BAB III
PROSPEK EKONOMI TAHUN 2004 Bab ini membahas prospek ekonomi Indonesia tahun 2004 dalam dua skenario, yaitu skenario dasar dan skenario dimana pemulihan ekonomi berjalan lebih lambat. Dalam skenario dasar perekonomian tahun 2004 diperkirakan tumbuh sekitar 4,5%. Resiko pertumbuhan ekonomi lebih lambat dapat timbul antara lain apabila terjadi gejolak politik dan keamanan yang dapat menurunkan rasa aman dan mempengaruhi kegiatan ekonomi masyarakat. Dalam kondisi tersebut perekonomian pada tahun 2004 diperkirakan hanya tumbuh sekitar 3%.
A. TANTANGAN DAN UPAYA POKOK TAHUN 2004 Meskipun secara umum stabilitas moneter dalam keseluruhan tahun 2003 tetap terkendali, tercermin dari relatif stabilnya rupiah dengan kecenderungan menguat; menurunnya laju inflasi dan suku bunga; serta meningkatnya cadangan devisa, tantangan pokok yang dihadapi oleh perekonomian Indonesia pada tahun 2004 masih cukup besar. Pertama adalah meningkatkan pertumbuhan ekonomi agar dapat menjaga kesinambungan pembangunan. Tantangan ini cukup berat mengingat kondisi sektor riil yang belum sepenuhnya pulih; ditandai dengan masih rendahnya investasi dan melemahnya kinerja ekspor non-migas. Sementara itu, sektor migas tidak dapat diandalkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dengan menipisnya cadangan dan eksplorasi minyak bumi di Indonesia. Investasi berupa pembentukan modal tetap bruto (PMTB) tahun 1999 – 2002 hanya tumbuh rata-rata sekitar 1,5% per tahun. Minat investasi, yang tercermin dari nilai persetujuan PMDN dan PMA, juga masih lemah kecuali tahun 2000 yang didorong oleh pertumbuhan ekonomi dunia yang sangat tinggi. Sejalan dengan itu, kenaikan penerimaan ekspor non-migas juga menunjukkan perlambatan. Nilai ekspor non-migas tahun 1999 – 2002 hanya tumbuh rata-rata sekitar 2,7% per tahun. Perkembangan ekspor tahun 1990 – 2002 dapat dilihat pada Grafik III.1. III -1
Grafik III.1. PERKEMBANGAN EKSPOR, 1990 - 2002 US$ Miliar
50 40 30 20 10 0
1990
1992
1994
1996
Migas
1998
2000
2002
Non-Migas
Rendahnya investasi dan melambatnya kinerja ekspor non-migas yang saling terkait ini mengakibatkan tertekannya pertumbuhan sektor industri. Dalam tahun 1999 – 2002, sektor industri non-migas hanya tumbuh rata-rata sekitar 5,0% per tahun; jauh di bawah sebelum krisis yaitu sekitar 11,5% per tahun (1991 – 1997). Pertumbuhan sektor industri tahun 1991 – 2002 dapat dilihat pada Grafik III.2. Grafik III.2. PERTUMBUHAN SEKTOR INDUSTRI 15 10 (%)
5 0 -5 -10 -15
1991 1993 kualitas 1995 1997 1999 2001 Kedua adalah meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Dengan jumlah Industri (Migas+Non-migas) Industri Non-migas pengangguran yang semakin bertambah, kualitas pertumbuhan perlu ditingkatkan agar kegiatan ekonomi yang terdorong dapat menciptakan lapangan kerja yang lebih besar dan mengurangi jumlah penduduk miskin.
