NIKAH ADAT (NOBAT) MASYARAKAT BAYAN LOMBOK PERSPEKTIF SOSIOLOGI HUKUM ISLAM LALU SYUKRI Alumni Pascasarjana IAIN Mataram
Abstrak Perikahan dalam pandangan semua agama, lebih khususnya Islam merupakan suatu prosesi ritual yang amat sakral. Tulisan ini bertujuan untuk mengungkapkan tradisi prosesi nikah adat (nobat) masyarakat Bayan, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat. Nobat pada masyarakat Sasak penganut paham Wetu Telu memiliki ciri khas dan keunikan yang pada umumnya sudah jarang ditemukan di tempat lain di daerah Lombok. Kekhasannya terdapat pada adanya penggunaan syahadat daya, dan saji krama (aturan) yang khas. Dan unik karena adanya penyatuan pesan ilahi dan adat setempat yang merupakan hasil akulturasi budaya Hindu dan Islam. Kata kunci: nobat, nikah adat, Bayan Lombok, Wetu Telu. Abstract Marriage in the perspective of all religions, especially Islam, is a sacred covenant. This article aims to examine the traditional marriage ritual of nobat amongst Bayan society in North Lombok. This traditional marriage is still well preserved by Wetu Telu local Muslim community. It has very unique elements which are hardly found in other places in Lombok. The unique procession deals with the pronouncement of shahadat daya (declaration of faith) dan saji karma (rules). These are the integration of the Islamic divine message and local culture as a result of Hindu-Islam cultural acculturation. Keywords: Nobat, customary marriage, Bayan Lombok, Wetu Telu
Schemata, Volume 3, Nomor 2, Desember 2014 | 201
Lalu Syukri, Nikah Adat …
Pendahuluan Indonesia adalah negara kepulauan yang terletak pada garis katulistiwa, diantara samudera lautan teduh dan samudera Indonesia. Penduduk yang berdiam dan berasal dari pulau-pulau yang beraneka ragam adat budaya dan hukum adatnya. Namun demikian walaupun disana sini berbeda tetapi dikarenakan rumpun asalnya adalah satu yaitu bangsa melayu purba, maka walaupun berbeda-beda masih dapat ditarik persamaan dalam hal-hal yang pokok. Hampir disemua lingkungan masyarakat adat, menempatkan masalah perkawinan sebagai urusan keluarga dan mayarakat, perkawinan tidaklah semata-mata urusan pribadi yang melakukannya. Adat istiadat perkawinan suatu daerah, selain memuat aturan-aturan dengan siapa seseorang boleh melakukan perkawinan, berisi tata cara dan tahapan yang harus dilalui oleh pasangan pengantin dan pihak-pihak yang terlibat didalamnya sehingga perkawinan ini dapat pengabsahan dari masyarakat, tata cara rangkaian adat perkawinan itu terangkat dalam suatu rentetan kegiatan upacara perkawinan. Upacara itu sendiri diartikan sebagai tingkah laku resmi yang dibukukan untuk peristiwa-peristiwa yang tidak ditujukan pada kegiatan teknis sehari-hari, akan tetapi mempunyai kaitan dengan kepercayaan diluar kekuasaan manusia. oleh karena itu dalam setiap upacara perkawinan kedua mempelai ditampilkan secara istimewa, dilengkapi tata rias wajah, tata rias sanggul, serta tata rias busana yang lengkap dengan berbagai adat istiadat sebelum perkawinan dan sesudahnya. Kehidupan menusia tidak lepas dari norma-norma yang berlaku di lingkungannya, baik lingkungan masyarakat, negara, maupun agama. Tujuan dari norma-norma itu adalah untuk mensejahterakan dan mendamaikan semua yang ada dilingkungan tersebut. Secara umum kesemuanya mempunyai tujuan yang sama, namun pendekatan yang digunakan bisa berbeda. Oleh karena itu harus ada upaya sinkronisasi agar tujuan tersebut terwujud. Nikah adat yang dilakukan oleh masyarakat Bayan Wetu Telu adalah merupakan suatu prosesi pelaksanaan Nikah Adat lebih disebabkan oleh pengaruh akulturasi budaya dan transformasi sosial (Social Transformation), yang telah terjadi di tengahtengah masyarakat Sasak penganut Wetu telu yang ada di Bayan Lombok Utara NTB yang mereka kenal dengan istilah Nobat (Nikah Adat). Apabila tidak dilaksanakan akan mendapatkan sanksi berupa tidak boleh mendekati rumah Ampu yang telah ditetapkan dalam aturan-aturan yang sudah disepakati oleh komunitas masyarakat Wetu Telu yang terwakili oleh pranata adat yang ada, selanjutnya peraturan tersebut dinamai awik-awik. Keberadaan Awik-awik yang berisi aturan –aturan dan sanksi atau hukuman itu sebenarnya adalah Hukum Adat yang dimilki olah masyarakat Wetu Telu Bayan yang
202 | Schemata, Volume 3, Nomor 2, Desember 2014
Lalu Syukri, Nikah Adat …
harus diataati dan diikuti, walaupun pada akhirnya menimbulkan beban secara finansial bagi yang melaksanakan, dan menanggung beban moral bagi masyarakat yang belum melaksanakannya. Adat istiadat dan hukum adat itu tumbuh, dianut dan dipertahankan sebagai peraturan untuk menjaga ketertiban hukum di antara manusia yang berintraksi dalam suatu masyarakat, sehingga dapat dihindarkan segala bencana dan bahaya yang mungkin dan telah mengancam. Ketertiban yang ingin dipertahankan melalui hukum adat itu bersifat batiniah maupun jasmaniah, kelihatan dan tidak kelihatan, tetapi diyakinin sejak kecil sampai dewasa, atau bahkan berkalang tanah. Beberapa hal yang cukup unik pada saat proses nikah adat ini adalah: Syahadat yang diucapkan ketika ijab kabul adalah shahadat daya yaitu syahadat Wetu Telu yang berbahasa Jawa, Wali nikahnya (Wali Adat) adalah saudara dari pihak pengantin perempuan bukan orang tuanya. Namun perlu peneliti sampaikan disini bahwa term ini tidak saya lakukan penelitian dengan pendekatan syariat (Yuridis Formal) karena hanya lewat pendekatan sosiologis saja untuk mengetahui makna apa yang terkadung pada prosesi perwalian pada nikah adat tersebut, karena jelas-jelas sebelum pelaksanaan Nikah Adat diadakan, masyarakat Wetu Telu Bayan harus terlebih dahulu melaksanakan nikah secara syar‘i dan melaporkan ke Kantor Urusan Agama (KUA) lewat Petugas Pembantu Pencatat Nikah (P3N). Pada saat pelaksanaan nikah shar‟i memakai syahadat yang diyakini oleh umat Islam pada umumnya, tentang hal ini sesuai dengan apa yang dikomentari HM, Zaki dalam tulisannya : Islam Wetu Telu mengakui dua kalimat syahadat sebagai rukun Islam yang pertama. Dua kalimat syahadat tersebut sama dengan yang diyakini oleh umat Islam pada umumnya yaitu syahadat tauhid yang merupakan pengakuan terhadap eksistensi Nabi Muhammad sebagai utusan Allah1 Selain itu, kajian ini penting karena masih minimnya usaha para ahli hukum Islam untuk membuat kategori-kategori analisis-sosiologis, bermanfaat untuk menjelaskan suatu fenomena di mana Islam (hukum Islam) bersinggungan langsung dengan adat dan budaya lokal. Pada pelaksanaan nikah adat Wetu Telu, setiap dari tahapan pelaksanaan ritual memiliki makna sosiologis, mulai dari pra pelaksanaannya yang harus dilakukan dengan mempersiapkan empat buah kelapa yang harus dipetik dari pohonnya tanpa harus dijatuhkan ketanah, kemudian pada nikah adat berlangsung kelapa tersebut dilemparkan dari atas berugak (tempat duduk) pengantin untuk diperebutkan kepada masyarakat yang menyaksikan pelaksanaan perkawinan tersebut. Begitupula makna 1HM. Zaki, ―Islam Wetu Telu Dalam Perspektif Historis‖ dalam Jurnal Ulumuna, STAIN Mataram, Vol. 3. 2000, 51.
