BAB Ill Metodologi Penelitian 3.1 Lokasi dan Waktu Penelltian Lokasi penelitian ini adalah wilayah Pesisir Selatan dan Timur Propinsi Lampung, tepatnya di wilayah administrasi Kabupaten Lampung Selatan, yang meliputi beberapa kecamatan di kawasan pantai dan Daerah Aliran Sungai (DAS) Way Sekampung. Lokasi sampel antara lain; Kecamatan Tanjung Bintang, Ketibung, Sidomulyo, Kalianda, Palas, dan Penengahan. Peta lokasi penelitian dapat diperhatikan pada gambar berikut: Gambar 3.1: Lokasi Penelitian
PETA LOKASI PENELlTlAN S
1B
/V
Batasdas Das Batkab Lamsel
&2YL.Lamsel Kalianda Ketibung Palas Penangahan Sidomulyo Tanjung Bintang
-
0.m1
0
o.mr
0.m2 KllOmt.,'
m 9Yl-R
NTL-BW,.rn
Penelitian dimulai pada bulan April sampai dengan Agustus 2002. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium Remote Sensing dan GIs BPPT, Jalan Thamrin No. 8, Jakarta Pusat, juga dilakukan di SEAMEO-BIOTROP, Jalan Raya Tajur Km 6, Bogor. Teknik yang diterapkan untuk mendapatkan informasi dari responden adalah teknik perekaman/wawancara semi terstruktur, yakni wawancara yang dilakukan dengan sejauh mungkin menghindari suasana formal, sehingga secara psikologis responden tidak merasa, bahwa keterangan yang diberikan sangat diperlukan dalam penelitian ini. Teknik tersebut didukung dengan observasi lapang, dan data skunder yang didapatkan dari berbagai sumber pustaka dan instansi.
3.2 Subjek Penelitian Subjek penelitian ini dipilah menjadi dua bagian, yaitu; (1) Komponen Ecoregion.
(2) Komponen Socioregion. (1) Komponen Ecoregion
Komponen ecoregion dalam penelitian ini adalah kawasanlarea yang secara fisik geografis memiliki keterkaitan fungsional dengan Pesisir Timur dan Selatan Kabupaten Lampung Selatan. Karena fokus ecoregion tersebut, lebih dominan pada pertimbangan komponen fisik (physical environment), sedangkan dalam pengelolaan kawasan pesisir secara terpadu tidak hanya
ditentukan oleh kornponen fisik saja, melainkan juga rnelibatkan, dan bahkan sangat ditentukan oleh perilaku commundy of man and human habitat (biome) dalarn bentang ruangnya, rnaka berdasarkan pertirnbangan dirnaksud kornponen ecoregion dalam konteks ini dioperasionalkan berdasarkan pendekatan human landscape bioregion. Bioregion rnerupakan teritori tanah dan air yang lingkupannya tidak ditentukan oleh batasan politik, tetapi oleh batasan geografis kornunitas rnanusia serta sistern ekologi (Waryono, 2001j. Wilayah bioregion harus cukup representatif untuk memelihara integritas kornunitas, habitat, dan ekosistem dari area dimaksud. Kawasan bioregional yang dirnaksud dalarn penelitian ini adalah
Daerah Aliran Sungai (DAS) Way Sekampung dan
kawasan pantai yang rnerupakan sistem ewregion dari pesisir Tirnur dan Selatan Kabupaten Larnpung Selatan, dengan sampel community of man and human pada ke-6 lokasi kecarnatan, sebagaimana tersebut dalam peta lokasi penelitian di atas. (2) Komponen Socioregion
Kornponen socioregion yang dikaji dalarn penelitian ini adalah perilaku sosial-kornunikasi (sosiolinguistik) sejumlah individu yang mernbentuk suatu kornunitas topografi dialek (community of man and human) yang relatif besar; terorganisir dalarn unit topograti dialek; berdornisili secara menetap pada dernensi ruang sebagairnana lokasi penelitian ini. Perilaku sosial-komunikasi yang rnenjadi fokus kajian dalarn penelitian ini adalah aspek diakronis
sosiolinguistik, yang dirnaksudkan untuk mendeskripsikan secara korelasional atribut perilaku kebahasaan komunitas dialek topografi pada kenrangan kornunitas responden, yang identik dengan representasi perilaku yang menunjang Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu (Integrated Coastal Zona Management ), yang meliputi perilaku sosiolinguistik, perilaku aktual, dlin perilaku sosial ekonorni. Sarnpel penelitian dalam batasan dan lingkup kewilayahan di atas, baik untuk komunitas Penduduk Asli maupun Penduduk Pendatang, ditentukan berdasarkan kriteria purposive sampling, dengan rincian sebagai berikut : Pria atau Wanita; yang menguasai bahasa komunitasnya; a) berusia antara 25 - 45 tahun; b) orang tua, istri atau suarni, lahir dan dibesarkan di desa itu; c) berpendidikan maksimal sekolah lanjutan pertama atau yang sederajat; d) status sosialnya t i a k terlalu tinggi dan t i a k terlalu rendah;
e) tidak terlalu tinggi mobilitasnya;
9 pekerjaannya bertani atau buruh; (Nothofer, 1981; Fernandez, 1994). Sehubungan dengan kriteria sampel dalam kawasan bioegion tersebut, selanjutnya ditentukan Stasiun Pengamatan. Stasiun pengarnatan ditentukan berdasarkan kriteria yang dikemukakan oleh Nothofer (1981), yaitu secara kualitatif dan kuantitatif. Secara kualitatif, kriteria itu adalah; (1) mobilitas penduduk tergolong rendah, (2) jumlah penduduk maksimal
6.000 jiwa, dan (3) usia desa paling rendah 30 tahun.
Secara kuantitatif, penentuan dilakukan dengan mempertimbangkan ukuran jarak antar-SP, yaitu
* 20 km, apabila dialek topografi yang digunakan
bersifat homogen atau diduga merniliki masalah kebahasaan yang unik. Dengan demikian, jika dialek topografi yang digunakan bersifat heterogen, ukuran jarak tidak menjadi permasalahan dalam penentuan lokasi sampel. Sehubungan dengan ha1 tersebut, dari 6 (enarn) kecamatan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Way Sekampung dan kawasan pantai, terimplikasikan 73 titik pengamatan, selengkapnya dapat diperhatikan pada peta di bawah ini: Gambar 3.2 : Lokasi Titik Pengamatan 9
PETA POINT PENGAMATAN S
0.0003
0
OlOWS
0.0006 Kllomlw.
I
9UIeUI &wWrn,NLL.)DOI
Berdasarkan data dan informasi yang diperoleh, maka delineasi Garis lsoglos penyebaran spasial dialect topography pada setiap unit kawasan (hulu, tengah, dan hilirlpantai) dapat dilakukan untuk dideskripsikan. Pada tahap ini juga dapat dideskripsikan identifikasi perilaku nonspasial setiap kornunitas pada unit bentang lahan terhadap sumberdaya alam. Proses penjaringan inforrnasi non-spasial tersebut dilakukan sebagairnana dalarn teknik penelitian ini.
