BAB III TOLERANSI DAN PENDIDIKAN ISLAM
A. Toleransi 1. Pengertian Toleransi Secara etimologis toleransi berasal dari bahasa Inggris tolerance yang berarti toleransi, kelapangan dada, daya tahan, tahan terhadap, dapat menerima.1 Toleransi adalah sifat atau sikap menenggang (menghargai, membiarkan,
membolehkan)
pendirian
(pendapat,
pandangan,
kepercayaan, kebiasaan, kelakuan dan sebagainya) yang lain atau bertentangan dengan pendiriannya.2 Toleransi adalah suatu sikap penerimaan yang simpati terhadap perbedaan pandangan/sikap.3 Dilihat dari sudut pandang etimologis atau kebahasaan toleransi menunjukkan arti penghargaan terhadap perbedaan dengan pandangan atau sikap yang simpatik. Toleransi (tasâmuh) adalah modal utama dalam menghadapi keragaman dan perbedaan (yanawwu'iyyah). Toleransi bisa bermakna penerimaan kebebasan beragama dan perlndungan undang-undang bagi hak asasi manusia dan warga negara. Toleransi adalah sesuatu yang mustahil untuk dipikirkan dari segi kejiwaan dan intelektual dalam hegemoni sistem-sistem teologi yang saling bersikap ekslusif. 4
1
373.
2
Jalinus Syah, et.al., Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1993), hlm.
WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1985), hlm. 1084. 3 G. Kartasapoetra dan Hartini, Kamus Sosiologi dan Kependudukan, Edisi I, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), Cet. I, hlm. 425. 4 Zakiyuddin Baidhawy, Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural, (Jakarta: Erlangga, 2002), hlm. 47-48.
Makna lesikal kata toleransi adalah "bersabar, menahan diri, membiarkan.5 Menurut Alwi Shihab, toleransi adalah upaya untuk menahan diri agar potensi konflik dapat ditekan dengan mengakui keberadaan dan hak agama orang lain serta terlibat dalam usaha memahami pebedaan dan persamaan guna tercapainya kerukunan dalam kebhinekaan.6 Dari ketiga pendapat tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa toleransi yang dimaksud merupakan bentuk yang lebih spesifik ke arah penghargaan terhadap perbedaan agama, karena sentimen keagamaan merupakan faktor yang sensitif terhadap terjadinya konflik. Pada sisi ini dirasakan perlunya memandang istilah toleransi beragama. Sebab, setiap agama mengajarkan kasih sayang dan toleransi. Sebenarnya, cara pemahaman dan pengamalan para penganutnya yang seringkali membuat ajaran tersebut kabur. Di bawah ini adalah beberapa langkah penting dan strategis untuk memupuk jiwa toleransi beragama dan membudayakannya dalam hidup antar umat beragama:7 a. Menonjolkan
segi-segi
persamaan
dalam
agama,
tidak
memperdebatkan segi-segi perbedaan dalam agama. b. Melakukan kegiatan sosial yang melibatkan para pemeluk agama yang berbeda. c. Perubahan orientasi pendidikan agama yang mengedepankan aspek sektoral
fiqhiyah,
menjadi
agama
yang
berorientasi
pada
pengembangan aspek universal rabbaniyyah. d. Menguatkan pembinaan individu yang mengarahkan pembentukan pribadi yang memiliki budi pekerti yang luhur dan akhlaq al-karimah.
5
Muhammad Abdel Haleem, Terj. Rofik Suhud, Memahami al-Qur'an: Pendekatan Gaya dan Tema, (Bandung: Marja', 2002), Cet. I, hlm. 104. 6 Alwi Shihab, loc.cit.,hlm. 45. 7 Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2000), Cet. I, hlm. 151-152.