Schemata, Volume 3, Nomor 2, Desember 2014 | 203
Lalu Syukri, Nikah Adat …
sosiologis yang terkandung pada sanksi-sanksi yang diperlakukan ketika dianggap ada pelanggaran adat. Metode Penelitian Penelitian ini berusaha mengelaborasi ranah obyeknya dengan jenis penelitian lapangan (field research) dan didukung oleh studi kepustakaan. Data-data lapangan diperoleh dari subyek penelitian atau informan langsung, yaitu para pelaku yang melakukan perkawinan di masyarakat Sasak Wetu Telu, wali atau orang tua perempuan, kemudian informan lain termasuk tokoh-tokoh adat dan agama, instansi pemerintah seperti Kantor Urusan Agama (KUA). Keseluruhan sample yang menjadi sumber data diambil dengan menggunakan teknik perposive sampling dan Snawball Sampling. Adapun sumber data pustaka diperoleh dari literatur-literatur baik yang berbentuk benda-benda yang diteliti keadaan dan gerak perubahannnya, dokumen, naskah, manuskrif, buku, majalah, surat kabar, benda-benda besejarah dan jurnal yang mempunyai keterkaitan langsung dengan fokus kajian penelitian ini. Sekilas tentang Bayan, Lombok Utara Masyarakat Lombok sangat beragam dari segi etnik, maka hal tersebut juga berimbas pada beragamnya bahasa, kebudayaan dan agama yang dianut. Dari segi bahasa, tentu mereka berbicara dengan 'bahasa ibu' yang mereka miliki masingmasing, meskipun pada dasarnya bahasa Sasak juga dipandang sebagai bahasa umum yang sering mereka pakai ketika berkomunikasi dengan masyarakat sekitar. Etnis Sasak, Samawa (Sumbawa), Arab dan Bugis mayoritas beragama Islam. Orang-orang Cina pada umumnya beragama Kristen, sedang orang Bali hampir semuanya beragama Hindu.2 Sedangkan untuk di Bayan, mayoritas masyarakatnya adalah suku asli Sasak dan menganut agama Islam. Nama Bayan menunjuk pada nama desa sekaligus nama kecamatan yakni Desa Bayan dan Kecamatan Bayan. Konon nama Bayan diberikan oleh wali yang menyebarkan agama Islam pertama kali di wilayah tersebut. Tujuan pemberian nama tersebut adalah agar nantinya Bayan bisa menjadi penyinar atau penerang bagi daerah lain di Lombok.3 Sedangkan wilayah lain disebut sebagai tabi'in (pengikut). Namun karena masyarakat Bayan tidak fasih menyebut kata tabi'in, akhirnya yang biasa terdengar adalah kata teben untuk menyebut wilayah di luar Bayan.
2Erni
Budiwanti, Islam Sasak…...,7. Bayan berasal dari kata bahasa Arab yang dapat diartikan sebagai penerang atau penjelas. Wawancara dengan R. Gedarip (pemangku adat) di Bayan, tanggal 4 Mei 2012 3Kata
204 | Schemata, Volume 3, Nomor 2, Desember 2014
Lalu Syukri, Nikah Adat …
Kecamatan Bayan memiliki luas wilayah sekitar 356,75 km persegi dengan jumlah penduduk 45.707 jiwa (laki-laki: 22.750. perempuan: 22.954). Kecamatan Bayan terdiri dari sembilan desa yakni: Sambik Elen, Loloan, Bayan, Senaru, Anyar, Sukadana, Akar-akar, Mumbul Sari, dan Karang Bajo.4 Kota administratif kecamatan Bayan berpusat di desa Anyar. Desa Bayan leteknya lima kilo meter jauhnya dari pantai, di lereng pegunungan Rinjani, dengan ketinggian 200 meter dari permukaan laut tempat inilah merupakan pusat kedudukan dari raja-raja Bayan semenjak zaman dulu. Disini pulalah masih senantiasa terdengar denyutan jantung kebudayaan kuno, suatu kebudayaan yang berada jauh di luar dinamika hidup yang menjelma di berbagai tempat lain di pulau Lombok. Kebudayaan yang kuno lagi tradisioal ini tetap bertahan dan memberikan warna corak yang khas dan tertentu kepada agama Islam. Kekhasan corak yang diberikannya kepada agama Islam tersebut berakibat, bahwa orang secara tidak tepat sering memandangnya sebagai suatu kulit luar belaka dan bukan sebagai suatu suatu pengolahan di dalam kebudayaan kuno. Bagaimana kuatnya sifat tersebut pada proses nikat adat. Di Desa Bayan sendiri, terdapat sembilan dusun yakni: Bayan Timur, Bayan Barat, Padamangko, mandala, Sembulan, Mt. Baru, Teres Genit, Ds. Tutul, Nangka Rempek.5 Sebelum maupun sesudah pemekaran, baik itu pemekaran dusun menjadi desa dan munculnya dusun-dusun baru, sampai saat ini di antara dusun-dusun tersebut, yang dianggap sebagai pusat Bayan dan oleh semua orang biasa disebut dengan ―Bayan Beleq‖ adalah: Dusun Bayan Timur (Timuq Orong), Bayan Barat (Bat Orong), Karang Salah dan Karang Bajo. Keempat dusun ini dipandang sebagai pusat Bayan karena semua aktifitas politik, sosial keagamaan dan sosial budaya diselenggarakan di empat dusun tersebut. Di samping itu sebagian besar lembagalembaga penting (lembaga adat, lembaga agama, pemerintahan dan pendidikan) seperti masjid kuno Wetu Telu, masjid baru (Masjid al Bayani dan Masjid Babul Mujahidin), Makam leluhur, Kantor Desa, Puskesmas, Sekolah Dasar dan Madrasah, kesemuanya berada di Bayan Beleq. Dilihat dari akar historisnya dari sudut etnografisnya, maka menurut tokoh adat Karang Salah R. Mamiq Gedarif, sangat wajar jika Bayan Beleq dipandang sebagai pusat Bayan, karena dahulu semasa pemerintahan Kedatuan (datu Bayan) sampai Kedistrikan Bayan, pusat pemerintahan selalu di Bayan Beleq. Sehingga dahulu Bayan Beleq sering dipandang sebagai kiblat (induk) dan wilayah lain adalah
4Data 5Data
Monograf Kecamatan Bayan Kabupaten Lombok Barat 2006. Wilayah Desa Bayan (2008)
Schemata, Volume 3, Nomor 2, Desember 2014 | 205
Lalu Syukri, Nikah Adat …
pengikut.6 dan wilayah distrik tersebut meliputi desa Belanting dan desa Obel-Obel di dalam lingkunan distrik Pringgabaya di sebelah Timur kali Pute‘.7 Tradisi Pernikahan Adat Wetu Telu Bayan Persiapan Sebelum Nikah adat dilaksanakan ada hal-hal yeng perlu dipersiapkan dari jauh hari sebelumnya diantaranya: 1) Empat buah kelapa 2) Ulun Dedosan adalah sesuatu yang isinya satu paket (menik serombong, 244 Kepeng susuk, uang ajikrama Adat, Tembasak, Pemangan, beras, daun sirih, pinang dan kapur. 3) Ajikrama adalah suatu penghargaan yang akan dibagikan kepada semua keluarga sane kadang bangsa yang hadir maupun tidak pada saat pengerosan yang berupa uang kepeng bolong (uang yang berlobang di tengah) sekarang ditukar dengan uang rupiah. 4) Kereng Petak adalah dua helai kain putih dengan ukuran 1x5 mter persegi untuk Wali dan Pembekel. 5) Tombak adalah sebuah pedang yang panjang sebanyak 2 buah untuk mengiringi kain putih 6) Wirang adalah seekor kerbau atau sapi yang akan diserahkan oleh pihak mempelai laki-laki untuk disembelih pada waktu acara walimahan atau sukuran. Proses Pelaksanaan Nikah Adat Bayan (Nobat). Sebelum pernikahan adat atau Nobat Wetu Telu Bayan dilaksanakan terlebih dahulu diawali dengan pelaksanaan nikah Lekok Buak yang lazim kita saksikan dan dilaksanakan oleh masyarakat muslim pada umumya dengan mengikuti ketentuanketentuan syariat. Sedangkan pada Nobat Wetu Telu penuh dengan nuansa adat yang merupakan bentuk akurturasi budaya hindu, dan Islam Jawa. Jadi seperti yang dijelaskan pada bagian sebelumnya, setelah selesai proses ―sorong serah‖ dilaksanakan, maka pada hari berikutnya prosesi yang harus dilaksanakan adalah pihak keluarga laki-laki meminta kesedian wali dari pihak perempuan untuk menikahkan kedua mempelai. Prosesi ini biasa mereka sebut dengan "mbait wali". Yang sedikit berbeda dengan praktek muslim di tempat lain, wali dalam pengertian masyarakat muslim Wetu Telu tidak ditujukan secara langsung kepada ayah si mempelai perempuan, namun biasanya yang bertindak sebagai wali 6wawancara 7J.