3.3 Variabel Penelitian Untuk rnengklasifikasikan parameter perilaku kornunitas setiap unit dialek
topografi,
khususnya
dalarn
merepresentasikan
kepedulian
kornunitasnya terhadap bentanglahan ekosistern pesisir dari sudut padang sosiolinguistik, maka terdapat beberapa variabel yang rnenjadi fokus pengarnatan, yaitu : (1) Prasasti linguistik yakni situs atau naskah klasik yang deskripsi isinya
rnengasosiasikan rnaknanya dengan upaya menjaga dan melestarikan lingkungan dengan berbagai sumberdayanya.
(2) Folklore yang beredar secara lisan ataupun tertulis dalam komunitas responden, yang
rnencakup legenda,
mite atau dongeng yang
rnerepresentasikan histori perilaku kornunal terhadap sumberdaya lahan. Folklore yang direpresentasikan rnasih berpengaruh terhadap perilaku setiap kornunitas dialek, tidak hanya yang beredar secara lokalis saja, tetapi juga dari daerah asal kornunitas pendatang tersebut, dimana ha1 itu
masih mempengaruhi munculnya karakter perilaku komunitas dimaksud sampai pada saat penelitian berlangsung. (3) Kosa kata atau guyup tutur yang merepresentasikan adanya perilaku
keruangan komunitas dialek pada kepedulian komunalnya terhadap sumberdaya lahan. (4) Kelembagaan Adat yang
berlaku dalam histori komunitas yang
mengindikasikan kepedulian komunal responden terhadap sumberdaya lahan. (5) Perilaku Aktuallkebiasaan yang terjadi sekarang dalam ha1 tatahadap
rumah, MCK (mandi, cuci, kakus) pada komunitas responden. (6) Jaringan ekonomi yang mereprensentasikan keterkaitan aktivitas ekonomi
secara vertikal antara komunal responden dengan sumberdaya lahan pesisir. Data dan inforrnasi yang dideskripsikan pada beberapa tahapan di atas, diperlukan untuk memvisualisasikan atribut perilaku keruangan setiap unit topografi dialek pada peta digital sistem informasi geografis. Secara substansial product tersebut merupakan hasil akhir yang diharapkan dalam penelitian ini.
3.4 Alat dan Bahan Penelitian Peralatan yang diperlukan dalam penelitian ini, meliputi: Geography Positional System yang digunakan untuk mengetahui posisi geografi point pengamatan sesuai dengan keberadaannya di perrnukaan bumi; Camera foto
yang digunakan untuk mengabadikan moment yang terkait dengan proses penelitian; Tape recorder digunakan untuk merekam wawancara selama di lokasi penelitian; Meja Digitasi digunakan untuk rnenggarnbar peta dasar yang akan dijadikan peta digital; Printer yang berfungsi sebagai alat pencetak keseluruhan product penelitian ini, sedangkan bahan-bahan yang diperlukan antara lain adalah; Peta rupa burni, Peta tataguna lahan, Data dan informasi dernografis, Data dan inforrnasi sosial ekonorni, budaya, Data dan informasi sebaran Topografi Dialek Bahasa Lampung.
3.5 Langkah-Langkah Penelitian Serangkaian kegiatan penelitian yang dilakukan dapat dirinci dengan deskripsi sebagai berikut: 1) Pengurnpulan data dan informasi skunder yang terkait dengan kawasan
studi komunitas dialek topografi, yang rneliputi: (a) Data dan lnformasi Sebaran wilayah kornunitas dialek sesuai dengan lokasi kajian. (b) Peta rupa burni yang rnendeskripsikan cakupan (coverage) posisi geografis sebaran wilayah komunitas dialek untuk memprediksikan posisi pada lintang dan bujumya.
(c) Menghimpun data dan informasi tentang perilaku sosial-komunikasi kornunitas dialek pada lokasi penelitian dikaitkan dengan tataguna lahan, serta berbagai tema lain yang masih terkait.
(d) Mencermati Data dan lnforrnasi dernografis untuk rnendapatkan informasi yang terkait dengan terna sosial secara kornprehensif. (e) Menghirnpun data dan lnforrnasi Monografi Desa yang di wilayahnya tersebar kawasan kornunitas dialek untuk rnendeskripsikan perilaku sosial-ekonomi kornunitas dialek. 2) Pengolahan data dsn inforrnasi skunder.
3) Observasi pendahuluan ke lapangan untuk rnensinergikan
langkah
penelitian. 4) Penentuan posisi absolut sampel-sampel terna dengan rnenggunakan
GPS. Bersamaan dengan kegiatan ini dilakukan kegiatan pengurnpulan
data primer yang didapatkan dari responden dialect topography bahasa Larnpung, dan kornunitas dialek lainnya pada setiap wilayah yang dijadikan sebagai lokasi dan sarnpel penelitian. 5) Pengeplotan lokasi dari terna dan subterna sosial pada peta rupa burni dan
peta tataguna lahan. 6) Delineasi terna sosial khususnya aspek dialect topography dengan
rnenggunakan sernua informasi yang telah dihirnpun. 7) Penyajian distribusi dan kornposisi dari sub-subterna sosial yang
disesuaikan dengan tujuan penelitian ini. Rangkaian kegiatan di atas, dapat diperhatikan pada pola flow chaff berikut:
Gambar 3.3 : Desain Apliaksi SIG Untuk Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu Berbasis Masyarakat Berdasarkan Pendekatan Sosiolinguistik Perilaku Sosiolinguistik Komunitas Dialek Dalam Merepresentasikan Profil Perilaku Pengelolaam Wilayah Pesisir Secara Terpadu (Integrated Coastal Zona Management)
+
f
1. Data dan lnformasi Skunder Komunitas Dialek Topografi
a) b) c) d) e)
Sebaran Wilayah Komunitas Dialek Posisi Geografi Wilayah Komunitas Dialek Kondisi Geografi Lokasi Penyebaran Kornunitas Dialek Perilaku Sosial-komunikasi Komunitas Dialek Perilaku Sosial-ekonomi Komunitas Dialek
+
L
I
2. Pengumpulan Data dan lnformasi Skunder
1 1
3. Observasi dan Ground Check
.
I
4. Penentuan Posisi Absolut Sampel Tema dengan GPS
/
5.Pengeplotan Lokasi Tema pada Peta Rupa Bumi
6. Delineasi Tema Sosial Dialek Topografi
Berdasarkan Semua lnformasi
.
I
I
.....................................................
