PERAN LEMBAGA ADAT DALAM PERUBAHAN PENUTUPAN HUTAN ADAT DESA BAYAN LOMBOK UTARA
RIAN RISTIA WULANDARI
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
ii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Peran Lembaga Adat dalam Perubahan Penutupan Hutan Adat Desa Bayan Lombok Utara adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Mei 2013 Rian Ristia Wulandari NIM E34070006
ii
ABSTRAK RIAN RISTIA WULANDARI. Peran Lembaga Adat dalam Perubahan Penutupan Hutan Adat Desa Bayan Lombok Utara. Dibimbing oleh LILIK BUDI PRASETYO dan ARZYANA SUNKAR. Lembaga adat Desa Bayan memiliki aturan adat (awiq-awiq) yang lengkap dan masih diakui keberadaannya. Namun, hutan adat Desa Bayan mengalami peningkatan kerusakan hutan. Penelitian ini merupakan perpaduan antara analisis GIS terhadap perubahan penutupan hutan adat Desa Bayan selama periode tahun 1981 2012 dan analisis sosial mengenai peran lembaga adat dalam perubahan penutupan hutan adat Desa Bayan tersebut. Hasilnya adalah hutan adat Desa Bayan mengalami penurunan luas penutupan hutan pada periode 1981 2000. Pada periode ini lembaga adat tidak dapat berperan optimal karena belum mendapatkan pengakuan oleh pemerintah. Selanjutnya terjadi revitalisasi lembaga adat pada tahun 2004 2007. Peran lembaga adat berjalan lebih baik setelah adanya bukti legalitas batas kawasan hutan adat dan pengakuan pemerintah melalui pengesahan awiq-awiq ke dalam peraturan desa. Selain itu, kegiatan penanaman oleh lembaga adat menjadi semakin sering dilakukan di hutan adat Desa Bayan sehingga menyebabkan peningkatan luas penutupan hutan pada tahun 2000 2012. Kata kunci : Aturan adat, Lembaga adat, Penutupan hutan
ABSTRACT RIAN RISTIA WULANDARI. Role of Customary Institution in Rural Indigenous Forest Coverage Change Bayan North Lombok. Supervised by LILIK BUDI PRASETYO and ARZYANA SUNKAR. The indigenous village of Bayan has customary law (awiq awiq) and is still recognized it is existence. However, the indigenous village of Bayan experience increased damage to the forest. This study is a combination of GIS analysis to changes in traditional forest village of Bayan coverage during the period 1981 2012 and social analyzed of the role of customs in the indigenous village of forest change in the coverage of Bayan village. The result is a traditional forest of Bayan village area has decreased in the period 1981 2000. During this period the indigenous institution did not optimal due to the role has not been recognized by the Government. Then the indigenous institution revitalization has come in 2004 2007. Role of customary institution has better after the proof of the legality of the indigenous forest area and the recognition of the Government through passage of awiq awiq as a regulation of the village. Beside that, planting activities by customary institution are becoming increasingly common in the indigenous village of Bayan so causing forest coverage has increased in 2000 2012. Keywords : Costumary institution, Customary law, Forest coverage
PERAN LEMBAGA ADAT DALAM PERUBAHAN PENUTUPAN HUTAN ADAT DESA BAYAN LOMBOK UTARA
RIAN RISTIA WULANDARI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
iv
Judul Skripsi : Peran Lembaga Adat dalam Perubahan Penutupan Hutan Adat Desa Bayan Lombok Utara Nama : Rian Ristia Wulandari NIM : E34070006
Disetujui oleh
Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc Pembimbing I
Dr. Ir. Arzyana Sunkar, M.Sc Pembimbing II
Diketahui oleh
Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
vi
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2012 ini ialah Peran Lembaga Adat dalam Perubahan Penutupan Hutan Adat Desa Bayan Lombok Utara. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir Lilik Budi Prasetyo, M.Sc selaku pembimbing pertama dan Ibu Dr. Ir. Arzyana Sunkar, M.Sc selaku pembimbing kedua, Ibu Resti Meilani, S.Hut M.Si selaku moderator seminar dan ketua sidang serta Bapak Dr. Soni Trison S.Hut M.Si selaku penguji yang telah banyak memberi saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Balai Taman Nasional Gunung Rinjani dan masyarakat adat Bayan yang telah membantu selama kegiatan pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, adik, Nurachman Suciyanto, Mega Haditia, Fiqh Chairunnisa, Nunik Yuniarti, teman-teman laboratorium Analisis Lingkungan dan Pemodelan Spasial serta keluarga KSHE 45 “EDELWEISS” dan HIMAKOVA atas segala doa, dukungan dan kebersamaannya selama ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Mei 2013 Rian Ristia Wulandari
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vii
DAFTAR GAMBAR
vii
DAFTAR LAMPIRAN
vii
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
1
Manfaat Penelitian
1
METODE
2
Waktu dan Tempat Penelitian
2
Alat
2
Data Penelitian
3
Metode Pengumpulan Data
4
Metode Analisis Perubahan Penutupan Hutan Adat
4
HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan Penutupan Hutan Adat Desa Bayan
7 7
Peran Lembaga Adat dalam Perubahan Penutupan Hutan Adat Desa Bayan 12 SIMPULAN DAN SARAN
16
Simpulan
16
Saran
16
DAFTAR PUSTAKA
17
LAMPIRAN
19
RIWAYAT HIDUP
21
viii
DAFTAR TABEL 1 Parameter, variabel, metode dan sumber pengambilan data 2 Laju perubahan penutupan hutan adat Desa Bayan tahun 1981 2012
3 10
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7
Lokasi penelitian Proses konversi peta analog ke peta digital Skema tahapan pengolahan citra Penutupan hutan adat Desa Bayan tahun 1981 dan 2000 Penutupan hutan adat Desa Bayan tahun 2000 dan 2012 Laju perubahan penutupan hutan adat Desa Bayan Perubahan penutupan hutan menjadi sawah di wilayah Singang Kelok dan Batu Menjor 8 Struktur lembaga adat Bayan
2 4 5 8 9 10 12 13
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Undang-undang No.41 tahun 1999 menjelaskan bahwa hutan adat adalah hutan negara yang diserahkan pengelolaannya kepada masyarakat hukum adat. Masyarakat hukum adat atau masyarakat adat merupakan komunitas yang memiliki asal-usul leluhur yang secara turun temurun, hidup di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya dan sosial yang khas (Sirait et al. 2001). Hutan adat dikelola oleh lembaga adat, sedangkan hutan negara non hutan adat dikelola oleh pemerintah. Hasil penelitian Khalil (2009); Kolanus (2011); Hasanah (2011); Adnan (2004); Prasetyo dan Setiawan (2006) mengindikasikan bahwa kerusakan hutan adat lebih kecil dibandingkan dengan hutan negara non hutan adat. Besar laju penurunan penutupan hutan adat Kasepuhan Citorek, Jawa Barat sebesar 0,15 % atau 4,07 ha per tahun (Khalil 2009) sedangkan pada Taman Nasional Gunung Halimun Salak yang juga berbatasan dengan hutan adat Kasepuhan Citorek yaitu sebesar 1,71 % atau 1.439 ha per tahun (Prasetyo dan Setiawan 2006). Begitu pula yang terjadi di daerah lain, yaitu pada hutan adat Lekuk 50 Tumbi Lembur, Sumatera. Hutan adat ini memiliki laju penurunan penutupan hutan sebesar 0,61 % atau 2,9 ha per tahun (Kolanus 2011) sedangkan pada Taman Nasional Kerinci Seblat yang juga berbatasan dengan hutan adat Lekuk 50 Tumbi Lempur yaitu sebesar 1,98 % atau 3.615,63 ha per tahun (Adnan 2004). Menurut Nababan (1995) lebih rendahnya laju kerusakan hutan adat dapat disebabkan karena hutan adat dikelola oleh lembaga adat yang memiliki sistem pengelolaan hutan yang berkelanjutan (sustainable forest management). Akan tetapi, hutan adat Desa Bayan di Kabupaten Lombok Utara, walaupun dikelola oleh lembaga adat Desa Bayan yang memiliki aturan adat (awiq-awiq) yang lengkap dan masih diakui keberadaannya (Nasriyanto 2009) telah mengalami peningkatan kerusakan hutan (FWI 2011) pada sebagian wilayah hutan adat Desa Bayan (Jambeanom R 20 Februari 2012, komunikasi pribadi), sehingga menarik untuk melakukan kajian terhadap peran lembaga adat dalam perubahan penutupan hutan adat Desa Bayan, Kabupaten Lombok Utara.