e. Menghindari jauh-jauh sikap egoisme beragama, sehingga mengklaim yang paling benar. Voltaire menerangkan bahwa yang dimaksud dengan toleransi 8
adalah:
"Tolerance is law of nature, stamped on the heart of all man, a man who intolerant is not human being in the full of sense of the expression. To become enraged at antagonism is surely sign of wekness. Of course, there are many who do not want to recognize the principle of tolerance as being eternal too, in condition of adversity, the temptation to retaliate becomes too strong. "Toleransi adalah hukum alam yang sudah tertera dalam hati setiap manusia, seseorang yang tidak bertoleransi bukanlah seseorang yang mengungkapkan perasaannya yang sepenuhnya untuk menjadi marah kepada permusuhan / pertentangan itu benar merupakan sebuah tanda kelemahan. Tentu saja ada banyak orang yang tidak mengakui prinsip toleransi sebagai suatu hal yang abadi, karena dalam kondisi-kondisi yang beragam godaan balas dendam menjadi sangat kuat." Pernyataan tersebut menyatakan bahwa toleransi merupakan sikap yang sudah menghiasi setiap hati manusia tanpa terkecuali, sehingga memudahkan orang untuk saling menghormati dan menghargai segala bentuk perbedaan dengan sikap toleransi tersebut. Sehingga manusia mengedepankan aspek persaudaraan yang berdasarkan kemanusiaan. Umar 'Aurat al-Khatib dalam kitab Fi al-Tsaqafal al-Islamiyat, mengatakan:9 "Islam mengatur hubungan antara sesama muslim dengan lainnya (yang tidak membunuh mereka dalam urusan agama atau yang tidak mengeluarkan/mengusur mereka) supaya berbuat baik da berbuat adil dan saling bertoleransi. Suatu perbedaan adalah merupakan sunnatullah yang telah diberkati dan telah ada dan melekat pada seluruh ciptann-Nya. Dan oleh karena itu orang-orang muslim menyadari Al-Qur'ân mendidik mereka agar dapat bertoleransi terhadap semua ciptaan-Nya. Dan berbuat baik keada mereka dan melarang mereka (orang muslim) meredam kebencian kepada mereka (non muslim) karena adanya perbedaan diantara mereka dalam agama. Dari sini kita melihat bahwa 8
Farida Khanam, Islam and Peace, (New Delhi: Good Work Book, 2000), Cet. II, hlm. 82. Umar 'Aurat al-Khatib, Fi al-Tsaqafal al-Islamiyat, (Beirut: Muassasar al-Risalah, 1995), hlm. 273 dan 276. 9
Islam telah memberikan kebebasan untuk menentukan keyakinannya masing-masing " Pendapat tersebut mengakui bahwa perbedaan yang menjadi sunnatullah merupakan tonggak awal untuk menumbuhkan sikap yang toleran, karena pada dasarnya umat Islam dalam Al-Qur'ân diperintahkan untuk menciptakan suasana yang damai dan berbuat baik terhadap sesama, karena Islam adalah agama yang menjadi rahmat bagi seluruh alam. Kata toleransi dalam Al-Qur'ân lebih dekat kepada kata ukhuwah. Karena konsep ukhuwah tersebut memberi jalan keluar untuk menggalang persatuan dan kesatuan umat manusia yang memiliki latar belakang perbedaan suku, bangsa, ras dan agama. Konsep ini merupakan tawaran bagi manusia untuk merujuk kepada kemanusiaan (humanisme). Konsep ukhuwah10 yang dinukil dari Al-Qur'ân ini mengandung perluasan makna sebagai "persamaan dan keserasian dalam banyak hal". Jadi secara umum toleransi merupakan penghargaan dan penghormatan terhadap kebhinekaan (pluralitas) yang mengedepankan aspek kemanusiaan (humanisme) dan etika sebagai pilar utama penyangga terbentuknya masyarakat yang terbuka dan mampu bekerja sama dalam kemajemukan. Jadi pendidikan toleransi dalam Islam adalah upaya dalam rangka mengembangkan sikap menghormati/menghargai dan bekerja sama dalam kerangka perbedaan (pluralitas) dengan semangat kerukunan dan kemanusiaan yang didasarkan pada nilai-nilai Islam sebagai rahmat bagi semesta alam.
10 Setidaknya dijumpai empat aspek yang tercakup dalam pengertian ukhuwah, yaitu ukhuwah fi al-'ubudiyat, yang mengandung arti persamaan dalam ciptaan dankedudukan, ukhuwah fi al-insaniyyat, bahwa manusia mempunyai persamaan dalam asal keturunan, ukhuwah fi al-wathaniyyat, yang meletakkan dasar persamaan pada unsur bangsa dan hubungan (pertalian) darah, ukhuwah fi al-din al-Islam, yang mengacu pada persamaan keyakinan (agama) yang dianut yaitu Islam. Lihat Muhammad Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'ân, (Bandung: Mizan, 2000), Cet. XXI, hlm. 358.
2. Toleransi dalam Sejarah Madinah Periode Madinah ini dimulai dari perintah Nabi Muhammad kepada umat Islam untuk hijrrah ke Yatsrib, kemudian disusul beliau bersama Abu Bakar. Keduanya tiba di kota itu pada tanggal 16 Rabiul Awal / 20 September 662 M. Setelah Nabi hijrah ke Yatsrib, kota itu berubah nama menjadi Madinat al-Nabi / Madinat al-Munawwarat, dan lebih populer dengan nama Madinah.11 Pelaksanaan hijrah nabi tersebut didorong oleh beberapa faktor. Pertama, atas perintah wahyu.12 Kedua, disamping dakwah beliau di Makkah kurang begitu sukses juga beliau ingin menyelamatkan pengikutnya terbebas dari tindakan sewenang-wenang kaum Quraisy yang semakin keras dan kejam. Ketiga, beliau yakin bahwa pengikutnya di Yatsrib akan memberikan perlindungan kepada saudara-saudara mereka seagama di Makkah.13 Menurut Pulungan yang mengutip pendapat Arnold menilai bahwa pelaksanaan hijrah tersebut merupakan gerakan strategi yang jitu. Suatu gerakan yang menyelamatkan kaum muslimin sehingga terbebas dari tindakan yang tidak manusiawi dari kaum Quraisy dan suatu gerakan dakwah menuju kebaikan baru sebagai reaksi dari fakta sosial keadaan masyarakat Arab. Madinah secara terbuka menerima seruan Rasul kepada Islam. Reaksi dan respon ini didukung oleh perintah wahyu dari Allah. Komposisi penduduk Madinah sebelum Nabi Muhammad hijrah didiami oleh berbagai golongan suku bangsa Arab dan Yahudi yang menganut agama dan keyakinan berbeda. Corak masyarakat yang majemuk ini bertambah kompleks sejak sebagian penduduknya memeluk Islam dan setelah Nabi Muhamamad bersama kaum muslim Makkah hijrah ke kota itu.
