BAB IV ANALISA DAN HASIL A. Gambaran Umum Subjek Penelitian 1. Gambaran Riwayat Hidup Subjek Subjek dalam penelitian ini berinisial F, berjenis kelamin perempuan dan berusia 20 tahun. F lahir di Jakarta pada tanggal 4 Januari 1994 dan beragama islam. F sebenarnya merupakan anak ke-3 dari 3 bersaudara, namun karena kakak pertamanya sudah tiada, maka saat ini ia hanya memiliki 1 orang kakak perempuan. F memiliki postur tubuh yang kecil dengan berat badan 40 Kg dan tinggi badan 147 CM. F berkulit hitam dengan wajah yang berbentuk oval dan mata yang sayu. Subjek memiliki kantung mata yang cukup besar dan dibawah kelopak matanya terdapat garis hitam. Selain itu, F juga memiliki riwayat penyakit asma dan penyumbatan pembuluh darah. F mengenyam pendidikan sama seperti anak-anak pada seusianya, dimulai dari SDN 012 Pagi Rawa kemiri Grogol selatan, kebayoran lama. Menurut F, sewaktu SD ia merupakan siswi yang cukup aktif di sekolahnya. F pernah memperoleh piala dalam sebuah acara yang diselenggarakan oleh FRESCO di sekolahnya saat itu. Teman-temannya yang berjenis kelamin pria mengikuti lomba futsal di sekolahnya, sedangkan F
bersama dengan temannya yang
berjenis kelamin perempuan menjadi tim cheerleader untuk menyemarakkan acara futsal tersebut. Setelah acara tersebut selesai, tim cheerleader F
49
memperoleh penghargaan juara 2 berupa piala, dan F merasa bangga akan hal tersebut. Selain itu, F juga mengikuti kegiatan wajib di sekolahnya yaitu kegiatan pramuka. Di dalam kegiatan ini, F juga cukup aktif melakukan kegiatan pramuka seperti bermain bendera semaphore, menghafal kata-kata sandi pramuka, dan F juga memiliki peralatan lengkap yang ia bawa setiap hari sabtu, seperti tongkat kayu, seragam lengkap dengan pluitan, topi pramuka dan lain lain. F merasa senang mengikuti kegiatan ini, meskipun ia sempat merasa kecewa karena setiap kali ia ingin mengikuti kegiatan perkemahan, F tidak pernah diijinkan oleh orang tua F dengan alasan yang tidak diketahui oleh F. Sedangkan di bidang akademis, F memiliki prestasi yang biasa saja. F tidak pernah memperoleh peringkat di kelasnya, namun demikian F merasa bahwa nilai yang dimilikinya cukup memuaskan. Menurut F, ia bukan termasuk anak yang rajin di dalam kelas. Hal ini dikarenakan F yang sering mengalami kesulitan untuk fokus dalam kegiatan belajar mengajar yang diikutinya di dalam kelas. Semakin F mencoba untuk fokus belajar, F akan semakin merasa pusing dan tetap tidak mampu memahami materi yang dipelajarinya, sehingga F lebih memilih untuk mengobrol dengan temannya saat guru sedang menjelaskan. Dan biasanya saat penerimaan rapor hasil belajar, F selalu mendapatkan catatan penting di bawah rapor agar F lebih rajin lagi dalam belajar. Setelah lulus dari SD, F melanjutkan studinya di SMPN 48 Jakarta Kebayoran lama. F yang telah memasuki masa-masa remaja mengakui bahwa 50
pada masa-masa ini ia banyak mengalami berbagai macam pengalaman yang sangat menyenangkan baginya. Selain pengalaman-pengalaman menyenangkan, F juga mengalami berbagai macam konflik dan perubahan suasana hati. Hal ini sesuai dengan konsep dari Hall mengenai pandangan badai dan stres (stormand-stres view) yang menyatakan bahwa remaja merupakan masa pergolakan yang dipenuhi oleh konflik dan perubahan suasana hati (Santrock, 2007). Pengalaman F di SMP dimulai dengan aktif mengikuti kegiatan di OSIS sebagai ketua dari divisi kesenian dan ekskul Karya Ilmiah Remaja (KIR) yaitu sebuah kegiatan yang mempelajari tentang ilmu pengetahuan alam seperti melakukan pembedahan pada hewan kelinci. F juga sering melakukan kunjungan bersama teman-temannya ke kebun binatang ragunan untuk mengobservasi hewan-hewan. Dari kegiatan ekskul KIR tersebut, F memulai untuk menjalin relasi sosial dan memiliki 4 sahabat yang hingga sekarang masih akrab dengannya. Sama hal nya ketika F di SD, nilai akademis F juga tergolong biasa saja. Meskipun demikian, F tetap berusaha agar dapat mengikuti kegiatan belajar mengajar di kelas sebaik mungkin. Sama seperti murid pada umumnya yang kadang menyukai atau tidak menyukai pelajaran tertentu, F juga memiliki pelajaran yang tidak ia sukai. Mata pelajaran yang paling F tidak sukai adalah pelajaran kesenian bermain suling. F tidak menyukai pelajaran tersebut karena memang F merasa bahwa ia tidak mahir dalam memainkan alat musik berupa suling, sehingga setiap mata pelajaran tersebut dimulai, F selalu membolos 51
dengan alasan sakit dan masuk ke dalam UKS. Meskipun F sering membolos, tetapi nilai yang ia peroleh masih dibatas cukup baik yaitu sekitar 60-70. Selain pengalaman menyenangkan tersebut, F juga pernah mengalami kejadian tidak menyenangkan yaitu ketika orang tuanya sering dipanggil ke sekolah dan F hampir saja dikeluarkan dari sekolah karena perilakunya yang sering terlambat masuk ke kelas. Sewaktu F masuk SMP, ia mengakui bahwa ia sering terlambat masuk ke kelas karena ia sering nongkrong di area kantin sekolah. Hingga pada suatu hari, guru F melihat ia bersama teman-temannya masih berada di kantin sekolah saat jam pelajaran sudah dimulai. Orangtua F akhirnya dipanggil ke sekolah untuk menghadap guru konseling. Peristiwa orangtua F yang dipanggil guru konseling ke sekolah ternyata tidak membuatnya jera begitu saja. Setelah kejadian itu, F secara sengaja telah membuat orangtuanya kembali dipanggil ke sekolah untuk yang kedua kalinya dalam kasus yang berbeda. F pernah berkelahi dengan temannya dan hal ini membuat ia terpaksa harus menghadap ke kepala sekolah dengan segala macam peringatan khusus bahwa jika sekali lagi hal ini terjadi, maka F harus bersiapsiap untuk dikeluarkan dari sekolah. F yang mendengar peringatan tersebut merasa sangat khawatir dan ketakutan,maka sejak kejadian itu ia berusaha untuk mengubah dirinya menjadi lebih baik lagi, mengubah segala macam bentuk perilakunya sampai mengubah penampilannya dengan mengenakan jilbab. F takut jika ia tidak melakukan perubahan secepat mungkin, ia takut tidak akan
52
diluluskan dari sekolah mengingat bahwa saat itu ia telah memasuki masa-masa ujian sekolah. Namun tidak disangka, bahwa niat baik F untuk mengubah diri dengan memakai jilbab, hal ini justru membuat ia harus menambah sifat sabar di dalam dirinya. Hal ini dikarenakan ada beberapa temannya yang sering menyindir dirinya, bahwa ia memakai jilbab hanya karena takut akan dikeluarkan dari sekolah. F yang sering diolok-olok oleh teman-temannya sempat merasa tertekan ditambah lagi tekanan psikologis bahwa sesaat lagi ia akan menghadapi ujian nasional. Hal inilah yang kemudian membuat kesehatan F sempat menurun drastis menjelang ujian nasional. Namun karena ketekunannya, akhirnya F tetap dapat lulus meski dengan nilai yang biasa saja. Di akhir masa sekolah SMP nya, F sempat mendapatkan prestasi yang cukup memuaskan dari acara perpisahan sekolahnya. Prestasi ini sangat membuat F senang karena meskipun secara akademis ia bukan termasuk siswi yang pintar,namun di akhir masa-masa SMP nya ia dapat menunjukkan prestasi lainnya, yaitu di bidang kesenian. Pada saat F melaksanakan ujian praktek kesenian, F bersama teman-teman sekelompoknya membentuk grup dance dan menampilkan sebuah tarian. Tidak disangka, grup dance milik F mendapatkan nilai terbaik di sekolahnya dan akhirnya kelompok dance milik F ini diusulkan untuk kembali tampil pada acara perpisahan sekolah. Alhasil, kelompok dance milik F ini kembali mendapat piagam penghargaan atas tarian terbaiknya.
53
Selepas F dari masa sekolahnya di SMP, ia kembali melanjutkan studinya di Madrasah Aliyah Al-Islamiyah 242 Jakarta. Masa-masa F di SMA juga merupakan bagian dari masa remajanya yang sangat menyenangkan. Hal ini dikarenakan F banyak aktif mengikuti kegiatan di sekolahnya, salah satunya adalah menjadi bagian dari Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS). Di dalam organisasi tersebut, F pernah mencalonkan diri untuk menjadi ketua. Namun ketika F hendak mencalonkan dirinya sebagai ketua OSIS, F mendapatkan hambatan dari sang mantan pacarnya saat itu. Mantan pacar F yang saat itu menjabat sebagai ketua OSIS dan hendak mencalonkan diri kembali, merasa tersaingi oleh F, sehingga mantan pacar F tersebut mencoba untuk memboikot seluruh teman-temannya untuk tidak memilih F sebagai ketua OSIS. Di dalam kondisi seperti ini F merasa terintimidasi dan merasa malu akan hal ini, akhirnya F memutuskan untuk mengundurkan diri dan membatalkan rencana pencalonan dirinya tersebut. meskipun F batal mencalonkan diri sebagai ketua OSIS saat itu, F tetap masuk ke dalam organisasi tersebut dan menjadi ketua dari Divisi kesenian. Di dalam divisi kesenian, F memiliki 5 orang anggota. Kegiatan dalam divisi tersebut adalah mengadakan program acara kesenian ketika ada event tertentu seperti acara isra’ mi’raj, acara maulid nabi, dan lain lain. Selain itu, divisi kesenian juga sering mengadakan bermacam-macam lomba kesenian seperti lomba kaligrafi. Tugas F adalah mencari orang-orang terkait untuk dapat
54
berpartisipasi pada acara itu serta membuat program-program acara yang akan dijalankan. Di bidang akademis, nilai-nilai yang diperoleh F tidak jauh berbeda jika dibandingkan dengan nilainya saat masih SD dan SMP. Menurut F, meskipun ia masih sering terlambat masuk kelas serta banyaknya aktivitas di organisasi, nilai F menunjukkan angka yang cukup memuaskan. F pernah memperoleh peringkat 2 ketika ia di kelas 1 SMA. Selebihnya ia tidak pernah kembali mendapatkan peringkat. Setelah F menyelesaikan studinya di jenjang SMA, F kemudian melanjutkan studinya di salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta sambil bekerja dengan tantenya. Sewaktu F kuliah, F juga aktif mengikuti kegiatan organisasi ROHIS dan juga mengikuti kegiatan Teater. F yang saat itu masih dalam masa transisi dari dunia sekolah menuju dunia perkuliahan mengakui bahwa ia sempat merasa kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan program belajar yang ada. F yang semenjak awal sekolah belajar dengan sangat santai, ketika mengikuti kegiatan perkuliahan ia harus sedikit dipaksa untuk mengikuti program perkuliahan dengan jadwal yang cukup padat di awal-awal semester. Hal ini berdampak pada nilai F yang menurun dengan drastis, hingga ia diharuskan untuk mengulang beberapa mata kuliah. Padatnya jadwal kuliah F membuatnya lambat laun merasa lelah, terlebih lagi saat memasuki perkuliahan ia juga disibukkan dengan jadwal kerja bersama tantenya. F yang merasa tidak sanggup untuk menjalankan kedua-duanya 55
sekaligus, membuat F harus memilih, apakah ia akan mengorbankan kuliahnya atau pekerjaannya. Dalam hal ini, F memutuskan untuk berhenti kuliah di akhir semester 2. Keputusan F ini disetujui oleh keluarga F terutama oleh kedua orang tuanya. F yang saat ini masih berada pada usia remaja mengatakan bahwa masamasa remajanya merupakan masa-masa indah yang pernah dilaluinya. Hal ini dikarenakan ibu F yang menerapkan pola asuh bebas (permissive) sehingga ibu F cenderung mengizinkan F untuk melakukan apapun yang ia inginkan. F sudah diperbolehkan untuk berpacaran sejak usia 17 tahun dan F diperbolehkan untuk kemana saja sesuka hatinya, meskipun tempat itu merupakan tempat yang berkonotasi negatif, seperti diskotik dan tempat biliiard. F memulai untuk menjalin relasi dengan lawan jenis ketika F duduk di bangku SMP kelas 1. F yang masih berada pada rentang usia remaja awal saat itu menganggap bahwa relasinya dengan lawan jenis hanya sebatas hubungan yang biasa dan tidak menuntut sebuah komitmen, sehingga F begitu mudahnya menjalin hubungan dengan pria yang satu ke pria yang lain tanpa ada pemikiran yang matang. Gaya berpacaran F di awal-awal masa berpacaran hanya untuk mengisi waktu luang saja. F hanya berinteraksi melalui telfon dan sms, atau mereka akan bertemu, bercengkerama dan bersenda gurau saat makan di kantin sekolah. Saat F masih sekolah dahulu, ia lebih banyak menjalin relasi dengan pria yang ratarata mempunya jabatan penting di sekolahnya, seperti ketua OSIS, wakil ketua 56