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi dan menganalisis perubahan penutupan hutan adat Desa Bayan serta peran lembaga adat dalam perubahan penutupan hutan adat Desa Bayan.
Manfaat Penelitian Lembaga adat mempunyai peran yang sangat penting untuk pengelolaan hutan adat, sehingga hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan bagi pemerintah daerah mengenai pengelolaan hutan adat Desa Bayan oleh
2
lembaga adat Bayan dan sebagai bahan pertimbangan dalam pengajuan aturan adat (awiq-awiq) ke dalam peraturan daerah.
METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Desa Bayan, Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara, Provinsi Nusa Tenggara Barat (Gambar 1) pada bulan Maret – Agustus 2012.
Bahan
Gambar 1 Lokasi Penelitian
Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu GPS (Global Position System) seri Garmin eTrex Vista HCX, kamera digital, alat tulis, panduan wawancara, laptop dengan software ERDAS Imagine 9.1, ArcGis 9.3 dan Map Source.
3
Data Penelitian Data yang diambil dalam penelitian disajikan dalam Tabel 1 di bawah ini: Tabel 1 Parameter, variabel, metode dan sumber pengambilan data Parameter
Variabel
Metode
Sumber
Data spasial utama
Citra Landsat 3 TM (Thematic Mapper) Tahun 1981 Citra Landsat 7 ETM (Enhanced Thematic Mapper) Tahun 2000 Citra Landsat 7 ETM (Enhanced Thematic Mapper) Tahun 2012
Web search
USGS1, SEAMEO BIOTROP2
Data spasial pendukung
Peta Rupa Bumi Indonesia Web search, BAKOSURTANAL3, studi pustaka laporan, Layer jaringan jalan dan sungai Pulau Lombok Peta Partisipatif Hutan Adat Desa Bayan
Data Ground Control Point (GCP)
Lokasi dan batas wilayah hutan adat Kondisi hutan adat
Perubahan hutan adat Desa Bayan
Sejarah dan faktor penyebab Wawancara, Narasumber kunci, perubahan hutan adat observasi, lapangan, laporan, studi pustaka buku, internet Status dan kepemilikan hutan adat
Karakteristik masyarakat adat Bayan
Sejarah masyarakat adat Wawancara, Narasumber kunci, lapangan, laporan, Jumlah penduduk dan mata observasi, studi pustaka buku, internet pencaharian Pengetahuan lokal dan adat istiadat
Karakteristik lembaga adat Bayan
Struktur Adat Aturan adat (awiq-awiq) Perubahan lembaga dan struktur sosial pada waktu tertentu
Wawancara, Narasumber kunci, observasi, lapangan, laporan, studi pustaka buku, internet
Hubungan masyarakat dengan hutan adat
Pemanfaatan kawasan oleh masyarakat
Wawancara, Narasumber kunci, observasi, lapangan, laporan, studi pustaka buku, internet
1
Observasi
Lapangan
USGS adalah singkatan dari United States Geological Survey (Badan Survei Geologi Amerika 2 SEAMEO BIOTROP adalah singkatan dari Southeast Asian Regional Center for Tropical Biology (Pusat Regional Asia Tenggara untuk Biologi Tropika), 3 BAKOSURTANAL adalah singkatan dari Badan Koordinasi Survei Pemetaan Nasional
Serikat),
4
Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang dilakukan diantaranya adalah : a. Wawancara Informasi mengenai pengelolaan hutan adat, struktur kelembagaan dan karakteristik masyarakat adat Bayan didapat dengan melakukan wawancara mendalam dengan para narasumber kunci, yaitu tokoh adat yang memegang kekuasaan di Lembaga Adat Desa Bayan diantaranya Raden Anggriakusuma (pimpinan tertinggi lembaga adat Bayan), Raden Gedarip (juru bicara pimpinan tertinggi lembaga adat Bayan), Raden Kartiwati (pembantu pimpinan tertinggi yang bertugas di wilayah Bayan Barat), Raden Kertandji (pembantu pimpinan tertinggi yang bertugas di wilayah Bayan Timur), mamiq dan inaq perumbaq daya (orang yang bertugas mengawasi dan menjaga hutan adat Bangket Bayan) serta pekasih (orang yang bertugas menjaga mata air di dalam hutan adat Bangket Bayan dan hutan adat Mandala). Selain itu dilakukan wawancara dengan tokoh pemuda masyarakat adat Bayan yaitu Raden Jambeanom yang terlibat dalam pemetaan partisipatif oleh Yayasan Pemberdayaan Masyarakat Pedesaan (YPMP) pada tahun 2006. b. Observasi Observasi adalah pengamatan lapangan yang dilakukan untuk menandai lokasi, batas wilayah dan kondisi hutan adat Desa Bayan berupa titik koordinat atau Ground Control Point (GCP). c. Studi Pustaka Studi pustaka dilakukan untuk mengetahui sejarah hutan adat, lembaga adat dan perubahan hutan adat Desa Bayan yang diambil dari berbagai sumber seperti dokumen, laporan hasil penelitian, prosiding, buku, jurnal dan media elektronik.
