BAB IV ANALISA HAK REKLAME PENJUAL ATAS PEMBELI YANG PAILIT PASAL 230-239 KUHD
A. Analisa Terhadap Materi Hukum Pasal 230-239 KUHD Jual beli hutang dalam KUHD merupakan hubungan timbal balik antara penjual dan pembeli yang harus saling berprestasi, penjual memberikan barang sementara pembeli membayar harga yang telah disepakati, tetapi apabila terjadi wanprestasi artinya pembeli tidak dapat melunasi harga beli yang telah disepakati maka akan terjadi hak reklame (penuntutan kembali) sampai akhirnya dinyatakan jatuh pailit. Lain halnya dengan pasal 1145 BW. Bila penjualan secara tunai, maka penjual mempunyai wewenang untuk menuntut kembali barang-barangnya, selama barang masih di tangan pembeli dan menghalangi dijualnya lebih lanjut, dan penuntutan kembali dilakukan dalam jangka waktu 30 hari, karena terjadi diluar kepailitan. Sedang dalam penuntutan kembali dalam kepailitan menjadi 60 hari terhitung dari barang tersebut diserahkan. Sesuai dengan bahan materi dalam bab III, maka untuk memudahkan dalam menjelaskan dan menguraikan tentang bagaimana hak penjual atas pembeli yang pailit, maka penulis menulis kembali apa yang telah diklasifikasikan dalam tiga kategori, sebagai berikut : 1. Apabila terjadi jual beli yang terhadap barang bergerak yang belum dilunasi sepenuhnya harga pembeliannya dan barang tersebut telah
69
70
diserahkan pada orang yang pailit maka dapat dituntut kembali dengan ketentuan sebagai berikut; (pasal 230 KUHD) Sementara penuntutan tersebut dapat dilakukan dengan cara:1 a. Penjual (kreditur) atau beberapa kreditur atau badan hukum harus melaporkan pada pengadilan yang bersangkutan dengan masalah tersebut yaitu pengadilan Negeri bahwa pembeli (debitur) yang ingkar atau tidak dapat memenuhi prestasinya, dengan tidak dapat membayar hutang atas perjanjian jual beli yang harganya belum dilunasi tersebut kepada penjual (kreditur) di tempat kediaman debitur baik dengan cara tertulis maupun secara lisan (pasal 2 ayat 1 PK). b. Setelah pengadilan menerima permohonan kepailitan itu, panitera atau pejabat yang mewakilkan nya memanggil para pemohon (kreditur maupun debitur) untuk datang kedepan sidang pengadilan yang khusus memeriksa kepailitan tersebut. Apabila debitur pailit bertempat tinggal diluar wilayah pengadilan yang berkompeten untuk memeriksa permohonan kepailitan, maka pengadilan tersebut dan mendelegasikan wewenangnya untuk memeriksa debitur kepada pengadilan negeri di tempat debitur guna melaporkan kepada pengadilan pertama pasal 6 ayat 2). c. Apabila di dalam pemeriksaan itu terbukti secara summier bahwa debitur berada dalam keadaan berhenti membayar, maka hakim menjatuhkan keputusan pailit kepada debitur. Vonis ucapan kepailitan 1
Zainal Asikain, Hukum Kepailitan Dan Penundaan Pembayaran Di Indonesia, cet. Kedua, Jakarta:PT Raja Garfindo Persada, 1994, Hlm.39-40
71
itu harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum (pasal 3 ayat 3). Keputusan kepailitan bersifat konsumtif artinya putusan yang meniadakan keadaan hukum atau menimbulkan keadaan hukum baru. d. Disamping hal yang lazim, hakim juga memutuskan antara lain (identitas penggugat, tergugat, pertimbangan hukum dan diktum) serta: a. Pengangkatan seorang hakim sebagai hakim komisaris b. Pengangkatan panitia sementara para kreditur kalau kepentingan budel menghendaki e. Setelah keputusan kepailitan dijatuhkan oleh hakim yang memeriksa, maka penitera pengadilan negeri segera memberi putusan: a. Balai harta peninggalan (BHP) yang berkedudukan dalam daerah hukum pengadilan negeri yang memutus kepailitan tersebut. b. Perum pos dan giro serta telekomunikasi di tempat hakim yang memutus maupun yang berada di tempat si pailit. f. Selanjudnya untuk melindungi pihak ketiga, maka putusan kepailitan oleh Balai Harta Peninggalan harus diumumkan pada majalah atau surat-surat kabar resmi yang ditunjuk oleh Hakim komisaris. 2. Syarat untuk dapat menuntut kembali barang yang terdapat pada orang yang pailit adalah a. Barang tersebut masih utuh maksudnya meskipun barang itu sudah dikeluarkan dari bungkusnya, dibungkus kembali atau dikurangi. (pasal 231 KUHD)
72