OSIS, atau mereka yang ikut kegiatan olahraga basket. Baginya, menjalin relasi dengan pria yang memiliki kedudukan merupakan sesuatu hal yang sangat menyenangkan dan membanggakan. Dengan gaya berpacaran yang seperti itu, maka dapat dipastikan bahwa kualitas hubungan berpacaran F dengan lawan jenis pada saat ia masih berada dalam masa-masa sekolah, bukan merupakan suatu hal yang penting bagi dirinya. Hal ini terlihat dari usia berpacaran F yang rata-rata hanya bertahan dalam hitungan bulan, kemudian dengan cepatnya F memutuskan hubungan tersebut dan kemudian menjalin relasi yang baru dengan pria lain. Selain itu dalam berpacaran, F juga sering menduakan pasangannya dengan pria lain. Kebiasaan F menduakan pasangan seperti ini, diyakininya sebagai ajang dalam mencari kesempurnaan dalam sebuah hubungan. Meskipun F menyadari bahwa tidak ada satu manusia pun yang sempurna, namun F tetap saja mempunyai dorongan yang kuat untuk mencari kelebihan pada pria lain, dimana kelebihan tersebut tidak ia dapatkan pada pasangannya sendiri. F tidak pernah merasa puas dengan apapun yang telah dilakukan atau diberikan oleh pasangannya sendiri. Sehingga hal ini membuat F memiliki anggapan bahwa ia harus tetap menyediakan seorang pria dibelakang pria yang sedang menjalin relasi dengannya. Ketika sang pacar sibuk dengan aktivitasnya, F kemudian jalan-jalan dengan pria lainnya dan saat hubungan mereka berakhir, F tidak begitu khawatir untuk lepas darinya karena ia sudah memperoleh pasangan baru di hadapannya. Akibat dari hal ini, masa-masa pacaran F tidak selalu berjalan dengan baik. 57
Dalam relasinya dengan lawan jenis, F pernah mengalami bermacam-macam konflik sampai ia benar-benar merasa sangat kecewa dan akhirnya memutuskan untuk melakukan self injury. Saat ini F bekerja sebagai karyawan di salah satu perusahaan penyaluran TKW. Awal mula F bekerja di perusahaan tersebut adalah karena setelah lulus dari SMA ia ingin mencari kesibukkan lain, F kemudian meminta pekerjaan pada tantenya untuk bisa ikut membantu di perusahaan tantenya tersebut. Tante F
yang kebetulan memang sedang
membutuhkan pegawai,
akhirnya
memutuskan untuk mengajak F bekerja sama dengannya di perusahaan penyaluran TKW tersebut. Perusahaan milik tantenya itu pernah mengalami kebangkrutan akibat ulah salah satu pegawainya yang sering berbuat curang dengan memalsukan paspor dan menerima calon TKW yang usianya masih di bawah umur demi memperoleh keuntungan pribadi. Kecurangan ini lambat laun terbongkar yang akhirnya perusahaan tersebut kemudian disita selama kurang lebih 10 tahun dan tidak diizinkan untuk beroperasi kembali sampai jangka waktu tersebut. Tante F kemudian mengalami kebangkrutan karena hal ini dan ia terpaksa menumpang pada perusahaan lain dengan timbal balik berupa bagi hasil, demi kelancaran perusahaan dan pegawai yang masih tersisa. Peran F di dalam perusahaan tersebut merupakan pegawai yang tidak tetap, sehingga F terpaksa harus melakukan bermacam-macam tugas yang ada untuk membantu tantenya seperti mengurus administrasi keberangkatan calon TKW, membuatkan paspor bagi para calon TKW, sampai menemani calon TKW 58
tersebut untuk medical check up ke rumah sakit. Jadwal kerja F juga tidak menentu, hanya ketika tantenya mengubungi dirinya, barulah ia datang ke kantor dan mengurus bermacam-macam hal yang diperintahkan oleh tantenya. Oleh karena itu, F jarang berada di lokasi kantor dan lebih banyak menghabiskan waktu diluar kantor dalam menjalankan tugasnya seperti ke kantor imigrasi atau ke rumah sakit terdekat. F yang sudah bekerja dengan tantenya selama kurang lebih 4 tahun kini merasa sangat letih dan merasa tidak nyaman untuk terus bekerja dengan tantenya. Ketidaknyamanan ini sebenarnya sudah dirasakan sejak awal ia bekerja. F merasa tidak nyaman bekerja dengan tantenya karena penghasilannya kurang memadai, selain itu jadwal kerja yang serba terburu-buru dan terkesan selalu mendadak membuat F menjadi semakin tidak nyaman bekerja disana. Namun F tidak cukup berani untuk mengundurkan diri dari pekerjaan tersebut. F juga merasa tidak enak hati untuk berbicara tentang pengunduran dirinya dari perusahaan tersebut, mengingat masih banyak hal yang dapat ia lakukan untuk membantu tantenya karena di perusahaan tersebut masih sangat minim dalam hal kuantitas pegawai. Sehingga hal ini membuat F masih tetap bertahan dalam pekerjaannya tersebut. Harapan F untuk saat ini adalah ia hanya ingin membuat kedua orang tua F bangga dan bahagia atas dirinya. Ia akan melakukan hal apapun untuk mencapai hal itu meskipun F harus mengorbankan kebahagiaan dirinya sendiri.
59
2. Gambaran Relasi Subjek a. Dengan keluarga Subjek dalam penelitian ini berinisial F berdomisili di Jakarta dan tinggal serumah dengan kedua orang tuanya, kakak perempuannya, kakak ipar F serta kedua keponakan F yang masing-masing berusia 4 tahun dan 9 bulan. F sebenarnya merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara, namun karena kakak pertama F telah meninggal dunia pasca dilahirkan oleh ibunya karena terdapat usus yang terlilit di dalam perutnya, F kini hanya memiliki seorang kakak perempuan yang berusia 22 tahun Menurut F, ia memiliki hubungan yang sangat dekat dengan seluruh anggota keluarganya, mulai dari ayah, ibu, kakak perempuan, kakak ipar, dan dua orang keponakan. F memanggil ibunya dengan sebutan “Umi” yang bekerja sebagai karyawan ticketing serta mengurusi berbagai urusan ekspor dan impor di salah satu perusahaan sejak ibunya masih muda. Tetapi saat ini, ibu F tidak lagi bekerja karena sudah mengalami masa pensiun dan lebih banyak melakukan aktivitas dirumah bersama cucunya. Hubungan F dengan ibunya terjalin dengan sangat dekat. Ibunya merupakan sosok yang sangat menyenangkan bagi F karena terkadang ibunya tersebut bisa menjadi sosok teman, sahabat, dan seorang ibu yang perhatian kepada anaknya. Ikatan batin di antara mereka juga terikat dengan sangat kuat sehingga disaat F memiliki masalah, ibunya pasti akan langsung mengetahuinya dan F tidak akan pernah bisa untuk merahasiakan masalah apapun dari ibunya. Menurut F, ibunya 60
tersebut bukan termasuk ibu yang otoriter atau memaksakan kehendak. Ibunya merupakan sesosok orang tua yang lebih sering membebaskan F untuk melakukan hal apapun sesuai dengan keinginannya, seperti yang dikatakan F : “Kalo ibu aku tuh gini, dulu kan beliau sempet tinggal di Belanda dan dia bilang gini, setelah umur 17th lu bebas mau ngapain aja asalkan lu tau batasannya sampe dimana. Bebas-bebas aja sih, mau clubbing ya silahkan.”
F memang diizinkan oleh ibunya untuk melakukan aktivitas apapun sesuka hatinya, termasuk ke tempat-tempat yang identik dengan konotasi negatif seperti diskotik dan tempat bermain billiard. F juga diperbolehkan untuk berpacaran jika usianya sudah 17 tahun. Menurut F, ibunya menganut pola asuh bebas seperti yang diterapkan diluar negeri pada umumnya karena memang sebelumnya ibu F pernah tinggal diluar negeri dan ibu F sendiri merupakan keturunan Arab. Banyak aktivitas yang F sering lakukan dengan ibunya, seperti jalan-jalan, nonton tv bareng, sampai menceritakan hal-hal yang bersifat pribadi. F tidak pernah merasa canggung untuk menceritakan hal apapun yang terkait dengan dirinya, termasuk masalah-masalah yang sedang ia alami saat ini. Bahkan ketika F mengalami beragam masalah dengan mantan pacarnya, F tidak segan untuk bercerita kepada sang ibu karena menurutnya hanya ibu dan keluarganya lah yang dapat mengerti keadaan dirinya. Selain dengan ibunya, F juga tinggal bersama kakak perempuannya yang sudah menikah dan memiliki 2 orang anak. Hubungan F dengan kakaknya terjalin dengan sangat dekat, hal ini dikarenakan F yang hanya memiliki satu 61
orang saudara kandung di rumahnya. Kakak F bekerja di sebuah showroom honda. Setiap harinya kakak F bekerja dari pagi hingga sore hari, begitu juga dengan suaminya. Kakak ipar F juga bekerja sebagai pegawai di kompas tv. Oleh karena itu, anak-anaknya setiap hari diasuh oleh ibu F dan terkadang jika F berada dirumah, F juga ikut mengasuh anak dari kakaknya tersebut. F yang begitu dekat dengan kakaknya, terkadang membuat kakaknya tersebut menjaga jarak dengan pacar F saat ini. Menurut F, kakaknya pernah mendapat kabar bahwa ia akan segera menikah dengan pacarnya tersebut dalam waktu dekat. F menganggap bahwa kakaknya sedikit cemburu dengan pacarnya tersebut, karena jika benar mereka akan menikah, F pasti akan segera pindah dari rumah tersebut. Hal ini menimbulkan kekhawatiran pada diri kakaknya, sehingga setiap kali pacarnya berkunjung kerumahnya, kakak F selalu menunjukkan sikap yang dingin dan kurang bersahabat dengan pacarnya tersebut. F yang tinggal dengan ibu, kakak dan kakak ipar serta keponakannya juga masih memiliki seorang ayah yang berprofesi sebagai designer pertamanan. Ayah F merupakan sosok yang pendiam dan lebih banyak menjaga perasaan F. Ayah F jarang marah kepada F walaupun F melakukan kesalahan. Ayah F lebih menyerahkan segala sesuatunya kepada ibu F. Menurut F, ayahnya bersikap seperti ini karena ayahnya akan meledak-ledak jika ia yang harus menegur kesalahan F dan ayahnya juga takut jika ia akan kasar kepada F jika ia marah kepadanya.
62
“Emm gimana ya, ayah aku tuh dibilang keras engga, lembut juga engga. Jadi ayah tuh kalo marah ngomongnya ke umi. Jadi kalo aku ada salah, dia ngomongnya ke umi. Ayah tuh gak menyampaikan secara langsung. Menurut aku sih ya, mungkin dia berpikiran gini, kalo ayah yang ngomong langsung, takutnya jadi kasar makanya dia minta perantara lewat umi.”
Namun demikian, hubungan F dengan ayahnya sama dekatnya seperti hubungan F dengan ibunya. Ayah F sering mengajaknya jalan-jalan untuk melihat kondisi pertamanan, mencari jenis pohon untuk di observasi, bahkan kadang ayah F meminta bantuannya untuk mengerjakan pekerjaannya. Saat ini, ayah F memiliki seorang istri lagi selain ibu F. Kejadian ini berawal ketika ayah F yang baru beberapa hari menikah dengan ibu F. Ibu F yang merupakan keturunan Arab sedangkan ayahnya tidak, hal ini menimbulkan ketidaksetujuan dari pihak keluarga ibu F yang pada akhirnya mereka berdua dipaksa untuk berpisah. Ibu F diasingkan oleh orangtuanya, sehingga mereka benar-benar terpisah. Ayah F yang dalam keadaan depresi serta tidak tahu harus melakukan apa, kemudian diperkenalkan oleh temannya dengan salah satu wanita untuk mengobati rasa sakit hatinya tersebut. Ayah F kemudian menikah dengan wanita tersebut hingga memiliki 4 orang anak dan pernikahannya bertahan sampai saat ini. Ibu F yang dalam masa pengasingannya merasa sudah tidak tahan dengan kondisi ini, akhirnya memberanikan diri untuk kabur dari rumah dan ke Jakarta mencari suaminya tersebut. Ibu F yang saat itu mendapat kabar bahwa suaminya telah menikah kembali dengan wanita lain, berusaha mencari suaminya dan saat
63
sudah bertemu, ibu F meminta ayah F untuk memutuskan pilihan antara ibu F atau istri keduanya dan ayah F memutuskan untuk tetap mempertahankan keduanya. Ibu F yang memang masih mencintai suaminya mau menerima keputusan itu dan mengizinkan suaminya berpoligami. Meskipun ayah F memiliki 2 orang istri, menurut F tidak mengubah perhatian ayahnya terhadap dirinya serta keluarganya. Ayah F memang lebih cenderung mencintai keluarga F daripada keluarga dari istri mudanya. Hal ini terlihat dari kesediaan ayah F untuk berlama-lama di dalam rumahnya, bahkan terkadang ayah F membatalkan rencana untuk menginap dirumah istri mudanya jika memang ia ingin lebih banyak menghabiskan waktu dirumah F.