Metode Analisis Perubahan Penutupan Hutan Adat Analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini diantaranya adalah : a. Pembuatan Peta Digital Data-data spasial yang berupa data analog dikonversi ke dalam bentuk digital (Gambar 2) dengan menggunakan seperangkat komputer dengan software Arc Gis 9.3 dan ERDAS 9.1. Data digital tersebut dipergunakan sebagai data acuan koreksi geometrik pada pengolahan citra. Peta Rupa Bumi Analog
Digitasi Peta
Editing Peta
Pemberian Label
Transformasi koordinat
Peta Rupa Bumi Digital
Gambar 2 Proses konversi peta analog ke peta digital
5
b. Pengolahan Citra Pengolahan citra (Gambar 3) dilakukan melalui beberapa tahap antara lain : 1. Perbaikan Citra (Image Restoration) Data citra dikoreksi terlebih dahulu dengan melakukan koreksi geometrik yaitu dengan menentukan tipe proyeksi dan koordinat yang digunakan. Tahap selanjutnya adalah koreksi distorsi yang dilakukan melalui penentuan titik ikat medan yang ditempatkan sesuai dengan koordinat citra dan koordinat peta. Setelah itu, dilakukan resampling citra (proses transformasi citra dengan memberikan nilai pixel citra terkoreksi) menggunakan pendekatan metode tetangga terdekat (nearest neighbour). Kerusakan stripping gap pada citra landsat tahun 2012 dapat diperbaiki dengan cara pengisian gap menggunakan alternatif citra landsat yang berdekatan bulan atau tahun (modeler replace stripping gap). Modeler ini bekerja dengan cara mengisi citra landsat utama yaitu citra landsat 7 ETM+ path 166 row 66 tanggal akuisisi 17 Juni 2012 dengan citra pengisi yaitu citra landsat 7 ETM+ path 166 row 66 tanggal akuisisi 3 Juli 2012 menggunakan fungsi analisis either-if-or-otherwise. 2. Pemotongan Citra (Subset Image) Pemotongan data citra bertujuan untuk menentukan batas wilayah yang akan diteliti. Proses ini dilakukan dengan melakukan penggabungan (overlay) antara peta citra terkoreksi dengan peta digital batas administrasi yang sudah dibuat dengan area of interest (aoi) kemudian dilakukan pemotongan citra (subset) sehingga didapatkan peta citra wilayah penelitian. 3. Klasifikasi Citra (Image Classification) Kegiatan klasifikasi terbagi atas dua tahap yaitu klasifikasi citra tidak terbimbing (unsupervised) yang dilakukan sebelum pengambilan data di lapangan (ground check) sebagai bahan acuan saat pengambilan data di lapangan dan klasifikasi citra terbimbing (supervised classification) yang didasarkan pada data lapangan berupa titik-titik koordinat yang ditandai dengan GPS (Jaya 2007). Untuk mendapatkan hasil klasifikasi yang baik, dilakukan pengujian akurasi (accuracy assessment) terhadap hasil klasifikasi berdasarkan data hasil ground check. Hasil klasifikasi diharapkan memiliki nilai akurasi lebih dari 85%. Citra Landsat Tahun 1981,2000 dan 2012 Koreksi Geometris Peta Rupa Bumi Digital
Peta Digital Batas Kawasan
Citra Terkoreksi
Subset image
Overlay
Cek Lapangan
Klasifikasi Citra Terbimbing dengan Teknik Maximum Likelihood
Tidak
Citra Hasil Klasifikasi
Uji Akurasi diterima ?
Peta Penutupan Hutan Adat
Ya
Gambar 3 Skema tahapan pengolahan citra
6
Kombinasi band yang digunakan dalam klasifikasi citra Landsat yaitu kombinasi band 242 (RGB) untuk citra Landsat tahun 1981 sedangkan untuk citra landsat tahun 2000 dan 2012 menggunakan kombinasi band 543 (RGB). Kombinasi band tersebut dipilih karena memiliki kekontrasan yang tinggi sehingga memudahkan untuk membedakan penutupan hutan. c. Analisis Perubahan Penutupan Hutan Adat Analisis perubahan penutupan hutan adat dilakukan dengan membandingkan peta penutupan hutan adat tahun 1981, 2000 dan 2012. Ketiga peta tersebut di overlay, sehingga diketahui perubahan penutupan hutan adat yang terjadi pada tahun 1981 2012. Perubahan penutupan hutan adat pada kurun waktu tersebut dianalisis melalui rumus berikut:
Keterangan : V = Laju Perubahan (%) N1 = Luas Penutupan Hutan Adat Tahun Pertama (Ha) N2 = Luas Penutupan Hutan Adat Tahun Kedua (Ha) N = Luas Total Penutupan Hutan Adat Cara lain untuk melakukan analisis perubahan penutupan hutan adat adalah melakukan perbandingan citra (post classification comparison) sehingga dapat diketahui luas dan arah perubahan yang terjadi. Analisis perubahan penutupan hutan didasarkan pada matriks perubahan penutupan hutan yang dihasilkan dari analisis pada citra hasil overlay dengan mengganti formulasinya dan di dalam analisis perubahan tersebut akan ditemukan areal yang mengalami perubahan yaitu areal pada piksel-piksel kedua citra klasifikasi dengan lokasi yang sama tetapi memiliki atribut klasifikasi yang berbeda, sedangkan areal yang tidak berubah adalah piksel yang pada kedua citra klasifikasi dengan lokasi yang sama dan memiliki atribut klasifikasi yang sama juga (Gunawan et al. 2010). Setelah didapatkan peta penutupan hutan adat serta luas penutupan dan perubahan hutan adat Desa Bayan, kemudian dilakukan analisis lainnya diantaranya sebagai berikut : 1. Analisis Sejarah (Suyanto dan Sutinah 2008) Analisis ini digunakan untuk menganalisis perubahan penutupan hutan adat di Desa Bayan dalam rentang waktu tahun 1981–2012. Peristiwa yang terjadi dalam rentang waktu tersebut adalah sebelum dan sesudahnya dilakukan penguatan lembaga adat Bayan. 2. Analisis Hubungan Sebab-Akibat (Golar 2007) Analisis ini digunakan untuk untuk mengetahui peran lembaga adat dalam perubahan penutupan hutan adat Desa Bayan. Penjelasan dilakukan berdasarkan penetapan serangkaian keterkaitan timbal balik antara hasil analisis spasial, wawancara dengan informan kunci, observasi dan studi pustaka.