Sejak krisis, jumlah lapangan kerja yang diciptakan oleh kegiatan ekonomi makin menurun. Dalam tahun 2000 – 2002, setiap 1% pertumbuhan ekonomi hanya mampu III -2
menciptakan lapangan kerja bagi 200 – 300 ribu orang; sedangkan dalam tahun 1996 untuk setiap 1% pertumbuhan ekonomi mampu diciptakan lapangan kerja bagi sekitar 400 – 500 ribu orang. Tantangan ini perlu dihadapi dengan serius. Berbagai faktor yang mendorong perubahan proses produksi dari padat tenaga kerja menjadi padat modal ini dapat dilihat pada Bab IV mengenai ketenagakerjaan. Penciptaan lapangan kerja per 1% pertumbuhan ekonomi tahun 1996, 2000 – 2002 dapat dilihat pada Grafik III.3. Grafik III.3 PENCIPTAAN LAPANGAN KERJA Ribu Orang
500 400 300 200 100 0
1996
2000
2001
2002
Per 1% Pertumbuhan Ekonomi
Dengan bertambahnya pengangguran terbuka, jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan meningkat dibandingkan sebelum krisis. Dalam tahun 2002, penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan berjumlah sekitar 38,4 juta jiwa (18,2%). Selanjutnya sampai dengan September 2003, upah riil buruh tani sebagai salah satu indikator kemiskinan juga menunjukkan perkembangan yang relatif stagnan. Perkembangan jumlah penduduk miskin tahun 1996 – 2002 dan upah riil buruh tani dapat dilihat pada Grafik III.4 dan Grafik III.5.
50
25
46
22
42
19
38
16
34
13
30
1996
1998
1999
2000
2001
2002
Juta Orang Persentase
III -3
10
Persentase (%)
Juta Orang
Grafik III.4. PENDUDUK MISKIN
(Jan 1996 = 100)
Grafik III.5. INDEKS UPAH RIIL BURUH TANI 110 100 90 80 70 60
Jan 96 Jan 97 Jan 98 Jan 99 Jan 00 Jan 01 Jan 02 Jan 03
Ketiga adalah menjaga stabilitas ekonomi berkaitan dengan diakhirinya program kerjasama dengan IMF pada akhir tahun 2003. Dengan tidak didapatkannya lagi fasilitas penjadwalan utang luar negeri, yang sebelumnya diperoleh dari Paris Club, akan dihadapi masalah pembiayaan pembangunan dan ketidakseimbangan eksternal yang pada gilirannya dapat mempengaruhi stabilitas moneter. Tantangan ini akan menjadi semakin berat dengan kemungkinan adanya policy reversal dari negara-negara industri maju dari kebijakan moneter yang longgar kepada kebijakan moneter yang lebih ketat. Untuk menghadapi tantangan-tantangan pokok tersebut di atas perlu ditempuh upayaupaya pokok sebagai berikut. Pertama, meningkatkan iklim investasi yang mampu menarik penanaman modal baik dalam negeri maupun luar negeri. Berbagai faktor pokok yang selama ini menghambat investasi antara lain prosedur perijinan yang panjang dan berbelit, ketidakpastian hukum, tumpang tindih kebijakan antara pusat dan daerah serta antar sektor, iklim ketenagakerjaan yang belum kondusif, administrasi perpajakan dan kepabeanan yang berbelit, perlu ditangani dengan segera. Pembenahan sektor riil ini semakin penting mengingat rupiah mengalami apresiasi riil relatif dibandingkan dengan mata uang negara-negara tetangga. Kedua, mendorong ekspor non-migas melalui peningkatan daya saing dan diversifikasi pasar komoditi ekspor. Peningkatan daya saing dalam jangka pendek dan menengah III -4
dilakukan dengan mengurangi berbagai kendala yang menghambat arus barang dan jasa, termasuk peraturan-peraturan daerah yang menghambat, serta dengan menyederhanakan prosedur kepabeanan. Diversifikasi pasar komoditi ekspor perlu diperluas dengan mencari pasar baru di luar negara-negara industri maju terutama di negara-negara Asia sebagai kawasan yang tumbuh paling pesat dalam tiga puluh tahun terakhir ini. Dalam jangka menengah peningkatan daya saing perlu didorong oleh penerapan teknologi yang tepat dan mampu meningkatkan nilai tambah bagi komoditi ekspor nasional (lihat Bab IV tentang Ekspor Non-Migas). Ketiga, mengembangkan insentif yang tepat dalam menarik investasi dan mendorong ekspor. Selain melalui penyederhanaan perpajakan, tarif dan insentif perpajakan perlu ditinjau