Selain itu,
hubungan ayahnya dengan keluarga dari istri mudanya juga tidak terjalin dengan dekat seperti kedekatan dirinya dengan sang ayah. Bahkan mungkin ayahnya tersebut tidak pernah mengobrol dengan anak-anak dari istri mudanya tersebut. Berbeda dengan F, ayahnya begitu memperhatikan dirinya dan keluarganya. Apalagi jika memasuki bulan suci Ramadhan, biasanya ayah F selalu menyempatkan diri untuk makan bersama diluar. F menganggap keluarga sebagai sesuatu yang sangat penting bagi dirinya. Hanya keluarga lah yang dapat mengerti keadaan dan kondisi tentang dirinya ketika ia sedang dalam masa-masa sulit dan merasa terpuruk. Bahkan F mengaku rela untuk mengorbankan kebahagiaan dirinya hanya untuk kebahagiaan seluruh anggota keluarganya, terutama kebahagiaan ibunya.
64
“Penting banget emang. Aku selalu pengen nangis kalo udah ngebahas soal keluarga. Gimana ya..(subjek menangis). Jadi disaat orang-orang ngga ngerti keadaan aku, keluarga tuh ngertiin aku banget. Aku bahkan rela ngorbanin kebahagiaan aku buat mereka. Jadi menurutku keluarga itu penting banget.”
Dalam hal ini, F merasa bahwa keluarga merupakan sesuatu hal yang amat sangat penting bagi dirinya. Disaat ia melakukan kesalahan dan banyak orang lain yang menuduh bahkan tidak mempercayainya kembali, keluargalah yang justru masih menerima dirinya, menguatkan, serta membuat dirinya berpikir untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Sekalipun F memiliki sahabat, tetap saja sosok keluarga merupakan yang paling utama di dalam hidupnya. b. Relasi di Lingkungan Sosial F semasa di sekolah dasar tidak begitu banyak memiliki teman. Hal ini dikarenakan ibu F yang mengharuskan ia apabila usai jam pelajaran sekolah, maka F harus segera pulang kerumah. F tetap memiliki teman, namun aktivitas yang mereka lakukan hanya ketika di lingkungan sekolah, seperti main bareng dan makan di kantin bareng ketika jam istirahat. Saat F memasuki usia remaja, yaitu ketika F duduk di bangku SMP, barulah F memulai untuk menjalin relasi dengan teman-temannya. Saat itu F mulai membentuk genk yang beranggotakan 5 orang termasuk dirinya. Awal mula F bertemu dengan keempat temannya tersebut adalah ketika F mengikuti kegiatan ekstrakurikuler KIR (Karya Ilmiah Remaja). Di dalam kegiatan itu, mereka bertemu dan saling bertegur sapa hingga akhirnya mereka menjadi semakin akrab ketika kelas 3 SMP mereka berada dalam satu kelas yang sama.
65
Hubungan persahabatan mereka terjalin dengan sangat dekat dan masih berjalan dengan baik hingga sekarang. Hubungan persahabatan yang telah terjalin sejak F masuk sebagai anggota KIR, membuat F menjadi semakin dekat dengan keempat sahabatnya yang berinisial BOB, IN, M, dan J. Sewaktu mereka masih berkutat dalam kegiatan tersebut, kegiatan rutin yang mereka lakukan adalah belajar bersama, latihan praktek membedah hewan, serta berkunjung ke kebun binatang untuk melakukan observasi. Diluar kegiatan itu, kegiatan yang sering mereka lakukan adalah jalan-jalan bersama ke suatu tempat, nonton di bioskop bersama-sama, makan bersama, sampai menceritakan apapun yang sifatnya pribadi sekalipun. Apapun yang dilakukan F, keempat sahabatnya tersebut pasti mengetahuinya. Bahkan tidak jarang F meminta pendapat atau pun saran dari mereka atas masalah yang sedang dihadapinya. Sampai suatu ketika, F dijauhi oleh salah satu sahabatnya karena F melakukan kesalahan yang sangat fatal. Saat F menceritakan tentang kesalahan tersebut, keempat sahabatnya tersebut sangat terkejut dan sangat marah terhadap F. Salah satu dari mereka yang bernama IN bahkan sampai saat ini menjauh dari F, karena menurut IN kesalahan yang dilakukan F begitu fatal dan ia tidak dapat memaafkan F. “mungkin dia udah kecewa sama aku, kayak jaga jarak sama aku, dia lost contact juga sama aku.”
Sampai saat ini, F pun tidak mengetahui kabar tentang sahabatnya IN tersebut. F merasa sangat sedih, karena F sendiri pun tahu bahwa sahabatnya tersebut
66
pergi meningalkannya akibat kesalahan F sendiri. F pun tidak dapat melakukan banyak hal atas keputusan Indri tersebut. meskipun demikian, F tetap masih menjalin hubungan yang baik dengan ketiga sahabatnya yang masih tersisa. Mereka saat ini berada diluar kota, dan hanya saat liburan sajalah mereka bisa bertemu dengan F di Jakarta. Saat F lulus dari SMP, F baru merasakan makna dari pertemanan, karena setelah lulus keempat sahabatnya tersebut pindah ke luar kota. Hal ini membuat F merasa kesepian dan sangat merasakan kehilangan. Menurut F, jika ia tidak memiliki teman, hidupnya tidak akan berarti apa-apa karena nantinya ia akan merasa kesulitan sendiri, kesepian, tidak tahu harus berbagi perasaan dengan siapa. Maka dari itu, usaha yang F lakukan untuk menetralisir rasa kesendirian itu adalah dengan mencoba mencari teman yang lain dan mencoba untuk tetap berhubungan dengan ketiga sahabatnya tersebut lewat telfon atau media sosial. Setelah F tidak lagi bertemu dengan keempat sahabatnya tersebut, F yang duduk di bangku SMA kembali berusaha untuk mencari teman-teman baru. F merupakan orang yang supel dan mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya. Hal ini dikatakan langsung oleh salah satu teman akrabnya yang berinisal V “F ini baik kok orangnya. Supel dan mudah bergaul. Terus dia juga sering curhat ke aku sama temen-temenku yang lain kalo lagi ada masalah sama pacarnya”
67
F yang supel dan mudah beradaptasi dengan lingkungan barunya, membuat ia juga mudah untuk mendapatkan teman baru. F kemudian memiliki teman akrab yang juga satu kelas dengannya, mereka berinisial MA, IK, NR, dan E. Seperti kebanyakan remaja lainnya, F lebih banyak menghabiskan waktu dengan temantemannya itu di lingkungan sekolah. Terkadang, F juga berkunjung kerumah salah satu temannya, karena rumah temannya tersebut sangat besar dan selalu sepi. Teman-teman F sewaktu SMA memang mayoritas adalah anak-anak yang selalu ditinggal oleh orang tuanya kerja ke luar kota. Mereka yang selalu kesepian akhirnya menjadi cepat akrab dengan F yang juga sama-sama kesepian ketika dirumah. “Ada temenku yang rumahnya tuh sepi banget, gede pula lagi. Jadi kita sering kesana. Jadi mereka tuh ya..sama sama kesepian, makanya kita sering main kerumah mereka.”
Menurut F, teman-temannya tersebut akan merasa kehilangan jika tidak melihat dirinya. Hal ini terlihat dari usaha mereka dalam mencari keberadaan F saat F baru pindah rumah. Saat F baru pindah rumah, teman-temannya tersebut berusaha mencari keberadaan F dengan menghubungi F lewat telfon dan media sosial. Teman-teman F sibuk mencari alamat F yang baru bahkan sampai mengunjungi rumah om nya untu kenanyakan alamat F yang baru. Hal ini tentu membuat F merasa bermakna di mata mereka.
68
c. Relasi Subjek dengan Lawan Jenis Awal mula F menjalin hubungan dengan lawan jenis adalah saat F duduk di bangku kelas 1 SMP. Saat itu F menjalin hubungan dengan kakak kelasnya yang duduk di kelas 3 SMP yang kebetulan adalah teman sekelas dari kakak F. F yang sering membawa bekal makanan sekolah, mengantarkan bekal makanan itu juga ke kelas kakaknya. Sejak F sering masuk ke kelas kakaknya untuk mengantarkan bekal makanannya,
kemudian ada salah seorang teman dari
kakak F yang berinisial SG menaruh hati terhadap F. Akhirnya SG berusaha untuk mendekati F dengan meminta nomor hp nya melalui kakaknya. Saat dimintai nomornya, kakak F mengatakan bahwa ia harus meminta langsung saja ke adiknya tersebut. Atas dasar persetujuan itulah SG memberanikan diri untuk meminta langsung nomor hp milik F. Setelah SG memiliki nomor hp milik F, mereka berdua menjadi lebih intensif dalam berkomunikasi sehingga lambat laun F juga menaruh hati terhadap SG dan akhirnya mereka berdua memutuskan untuk menjalin hubungan berpacaran. Hubungan berpacaran mereka hanya sebatas komunikasi melalui hp saja, atau jika F berada di sekolah, sigit akan mengajaknya makan bersama di kantin sekolah. Hubungan berpacaran F dengan SG tersebut hanya berlangsung sekitar 2 bulan saja, setelah itu mereka putus. F tidak ingat apa alasan mereka untuk memutuskan hubungan tersebut, tetapi menurut F saat itu ia merasa bangga
69
karena pernah menjalin hubungan dengan SG, seorang pemain basket yang cukup populer di sekolahnya saat itu. Selepas berpacaran dengan SG, F kemudian menjalin hubungan kembali dengan pria lain yang saat itu menjabat sebagai wakil ketua OSIS, berinisial RN. Saat itu, F masih duduk di kelas 1 SMP sedangkan RN di kelas 2 SMP. F mengatakan bahwa dulu ia sering menjalin hubungan dengan anak OSIS, F sendiri tidak tahu apa penyebabnya karena hal ini terjadi diluar rencananya. “Aku tuh banyak banget mantan anak-anak OSIS, pokoknya yang punya kedudukan lah. Ya...engga tau juga kak, dapetnya yang kayak gitu terus.”
Saat menjalin hubungan dengan RN, F merasa bahwa gaya berpacarannya cukup unik dan lucu kala itu. Biasanya F berpacaran dengan RN mencari lokasi saat kelas sudah kosong. Ia harus menyembunyikan hubungannya ini dari kakaknya karena F takut dimarahi olehnya. Jam pulang sekolah F dengan kakaknya kebetulan berbeda, karena saat itu kakak F yang sudah di kelas 3 mengharuskan ia untuk megikuti kegiatan Pendalaman Materi dan pulang sekitar jam 5 sore, sedangkan F pulang jam 1 siang. Setelah jam pelajaran usai, F bersama dengan RN masih tetap berada di dalam kelas yang kosong tersebut untuk sekedar mengobrol dan bersenda gurau. Hal ini ia lakukan terus menerus setiap jam pelajaran usai. Namun hubungan mereka hanya berlangsung sekitar 5 bulan, kemudian mereka putus karena saat itu ada salah seorang mantan pacar RN yang masih menaruh hati pada RN. Mantannya tersebut cemburu hingga
70
akhirnya, ia sering melabrak F ke kelasnya dan memarahinya serta meminta F untuk menjauhi RN, dan mereka pun akhirnya terpaksa untuk memutuskan hubungan tersebut. Setelah F putus dari RN, tidak lama kemudian F menjalin relasi baru dengan pria lain yang berinisial Y. Saat menjalin hubungan dengan Y, F masih duduk di kelas 2 SMP, sedangkan Y sudah menjadi mahasiswa. Perbedaan usia mereka terpaut usia 9 tahun. Y pun sebenarnya masih ada hubungan saudara dengan F, hal inilah yang menyebabkan mereka menjadi sangat akrab. Rumah Y yang tidak jauh dari rumah F saat itu, membuat mereka terlihat sangat dekat. Hampir setiap harinya aktivitas Y dilakukan dirumah F, dari makan, main, mengerjakan tugas kuliah, bahkan Y sering juga menginap di rumah F. Y pun memiliki hubungan yang dekat dengan kedua orang tua F serta seluruh keluarganya. Kedekatan Y dengan orang tua F membuat mereka percaya kepada Y bahwa ia pasti akan menjaga F dengan baik, sehingga orang tua F benar-benar membebaskan hubungan yang mereka jalin. Sosok Y yang dinilai F lebih dewasa dan tidak pernah marah kepada F, membuat perasaan cinta F semakin tumbuh mendalam. Hingga akhirnya hubungan mereka berlanjut semakin jauh dan semakin intim. F mengakui bahwa mereka hampir berhubungan seksual seperti ‘kissing’ dan yang lainnya. Akibat
71
aktivitas seksual inilah, F semakin mencintai Y dan ikatan batin di antara mereka menjadi semakin kuat. Sampai pada suatu hari, hubungan mereka berdua mengalami masalah karena ada orang lain yang ingin merusak hubungan mereka. Y mempunyai seorang teman yang bernama T. Y menuduh F berselingkuh dengan T karena dari T sendiri yang mengatakan bahwa F sering smsan dengannya. Padahal, F merasa bahwa sms nya tersebut dalam rangka mencari tahu kabar Y. Sepengetahuan F, T adalah teman dekat Y, maka menurut F dia pasti tahu segala hal yang dilakukan oleh pacarnya itu. Tapi ternyata T berkata lain dan memfitnah F telah berselingkuh dengannya. Y yang cemburu mengetahui hal itu, merasa sangat dibohongi oleh sikap F. F yang telah berusaha menjelaskan semua kejadian yang sebenarnya, tidak mendapat perhatian sama sekali oleh Y. pacarnya itu tetap marah pada F dan semenjak saat itu, banyak perubahan yang terjadi pada diri Y. ia menjadi sosok yang cuek dan tidak mempedulikan F lagi. F merasa dirinya di gantung dengan hubungan yang tidak jelas, apakah masih berlanjut atau sudah putus. Y menjadi sangat jarang memberi kabar pada F selama 3 bulan. Setelah 3 bulan jarang berinteraksi dengan pacarnya tersebut, F kembali dikejutkan dengan peristiwa Y sedang berboncengan dengan wanita lain melewati depan rumahnya. F yang saat itu berniat untuk mencari makanan diluar rumah, langsung mengurungkan niatnya tersebut dan langsung masuk ke dalam
72
kamarnya. F benar-benar merasa sangat kecewa melihat pacarnya berboncengan dengan wanita lain saat hubungan mereka sedang tidak jelas tujuannya. Semenjak kejadian itu, F selalu menolak untuk berkomunikasi lagi dengan Y. Saat Y menghubunginya lewat telfon, F tidak pernah mengangkatnya, saat ia menanyakan kabar lewat sms, F juga membalas dengan singkat. Hubungan mereka menjadi kaku, tidak seperti dulu. Y sendiri setelah kejadian itu, sama sekali tidak ada niat untuk minta maaf kepada F. Bahkan seolah-olah tidak terjadi masalah apapun sebelumnya. Hal ini membuat F menjadi semakin sakit hati, karena pacarnya tersebut tidak memberinya kejelasan akan hubungan yang sedang dijalaninya. Pada akhirnya, F sendirilah yang terpaksa harus mengambil sikap. F berbicara langsung pada Y bahwa mereka sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi, meskipun secara lisan ia tidak mengatakan kata “Putus”, tetapi semenjak F melihat kejadian itu, disitulah hubungan mereka telah berakhir. Setelah putus dari pacarnya yang bernama Y, F kemudian kembali menjalin relasi dengan pria lain. Pria tersebut merupakan kakak dari temannya sendiri, berinisial B. B di mata F merupakan sosok pria yang baik karena ia sering menjemput F pulang sekolah. Tetapi tidak disangka, kepercayaan F terhadapnya disalahgunakan oleh pacarnya tersebut. F pernah di perkosa olehnya diluar kesadarannya.