b. Penuntutan dapat dilakukan dalam jangka waktu enam puluh hari terhitung dari saat barang tersebut diserahkan pertama kali, bila barang tersebut masih dalam perjalanan baik di darat maupun di air atau barang tersebut masih terdapat pada orang pailit ataupun terdapat pada pihak ketiga baik dengan penentuan waktu maupun tidak. (pasal 232 KUHD) c. Bila pembeli telah melunasi sebagian uang pembeliannya, maka penjual wajib memberikan kembali uang yang telah diterimanya pada harta pailit. (pasal 233 KUHD) d. Bila barang dijual hanya sebagian didapatkan pada harta pailit pembelian kembali dilakukan menurut timbangan semula. (pasal 234 KUHD) e. Penjual yang menerima kembali barangnya wajib memberi ganti rugi pada pembeli pailit untuk semua yang telah dibayar atau masih terutang karena Bea, upah pengangkutan, komisi, asuransi, kerugian laut dan segala biaya yang digunakan untuk keselamatan barang tersebut. (pasal 235 KUHD) f. Bila pembeli telah mengakseptsi dengan Surat Wesel atau Surat dagang lain dengan jumlah penuh, maka tidak terjadi penuntutan kembali. Tetapi bila akseptsi itu dilakukan untuk sebagian dari uang pembelian yang terutang dapat dilakukan penuntutan kembali, asalkan untuk kepentingan harta orang yang jatuh pailit
73
diadakan jaminan untuk hak sebagai akibat dari akseptasi itu. (pasal 236 KUHD) g. Bila barang yang dituntut kembali diambil dengan I'tikad baik sebagai jaminan utang oleh pihak ketiga, penjual tetap mempunyai hak untuk menuntut kembali, Akan tetapi mempunyai kewajiban pada pemberi hutang untuk memenuhi jumlah yang dipinjamkan, dengan bunga dan biaya yang terutang. (pasal 237 KUHD) h. Tuntutan kembali dihapus bila barang itu selama perjalanan dibeli pihak ketiga dengan I'tikad baik atas faktur dan atas konosemen atas Surat muatan. Namun penjual aslinya tetap mempunyai hak pada pembeli harga pembeliannya selama belum dilunasi, dan ia mempunyai hak mendahului terhadap uang itu dengan tidak mencampurkan uang itu dengan harta orang pailit. (pasal 238 KUHD) 3. Para pengurus harta pailit mempunyai wewenang untuk mempertahankan harta itu, barang-barang yang dituntut kembali, asalkan memenuhi harga pembelian kepada penjual yang olehnya tidak dipersyaratkan pada orang yang pailit. (pasal 239 KUHD)2 Apabila terjadi jual beli yang belum dilunasi dan pembelinya dinyatakan pailit sementara barangnya masih terdapat pada orang tersebut, maka penjual berhak untuk menuntut kembali barangnya. Walaupun pembeli
2
Lihat Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
74
itu telah menghabiskan sebagian barang atau tidak utuh lagi, artinya tidak merubah bentuk dan sifat aslinya. Kepailitan merupakan suatu proses dimana seorang debitur yang mempunyai kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan, dalam hal ini pengadilan niaga, dikarenakan debitur tersebut tidak dapat membayar utangnya. Harta debitur dapat dibagikan kepada para kreditur sesuai dengan peraturan pemerintah. Dalam hal seorang debitur hanya mempunyai satu kreditur dan debitur tidak membayar utangnya dengan sukarela, maka kreditur akan menggugat debitur secara perdata ke Pengadilan Negeri yang berwenang dan seluruh harta debitur menjadi sumber pelunasan utangnya kepada kreditor tersebut. Hasil bersih eksekusi harta debitur dipakai untuk membayar kreditor tersebut. Sebaliknya dalam hal mempunyai banyak kreditur dan harta kekayaan debitur tidak cukup untuk membayar lunas semua kreditur, maka para kreditur berlomba dengan segala cara, baik yang halal maupun yang tidak, untuk mendapatkan pelunasan tagihannya terlebih dahulu. Kreditur yang datang belakangan mungkin sudah tidak dapat lagi pembayaran karena harta debitur sudah habis. Hal ini sangat tidak adil
dan merugikan. Menurut Kartini
Mulyadi, hal inilah yang menjadi maksud dan tujuan dari undang-undang Kepailitan yaitu untuk menghindari terjadinya keadaan seperti yang dipaparkan diatas. Dari sudut sejarah hukum, undang-undang kepailitan, pada mulanya bertujuan untuk melindungi para kreditur dengan memberikan jalan
75
yang jelas dan pasti untuk menyelesaikan utangnya tanpa membayar secara penuh, sehingga usahanya dapat bangkit kembali tanpa beban utang.. 3 Pada dasarnya, Islam juga membolehkan untuk menuntut kembali barang yang dijual, karena pembeli tidak dapat melunasi harga jualannya tersebut dan atas permintaan penjual (kreditur), maka pembeli (debitur) dinyatakan kebangkrutannya (Tafliis) oleh Hakim. Baik penuntutan tersebut adalah barang bergerak atau tidak bergerak, karena dalam Islam tidak ada yang mengatur tentang syarat benda harus bergerak atau tidak. Sedangkan dalam pasal 230 KUHD adalah barang yang dituntut kembali itu berupa barang bergerak. Sesuai dengan pendapat Jumhur Ulama, Hakim harus sesegera mungkin menyatakan kebangkrutan nya (pembeli yang tidak dapat melunasi harga pembelian sesuai kesepakatan) dan tentunya telah terbukti atas kelalain pembeli tersebut. Serta berdasar pada kisah Mu'azd bin Jabal, yang tidak dapat melunasi hutangnya pada masa Rosul, dan ketika itu ada orang memberi hutang pada Mu'azd datang dan mengadu pada Rosul, kalau Mu'azd telah lalai dan mohon untuk dinyatakan pailit, kemudian Rosul memberikan apa yang dimiliki oleh Mu'azd walaupun harta Mu'azd tidak sebanding dengan hutangnya, karena tidak ada yang dapat diberika padamua kecuali hanya itu. Dengan kisah tersebut, maka penjual dapat menuntut kembali barangnya yang masih terdapat pada pembeli pailit tersebut. Hadits dari Nabi SAW itu berbunyi:
3
Geogle, Artikel Kepailitan di Indonesai (Pengantar) 12 Januari, 2006
76
ﻴﻨِـ ِﻪﻌ ِﺑﺎﹶﻟﻪﻙ ﻣ ﺭ ﺩ ﻦ ﹶﺍ ﻣ : ﻋﻦ ﺍﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺎﻝ، ﻭﻋﻦ ﺍﰊ ﻫﺮﻳﺮﺓ ﺭﺿﻲ ﺍﷲ ﻋﻨﻪ (ﻴ ِﺮ ِﻩ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﳉﻤﺎﻋﺔﻦ ﹶﻏ ﻖ ِﺑ ِﻪ ِﻣ ﺣ ﻮ ﹶﺍ ﺲ ﹶﻓﻬ ﺪ ﹶﺍ ﹾﻓﹶﻠ ﺎ ِﻥ ﹶﻗﻧﺴﻭ ِﺍ ﺲ ﹶﺍ ٍﻞ ﹶﺍ ﹾﻓﹶﻠﺭﺟ ﺪ ﻨِﻋ Artinya: “Dan dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi SAW., ia bersabda: "siapa yang mendapatkan hartanya masih utuh pada seseorang yang pailit – atau seorang manusia yang pailit – maka ia lebih berhak atas barangnya itu daripada orang lain”.” (HR Jama’ah)4 Asal mula hadist tersebut adalah dari 4 perbedaan pendapat, yaitu: Pertama: Bahwa bagaimanapun juga pemilik barang lebih berhak atas barang tersebut. kecuali jika ia meninggalkannya dan memilih pembagian piutang. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Syafi’i, Ahmad dan Abu Tsaur. Kedua: Bahwa nilai barang harus dilihat pada saat diputuskan kepailitannya. Jika nilai tersebut lebih rendah dari harga semula, maka pemilik barang disuruh memilih antara mengambil barang tersebut atau ikut dalam pembagian piutang. Sedang apabila nilainya lebih banyak atau sama dengan harga semula, maka ia mengambil barang itu sendiri. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Malik dan pengikutnya. Ketiga: Bahwa barang tersebut harus dinilai pada waktu pailit jika nilainya sama atau kurang dari harga semula, maka barang tersebut diputuskan untuknya, yakni si penjual. Tetapi jika nilainya lebih banyak, maka penjual diberi sebanyak harga semula, kemudian para kreditur mengadakan
4
Bandingkan Koleksi Hadits-Hadits Hukum 7, Hlm 149-150, 2002 Mutiara Hadits, Hlm.478-479 ,Terjemah Nailul Author 4, Hlm.1800-1801
77
pembagian pada kelebihannya. Pendapat ini dikemukakan oleh segolongan ahli atsar. Keempat : Bahwa bagaimanapun juga para kreditur itu harus mengikuti pemilik barang. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah dan Ahli Kufah. Hadits tersebut mensyaratkan untuk dapat mengambil kembali adalah masih utuh.5 Sedang dalam pasal 231 KUHD juga disebutkan bahwa syarat untuk melakukan penuntutan kembali barangnya harus utuh, bukti untuk itu diizinkan meskipun barang tersebut dikeluarkan dari bungkusnya, dibungkus kembali kembali atau dikurangi. Maksudnya barangnya ada asal tidak merubah bentuk dan sifat aslinya. Syarat utuh dalam Islam tidak dijelaskan secara gamblang, kemudian banyak para Ulama yang berpendapat tentang barang yang masih utuh dalam hadits tersebut. Berikut diantara pendapat mereka: Asy-Syafi’i dan Jumhur Ulama berpendapat bahwa si penjual tetap berhak menarik kembali barangnya walaupun sudah dalam keadaan tidak utuh lagi. Golongan Hanafi tidak sependapat karena menyalahi kaidah, Jumhur Ulama berpendapat bahwa apabila harganya sudah dilunasi sebagian, maka barang tersebut tidak dapat ditarik kembali. Apabila barangnya masih utuh, si penjual tak dapat mengambil lagi barangnya, demikian pendapat Imam Malik dan Ahmad sedang Asy-Syafi’i berpendapat, dapat diambil kembali. Syafi’i dan Ahmad juga berpendapat untuk menolak harga yang hendak dibayar oleh 5
Bandingkan Koleksi Hadits-Hadits Hukum 7, Hlm. 149-150, 2002, Mutiara Hadits, Hlm. 478 – 479, Terjemah Nailul Author 4, Hlm. 1800-1801, al-Umm, Juz-V, Hlm. 36
78
para pewarisnya. Malik mengharuskan si penjual menerima harga yang dibayar oleh waris.6 Penuntutan kembali terjadi karena pembeli tidak dapat memenuhi prestasinya yaitu membayar harga barang yang telah disepakati tersebut maka penuntutan dapat terjadi melalui proses hukum yaitu Hakim yang memutuskan pembeli tersebut dengan pernyataan pailit dengan syarat-syarat sebagai berikut, yaitu : 1. Debitur mempunyai dua atau lebih kreditur; 2. Debitur tersebut tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo, dan dapat ditagih.7 Berdasarkan landasan hukum yang dinyatakan oleh Imam Syafi'i dan Imam Malik dengan alasan hadits Mu'az bin Jabal ra. "Bahwa sesungguhnya Mu'az Bil Jabal banyak hutangnya dimasa Rasulullah SAW., maka tidak lebih beliau hanya memberikan hartanya untuk para krediturnya".8 Sedangkan untuk mengambil kembali barang yang telah didapati oleh penjual adalah penulis mengambil syarat yang diutarakan oleh Syafi'i karena itu adalah syarat yang paling ringan dan dipandang cukup sebagai syarat untuk mengambil barang tersebut.