11
CJ. Suyuthi Pulungan, Prinsip-prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah Ditinjau dari Pandangan Al-Qur'ân, (Jakarta: PT. Raja grafindo Persada, 1996), cet. II, hlm. 53. 12 Lihat QS. Al-Baqarah: 218 dan Al-Nahl: 41 dan 110. 13 CJ. Suyuthi Pulungan, Op.cit., hlm. 54.
Para ahli berbeda pendapat dalam merumuskan golongangolongan penduduk yang terdapat di Madinah pasca hijrah. Menurut Hasan Ibrahim Hasan yang disitir oleh Pulungan bahwa ada empat golongan yang berada di Madinah, antara lain Muhajirin, Anshar, kaum munafik dan musrik, dan kaum Yahudi yang tinggal di Madinah. Sedangkan Emik Dmenghem membagi penduduk Madinah ke dalam empat golongan, muhajirin, anshar, kaum munafik, suku pagan dan Yahudi. Muhammad Zafrullah Khan yang menyebut empat golongan dengan rumusan yang berbeda, yaitu kaum muslimin, terdiri dari muhajirin dan anshar, golongan Aus dan Khazraj yang keislamannya masih dalam tingkatan nominal, bahkan ada yang secara rahasia memusuhi nabi, golongan Aus dan Khazraj yang masih menganut paganisme tapi dalam waktu singkat telah menjadi muslim, golongan yahudi yang terdiri dari tiga suku utama yaitu Banu Qunaiqa, Banu Nadzir, dan Banu Quraizhat.14 Selain pendapat tersebut, menurut A.G Boquet, yang disitir oleh Pulungan mengatakan bahwa anshar dan munafik alasannya adalah orangorang Yahudi dan Kristen menganggap risalah nabi Muhammad tidak baru dan orisinil dan beliau bukan pelopor agama yang murni.15 Muhammad Khalid dan Abdal Muta'al al-Shu'adi yang disitir oleh Pulungan menggolongkan ke dalam dua golongan yaitu muslimin: muhajirin dan anshar, dan kaum Yahudi, serta dibagi atas kebangsaannya yaitu bangsa Arab terdiri dari muhajirin, anshar dan munafik ditambah dengan bangsa Yahudi yeng terdiri dari berbagai suku.16 Al-Qur'ân juga menyinggung tentang komposisi penduduk Madinah yang terdiri dari berbagai kelompok keyakinan. Dalam surat AtTaubah ayat 100 dan 117 disebut kaum muhajirin dan anshar dan pada ayat 101 disebut dengan jelas adanya golongan munafik disekitar mereka.
14
Ibid., hlm. 54-55. Ibid., hlm. 56. 16 Ibid., hlm. 56. 15
Sedangkan golongan Yahudi, nasrani dan musyrik baik yang tinggal di Madinah maupun di sekitarnya disebut surat Al-Maidah ayat 82. Sekalipun mereka berbeda pendapat dalam mengkategorikan penduduk Madinah, namun cakupannya mengandung inti yang sama, yaitu
bahwa
penduduk
kota
itu
bercorak
heterogen/majemuk.
Kemajemukan tersebut dapat dilihat dari berbagai aspek. Aspek kebangsaan; Madinah terdiri dari bangsa Arab dan Yahudi yang terbagi ke dalam suku-suku, aspek daerah; orang Arab Makkah, Arab Madinah, dan Yahudi Madinah, adat kebiasaan yang berbeda; golongan ekonomi yang berbeda; dari aspek agama dan keyakinan; Yahudi, Kristen, Islam, munafik dan paganisme (musyrik). Dari beberapa pendapat di atas dapat dismpulkan bahwa komunitas-komunitas penduduk yang menetap di Madinah pada permulaan Nabi Muhammad menetap di kota itu adalah pertama, kaum Arab Madinah yang telah memeluk Islam yang disebut kaum anshar. Kedua, orang-orang Arab Makkah yang muslim disebut muhajirin. Ketiga orang-orang Arab Madinah penganut paganisme, keempat golongan munafik. Kelima, golongan Yahudi yang terdiri dari berbagai suku baik bangsa Yahudi maupun orang Arab Yahudi dan keenam, penganut agama Kristen minoritas. Dalam rangka memperkokoh masyarakat majemuk (plural) di Madinah, Nabi Muhammad segera meletakkan dasar-dasar kehidupan bermasyarakat. 17 Dasar pertama, pembangunan, selain untu tempat shalat, juga sebagai sarana penting untuk mempersatukan kaum muslimin dan mempertalikan jiwa mereka, untuk tempat bermusyawarah bahkan sebagai pusat pemerintahan. Dasar kedua adalah ukhuwah Islamiyah, persaudaraan sesama muslim, Nabi mempersatukan antara golongan muhajirin dan anshar,
17 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Press, 1997), cet. IV, hlm. 26-26. Lihat pula: Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Terj. Djahdan Humam, (Yogyakarta: PT. Kota Kembang, 1998), Cet. I, hlm. 25-26.