3.6 Proses Data Digital Data yang digunakan untuk rnerepresentasikan peta penyebaran komunitas yang membentuk suatu topografi dialek di Kabupaten Larnpung Selatan, beserta perilaku spasial kornunitasnya dalam mencerminkan profil kepedulian yang identik dengan pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu
(Integrated Coastal Zona Management), di kawasan pesisir Selatan dan Timur meliputi : Data Spasial dan Data Atribut. Data Spasial berupa data grafis peta dengan posisi absolut sebagaimana yang tertera dalam GPS. Data Spasial yang digunakan berasal dari peta administrasi sebagai peta dasarnya, dan peta-peta tematik, seperti; peta tataguna lahan. Pendekatail yang digunakan dalam model vektor adalah menentukan posisi koordinat dari objek penyebaran komunitas dialect topography
yang diwakili oleh point pengamatan yang beracuan pada
responden penelitian, kemudian dari point tersebut dihubungkan dengan garis secara berkesinambungan untuk mendapatkan coverage perilaku tertentu yang
merepresentasikan
klasifikasi
profil
perilaku
komunitas
pada
bentangruangnya, khususnya dalam mencerminkan kepeduliannya pada sumberdaya pesisir dan laut dalam menunjang representasi perilaku yang identik dengan pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu. Data Non-Spasial atau Data Atribut berupa deskripsi tentang penyebaran komunitas dialek topografi, beserta perilaku keruangannya yang dihimpun berdasarkan quesioner dan wawancara semi terstruktur di lapangan. Data atribut ini didominasi data primer yang didapatkan dari responden komunitas yang membentuk dialek topografi di kawasan pantai dan DAS Way Sekampung. Model basis data non-spsiallatribut dalam penelitian ini adalah model data relasional dengan operas; query.
3.7 Penyusunan Matrik Tingkat Kepedulian Matriks tingkat kepedulian komunitas yang membentuk stwktur topogafi dialek,
dalam
merepresentasikan profil kepedulian perilaku
komunitasnya pada pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu di setiap bentang lahannya ini sangat penting, mengingat dari matriks ini akan dapat diidentifikasikan secara vislial perbedaan klasifikasi perilaku sosiolingistik community of man and human subetnis Lampung, baik asli maupun pendatang
pada
setiap
unit
bentang
topografi
dialeknya,
dalam
merepresentasikan tingkat kepeduliannya pada pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu (Integrated Coastal Zone Management). Bermula dari tingkat kepedulian ini pula beberapa rekomenasi dalam penelitian ini akan diberikan, sehingga langkah-langkah perbaikan dan pemanfaatan dapat dilakukan secara sistematis. Adapun
pendekatan
sosiolinguistik
yang
digunakan
dalam
penyusunan matriks kepedulian komunitas pada unit bentang lahan topografi dialek, yang karakteristik perilakunya merepresentasikan kepedulian komunal terhsdap pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu, adalah sebagai berikut: a. Perilaku sosial-komunikasi dalarn sastra klasik lisanltertulis, seperti : Prasasti, bobot nilainya
=4
Folklore dan Kelembagaan adat, bobot nilainya
=3
Guyup tutur, bobot nilainya
=2
Tidak ada tuntunan perilaku, bobot nilainya
=1
b. Perilaku aktual keseharian komunitas dialek, yang diperuntukkan bagi pemeliharaan lingkungan, seperti: Upacara adat, bobot nilainya
=4
Tatahadap rumah, bobot nilainya
=3
Keberadaan sarana MCK, bobot nilainya
=2
Pertanian Subsisten, bobot nilainya
=1
c. Perilaku sosialekonomi yang keberadaannya bergantung dari sumberdaya lahan, seperti : Jasa lingkungan pesisir dan laut, bobot nilainya
=4
Aktivitas Budidaya perikanan, bobot nilainya
=3
lndustri perikanan, bobot nilainya
=2
Kegiatan ekstraktif, bobot nilainya
=1
Berdasarkan ke-3 matriks tersebut, dapat ditentukan score nilai terbesar adalah 3 x 4 = 12, dan score nilai terkecil adalah 3 x 1 = 3. Dengan rentangan
score 3
-
12. Memperhatikan, bahwa kesesuaian perilaku
komunitas topografi dialek dalarn mengidentifikasikan profil kepedulian komunitasnya terhadap pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu dalarn penelitian ini diklasifikasikan menjadi 4 kelas, maka rentang score di atas dikelompokkan sebagaimana dalam tabel berikut :
Tabel 3.1 : Klasifikasi Kepedulian Bentang Ruang Topograti Dialek
No
Rentang
Nilai
Kelas
Keterangan
Sebutan
Sangat Peduli Coverage ruang topografi dialek yang 1
10-12
S1
komunitasnya rnerepresentasikan pe-
(High Attentive)
rilaku yang identik dengan PWPT. Coverage ruang topografi dialek yang
2
7- 9
52
I
i kornunitasnya rnerepresentasikan pe-
Peduli (Attentive)
rilaku peduli dengan PWPT, karena pengetahuannya.
3
4-6
N1
Tidak Peduli
Coverage ruang topografi dialek yang
Saat ini
komunitasnya merepresentasikan pe-
(Currently Not rilaku tidak peduli tehadap PWPT, karena ketidaktahuan mereka pada
attentive)
potensi yang ada.
4
<= 3
N2
Tidak Peduli
Coverage ruang topografi dialek yang
Permanen
komunitasnya rnerepresentasikan pe-
(Permanently rilaku sangat tidak peduli tehadap Not attentive)
PWPT, akibat aktivitas mereka tak terkait dengan SDA tersebut
Proses analisis tumpang
susun
(overlay)
kesesuaian
sosiolinguistik untuk kawasan Pengelolaan Wilayah Pesisir dapat diperhatikan pada flowchart berikut:
perilaku
Secara Terpadu,
Garnbar 3.4 : Proses Analisis Overlay Kesesuaian Perilaku Dialek Topografi Untuk Kawasan Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu Interpretasi Visual Bioregion Way Sekampung
Data Primer
Tinjauan Pustaka
I
I
I
Coverage Topografi Dial:
1I
,
Perilaku soskom, sosek komunitas dialek
Dialek yang Identik Dengan Pengelolaan Wilayah Pesisir
1
Wilayah Pesisir Secara Terpadu / ICZM Sesuai Dengan Terminologi
0 Overlay Matriks
N2 : Sangat Tidak
Sanaat Peduli Peduli
Tidak Peduli
3.8 Pembobotan (weighting) dan Pengharkatan (scoring) Pembobotan pada setiap faktor pernbataslpararneter ditentukan pada tingkatan dorninannya parameter tersebut terhadap representasi sikap
kebahasaan komunitas dialek pada kepeduliannya terhadap pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu. Besarnya pernbobotan ditunjukkan pada suatu parameter untuk seluruh evaluasi representasi sikap. Misalnya : Folklore mempunyai bobot yang lebih tinggi daripada akvitas ekonorni ekstraktif. Pernberian nilai (scoring) dirnaksudkan untuk rnenentukan besaran angka tingkat kepedulian kornunitas dialek pada bentang ruang pesisir, dari sudut pandang perencanaan pengelolaan yang rnelibatkan masyarakat dari sudut pandang sosiolinguistik. Pembobotan (weighting) dan pemberian nilai (scoring) dengan angka-angka di atas, dirnaksudkan untuk rnengklasifikasikan responden dialect topography yang pada akhirnya bermanfaat untuk rnengetahui kecenderungan perilaku kornunitas tersebut, pada program pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu. Muaranya adalah rnenentukan langkah keberlanjutan program, sehingga pengelolaan dapat dilakukan secara lebih komprehensif dengan melibatkan masyarakat yang telah diidentifikasikan tingkat kepeduliannya berdasarkan pendekatan sosiolingistik, sebagairnana yang akan dapat diperhatikan pada produk akhir penelitian ini yang berupa "Peta Klasifikasi Kepedulian komunitas Dialek pada Program Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu" yang di dalarnnya rnendeskripsikan atribut hierarkhi perilaku kornunitas rnasyarakatnya pada bentanglahan pesisir dengan urutan tingkat kepeduliannya pada Program Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu di Kawasan Selatan dan Tirnur Kabupaten Lampung Selatan.