73
Kejadian ini terjadi saat F dijemput oleh B selepas pulang sekolah. Selama F menjalin hubungan dengan B, ia memang sering dijemput dan main kerumah B. Rumahnya yang memang terkesan bebas karena siapapun boleh masuk ke dalam kamarnya, hal ini dijadikan kesempatan bagi B untuk melakukan aksinya tersebut. Sampai pada suatu hari F main kerumahnya lalu ditawari minuman olehnya. F yang memang sering main kerumahnya, sama sekali tidak menaruh rasa curiga pada B, apalagi terhadap minuman yang diberikannya. Setelah F meminum minuman tersebut, rupanya F tidak langsung pingsan. Ia merasakan pusing, lemas tidak berdaya, dan ia juga merasa ingin buang air kecil terus menerus. F yang dalam keadaan lemas terpaksa menuju kamar mandi dan sesampainya disana ia tidak sadarkan diri. Setelah F sadar, F merasa sangat lemas seperti melayang-layang, dan selain itu ia juga merasakan celana dalamnya basah. Saat ia tanyakan mengapa ia sedang tiduran, B hanya mengatakan bahwa ia pingsan. F yang dalam keadaan lemas, tidak banyak bertanya atas kejadian itu, lalu ia memutuskan untuk pulang kerumah. Sesampainya dirumah, ia merasakan nyeri pada alat vitalnya serta menemukan bercak darah pada celana dalamnya. F yang bingung serta panik akan kejadian itu akhirnya ia berusaha untuk menginterogasi B mengenai apa yang sebenarnya terjadi. Dengan upaya kerasnya, akhirnya B mengakui semua perbuatannya.Tidak lama setelah kejadian itu, F akhirnya putus dengan B karena dari orang tua F sendiri memang tidak menyetujui hubungan mereka.
74
Setelah F putus dari B, F kemudian menjalin hubungan baru lagi dengan tetangga F yang berinisial FR. Hubungan F dengan FR hanya bertahan 3 bulan karena setelah itu F pindah rumah. Putusnya F dengan FR dikarenakan sikap FR yang terkesan tidak gentle. F merasa lelah jika harus ia yang kerumahnya terus menerus, sedangkan rumah mereka saat ini sudah berjauhan. FR yang enggan menuruti keinginan F untuk menemuinya dirumah F yang baru atau diluar rumah, akhirnya membuat F harus memutuskan hubungan tersebut. F yang baru saja putus dari FR, esok harinya langsung menjalin hubungan yang baru lagi dengan pria yang bernama SN. Hubungan F dengan SN tidak selalu berjalan dengan mulus. F mengatakan bahwa hubungannya dengan SN sering putus-nyambung. Peristiwa putus-nyambung ini terjadi 2x. Putusnya F dengan SN yang pertama adalah karena ada salah paham diantara mereka. Setelah putus yang pertama kali dengan SN, F berpacaran dengan seorang pria yang bernama BR. BR merupakan teman dari kakak F. F dengan BR berhubungan seara diam-diam saat F masih berpacaran dengan SN, sampai akhirnya F putus dengan SN, F langsung memutuskan untuk berpacaran dengan BR. Hubungan F dengan BR berlangsung sekitar 1,5 tahun. BR di mata F merupakan sosok yang perhatian. Ia sering menjemput F di sekolah dan sering pula mengirimkan makanan kerumah F. Perhatian –perhatian seperti inilah yang membuat F cinta kepada BR. Tetapi akhirnya mereka harus putus karena BR
75
mendadak menghilang begitu saja dari F, padahal sebelumnya hubungan mereka baik-baik saja. Bahkan sebelum mereka putus pun, F masih diajak kerumahnya untuk merayakan ulang tahun ibu nya BR. Setelah putus dari BR kemudian ia melanjutkan hubungannya kembali dengan SN. Hubungan F dengan SN berlangsung cukup lama, tetapi saat F memutuskan untuk masuk kuliah, ia kembali harus putus dengan SN untuk yang kedua kalinya. Putusnya F yang kedua kalinya dengan SN dikarenakan kesibukkan SN bekerja dan hampir tidak ada waktu baginya untuk bertemu dengan F. SN saat itu ditempatkan bekerja di Surabaya. Sejak saat itu, mereka sering bertengkar dan mengungkit-ngungkit tentang kesibukkan satu sama lain. F yang sudah tidak tahan karena pertengkaran tersebut akhirnya berunding bersama dan mengambil jalan untuk memutuskan hubungan tersebut. F kemudian berniat untuk menjalin relasi yang baru lagi dengan pria yang berinisial TO. Suatu hari TO bertemu dengan F bersama kedua teman TO yang berinisial SY dan AG. TO yang tidak terlihat merespon keinginan F akhirnya justru malah lebih dekat kepada teman TO yang bernama AG. AG pun meminta nomor hp milik F dan sejak saat itu komunikasi mereka menjadi semakin intensif. Tetapi kedekatan mereka tidak berlangsung lama. AG tiba-tiba menghapus nomor F dan F tidak lagi dapat berkomunikasi dengannya. F yang dalam kondisi bingung serta sedih karena begitu saja ditinggalkan oleh AG,
76
kemudian menjalin kedekatan yang baru lagi dengan salah seorang senior di kampusnya yang berinisial U. Awal mula pertemuan F dengan U adalah ketika dikampus mereka mengadakan acara penerimaan mahasiswa baru. Saat itu F yang baru masuk kuliah kemudian bertemu dengan U yang juga seniornya dan kebetulan berperan sebagai panitia dalam acara tersebut. setelah dari acara tersebut, U kemudian meminta nomor hp milik F dan sejak dari itu komunikasi mereka semakin berlanjut lebih dalam. F dan U sering bercanda-canda lewat telfon dan BBM. Hal ini membuat U semakin ingin mengenal F lebih jauh dan akhirnya mereka memutuskan untuk berpacaran Hubungan F dengan U terjalin dengan sangat dekat. Mengingat bahwa U merupakan senior F dikampusnya, maka hampir seluruh waktunya dihabiskan untuk bersama dengan U. Aktivitas yang sering mereka lakukan adalah bersenda gurau sambil mengobrol di area kampus. Selain itu terkadang F juga menunggu U diluar kelas sampai U selesai kuliah. U yang sering berkunjung ke rumah F juga membuat hubungan mereka menjadi semakin dekat. Orang tua F yang sudah mengenal U pun pada akhirnya membebaskan hubungan mereka, hingga akhirnya mereka melakukan aktivitas seksual yang membuat kelekatan mereka menjadi semakin mendalam.
77
Sampai suatu hari tidak disangka, F hamil dan mengandung anak dari pacarnya yang berinisal U tersebut. Saat F menyadari tanda-tanda akan kehamilannya, F tidak langsung memeriksakannya ke rumah sakit melainkan ia cek sendiri terlebih dahulu dengan menggunakan alat test pack. Setelah diketahui hasilnya positif hamil, F merasa bingung mengenai apa yang harus ia lakukan. Dalam kebingungannya tersebut, ternyata ibu F yang memiliki ikatan batin sangat kuat terhadap F pun mulai merasakan ada yang beda dari sikap F. Ibu F pun menanyakan kepada F dan mencoba untuk mendekati F, sampai akhirnya F menceritakan tentang kehamilannya tersebut. Ibu F yang mengetahui kejadian yang menimpa F pun berusaha untuk tetap bersikap tenang, meskipun F tahu bahwa ibunya pasti sangat sedih mengetahui hal tersebut. Ibu F kemudian meminta F untuk menghubungi U demi membahas kejadian tersebut dengan masing-masing keluarga. Beberapa hari kemudian, F langsung menuju kerumah U untu membahas masalah tersebut. Sesampainya dirumah U, U membuka pintu rumahnya dan F bersama keluarganya pun masuk ke dalam. F melihat raut wajah ibu pacarnya begitu masam kepadanya seolah-olah menunjukkan sikap penolakan terhadap F. Mereka pun akhirnya membicarakan masalah F dan keputusannya adalah F akan menggugurkan kandungannya. F sebenarnya tidak ingin menggugurkan kandungannya tersebut, tetapi ini menjadi pilihan karena F tahu bahwa pihak keluarga dari U sangat memberikan
78
ekspektasi tinggi terhadap keberhasilan U kuliah. F melakukan ini semua untuk kebaikan U, karena F tidak ingin karier U terhenti akibat kejadian ini. Begitu cintanya F terhadap U sampai-sampai ia harus mengugurkan kandungannya serta menanggung rasa bersalah seumur hidupnya, tetapi pengorbanan ini tidak pernah dilihat orang lain sebagai sesuatu hal yang bernilai. F yang semakin merasa bersalah karena telah mengugurkan kandungannya sendiri akhirnya merasa perlu untuk menjauhi U. F yang sudah sakit hati, kecewa, sedih dan semakin merasa bersalah mencoba untuk tidak berhubungan kembali dengan U, apapun alasannya. F menghapus seluruh kontak milik U dan ia pun berhasil untuk menjauhi U hingga saat ini. F yang mencoba untuk melupakan kejadian pahit selama berpacaran dengan U, akhirnya mencoba kembali untuk memperbaiki hubungannya dengan pacarnya yang bernama SN, karena SN sendirilah yang meminta untuk kembali kepada F. F yang merasa nyaman dengannya akhirnya menerimanya kembali di kehidupannya. F merasa nyaman dengan SN sejak dulu karena memang sosok SN yang bisa menjadi seorang pacar yang siap sedia disaat F membutuhkannya, bisa juga menjadi seorang sahabat, teman curhat, dan juga sebagai “ATM berjalan” yang dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan F.
79
“Dia tuh bisa kita jadiin apa aja kak, jadiin tukang ojek bisa, bisa kita jadiin temen, sodara, sahabat, abang,bisa juga jadi atm berjalan.”
F yang dalam menjalin relasinya dengan lawan jenis mengakui bahwa ia tidak merasa sulit untuk menjalin hubungan yang baru setelah ia putus dari pacar sebelumnya. Hal ini dikarenakan F yang selalu menjalin hubungan dengan 2 pria sekaligus dalam satu situasi. F memberi julukan pria cadangan tersebut sebagai TTM (Teman Tapi Mesra). Fungsi dari pria yang ia sebut sebagai TTM itu adalah sebagai upaya F dalam mencari kesempurnaan dalam setiap relasinya. F menyadari memang setiap orang tidak ada yang sempurna, tetapi karena hal itulah ia mencoba untuk mencari hal lain yang tidak dimiliki dari pacarnya, sehingga F merasa perlu untuk mendapatkan sosok pria TTM tersebut untuk melengkapi pacarnya tersebut. Meskipun demikian, F tetap mengakui bahwa pacarnya lebih penting daripada pria yang menjadi sosok TTM nya tersebut karena sosok pacar bagi F adalah sebagai teman dekat, saudara, bahkan bisa juga sebagai sosok suami yang selalu siap sedia disaat ia membutuhkannya. “Emm..makna pacar buat aku tuh..segala-galanya banget kak. Dia tuh bisa kita jadiin apa aja kak, jadiin tukang ojek bisa, bisa kita jadiin temen, sodara, sahabat, abang. Sekarang makanya aku udah lagi mulai menajuh dari ttman aku itu.”