dengan R. Gedarip di Kediamannya (kampu Karangsalah), tanggal 25 April 2013 Van Baal, Pesta Alif di Bayan, Bhratara Jakarta, 1967, 7.
206 | Schemata, Volume 3, Nomor 2, Desember 2014
Lalu Syukri, Nikah Adat …
dalam pernikahan anak atau keluarga mereka adalah kerabat patrileteral. Dalam hal ini dapat diambil alih oleh saudara laki-laki dari ayah sang mempelai perempuan. Tentu dalam hal ini sebagai legitimasi, si ayah memberikan amanat atau mewakilkan dirinya kepada kerabat tersebut untuk bersedia menikahkan anaknya. Pada hari yang telah ditentukan yakni pada pelaksanaan akad, maka semua komponen pada hari tersebut hadir untuk menyaksikan prosesi akad berdasarkan tata cara Islami. Dalam majlis tersebut, yakni tepatnya di atas berugaq, hadir kedua mempelai, kemudian ayah mempelai wanita dan kerabat patrileteral sebagai wali, dan dua orang saksi yang ditunjuk atau diminta kesediaannya menjadi saksi dalam acara pernikahan tersebut. Di luar "berugak" banyak warga yang ingin melihat secara langsung prosesi akad pernikahan tersebut. Prosesi akad ini diawali dengan mengambil air wudhu yang dilakukan oleh wali yang kemudian diikuti oleh sang mempelai laki-laki, setelah itu mereka duduk bersila dan saling berhadapan. Selanjutnya wali dan mempelai laki-laki saling menyentuhkan ibu jari dan mmpertautkan jemari mereka. Disaksikan oleh tokoh-tokoh terkemuka: kiyai, pemangku, toaq lokaq dan tetamu dari pihak kerabat, wali mengucapkan: kutikah epe R. Niranom dait anakku Denda Astini dengan maskawin seqet ribu rupiah (saya nikahkan kamu R. Niranom dengan anak saya Denda Astini dengan mahar lima puluh ribu rupiah. Kemudian dilanjutkan oleh mempelai laki-laki: ku terima nikah anak epe si Denda Astini dait maskawinnya seqet ribu rupiah dibayar tunai (saya terima nikah anakmu si Denda Astini dengan maskawin lima puluh ribu rupiah dibayar tunai). Rangkaian berikutnya adalah kiai memimpin upacara metobat (ritual pertobatan). Ia membuka tutup rombong dan mengeluarkan 244 uang logam cina dan menyusunnya menjadi lima tumpukan berjumlah sama. Kemudian sang kiai memungut lima puluh keping dan melemparkannya ke berugaq satu persatu di mana tamu undangan duduk bersila. Setelah itu wali memukulkan rotannya ke punggung mempelai laki-laki 44 kali. Pukulan ini melambangkan hukuman yang harus diterima karena telah membawa lari anak gadis orang. Sesudah itu kiai mengucapkan doa penobat dalam bahasa Jawa yang isinya adalah memohon agar Allah SWT mengampuni perbuatan keliru kedua mempelai. Doa pertaobatan yang dibaca bersama – sama dipimpin oleh Kiyai : (Tigfar) Astahafirullah hal alim dibaca 3X Ya Allah, hamba taobat, ing tuhan saka toahe, penggawe Allah, tuhan, hamba li‟ma, maring penggawe, kang kebecikan, antuk, sepaat, andika, rasulillahi, sallallahu, alayhi wassalam.
Ketika sudah selesei memanjatkan do'a, wali meminta (menyilak) kepada kiai untuk memimpin upacara pernikahan. Pada prosesi ini mempelai laki-laki mengucapkan syahadatain dalam bahasa Jawa sebagai pernyataan keimanan dalam
Schemata, Volume 3, Nomor 2, Desember 2014 | 207
Lalu Syukri, Nikah Adat …
Islam yakni mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwasanya Muhammad adalah rasul Allah. Syahadat Daya yang dibaca oleh Kyai kemudian diikuti oleh calon mempelei laki-laki : Bismilla>hirrahma>nirrahi>m. Ashadu ingsun seluruh anak sine sepeken nurane pangeran anging Allah pangeran kang sebenere lansun lanseluruhe satuhni Nabi Muhammad utusan lining Allah. Allahummashalli ala Muhammadin wala ali Muhammad
Hal ini dilakukan dengan saling mempertautkan ibu jari antara mempelai lakilaki dan kiai. Bersamaan dengan Ijab Qabul kelapa diperebutkan kepada semua yang hadir pada saat pernikahan tersebut. Setelah itu kiai membimbing mempelai laki-laki untuk mengucapkan ta‟lik t{alaq,8 dan kewjiban dia sebagai suami terhadap istrinya mulai dari pemberian nafkah dan jika tidak terpenuhi maka sang istri bisa menuntut cerai kepada suaminya. Hal tersebut diucapkan dalam bahasa Jawa yang bunyinya: A‟usubilahi minaseton nirajim, bismillahi, walhamdu lillahi wassalatu wassalam ala rasulillah, sallallahu alaihi uasalam, usikum ibadallah allah wanafsin bitakwallah manira sun anikah ،aken anak kaula ning allah huta‟ala. Le…(nama Penganten Perempuan) kelawan polong sira Lo… (nama pengantin laki-laki). Saking peserah waline datang manira halal anda dene, maskawine setayil sepaha selaka putih saking tetembang desa ing Bayan, tetap utang : Lo.kelawan polong Le…….