6
M Hasbi Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadits-Hadits Hukum 7,edisi ke2, Semarang, PT Pustaka Rizki Putra, cet.3,2001, hlm.149-150 7 Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Kepailitan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Cet 4, 2004, Hlm.15 8 Ibn Rusyd, terjemahan Bidah Al-Mujtahid, Semarang:Asy-syifa', 1990, Cet.1, Hlm. 332
79
Syarat untuk mengambil kembali barang yang penjual dapati pada pembeli pailit yang diutarakan oleh Syafi'i:9 1. Waktu pembayaran hutang telah jatuh tempo. 2. Debitur enggan membayar utangnya. 3. Barang yang menjadi hutang masih di tangan debitur. Dari sini jelas bahwa orang yang hutang tetapi tidak dapat melunasi hutangnya dan dinyatakan kebangkrutannya, maka boleh kita membatalkan akad jual beli yang sudah kita lakukan dan kita mengambil kembali barang kita.10 Hadits ini menyatakan bahwa si pemilik barang dapat mengambil kembali barangnya tanpa harus menunggu keputusan Hakim (pendamai). Pendapat inilah yang dipandang lebih shahih diantara pendapat Ulama.11 Selain kreditur dapat mengambil kembali barang yang masih terdapat pada orang yang telah bangkrut, maka akan ada kemungkinan bila harta tersebut berubah karena bertambah atau berkurang, maka pemiliknya lebih berhak atasnya; akan tetapi diberlakukan sama dengan orang-orang yang berpiutang.12
9
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam (Fiqh Muamalah), Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Hlm. 201 10 Ibid., 11 Ibid., 12 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 14, Judul Asli: Fiqhussunnah, Bandung: PT Al Ma'arif, Hlm. 214
80
Dikalangan Fuqoha tidak ada silang pendapat tentang pembeli yang telah menghabiskan sebagian barang, maka penjual lebih berhak atas sebagian (sisa) barang yang didapati.13 Ringkasnya, tidak diperselisihkan lagi dalam madzhab Maliki, bahwa penjual lebih berhak atas barangnya yang masih ada tetapi tidak berada dalam tangannya, dalam hal pailit bukan kematian. Dan bahkan penjual itu menjadi panutan para kreditur pada barangnya, jika barangnya itu sudah tidak ada. Juga dalam hal yang bermiripan dengan keadaan buruh, menurut pendapat para Imam Malik. Hal ini sesuai dengan hadits di atas. Hadits di atas juga diriwayatkan oleh Abu Daud, menurut Al-Hafidh, sanadnya Hasan, hadits tersebut menyatakan bahwa bila seseorang menjual sesuatu barang kepada seseorang yang ternyata tak mampu membayar (jatuh bangkrut), dan barangnya kemudian dikemukakan pada si pembeli tersebut, dalam keadaan masih utuh, maka barang tersebut bisa diambil kembali oleh penjualnya. Syarat untuk dapat mengambil kembali adalah masih utuh.14 Supaya tidak merugikan penjual, maka penuntutan dapat dilakukan walau barang tersebut tidak utuh lagi (sebagaimana pendapat Syafi'i) dan supaya penjual dapat menjual barang tersebut kembali walaupun harganya tidak sama seperti harga semula. Atau penjual boleh memilih antara mengembalikan harga barang yang telah ia terima atau kreditur tidak mengembalikan harga yang telah ia terima sebagai imbalan karena kelalaian
13 14
Ibnu Rusyd, op.cit., Bandingkan Koleksi Hadits-Hadits Hukum 7, Terjemah Nailul Author 4
81
pembeli, karena walau demikian barang yang berhasil diambil kembali tidak akan bisa dijual dengan harga seperti semula, Jadi, jika debitur enggan membayar hutangnya kepada kreditur, maka hakim menjual harta yang padanya. Dan kemudian membagikan pada para kreditur atau memberikan hak Tafliis padanya. Jika hartanya tidak mencukupi untuk membayar hutangnya, dan kemudian menghajr atau membatasi dalam mentasarufkan hartanya. Pendapat ini didasarkan pada hadist Mu'azd bin Jabal dimana dia mempunyai hutang yang banyak sehingga hartanya tidak mencukupi untuk membayar kepada krediturnya. Dalam pasal 233 KUHD, yang menyatakan apabila pembeli telah melunasi sebagian harga penjualannya, maka dalam penuntutan kembali penjual wajib mengembalikan sebagian harga yang telah diberikan penjual tersebut. Bila pasal tersebut diaplikasikan dalam kehidupan nyata, maka penjual yang mendapati kembali barang bergerak yang telah dibeli, sedangkan pembelinya bangkrut dan telah dinyatakan kepailitanya, jelas sangat merugikan penjual, karena disamping barang itu akan jatuh harga jualnya kembali setelah di pakai oleh pembeli yang pailit tersebut. Dan pendapat ini sesuai dengan pendapat Jumhur bahwa penjual tersebut tidak mempunyai hak untuk menuntut kembali barang yang telah dijual dan mendapat angsuran atau sebagian harga telah diterimanya akan tetapi ia diperlakukan seperti orangorang yang berpiutang lainnya artinya penjual tersebut tidak mempunyai hak mendahului. Dibawah ini pendapat tersebut.