agar mampu bersaing dengan negara-negara lain untuk menarik investasi. Disamping itu zona-zona ekonomi khusus dan kebijakan spasial perlu dikembangkan dalam rangka mendorong kawasan-kawasan strategis dan cepat tumbuh agar tidak saja memberi manfaat bagi penguatan ekonomi nasional tetapi juga memberi peningkatan bagi kesejahteraan masyarakat di daerah (lihat Bab IV tentang Investasi). Keempat, mendorong fungsi intermediasi perbankan agar secepatnya pulih. Meskipun penyaluran kredit oleh perbankan kepada masyarakat meningkat, namun dibandingkan dengan dana yang dihimpun oleh perbankan, penyalurannya relatif masih rendah. Sampai dengan Agustus 2003, loan-to-deposit ratio (LDR) baru mencapai 41,1% dengan penyaluran yang lebih cepat pada kredit konsumsi, jauh lebih rendah dibandingkan dengan sebelum krisis yaitu sekitar 70 – 80%. Selanjutnya sampai akhir tahun 2002, rasio kredit terhadap PDB baru mencapai 22,7%, jauh dibandingkan dengan sebelum krisis yaitu sekitar 60,2% pada tahun 1997. Rasio kredit terhadap PDB dapat dilihat pada Grafik III.6. Grafik III.6. RASIO KREDIT TERHADAP PDB 70 60 50
%
40 30 20 10 0
1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002
III -5
Dalam kaitan itu, upaya untuk mendorong penyaluran kredit perbankan perlu ditingkatkan antara lain dengan mendorong lebih lanjut penurunan suku bunga pinjaman yang saat ini penurunannya relatif lebih lambat dibandingkan dengan suku bunga deposito serta melakukan pembenahan di sektor riil untuk memperkecil resiko penyaluran kredit. Kelima, meningkatkan ketahanan fiskal untuk menutup financing gap yang timbul sebagai akibat tidak didapatkannya lagi fasilitas penjadwalan utang luar negeri yang sebelumnya diperoleh melalui Paris Club. Ketahanan fiskal tersebut perlu didukung oleh stabilitas moneter dan keseimbangan eksternal melalui koordinasi kebijakan fiskal, moneter, dan sektor riil yang makin terpadu tanpa mengorbankan momentum pertumbuhan yang sudah ada. Keenam, menjaga stabilitas moneter dan ketahanan sektor keuangan berkaitan dengan kemungkinan kebijakan berbalik (policy reversal) dari negara-negara industri yang saat ini menjalankan kebijakan moneter yang relatif longgar kepada kebijakan moneter yang lebih ketat. Policy reversal ini dapat mengakibatkan arus modal, terutama jangka pendek, yang masuk ke Indonesia ke luar kembali. Selain arus modal yang sifatnya jangka panjang perlu segera didorong masuk untuk mengamankan neraca pembayaran, mekanisme dari Indonesia Financial Safety Net yang mengkoordinasikan otoritas kebijakan moneter, otoritas kebijakan fiskal, otoritas pengawasan lembaga keuangan dan pasar modal, serta otoritas lembaga penjamin simpanan perlu segera dijabarkan agar meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap kemampuan Indonesia dalam menangani gejolak moneter yang mungkin timbul. Ketujuh, meningkatkan kualitas pertumbuhan yang mampu mengurangi beban pengangguran dan jumlah penduduk miskin. Kebijakan ketenagakerjaan perlu menekankan pada 3 (tiga) upaya pokok, yaitu mengendalikan kenaikan UMP agar tidak terlalu tinggi dibandingkan dengan laju inflasi; memastikan agar biaya-biaya non-UMP mengarah pada peningkatan produktivitas tenaga kerja; serta meningkatkan perlindungan TKI di luar negeri. Selain melalui penciptaan lapangan kerja, upaya mengurangi jumlah penduduk miskin perlu didorong dengan peningkatan efektivitas dalam pelaksanaan program-program pengentasan kemiskinan, termasuk program pemberdayaan masyarakat miskin, serta dengan
III -6
pelibatan secara aktif pemerintah daerah untuk mengurangi jumlah penduduk miskin di daerahnya. Upaya-upaya pokok tersebut membutuhkan stabilitas politik dan keamanan serta kepastian hukum yang memadai agar dapat memelihara kepercayaan konsumen dalam pelaksanaan pemilihan umum yang harus diupayakan berjalan secara tertib dan aman.