BAB IV DESKRIPSI WLAYAH PENELITIAN
4.1 Posisi Geografi dan Administrasi Kabupaten Larnpung Selatan terletak pada koordinat 105' dan 5'15'
-
6 '
-
105' 45' BT
LS. Secara administratif Kabupaten Larnp~lng Selatan
berbatasan dengan wilayah-wilayah sebagai berikut: Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Lampung Tengah, Kabupaten Tenggamus, dan Kabupaten Lampung Timur. Sebelah Selatan berbatasan dengan Selat Sunda. Sebelah Tirnur berbatasan dengan Laut Jawa. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Tenggamus. Wilayah daratan Kabupaten Lampung Selatan, seluas 3.511.90 krn2. merniliki area kecarnatan pesisir seluas 1.997 km2, dengan kantor pusat pernerintahan di Kota Kalianda (Pemda Lampung Selatan, 1999). Secara administratif Kabupaten Lampung Selatan, terbagi men!adi
11 (sebelas)
kecama!an (BPS, 1998). Sejurnlah 6 (enarn) kecamatan di antaranya adalah kecamatan pesisir yang di dalam wilayahnya terdapat 55 (lima puluh lirna) desa yang terkategori sebagai desadesa pesisir, karena wilayah administrasinya berbatasan langsung dengan Teluk Lampung danlSelat Sunda (PKSPL dan Bapeda Larnpung Selatan, 2000).
Peta administrasi Kabupaten Lampung
Selatan dapat diperhatikan pada gambar berikut:
Gambar 4.1 : Peta Administrasi Kabupaten Lampung Selatan,
PETA ADMlNlSTRASl KABUPATEN LAMPUNG SELATAN
r_yj Gedung Tataan
ooooj"
o
o.0003
onme
~i1om2er~ ,u""r#
#c,.nA,."mA
,..,," . ~ , , a ,
>",,"
Dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1999 yang didukung oleh Surat Keputusan Gubernur Nomor 81 Tahun 1999, tentang Pembentukan kecamatan pemakaran, maka Kabupaten Lampung Selatan mengalami pemekaran menjadi 13 (tiga belas) kecamatan. Tiga kecamatan baru yang dibentuk, merupakan pemekaran dari tiga kecamatan yang telah ada sebelumnya, yaitu Kecamatan Negeri Katon hasil pemekaran dari Kecamatan Gedung Tataan, Kecamatan Tegineneng hasil pemekaran dari Kecamatan Natar, dan Kecamatan Jati Baru yang merupakan pemekaran dari Kecamatan
Tanjung Bintang. Ketiga Belas kecamatan dimaksud, dapat diperhatikan pada tabel berikut:
Tabel 4.1: Jumlah Kecamatan di Kabupaten Lampung Selatan, Kecamatan, dan Luas Wilayahnya.
9
Ketibung*
10
11 12
Sidomulyo
I
I Kalianda'
I
1 Palas*
I
1
1 Penengahan*
1 Pasuruan
I
I
13
296,80
Tanjung Ratu
Sidomulyo*
/ Kalianda 1I Bangunan
Ibu Kota
I
206,83 174,16 341,56 278,26
Keterangan * = kecamatan pesisir. Sumber: (Pemda Lampung Selatan, 1999).
Beberapa pulau yang terhampar di kawasan Selat Sunda, seperti; Kepulauan Krakatau, Sebesi, Sebuku, Legundi, serta Pulau Sertung, termasuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Lampung Selatan
4.2 Sumberdaya Lahan Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kabupaten Lampung Selatan, luas lahan di Kabupaten Larnpung Selatan 329.268 Ha. Berbagai peruntukan lahan tersebut dapat diperhatikan pada tabel berikut: Tabel 4.2: Luas Lahan Berdasarkan Penggunaan di Kabupaten Lampung Selatan pada 1998 No
Luas ( ~ r n ' )
Penggunaan Lahan
Pemukirnan
Persentase (%) 8,73
287,32 2.243,86
3
1 Padang rumput
I
4
1 Semakl ilalang
5
Hutan
6 7 8 I
I
I
1,25 35,74
1I
0,04
/
1,09
467,08
14,18
Lahan kritis
48,83
1,48
Lahan lain
201,45
6,12
Waduk, rawa, danau I
68,15 I
0,21
7,16 I
I
1
(BPS Kabupaten Lampung Selatan, 1998) Kegiatan perikanan, baik yang berupa tambak maupun empang tersedia lahan seluas 2.974 Ha. Untuk kawasan perikarian tangkap dan budidaya laut terdapat di Kecamatan Kalianda, Sidomulyo, Ketibung, Padany Cermin, Palas, dan Penengahan. Sedangkan untuk kawasan perikanan budidaya air tawar terdapat di Kecamatan Penengahan, Gedung Tataan, Kedongdong, Ketibung (PKSPL dan Bapeda Lampung Selatan, 2000).
dan
4.3 Karakteristik Hidrologi Di wilayah Kabupaten Lampung Selatan terdapat beberapa sungai yang cukup penting, antara lain; Way Sekampung, Way Jelai, Way Langka, Way Ketibung, Way Gatal, Way Heri, Way Bulok, Way Semah, Way Sengharus. Pada umumnya sungai-sungai ini dimanfaatkan untuk rnengairi sawah dengan pembuatan dam-dam bendungan air (BPS Lampung Selatan, 1999). Di antara sungai-sungai tersebut, terdapat 3 (tiga) sungai besar, yaitu : 1) Way Sekampung, merupakan sungai terbesar di Kabupaten Lampung
Selatan, dengan panjang aliran 256 krn yang bermuara di pesisir timur Kabupaten Larnpung Selatan. Kawasan daerah aliran sungai ( catchment area) Way Sekampung seluas 4.795,52 km2, dengan 12 anak sungainya. Way Sekampung mengaliri wilayah utara, timur, dan tenggara Kabupaten Lampung Selatan, keberadaan airnya sangat berfungsi untuk rnernenuhi kebutuhan pertanian, industri, dan rumah tangga. 2) Way Semangka yang mengaliri wilayah barat. 3) Way Ratai yang mengaliri wilayah tengah bagian selatan, mempunyai
bentang aliran sepanjang 27 km (BPS Kabupaten Lampung Selatan, 1999).