82
Sedangkan apabila dia menjual harta itu dan telah menerima sebagian dari harganya, maka orang yang mempunyai harta itu diperlakukan sama seperti orang-orang yang berpiutang; dan menurut Jumhur, dia tidak mempunyai hak untuk meminta kembali apa yang telah dijual. Yang lebih kuat di antara pendapat dua pendapat Syafi'i ialah bahwa yang memberinya itu lebih berhak atasnya.15 Mengenai pembelian kembali (pasal 234 KUHD) tidak disinggung dalam Islam tentang penuntutan kembali. karena itu, sama juga dalam pasal 233 KUHD diatas, apabila pembelian kembali terjadi sedangkan barang yang dijual yang dikembalikan sudah pernah dipakai dan itu artinya apabila barang yang didapati itu kembali dalam kepailitan maka bila penjual akan menjual kembali barang tersebut pada orang lain, maka tidak akan sama seperti harga semula. Tapi ada sedikit keuntungannya karena dalam pembelian kembali disesuaikan dengan harga semula. Dan apabila penjual yang menerima kembali barangnya wajib memberi ganti rugi atas seluruh bea untuk keselamatan barang tersebut (pasal 235 KUHD). Serta ketentuan dalam (pasal 236 KUHD) tentang barang yang diakseptasikan dengan surat wesel atau surat dagang lain baik dalam jumlah penuh ataupun tidak penuh tidak ada ketentuannya dalam Islam, karena menurut penulis akan dipandang sama dengan pendapat sebelumnya yaitu siapapun yang mendapati barangnya pada orang yang telah jatuh pailit maka tidak lebih dialah yang lebih berhak atasnya ketimbang lainnya.
15
Ibid.,
83
Penuntutan kembali juga berlaku walaupun, barang tersebut berada pada pihak ketiga sebagai jaminan utang selama pihak ketiga tersebut belum melunasi hutangnya (pasal 237 KUHD), sedangkan dalam pasal 238 KUHD juga sama dengan pasal sebelumnya, kecuali bila dalam perjalanan dibeli dengan I'tikad baik atas faktur dan konosemen atas surat muatan maka tidak terjadi penuntutan. Dalam pasal-pasal tersebut juga tidak disinggung dalam Islam. Penulis juga hanya berpendapat, bahwa pada dasarnya penuntutan kembali dilakukan semata-mata, bagaimana mereka (kreditur dan debitur) harus saling berprestasi, saling memenuhi hak-hak diantara mereka. Kemudian ada pendapat apabila pembelinya mati, sedang penjualnya belum menerima harganya, kemudian penjual itu menemukan apa yang dijualnya, maka ia berhak terhadapnya karena alasan hadits. Sebab tidak ada perbedaan antara kematian dan kebangkrutan. Ini adalah pendapat AsySyafi’I.: Kemudian Hanafiyah berkata: Barang siapa yang bangkrut (hakim sudah mengatakan tentang kebangkrutannya) sedang dia mempunyai harta, artinya seperti orang hutang yang tidak mempunyai hak atas harta itu dibanding orang-orang yang hutang lainnya. Apabila bangkrut sebelum memiliki harta atau sesudah memiliki harta tanpa ijin penjual maka ia wajib mengembalikannya, dan menahannya dengan harga dalam keadaan belum dimiliki.16
16
Terjemahan Fiqh Islam Wal-Adillah, Darul Fiqr, Hlm. 475
84
Kemudian bagaimana dengan harta si pailit tersebut, siapa yang akan membatu si pailit dalam mentasarufkan atau menjaga hartanya agar tidak dijadikan rebutan oleh para kreditur. Ka'ab Ibn Malik ra. Menerangkan:17
ﺑ ِﻦﺩ ﻓِﻰﻋﻪ ﺎﻭﺑ ,ﺎﹶﻟﻪﺎ ِﺫ ﻣﻣﻌ ﻋﻠﹶﻰ ﺮ ﺠ ﺣ :ﻨﺒِﻲ ﺹ ﻡ ﹶﺍﻥﱠ ﺍﻟ, ﻚ ِ ﻣِﻠ ﺑ ِﻦ ﺐ ِ ﻌ ﻦ ﹶﻛ ﻋ (ﻴ ِﻪ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺪﺍﺭﻗﻄﲎﻋﹶﻠ ﻛﹶﺎ ﹶﻥ Artinya: "Nabi SAW. Mengawasi harta Mu'az Bin Jabal dan menjual kekayaannya untuk melunasi hutangnya." (HR. Ad-Darulquthny). Maksudnya yang mengawasi adalah curator dan hakim boleh menjual harta orang yang berhutang untuk melunasi hutangnya, karena takut dihabiskan seluruh kekayaannya. Sedangkan Syafi'I, Malik, Abu Yusuf dan Muhammad,
membolehkan
penjualan
harta
debitur
atas
permintaan
krediturnya. Diriwayatkan oleh Abu Hanifah, bahwa tidak boleh dilakukan pengawasan terhadap orang yang berhutang, dan tidak boleh menjual kekayaannya.
Si
debitur
disandra
sampai
dia
melunasi
seluruh
hutangnya.(pasal 239 KUHD) Disini terlihat sangat jelas, bahwasanya hadits di atas menunjukkan bahwa kurator lah yang mengurus harta si pailit, untuk menghindari perebutan terhadap harta atau sisa harta si pailit. Para curator akan membantu si pailit asal si pailit memenuhi tuntutan para kreditur yaitu membayar seluruh hutanghutangnya kepada para kreditur.
17
M Hasbi Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadits-Hadits Hukum 7, op.cit, Hlm.151-152
85
Fuqaha Amshar juga berpendapat dan telah sependapat bahwa ketiadaan hartanya itu berpengaruh pada penghapusan hutang hingga tiba saat mempunyai, sebagaimana Islam juga menyerukan untuk memberi kesempatan pada orang yang kesusahan sesuai dengan Surat Al-Baqarah 280.