B. LINGKUNGAN GLOBAL DAN DOMESTIK Prospek perekonomian nasional tahun 2004 tidak terlepas dari perkembangan ekonomi dunia, terutama negara-negara mitra dagang. Meskipun perang terbuka AS – Irak selesai lebih cepat dari perkiraan, stabilitas di kawasan Timur Tengah belum tercipta dengan meningkatnya perlawanan rakyat Irak dan memanasnya ketegangan politik di Timur Tengah. Hingga triwulan II/2003, perekonomian dunia belum membaik. Pertumbuhan sektor industri dan perdagangan dunia melambat akibat berlanjutnya ketidakpastian politik dunia serta dampak dari virus sindrom pernapasan akut (Severe Acute Respiratory Syndrome/SARS) khususnya di kawasan Asia. Memasuki triwulan III/2003, terdapat tanda-tanda pulihnya perekonomian dunia. Perekonomian AS tumbuh 7,2%, tertinggi sejak tahun tahun 1984. Ini diperkuat dengan perkembangan beberapa leading indicators yang mencerminkan membaiknya kepercayaan masyarakat dan dunia usaha antara lain dengan membaiknya kinerja pasar modal khususnya di AS, serta meningkatnya investasi termasuk di Jepang dan negara-negara emerging Asia. Prospek membaiknya perekonomian dunia tersebut didorong oleh kebijakan ekonomi makro relatif longgar yang dimungkinkan oleh rendahnya inflasi dengan kemungkinan pemberian stimulus ekonomi di AS, negara industri lainnya, dan negara-negara emerging market; serta meningkatnya investasi seiring dengan membaiknya kepercayaan masyarakat dan dunia usaha. Sejalan dengan meningkatnya ekspektasi terhadap pemulihan ekonomi dunia, suku bunga di negara-negara maju diperkirakan akan sedikit meningkat namun masih menarik bagi kegiatan investasi. Kombinasi melimpahnya likuiditas, kebijakan moneter yang longgar, serta terbentuknya ekspektasi bahwa kebijakan suku bunga rendah akan berlangsung cukup lama diperkirakan mendorong suku bunga relatif tetap rendah dalam tahun 2004. III -7
Kemungkinan meningkatnya suku bunga di negara-negara industri maju akan mempengaruhi arus masuk modal swasta termasuk ke kawasan Asia. Arus masuk modal swasta (neto) ke kawasan Asia diperkirakan turun dari US$ 62,4 miliar pada tahun 2003 menjadi US$ 13,7 miliar pada tahun 2004. Pada tahun 2004, perekonomian dunia diperkirakan tumbuh lebih tinggi yaitu sekitar 4,1% dari tahun 2003 yaitu sekitar 3,2%. Perekonomian negara industri maju diperkirakan tumbuh 2,9% dengan perekonomian AS dan Jepang, sebagai mitra dagang utama Indonesia, yang diperkirakan tumbuh masing-masing sekitar 3,9% dan 1,4%. Pertumbuhan ekonomi dunia yang lebih tinggi akan meningkatkan volume perdagangan dunia. Permintaan impor negara-negara industri maju pada tahun 2004 diperkirakan meningkat sekitar 4,8% termasuk dari negara-negara berkembang. Sejalan dengan itu, ekspor negara berkembang meningkat 6,9% pada tahun 2004. Secara keseluruhan volume perdagangan dunia diperkirakan meningkat menjadi 5,5% pada tahun 2004 atau lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya yaitu 2,9%. Membaiknya volume perdagangan dunia pada tahun 2004 akan meningkatkan harga komoditi non-migas di pasar internasional sekitar 2,4%. Sedangkan harga ekspor minyak mentah diperkirakan menurun menjadi US$ 25,5/barel tahun 2004 atau lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya yaitu US$ 28,5/barel. Turunnya harga minyak didorong oleh mulai pulihnya produksi minyak di Irak. Berbagai perkembangan di atas diperkirakan akan mendorong kinerja ekspor nasional yang selanjutnya akan mempercepat proses pemulihan ekonomi. Sementara itu lingkungan domestik tahun 2004 akan dipengaruhi oleh dua peristiwa penting yaitu (a) pelaksanaan pemilihan umum yang akan memilih anggota DPR serta Presiden dan Wakil Presiden secara langsung serta (b) dimulainya pembangunan pasca program kerjasama dengan International Monetary Fund (IMF). Agar proses pemulihan ekonomi tahun 2004 berlangsung lebih baik, pelaksanaan pemilihan umum perlu diupayakan berjalan secara demokratis, aman, dan tertib. Dengan
III -8
stabilitas politik dan keamanan yang terkendali, akan tercipta lingkungan domestik yang kondusif bagi pelaksanaan ketujuh upaya pokok tersebut di atas.1 Pelaksanaan ketujuh upaya pokok tersebut di atas dalam lingkungan eksternal dan domestik sebagaimana yang diuraikan di atas diperkirakan akan menghasilkan besaranbesaran ekonomi makro sebagai berikut. NILAI TUKAR RUPIAH DIPERKIRAKAN SEKITAR RP 8.600 PER DOLLAR AS. Dengan terpeliharanya stabilitas politik dan keamanan, kurs rupiah ditentukan fundamental ekonomi yaitu oleh daya saing atau produktivitas nasional. Masih cukup besarnya cadangan devisa setelah dikurangi kewajiban pembayaran utang IMF diperkirakan dapat mempertahankan kepercayaan masyarakat terhadap rupiah. Pada tahun 2004, rupiah diperkirakan sekitar Rp 8.600,- per dollar AS. Kurs rupiah akan berpengaruh terhadap daya saing ekspor. Dibandingkan dengan negara-negara tetangga, nilai tukar rupiah tersebut relatif sedikit mengalami apreasiasi riil. Pada bulan Juni 2003, kurs rupiah menguat sehingga depresiasi riil menurun menjadi sekitar 36,1% (1997:01 = 100); sedangkan Malaysia dan Thailand masih mengalami depresiasi riil sekitar 41 – 46%. Menguatnya rupiah relatif terhadap mata uang negara-negara tetangga menuntut pembenahan-pembenahan lebih lanjut di sektor riil yang mampu meningkatkan daya saing ekspor nasional. Perkembangan nilai tukar riil mata uang negara-negara tetangga dapat dilihat pada Grafik III.7.
(1997:01 = 100)
Grafik III.7. DEPRESIASI RIIL MATA UANG 70 60 50 40 30
Sebagian dari ketujuh upaya pokok di atas, yang sifatnya jangka pendek, tercantum dalam Inpres 20 No. 5/2003 tentang Paket Kebijakan Ekonomi Menjelang dan Sesudah Berakhirnya Program 1999M1 berisi2000M1 2002M01 Letter 2003M01 Kerjasama dengan IMF10yang rencana t2001M1 indak pengganti of Intent (LOI), mencakup program stabilisasi ekonomi Ringgit makro, (Malaysia) program restrukturisasi dan(Korsel) reformasi sektor keuangan, serta Bath (Thailand)Won program peningkatan investasi, ekspor dan penciptaan lapangan kerja. 1
III -9