4.4 Adat lstiadat Adat istiadat masyarakat Kabupaten Lampung Selatan, secara garis besar digolongkan menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu: 1) Kelompok Penduduk Asli (Etnis Lampung).
Penduduk Asli Lampung yang lazim disebut Orang Lampung adalah penduduk yang sudah mendiami kawasan Kabupaten Lampung Selatan, jauh sebelum kedatangan transmigran dan berbagai pendatang dari suku bangsa lain. Komunitas ini meliputi subsuku Lampung Peminggir, yang umumnya berdomisili di sepanjang kawasan pesisir, seperti; di Kecamatan Penengahan. Kalianda, Ketibung, Padang Germin, dan Kedondong. Di samping itu, teidapat juga subsuku Lampung lain yang domisilinya tersebar di berbagai kecamatan yang ada di kabupaten Lampung Selatan. 2) Kelompok Penduduk Pendatang (Etnis dari luar Lampung).
Penduduk Pendatang adalah komunitas masyarakat dari kawasan atau wilayah lain yang pindah dan tinggal menetap di Kabupaten Lampung Selatan. Kepindahan komunitas tersebut secara histori disebabkan oleh berbagai penyebab, antara lain karena program transmigrasi dengan berbagai jenisnya, sejak zaman kolonia! sampai sekarang, serta penyebab lain karena dorongan dinamika kemanusiaan dalam memenuhi kebutuhannya. Penduduk pendatang di Kabupaten Lampung Selatan sangat majemuk, terdiri atzs berbagai etnik yang berasal dari Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, dan Sulawesi, Sumatra Barat, Sumatra Utara, Sumatra Selatan, Madura, dan lain-lain.
4.5 Legenda Lampung Asal-usul kata Lampung, berdasarkan inforrnasi maupun tradisi lisannya terdapat beberapa versi, antara lain:
(i) Kata Lampung berasal dari kata Tdang, P'o-wang berdasarkan catatan musafir Cina yang pemah mengunjungi Nusantara pada abad ke VII, yaitu I Tsing. Kata To-lang, P'o-wang merupakan satu kata yang dapat
ditranskripsikan ke dalam kata Tulang Bawang, yaitu suatu kawasan yang terletak di daerah yang dialiri oleh Sungai Tulang Bawang. Letak Tulang Bawang ini adalah di daerah Menggala, Kabupaten Lampung Utara. Dalam seminar Sejarah Lampung, pada tahun 1976 Helman Hadikusuma mengemukakan bahwa kata To-lang, P'o-wang itu dapat dieja atas katakata to dalam bahasa Toraja yang berarti orang, sedangkan kata lang, Pbwang berarti Lampung. Dengan demikian To-lang, P'o-wang berarti orang lampung yang datang dari negeri Cina dalam abad ke-7 (Udin dalam Satun et al, 1985). (ii) Teori lain yang berdasarkan legenda mengemukakan, bahwa kata lampung berarti terapung di atas air. Penduduk Lampung Subetnik Pubian, masih mempercayai mitos bahwa nenek moyang mereka adalah Poyang Si Lampung Ratu Bulan yang, menguasai daerah Lampung. Jadi, kata lampung berasal dari legenda Poyang Si Lampung Ratu Bulan. (iii) Teori selanjutnya mengemukakan bahwa asal-usul orang lampung adalah dari legenda daerah Tapanuli, sebagai berikut: Pada waktu gunung berapi meletus yang menyebabkan terjadinya Danau Toba di Tapanuli sekarang, ada empat orang bersaudara berlayar dengan rakit untuk menyelamatkan diri dari letusan gunung berapi itu. Salah seorang di antara ke empat orang
bersaudara itu bemama Ompung Silampanga terdampar di Kmi. Kemudian, ia naik ke daratan tinggi Belalau atau skala Be'rak. Dari daratan tinggi itu, ia rnelihat daerah yang terhampar luas dan rnenawan hati. Oleh karena perasaan kagum melihat daerah itu, ia meneriakkan kata Lampung. Kata Lampung dalam bahasa Japanuli kuno berarfi luas. Jadi, berdasarkan legenda ini, kata larnpung berasal dari narna yang diberikan oleh orang Tapanuti yaitu Ompung Silampanga yang meneriakkan kata lampung yang berarti luas. 4.6 Adat Perilaku Sosial Adat perilaku sosial komunitas rnasyarakat Lampung, tersublirn dalarn falsafah Pi11Pesenggiri, yakni falsafah perilaku kehidupan bermasyarakat yang pada dasamya berisi pedoman perbuatan yang agung dan luhur, sehingga patut diteladani dan pantang untuk diingkari (Sitorus et al, 1996 ; Hadikusuma et a/, 1996). Piil Pesenggiri secara hartiah diartikan sebagai segala sesuatu yang menyangkut harga diri. Dengan demikian, di dalamnya terdapat pedoman perilaku dan sikap hidup yang harus dijaga dan ditegakkan, ssrta pantang diingkari, sehingga nama baik, martabat pribadi, maupun kelompok tetap terjaga keluhurannya (Hadikusurna et al, 1996). Dalarn falsafah Piil Pesenggiri terkandung nilai adat dan tatanan perilaku totemisme luhur yang menjadi identitas kepribadian komunitas masyarakat Lampung yang berjiwa besar, mempunyai perasaan malu, rasa menghargai diri, ramah, suka bergaul, saling rnenolong, dan bernama besar atau berjuluk.