Kemudian dijawab oleh memepelai laki-laki Manira terima, saking pakon pakan nira, minongka, rabin manira, Allah anda dane, seri kawin ne, kadi kang kocap, wau puniko, Dadio utang manira, ring lo……. ring dunia, tika rauh, ring akherat..9
Prosesi Ijab Kabul diakhiri dengan pembacaan doa yang masih mempergunakan bahasa jawa. Bacaan Doa yang dipimpin oleh Kyai Modin Allahumma tabarakallahu, allahumma allif bainahuma kama baena alafta baena walmari walasaljih birahmatika ya arhamarrahimin. Samang sanane, manira nambanga, ing rabin manira setahun lawase, rupa ingan naba, ien nora noroni, ien nora ngingoni, ngomahhi, ien nora kekiriman, ien nora ngambahha salah tunggallah, jangkep setahun boya tambaha, gugur talak manira, sepisan, onang tur ketagih, maskawine sepisan.
Pernyataan Shiqat Ta‟liq di atas pada dasarnya menjamin hak mempelai wanita atas suaminya. Mulai saat itu istri dapat menuntut suaminya dengan mengajukan permintaan perceraian tingkat pertama jika si suami tidak menepati kewajibankewajibannya, seperti memberikan uang (nafkah). 8KHI
pasal 1 poin e menyebutkan bahwa "taklik talaq adalah perjanjian yang diucapkancalon mempelai pria setelah akad nikah yang dicantumkan dalam akta nikah berupa janji talak yang digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi pada di masa yang akan datang". Kemudian pasal 46 ayat (2) menyebutkan bahwa: "apabila keadaa yang diisyaratkan dalam taklik talaq betul-betul terjadi kemudian, tidak dengan sendirinya talaq jatuh. 9Ucapan ta'lik talaq tersebut menyebutkan bahwa jika selama satu tahun sang suami tidak memberikan nafkah lahir dan bathin kepada istri, maka gugurlah talaknya. Redaksi taklik talaq ini diperoleh dari Pak. Sapardi (Kyai santri)
208 | Schemata, Volume 3, Nomor 2, Desember 2014
Lalu Syukri, Nikah Adat …
Rangkaian upacara pernikahan seperti metikah buak lekuq kalau dipahami lebih jauh pada dasarnya menggambarkan bahwa formula prosesi tersebut masih dalam bentuk atau produk lama yakni produk adat. Selain terdapat hidangan daun sirih (buak lekuq), instrument lain yang juga harus ada adalah "bakar kemenyan".Tentu kalau melihat praktek tersebut, banyak orang berpikiran bahwa hal tersebut adalah sesuatu yang bukan islami dan cenderung pada kesyirikan. Namun akan lebih bijak kalau praktek dengan segala instrumennya tersebut ditinjau dari aspek tujuan dan sosiologis, sehingga tidak menimbulkan sikap yang anti pati dan pengambilan kesimpulan terlalu dini (premature) untuk memvonis salah terhadap peraktek yang biasa dilakukan oleh masyarakat muslim Watu Telu di Bayan. Membakar kemenyan dalam acara prosesi metikah buak lekuk, seperti yang dijelaskan oleh salah satu kiai di Bayan ditujukan untuk membuat suasana menjadi lebih khidmat dan khusyuk, sehingga ketika sang kiai pada tahap awal mengucapkan dua kalimat syahadat yang kemudian diikuti oleh mempelai lakilaki sebagai sebuah perwujudan dan penegasan diri sebagai seorang muslim, yakni mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, dapat terlaksana dengan khusyu'. Selain itu, bentuknya memang masih produk adat, namun di dalamnya diisi dengan hal-hal yang secara substansial sangat islami, yakni pengucapan dua kalimat syahadat dan penyampaian ta'lik talaq yang disampaikan oleh mempelai Ini penting dan merupakan bagian fundamental sebagai seorang muslim yang benar. Karena ini penting maka pada setiap prosesi akad pernikahan di kalangan masyarakat muslim Sasak Wetu Telu harus diucapkan oleh mempelai laki-laki, untuk itu menurut kiyai harus diupayakan tidak ada kesalahan dalam pengucapan dua kalimat syahadat, maka harus didukung oleh suasana yang penuh khidmat dan tentu harus khusyuk. Maka dapat dimengerti bahwa pembakaran kemenyan tidak lebih sebagai media untuk membuat pikiran menjadi lebih khusyuk, sehingga pelaksanaan prosesi metikah buak lekuk berlansung dengan lancar.10 Penting juga untuk dicatat, bahwa sebagai konsekuensi dari prinsip wetu telu yang dipahami sebagai "tiga eksistensi hukum" yakni bahwa masyarakat Sasak wetu telu mengakui dan melaksanakan tiga kekuatan hukum dalam kehidupan bermasyarakat, beragama dan berbangsa bernegara, yakni (hukum adat, hukum agama dan hukum nasional). Jadi dalam implementasinya terutama dalam konteks pernikahan, terdapat kesadaran hukum yang cukup tinggi di kalangan masyarakat wetu telu untuk ikut mendaftarkan pernikahan mereka di KUA Kecamatan Bayan. Menurut penuturan Kepala KUA Bayan dan beberapa stafnya menyebutkan bahwa 10Penuturan ini disampaikan oleh H. Jalaludin salah seorang budayawan diwawancarai tanggal 28 Pebruari 2013 di Monjok
Schemata, Volume 3, Nomor 2, Desember 2014 | 209
Lalu Syukri, Nikah Adat …
masyarakat Sasak wetu telu mulai menyadari akan pentingnya sebuah pencatatan pernikahan. Hal ini ditunjukkan dengan antusiasme setiap pasangan yang ingin menikah mendaftarkan diri mereka ke kantor Mengapa adat atau tradisi sedemikian penting bagi masyarakat Sasak Wetu Telu Bayan, sehingga kedatangan Islampun tidak serta merta mengikis habis tradisi yang telah mereka miliki jauh sebelumnya. Sepertinya kondisi ini mapan karena selama ini tradisi atau adat seringkali dikaitkan dengan identitas. Setiap komunitas etnik memberikan pembenaran pada adat sebagai sumber identitas khas mereka. Hal yang sama juga ditemukan di Pulau Lombok, misalnya bagaimana relasi adat atau tradisi Sasak dengan Islam atau dalam bahasa yang berbeda bagaimana hubungan antara Sasak adat dan Sasak Islam.? Dalam rentang sejarah kedatangan Islam di Lombok, ketegangan dan konflik antara pengusung tradisi Sasak dengan penganut Islam ortodoks terus berlangsung, timbul tenggelam seiring dengan perjalanannya sampai saat ini. Namun demikian ketegangan yang muncul dalam relasi antara tradisi dan Islam sejauh ini, ternyata dapat dicairkan melalui proses negosiasi yang mengarah pada bentuk akomodasi. Sebagai tradisi tipikal Lombok. Ia melekat pada semua manusia Lombok sebagai sebuah identitas. Kalau misalnya merariq dihilangkan kemudian digantikan dengan konsep khitbah seperti yang ada dalam Islam, maka identitas Lombok tersebut kemudian menjadi hilang. Pada gilirannya yang muncul adalah krisis identitas. Masyarakat Lombok tidak lagi mengenal dan memiliki identitas yang melakat pada diri mereka. untuk itu baju tradisi atau adat adalah sesuatu yang inheren dalam kehidupan masyarakat yang bersangkutan. Bagi kalangan komunitas Wetu Telu Bayan, mereka memiliki konsepsi ideal tentang adat. Mereka mendefinisikan adat sebagai aturan-aturan normative, kode-kode etik dan prilaku yang diterapkan dalam pelbagai aktivitas sosial, cultural dan politik. Di samping itu, adat juga meliputi seluruh preferensi ideal komunitas yang tercermin dalam praktekpraktek kebiasaan mereka yang terus menerus mereka lestarikan. Adat juga mencerminkan solidaritas dan persatuan orang Sasak Wetu Telu dalam memelihara identitas bersama mereka. Seseorang akan dipandang rendah karena 'endik atau endak taowang kon adat"11 Selain itu pengetahuan tentang adat dikontrol oleh pemuka adat dan pemangku atau tetua adat. Di Bayan, terdapat pemangku agung sebagai artinya orang dipandang tidak tahu adat jika perilakunya tidak sejalan dengan normanorma standard dan ketentuan-ketentuan bertingkah laku yang digariskan adat. Dengan demikian tradisi dibutuhkan dan akan selalu bertahan karena menciptakan kesinambungan (equilibrium) dan memberi bentuk pada kehidupan, 11Tidak