7
HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan Penutupan Hutan Adat Desa Bayan Sampai dengan tahun 1993, hutan adat Desa Bayan terdiri dari wilayah Bangket Bayan, Mandala, Tiu Rarangan, Pengempokan, Batu Menjor dan Singang Kelok dengan luas total 87,21 ha. Berdasarkan luasan tersebut Bangket Bayan memiliki persentase 65,51%, Mandala sebesar 11,73%, Tiu Rarangan sebesar 7,83%, Pengempokan sebesar 10,34%, Batu Menjor sebesar 2,29% dan Singang Kelok sebesar 2,29%. Hasil pengolahan citra landsat TM tahun 1981 dan citra landsat ETM+ tahun 2000 (Gambar 4) menunjukkan telah terjadi perubahan penutupan hutan adat Desa Bayan pada periode 1981 2000 yang diperlihatkan oleh hilangnya wilayah Batu Menjor dan Singang Kelok karena telah mengalami perubahan penutupan dari hutan menjadi sawah. Begitu pula dengan wilayah Tiu Rarangan dan Pengempokan, beberapa areal telah mengalami perubahan penutupan hutan menjadi penutupan semak, kebun dan ladang. Di sisi lain, wilayah Pengempokan juga mengalami perubahan penutupan sawah menjadi semak dan kebun yang disebabkan areal sawah yang sudah tidak produktif dan merupakan areal hutan adat kemudian ditanami tanaman perkebunan dan ditumbuhi semak, sedangkan pada wilayah Bangket Bayan dan Mandala beberapa areal telah mengalami perubahan penutupan semak menjadi penutupan hutan. Lain halnya dengan penutupan hutan adat tahun 2000 dan 2012, hasil pengolahan citra landsat ETM+ tahun 2000 dan 2012 (Gambar 5) menunjukkan beberapa areal pada wilayah Mandala, Bangket Bayan, Pengempokan dan Tiu Rarangan telah mengalami perubahan penutupan dari semak menjadi hutan, sedangkan pada Batu Menjor dan Singang Kelok tidak terlihat mengalami perubahan penutupan. Besarnya laju perubahan penutupan hutan adat Desa Bayan pada periode 1981 2012 ditunjukkan dengan penurunan penutupan hutan pada periode tahun 1981 2000 dan peningkatan penutupan pada periode 2000 2012 (Gambar 6 dan Tabel 2). Wilayah Bangket Bayan mengalami peningkatan luas penutupan hutan pada periode 1981 2000 (Gambar 6). Begitu pula dengan wilayah Mandala yang mempunyai persentase luas kawasan terbesar kedua mengalami peningkatan luas penutupan hutan pada periode 1981 2000. Namun kondisi tersebut tidak cukup membuat luasan penutupan hutan adat Desa Bayan meningkat pada periode 1981 2000. Hal ini disebabkan pada wilayah Tiu Rarangan, Pengempokan, Batu Menjor serta Singang Kelok walaupun memiliki persentase luas kawasan yang lebih kecil dibandingkan Bangket Bayan dan Mandala, tetapi wilayah tersebut mengalami kerusakan hutan yang lebih besar dibandingkan peningkatan luas penutupan hutan pada Bangket Bayan dan Mandala sehingga menyebabkan laju penurunan luas penutupan hutan adat Desa Bayan pada periode 1981 2000.
8 8
Gambar 4
(a) (b) Penutupan hutan adat Desa Bayan tahun 1981 dan 2000 (a) Penutupan hutan adat Desa Bayan tahun 1981 (b) Penutupan hutan adat Desa Bayan tahun 2000
9
Gambar 7 Penutupan Hutan Adat Desa Bayan Tahun 2000 dan 2012
Gambar 5
(a) (b) Penutupan hutan adat Desa Bayan tahun 2000 dan 2012 (a) Penutupan hutan adat Desa Bayan tahun 2000 (b) Penutupan hutan adat Desa Bayan tahun 2012 9
10
Luas penutupan hutan (Hektar)
80
Bangket Bayan
70 Mandala 60 Tiu Rarangan
50 40
Pengempokan
30
Batu Menjor
20
Singang Kelok
10 Hutan adat Desa Bayan
0 1981
2000 Tahun
2012
Gambar 6 Laju perubahan penutupan hutan adat Desa Bayan Tabel 2 Laju perubahan penutupan hutan adat Desa Bayan t 12 Wilayah hutan Laju perubahan Laju perubahan Tahun Tahun Tahun adat Desa tahun 1981 2000 tahun 2000 2012 1981 (ha) 2000 (ha) 2012 (ha) Bayan (%) (%) Bangket Bayan 49,59
51,25
53,10
1,90
2,12
Mandala
8,89
8,98
9,50
0,10
0,60
Tiu Rarangan
7,38
5,67
6,01
-1,96
0,41
Pengempokan 6,23
6,03
7,47
- 0,23
1,65
Batu Menjor
2
0
0
- 2,29
0
Singang Kelok 2
0
0
- 2,29
0
Total 76,09 71,93 76,08 - 4,77 4,78 Sumber: Analisis citra landsat 3 TM tahun 1981 dan citra landsat 7 ETM+ tahun 2000 dan 2012 Telah terjadi perubahan penutupan hutan adat Desa Bayan pada periode 1981 2000 yaitu penurunan sebesar 4,77% (Tabel 2). Di sisi lain, pada periode ini terjadi peningkatan luas penutupan hutan di wilayah Mandala dan Bangket Bayan. Walaupun telah terjadi peningkatan pada periode 1981 2000, namun pada masing-masing wilayah hutan adat tersebut juga sempat mengalami kerusakan hutan. Seperti kerusakan hutan yang terjadi pada sebagian wilayah Mandala pada tahun 1986 1987 yang disebabkan oleh masuknya pendatang ke Desa Bayan. Diawali dengan transaksi jual-beli tanah adat yang dilakukan oleh masyarakat adat kepada para pendatang pada areal yang berbatasan dengan wilayah Mandala yang kemudian mengalami perluasan ke dalam areal hutan di wilayah Mandala. Areal hutan pada wilayah Mandala yang mengalami penebangan tidak mengalami
11 alih fungsi sehingga areal tersebut mengalami pertumbuhan dari semak yang berupa anakan menjadi pohon dan terjadi peningkatan penutupan hutan (Tabel 2). Lain halnya dengan kerusakan hutan yang terjadi di wilayah Bangket Bayan yang disebabkan oleh kegiatan perkebunan yang dilakukan oleh salah seorang warga yang bermukim di dekat wilayah hutan adat. Pada awalnya warga tersebut mengajukan Surat Pernyataan Penguasaan Tanah (SPPT) kepada pemerintah dan disetujui pada tahun 1999, sehingga ia dapat menggarap areal tersebut. Di sisi lain lembaga adat menyatakan bahwa warga tersebut telah melanggar ketentuan awiqawiq karena areal yang digarap merupakan aset adat dan masih menjadi bagian dari wilayah hutan adat. Lembaga adat kemudian memberikan sanksi adat kepada warga tersebut. Namun, sanksi adat tersebut tidak memberikan efek jera. Hal ini disebabkan adanya klaim milik pribadi dan kepemilikan SPPT, sehingga menyebabkan sengketa lahan ini masih belum terselesaikan