Pi11 Pesenggin sebagai pedoman kehidupan bermasyarakat pada komunitas masyarakat Lampung, secara prinsip diiukung oleh 4 komponen pokok, yaitu; Sakai Sambaian , Nemui Nyimah, Nengah Nyapur, Bejuluk Beadek (Sitorus et al, 1996), Dalam kehidupan sosial komunitas masyarakat Lampung terdapat sesanti Sang Bum; Ruwa Jurai, yang bermakna wilayah kediaman dua macain keturunan, yaitu keturunan penduduk asli dan penduduk pendatang (Sitorus et al, 1996). 4.7 lsu-lsu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir di Kabupaten Lampung Selatan
Berdasarkan hasil identifikasi yang dilakukan Pusat Kajian Surnberdaya Pesisir dan Lautan, lnstitut Pertanian Bogor (2000), terdapat beberapa isu yang menyangkut pengelolaan sumberdaya alam pesisir dan laut di Kabupaten Lampung Selatan. Isu-lsu tersebut, antara lain adalah pencemaran, degradasi habitat dan garis pantai, degradasi terumbu karang, konversi lahan hutan mangrove, dan degradasi keanekaragaman hayati. Berbagai isu tersebut mengindikasikan, bahwa terdapat kerusakan sumberdaya alam dan lingkungannya yang disebabkan oleh permintaan manusia terhadap sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan tertentu yang melebihi kemarnpuan ekosistem wilayah untuk menyediakan barang-barang sumberdaya dimaksud. Hal yang demikian perlu dicermati dan diantisipasi, karena pembangunan di wilayah tertentu akan dapat berlangsung secara
berkelanjutan apabila permintaan total (total demand) manusia terhadap barang sumberdaya dan jasa-jasa
lingkungan (envimnmental sem'ces), tidak
melampaui kemampuan suatu ekosistem untuk
memproduksi barang
sumberdaya tersebut dalam kurun waktu tertentu (Suparrnoko, 1997). Secara garis besar, isu pengelolaan ekosistem sumberdaya pesisir dan laut di Kabupaten Lampung Selatan, dapat dideskripsikan dalam rincian sebagai berikut (PKSPL dan Bapeda Lampung Selatan, 2000): 1) Pencemaran
Berdasarkan pembagian kategori dan tingkat beban pencemaran @ollution load) di Indonesia, kawasan pesisir dan laut Propinsi Lampung, termasuk pada kategori dengan tingkat pencemaran yang tinggi. Hal .ini disebabkan oleh 3 (tiga) jenis kegiatan di darat (land-based pollution sources), yaitu; kegiatan industri, kegiatan rumah tangga, dan kegiatan pertanian. Bahan utama yang terkandung dalam buangan limbah ketiga surnber tersebut
berupa sedimen, unsur hara, pestisida, organisme
patogen, dan sampah. dumlah relatif pencemaran industri di Lampung adalah sebesar 131.497 RlPF (Relative Industrial Polll~ton Factor), sedangkan kegiatan rumah tangga adalah sebesar 12.032.000 ton, dan pertanian sebesar 32.200 ton (World Bank, 1994; BPS, 1994 dalam PKSPL, 2000).
Sumber pencemaran, juga berasal dari berbagai kegiatan di laut (marine-based pollufon sources), termasuk perhubungan laut dan kapal pengangkut minyak, serta kegiatan pertambangan energi lepas pantai. Berbagai penyebab pencemaran di wilayah pesisir Kabupaten Lampung Selatan, dapat dirincikan sebagai berikut: 1.1 Masih rendahnya kepedulian industri sepanjang DAS dan pesisir terhadap
sistem pengolahan lirnbah cair yang masuk ke perairan umum. 1.2 Kurang ketatnya pengawasan limbah oleh instansi terkait 1.3 Bdum jelasnya penerapan sanksi terhadap industri yang melanggar isi
dokumen Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan dan peraturan
perundangan yang berlaku (PP 2711999 tentang AMDAL dan UU 2311997 tentang Pengelolaan Lingungan Hidup). 1.4 Rendahnya kepedulian masyarakat pesisir terhadap pengelolaan sampah dan
kebersihan
lingkungan sekitar,
serta
pola
bangunan yang
membelakangi pantai. 1.5 Sampah dari kegiatan pariwisata massal. 1.6 Penangkapan ikan dengan menggunakan potas (sianida)
1.7 Buangan minyak kotor dari kapal ikan, kapal ferry, nelayan dan
sebagainya.
2) Degradasi Habitat Wilayah Pesisir Secara umum faktor penyebab terdegradasinya habitat wilayah pesisir Lampung Selatan disebabkan oleh faktor manusia, selain disebabkan oleh
faktor alam. Faktor penyebab utama terdegradasinya habitat di wilayah pesisir Lampung Selatan dari faktor manusia secara khusus disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan masyarakat sebagai akibat minirnnya sarana dan prasarana pendidikan yang tersedia di Lampung Selatan. 3) Penaatan dan Penegakan Hukum
Isu rendahnya penaatan dan penegakan hukum tidek terlepas dari rendahnya kualitas sumberdaya manusia, baik di kalangan masyarakat maupun aparat penegak hukum yang berada di wilayah pesisir. Lernahnya penaatan dan penegakan hukum ini tercerrnin dati rendahnya sikap dan pengetahuan masyarakat terhadap hukum
pengelolaan lingkungan,
sehingga banyak masyarakat pesisir melakukan aktivitas yang melanggar, atau tidak mempedulikan terhadap ketentuan-ketentuan yang sudah digariskan pada peraturan perundangan yang ada. Permasalahan lainnya adalah penegakan hukum oleh aparat dalam rnenindak atau menjaga pelaksanaan peraturan perundang-undangan masih rendah. Faktor-faktor penyebab rendahnya penaatan dan penegakan hukurn di kawasan pesisir Kabupaten Lampung Selatan, adalah : Rendahnya kualitas sumberdaya manusia, terutama yang berhubungan dengan pengetahuan terhadap peraturan perundangan yang ada; Permasalahan antarsektor; Belum transparansinya proses pembuatan prodik-prodik hukum; Kurangnya sarana dan prasarana penegakan hukum; Tidak adanya sosialisasi terhadap suatu produk hukum dengan masyarakat.
4) Kemiskinan
Berbagai fenomena kerusakan lingkungan pesisir dan laut bukan saja hanya disebabkan oleh industrialisasi, tetapi juga seringkali diakibatkan oleh penduduk miskin yang karena keterpaksaan akibat tidak ada alternatif mata pencarlan lain, sehingga mengharuskannya mengeksploitasi surnber daya pesisir yang secara ekologis rentar! (seperti terumbu karang.daerah asuhan dan pemijahan ikan) atau dengan cara yang tidak ramah lingkungan, seperti menggunakan bahan peledak, atau racun untuk menangkap ikan.