tahu adat (tidak beretika)
210 | Schemata, Volume 3, Nomor 2, Desember 2014
Lalu Syukri, Nikah Adat …
serta sering dijadikan sebagai pola bagi tindakannya.penanggung jawab utama kemudian ada tokoh-tokoh adat yang sepanjang waktu juga menajalankan peran sebagai penegak utamanya. Mereka mengontrol dan memberlakukan berbagai pengertian dan konsep relasi serta perilaku menurut peraturan adat yang bersifat vital bagi pemeliharaan dan kekokohan adat. Pada tingkat yang lebih abstrak, pengetahuan tentang adat adalah esoteric dalam arti makna konseptual adat hanya dipahami oleh para pemuka adat. Makna abstrak adat menyediakan penjelasan dan penalaran logis mengapa perbuatan tertentu\ dilaksanakan berdasarkan atau disyaratkan oleh adat. Sebaliknya, dalam tataran praksis pemahaman terhadap fungsi dan makna norma-norma serta tuntunan tingkah laku yang ditentukan oleh adat ditransmisikan kepada individu-individu melalui internalisasi, eksternalisasi dan objektivifikasi dalam lingkungan keluarga, kerabat, tetangga, dan komunitas secara lebih luas. Ritual, upacara, dan pengulangan praktek-praktek itu mempunyai peran sosial yang penting dalam melestarikan tradisi secara efektif. Bagi masyarakat Sasak Wetu Telu yang merupakan komunitas pengusung tradisi, tradisi dan adat istiadat dipahami serta diyakini memiliki nilai-nilai fungsional dalam kehidupan sosial dan untuk kepentingan-kepentingan tertentu, seperti adat sorong serah ajikrama, nyongkolan, ritus-ritus tahap kehidupan individu dari sejak hamil, lahir, hingga kematian, dalam batas-batas tertentu perlu dilestarikan karena secara substansial dianggap tidak bertentangan dengan Islam. Merariq seperti yang sudah banyak dibahas dalam tulisan ini merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari identitas masyarakat Sasak Lombok. Ia dipandang sebagai model khas atau tipikal Sasak yang harus dijaga dan dilestarikan keberaadaannya. Hal ini dibuktikan dengan masih maraknya modelini diperaktekkan di hampir semua lapisan masyarakat Lombok. Meski terdapat upaya untuk mengurangi dan menghilangkan secara perlahan praktek tersebut, namun sampai saat ini ia masih menjadi pilihan paforit bagi muda-mudi Sasak yang bermaksud untuk menikah. Sehingga merariq (pelarian diri) ini dipandang sebaga inti sari praktek adat Sasak. Untuk itu praktek pelarian diri dengan jelas merupakan sarana yang lebih dipilih secara kultural untuk memulai perkawinan. Merariq yang dipahami dalam konteks ini adalah cara atau langkah awal yang ditempuh oleh pasangan yang bermaksud untuk menikah. Cara ini merupakan bentuk keseriusan setiap pasangan yang ingin ditunjukkan kepada keluarga besar dan masyarakat umum. Dengan melarikan diri bersama dan bersembunyi di tempat penyeboan, kemudian khalayak ramai mengetahui melalui desas desus si anu merariq dengan si ini, maka hal itu menandakan bahwa pihak keluarga terutama pihak keluarga laki-laki harus tanggap
Schemata, Volume 3, Nomor 2, Desember 2014 | 211
Lalu Syukri, Nikah Adat …
dan segera menindaklanjuti keinginan anak mereka yang ingin melangsungkan pernikahan. Selanjutnya dilakukan musyawarah atau pembicaraan antar dua keluarga menyangkut hal-hal yang harus dipersiapkan dalam prosesi selanjutnya baik yang terkait dengan tata cara adat maupun tata cara Islam. Di sudut lain, terdapat cara yang biasa digunakan oleh banyak orang di tempat lain dalam prosesi awal sebuah pernikahan yakni lamaran. Lamaran merupakan bentuk penjelmaan keseriusan seorang laki-laki yang ingin menikah. Keinginan untuk menikah itu ditunjukkan dengan membawa keluarga bertandang ke keluarga pihak perempuan membicarakan maksud dan keinginannya untuk menikah. Lamaran atau dalam term Islam dikenal dengan khitbah merupakan langkah atau cara yang dianjurkan oleh Islam dalam prosesi sebuah pernikahan dan cara ini sampai saat sekarang juga diamini oleh kalangan modern. Artinya Islam dan dunia modern lebih menyetujui langkah atau model lamaran sebagai langkah awal dalam prosesi sebuah pernikahan. Lamaran dinilai lebih elegan untuk menkomunikasikan keinginan atau maksud untuk menikah, karena dengan cara itu si pria bisa leluasa mengutarakan keinginannya didampingi keluarga, kemudian dia bisa mendengarkan secara langsung apakah lamarannya diterima ataukah tidak oleh sang wanita dan keluarganya. Kalau ditolak berarti pernikahan batal dilaksanakan dan sebaliknya kalau diterima maka pernikahan akan segera dilangsungkan. Tentu ini sangat berbeda dengan apa yang diperaktekkan oleh kalangan muslim Sasak Wetu Telu Bayan. Fenomena hari ini meunjukkan bahwa komunitas ini tidak terbiasa menggunakan model lamaran pada proses awal sebuah pernikahan. Yang lazim adalah dengan cara melarikan diri bersama yang dilakukan oleh setiap pasangan yang berniat ingin menikah. Masyarakat Sasak biasa menyebutnya dengan istilah merariq atau di Bayan dikenal dengan memulang. Pada dasarnya mereka tidak sepenuhnya menolak praktek lamaran seperti yang biasa digunakan oleh banyak orang di tempat lain. Namun karena praktek ini dipandang tidak etis karena ada kesan bahwa "meminta" anak gadis itu layaknya meminta "anak ayam". Jadi meminta kepada seorang ayah secara langsung atas anak perempuannya untuk dinikahi dinilai sebagai penghinaan terhadapnya, anak wanitanya dan keluarganya. Untuk itu praktek ini menjadi sesuatu yang tidak lazim dipraktekkan. Karena tidak lazim, maka bagi yang mengikuti cara lamaran harus menanggung resiko atau konsekuensi yang berat yakni harus memenuhi semua permintaan atau syarat yang diajukan oleh pihak keluarga perempuan. Tentu tidak semua pria sanggup untuk mau mengambil resiko tersebut, namun tidak menutup kemungkinan ada pria yang pecaya diri memikul resiko tersebut.