dengan demikian diharapkan setiap muslim merasa terikat dalam persaudaraan dan kekeluargaan. Dasar ketiga, hubungan persahabatan dengan pihak-pihak lain yang tiak beragama Islam. Dalam bidang sosial, beliau juga meletakkan dasar persamaan antara sesama manusia. Perjanjian ini dalam pandangan ketatanegaraan disebut dengan Konstitusi Madinah (Piagam Madinah). Berbicara mengenai Piagam Madinah, seorang tokoh ternama Yusuf Al-"Ish menyatkan bahwa dokumen tersebut sebagai febrikasi (dokumen yang dibuat-buat) karena menurutnya dokumen tersebut tidak disebutkan dalam kitab-kitab fiqh dan hadits shahih dan isnadnyapun terdapat kerancuan. 18 Tapi pendapat tersebut disangkal oleh Akram yang mengutip pendapat Sholih al-Ali bahwa gaya penulisan dokumen bisa menguatkan keautentikannya, paragraph-paragraf pendek dan kalimat-kalimatnya simpel, banyak pengulangan, kata-kata yag dipakai sudah umum pada zaman rasul dan apabila ada yang mempelajarinya akan kesulitan karena kata-kata tersebut jaang digunakan, tidak ada perintah / hujatan terhadap kelompok tertentu, karenanya dokumen Piagam Madinah tersebut adalah autentik, tidak palsu.19 Berikut kutipan Piagam Madinah yang representatif dan ada hubugannya dengan toleransi, sebagai berikut: a. Kaum Yahudi yang mengikuti kami akan memperoleh pertolonganpertolongan dan hak persamaan serta akan terhindar dari perbuatan aniaya dan perbuatan makar yang merugikan. b. Sebagai satu kelompok Yahudi Bani 'Auf
hidup berdampingan
dengan kaum muslimin. Kedua pihak memiliki agama masing-masing. Demikian pula halnya dengan sekutu dan diri masing-masing, bila mereka ada yang melakukan aniaya dan dosa dalam hubungan ini maka akibatnya akan ditanggung oleh diri dan orangnya sendiri. 18 Akram Dhiyauddin, Masyarakat Madani Tinjauan Historis Zaman Nabi, Terj. Mun'in A. Sirry, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Press, 1999), cet. I, hlm. 110. 19 Ibid., hlm. 112.
c. Surat ini tidak mencegah (membela) orang yang berbuat aniaya dan dosa. Setiap orang dijamin keamanannya, baik sedang berada di Madinah maupun sedang berada di luar Madinah. Kecual orang yang berbuat aniaya dan dosa. Allah pelindung orang yang berbuat kebajikan dan menghindarkan keburukan.20 Dilihat dari kutipan isi Piagam Madinah menunjukkan bahwa pendidikan toleransi dalam Islam dengan tinjauan historis mampu mengedepankan persaudaraan sebagai bagian dari kehidupan masyarakat Madinah yang heterogen (plural). B. Pendidikan Islam Istilah pendidikan dalam konteks Islam pada umumnya mengacu kepada term al-tarbiyah, al-ta'dib, dan al-ta'lim.21 Pendidikan Islam adalah aktivitas rutin sehari-hari umat Islam yang berkesinambungan terus menerus tanpa henti. Aktivitas keseharian yang dimulai dari bangun tidur sampai tidur kembali; dari pranatal sampaimanula. Aktivitas kalangan elit-intelektual maupun orang biasa-awam; keluarga kaya maupun miskin.22 Berdasarkan pengertian tersebut, maka tugas dan fungsi yang perlu diemban oleh pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya dan berlangsung sepanjang hayat. Konsep ini bermakna bahwa tugas dan fungsi pendidikan memiliki sasaran pada peserta didik yang senantiasa tumbuh dan berkembang secara dinamis, mulai dari kandungan sampai akhir hayatnya.23 Pendidikan agama sebagai salah satu upaya pengenalan dan pemahaman terhadap agama, serta sebagai proses internalisasi nilai-nilai menjadi sangat penting untuk diangkat. Pendidikan ini hendaknya menjadi 20
Untuk mengetahui lebih jelas isi dari Piagam Madinah Lihat: Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara; Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI Press, 1995), hlm.10-15. cf. J. Suyuthi Pulungan, Op.Cit., hlm. 285. 21 Al-Rasyidin dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2005), Cet. II, hlm. 25. 22 M. Amin Amdullah, Pendidikan Agama Era Multikultural Multireligius, (Jakarta: PSAP Muhammadiyah, 2005), Cet. I, hlm. 67. 23 Al-Rasyidin dan Samsul Nizar, Op.Cit., hlm. 32..