ﻮ ﹶﻥﻌﹶﻠﻤ ﺗ ﻢ ﺘﻨﻢ ِﺇ ﹾﻥ ﹸﻛ ﺮ ﹶﻟ ﹸﻜ ﻴﺧ ﺪﻗﹸﻮﺍ ﺼ ﺗ ﻭﹶﺃ ﹾﻥ ﺮ ٍﺓ ﺴ ﻴﻣ ﺮ ﹲﺓ ِﺇﻟﹶﻰ ﻨ ِﻈﺮ ٍﺓ ﹶﻓ ﺴ ﻭِﺇ ﹾﻥ ﻛﹶﺎ ﹶﻥ ﺫﹸﻭ ﻋ (280:)ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ Artinya: "Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau seluruh harta kamu) itu lebih baik jika kamu mengetahui. (QS. Al-Baqarah: 280).18
Dalam Islam ayat diatas memang bertujuan baik dalam bersedekah atau tolong-menolong, perbuatan tersebut akan menghasilkan buahnya ketika kita memasuki alam lain. Tetapi lagi-lagi ini adalah dunia nyata yang fana dimana kita harus berjuang untuk dapat mempertahankan hidup, oleh sebab itu para manusia disunnahkan untuk bermu'amalah tentunya dengan cara yang baik. Mau menyedekahkan atau tidak itu terserah yang punya barang atau harta. Mengenai pendapat Fuqaha yang mengharuskan pengampunan terhadap orang yang bangkrut itu semata-mata karena kemaslahatan supaya manusia itu tetap saling memenuhi hak-hak diantara mereka yaitu kreditur dan debitur.
18
Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahan, Semarang: Toha Putra,1989
86
B. Pendapat Fuqaha Tentang Benda Milik Pembeli Pailit Sebelum mengetahui pendapat Fuqaha tentang benda milik pembeli yang pailit, penulis perlu menguraikan benda-benda yang tidak termasuk dinyatakan pailit. Berdasarkan pasal 20 undang-undang kepailitan mengecualikan beberapa macam harta kekayaan debitur dari harta pailit. Barang-barang yang tidak terjangkau atau tidak dikenakan pernyataan pailit adalah: a. Alat perlengkapan tidur dan pakaian sehari-hari. b. Alat perlengkapan Dinas. c. Alat perlengkapan kerja. d. Persediaan makanan kira-kira satu bulan. e. Buku-buku yang dipakai untuk kerja. f. Gaji atau upah pensiun, uang jasa, honorarium pengarang. g. Sejumlah uang yang diterima dari penghasilan anak-anaknya Barang-barang yang dikenakan pailit haruslah dimiliki sipailit sendiri sedang barang-barang pihak ketiga yang kebetulan berada pada sipailit, tidak terkena oleh kepailitan. Dalam hukum perdata, apabila salah seorang berumah tangga telah dinyatakan pailit dalam persatuan harta maka semua barang yang tersisa dapat dijadikan jaminan, serta istri dapat muncul sebagai kreditur konkuren kalau suaminya berhutang kepada istrinya yang apabila suaminya dinyatakan pailit dan istrinya menginginkan harta bawaannya kembali.
87
Sebagai mahluk sosial, kita tercipta untuk saling tolong menolong terhadap yang kesusahan, tidak boleh kejam sesama mahluk Tuhan. Maka, walaupun orang yang bangkrut tersebut telah merugikan penjual dengan tidak bisa melunasi hutang-hutangnya secara penuh dan walaupun barang kita kembali tidak seperti semula maksudnya walaupun barangnya sudah dikeluarkan, dibungkus kembali atau dikurangi asal tidak merubah bentuk dan sifat aslinya, penjual tetap memberi kenyamanan untuk keluarga si pailit dan sebaiknya ada beberapa barang yang ditinggalkan untuknya. Menurut madzhab Maliki adalah ditinggalkan untuk hidup dirinya bersama istri dan anak-anaknya yang masih kecil untuk waktu beberapa hari lamanya. Dari kitab Al-Wadhiah dan Al-'Atabiyah dikatakan, untuk masa sebulan dan sekitar itu, dan ditinggalkannya pakaian sepantasnya.19 Syafi'I dan Imamiyah mengatakan perkawinan itu sah tetapi seluruh mahar dinyatakan sebagai hutang suami, istri tidak mempunyai hak atas harta yang ada bersama para piutang. Sedang Hanafi mengatakan perkawinannya sah dan istrinya berhak atas mahar mitsli bersama-sama para piutang sedangkan yang lebih dari itu dinyatakan sebagai hutang yang harus dibayar suaminya.20 Mungkin dengan kreditur yang masih berbaik hati memberikan atau menyisakan harta yang seharusnya digunakan untuk menutup hutangnya, menjadikan kreditur lebih lancar dalam menjalankan usahanya, sementara 19
Ibn Rusd, op.cit., Muhammad Jawad Mughniyah, fiqih lima mazhab: Ja'fari, Hanafi, Maliki, Syafi'I, Hambali/Muhammad Jawad Mughniyah, Judul Asli: Al-Fiqh 'ala al-madzhi alkhamsah;penerjemah Masykur A.B ed, Cet. 5, Jakarta: Lentera, 2000, Hlm. 704 20
88
debitur dapat memulai usaha yang baru untuk dapat melanjutkan hidupnya beserta keluarganya. Apabila seorang debitur tidak dapat melunasi hutang-hutangnya maka krediturnya dapat minta supaya harta kekayaannya disita, apabila terdapat beberapa kreditur, maka masing-masing kreditur itu dapat menyita harta kekayaannya, sehingga terjadi sekian banyak penyitaan. Akibat daripada itu ialah bahwa debitur yang bersangkutan harus menghadap pengadilan sekali lagi. Lain halnya apabila debitur dinyatakan pailit, dalam hal ini ia hanya perlu menghadap satu kali saja, karena akibat daripada pernyataan pailit.21 Apabila seorang debitur tidak dapat melunasi hutang-hutangnya maka krediturnya dapat minta supaya harta kekayaannya disita. Apabila terdapat beberapa kreditur, maka masing-masing