212 | Schemata, Volume 3, Nomor 2, Desember 2014
Lalu Syukri, Nikah Adat …
Pada situasi inilah terlihat bagaimana dialektika tiga entitas tersebut saling berebut posisi untuk menunjukkan kualitas ideal masing-masing. Berbicara tentang ideal dalam konteks merariq pada komunitas wetu telu Bayan, maka tentu yang dipandang ideal adalah praktek 'melarikan diri' atau 'membawa lari' pasangannya dengan maksud untuk menikah. Fenomena hari ini menunjukkan hal seperti itu, namun tidak menutup kemungkinan bahwa pada masa-masa mendatang komunitas muslim Sasak wetu telu menganggap bahwa praktek ideal adalah 'lamaran' atau khitbah. Selanjutnya pertanyaan atau inti kontroversi menyangkut merariq ini berkisar pada apakah praktek meraiq (pelarian diri setiap pasangan) yang bermaksud untuk menikah tidak bertentangan dengan prinsip Islam yang telah menentukan model lamaran sebagai langkah awal dalam prosesi pernikahan. Kalau menelususri proses awal kenapa kemudian praktek perkawinan dalam tradisi Sasak selalu diawali dengan mencuri anak gadis atau membawa lari sang gadis, maka pada dasarnya dapat dipahami bahwa pada proses awal tersebut telah terjadi pergumulan atau pergulatan yang berlangsung cukup lama antara Islam dengan budaya lokal maupun budaya yang datang berikutnya. Islam sebagaimana telah diketahui datang lebih dahulu sebelum invasi Kerajaan Bali. Jadi apa yang ditemukan hari ini terutama terkait dengan praktek perkawinan merupakan dialektika antara Islam, tradisi lokal dan tradisi Hindu Bali pada masamasasebelumnya. Untuk itu penulis berkeyakinan berdasarkan fakta-fakta sejarah yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa pada dasarnya praktek ideal untuk mengawali sebuah prosesi pernikahan pada masyarakat Sasak secara umum termasuk komunitas wetu telu adalah lamaran atau khitbah. Kalau dicermati, Islam memiliki pengaruh yang cukup besar pada awal pertemuannya dengan budaya setempat, sebelum Lombok dikuasai oleh Bali. Apa yang terlihat hari ini adalah tidak lain merupakan hasil negosiasi yang sangat panjang antara Islam di satu sisi dengan budaya Bali yang datang belakangan di sisi yang lain. Tentu terjadi ketegangan-ketegangan dan konflik antara kedua entitas tersebut. Selain itu, masyarakat Sasak Wetu Telu juga dalam posisi yang dilematis. Di satu sisi mereka ingin mempertahankan praktek yang dipandang sebagai bagian dari identitas keagamaan mereka, namun di sisi lain sebagai daerah jajahan saat itu di mana mereka diharuskan untuk mengikuti dan mengakui apa yang diperaktekkan oleh sang penguasa (Bali). Untuk itulah kemudian penulis menganggap bahwa sebelum praktek merariq dibakukan, masyarakat Sasak memandang cara melamar atau khitbah sebagai sesuatu yang ideal dalam mengawali sebuah pernikahan. Hal ini dibuktikan dengan pandangan masyarakat Sasak Wetu Telu hingga hari ini terhadap praktek 'membawa lari pengantin perempuan' dengan
Schemata, Volume 3, Nomor 2, Desember 2014 | 213
Lalu Syukri, Nikah Adat …
maksud menikah adalah sebuah pelanggaran. Dengan kata lain praktek tersebut menyalahi aturan yang semestinya (dalam hal ini aturan 'lamaran'), untuk itu maka setiap pelaku yakni laki-laki yang membawa lari dikenakan denda adat yang kemudian dikenal dengan ajikrama (denda kawin lari). Adanya denda adat atau ajikrama menunjukkan bahwa praktek tersebut pada dasarnya tidak disetujui oleh masyarakat Sasak pada umumnya, termasuk Sasak wetu telu. Namun karena kondisi saat itu yakni masa penjajahan Bali membuat mereka pada posisi yang sulit. Sulit untuk menolak memperaktekkan apa yang menjadi kebiasaan sang penguasa saat itu. Akhirnya praktek tersebut tetap diterima, namun pelakunya diberikan hukuman berupa denda yang dibayarkan kepada pihak keluarga perempuan, karena telah membawa lari anak gadisnya. Inilah yang kemudian penulis sebut sebagai hasil negosiasi atau bentuk kompromi antara Islam di satu sisi dengan tradisi lokal maupun tradisi yang datang berikutnya di Pulau Lombok. Masyarakat Sasak Wetu Telu berusaha mendialogkan dua bangunan tradisi yang pada dasarnya sulit dipertemukan, yakni tradisi Islam dengan tradisi Hindu Bali. Dialog atau negosiasi tersebut menghasilkan sebuah kompromi yang berusaha mengakomodir dua entitas tradisi tersebut. Yakni Islam tetap memiliki peran sentral dalam proses perkawinan masyarakat Sasak wetu telu, karena setiap perkawinan akan dipandang sah apabila mengikuti akad pernikahan secara Islami. Kalau tidak, maka perkawinannya dipandang tidak sah dan belum legal melakukan hubungan layaknya suami istri. Kemudian praktek merariq tetap diterima hingga hari ini, namun bagi pelaku harus dikenakan denda sebagai hukuman atau punnishment atas kesalahan yang dilakukan. Dari sudut padang modern, praktek merariq dapat dilihat dari dua aspek yakni; pertama, aspek formal dan kedua, aspek substantiv. Secara formal, praktek melarikan anak gadis orang dengan maksud menikah, tentu tidak lazim dalam dunia modern. Tindakan tersebut justru dipandang sebagai tindakan criminal (tindak pidana penculikan). Selain itu, sudut pandang "modern" juga melihat tindakan merariq sebagai tindakan vestigal (sampah) yang tidak logis. Namun kalau dilihat dari sudat substansi atau filosofis yakni, merariq pada dasarnya merupakan sebuah ekspresi kebebasan dalam memilih pasangan yang dutunjukkan oleh kalangan mudamudi, tanpa ada intervensi atau paksaan dari pihak manapun, maka praktek ini masih kompatibel dengan prinsip modernitas yang menjujnjung tinggi individuasi, atomisasi atau kebebasan masing-masing orang dalam menentukan pilihannya. Namun, dengan melestarikan tradisi atau kebiasaan ini tidak kemudian membuat komunitas Sasak wetu telu meninggalkan nilai-nilai atau ajaran ajaran Islam yang universal dalam hukum pernikahan. Mereka memang tetap melaksanakan tradisi tersebut, namun pernikahan tersebut baru dipandang sah secara adat dan
214 | Schemata, Volume 3, Nomor 2, Desember 2014
Lalu Syukri, Nikah Adat …
agama setelah melalui proses akad nikah yang dilaksanakan dengan mengikuti tata cara Islam. Yakni memenuhi syarat dan rukun seperti yang ditetapkan dalam konsep munakahat. Bentuk kompromi atau negosiasi ini masih dipertahankan hingga hari ini. Kondisi ini tidak kemudian membuat komunitas Wetu Telu sepi dari keritik, hujatan, cercaan dan stigma sesat, menyimpang, sinkretis, belum sempurna dan lainlain dilekatkan oleh kelompok Islam yang merasa sempurna dan paling benar. Ini adalah pergulatan klaim kebenaran yang biasa terjadi sepanjang sejarah antara kalangan semisal tekstualis dan kontekstualis, konservatif dan inovatif, formalis dan kultural dan lain-lain. Mungkin yang menjadi jalan tengah adalah perlu adanya penegasan bahwa selain ibadah, semuanya bisa dilakukan sesuai dengan budaya setempat. Aktivitas Pasca Prosesi Nikah Adat Kemudian prosesi adat yang tak kalah pentingnya adalah prosesi pesta tampah wirang. Yakni setelah prosesi akad diberlangsungkan, maka diadakan sebuah pesta yang kemudian dinamakan tampah wirang yakni penyemblihan kerbau atau sapi yang dikeluarkan oleh mempelai laki-laki sebagai bagian dari pembayaran denda atau ajikrama seperti yang telah digambarkan sebelumnya. Pesta tampah wirang ini pada dasarnya adalah pesta syukuran bagi pasangan pengantin yang baru saja melangsungkan pernikahan. Pesta syukuran ini dihadiri oleh semua lapisan masyarakat Sasak wetu telu Bayan. Dan yang terpenting adalah pesta ini sekaligus sebagai sebuah pemberitahuan kepada khlayak umum bahwa telah terjadi pernikahan antara wanita A dengan seorang pria B. Setiap ada pernikahan selalu dibarengi dengan resepsi pernikahan (Walimatul Ursy) acara semacam itu sudah dianggap lumrah dan telah membudaya bagi setiap lapisan masyarakat manapun, hanya cara dan prosesinya saja yang berbeda, sedangkan maksud dan tujuan yang terkandung dari mengadakan resepsi pernikahan (Walimatul Ursy) itu tiada lain hanya untuk menunjukkan rasa syukur atas pernikahan yang telah terjadi sebagai rasa bahagia yang dinikmati bersama handai taulan dan masyarakat di sekitar lingkungan kita. Demikian juga dengan masyarakat Wetu Telu Bayan Kabupaten Lombok Utara, setelah prosesi Nikah Adat diadakan sebagai bentuk kesyukuran telah terjadi pernikahan mereka juga mengadakana hal yang serupa yang mereka namai nampah wirang atau Walimatul Arsy (Syukuran).