perhatian kita semua: kaum pendidik, tokoh agama dan intelektual sehingga penddikan agama bisa memunculkan keberagamaan yang bersifat pencerahan bagi umat manusia, serta menjadi rahmat bagi sekalian alam sebagaimana tujuan agama itu sendiri. 24 Namun, sejauh ini pendidikan agama masih jauh dari harapan kita, manusia yang cinta kedamaian, dan cinta kepada sifat-sifat Tuhan Yang Maha Kasih, sempurna, bijaksana dan adil.25 Pendidikan agama yang selama ini masih bersifat doktrinal, monolog dan di penuhi muatan formalitas yang cenderung menolak realitas pluralitas dalam keagamaan sehingga hanya mengantarkan murid-muridnya memiliki cara pandang yang ekslusif alias picik.26 Misalnya, Pendidikan agama Islam yang berjalan selama ini masih lebih ditekankan pada teologi dialektis yang kering, dan pada bentuk-bentuk ritual dan fomal legalistik keagamaan semata.27 Jika demikian, pendidikan khususnya pendidikan Islam memiliki peran strategis untuk mengembalikan cara berpikir dan sikap peserta didik ke dalam tataran yang mengerti (dan memahami) pluralitas bermasyarakat. Pendidikan yang diselenggarakan haruslah pendidikan yang paham betul terhadap problem akut kemanusiaan seperti penindasan, kemiskinan, pembantaian
dan
sebagainya.
Pendidikan
yang
dilaksanakan
bukan
merupakan penanaman wacana dalam fungsi organisatorisnya yang lebih mengedepankan terma perebutan wilayah dan pengikut. Karena pendidikan seperti ini hanya akan menampakkan ekspresi kecurigaan terus menerus dalam prosesnya dan antar sivitas pendidikan. Pendidikan seperti ini juga merupakan upaya pendangkalan wacana keagamaan. Pendidikan bukan hanya masuk pada penjabaran ajaran yang sangat formal dalam tataran ritual dan tradisi, karena dengan begitu pendidikan hanya merupakan upaya ideologisasi. Sebaliknya, pendidikan hendaknya dipahami
24
Abd A'la, Melampaui Dialog Agama, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002), hlm. 48. Ibid. 26 Syamsul Ma'arif, Pendidikan Pluralisme di Indonesia, (Jogjakarta: Logung Pustaka, 2005), Cet. I, hlm. 82. 27 Abd A'la, Op.Cit., hlm. 49. 25
dalam sistem transendensi seluruh aspek kehidupan. Transendensi ini bukan dimaksudkan merebut ridla-Nya dengan menyingkirkan keinginan manusia lain (dengan agama/keyakinan lain) yang sama. Sebaliknya, justeru menghargainya dan bersama merumuskan kebutuhan kemanusiaan sebagai refleksi teologis masing-masing. Pendidikan seperti ini akan menciptakan kreativitas untuk selalu memperluas cakupan makna dari praktek keagamaan formal. Sehingga zakat diperuntukkan bagi siapa saja yang masuk dalam kategori miskin dan faqir, tanpa tergantung pada latar agamanya. Puasa bukan semata penghadiran Tuhan secara individualistis dan dingin, akan tetapi lebih lebar dalam keprihatinan masalah kemanusiaan. Pendidikan agama semestinya diarahkan untuk mengajak orang menerima dan terbuka terhadap pluralitas. Dengan begitu peserta pendidikan diberikan kesempatan untuk mencerna "rasa keberagamaannya" dengan bahasanya sendiri dan menumbuhkan kesadaran keberagamaan itu di tengahtengah komunitas lain di luarnya. Di sini peserta pendidikan tidak dipaksa memahami pemahaman dan pengalaman lain dalam bahasa sang guru. Peserta pendidikan dilatih untuk menggunakan kepekaan atas pluralitas dan memahaminya dengan bahasa batinnya sendiri.28 Untuk maksud tersebut peserta pendidikan sejak awal sudah dipersaksikan terhadap perbedaan-perbedaan melalui lapangan konkrit, seperti adanya masjid, gereja, pura, wihara, dan beberapa tempat suci bagi agama atau kepercayaan tertentu. Pendidikan seperti
ini
diharapkan
akan
meminimalisir atau bahkan mengatasi kecenderungan perseteruan manusia atas nama agama atau keyakinan. Dalam masyarakat yang relatif majemuk seperti di Indonesia pendidikan agama harus memberikan gambaran dan idealitas moral agamanya secara kontekstual. Di sini dipersyaratkan peninjauan ulang atas doktrindoktrin agama yang kaku. 28
A. Waidl, Pendidikan yang Menghargai Kemajemukan, dalam www.jil.com