sampai sekarang. Kerusakan hutan di wilayah Bangket Bayan maupun Mandala tidak sebesar perubahan penutupan semak menjadi hutan sehingga wilayah Mandala dan Bangket Bayan dan Mandala mengalami peningkatan luas penutupan hutan pada periode tahun 1981 2000. Kerusakan hutan adat Desa Bayan kembali terjadi pada tahun 1993 yang disebabkan oleh penebangan yang dilakukan aparat negara. Kerusakan ini terjadi di wilayah Tiu Rarangan, Pengempokan, Batu Menjor dan Singang Kelok. Wilayah Bangket Bayan dan Mandala terhindar dari kerusakan karena di dalamnya terdapat tempat yang disakralkan yaitu mata air yang merupakan sumber mata air di Desa Bayan. Kedua lokasi ini menjadi titik hulu bagi sungaisungai yang ada di Desa Bayan dan sekitarnya. Irawan (2012) menyatakan bahwa sistem irigasi pada masyarakat Desa Bayan mengadopsi sistem irigasi yang ada pada masyarakat di Pulau Bali yaitu subak. Sistem subak di Desa Bayan bersumber pada beberapa sumber mata air yang terdapat di wilayah Mandala dan Bangket Bayan. Wilayah Tiu Rarangan dan Pengempokan tidak memiliki mata air dan tempat yang disakralkan masing-masing adalah makam leluhur serta batu keramat. Ritual adat pun tidak rutin diadakan pada kedua wilayah ini. Lain halnya dengan wilayah Mandala dan Bangket Bayan, interaksi lebih banyak dilakukan pada kedua wilayah ini karena ritual adat secara rutin tiap tahunnya dilakukan di dalam wilayah Mandala dan Bangket Bayan. Fungsi jasa lingkungan yang ada di wilayah Mandala dan Bangket Bayan ini ternyata disadari oleh aparat negara sehingga tidak terjadi kerusakan yang parah pada kedua hutan adat ini, sedangkan pada wilayah Batu Menjor dan Singang Kelok walaupun memiliki mata air, namun debit airnya sangat kecil serta luas kawasannya juga sangat kecil yaitu masing-masing sebesar 2 ha. Selain itu, letaknya pun berada di dekat jalan sehingga aparat negara dengan mudah melakukan penebangan. Penebangan yang dilakukan aparat negara pada tahun 1993 telah menyebabkan seluruh areal hutan di wilayah Singang Kelok dan Batu Menjor rusak dan sebagian areal hutan di wilayah Tiu Rarangan dan Pengempokan rusak. Wilayah Batu Menjor dan Singang Kelok dibuka dan dialih fungsikan menjadi sawah masing-masing sebesar 2 ha (Gambar 7). hutan adat Desa Bayan sebesar 4,78% (Tabel 2).
12
(a) (b) Gambar 7 Perubahan penutupan hutan menjadi sawah di wilayah Singang Kelok dan Batu Menjor (a) Kondisi wilayah Singang kelok saat ini (b) Kondisi wilayah Batu Menjor saat ini Perubahan luas penutupan hutan adat Desa Bayan (Gambar 6) periode tahun 1981 2012 sesuai dengan teori transisi hutan (Curran et al. 2004; Mather 1992, 2007; Rudel et al. 2005) yang menggambarkan perubahan penutupan hutan adat dari waktu ke waktu dalam beberapa tahap yaitu luas penutupan hutan yang semula tinggi mengalami kerusakan hutan oleh pendatang dan aparat negara dengan laju yang semakin meningkat pada periode tahun 1986 1993, sehingga menyebabkan laju penurunan penutupan hutan adat Desa Bayan pada periode tahun 1981 2000. Kemudian kerusakan hutan pun berkurang sampai dengan tahun 2000 dan terjadi pemulihan sehingga mengalami kenaikan luas penutupan pada periode tahun 2000 2012. Transisi hutan adat Desa Bayan merupakan cerminan dari pengelolaan hutan adat Desa Bayan oleh lembaga adat Bayan.
Peran Lembaga Adat dalam Perubahan Penutupan Hutan Adat Desa Bayan Undang-Undang No. 41 tahun 1999 menyatakan bahwa hutan adat merupakan hutan negara yang berada di dalam wilayah masyarakat hukum adat, dan pengelolaannya diserahkan kepada masyarakat hukum adat, sepanjang masih ada dan diakui keberadaannya. Lebih lanjut dikatakan, kegiatan pengelolaan hutan adat dilakukan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang. Undang-undang No. 41 tahun 1999 juga menjelaskan bahwa masyarakat hukum adat yang diakui keberadaannya jika memenuhi unsur berikut : a. masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap); b. ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya; c. ada wilayah hukum adat yang jelas; d. ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati; dan e. masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Hutan adat Desa Bayan berada di dalam wilayah masyarakat hukum adat atau lebih dikenal dengan masyarakat adat Bayan. Berdasarkan peraturan perundangan, maka pengelolaan hutan adat Desa Bayan diserahkan kepada masyarakat adat Bayan. Masyarakat adat Bayan masih berbentuk paguyuban,
13 sesuai dengan pengertian berdasarkan KBBI (2011) yaitu perkumpulan yang bersifat kekeluargaan, didirikan orang-orang yang sepaham (sedarah) untuk membina persatuan (kerukunan) di antara para anggotanya. Selain itu juga terdapat kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya yaitu lembaga adat Desa Bayan. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 3 Tahun 1997 mengenai Pemberdayaan dan Pelestarian serta Pengembangan Adat Istiadat, Kebiasaankebiasaan Masyarakat dan Lembaga Adat di Daerah (Pasal 1 huruf e) menjelaskan b w “L mb b m y b y sengaja dibentuk maupun yang secara wajar telah tumbuh dan berkembang dalam sejarah masyarakat yang bersangkutan atau dalam suatu masyarakat hukum adat tertentu dengan wilayah hukum dan hak atas kekayaan di dalam wilayah adat tersebut serta berhak dan berwenang untuk mengatur, mengurus, dan menyelesaikan berbagai masalah kehidupan yang berkaitan dengan dan mengacu m y b ”. Lembaga adat Bayan (Gambar 8) dibentuk oleh masyarakat adat Bayan dan merupakan suatu kesatuan dari pemerintahan adat di desa-desa sekitar Desa Bayan yang termasuk dalam Kecamatan Bayan. Lembaga adat Bayan mengelola hutan adat Desa Bayan berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum adat yang berlaku (awiq-awiq) dan masih berlaku hingga saat ini.