Schemata, Volume 3, Nomor 2, Desember 2014 | 215
Lalu Syukri, Nikah Adat …
Makna Sosiologis Makna simbolik benda dalam adat perkawinan sebagai salah satu karya sastra (budaya), menawarkan permasalahan manusia dan kemanusiaan, hidup dan kehidupan. Pengarang menghayati berbagai permasalahan tersebut dengan penuh kesungguhan. Namun hal itu dilakukan secara selektif dan dibentuk sesuai dengan tujuannya yang sekaligus memasukkan unsur-unsur nilai religius dan memang segala sesuatu itu berdasarkan kepada suatu yang religious. Hal itu disebabkan karena pada dasarnya setiap orang yang mampu menghayati tanda dan lambang sebagai sarana untuk perenungan terhadap hakikat hidup dan kehidupan, Perenungan yang dilakukan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab. Simbol atau lambang digunakan untuk mewakili maksud dan pikiran yang ingin disampaikan kepada pihak lain. Simbol bisa dibuat oleh kelompok ataupun pribadi. Tujuan pemakaian simbol adalah pihak lain dapat memahami maksudnya hanya dengan melihatnya. Simbol selalu mempunyai makna. Kadang-kadang orang terjebak pada sesuatu yang bersifat seremonial atau simbolis, dan pada akhirnya melupakan makna yang sebenarnya. Dalam pelaksanaan nobat (nikah adat) Wetu Telu disiapkan perlengkapan yang kesemuanya mengandung arti makna simbolis seperti: 1. Menik serombong (beras sebakul) dan daun sirih, buah pinang memiliki makna bahwa sang suami harus memenuhi kebutuhan sandang pangan anak istrinya. 2. Sedangkan angka 2 pada angka 244 kepeng bolong bermakna ikatan abadi mereka berdua. Dan angka 44 simbul jumlah para malaikat yang mereka yakini jumlahnya sabagai saksi pernikahan mereka. 3. Kereng Petak adalah kain putih yang jumlahnya dua lembar dengan ukuran 1 x 5 meter persegi yang selanjutnya diberikan kepada Wali dan Pembekel yang bermaknakan bahwa adanya kesiapan untuk hidup berdua hanya ketika kain kapan telah membalut badan mereka (kematian) sabagai pemisah hidup mereka. 4. Tombak adalah sebuah pedang yang panjang untuk mengiringi kain putih tersebut yang bermakna bahwa suami akan senantiasa membela, menjaga keutuhan keluarga mereka dalam keadaan bagaimanapun Implikasi Sosial Nikah Adat Wetu Telu Bayan Dampak dari peraturan atau Awik-awik yang telah mereka sepakati memiliki implikasi positif dan negatif. Pada masyarakat Bayan, khususnya penganut Wetu Telu, pelaksanaan Nikah Adat yang dilaksanakan dengan segala ritualitas simbolik yang cukup panjang dan membutuhkan finansial yang memadai pada ahkirnya
216 | Schemata, Volume 3, Nomor 2, Desember 2014
Lalu Syukri, Nikah Adat …
menghasilkan kesadaran yang mendalam akan arti pentingnya menjaga keutuhan berumah tangga sesuai dengan tujuan dan hakekat pernikahan. Masyarakat diikat oleh sisitem simbol yang umum. Sistem itu akan berpusat pada martabat manusia sebagai pribadi, kesejahteraan umum, dan norma–norma etik yang selaras dengan karekteristik masyarakat itu sendiri. Setiap masyarakat akan menciptakan agamanya sendiri. Setiap masyarakat akan mengahayati cita-citanya yang tertinggi akan menumbuhkan kebaktian pada reprensentasi diri simboliknya. Tidak ada masyarakat yang tidak merasa perlu menegaskan dan meneguhkan, pada selang waktu tertentu, perasaaan dan gagasan kolektifnya yang menciptakan kesatuan kepribadiannya.12 Pernikahan yang berarti aqad bertujuan untuk meniti hari-hari dalam kebersamaan, saling melindungi, saling memberikan rasa aman, saling mempercayai, saling menutupi aib, saling mencurahkan perasaan, berlomba menunaikan kewajiban, saling memaafkan kesalahan, tidak menyimpan dendam dan kemarahan, tidak mengungkit-ungkit kelemahan, kekurangan, dan kesalahan. Puncak dari ketidakharmonisan rumah tangga adalah perceraian. Pada masyarakat Bayan percerain jarang sekali ditemukan, bahkan kata-kata cerai sangat tabu bagi mereka, terbukti setiap rumah tangga mampu mempertahankan rumah tangga mereka sampai menjadi kakek dan nenek dengan segala dinamika dan himpitan ekonomi sekalipun, berbeda dengan masyarakat modern saat ini yang merasa lebih bisa memahami arti pentingnya menjaga keutuhan rumah tangga, tapi kenyataanya problema rumah tangga seringkali diakhiri dengan perceraian. Perkawinan merupakan salah satu sunatullah yang berlaku pada semua mahluk Tuhan. Menurut Adat orang Sasak Lombok perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang akan memberikan anak buat menyambung keturunan. Perkawinan bukanlah masalah sepasang insan yang hendak membentuk kelurga atau rumah tangga saja. Karena falsafah orang Sasak telah menjadikan semua orang hidup bersama-sama. Maka rumah tangga menjadi unsur bersama, sehingga unsur pribadi dalam hubungan suami istri tidak lepas dari masalah bersama Karena perkawinan begitu pentingnya dalam kehidupan manusia maka pada dasarnya berlaku bermacam-macam aturan yang kemudian menjadi adat tradisi. Oleh karena perkawinan telah dianggap sebagai adat yang harus ditempuh oleh setiap manusia, maka perkawinan itu sendiri merupakan suatu keharusan. Salah satu bentuk tradisi yang sudah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat suku Sasak Wetu Telu di Desa Bayan adalah Saji Krama pada prosesi akad nikah Adat. Saji Krama dimaknai sebagai tanda bukti keseriusan dan rasa tanggung 12Durkheim, Emile, The Elemntri Forms of the Relegious Liffw A. Free Press Paperback, Macmillan
Schemata, Volume 3, Nomor 2, Desember 2014 | 217
Lalu Syukri, Nikah Adat …