4.8 Aktivitas Penyangga Ekosistem Pesisir Secara resmi, sejak 17 Juli 1998, Propinsi Lampung ditetapkan sebagai wilayah Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir Indonesia, sebagai realisasi kerjasama antara USAlD
-
BAPPENAS dalam pengelolaan
sumberdaya alam (Natural Resources Management). Secara komulatif program tersebut telah dirintis dan dilaksananakan pada tahun 1996 dan berakhir pada tahun 2003. Pemilihan Propinsi Lampung sebagai kawasan proyek pesisir ini, didasarkan atas beberapa pertimbangan, yakni: adanya dukungan yang kuat dari pemerintah daerah seternpat, memiliki sumberdaya alam kelautan yang besar potensial, banyak isu pengelolaan, belum pernah ada pengelolaan pesisir sebelumnya, berpotensi sebagai laboratorium lapang lnstitut Pertanian Bogor yang lokasinya mudah dijangkau, rnewakili tipe isu-isu pengelolaan pesisir di
kawasan Barat Indonesia, serta mengalami dinamika yang cepat (Proyek Pesisir Lampung, 2000). Sebagai realisasi konkret dari kerja sama, antara Pemerintah Daerah Propinsi Lampung dengan Coastal Resources Management Project's (CRMP), sampai sekarang telah diidentifikasikan dua output isu yang mendasari pengelolaan wilayah Pesisir dan Laut, yaitu output fisik dan output proses. Output fisik yang dipublikasikan meliputi : Laporan teknis dari setiap konsultasi (biofisik, sosial, ekonomi, budaya, dan kelembagaan), Atlas Sumberdaya Wilayah Pesisir Lampung, Kerangka Dasar Sistem lnformasi Geografis, serta issue based profile di Desa Pematang Pasir, Kabupaten Lampung Selatan. Sedangkan output proses yang digalakkan meliputi : peningkatan kepedulian terhadap isu wilayah, kaderisasi dari masyarakat, peningkatan aktivitas beberapa organisasi di wilayah pesisir, peningkatan pemahaman tentang status eksploitasi sumberdaya wilayah pesisir, dan penyajian informasi yang mutakhir tentang administrasildemografi (Proyek Pesisir Lampung, 2001). Dalam ha1 penyusunan Rencana Strategis (Renstra), sebagai pedoman dalam rnenindaklanjuti dua output isu di atas, telah dipublikasikan Rencana Strategis Pengelolaan Wilayah Pesisir Lampung pada tahun 2000. Rencana strategis ini dimaksudkan, untuk; (1) memberikan arahan formasi, pengendalian dan bantuan dalam penyusunan prioritas program rencana aksi lintas sektoral, (2) mengarahkan dan memprioritaskan pengelolaan di suatu wilayah pesisir dan rencana zonasi, dan (3) memberikan sumbangan dalam perumusan
sasaranlrencana nasional (Wiryawan et al, 2002). Lebih lanjut dinyatakan oleh Wiryawan, bahwa rencana strategis (Renstra) tersebut, menyajikan berbagai strategi dalarn rnenangani 10 (sepuluh) isu utama pengelolaan pesisir sesuai dengan tujuan pernbangunan daerah. Kesepuluh isu utama dalarn pengelolaan pesisir Larnpung tersebut, adalah ; (1) rendahnya kualitas surnberdaya rnanusia, (2) rendahnya penaatan dan penegakan hukurn, (3) belurn adanya penataan ruang pesisir, (4) degradasi habitat wilayah pesisir, (5) pencernaran wilayah pesisir, (6) kerusakan hutan, taman nasional, dan cagar alarn laut, (7) belum optirnalnya pemanfaatan objek wisata, (8) belum optimalnya pengelolaan perikanan, (9) rawan bencana alarn, an (10) intrusi air laut. Dalarn aplikasinya,
irnplementasi rencana strategis
yang
telah
dirumuskan dengan rnelibatkan berbagai komponen stakehoders (pernerintah daerah propinsi, kabupaten dan kota, instansi-instansi sektor di daerah, perguruan tinggi, konsultan, swasta, lembaga swadaya rnasyarakat, dan proyek pesisir larnpung), masih menghadapi berbagai kendala, antara lain karena belurn adanya kejelasan substansi renwna strategi untuk dituangkan ke dalarn program kabupatenlkota, legalitas rencana strategi itu sendiri, serta kekurangpedulian dan kernampuan sumberdaya manusia di instansildi dinas. Pada sisi yang sarna, Kabupen Lampung Selatan, sebagai wilayah yang merniliki kawasan pesisir dan laut, khususnya di wilayah tirnur dan selatan, juga rnenghadapi kornpleksitas permasalahan pengelolaan kawasan pesisir dan laut. Kornpleksitas permasalahan pengelolaan ini samakin kompleks, tatkala
Kabupaten Lampung Selatan dihadapkan pada kondisi nil, bahwa di kawasan sepanjang pesisir selatan, menjadi pusat lalu lintas transportasi berbagai kapal dan tenker. Sementara pada sisi timur terdapat kawasan Daerah Aliran Sungai Way Sekampung dengan berbagai aktivitas industri di sepanjang kawasannya, yang berdampak pada adanya berbagai limbah, baik padat maupun cair, serta di bagian hulu yang kesadaran lingkungan komunitasnya. juga masih rendah. Secara akumulatif realitas faktual tersebut, apabila tidak ditangani secara proporsional dan berkesinambungan, maka tidak mustahil akan berdampak pada turunnya kualitas ekosistem sumberdaya pesisir dan laut, seperti; menurunnya daya dukung lingkungan, menurunnya kualitas perairan pesisir, menurunnya fungsi ekologis kawasan lindung dan cagar alam laut, rendahnya estetika kawasan pesisir akibat berbagai sampah dengan aroma negatifnya, serta semakin menurunnya tingkat pendapatan nelayan dan budidaya perikanan, baik tambak maupun mariculture. Menyadari dilematika yang sedemikian kompleks di atas, maka diperlukan berbagai pendidikan dan pelatihan untuk menangani permasalahan yang terkait dengan sumberdaya alam pesisir dan laut. Aktivitas tersebut, dimaksudkan sebagi
upaya
preventif dan kuratif terhadap
berbagai
kemungkinan negatif dari dinamika pesisir akibat alam dan ulah manusia. Sebagai upaya konkret untuk merumuskan dan mencari solusi terhadap potensi pemasalahan di atas, proyek pesisir Lampung telah mengadakan berbagai pelatihan, khususnya di Kabupaten Lampung Selatan, pada tahun
2001
-
2002, sebagaimana dalam dokumen ringkasan program pengelolaan
pesisir yang dilaksanakan bersama pemerintah daerah. Kegiatan tersebut, antara lain adalah : (1) Pengembangan usaha kelembagaan perikanan.
(2) Pengembangan pesisir, pantai, danpulau-pulau kecil. (3)
Pemantauan pengawasan dan pengendalian sumber-sumber air.
(4) Pengamanan pantai, rehabilitasi, dan optimalisasi rawa. (5)
Pengedalian pencemaran dan kerusakan lingkungan wilayah pesisir dan laut.
(6) Pengadaan sarana dan fasilitas wisata pantai sebalang (Wiryawan et a/,
2002) Sasaran program pendidikan dan pelatihan adalah masyarakat lokal. Secara akumulatif berbagai program pengelolaan wilayah pesisir dan laut yang dilakukan oleh pemerintah daerah dengan CRMP mengarah pada keberadaan Kabupaten Lampung Selatan sebagai penyangga ekosistem pesislr dan laut, agar keberadaannya dapat dimanfaatkan secara optimal dan berkelanjutan untuk kebutuhan generasi sekarang dan generasi yang akan datang.