Pluralitas agama dan keyakinan bukan dijadikan sebagai potensi kerusuhan, melainkan merupakan potensi untuk diajak bersama melaksanakan ajaran demi kepentingan kemanusiaan. Karena seluruh agama selalu mengklaim demi keselamatan manusia. Di sini pendidikan agama memiliki peran penting untuk menumbuhkan sikap awal agar bisa bekerja sama dengan agama atau keyakinan yang lain. Pendidikan agama harus memungkinkan tumbuhnya persaudaraan dalam kebersamaan menemukan tradisi ilahi yang sama pada setiap agama, sehingga bisa bersama membangun dunia baru yang lebih bermakna bagi seluruh umat manusia. Pengembangan sikap toleransi merupakan upaya strategis yang bisa dilakukan, yakni dengan menghormati orang atau golongan lain tanpa kehilangan identitas diri. Untuk ini dialog antar umat beragama menjadi penting sebagai manifestasi membuka diri pengalaman keagamaan. Caranya anak diajak melihat kebaikan kelompok lain, tidak bersikap apriori, SARA dan berperilaku negatif terhadap orang atau kelompok lain. Atau dengan cara sharing penghayatan agama sesuai pengalaman spiritual yang dijalai secara terbuka. Dengan begitu akan terhindar dari informasi yang salah mengenai agama lain.29 Dalam cakupan pergaulan dengan bermacam-macam ideologi dan pandangan dunia, pendidikan agama menjadi agen yang akan mempersiapkan peserta didik untuk memasuki dialog tentang prinsip-prinsip kehidupannya sendiri secara terbuka. Karena dari dialog itu cita-cita masyarakat masa depan yang setia terhadap keyakinannya sendiri dan menghormati keterikatan manusia lain pada keyakinannya semakin terbuka. Penghargaan atas manusia lain dalam budaya, keyakinan serta pandangan dunianya menjadikan orang tidak bersikap radikal dan ideologis. Karena itu, kurikulum pendidikan agama juga harus bisa memberikan jaminan bagi terselenggaranya dialog, dengan menyajikan berbagai kearifan masing-masing ajaran dan pengalaman relijius masing-masing individu.
29
Ibid.
1. Nilai-nilai Toleransi dalam Pendidikan Islam Dilihat dari tujuan yang menciptakan pribadi-pribadi yang selalu bertaqwa dan mengabdi kepada-Nya, tujuan dari Pendidikan Islam bukan saja melahirkan manusia yang beriman saja, tetapi juga mampu merealisasikan keimanannya dalam bentuk kegiatan yang nyata, yakni menjalin hubungan yang baik dengan Tuhan dan sesama manusia dalam bentuk kerja sama dan karya positif, kreatif, kritis, terbuka, mandiri, bebas dan bertanggung jawab dalam rangka mencari ridha Allah SWT. Dalam hal ini Islam mengakui adanya masyarakat majemuk yang diciptakan oleh Allah SWT dengan keanekaragaman perbedaan, baik agama, suku, bangsa, sesuai dengan firman Allah SWT :
ﻳﺄﻳﻬﺎ اﻠﻧﺎ س إﻧﺎ ﺧﻠﻗﻧآﻢ ﻣن ذ آر و ا ﻧﺜﻰ و ﺠﻌﻠﻧآﻢ ﺷﻌوﺑﺎ و ﻗﺑﺎ ﺋﻞ ﻠﺗﻌﺮﻓوا إن ا ﻜﺮﻣﻜﻢ ﻋﻧﺪ اﷲ ا ﺗﻗﻜﻢ إن اﷲ ﻋﻟﻳﻢ ﺧﺒﻳر ﴾١٣ : ﴿ا ﻟﺣﺠرا ت "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang lakilaki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal." (Q.S Al-Hujurat : 13) Ayat tersebut
merupakan pencegahan bagi
mereka yang
membanggakan nasab, mengunggul-unggulkan harta dan menghina kepada orang-orang fakir, padahal semua manusia bersaudara dalam nasab. Karena menurut Islam tidak ada kelebihan antara seorang Arab dan bukan Arab. Dan Allah menjadikan manusia bersuku-suku, berbangsabangsa, perempuan dan laki-laki supaya saling mengenal, bukan saling mengejek, mengolok-olok dan menyebabkan saling mengingkari. Karena sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah dan yang paling
tinggi kedudukannya di dunia dan di akhirat adalah yang paling bertaqwa.30 Ayat ini setidaknya mengandung tiga rinsip utama berkaitan dengan hidup dalam keragaman dan perbedaan, yaitu:31 a. Prinsip plural is usual Yakni,
kepercayaan
dan
praktek
kehidupan
bersama
yang
menandaskan kemajemukan sebagai sesuatu yang lumrah dan tidak perlu diperdebatkan apalagi dipertentangkan. b. Prinsip equal is usual Ayat tersebut merupakan normatifitas bagi kesadaran baru bagi manusia mengenai realitas dunia yang plural. Kesadaran ini bukan hanya karena manusia telah mampu melihat jumlah etnis dan bangsa yang sangat bergamdi dunia ini. Namun kesadaran itu telah mengalami perkembangan sesuai dengan episteme zamannya. c. Prinsip sahaja dalam keragaman (modesty in diversity). Bersikap
dewasa
dalam
merespon
keragaman
menghendaki
kebersahajaan; yakni sikap moderat yang menjamin kearifan berpikir (open mind) dan bertindak; jauh dari fanatisme yang sering melegitimasi penggunaan instrumen kekerasan dan membenarkan dirty hands (tangan berlumuran darah dan air mata orang tak berdosa) untuk mencapai tujuan apapun; mendialogkan berbagai pandangan keagamaan dan kultural tanpa diiringi tindakan pemaksaan. Salah satu dimensi dari tujuan Pendidikan Islam adalah perbedaan individu, walaupun ada persamaannya tetapi dalam kenyataannya menunjukkan bahwa manusia sebagai individu secara fitrah memiliki perbedaan. Selain itu perbedaan tersebut juga terdapat kadar kemampuan
30
Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi Juz XXV, Terj. Anshori Umar Sitanggal, (Semarang: PT. Kaya Toha Putra, 1993), cet II, hlm. 236-237. 31 Zakiyuddin Baidhawy, Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2002), hlm. 49-52.