Dari sekian banyaknya relasi dengan lawan jenis yang F telah jalani, kualitas hubungan yang paling berkesan bagi F adalah saat ia berpacaran dengan pacarnya yang berinisial Y dan dengan pacarnya yang sekarang SN. Bagi F,
80
hubungan yang berkesan itu adalah ketika hubungan yang dijalani sudah berlangsung dalam jangka waktu yang lama, karena dalam hal ini sudah banyak aktivitas yang dilaluinya sampai ia benar-benar merasa nyaman dengan pria tersebut dan sosok pria yang berkesan bagi F adalah ketika pria tersebut sabar akan sifatnya yang manja dan ingin agar segala kebutuhannya dipenuhi. 3. Gambaran Riwayat Self Injury Awal mula subjek F melakukan self injury adalah ketika subjek melihat pacarnya berboncengan dengan wanita lain. F dengan mantan pacarnya yang berinisial Y tersebut memiliki hubungan yang sangat dekat. Hal ini dikarenakan F dan Y yang sebenarnya masih ada hubungan saudara. F mengakui bahwa Y sudah seperti keluarganya sendiri dan kedekatannya yang sudah terlalu jauh itu dianggapnya sudah seperti hubungan suami dan istri. Hampir setiap hari Y melakukan berbagai macam aktivitas dirumah subjek F seperti makan dirumah F, tidur dirumah F, mandi dirumah F dan sebagainya. Mereka berdua memiliki keintiman yang sangat erat dan banyak hal yang sudah mereka lakukan berdua, termasuk hubungan seksual. Hal ini dapat ia lakukan karena dari pihak keluarga F sudah percaya sepenuhnya pada Y, sehingga keluarga F membebaskan apa saja yang ingin mereka lakukan.
Hubungan yang sangat dekat tersebut
membuat F menjadi semakin sayang pada T. “Kalo dibilang udah ngapain aja sama dia ya banyak, ya...banyak lah hampir kayak “begituan” tapi gak sampe ML sih. Ya..kayak kissing, terus ya..kayak gitu lah. Karena orang rumah udah percaya banget sama dia, jadi ya..bebas aja gitu. Dan karena dia
81
baru pertama kalinya juga sama kayak aku, jadi ikatan batin kami juga makin dalam.”
Hingga pada suatu hari F melihat Y secara tidak sengaja berboncengan dengan wanita lain melewati gang depan rumahnya. Pada saat itu, F merasa sangat kecewa dengan Y. F merasa bahwa hubungan yang telah mereka jalin selama 4 tahun terasa sia-sia. Setelah kejadian itu, Y tidak sama sekali menunjukkan rasa bersalahnya dengan mengakui kesalahannya atau meminta maaf. Dengan kondisi seperti ini, F menganggap Y menggantung hubungannya. T tidak memberi penjelasan atas kejadian tersebut, namun Y juga tidak meminta untuk putus dari F. Dari kejadian ini, F yang diliputi dengan rasa kesedihan dan kekecewaan yang mendalam tidak lagi dapat berpikir jernih untuk menyelesaikan masalahnya tersebut. Sehingga F akhirnya memutuskan untuk melakukan self injury. “Kecewanya itu..banget banget banget. Kecewanya tuh kayak semua yang dilakuin jadinya sia-sia aja. Kecewanya tuh...emmm..gini, saat itu aku kepengen buat ngerasain yang lebih sakit lagi daripada itu. Jadi aku nyari sesuatu untuk mindahin fokus rasa sakit yang ada di hati aku ini dengan rasa sakit yang lain dengan nyilet-nyilet itu.”
F yang saat itu merasakan kecewa yang sangat mendalam, tidak mampu untuk mengungkapkan secara lisan atas perasaannya tersebut dan juga tidak mampu untuk marah pada Y karena cintanya yang juga teramat dalam. Hal ini menyebabkan F tidak mampu untuk berpikir jernih dan kemudian memutuskan untuk mengalihkan rasa sakitnya itu pada aktivitas lain yang lebih sakit
82
daripada rasa sakit di hatinya untuk memperoleh ketenangan, yaitu dengan melakukan self injury. Setelah F melihat kejadian Y berboncengan dengan wanita lain, F memutuskan untuk menyendiri dan masuk ke dalam kamarnya. Di dalam kamarnya tersebut, ia melemparkan sebuah bingkai foto milik Y dan pada saat itu, ia berinisiatif untuk mengambil pecahan kaca tersebut untuk di goreskan pada tangannya dan area sekitar paha. Hal ini ia lakukan karena rasa sakit di hatinya yang sulit untuk dijelaskan pada orang lain. Rasa sakit hati F tersebut ternyata menimbulkan efek fisiologis yang cukup menyakitkan. Menurut F, rasa sakit di hatinya saat itu menimbulkan efek sakit yang sama pada sendi-sendi di sekujur tubuhnya, seperti rasa linu dan nyeri. Rasa sakit itulah yang tidak dapat tertahankan oleh F, sehingga ia memilih untuk menyalurkannya lewat aktivitas yang lebih sakit daripada itu untuk mendapatkan ketenangan. “Saat ada masalah itu, aku tuh ngga bisa mikir secara logis. Soalnya sendi-sendi aku yang di badan di tangan tuh pada sakit kak,sakit banget ngilu dan linu gitu, jadi refleks aja ngambil pecahan kaca itu. Dan saat itu dada aku sakittt banget, jadi aku pengen ngerasain yang lebih sakit daripada itu”
Setelah F melakukan self injury tersebut, ia mendapatkan ketenangan yang ia inginkan. Rasa sakit yang ada di hati F seketika terkalahkan dengan rasa sakit akibat self injury yang ia lakukan. Rasa ketenangan yang ia dapatkan berupa kelegaan yang ia ibaratkan seperti pergelangan tangan yang di tekan lama, lalu kemudian di lepaskan. Setelah ia memberikan sayatan pada pergelangan
83
tangannya, kemudian ia menekan bagian sayatan tersebut dalam waktu beberapa menit, lalu ia lepaskan. Pada saat itu F memang merasakan pedih, tetapi dari serangkaian aktivitas itulah ketenangan yang ia inginkan tercapai. “Jadi ya gitu, aku meluapkan emosiku dengan cara begitu, karena saat itu juga sendi-sendi tangan sama badanku sakit dan linu banget. Makanya aku nyilet pake kaca itu, abis itu aku teken bagian yang lukanya abis itu dilepas..disitulah ketenangannya.”
Namun, ketenangan tersebut hanya bersifat sementara. Menurut F, aktivitas self injury tersebut memang memunculkan ketenangan tersendiri, tetapi saat efek ketenangan tersebut berhenti, F menjadi semakin butuh untuk melakukan sayatan lagi untuk yang kedua kali, ketiga kali dan seterusnya. Hal inilah yang menjadikan F ketergantungan saat itu untuk melakukan aktivitas self injury. “Terkalahkan tapi sesaat aja. Misalkan pada siletan pertama aku ngerasa tenang sementara. Tapi saat rasa sakit hati itu timbul lagi, aku kayak gitu lagi. Jadi gini loh, ketika lagi sakit hati banget terus kan nyilet tuh, terus kok masih kerasa sakit di hati. Terus aku nyilet lagi, eh..masih sakit, nyilet lagi, nyilet lagi. Pokoknya sampe udah ngerasa tenang baru berenti. Biasanya bisa 5 kali dalam sehari saat itu.”
Pengalamannya melakukan Self Injury bukan hanya sekali saja pada saat F mempunyai masalah dengan mantan pacarnya Y. F juga pernah melakukan self injury dalam sebuah situasi yang lain yaitu pada saat kedua orang tua F bertengkar hebat sampai ayahnya memecahkan kaca meja. Kejadiannya adalah pada malam hari, kedua orang tua F pernah bertengkar hebat, sampai ayahnya memecahkan kaca meja ruang tamu di rumah F. F yang memang baru pertama kalinya melihat ayahnya sangat marah terhadap sang ibu, merasa sangat shock
84
atas kejadian tersebut. Setelah pertengkaran usai, F mendekati ibunya yang sedang menangis dan F pun ikut larut dalam suasana saat itu. Ibu F mengatakan padanya bahwa ia sudah tidak sanggup lagi saat itu dan ingin segera bercerai. Mendengar hal ini, F menjadi semakin sedih dan khawatir jika memang benar ibunya akan segera bercerai dengan ayahnya. Keesokan harinya, F memutuskan untuk membolos sekolah dan menuju ke rumah sahabatnya yang berinisial M. Sesampainya disana, F tidak dapat berkata apapun meski sebenarnya ia ingin menceritakan semua masalahnya pada sahabatnya. Saat itu F hanya dapat menangis untuk menenangkan diri. Ketika ada kesempatan, F mencuri-curi waktu untuk menuju toilet milik sahabatnya itu dan disana lah ia melakukan kembali self injury dengan menyayat tangannya. F juga pernah melakukan self injury sewaktu terlibat konflik dengan kakaknya. Kakak F sangat marah terhadap F sewaktu ia tahu bahwa adiknya sudah tidak perawan lagi. Kakak F pernah mengeluarkan kata-kata yang sangat menyakitkan hati F kala itu, dan itulah yang membuat F sangat sakit hati karena selain itu, kakaknya pun sempat bersikap cuek terhadap F. F akhirnya melakukan self injury dengan menyayat tangannya. 4.
Gambaran Emosi Subjek Dari permasalahan subjek F diatas, F merasakan berbagai macam emosi negatif seperti kekecewaan, kesedihan, dan rasa sakit hati yang mendalam. F mengatakan bahwa kesedihan yang dimaksud adalah ketika keinginan F tidak
85
sesuai dengan realita yang ada. Pada kondisi seperti ini, F merasakan kesedihan tersebut. “Ketika takdir gak sesuai sama keinginan kita, itu tuh menyedihkan banget buat aku. Ya..itu definisi sedih menurut aku kak. Jadi ketika aku maunya begini sama pacar aku, tapi Tuhan menakdirikan “begini” buat aku, ya ini menyedihkan buat aku.”
F juga mengatakan bahwa ketika F melihat mantan pacarnya berboncengan dengan wanita lain saat itu, ia merasakan kekecewaan dan sakit hati yang mendalam. Bahkan menurut F, rasa sakit hati tersebut terbawa sampai ke persendian tubuhnya, sehingga sendi-sendi tersebut terasa sangat sakit dan linu. “Rasanya tuh..itu, sakitttt banget kak. Susah dijelasinnya, tapi efeknya sampe ke persendian aku jadi ngilu semua, sakit banget, linu.” 5. Penghayatan terhadap masalah
Munculnya beragam masalah yang dihadapi oleh subjek F menunjukkan bahwa F merupakan manusia sebagai makhluk sosial pada umumnya yang tidak pernah terlepas dari interaksi dengan orang lain. Semakin banyak seseorang melakukan interaksi dengan orang lain, maka semakin banyak pula informasi yang diterimanya, yang kemudian akan terangkai menjadi pengalaman hidup yang tentuya akan mempengaruhi sebagian atau seluruh hidupnya. Pengalaman-pengalaman ini akan selalu diwarnai dengan beragam bentuk emosi yaitu emosi positif maupun negatif. Emosi positif maupun negatif, keduanya tetap harus dihayati dengan cara yang tepat. Ketika penghayatan
86
pengalaman hidup dilakukan dengan cara yang tidak tepat, individu akan merespon dengan cara yang juga tidak tepat juga. F sejak kecil juga sudah mulai berinteraksi dengan orang lain, dimulai dari interaksinya di lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, sosial hingga interaksinya dengan lawan jenis. Berdasarkan pengalaman-pengalaman subjek F yang telah diuraikan sebelumnya, F selalu menghayati setiap permasalahannya dengan cara yang tidak tepat. Hal ini terlihat dari respon yang F lakukan ketika F mengalami suatu permasalahan. Ketika F merasakan sedih dan sakit hati yang mendalam, F menghayati hal tersebut sebagai sesuatu yang teramat menyakitkan dan harus segera di ekspresikan keluar agar rasa sakitnya tersebut tidak semakin mendalam ia rasakan. Pada saat F mengalami kekecewaan yang mendalam, F merasakan bahwa seluruh persendian di tubuhnya terasa linu dan juga sakit. Disaat individu pada umumnya merespon rasa sakit dengan cara mengobati, hal yang unik justru terjadi pada subjek F ini. F justru mencari cara untuk memperoleh rasa sakit yang lebih daripada rasa sakit hatinya agar F menjadi lebih tenang. Maka dari itu, setiap F merasakan linu di tubuhnya, ia selalu menggoreskan benda tajam ke tubuhnya dengan tujuan untuk melepaskan emosi yang tidak mampu F ungkapkan. Sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nock (2008) yang berjudul physiological arousal, distress tolerance, and social problem-solving deficits among adolescent self-injuries bahwa individu yang terlibat dalam self injury memiliki reaktifitas fisiologis yang kuat, daya tahan yang lemah dalam 87
menghadapi distres, serta kemampuan pemecahan masalah yang rendah dibandingkan dengan subjek yang tidak terlibat dalam self-injury, hal yang sama juga terlihat pada subjek F pada penelitian ini. Subjek F juga merupakan individu yang memiliki reaktifitas fisiologis yang kuat, daya tahan yang lemah dalam mengahdapi distres, serta kemampuan pemecahan masalah yang rendah. Diakui oleh F bahwa ketika F menghadapi suatu masalah, F tidak mampu berpikir secara logis melainkan langsung bereaksi secara fisik yaitu dengan melakukan tindakan self injury itu sendiri. “Saat ada masalah itu, aku tuh ngga bisa mikir secara logis. Soalnya sendi-sendi aku yang di badan di tangan tuh pada sakit kak, jadi refleks aja ngambil pecahan kaca itu. Dan saat itu dada aku sakittt banget, jadi aku pengen ngerasain yang lebih sakit daripada itu.”