kreditur dapat menyita harta
kekayaannya, sehingga terjadi sekian banyak penyitaan. Akibat daripada itu ialah bahwa debitur yang bersangkutan harus menghadap pengadilan sekali lagi. Lain halnya apabila debitur dinyatakan pailit. Dalam hal ini ia hanya perlu menghadap satu kali, karena akibat daripada pernyataan pailit.22 Apabila penjual mengetahui bahwa orang yang membeli barang dagangannya
secara
hutang
itu
bangkrut
dan
telah
dinyatakan
kebangkrutannya dan penjual tersebut mengetahui barangnya masih terdapat pada orang yang pailit tersebut, maka menjual tersebut berhak atas barang tersebut. Tetapi apabila si pailit itu tidak mau menyerahkan barangnya kepada
21
R. Soerjatin, hukum perdata dan hukum dagang, cet.2, jakarta: Pradya Paramita, 1983,
Hlm. 98 22
R. Soerjatin, Hukum Perdata Dan Hukum Dagangnya, cet 2, Jakarta Pradaya Paramita, 1983, hlm. 98
89
penjual tersebut, maka Hakim boleh membatasi pembeli yang pailit dalam mentasarufkan harta bendanya atau hakim menjual barang si pailit untuk melunasi hutang-hutangnya kepada para kreditur. Sesuai dengan hadits yang menyatakan, "Bahwasanya Nabi SAW. Mengawasi harta Mu'azd dan menjual kekayaannya untuk melunasi hutangnya". Maksudnya, Hakim boleh menjual harta orang yang berhutang untuk melunasi hutangnya, karena takut dihabiskan seluruh kekayaannya. Sedangkan Syafi'I, Malik, Abu Yusuf dan Muhammad, membolehkan penjualan harta debitur atas permintaan krediturnya. Diriwayatkan oleh Abu Hanifah, bahwa tidak boleh dilakukan pengawasan terhadap orang yang berhutang, dan tidak boleh menjual kekayaannya. Si debitur disandera sampai dia melunasi seluruh hutangnya. Muflis (orang yang bangkrut), dalam arti bahasa adalah orang yang tidak punya harta dan pekerjaan yang bisa menutupi kebutuhannya. Sedangkan dalam peristilahan para Ulama mazhab adalah orang yang dilarang oleh Hakim (untuk membelanjakan hartanya) karena dia terlilit hutang yang menghabiskan seluruh hartanya dan bahkan masih kurang, dimana bila seluruh harta yang dimilikinya dibagikan kepada para pelilik piutang pasti tidak akan mencukupi.23 Definisi diatas jelas bahwa orang yang pailit dilarang dalam membelanjakan hartanya. Karena ditakutkan hartanya habis dan akhirnya tidak dapat melunasi hutang-hutangnya.
23
Muhammad Jawad Mughniyah, op.cit , Hlm. 700
90
Imam Malik berpendapat bahwa orang pailit tidak boleh menghabiskan (mengeluarkan) sesuatupun dari harta tanpa imbalan, jika perbuatan tersebut bukan merupakan perbuatan yang harus dikerjakannya, dan menurut kebiasaan pun tidak perlu diperbuatnya. Dalam meletakkan syarat 'bukan merupakan perbuatan yang harus dikerjaka', Imam Malik beralasan bahwa orang pailit itu boleh mengerjakan apa yang diharuskan oleh Syara’, meski tanpa imbalan, seperti menafkahi orang tuanya yang miskin atau anak-anak. dan tentang 'apa yang menurut kebiasaan pun tidak perlu (harus) dikerjakan', bahwa orang tersebut bisa menghilangkan sedikit hartanya tanpa imbalan, seperti berkorban, membiayai hamba dan sedekah yang sedikit.24 Menurut Ulama mazhab Maliki, Syafi'I dan Hambali, apabila hakim berpendapat, bahwa debitur dalam keadaan sakit (bukan dibuat-buat) maka kreditur maka kreditur tidak boleh menuntutnya dan mengawasi nya terusmenerus, dia harus diberi kebebasan untuk mencari rizki sampai dia berkelapangan untuk melunasi hutangnya. Sedangkan Ulama mazhab Hanafi berpendapat apabila ternyata tidak ada lagi harta untuk membayar hutang kepada kreditur maka debitur dibebaskan sejalan dengan surat Al Baqarah 280.25 Al-Syaukani membolehkan menyita harta orang yang bangkrut (pailit) untuk membayar hutangnya, sekalipun harta tersebut tidak memadai untuk membayar hutangnya secara keseluruhan. Pendapat ini juga disandarkan pada kisah Mu'azd.26 24
Ibnu Rusyd, lok.cit., Hlm. 335 M Ali Hasan, op.cit. Hlm.199-200 26 Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al-Syaukani, Cet. 1, Jakarta: Logos, 1999, Hlm. 191 25
91