yang dimiliki masing-masing individu. Jadi secara fitrah, manusia memiliki perbedaan individu (individual differential) yang unik.32 Sehubungan dengan itu, maka tujuan pendidikan diarahkan pada usaha membimbing dan mengembangkan potensi anak didik secara optimal, dengan tidak mengabaikan adanya faktor perbedaan individu serta menyesuaikan pengembangannya dengan kadar kemampuan yang dimiliki masing-masing individu. Perbedaan individu inilah yang memunculkan sikap toleransi, karena adanya perbedaan individu tersebut maka manusia bisa mengambil hikmah dari perbedaan tersebut yaitu dengan menghargai perbedaan dan mampu bekerja sama dengan orang lain yang berbeda karakter, sikap, aliran, suku, agama, dan lain-lain. Jadi toleransi dalam Pendidikan Islam adalah bagaimana seorang guru mampu berperan diantara para siswa yang berbeda dan mengakomodasikannya sehingga diantara para siswa tersebut mampu saling menghargai, menghormati, toleran dan mampu bekerja sama. Ini merupakan indikasi adanya nilai-nilai toleransi dalam Pendidikan Islam yang bertujuan sosial dalam aktualisasi diri manusia dengan masyarakat di sekitarnya. Hal-hal tersebut tidak hanya diterapkan dalam masalah pendidikan saja tetapi dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam masalah agama, Islam tidak memaksakan agama lain untuk mengikuti Islam/masuk Islam. Sesuai dengan firman Allah: (Q.S. Al-Baqarah: 256) Dalam
tafsir
Al-Mishbah,
Muhammad
Quraish
Shihab
menjelaskan, bahwa yang dimaksud dengan tidak ada paksaan dalam menganut agama dalah menganut akidahnya. Jadi berarti jika seseorang telah memiliki satu aqidah, maka orang tersebut terikat dengan tuntunantuntunan dan kewajiban melaksanakan perintah-perintah-Nya dan terancam sanksi bila melanggar ketetapan-Nya. Lebih lanjut Muhammad Quraish Shihab mengatakan, bahwa tidak ada paksaan dalam menganut 32
Jalaludin, Teologi Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), Cet 1, hlm. 95. Lihat pula Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), hlm. 96.
keyakinan agama, karena Allah menghendaki agar setiap orang, merasakan kedamaian. Agama-Nya dinamai Islam, yang berartidamai. Kedamaian tidak dapat diraih kalau jiwa tidak damai, karena itu tidak ada paksaan dalam menganut agama Islam. Oleh sebab itu seorang muslim dapat saja bertetangga dengan orang yang berbeda agama, bahkan dengan seorang yang atheis sekalipun, yang perlu dijaga adalah sikap menghormati satu sama lain dalam batasbatas keduniaan. Jadi Islam dapat menerima kebhinnekaan sebagai suatu kenyataan sosiologis adanya pluralisme agama dan budaya.33 Dilihat dari fakta historisnya pun Islam merupakan agama yang mengajarkan toleransi dan keadilan. Ini bisa dilihat pada masa Rasulullah ketika memimipin Madinah, yang berhasil membangun masyarakat yang toleran dan bersatu dari pluralisme, yaitu muslim Yahudi, dan penganut paganisme. Ini dikarenakan Nabi Muhammad SAW ketika membuat konstitusi (Piagam Madinah) tidak hanya memperhatikan masyarakat muslim, tapi juga memperhatikan kemaslahatan non muslim.34
2. Hakekat dan Fungsi Pendidikan Agama Pendidikan Islam pada hakikatnya merupakan proses transformasi ajaran dan nilai-nilai Islam dari satu generasi ke generasi berikutnya sehingga tercipta manusia yang beradab. Di samping itu pada dasarnya Pendidikan Agama Islam merupakan upaya menunaikan itba' Rasul dalam menyampaikan risalah Islamiyah. Dan tujuan utama risalah Islamiyah ialah untuk mewujudkan rahmatan lil alamîn. Dalam perspektif ini, salah satu aspek dalam tujuan Pendidikan Islam, sebagaimana telah dikutip Ibnu Hadjar dari penjelasan pasal 39 ayat 2 UU nomer 2 tahun 1989, adalah "is to improve their religiosity
33
Ahmad Syafi'I Ma'arif, Membumikan Islam, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1995, hlm. 77 Marzuki Wahid, Islam dan Pluralisme; Angan-angan Sosial Politik Demokratik Mutiara dari Piagam Madinah, dalam Jurnal Lektur, STAIN (Cirebon: Seri XVII, 2000), hlm. 524. Lihat pula Sidi Gazalba, Masyarakat Islam Pengantar Sosiologi dan Sosiografi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hlm. 136. 34
(faith and taqwa) and to develop religious toleran among people."35 Bagaimana implikasi dari cita-cita ideal tersebut dalam Pendidikan Agama Islam ? Sebagai suatu subyek pelajaran, Pendidikan Agama Islam mempunyai fungsi yang berbeda dari subyek pelajaran yang lain. Ia dapat memiliki fungsi yang bermacam-macam, sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai
oleh
masing-masing
lembaga
pendidikan.