Berdasarkan pernyataan F di atas maka dapat disimpulkan bahwa penghayatan masalah yang F lakukan lebih mengarah kepada emosi negatif, sehingga hal ini lebih mengarahkan F kepada perilaku negatif yaitu self injury. F menghayati masalah sebagai sesuatu yang sangat menyakitkan, namun uniknya adalah F tidak mencari cara untuk mengobati rasa sakit hatinya tersebut melainkan mencari cara lain untuk menggoreskan luka baru di tubuhnya agar rasa sakit hati yang sulit di deskripsikan tersebut dapat mereda. F sendiri mengakui bahwa meredanya rasa sakit hati tersebut hanya bersifat sementara, dalam arti lain F hanya merasakan ketenangan sesaat. Letak ketenangan yang F rasakan adalah pada saat ia merasakan pedih pada siletan
88
pertama. Ketika rasa pedihnya mulai menghilang, rasa sakit hati F kemudian muncul kembali dan ini membuat F ingin melakukan siletan kedua dan seterusnya. “Jadi ketika nyilet kan ngerasain pedih, nah saat ngerasain pedih nya itu, disitulah letak kelegaannya. Terkalahkan tapi sesaat aja. Misalkan pada siletan pertama aku ngerasa tenang sementara. Tapi saat rasa sakit hati itu timbul lagi, aku kayak gitu lagi.” 6. Gambaran Proses Regulasi Emosi Subjek
1. Pemilihan situasi (selection situation) Menurut Gross (2007) pemilihan situasi meliputi tindakan seseorang untuk mendapatkan situasi yang diharapkan, diantaranya adalah tindakan mendekati atau menghindari orang atau situasi yang memunculkan dampak emosional. Dalam hal ini, F lebih memilih untuk menyendiri di dalam kamarnya. Setelah F melihat Y (mantan pacarnya) berboncengan dengan wanita lain, ia langsung pergi dari tempatnya semula dan langsung menuju kamarnya, mengunci pintu kamarnya rapat-rapat dan ia pun juga tidak mengizinkan siapa pun untuk mengganggunya apalagi masuk ke dalam kamarnya. Selama F berada di dalam kamarnya, ia selalu memikirkan bagaimana caranya agar ia bisa meluapkan kekecewannya serta menghapus kesedihannya sesegera mungkin. “saat itu aku lebih milih buat menyendiri. Abis ngeliat kejadian itu, aku langsung masuk kamar, nangis aja didalem.”
Di dalam kesendiriannya, F merasa bahwa ada banyak emosi di dalam dirinya yang semakin bergejolak satu sama lain diantaranya kesedihan, kekecewaan, rasa bersalah, rasa tidak bermakna, kemarahan, rasa ketidakberdayaan, rasa
89
kekosongan, serta rasa sakit hati yang sulit di deskripsikan. Emosi-emosi ini muncul akibat terakumulasinya berbagai macam permasalahan yang telah F alami semasa hidupnya, sehingga pada waktunya sampai lah ia pada suatu titik dimana F sudah tidak mampu lagi untuk menahannya. “Yang dirasain tuh, sakittttt banget. Yang sakit tuh hatinya ya kak. Terusnya sedih, ngerasa kayak dunia tuh ngga adil banget sih. Terus kadang juga suka nyalahin diri sendiri. Rasanya tuh hati kayak kosong, kayak perih tersayat-sayat, terus jadi berpikir kalo Tuhan itu gak adil yah...Rasa kecewa yang gak bisa diungkapin, namanya juga berantakan ya campur aduk kak.”
Selama F menyendiri di dalam kamar, ia lebih memilih tidak berinteraksi dengan orang lain karena hal ini membuatnya jauh lebih tenang daripada ia harus berinteraksi dengan orang lain. Dalam kondisi yang tidak menentu seperti ini, F merasa lebih nyaman berinteraksi dengan dirinya sendiri, merasa lebih nyaman melakukan segala sesuatunya sendiri, merasakan kesedihannya sendiri, sampai akhirnya F merasakan sakit di seluruh persendian tubuhnya. Sakitnya seluruh sendi-sendi di dalam tubuh F diakibatkan karena F terlalu fokus pada aliran emosinya semata, F juga terlalu menghayati setiap rentetan peristiwa yang
menjadi
penyebab
dari
masalah-masalahnya,
sehingga
hal
ini
memunculkan sebuah efek sakit secara fisiologis berupa rasa linu pada organ tubuhnya. 2. Perubahan situasi (modifikasi situasi) Perubahan situasi merupakan suatu usaha yang secara langsung dilakukan untuk memodifikasi situasi agar efek emosinya teralihkan (Gross,2007). Dalam
90
hal ini, F berusaha untuk mengubah situasi yang penuh dengan gejolak emosi tersebut dengan aktivitas yang sifatnya lebih menenangkan yaitu dengan mendengarkan musik sambil menyendiri di dalam kamar. F berharap bahwa dengan aktivitas ini, emosinya akan jauh lebih stabil dan ia mampu untuk mengontrol emosinya. Tetapi tidak disangka, aktivitas mendengarkan lagu ini justru menimbulkan efek sebaliknya. Hal ini disebabkan karena jenis lagu yang F dengarkan adalah lagu melankolis yang semakin menghantarkan dirinya untuk mengingat seluruh kejadian-kejadian pahit yang telah ia alami. Tanpa di sadari, setelah F mendengarkan lagu-lagu melankolis tersebut ia semakin berpikiran negatif lebih jauh, semakin memperjelas ingatannya mengenai rentetan peristiwa-peristiwa yang tidak menyenangkan, semakin membuatnya sakit hati bahkan semakin membuatnya ingin melampiaskan rasa sakit hatinya tersebut dengan cara apapun. “Yang dirasain tuh apa ya...biasa aja, gak bikin aku jadi tenang. Malah yang ada bikin aku jadi makin nangis. pokoknya kalo liriknya sama kayak suasana hati aku, lagunya makin melow tuh ya..makin kebawa suasana jadinya.”
Dengan kata lain, cara memodifikasi situasi seperti ini bukan merupakan cara yang efektif untuk F mengatur emosi-emosi negatifnya. Kumpulan lagulagu tersebut justru membuat F semakin larut dalam kesedihan, kekecewaan, rasa sakit hati, bahkan semua emosi-emosi tersebut semakin mengalir di dalam dirinya dan membuat ia semakin ingin melakukan self injury yang sedang
91
dibayanginya saat itu. Bagi F, usaha memodifikasi situasi melalui lagu rupanya tidak begitu membantunya dalam mengelola emosi negatifnya tersebut. Kemudian, F yang sedang berupaya untuk memodifikasi situasi juga dibantu oleh pihak luar, dalam hal ini F mendapat intervensi dari pihak eksternal yaitu ibu kandungnya dalam mengubah situasi-situasi yang penuh dengan efek emosional saat itu. Ibu F selalu memberinya dukungan dengan cara menasehatinya dan mengajaknya jalan-jalan sehingga hal ini dirasanya sangat bermanfaat untuk membuatnya menjadi nyaman. Dalam kondisi seperti ini, sosok ibu bukan hanya berperan sebagai ibu saja melainkan menjadi seorang sahabat untuk F yang mampu membuatnya lebih tenang. “Ada, ya umi aku.dia yang selalu ngasih aku nasehat, ngedampingin aku terus ngajak aku jalan-jalan, ya kayak gitu. Aku seneng banget kak, dengan begitu bikin aku nyaman juga. Tapi itu baru-baru aja kak, belum lama ini.”
Sejak kecil, F memang sudah dekat dengan ibunya dan menurut F hubungan serta ikatan batin diantara mereka berdua terjalin sangat kuat. F merasa nyaman ketika ibunya memberi perhatian lebih kepada dirinya apalagi disaat F benar-benar merasa terpuruk. Ketika F berada dalam masa-masa terpuruk, hanya sosok ibu yang memang selalu hadir memberinya dukungan serta doa bahkan ketika F melakukan aborsi dimana pada saat itu banyak pihak yang menyalahkan F, justru ibu F tetap memberinya dukungan. Menurut F, hanya sosok seorang ibu yang mengerti keadaan dirinya disaat semua orang menjauhinya karena tindakan aborsi yang pernah dilakukannya. 92
3. Pengalihan perhatian (Attentional Deployment) Pengalihan perhatian merupakan cara bagaimana individu mengarahkan perhatiannya di dalam sebuah situasi untuk mengatur emosinya (Gross,2007). Sesaat setelah F melihat Y berboncengan dengan wanita lain, ia menjadi tidak ingat lagi dengan aktivitas yang sedang dilakukannya saat itu karena fokusnya seketika teralihkan akibat kejadian tersebut. F kemudian langsung memutuskan untuk masuk ke dalam kamar lalu mengunci pintu kamarnya rapat-rapat. Di dalam kesedihan yang dirasakannya, F menjadi bertingkah laku tidak seperti biasanya. F bahkan memutuskan untuk tidak berinteraksi dengan orang lain dan meninggalkan aktivitas-aktivitas yang sehari-hari ia lakukan. Kesedihan yang F rasakan menurutnya seperti suatu keadaan yang kacau balau dimana perasaan F saat itu benar-benar hancur, jiwa F terasa kosong, hatinya seperti tersayat-sayat hingga pada akhirnya F tidak tahu harus berbuat apa untuk mengatasi masalahnya tersebut. Kondisi seperti inilah yang membuat F kemudian bertingkah laku tidak sebagaimana mestinya yaitu membanting apapun yang berada di sekitar F. F yang sudah tidak mampu lagi menahan perasannya, amarahnya, kekecewaannya serta emosi-emosi negatif lainnya yang bergejolak satu sama lain hanya bisa menangis dan hanya bisa terfokus pada pikiran dan perasaannya sendiri. F yang masuk ke dalam kamar dengan emosi yang meledak-ledak dan tidak tertahankan, secara refleks melihat ke arah bingkai foto milik Y dan langsung membantingnya hingga bingkai tersebut pecah berserakan. Inilah yang disebut sebagai distraksi yaitu memindahkan perhatian 93
jauh dari sebuah situasi yang menyebabkan efek emosional secara bersamaan ke situasi lain. Pada saat itu, sosok Y merupakan sosok yang sangat dibenci oleh F. Sejak F melihat peristiwa itu, F menganggap bahwa Y merupakan sosok pria yang paling jahat melebihi jahatnya seorang pembunuh atau seseorang yang melakukan tindak kejahatan lainnya. Bagi F, kejahatan yang telah Y lakukan padanya sudah diluar batas kewajaran bahkan melebihi tindak kejahatan apapun yang ada di dunia ini. F yang telah menjalin hubungan sedemikian dekat dan intim dengan Y selama 4 tahun, tiba-tiba tanpa penjelasan apapun F diacuhkan begitu saja. Y tidak pernah lagi memberi kabar pada F selama beberapa bulan, tidak pernah lagi bermesraan lewat telfon maupun sosial media lainnya. Tibatiba saja F melihat Y berboncengan dengan wanita lain secara tidak disengaja. Menurut F, sosok Y telah menghancurkan begitu saja hubungan yang telah lama mereka jalani. Hubungan berpacaran selama 4 tahun tidak dihargainya lagi, padahal F menaruh harapan yang besar pada sosok Y. F berharap bahwa sosok Y akan menjadi pendamping hidupnya kelak, tetapi semua harapan F hilang begitu saja setelah F melihat peristiwa pada detik itu. Maka dari itu, ketika wajah Y terlintas di pikiran F sesaat setelah ia melihat kejadian itu, terlintas pula di benak F bagaimana caranya agar ia dapat menghilangkan rasa sakit hatinya. Ia terus berpikir hingga pada akhirnya fokus F jatuh kepada sebuah benda mati berbentuk bingkai yang di dalamnya terdapat
94
foto Y dan secara refleks F meraih bingkai foto tersebut lalu membantingnya dengan emosi yang meledak-ledak. “Aku langsung masuk kamar konci-konciin pintu semua, yaudah aku banting foto terus aku nangis. Udah, saat itu yang jadi fokus aku adalah gimana caranya ngilangin rasa sakit hati ini.”
Setelah F membanting bingkai foto tersebut, ia merasakan sebuah kelegaan. Bingkai foto yang merupakan sebuah benda mati diyakininya sebagai sesuatu yang pas untuk meluapkan emosinya, karena pada saat itu F merasa bahwa ia tidak mampu menahan kekecewaannya pada Y, tetapi di sisi lain F juga merasa bahwa ia tidak berdaya untuk melampiaskan kemarahannya pada Y secara langsung. Maka dari itu ketika F melihat foto Y di dalam bingkai ia langsung refleks membantingnya. “Kecewa itu adanya di hati, dan itu rasanya sakiiitttt banget. Sampe akhirnya aku ngga bisa melampiaskan dengan omongan karena saking kecewanya, ngga bisa marah karena saking cintanya sama dia. Yaudah refleks aku banting fotonya. Efeknya ya..lega aja gitu, karena saat itu yang ada di pikiranku aku kesel banget sama dia, aku marah banget sama dia, jadi pas ngeliat foto dia di kamar refleks aku banting.”
Hanya saja, perilaku F dalam melampiaskan emosinya ternyata tidak hanya sekedar membanting bingkai foto itu saja. Kekecewaan yang ia rasakan sudah membuat jiwanya semakin tertekan sehingga F semakin memiliki dorongan yang kuat untuk membebaskan dirinya dari rasa ketertekanan tersebut. Oleh karena itu, F tidak henti-hentinya berpikir mengenai cara apa
95
selanjutnya yang harus ia lakukan untuk membuat dirinya terbebas dari rasa tertekan secara emosional. 4. Perubahan kognitif (cognitive change) Perubahan kognitif merupakan perubahan cara seseorang dalam menilai situasi ketika berada dalam situasi yang bermasalah untuk mengubah signifikansi emosinya (Gross,2007). Tujuan akhir dari fase ini adalah untuk menurunkan emosi negatif. Pada subjek F, masalah merupakan suatu keadaan yang sangat membebani dirinya. Dengan adanya kumpulan masalah yang telah F alami, F menjadi sulit untuk fokus pada hal lain yang jauh lebih penting, perasaannya juga menjadi tidak menentu dan membuatnya semakin tidak ingin berinteraksi dengan orang lain. Dalam kondisi seperti ini, memungkinkan bagi F untuk tidak berfungsi sebagaimana mestinya karena pada saat yang bersamaan F juga mengisolasi dirinya sendiri di dalam kamar. “Dalam keadaan kayak gitu, aku ngga bisa berpikir jernih. Jadi aku lebih memikirkan gimana caranya untuk menenangkan diri aku dulu, baru mikirin penyelesaian masalah. Aku tipe orang yang penyendiri. Jadi kalo ada masalah ya..aku simpen sendiri, gak pernah aku ceritain ke orang, ditanya pun jawabnya gitu-gitu aja. Aku lebih banyak di kamar pokoknya.”