jawab seseorang untuk melakukan perkawinan. Saji Krama biasanya dijadikan oleh sebagian orang sebagai salah satu syarat untuk cepat dan tidaknya akad nikah dilaksanakan, karena keluarga atau wali dari pengantin wanita mau menikahkan anaknya, apabila Sajikrama sudah diterima atau disepakati jumlahnya. Masyarakat desa Bayan, Kecamatan Bayan Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat adalah masyarakat yang patuh menjalankan perintah agama lebih-lebih dalam peribadatan dan tercermin dengan kefanatikannya sehingga pulau Lombok dijuluki sebagai ―Pulau Seribu Masjid‖. Berdasarkan data yang di Kantor Urusan Agama Kecamatan Bayan Kabupaten Lombok Utara dan realitas masyarakat Bayan, Bayan yang mayoritas masyarakat Bayan Asli dan minoritas penduduk pendatang dalam melaksanakan perkawinan rata-rata mereka dengan sesama mereka jarang sekali mereka menikah dengan orang luar dari Bayan, ini bisa jadi karena alasan dalam upaya mempertahankan nasab atau keturunan mereka sehingga ada ungkapan ―menyambung matan benang‖ artinya hanya dengan menikah sesama mereka maka mata rantai keturun tidak akan putus atau lebih banyak disebabkan oleh faktor beratnya Awik-awik yang telah sepakati bahkan mengalami kesulitan. Sekalipun sebenarnya Awik-awik tidak harus dipenuhi secepatnya tergantung dari kemampuan keluarga pengantin pria. Selama belum dipenuhinya Awik-awik maka, pengantin harus menerima sanksi. Adapun sanksi tersebut adalah; (1) Tidak diperbolehkannya pasangan pengantin memasuki bale belek (Rumah Besar), rumah adat (Kampu), (2) Tidak terakomodirnya aspirasi karena tidak diperbolehkannya ikut musyawarah keluarga. Catatan Akhir Tradisi adat perkawainan masyarakat Wetu Telu Desa Bayan merupakan tradisi yang berbeda dengan tradisi adat masyarakat Lombok umumnya. Ada kekhasan dan keunikan yang diperlihatkan pada tata cara pelaksanaannya juga simbol-simbol dan alat-alat yang digunakan, setiap tahapan dalam prosesi dan simbol-simbol adat memiliki makna yang mendalam sehingga diharapkan dari pelaksanaan tradisi adat itu akan memberikan imbas bagi kehidupan rumah tangga setiap pasangan pengantin yang melakukan tradisi tersebut serta akan memberikan keberkahan hidup dari Allah Swt. Tuhan yang mengatur kehidupan umat Dalam ushul fiqih terdapat sebuah kaidah asasi al-„adat muhakkamat atau al-„adat syari‟at muhakkamat (adat merupakan syariat yang dihukumkan). Kaidah tersebut kurang lebih bermakana bahwa adat (tradisi) merupakan variabel sosial yang mempunyai otoritas hukum (hukum Islam). Adat bisa mempengaruhi materi hukum, secara proporsional. Hukum Islam tidak memposisikan adat sebagai faktor eksternal
218 | Schemata, Volume 3, Nomor 2, Desember 2014
Lalu Syukri, Nikah Adat …
non-implikatif, namun sebaliknya, memberikan ruang akomodasi bagi adat. Sebuah diktum yang amat terkenal menerangkan tentang salah satu prinsip Islam: Muhafazhat „ala al-qadim al-shalih wa akhdz „ala al-jadid al-ashlah (Memelihara hal lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik). Artinya, kedatangan Islam tidaklah untuk memberangus adat yang baik yang berlaku pada suatu masyarakat. Islam memandang adat yang baik sebagai suatu bentuk kreasi manusia dalam konteks lingkungannya (fisik dan nonfisik). Karena itu, Islam bersifat acceptable pada berbagai bentuk masyarakat yang ada di dunia ini kapanpun juga. Atas dasar ini. Islam memang pantas menjadi agama universal dan berlaku selamanya. Dalam perkembangan adat (akibat interaksi antar adat yang berbeda), Islam mengajarkan untuk menjaga adat lama yang baik, sebagai suatu orisinalitas yang akan mewarnai kehidupan. Apabila terdapat suatu adat baru maka hendaknya sebisa mungkin diterima untuk didampingkan dengan adat yang lama (yang juga baik), sehingga akan memperkaya khazanah budaya masyarakat tersebut. Namun apabila adat baru (yang baik) itu mesti menggantikan sesuatu yang lama, maka yang baru tersebut baru boleh diterima apabila telah diyakini lebih baik daripada yang lama. Menurut hemat penulis, tradisi-tradisi lokal yang baik („adatun shohihah) seperti yang dilakoni oleh masyarakat Wetu Telu Kecamatan Bayan Kabupaten Lombok Utara dan lainnya yang tidak bertentangan bahkan selaras dengan nafas dan jiwa syari‘at maka sepatutnyalah diberikan apresiasi dalam rangka mengamalkan Islam rahmatan lil ‗alamin. Dalam upaya pelestarian dan pengembangan upacara pernikahan adat Wetu Telu, pemerintah khususnya Pemerintah Provinsi NTB dituntut lebih aktif dalam pengelolaan kekayaan Wetu Telu dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat baik lembaga swadaya masyarakat (LSM), organisasi kepemudaan, serta mahasiswa/-pelajar. Sebab, budaya pada hakekatnya tumbuh dan berkembang pada ranah masyarakat pendukungnya. Daftar Pustaka Abdullah, M. Amin, Study Agama: Normativitas atau Historitas? Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999. Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta, 1996 Atho, Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 1998 Baharudin, Nahdlatul Wathan dan Perubahan social, Yogyakarta, Genta Press,2007
Schemata, Volume 3, Nomor 2, Desember 2014 | 219
Lalu Syukri, Nikah Adat …
Budiwanti, Erni, Islam Sasak Wetu Telu Versus Waktu Lima, Yogyakarta: LKiS, 2000 Moubray, 1994 Hume, David, The Thiological Argument, dalam Gary E. Kassler, Philosofis Edward Shils, Tradition, Chicago: The Univesity of Chicago, 1981 J.S Rouck dan Warren R.R., Sosiology: an Introduction, London: Routledge dan Kegan Paul Ltd., 1963 Lauer, Robert H., Perspektive of Social Change, terj. Ahmadun, Jakarta:Rineke Cipta, 2003 Linton, Ralph, Antropologi Suatu Penyeledikan Tentang Manusia, Bandung: Jemmars, 1984 Madjid, Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan, Jakarta: Paramadina, 2000 Mangunwaijaya, Y.B.. dkk, Teologi Inkulturatif dan Dialog Agama-agama:25 tahun Institut Filsafat Teologi Wedhabakti, Yogyakarta: Panitia Diskusi Panel Senat Mahasiswa Fakultas, 1993 Nasution, Harun, pada pengantarnya dalam teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa perbandingan, jakarta: Universitas Indonesia press, 1986 Rowe, William L., An Introduction philoshopy of religion, beltmont california:wadsworth publishing company, 1992 Sairin, Sjafri, Perubahan Sosial Masyarakat Indonesia Perspektif Antropologi Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002 Salim, Peter, Anvenced English-Indonesian Dictionary, Jakarta:Modern English press, 1991 Soemardjan, Selo, Perubahan Sosial di Yogyakarta Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1986 Soerjono, Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar, edisi 4, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1990 Sugeng, Hardiyanto, ―Tradisi dan Modernitas” dalam Gema Duta Wacana. No 49, 1995 Sugiono, Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung: ALVABETA, 2008 Suprayogo, Imam & Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001 Sven, Sederrot, From Ancestor Worship to Monotheism Politics of Religion in Lombok, Temenos 32, 1996 Zaelani, Kamarudin, Satu Agama Banyak Tuhan: melacak akar Sejarah Teologi Wetu Telu, Mataram: Pantheon Media Pressindo, 2007
220 | Schemata, Volume 3, Nomor 2, Desember 2014