Namun
yang
kebanyakan terjadi Pendidikan agama Islam yang berjalan selama ini masih lebih ditekankan pada teologi dialektis yang kering, dan pada bentuk-bentuk ritual dan fomal legalistik keagamaan semata.36 Berdasarkan hal di atas, untuk menghasilkan Pendidikan Agama Islam yang beorientasi pada pembentukan "sosok manusia" muslim yang diidealkan dan sekaligus memiliki sikap toleransi yang tinggi terhadap pemeluk agama lain. Maka, Pendidikan Agama, dalam hal ini Islam, dituntut untuk tidak hanya sekedar mengenakan agama sendiri, tapi juga sekaligu s memuat sejarah, dan geografis agama-agama lain, serta pengenalan terhadap upaya pemeluk agama lain dalam memahami ajaran agama mereka. Demikian pula, tulisan-tulisan yang bernada menghina secara stereotipikal terhadap penganut agama lain perlu mulai dihindari, dan diganti dengan bahasan obyektif mengenai nilai-nilai universal yang terdapat pada agama lain. Semua itu hendaknya diletakkan atas dasar inrinsik hampir semua agama.37 haruslah mengemban fungsi "Neo-confesional", yakni meskipun tujuan utama Pendidikan Agama Islam itu adalah untuk meningkatkan keberagamaan peserta didik sesuai dengan keyakinan agama Islam, akan tetapi juga memberikan kemungkinan keterbukaan untuk mempelajari dan mempermasalahkan ajaran agama lain. Dan pengenalan ajaran agama tersebut adalah dalam rangka memperkokoh agama sendiri atau 35
Ibnu Hadjar, Religious Education, Religiosity, and Prejudice Towards Religius Minority Among Muslim Student, dalam Ihya Ulum Al-Din, Vol. 2 Number 2, Desember 2000, hlm. 173. 36 Abd A'la, Op.Cit., hlm. 49. 37 Ibid., hlm. 51-52.
setidaknya hanya sekedar memahami keyakinan orang lain dalam rangka meningkatkan toleransi beragama. Selain itu, semua visi dan misi Pendidikan Agama Islam yang selama ini masih didominasi oleh asumsi dasar paradigma klasik skolastik38 perlu segera didekonstruksi. Artinya visi dan misi pendidikan agama yang masih diwarnai oleh keyakinan dan anggapan bahwa "keselamatan sosial" dan "keselamatan individual" amat ditentukan oleh dan tergantung pada "keselamatan individual" harus diubah. Sebab, logika, psikologi, sentimen, kepentingan fanatisme, komitmen kelompok sangat berbeda dengan komitmen individual. Dan cara penanganan kasuskasus yang dialaminya-pun sangat berbeda.39 Maka, orientasi tujuan pendidikan agama yang mengarah pada terimplementasinya konsep social-contract mutlak dilakukan. Sehingga, semua individu dan kelompok akan mempunyai platform, hak dan kewajiban yang sama, meskipun berbeda ras, suku, golongan, agama dan kepercayaan yang dianut. Dalam konteks bangsa Indonesia yang ber-Bhineka Tunggal Ika, maka
pengembangan
pendidikan
agama,
diharapkan
agar,
tidak
menumbuhkan semangat fanatisme buta; tidak menumbuhkan sikap intoleransi di kalangan peserta didik dan masyarakat Indonesia; dan tidak memperlemah kerukunan hidup beragama serta persatuan dan kesatuan nasional.40
38
Salah satu ciri pendidikan dan pengajaran agama di era klasik skolastik adalah sifatnya yang terlalu menenkankan keselamatan didasarkan pada kebaikan hubungan antara diri seorang individu dengan Tuhannya, kurang begitu memberi tekanan yang baik anatara diri "individu" dengan "individu-individu sesamanya", Lihat M. Amin Amdullah, Pendidikan Agama Era Multikultural Multireligius, (Jakarta: PSAP Muhammadiyah, 2005), Cet. I, hlm. 138. 39 Ibid., hlm. 139. 40 Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), Cet. I, hlm. 172.