Penghayatan F terhadap masalah, membuat F semakin tidak berdaya dalam menghadapi rasa sakitnya dan F berpikir untuk segera menghilangkan rasa sakitnya tersebut. Dalam hal ini, subjek F mengubah signifikansi emosinya dengan cara memperkuat kognisi atau pola pikirnya bahwa sesuatu yang menyakitkan harus diekspresikan dengan cara yang lebih menyakitkan, dengan
96
begitu subjek F akan merasakan ketenangan dan kelegaan yang ia inginkan. Ditambah lagi dengan adanya pemikiran-pemikiran negatif lainnya seperti, masalah merupakan suatu beban yang amat menyakitkan, pemikiran negatif atas diri sendiri, menganggap diri sendiri merupakan pribadi yang bodoh, dan menyalahkan diri sendiri. Pemikiran-pemikiran seperti inilah yang kemudian terakumulasi menjadi satu yang pada akhirnya semakin membuat F tidak berdaya dan merasa sangat tertekan. F semakin menghayati permasalahannya sebagai sesuatu yang sangat menyakitkan jiwanya, hingga akhirnya F semakin larut dalam kesedihannya. 5.
Perubahan respon Perubahan respon ini terjadi di ujung proses bangkitnya emosi, yaitu
setelah kecenderungan respon telah dimulai dan emosi sudah terjadi (Gross,2007). F saat itu merasa bahwa sudah tidak ada hal lain yang dapat ia lakukan, bahkan ia pun juga tidak mampu lagi untuk terlalu lama menahan rasa sakit yang ia derita. Baginya semua kesakitan tersebut, harus segera dilampiaskan dengan cara apapun secepat mungkin seiring dengan munculnya rasa sakit pada persendian di tubuhnya. Begitu kuat dorongan di dalam diri F, ia pun akhirnya kehilangan kontrol diri dan langsung membanting benda-benda yang ada di sekitarnya. Benda yang pertama kali ia lihat adalah sebuah bingkai foto, maka benda itulah yang pertama kali ia banting hingga kaca pecahannya berserakan di lantai. Bingkai foto sebenarnya merupakan sebuah benda mati yang secara kasat mata tidak berarti apapun selain sebagai fungsinya yaitu 97
menempatkan sebuah foto. Namun bingkai foto tersebut menjadi titik fokus tersendiri bagi F karena di dalamnya terdapat wajah orang sangat ia benci. Bingkai foto itu dapat menjadi suatu alat yang mampu membantunya dalam meredakan gejolak emosinya, sehingga ia merasa perlu untuk membantingnya dengan sekuat tenaga. Meskipun sebelumnya, foto itu merupakan suatu benda yang selalu ia jaga saat mereka masih berpacaran. “Ya..dulu sih aku nganggepnya iu tuh kayak obat rindu, setelah ada kejadian itu entah kenapa aku jadi benci banget dan refleks aku banting.”
Perubahan respon ini terjadi setelah F berada di puncak emosi. Tindakan F membanting sebuah bingkai foto hingga pecah berserakan, menurutnya dapat menimbulkan efek kelegaan tersendiri bagi F karena ia dapat menyalurkan kekecewaannya pada benda lain, dimana saat itu ia tidak berdaya untuk melampiaskan kemarahan pada Y secara langsung. “Efeknya ya..lega aja gitu, karena saat itu yang ada di pikiranku aku kesel banget sama dia, aku marah banget sama dia, jadi pas ngeliat foto dia di kamar refleks aku banting.” Namun, tindakan F membanting bingkai foto bukan merupakan suatu tindakan yang efektif untuk membuat dirinya jauh lebih tenang dari sebelumnya. Setelah F membanting bingkai foto itu, ia masih tetap saja menangis dan meratapi kesedihan yang dialaminya. Semakin ia menangis dan meratapi, semakin ia terlarut dalam dirinya sendiri. Sampai pada fase ini, F tidak hanya memikirkan masalahnya dengan Y saja, tetapi secara tiba-tiba ia
98
kembali teringat dengan seluruh perjalanan cintanya yang selalu berakhir menyakitkan. Dimulai dari peristiwa F yang sempat mengalami pemerkosaan diluar kesadaran F, lalu dilanjutkan dengan hubungan-hubungan baru yang selalu membuat F ingin menjadi lebih intim dan pada akhirnya ia sempat mengalami kehamilan dan terpaksa melakukan aborsi, sampai peristiwa F yang diselingkuhi oleh Y. Seluruh peristiwa-peristiwa ini terlintas di pikiran F karena pada saat yang bersamaan F dengan sengaja mengarahkan dirinya untuk menghayati masalah tersebut secara berlebihan. Hal inilah yang kemudian membuat gejolak emosi-emosi F mengalir di seluruh peredaran darahnya dan berujung pada rasa sakit di seluruh persendian tubuhnya. Rasa sakit di sendi-sendi tubuh F juga berdampak pada jantung yang terasa linu dan F merasa sulit untuk bernafas. Rasa sakit secara fisik seperti ini merupakan suatu bentuk keadaan yang sangat menyiksa bagi F. Jika orang lain pada umumnya merasakan hal yang sama seperti F, biasanya mereka akan mencari obat untuk menghilangkan rasa nyeri tersebut. Tetapi hal yang unik justru terjadi pada F. Menurut F, jika ia merasakan sakit dalam kondisi seperti itu, F harus memindahkan rasa sakitnya kepada aktivitas yang jauh lebih menyakitkan. Pola pemikiran F yang unik inilah yang kemudian menghantarkan F untuk memfokuskan diri dan mengubah responnya pada serpihan kaca dari foto yang telah dibantingnya tadi. Secara sadar, ia lalu mendekati serpihan-serpihan kaca
99
yang berserakan itu dan langsung mengambilnya untuk meluapkan emosi dengan cara memberi sayatan pada tangan untuk kemudian luka itu ditekan lalu dilepaskan. Dalam kondisi seperti ini, F merasakan ketenangan dan kelegaan yang ia inginkan. “Engga menahan justru malah mengekspresikan, saat itu apapun juga aku banting, apapun yang ada di deketku aku banting. Yang saat itu keliatan pertama kali kan frame foto, jadi ya itu yang aku banting terus pecahan kacanya aku ambil buat nyilet tangan. Jadi ya gitu, aku meluapkan emosiku dengan cara begitu, karena saat itu juga sendi-sendi tangan sama badanku sakit dan linu banget. Makanya aku nyilet pake kaca itu, abis itu aku teken bagian yang lukanya abis itu dilepas..disitulah ketenangannya.”
Dalam hal ini, F melihat pecahan kaca tersebut sebagai sebuah benda yang sangat berguna untuk menyalurkan rasa sakit hatinya. F yang sudah tidak tahan dengan rasa sakit yang telah menjalar sampai ke persendian tubuhnya merasa perlu untuk memberikan sayatan pada kulitnya untuk menghasilkan efek yang lebih sakit dari rasa sakit hatinya. Kecewa dan kesedihan yang teramat dalam membuat F ingin merasakan sakit yang lebih daripada itu. Efek yang lebih menyakitkan ini justru membuatnya menjadi lebih tenang karena dengan begitu rasa sakit yang ada dihatinya untuk sementara waktu teralihkan pada luka fisik yang ia dapatkan. Saat pertama kali F menggoreskan pecahan kaca pada kulitnya, pada saat itu juga ia merasakan kepedihan yang baru ia rasakan. F menggoreskan pecahan kaca tersebut dengan kesadaran yang penuh berikut pula dengan aliran-aliran emosi yang mendorongnya, sehingga kegiatan ini menimbulkan tingkat
100
kepuasan tersendiri bagi F. Kelegaan serta kepuasan yang F rasakan bukan ketika ia melihat darah yang mengalir seperti mayoritas pelaku self injury lainnya, melainkan pada saat ia merasakan perihnya benda tajam yang menggores kulitnya tersebut. Namun ternyata, efek menenangkan dari sayatan tersebut hanya bersifat sementara. Menurut F, saat ia menggoreskan pecahan kaca itu pertama kali, rasa sakit yang ada di hatinya menghilang sementara dan berpindah ke luka fisik atas sayatan tersebut. Tetapi, ketika rasa sakit hati F muncul kembali, F menjadi terdorong kembali untuk melakukan sayatan yang kedua kalinya dan seterusnya. Dorongan yang sangat kuat ini menimbulkan efek ketagihan pada diri F yang pada akhirnya ia selalu menggunakan cara itu ketika rasa sakit hatinya muncul kembali. 7. Kesimpulan Proses Regulasi Emosi Subjek Subjek F (20 tahun) merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara. Namun karena kakak pertama F telah meninggal dunia beberapa saat setelah dilahirkan, kini F hanya memiliki satu orang kakak perempuan. F yang sejak kecil memiliki riwayat penyakit asma serta penyumbatan pembuluh darah, membuat tubuhnya rentan terhadap penyakit. Selain itu, F juga mengakui bahwa tubuhnya mudah lelah jika banyak melakukan aktivitas. Hal inilah yang akhirnya membuat subjek F sulit untuk berkonsentrasi belajar sehingga selama masa sekolahnya ia tidak banyak memperoleh prestasi di bidang akademis. Keluarga F berasal dari latar belakang ekonomi menengah. Ibu F pernah bekerja sebagai karyawan ticketing untuk mengurusi berbagai macam urusan 101
ekspor dan impor di salah satu perusahaan sejak beliau masih muda. Namun karena saat ini ibu F sudah semakin bertambah usia, ibu F kini sudah tidak lagi bekerja dan lebih banyak menghabiskan waktunya dirumah bersama kedua cucunya. Sama hal nya seperti ibu F, ayah F juga bekerja sebagai designer pertamanan. Kedua orang tua F yang masing-masing memiliki pekerjaan, membuat perekonomian di keluarga F tetap stabil dan tidak mengalami hambatan. Masa-masa kecil subjek F dilaluinya tanpa hambatan. Subjek F merasa sangat bahagia karena telah memiliki kedua orang tua yang selalu memberikan apa yang F inginkan. Ibu F merupakan sosok ibu yang menyenangkan baginya. Sejak kecil, ibunya tidak pernah bersikap kasar atau pun memaksakan kehendak. Ia justru selalu memberikan kebebasan pada F untuk melakukan apapun sesuai dengan keinginannya. Bahkan saat F memasuki area yang berkonotasi negatif seperti diskotik, ibunya tidak pernah melarangnya atau pun memberikan aturan yang jelas terhadapnya. Perlakuan ibu F yang seperti ini, dinilainya sebagai suatu sikap yang menyenangkan bagi F. F merasa bahagia karena dirinya tidak seperti anak-anak lain seusianya, dimana di dalam keluarga seharusnya ada banyak aturan-aturan tegas yang harus dijalaninya. Saat F memasuki masa-masa remaja, kedua orang tua F terutama sang ibu ternyata masih menerapkan perlakuan yang sama ketika F masih di usia anakanak. Pada masa remaja ini, justru F semakin dibebaskan oleh ibunya untuk
102
melakukan apapun sesuka hatinya, karena ibu F beranggapan bahwa masa remaja harus digunakan semaksimal mungkin untuk bersenang-senang. Pola pemikiran ibu F yang seperti ini, dikarenakan ibu F dahulunya pernah tinggal di Belanda, dimana di negara itu memang mayoritas orang tua membebaskan anak-anaknya untuk bertindak. Ibu F pernah tinggal disana kurang lebih sekitar 5-6 tahun. Hal inilah yang membuat ibu F membebaskan F serta memberinya ijin pergi ke diskotik maupun ke tempat billiard. F pun sudah di ijinkan untuk berpacaran tanpa memberikan batasan atau aturan mengenai pergaulan dengan lawan jenis. Tidak adanya aturan yang tegas serta batasan-batasan dalam pergaulan dengan lawan jenis membuat F tidak mampu untuk mengontrol dirinya sendiri di lingkungan pergaulannya. Bukan hanya itu, F pun juga tidak mengetahui apa saja yang boleh ia lakukan dan mana yang tidak boleh ia lakukan. Selama F berada dalam masa remajanya, F tidak pernah membatasi pergaulannya di lingkungan sosial, baik dengan teman yang sejenis, maupun pergaulan dengan lawan jenis. Sesuai dengan ijin yang pernah diberikan oleh ibu F, akhirnya ia bergaul dengan siapa saja serta melakukan apa saja yang diinginkannya. Dalam hal ini, orang tua subjek F memberlakukan pola asuh permissive di dalam keluarganya. Pola asuh jenis ini dicirikan dengan sikap orang tua yang selalu membebaskan anak dalam segala hal tanpa adanya tuntutan maupun kontrol. Individu yang mendapatkan pola asuh seperti ini akan lebih rentan untuk melakukan perilaku-perilaku negatif, karena tidak adanya aturan tegas 103