LAJU INFLASI DIPERKIRAKAN SEKITAR 6,5%. Pelaksanaan kebijakan moneter yang berhati-hati dan terjaminnya pasokan dan distribusi barang dan jasa diperkirakan mampu mengendalikan laju inflasi. Pada tahun 2004, laju inflasi diperkirakan 6,5%. SUKU BUNGA SBI 3 BULAN DIPERKIRAKAN TURUN MENJADI SEKITAR 8,5%. Kemungkinan masih rendahnya suku bunga internasional, kecenderungan laju inflasi yang relatif rendah, dan menurunnya premi resiko memberikan ruang gerak bagi penurunan suku bunga. Dengan laju inflasi sekitar 6,5% dan suku bunga riil sekitar 2%, suku bunga SBI 3 bulan dalam tahun 2004 diperkirakan sekitar 8,5%. HARGA EKSPOR MINYAK MENTAH NASIONAL DIPERKIRAKAN TURUN MENJADI SEKITAR US$ 22 PER BAREL. Meningkatnya pasokan minyak dunia antara lain didorong oleh pulihnya produksi minyak Irak akan menurunkan harga minyak mentah. Dengan kecenderungan ini, harga ekspor minyak mentah Indonesia di pasar internasional pada tahun 2004 diperkirakan menurun menjadi US$ 22,0/barel, lebih rendah dibandingkan tahun 2003 sekitar US$ 27,9/barel. Beberapa besaran pokok yang mendasari prediksi perekonomian tahun 2004 dapat dapat dilihat pada Tabel III.1 Tabel III.1 BESARAN-BESARAN POKOK (% Perubahan) 2001 2002 EKSTERNAL Pertumbuhan Ekonomi Dunia Negara Industri Maju Negara Emerging Asia Volume Perdagangan Dunia Impor Negara Industri Maju
2,4 1,0 5,8 0,1 -1,0
III -10
3,0 1,8 6,4 3,2 2,2
2003
2004
3,2 1,8 6,4 2,9 2,8
4,1 2,9 6,5 5,5 4,8
Ekspor Negara Berkembang Inflasi Negara industri maju Negara Berkembang Harga Komoditi Non Migas LIBOR (6 bulan,%)
2,7
6,5
4,3
6,9
2,2 5,8 -4,0 3,7
1,5 5,3 0,6 1,9
1,8 5,9 5,0 1,3
1,3 4,9 2,4 2,0
DOMESTIK Nilai Tukar rupiah (Rp/US$) 10.241 9.375 8.500 8.600 Laju Inflasi 12,5 10,0 5,1 6,5 Harga Ekspor Minyak Mentah 24,6 23,7 27,9 22,0 Suku Bunga SBI 3 Bulan (%) 16,4 15,5 10,1 8,5 Sumber: World Economic Outlook, IMF, Sept. 2003 (asumsi eksternal); Bappenas (asumsi Domestik)
C. PROYEKSI EKONOMI TAHUN 2004 1. PERTUMBUHAN EKONOMI Dengan kondisi politik dan keamanan yang harus diupayakan stabil dalam tahun pelaksanaan pemilu, perekonomian dalam tahun 2004 diperkirakan mampu tumbuh 4,5%, lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya yang diperkirakan sekitar 3,9%. Siklus politik lima tahunan tersebut akan mendorong konsumsi masyarakat sebagai salah satu penggerak ekonomi dengan pertumbuhan sekitar 5,1%; sedangkan pembentukan modal tetap bruto diperkirakan tumbuh sebesar 3,8%. Sejalan dengan membaiknya perekonomian dunia, ekspor barang dan jasa diperkirakan tumbuh 4,7%. Sementara itu, meningkatnya investasi yang diperkirakan terjadi pada semester II/2004 akan meningkatkan impor barang dan jasa sekitar 7,5%. Dari sisi produksi, sektor pertanian diperkirakan tumbuh 2,1% pada tahun 2004 atau lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya dengan perkiraan adanya keterlambatan musim hujan. Adapun industri pengolahan non-migas diperkirakan mampu tumbuh 5,5% didorong oleh perbaikan iklim investasi dan meningkatnya ekspor non-migas. Sementara itu, sektor-sektor lain diperkirakan tumbuh 4,9%, relatif sama dengan tahun sebelumnya.
III -11
Grafik III.8. PROYEKSI EKONOMI TAHUN 2004 10
30
8
20
6
10
4
0
2
-10
0
-20 2000:1
2001:1
Investasi
2002:1 2003:1
Konsumsi RT
Pertumbuhan Investasi (%
Pertumbuhan PDB, Konsumsi RT
Dengan jumlah penduduk sekitar 218,2 juta orang pada tahun 2004, pendapatan rill per kapita dalam harga konstan tahun 1998 diperkirakan sama dengan tingkat sebelum krisis (tahun 1996). Gambaran ekonomi makro, perkiraan struktur ekonomi, dan proyeksi ekonomi triwulanan tahun 2004 dapat dilihat pada Tabel III.2, Tabel III.3, serta Grafik III.8.