Jumhur Fuqoha yang berpendirian tentang adanya pengampunan terhadap orang yang pailit mengatakan, bahwa sebelum ada keputusan tentang kepailitannya, maka orang tersebut mempunyai kedudukan yang sama dengan orang lain.27 Para Ulama mazhab sepakat bahwa seorang muflis tidak dilarang menggunakan hartanya, sebesar apapun hartanya kecuali sesudah adanya larangan dari hakim. Kalau dia menggunakan seluruh hartanya sebelum adanya larangan hakim, maka tindakannya itu dianggap berlaku. Para piutang dan siapapun tidak berhak melarangnya, sepanjang hal itu tidak dimaksudkan untuk melarikan diri dari hutang atau menggelapkan hak-hak orang lain yang ada pada dirinya, khususnya bila tidak ada harapan untuk bertambahnya penghasilan berdasar kenyataan yang ada.28 Sebelum seorang dinyatakan pailit para kreditur berhak melarang debitur pailit bertindak secara hukum terhadap sisa hartanya, seperti berwasiat, menghadiahkan hartanya dan melakukan akad mudlarabah dengan pihak lain. Selama persoalan utang-piutang ini tidak diajukan kepada hakim dan pihak debitur dan kreditur dapat melakukan As-Shulh (perdamaian). Dalam hal ini debitur tidak dibenarkan bertindak secara hukum terhadap sisa hartanya. Apabila terjadi As-Shulh, maka para kreditur (lebih dari satu orang atau bank) dapat membagi sisa hartanya, sesuai dengan prosentase piutang masingmasing. 27 28
Ibnu Rusyd, op.cit., Muhammad Jawad Mughniyah, fiqih lima mazhab, lok.cit.,hlm. 691
92
Tetapi bila kedua belah pihak (kreditur dan debitur) tidak dapat melakukan perdamaian, maka kreditur mengajukan gugatan kepada hakim, supaya debitur dinyatakan pailit dan mengambil sisa hartanya untuk membayar hutang. Sesuai prosedur diatas. Setelah mendapat keputusan, sisa harta dapat diberikan kepada para kreditur (satu orang atau lebih). Jumhur Ulama berpendapat, bahwa seseorang dapat dinyatakan pailit setelah mendapat pernyataan pailit dari hakim, dengan demikian, segala tindakan debitur terhadap hartanya, masih dapat dibenarkan. Oleh sebab itu para hakim yang mendapat pengaduan harus segera mungkin mengambil keputusan, agar debitur tidak leluasa melakukan aktivitasnya.29 Mengenai keadaan orang pailit sesudah pailit maka Imam Malik berpendapat bahwa orang tersebut tidak boleh mengadakan penjualan, pembelian, pengambilan ataupun pemberian. Begitu pula ia tidak boleh mengaku berhutang atas tanggungan, baik kepada orang dekat maupun orang jauh, tetapi menurut salah satu riwayat, dikecualikan jika untuk seorang dari mereka dengan saksi. Sedang menurut riwayat lainnya, Ia boleh mengeluarkan pengakuan (berhutang) terhadap seseorang yang diketahui mempunyai tagihan atasnya.30 Fuqaha berpendapat bahwa apabila orang yang berhutang itu mengaku
29 30
M. Ali Hasan, lok.cit., Hlm. 197 Ibid., Hlm.335-336
93
pailit tanpa diketahui kebenarannya, maka ia dipenjarakan hingga ternyata kebenarannya, atau para kreditur itu telah mengakui kebenarannya. Jika ia demikian maka ia dibebaskan.31 Fuqaha Amshar juga berpendapat dan telah sependapat bahwa ketiadaan hartanya itu berpengaruh pada penghapusan hutang hingga tiba saat mempunyai, sebagaimana Islam juga menyerukan untuk memberi kesempatan pada orang yang kesusahan sesuai dengan Surat Al-Baqarah 280. Jadi Benda milik si pailit harus di jual untuk memenuhi hak para krediturnya sesuai dengan hadits yang diterangkan oleh Ka'ab ibn Malik dan apabila ia tetap tidak mengijinkan harta bendanya dijual untuk menutup hutangnya maka ia dipenjarakan saja sampai ia bersedia untuk melunasi hutangnya. Mengenai pendapat fuqaha yang mengharuskan pengampunan terhadap orang yang bangkrut itu semata-mata karena kemaslahatan supaya manusia itu tetap saling memenuhi hak-hak diantara mereka yaitu kreditur dan debitur.
ﻤ ٍﺔ ﻬ ﻼ ﻓِﻲ ﺗ ﹰﺭﺟ ﺲ ﺒﺣ ﻡ ﺳﻼﱠ ﻭ ﻼ ﹸﺓ ﹶﻴ ِﻪ ﺍﻟﺼﻋﹶﻠ ﱯ ﻨِِﺍﻥﱠ ﺍﻟ Artinya: “Sesungguhnya Nabi SAW. Menahan seorang lelaki oleh sebab suatu tuduhan” (Seingat Ibnu Rusyd, ini diriwayatkan oleh Abu Daud).32 Islam juga memberi kelapangan pada debitur dalam keadaan sakit yang tidak dibuat-buat serta kreditur tidak boleh menuntut nya dan mengawasi 31 32
Ibnu Rusd, op.cit., Ibnu Rusd, lok.cit., Hlm. 351
94
nya secara terus-menerus, dan iapun harus diberi kelapangan untuk melunasi hutangnya, hal tersebut sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Baqarah: 280 Sebagai kata penutup dalam analisa skripsi ini adalah dari kisah Mu'azd Bin Jabal dapat kita ambil pelajaran nya yaitu biarpun harta orang yang pailit itu habis untuk menutup semuanya hutangnya, biarlah! Dari pada hidup menanggung malu karena banyak hutang, kemudian si pailit tersebut dapat mulai kembali dari nol.