Gambar 8 Struktur lembaga adat Bayan Pemerintahan dan pelaksanaan adat dalam lembaga adat Bayan bersifat lokalistik (desa). Wilayah pemerintahan pembekel Bayan Barat dan Bayan Timur berada di Desa Bayan sedangkan wilayah pemerintahan pembekel Loloan dan wilayah pemerintahan pembekel Karang Bajo berada di luar Desa Bayan yaitu Desa Loloan dan Desa Karang Bajo. Wilayah hutan adat Desa Bayan yang terdapat di wilayah pemerintahan pembekel Bayan Barat adalah Bangket Bayan,
14 Singang Kelok dan Batu Menjor, sedangkan wilayah hutan adat Desa Bayan yang terdapat di wilayah pemerintahan pembekel Bayan Timur adalah Mandala, Pengempokan dan Tiu Rarangan. Masing-masing wilayah hutan adat Desa Bayan memiliki toaq lokaq (pemegang adat) yang bertugas menjaga kelestarian hutan adat diantaranya adalah mamiq dan inaq perumbaq serta pekasih. UU No. 41 tahun 1999 pasal 37 menjelaskan bahwa pemanfaatan hutan adat dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan sesuai fungsinya. Berdasarkan awiq-awiq, pengertian hutan adat yaitu wilayah hutan yang disakralkan dan di dalamnya terdapat tempat yang dikeramatkan sehingga pemanfaatan sumberdaya hutan di dalam hutan adat hanya dipergunakan untuk keperluan adat saja seperti renovasi masjid Kuno Bayan, Balai Adat dan Berugak Agung, sedangkan penebangan kayu selain untuk kepentingan adat dapat dilakukan di hutan non adat yaitu gawah dan tanaq gege. Walaupun demikian, kegiatan pemanfaatannya pun harus melalui proses adat dan mendapat persetujuan toak lokaq. Berdasarkan ketentuan awiq-awiq juga dijelaskan mengenai hal-hal yang dilarang dilakukan di dalam hutan adat yaitu melakukan penebangan pohon di kawasan hutan adat kecuali dengan syarat-syarat tertentu seperti penebang berasal dari keluarga miskin dan tidak mampu bekerja sehingga benar-benar membutuhkan. Selain itu, hasilnya dipergunakan untuk kepentingan pribadi seperti membangun rumah. Larangan lainnya yaitu melakukan jual beli sumberdaya yang terdapat di dalam kawasan hutan adat, kegiatan perkebunan dan pertanian di dalam kawasan hutan adat, mensertifikatkan sebagian atau seluruh tanah kawasan hutan adat untuk kepentingan individu, berburu, menggembalakan ternak dan melakukan pembakaran di dalam kawasan hutan adat. Apabila aturan adat tersebut dilanggar, maka akan diproses secara adat dan dikenakan sanksi material maupun sanksi sosial, yang didukung dengan alat atau barang bukti dan menghadirkan minimal dua orang saksi. Berat ringannya sanksi sosial, material dan spiritual (dedosan) ditentukan melalui musyawarah adat (gundem). Apabila orang yang sama lagi tidak mengindahkan semua ketentuan aturan adat yang sudah dibebankan kepadanya maka diberlakukan sanksi sosial berupa skaumang (pengucilan) termasuk dipindahkan ke desa lain. Hal ini juga berlaku bagi masyarakat non adat. Hutan adat Desa Bayan yang dikelola oleh lembaga adat Bayan, memiliki awiq-awiq yang lengkap dan masih diakui keberadaannya (Nasriyanto 2009). Nababan (1994), Dassir (2008) dan Zoraya (2002) menyatakan bahwa hutan adat dikelola oleh lembaga adat yang memiliki aturan adat dengan sistem pengelolaan hutan yang berkelanjutan (sustainable forest management). Namun, penebangan hutan pada tahun 1986 1987 dan 1993 yang menyebabkan penurunan luas penutupan hutan adat Desa Bayan pada periode tahun 1981 2000 merupakan bentuk pelanggaran terhadap awiq-awiq. Pada periode ini lembaga adat Bayan tidak dapat memberikan sanksi adat terhadap pelanggaran yang terjadi karena belum adanya pengakuan terhadap legalitas batas kawasan hutan adat oleh pemerintah daerah setempat, sehingga lembaga adat Bayan saat itu lebih banyak berperan dalam menjaga interaksi sosial masyarakatnya. Hilangnya dua wilayah hutan adat Desa Bayan yaitu Singang Kelok dan Batu Menjor karena penebangan oleh aparat negara pada tahun 1993 telah memunculkan aksi protes oleh para tokoh adat dan masyarakat adat. Aksi protes
15 ini berakhir dengan diberlakukannya sanksi adat kepada pelaku penebangan dan pelaksanaan sanksi, disaksikan oleh Bupati sebagai bentuk pengakuan terhadap hutan adat Desa Bayan dan lembaga adat Bayan. Sesuai awiq-awiq, apabila melakukan penebangan di dalam hutan adat maka diwajibkan untuk melakukan penanaman kembali di areal hutan yang mengalami penebangan, sehingga pada tahun 1994, kegiatan penanaman dilakukan di wilayah Bangket Bayan, Mandala, Tiu Rarangan dan Pengempokan, sedangkan pada wilayah Batu Menjor dan Singang Kelok tidak dilakukan penanaman karena sudah mengalami perubahan fungsi dan pemanfataan lahan menjadi sawah. Tidak hanya itu, pada era tahun 2000an lembaga adat bekerja sama dengan LSM lokal yaitu Yayasan Pemberdayaan Masyarakat Pedesaan (YPMP) melakukan diskusi mengenai pengelolaan hutan adat Desa Bayan. Hasil diskusi tersebut menimbulkan perubahan persepsi lembaga adat bahwa masyarakat adat berhak mendapatkan pengakuan dan hak-hak masyarakat adat dalam mengelola hutan adat. Oleh karena itu lembaga adat bekerja sama dengan pemerintah daerah setempat kembali menguatkan peran lembaga adat melalui program revitalisasi hutan adat diantaranya adalah : 1. Penggalian awiq-awiq, penyusunan awiq-awiq secara tertulis, pengesahan awiq-awiq ke dalam Peraturan Desa dan pengajuan awiq-awiq ke dalam Peraturan Daerah yang dilaksanakan pada tahun 2004. 2. Pemetaan partisipatif yang dilaksanakan pada tahun 2004 2006. Hal ini bertujuan untuk memperjelas wilayah adat. Kegiatan pemetaan partisipatif hutan adat, berguna untuk mengklaim suatu wilayah, menyelesaikan konflik keruangan serta pengelolaan ruang berdasarkan kearifan lokal masyarakat (Safitri 2009). Kartodihardjo (2006) juga menambahkan, salah satu wujud kepastian hak adalah kejelasan mengenai tata batas antara ruang hidup masyarakat dengan pihak-pihak lainnya. Melalui pemetaan partisipatif, lembaga adat Bayan dapat mengelola hutan adat Desa Bayan secara lebih intensif karena batas-batas kawasan hutan dapat diketahui secara pasti. Selain itu adanya pengesahan awiq-awiq menjadi peraturan desa merupakan bentuk pengakuan dan perlindungan hukum terhadap pengelolaan hutan adat Desa Bayan, sehingga lembaga adat Bayan juga dapat menjalankan perannya secara lebih baik sebagai pengelola utama hutan adat dan memiliki kewenangan dalam melestarikan