2004:1
PDB
2. NERACA PEMBAYARAN Pada tahun 2004 diperkirakan terjadi penurunan surplus neraca transaksi berjalan menjadi 1,8% PDB dari 3,4% PDB tahun sebelumnya. Kinerja ekspor non-migas diperkirakan membaik yaitu tumbuh 5,5% dengan membaiknya perekonomian dunia serta didorong oleh berbagai langkah kebijakan termasuk penyederhanaan kepabeanan. Namun meningkatnya ekspor non-migas tersebut tidak dapat mengimbangi menurunnya penerimaan ekspor migas karena menurunnya harga ekspor minyak mentah, serta meningkatnya kebutuhan impor barang dan jasa seiring dengan meningkatnya investasi. Dengan tidak adanya fasilitas penjadwalan pembayaran utang luar negeri, defisit neraca arus modal diperkirakan meningkat menjadi US$ 5,1 miliar pada tahun 2004 dari defisit sekitar US$ 1,7 miliar pada tahun 2003. Meningkatnya defisit neraca modal tersebut terutama didorong oleh meningkatnya pembayaran pokok utang PMA sehingga arus modal PMA (neto) pada tahun 2004 diperkirakan defisit sekitar US$ 3,4 miliar. Untuk menjaga keseimbangan neraca pembayaran, efektivitas pengelolaan utang luar negeri pemerintah
III -12
ditingkatkan sehingga penarikan pinjaman pada tahun 2004 meningkat menjadi US$ 3,5 miliar dari US$ 2,5 miliar pada tahun 2003. Dengan perkembangan tersebut, dalam tahun 2004 diperkirakan terjadi defisit neraca pembayaran sebesar US$ 1,8 miliar. Sejalan dengan meningkatnya kewajiban membayar pinjaman IMF, cadangan devisa diperkirakan turun dari US$ 35,2 miliar pada akhir tahun 2003 menjadi US$ 33,4 miliar pada akhir tahun 2004. Jumlah cadangan devisa tersebut diperkirakan cukup untuk membiayai 7,0 bulan impor (tidak termasuk pembayaran utang pemerintah). Perkiraan neraca pembayaran tahun 2004 dapat dilihat pada Tabel III.4.
3. MONETER Stabilitas politik dan keamanan diperlukan pada tahun 2004 untuk meningkatkan efektivitas kebijakan moneter. Kebijakan moneter dalam tahun 2004 perlu memberi ruang gerak bagi pemulihan sektor riil untuk mengimbangi dorongan dari kebijakan fiskal yang menurun berkaitan dengan upaya untuk menurunkan defisit APBN dan stok utang pemerintah serta tidak didapatkannya lagi fasilitas penjadwalan utang melalui Paris Club. Melalui berbagai kombinasi instrumen antara lain operasi pasar terbuka (OPT), sterilisasi valuta asing, dan intervensi rupiah, jumlah uang beredar diharapkan tidak terlalu ketat tanpa mengabaikan pencapaian sasaran laju inflasi. Dalam kondisi politik dan keamanan yang diupayakan tetap stabil, jumlah uang primer dapat dikendalikan dengan pertumbuhan sekitar 11 – 12%. Dengan stabilnya nilai tukar dan terjaminnya pasokan dan distribusi barang laju inflasi pada tahun 2004 diperkirakan sekitar 6,5%. Terjaganya stabilitas politik dan keamanan serta meningkatnya kepastian hukum diperkirakan akan menurunkan premi resiko. Dengan terkendalinya laju inflasi serta masih rendahnya suku bunga internasional tersedia ruang gerak untuk menurunkan suku bunga. Dalam tahun 2004, suku bunga SBI 3 bulan diperkirakan sekitar 8,5%.