untuk mengontrol perilaku seseorang. Begitu juga dengan F, ia yang mendapatkan pola asuh ini pada akhirnya menjadi kehilangan kontrol atas dirinya sendiri. F juga tidak mampu untuk mengontrol emosinya sendiri, sehingga saat ia merasa sedih dan dikecewakan, F selalu menunjukkan kepada orang-orang di sekitarnya dengan tujuan memperoleh simpatik dari orang lain. Keluarga memang memiliki arti penting bagi subjek F, namun karena penerapan pola asuh yang kurang tepat akhirnya membuat F kehilangan kontrol diri di lingkungan sosialnya. F yang tidak membatasi pergaulannya dan melakukan apapun sesuai dengan keinginannya membuat F banyak mengalami peristiwa yang tidak menyenangkan dengan lawan jenisnya. Peristiwa yang tidak menyenangkan ini muncul sebagai akibat dari F yang merasa bebas di lingkungan sosialnya dan ia merasa perlu untuk memiliki banyak teman. Kebutuhan untuk berelasi sosial dan memperbanyak teman memang tidak dilarang, asalkan subjek F memiliki sebuah pertahanan diri yang kuat. Pertahanan ini seharusnya subjek F peroleh di keluarganya melalui pendidikan moral, pemberian norma-norma serta nilai-nilai yang harus dipegangnya. Namun karena orang tua F tidak memberikan hal-hal ini, akhirnya F menjadi tidak mengerti apa yang harus ia lakukan dan apa yang tidak boleh dilakukannya. Sehingga tidak menutup kemungkinan, bahwa F akan mengalami banyak permasalahan dengan orang lain. Pergaulan F dengan lingkungan sosialnya dimulai sejak ia duduk di bangku SMP. Seperti remaja pada umumnya yang mayoritas senang berkelompok, F 104
pun mulai untuk membentuk genk pertemanan dengan beranggotakan 5 orang termasuk dirinya. Relasi F dengan teman-teman di dalam genk nya berjalan cukup baik hingga sekarang. Bagi F, teman sangat berarti untuknya karena hanya dengan temanlah ia dapat berbagi perasaannya saat sedang merasa senang ataupun sedih. Sejalan dengan relasi pertemanannya, subjek F pun juga mulai menjalin relasinya dengan lawan jenis pada saat ia duduk di bangku SMP. Awal mula subjek F berpacaran memang sama seperti remaja pada umumnya, hanya sekedar berkomunikasi melalui handphone dan sesekali makan bersama di kantin sekolah. Namun, seiring dengan munculnya kebutuhan untuk dicintai dengan lawan jenis, F menjadi lebih sering berhubungan dengan lawan jenis. Saat F berpacaran dengan satu orang pria, F merasa perlu untuk memiliki pria lain tanpa sepengetahuan pria sebelumnya. F juga merasa bebas melakukan hal apapun bersama dengan pacarnya, bahkan untuk berhubungan seksual sekalipun. Akibat dari kebebasan inilah akhirnya F memperoleh banyak pengalaman yang tidak menyenangkan dari banyak pria. Pengalaman tidak menyenangkan inilah yang menjadi sumber permasalahan bagi F. Pengalaman tidak menyenangkan ini pertama kali ia peroleh ketika menjalin hubungan dengan pacarnya yang berinisial Y. Y sebenarnya merupakan sosok pria yang baik, Y merupakan pria yang dewasa dan penuh pengertian kepada F. Sikapnya yang baik inilah yang membuat relasi F dengan Y terjalin semakin dekat. Namun karena adanya kesalahpahaman diantara keduanya, hal ini 105
kemudian memicu beberapa macam konflik di dalam hubungan F tersebut. Kesalahpahaman ini bermula ketika F bertanya kepada salah seorang teman Y yang berjenis kelamin pria ( T ). F sebenarnya hanya menanyakan dimana Y saat itu kepada T, karena F tahu bahwa T adalah teman terdekat dari Y. Tetapi pertanyaan ini justru dimanfaatkan oleh T untuk memfitnah F bahwa F telah mencoba berusaha untuk merayu-rayu T via sms. T memutarbalikkan fakta dan mengatakan bahwa F sedang berusaha mendekati T, padahal yang terjadi sebenarnya tidak demikian. Y yang mendapatkan kabar akan hal ini langsung terbakar cemburu dan semenjak hari itu, Y jarang berkomunikasi dengan F. Disinilah awal mula konflik F dengan Y. F yang jarang mendapatkan kabar serta jarang berkomunikasi dengan Y lagi, merasa bingung akan perubahan sikap Y. F tidak tahu harus berbuat apa namun F tetap berpikir positif, bahwa jika Y jarang memberinya kabar mungkin Y sedang sibuk dengan kuliahnya. F tidak pernah berpikir negatif terhadap Y selama beberapa bulan tanpa adanya kabar dari Y. Hingga pada suatu hari F dikejutkan dengan terlihatnya Y yang sedang berboncengan dengan wanita lain. Hal ini menjadi seperti sebuah sambaran petir bagi F karena F tidak menyangka bahwa Y akan melakukan hal yang demikian. F ternyata diselingkuhi oleh Y setelah beberapa bulan menghilang dan tanpa kabar. F mengakui bahwa cerita cintanya selalu berakhir dengan menyedihkan. Hal ini ditandai dengan banyaknya permasalahan yang dialami oleh F. Tidak berhenti sampai disitu saja, pengalaman tidak menyenangkan F bersama dengan 106
lawan jenisnya juga dialami setelah F akhirnya memutuskan hubungannya dengan Y. Selepas F menjalin relasi dengan Y, F kemudian menjalin relasi yang baru lagi dengan salah seorang kakak dari temannya semasa SMP, ia berinisal B. Awalnya F menganggap bahwa B sosok pria yang sangat perhatian terhadap dirinya. B selalu menyempatkan diri disela-sela kesibukkannya untuk menjemput F ketika pulang sekolah. F juga sering diajak kerumah B untuk beristirahat sejenak sebelum akhirnya F pulang kerumah. Dirumah B, F selalu disambut dengan baik dengan perhatian-perhatian khusus seperti menyajikan makanan dan minuman. Perlakuan baik yang diterima F tidak membuat F merasa curiga sama sekali, bahkan F semakin mempercayai bahwa B adalah sosok pria yang ia cari. Namun ternyata dibalik sikap baik B terdapat suatu tujuan yang F sendiri tidak menduganya. Pada suatu hari saat F berkunjung kerumahnya, B menyediakan makanan dan minuman seperti biasanya. Namun ternyata minuman tersebut telah di racik sedemikan rupa agar F hilang kesadaran. Saat F benar-benar hilang kesadaran karena minuman tersebut, B mulai menjalankan aksinya untuk melakukan hubungan seksual secara diam-diam tanpa sepengatahuan F. B memperkosa F diluar kesadaran F. F yang telah mendapatkan perlakuan seperti ini, tidak lantas membuatnya menjadi trauma dalam menjalin hubungan dengan pria. Selain itu, F yang juga telah kehilangan keperawanannya mengatakan bahwa ia merasakan efek “ngefly” setelah berhubungan seksual dengan B, dimana efek seperti ini 107
merupakan efek yang menyenangkan bagi F. Maka bukan suatu hal yang mengherankan jika F tidak pernah melaporkan kejadian ini pada pihak yang berwajib. Bahkan setelah peristiwa ini, kebutuhan F akan hubungan seksual menjadi semakin bertambah besar, hingga akhirnya F selalu memiliki keinginan untuk melakukan hubungan seksual dalam setiap relasinya dengan pria. Setelah peristiwa ini, F kembali harus merasakan pengalaman tidak menyenangkan lainnya yang ia peroleh dari pacarnya yang berinisial U. Hubungannya dengan U juga tejalin sangat intim seperti hubungan-hubungan sebelumnya. F yang sudah memiliki kebutuhan yang amat besar akan kenikmatan seksual, menjadi semakin tidak terkontrol dan kembali harus merasakan kekecewaan saat berhubungan dengan U. F tidak menyangka jika hubungan seksualnya dengan U ternyata berakibat fatal yaitu kehamilan yang tidak diinginkan oleh keduanya. F yang mengalami kehamilan ini merasa sangat bingung dan tidak tahu harus berbuat apa. Di satu sisi, F merasa sangat berdosa jika harus menggugurkan janinnya, namun di sisi lain jika F tetap mempertahankan janinnya, F merasa tidak yakin jika U akan bertanggung jawab sepenuhnya, mengingat bahwa U masih berstatus sebagai mahasiswa. Hal ini memicu banyak konflik di antara F dengan U, bahkan diantara keluarga masing-masing. F menyadari bahwa ia harus dengan cepat mengambil sebuah keputusan yang terbaik untuk semuanya, maka ia pun terpaksa harus mengambil jalan aborsi untuk menggugurkan kandungannya.. Tindakan aborsi yang dilakukannya tidak membuat masalah F selesai begitu saja, karena pada 108
kenyataannya tindakan aborsi ini memperoleh banyak reaksi negatif dari temantemannya yang menilai bahwa tindakan tersebut merupakan tindakan yang sangat tidak manusiawi. F juga berharap bahwa setelah ia menggugurkan kandungannya, ia tetap akan berhubungan baik dengan U, tetapi ternyata setelah F melakukan aborsi justru U semakin menjauhi F. U meninggalkannya begitu saja bahkan yang lebih menyakitkan bagi F adalah, U memutuskan hubungannya secara sepihak. F yang sudah merasakan banyak kekecewaan atas sikap U, menerima keputusan U bahkan F merasa tidak memerlukan lagi kehadiran U di dalam kehidupannya. Dari sekian banyaknya pengalaman tidak menyenangkan yang dialami oleh F, muncullah berbagai macam emosi seperti sedih, marah kecewa, sakit hati, perasaan bersalah, dan juga rasa ketidakberdayaan. Emosi-emosi ini muncul sebagai akibat dari penghayatan masalah secara berlebihan yang dilakukan oleh F. Penghayatan yang dilakukan oleh F ini semakin mengarahkan F pada emosiemosi negatif. Masalah-masalah yang F alami dihayatinya sebagai suatu beban yang amat menyakitkan bagi F. F yang menghayati masalah sebagai beban yang menyakitkan, membuat ia merasa perlu untuk melakukan sesuatu hal yang lebih menyakitkan lagi dengan tujuan agar rasa sakit hatinya dapat dialihkan. Dengan demikian, F akhirnya melakukan berbagai macam usaha dalam rangka meregulasi emosinya. Pada proses regulasi emosi inilah, akhirnya terlihat bahwa F tidak mampu melakukan regulasi emosi. Hal ini dikarenakan dalam setiap prosesnya, F selalu 109
melakukan usaha-usaha yang justru semakin mengarahkan F pada emosi-emosi negatif. Pada fase pemilihan situasi, F lebih memilih untuk menyendiri. Pemilihan situasi seperti ini semakin mengarahkan subjek untuk menghayati secara detail tentang rasa sakit hatinya. Kemudian ditambah lagi dengan usaha pada fase kedua proses regulasi emosi, yaitu fase perubahan situasi. Pada fase ini, subjek justru mendengarkan lagu-lagu bergenre melankolis. Lagu-lagu melankolis ini tidak membuat subjek menjadi lebih tenang, tetapi justru semakin membuat subjek berpikiran negatif untuk melukai dirinya sendiri. Pada fase pengalihan perhatian, subjek juga melakukan distraksi yaitu memindahkan fokus internalnya pada aktivitas lain. Pengalihan perhatian yang subjek lakukan adalah berupa perilaku destruktif yaitu melempar sebuah bingkai foto hingga kacanya jatuh berserakan. Pengalihan perhatian yang subjek lakukan ini juga semakin membuat F berpikir negatif dan emosinya menjadi tidak terkontrol. Hingga pada fase perubahan kognitif, subjek tidak mampu mengubah pemikiran-pemikiran negatif tersebut, tetapi subjek justru membuat skema pemikiran baru bahwa rasa sakit hati harus benar-benar dialihkan dalam bentuk luka fisik yang nyata bahkan harus lebih menyakitkan. Kemudian sampailah pada fase perubahan respon, dan pada fase ini respon yang muncul adalah berupa perilaku maladaptif yaitu perilaku self injury.
110
Bagan2. Gambaran Proses Regulasi Emosi Subjek Pelaku self injury
Pengalaman hidup
Internal
Eksternal
(pola asuh permissive di dalam keluarga)
(pengalaman tidak menyenangkan dari relasi dengan lawan jenis)
1. Tidak adanya aturan-aturan di dalam keluarga 2. Subjek merasa bebas melakukan tindakan apa saja 3. Subjek kurang memiliki kontrol diri di dalam lingkungan sosialnya
1. Diselingkuhi 2. Subjek mengalami pelecehan seksual 3. Subjek mengalami kehamilan dan melakukan aborsi 4. Subjek diacuhkan tanpa ada pertanggung jawaban
Penghayatan terhadap masalah (subjek F menghayati masalah sebagai beban yang sangat menyakitkan)
Muncul beragam emosi seperti kekecewaan, perasaan bersalah, sedih, marah, rasa sakit hati, dan perasaan tidak berdaya Perubahan respon (kaca yang semula tidak bermakna menjadi berharga, sehingga perubahan responnya adalah perilaku self injury
Perubahan kognitif (pada fase ini F semakin memperkuat kognisinya bahwa sakit hati harus dialihkan dalam bentuk luka fisik yang lebih menyakitkan)
Pengalihan perhatian (F refleks mengalihkan fokusnya dengan membanting foto
111
Modifikasi situasi (F mendengarkan lagu-lagu melankolis
Subjek melakukan proses regulasi emosi Pemilihan situasi (subjek F menyendiri di dalam kamar)