hutan adat, mengambil kebijakan perencanaan program, melaksanakan penegakan awiqawiq dan keamanan hutan adat, mengatur pemanfaatan sumberdaya hutan dan non hutan di dalam kawasan hutan adat, memegang ijin keputusan penggunaan hutan adat, menyepakati mekanisme penyelesaian sengketa yang berkaitan dengan hutan adat, menyepakati hal-hal yang berkaitan dengan kewajiban dan memberikan sanksi adat apabila terjadi pelanggaran awiq-awiq. Ostrom (1994, 2003) menyatakan bahwa keberhasilan pengelolaan sumberdaya hutan oleh masyarakat ditentukan oleh batas-batas sumberdaya hutan dan kelompok pengguna yang jelas, aturan-aturan yang cocok dan sesuai dengan kondisi lokal, modifikasi kebijakan dilakukan secara partisipatif dan dikelola secara lokal, kewenangan pengelolaan (kemantapan status kepemilikan, de facto atau de jure) dan para pengguna menetapkan dan menerapkan sanksi yang mengikat. Lembaga adat melalui program revitalisasi hutan adat melakukan sosialisasi kepada masyarakat adat mengenai batas kawasan hutan adat yang jelas dan penegakan awiq-awiq sebagai aturan dalam pengelolaan hutan adat. Teori transisi
16 hutan (Curran et al. 2004; Mather 1992, 2007) menyatakan bahwa perubahan persepsi dan sikap baik dari masyarakat maupun pemerintah dapat menyebabkan perubahan penutupan hutan. Adanya perubahan persepsi masyarakat adat dan pemerintah setempat mengenai pentingnya hutan adat, pengakuan kawasan hutan adat dan pengelolaan hutan adat yang lebih baik menyebabkan perubahan sikap masyarakat dan pemerintah yang ditunjukkan dengan dukungan terhadap program revitalisasi hutan adat, diantaranya adalah keikutsertaan masyarakat adat dalam pemetaan partisipatif hutan adat, pengesahan awiq-awiq dalam peraturan desa, pengajuan awiq-awiq dalam peraturan daerah dan kegiatan penanaman yang semakin sering dilakukan di hutan adat Desa Bayan. Setiap tahunnya lembaga adat melakukan penanaman di wilayah hutan adat Desa Bayan. Bibit didapatkan dari Dinas Kehutanan maupun dari kegiatan praktek mahasiswa yang rutin tiap tahun dilakukan di Desa Bayan, bahkan sering kali pemerintah maupun mahasiswa dengan melibatkan lembaga adat melakukan penanaman di hutan adat Desa Bayan. Kegiatan penanaman yang rutin dilakukan pasca terlaksananya program revitalisasi hutan adat menyebabkan perubahan penutupan hutan adat Desa Bayan berupa peningkatan luas penutupan pada periode tahun 2000 2012. Perubahan penutupan hutan adat Desa Bayan pada periode 2000 2012 maupun periode tahun 1981 2012 merupakan hasil dari perkembangan lembaga adat dalam menjalankan perannya sebagai pengelola utama hutan adat Desa Bayan.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Hutan adat Desa Bayan mengalami penurunan luas penutupan hutan pada periode 1981 2000 yang disebabkan oleh pembalakan liar dan pembukaan wilayah hutan. Lembaga adat tidak dapat berperan optimal karena belum mendapatkan pengakuan oleh pemerintah. Selanjutnya terjadi revitalisasi lembaga adat pada tahun 2004 2007. Peran lembaga adat berjalan lebih baik setelah adanya bukti legalitas batas kawasan hutan adat dan pengakuan pemerintah melalui pengesahan awiq-awiq ke dalam peraturan desa. Selain itu kegiatan penanaman menjadi semakin sering dilakukan oleh lembaga adat, baik kegiatan yang dilakukan secara mandiri, maupun bekerja sama dengan stakeholder lain. Hal ini menyebabkan peningkatan luas penutupan hutan pada tahun 2000 2012. Saran Peran lembaga adat perlu ditingkatkan dengan melakukan penataan kembali aset adat serta monitoring secara berkala terhadap sumberdaya alam yang ada di hutan adat. Selain itu, perlu dilakukan penelitian mengenai keseimbangan tugas, peran dan tanggung jawab pada masing-masing perangkat adat serta potensi sumberdaya hutan adat Desa Bayan.
17
DAFTAR PUSTAKA Adnan A. 2004. Perubahan penutupan hutan Taman Nasional Kerinci Seblat dan faktor yang mempengaruhi di Kabupaten Kerinci, Jambi [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Curran LM, Trigg SN, McDonald AK, Astiani D, Hardiono YM, Siregar P, Caniago I, Kasischke E. 2004. Lowland forest loss in protected areas of Indonesian Borneo. Science [Internet]. [diunduh 2013 April 15]; 303(5660):1000-1003. Tersedia pada http://www.geog.umd.edu. Dassir M. 2008. Pranata sosial sistem pengelolaan hutan masyarakat adat Kajang. J Hut Masy [Internet]. [diunduh 2012 April 28]; 3(2):111-234. Tersedia pada http://journal.unhas.ac.id/index.php/hm/article/view/111. Departemen Dalam Negeri. 1997. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 3 Tahun 1997 tentang Pemberdayaan dan Pelestarian serta Pengembangan Adat Istiadat [Internet]. [diunduh 2012 April 27] Tersedia pada http://www.kemendagri.go.id. Departemen Kehutanan. 1999. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan [Internet]. [diunduh 2011 Januari 25] Tersedia pada http://www.dephut.go.id. [FWI] Forest Watch Indonesia. 2011. Potret Keadaan Hutan Indonesia. Bogor (ID): Forest Watch Indonesia. Golar. 2007. Strategi adaptasi masyarakat adat Toro (Kajian kelembagaan lokal dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan di Taman Nasional Lore Lindu Provinsi Sulawesi Tengah) [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Gunawan H, Prasetyo LB, Mardiastuti A, Kartono AP. 2010. Fragmentasi hutan alam lahan kering di Provinsi Jawa Tengah. J Penel Hut dan Konserv Alam [Internet]. [diunduh 2012 April 28]; 7(1):75-91. Tersedia pada http://lbprastdp.staff.ipb.ac.id. Hasanah NI. 2011. Perubahan penutupan hutan di Taman Nasional Kutai Provinsi Kalimantan Timur [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Irawan R. 2012. Studi etnoekologi masyarakat Sasak Desa Bayan, Lombok, Nusa Tenggara Barat [skripsi]. Bandung (ID): Universitas Pendidikan Indonesia. Jaya INS. 2007. Analisis Citra Digital: Perspektif Penginderaan Jauh untuk Pengelolaan Sumberdaya Alam. Bogor (ID): IPB Pr. Kartodihardjo H. 2006. Refleksi Kerangka Pikir Rimbawan: Menguak Masalah Institusi dan Politik Pengelolaan Sumberdaya Hutan. Bogor (ID): Himpunan Alumni Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. [KBBI] Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2013. Kamus Besar Bahasa Indonesia [Internet]. [diunduh 2013 April 20] Tersedia pada http://kbbi.web.id/paguyuban. Khalil B. 2009. Analisis perubahan penutupan lahan di hutan adat Kasepuhan Citorek, Taman Nasional Gunung Halimun Salak [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Kolanus F. 2011. Analisis perubahan penutupan hutan di hutan adat 50 Tumbi (Lempur), Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
