure adalah sebagai berikut: 1. Peristiwa yang menyebabkan terjadinya force majeure tersebut haruslah “tidak terduga” oleh para pihak (vide Pasal 1244 KUHPerdata) 2. Peristiwa tersebut tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban kepada pihak yangharus melaksanakan prestasi tersebut atas debitur (vide pasal 1244 KUHPerdata). 3. Peristiwa yang menyebabkan terjadinya force majeure tersebut berada diluar kesalahan pihak debitur (vide Pasal 1545 KUHPerdata) 4. Peristiwa yang menyebabkan terjadinya force majeure tersebut bukan kejadian yang disengaja oleh debitur. Ini merupakan perumusan yang kurang tepat karena seharusnya tindakan tersebut “di luar kesalahan” para pihak (lihat Pasal 1545 KUH Perdata), bukan sesuatu yang dilakukan secara “tidak disengaja”. Adapun kesalahan para pihak baik yang dilakukan dengan sengaja ataupun yang tidak disengaja dikategorikan ke dalam bentuk “kelalaian” (negligence). 5. Para pihak tidak dalam keadaan iktikad buruk (vide Pasal 1244 KUHPerdata).
Penyelesaian sengketa…, Suratmanto, FH UI, 2013
6. Jika terjadi force majeure, maka kontrak tersebut menjadi gugur dan sedapat mungkin para pihak dikembalikan ke kondisi dimana kontrak seolah-olah tidak pernah dilakukan (vide Pasal 1545 KUHPerdata). 7. Jika terjadi force majeure, maka para pihak tidak boleh menuntut ganti rugi (Vide Pasal 1244 juncto Pasal 1533 ayat (2) KUHPerdata). 8. Risiko sebagai akibat dari force majeure beralih dari pihak kreditur kepada pihak debitur sejak saat seharusnya barang tersebut diserahkan (vide Pasal 1545 KUHPerdata). Pasal 1460 KUHPerdata mengatur hal ini secara tidak tepat (di luar sistem). Merujuk pada pasal-pasal di atas, tergugat bukan melaksanakan perjanjian karena adanyaforce majeurre. Tergugat tidak dapat melaksanakan perjanjian karena tidak membayar nisbah bagi hasil sesuai perjanjian. Iahanya mampu membayar nisbah bagi hasil sampai bulan keempat, padahal yang diperjanjikan adalah enam bulan. Alasan tergugat tidak dapat memenuhi perjanjian adalah karena mengalami kesulitan finansial. Adapun penyebab kesulitan finansial itu sendiri tidak dijelaskan dalam berkas perkara serta tidak pula disebutkan adanya unsur-unsurforce majeure. KESIMPULAN Pada putusan pengadilan tingkat pertama yaitu putusan No.0463/PDT.G/2011/PA.Btl, Majelis Hakim dinilai kurang mempertimbangkan prinsip keadilan dalam memutuskan perkara karena hanya mengacu pada dasar-dasar hukum yang mengharuskan atau mewajibkan adanya akad tertulis sebagai syarat sah terlaksananya perjanjian mudharabah tanpa merujuk pada ketentuan-ketentuan hukum lain yang menerangkan rukun dan syarat mudharabah secara lebih umum. Akibatnya, alat-alat bukti yang diajukan pihak X menjadu gugur dan fakta bahwa BMT Y melakukan wanprestasi menjadi terabaikan hanya karena transaksinya dianggap tidak sah. Padahal apabila ditelaah lebih jauh, pada dasarnya konsep akad dalam perjanjian antara X dan BMT Y adalah sah karena telah memenuhi persyaratan baik dalam KUH Perdata maupun peraturan perundang-undangan syariah yang berlaku. Menurut KUH Perdata, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320, syarat sahnya suatu perjanjian adalah adanya kata sepakat, adanya unsur cakap hukum antara pihak yang melakukan perjanjian, perjanjian tersebut merupakan suatu hal yang halal yang dilatarbelakangi oleh suatu sebab yang halal. Menurut Hukum Kompilasi Hukum Syariah (KHES)/PERMA No. 2 Tahun 2008, rukun dan syarat suatu akad adalah para pihak yang berakad, objek akad, tujuan pokok akad, dan kesepakatan. Menurut fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia, rukun dan syarat akad mencakupcakap hukumnya