4.9 Fakta Sosiolinguistik di Kabupaten Lampung Selatan Sebagai konsekuensi topografi kewilayahan yang sangat bervariasi di Kabupaten Lampung Selatan, dari sisi sosiologi berdampak pada terbentuknya kelompok-kelompok masyarakat dengan karakter komunalnya yang khas. Kekhasan masyarakat Lampung secara eksplisit diwujudkan dalam susunan
maga-mama teritorial berdasarkan kekerabatan dengan penentuan batasbatas kewilayahannya masing-masing (Hadikusuma et a/, 1996). Pemerintahan Belanda pada tahun 1928, menetapkan marga territorialgenealogis masyarakat di Karesidenan Lampung termasuk Bengkulu, menjadi 84 (delapan puluh empat) marga, 13 (tiga belas) macam adat, dan 2 (dua) kelompok subdialek (Sitorus dan Hamilton, 1996). Tentu saja, pembagian tersebut untuk kepentingan pemerintahan penjajah, namum demikian dari sisi sosiologi dapat dipastikan betapa sangat beragamnya sistem kemasyarakatan di Lampung pada saat itu, yang secara genealogis mungkin masih berpengaruh sampai sekarang. Dalam sistem kemasyarakatan, sebagaimana realitas histori komunitas Lampung tersebut, dipastikan terdapat interaksi sosial yang terjadi secara intens,
yang
berupa
hubungan antarpribadi,
antarkelompok,
maupun
antarpribadi dengan kelompok, dan sebaliknya (Soekanto, 2000). Fenomena ini, secara epistemologis merupakan embriyo muncul dan berkembangnya sosiolinguistik dalam setiap tem'torial-genealogis untuk menandai identitas setiap komunitas. Fakta sosiolinguistik ini, sekaligils mengindikasikan adanya sikap linguistik bersama kelompok sosial masyarakat secara spasial di Kabupaten Lampung Selatan, sebagai akibat dari variasi aspek sosialkomunikasi yang disebabkan oleh keberadaan bentang lahan yang dipertegas oleh tem'torial-genealogis.
Kehidupan sosial setiap kelompok tem?orialgenealogis yang sudah koheren dari sisi sosiolinguistik cenderung berakumulasi pada munculnya adat budaya, sebagai indentifikasi dan kaidah khas intrakomunal (Suwito, 1996). Setiap komponen budaya akan berkembang sesuai dengan dinamika komunitasnya, baik yang disebabkan oleh topografi kewilayahan maupun oleh akulturasi akibat interaksi dengan kelompok lain. Topografi kewilayahan yang subur dan strategis, dapat rnenjadi faktor utama berkembangnya budaya, namun terpuruknya dialek topografi, sementara topografi kewilayahan yang tidak subur dan terisolir dapat rnenjadikan dialek topografi dan budaya original tetap bertahan (Bintarto, 1976). Theodor Frings rnenyatakan, bahwa dialek topografi berimplikasi pada adat budaya, dan ruang lingkup geografi bahasa sama dengan ruang lingkup geografi budaya (dalam Suhardi, 1995). Fenomena sosial tersebut terjadi pada kornunitas Lampung yang secara faktual teridentikasi rnenjadi dua kelompok dialek, yaitu: Dialek A (apl) yang beradat budaya Peminggiratau Pubiyan, atau Sebatin dan Dialek 0 (nyou) yang beradat budaya Pepadun (Hadikusuma, 1996). Analisis dialektometri yang dilakukan oleh Aliana et a1 (1996), untuk mengkaji variasi dialek dalarn komunitas bahasa Lampung menyimpulkan, bahwa subdialek Jabung, Abung, dan Menggala dikelompokan pada klen sosiolinguistik yang rnerniliki kedekatan kekerabatan kebahasaan, sedangkan antara subdialek Jabung dengan Talang Padang, besaran rentangannya
mengindikasikan, bahwa kedua masyarakat bahasa tersebut, secara sinkronis menunjukkan perbedaan subdialek yang signifikan, yakni sebesar 35%. Pemahaman akan adanya perbedaan tersebut, secara diakronis dapat digunakan untuk mengungkap adanya perilaku yang khas setiap komunitas dialek, termasuk perilaku yang merepresentasikan protil kepedulian terhadap lingkungan. Hal tersebut dapat dilakukan, karena representasi sosiolinguistik dalam sistem komunikasi masyarakat adalah mengaktualisasikan konsep atau perbuatan dalam bentuk butir-butir bahasa yang mengindikasikan, bahwa butir bahasa tersebut menjadi tolok ukur adanya perbuatan yang melembaga dalam komunitas pemakainya (Suwito, 1996). Beranjak dari fenomena ini, maka berbagai perilaku komunitas dialek dalam bentang ruang topografinya yang bersumber dari sosiolinguistik, baik berupa situs linguistik, folklore yang dikonkretkan dalam kelembagaan adat, serta guyub tutur dapat digunakan untuk mengetahui perilaku yang terjadi dalam masyarakat komunitas dialeknya. Demikian juga dengan perilaku yang mencenninkan profil kepedulian terhadap pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu di Kabupaten Lampung Selatan. Pengkajian ini pada akhirnya dapat mendeskripsikan keterhubungan, antara deskripsi bahasa dengan perilaku komunitas pemakainya, baik komunitas asli maupun pendatang, khususnya perilaku terhadap sumberdaya alam pesisir dengan komponen integralnya yang berupa kawasan pantai dan daerah aliran sungai. Untuk itu, diperlukan kemampuan pendelineasian batas ruangan secara cermat, agar dapat menentukan kawasan pakai setiap dialek
topografi komunitas Lampung dengan perbatasannya (boundary) masing masing yang dalam ha1 ini identik dengan identitas etnik komunitas di setiap kawasan tersebut. FaMa sosiolinguistik sebagaimana penjelasan di atas, dapat diperhatikan pada peta komunitas dialek berikut:
PETA COMlNASl KOMUNITAS DIALEK CI KAWASAN WS WAY SEWMPUNG a4N PANTAl LLniiqI I , ~
slr,ga B;lln%~ Rlli~wn ;
a
Mi EUQS
Jam
h p m gA Mlpmg 0 Ogm m l d o ::
Ruts
k.1
-
~~1
0 :
~~
i
- - ~
smnm : PFJI\DMAR H,4KCXl~I?L\Nt&LUO1 m w :smw1IAPANGW.~ J (
i ; m h 11.2 I'rl;~ i h m i h n n n t a s I )lalek liii E;d\n.n'rimI)AS Wa\. Seknl~png &I I'mtai
L
Maaf, halaman ini pada sumber aslinya memang tidak ada Sorry, this page is not available in the original source