18 Mather A. 1992. The forest trantition. Area [Internet]. [diunduh 2013 April 15]; 24(4):367-379. Tersedia pada http://www.jstor.org/discover. Mather A. 2007. Recent Asian forest trantition in relation to forest trantition theory. International Forest Review. 9(1):491-502.doi:10.1505/ifor.9.1.491. Nababan A.1995. Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Adat : Antara Konsep dan Realitas. M m m “H T m R y ,U A S ” [Internet]. [diunduh 2012 Agustus 8]; hlm 1-8. Tersedia pada http://www.satgasreddplus.org. Nasriyanto AB. 2009. Kajian faktor faktor yang mempengaruhi kelestarian hutan adat (Pawang) [tesis]. Yogyakarta (ID): Universitas Gadjah Mada. Ostrom E. 1994. Neither Market nor State: Governance of Common-pool Resources in the Twenty-first Century [Internet]. Washington DC (US): International Food Policy Research Institute. hlm 1-20; [diunduh 2013 April 15]. Tersedia pada http://dlc.dlib.indiana.edu. Ostrom E. 2003. How types of goods and property right a jointly affect collective action. J Theorotical Politics. 15(3):239-270. Prasetyo LB, Setiawan Y. 2006. Land Use and Land Cover Change Gunung Halimun Salak National Park 1989 – 2004 [Management Plan Project]. Bogor (ID): JICA and Ministry of Forestry Indonesia. Rudel TK, Coomes OT, Moran E, Achard F, Algelsen A, Xu J, Lambin E. 2005. Forest transtitions: towards a global understanding of land use change. Glob Environt Chang [Internet]. [diunduh 2013 April 12]; 15(1):23-31. Tersedia pada http://greenbiz.com. Safitri H. 2009. Menuju Demoktratisasi Pemetaan Refleksi Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia. Bogor (ID): Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif. Sirait M, Fay C, Kusworo A. 2001. Bagaimana Hak hak Masyarakat Adat dalam Mengelola Sumber Daya Alam Diatur?. Bogor (ID): Diterbitkan bersama ICRAF, LATIN, P3AE UI. Suyanto B, Sutinah. 2008. Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif Pendekatan. Jakarta (ID): Kencana. Zoraya AF. 2002. Sistem pengelolaan hutan adat di Desa Tana Toa, Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
19 Lampiran 1 Hasil perhitungan uji akurasi citra landsat ETM+ 2012 CLASSIFICATION ACCURACY ASSESSMENT REPORT --------------------------------------------------------------------------Image File : c:/users/rian/klasifikasinov2012_1_recod7nov.img User Name : Rian Date : Wed Nov 07 16:03:15 2012
ERROR MATRIX -----------------------
Classified Data ------------------Unclassified Pemukiman Ladang Hutan Kebun Sawah Semak Column Total
Classified Data ------------------Unclassified Pemukiman Ladang Hutan Kebun Sawah Semak Column Total
Reference Data ------------------Unclassifi Pemukiman --------------------------0 0 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2
Kebun -----------0 0 0 3 8 0 0 11
Reference Data ------------------Sawah -----------0 0 0 0 0 9 0 9
Ladang ---------0 0 14 1 0 0 0 15
Semak -----------0 0 0 0 0 1 27 28
----- End of Error Matrix -----
Hutan -------0 0 3 52 0 1 3 59
Row Total -------------0 2 17 56 8 11 30 124
20 ACCURACY TOTALS -----------------------------Class Reference Name Totals ---------- ------------Unclassified 0 Pemukiman 2 Ladang 15 Hutan 59 Kebun 11 Sawah 9 Semak 28 Totals 124
Classified Totals ------------0 2 17 56 8 11 30 124
Overall Classification Accuracy =
Number Correct ---------0 2 14 52 8 9 27 112
90.32%
----- End of Accuracy Totals -----
KAPPA (K^) STATISTICS ---------------------------------Overall Kappa Statistics = 0.8620 Conditional Kappa for each Category. ---------------------------------------------Class Name --------------Unclassified Pemukiman Ladang Hutan Kebun Sawah Semak
Kappa --------0.0000 1.0000 0.7992 0.8637 1.0000 0.8040 0.8708 ----- End of Kappa Statistics -----
Producers Accuracy --------------100.00% 93.33% 88.14% 72.73% 100.00% 96.43%
Users Accuracy ------------100.00% 82.35% 92.86% 100.00% 81.82% 90.00%
21
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 4 September 1990 sebagai anak pertama dari dua bersaudara pasangan Bapak Haryanto Dwi Swasono dan Ibunda Mei Martini. Pada tahun 2007 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Mataram, Nusa Tenggara Barat. Penulis diterima di IPB melalui Undangan Seleksi Mahasiswa IPB (USMI) di Departemen Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan pada tahun yang sama. Kemudian pada tahun 2008 penulis melakukan cuti selama satu tahun dan pada tahun 2009 kembali memasuki dunia perkuliahan. Selama mengikuti perkuliahan penulis terlibat aktif dalam anggota Himpunan Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) tahun 2009 2011, sekretaris diklat serta ketua Biro Informasi dan Komunikasi Kelompok Pemerhati Goa (KPG) ”HIRA” HIMAKOVA tahun 2010 2011, anggota Kelompok Pemerhati Mamalia (KPM) ”TARSIUS” HIMAKOVA, asisten Rekreasi Alam dan Ekowisata (RAE), Interpretasi Alam, Praktek Pengelolaan Hutan (PPH) dan Analisis Lingkungan dan Pemodelan Spasial (ASPAL). Penulis mengikuti Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Baturaden dan Cilacap, Jawa Tengah pada tahun 2011 dan Praktek Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi pada tahun 2012. Penulis juga telah melaksanakan Praktek Kerja Lapang (PKL) di Taman Nasional Gunung Rinjani pada tahun 2012. Kemudian pada tahun 2011 dan 2012 penulis berperan sebagai ketua kelompok dalam Program Kreativitas Mahasiswa Penelitian (PKM-P) yang didanai oleh DIKTI dengan judul Model Pengembangan Wisata Budaya Prasejarah dengan Konsep Taman EkoArkeologi di Kawasan Karst Pasir Pawon serta sebagai penulis kedua dalam Program Kreativitas Mahasiswa Artikel Ilmiah (PKM-AI) dengan judul Potensi Caving Goa Air Es di Taman Nasional Manupeu Tanadaru. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, penulis melakukan penelitian dengan judul Peran Lembaga Adat dalam Perubahan Penutupan Hutan Adat Desa Bayan, Lombok Utara dibawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo M.Sc dan Dr. Ir. Arzyana Sunkar M.Sc.