4. KEUANGAN NEGARA Kebijakan fiskal tahun 2004 dilaksanakan secara konsisten untuk mewujudkan ketahanan fiskal yang berkelanjutan (fiscal sustainability). Stabilitas moneter yang relatif terjaga dengan baik akan memberikan sumbangan cukup besar bagi terciptanya ketahanan fiskal
III -13
yang berkelanjutan. Stabilitas nilai tukar serta suku bunga dan tingkat inflasi yang rendah akan mengurangi beban pengeluaran negara. Sejalan dengan upaya menurunkan defisit anggaran secara bertahap, defisit tahun anggaran 2004 diperkirakan sekitar 1,2% PDB, lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya yaitu sekitar 2,0% PDB. Defisit anggaran akan dibiayai terutama dari dalam negeri yaitu dengan memanfaatkan dana pemerintah yang ada di Bank Indonesia, penjualan sisa aset BPPN, dan privatisasi BUMN. Sejalan dengan upaya untuk mengurangi stok utang luar negeri, pembiayaan luar negeri bersih diperkirakan negatif 0,8% PDB. Dalam rangka pengelolaan pinjaman dalam negeri, pelaksanaan program refinancing dan buy back perlu dilanjutkan. Untuk menghindari gejolak politik pada masa pelaksanaan pemilihan umum, pemerintah tidak menaikkan harga BBM. Dengan terbatasnya anggaran, perlu terus dilakukan upaya meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengalokasian anggaran. Pengeluaran pembangunan diprioritaskan pada kegiatan yang mendesak, berdampak luas, serta mebuka kesempatan kerja yang luas. Perkiraan anggaran pendapatan dan belanja negara tahun 2004 dapat dilihat III.5. Adapun pendapatan negara terus diupayakan meningkat khususnya pajak dengan tetap mempertimbangkan dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi. Peningkatan pendapatan pajak dilakukan melalui reformasi perpajakan yang mencakup perbaikan administrasi perpajakan. Penerimaan pajak sebagai rasio PDB diperkirakan menjadi 13,6% pada tahun 2004.
D. KONSEKUENSI PERTUMBUHAN EKONOMI 4,5 % Pertumbuhan ekonomi 4,5% pada tahun 2004 belum cukup memadai untuk memecahkan masalah-masalah sosial mendasar. Dengan pertumbuhan tersebut diperkirakan hanya tercipta lapangan kerja baru bagi 1,4 juta orang, lebih rendah dibandingkan tambahan angkatan kerja yaitu 2,0 juta orang. Dengan demikian, jumlah penganggur terbuka pada tahun 2004 diperkirakan bertambah sekitar 0,7 juta orang, menjadi 10,8 juta orang.
III -14
Dalam kaitan itu, pemerintah perlu meninjau berbagai kebijakan di bidang ketenagakerjaan guna mendorong penciptaan lapangan kerja yang lebih luas. Pertumbuhan ekonomi yang rendah dalam jangka yang cukup panjang juga akan mempengaruhi ketahanan fiskal karena perekonomian menjadi kurang mampu untuk mengurangi beban pembangunan termasuk pembayaran utang.
E. RESIKO KEGAGALAN PEMULIHAN EKONOMI Terdapat kemungkinan pertumbuhan ekonomi tahun 2004 lebih rendah dari 4,5%. Faktor-faktor yang berpotensi memperlambat pertumbuhan ekonomi antara lain: (a) meningkatnya ketidakstabilan politik dan keamanan di dalam negeri terkait dengan pelaksanaan pemilu tahun 2004; (b) tidak dilaksanakannya kebijakan makro yang cukup hatihati khususnya pengelolaan defisit anggaran; serta (c) melambatnya proses pemulihan ekonomi dunia. Berbagai faktor di atas dapat menyebabkan volatilitas nilai tukar rupiah meningkat pada kisaran Rp 9.000,- hingga Rp 10.000,- per dollar AS, laju inflasi antara 8 hingga 10%, suku bunga SBI 3 bulan antara 10 hingga 12%; serta pertumbuhan ekonomi melambat menjadi 3%.
III -15