Penyelesaian sengketa…, Suratmanto, FH UI, 2013
penyedia dana (shahibul maal) dan pengelola dana (mudharib), adanya pernyataan akad, adanya penerimaan dari penawaran saat kontrak terjadi, adanya akad tertulis melalui korespondensi atau cara-cara komunikasi modern. Penyelesaian sengketa akad mudharabah terkait perkara wanprestasi yang terjadi antara pihak X dan BMT Y pada putusan Nomor 63/ Pdt. G/2011/ PTA.Yk.pada tingkat banding sudah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, baik KUH Perdata maupun Hukum Syariat Islam. Akan tetapi, penyelesaian sengketa pada Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama dirasa kurang adil karena hanya membebankan kerugian pada salah satu pihak, dalam hal ini BMT Y selaku mudharib atau pengelola dana. Pihak X selaku shahibul maal seharusnya ikut menanggung sebagian dari kerugian tersebut, sehingga Pengadilan Tinggi Agama seyogyanya pengadilan tidak memenangkan pihak X secara mutlak. DAFTAR PUSTAKA Anwar, Syamsul. Hukum Perjanjian Syari’ah Edisi 1. Jakarta: Rajawali Press, 2007. Basyir,Akhmad Azhar. Asas-asas Hukum Muammalat Edisi Revisi. Yogyakarta:UII Press, 2000. Basri, Ikhwan Abidin.Teori Akad dalam Muammalah. Artikel. 2000. Departemen Pendidikan Nasional.Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2002. Djamil,Fathurrahman . Hukum Perjanjian Syariah, dalam Kompilasi Hukum Perikatan. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001. Fuady, Munir.Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis). Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,2003. Isretno, Musthafa Ahmad Evita.Pembiayaan Mudharabah dalam Sistem Perbankan Syariah. Jakarta: Cintya Press, 2011. Karim, Adiwarman. Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan Edisi 2. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004. Mughits, Abdul. Kompilasi Hukum ekonomi Syari’ah. Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2009. Muhammad.Manajemen Bank Syariah. Yogyakarta:UPP AMP YKPN, 2005. Saeed, Abdullah.Bank Islam dan Bunga. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2004. Muhammad, Abdulkadir.Pengantar Hukum Perusahaan Indonesia. Bandung: PT Citra Bakti, 1993.
Penyelesaian sengketa…, Suratmanto, FH UI, 2013
Munawar, Said Agil Husen.“Pelaksanaan Arbitrase di Dunia Islam” dalam buku Arbitrase Islam di Indonesia. Jakarta: Badan Arbitrase Muamalat Indonesia bekerjasama dengan Bank Muamalat, 1994. . Pasaribu, Chairuman dan Suhrawadi K. Lubis.Hukum Perjanjian dalam Islam. Jakarta: PT Sinar Grafika. 1994. Purwasutjipto, M.N.Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia Buku Kedelapan: Perwasitan, Kepailitan, dan Penundaan Pembayaran. Jakarta: PT Djambatan, 1992. Sabiq, Sayyid.Fiqih Sunah. Bandung: PT Al Ma’arif, 1988. Satrio, J.Hukum Perikatan: Perikatan Pada Umumnya. Bandung: Alumni, 1993. Shawi, Shalah dan Abdullah al Muslih.Fikih Ekonomi Keuangan Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada: 2008. Wirdyaningsih et al. Bank dan Asuransi Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media, 2007. Zarqa,Musthafa Ahmad. Al-Fiqh al-Islami fi Tsaubuhi Al-Jadid; Al-madkhal Al-Fiqh Al‘Aam. Beirut: Dar al-Fikr, 1967-1968. Zuhaili,Wahbah.Al-Fiqh Al-Islam Wa adillatuhu. Beirut: Daar al-Fikr.
Penyelesaian sengketa…, Suratmanto, FH UI, 2013
Penyelesaian sengketa…, Suratmanto, FH UI, 2013