BAB II PROSPEK EKONOMI TAHUN 2006 Prospek ekonomi tahun 2006 diperkirakan lebih baik dari tahun 2005 meskipun tekanan eksternal masih cukup berat berupa harga minyak dunia yang diperkirakan masih tinggi dan siklus pengetatan moneter di AS yang masih berlanjut. Stabilitas ekonomi diperkirakan akan membaik dengan nilai tukar yang relatif stabil, laju inflasi yang terkendali, serta suku bunga yang menurun. Pertumbuhan ekonomi diupayakan mencapai 6,1 persen dalam tahun 2006 dengan mendorong pertumbuhan ekonomi sejak awal tahun 2006 melalui pemanfaatan pengeluaran pemerintah sejak awal tahun 2006 serta peningkatan investasi dan penguatan daya beli masyarakat. Penguatan daya beli masyarakat dan peningkatan investasi yang lambat dapat menghambat pencapaian sasaran pertumbuhan ekonomi menjadi sekitar 5,7 persen. A. TANTANGAN DAN UPAYA POKOK Meskipun pertumbuhan ekonomi tahun 2005 diperkirakan lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2004, tantangan pokok yang dihadapi oleh perekonomian Indonesia pada tahun 2006 masih besar. Pertama adalah meningkatkan stabilitas ekonomi terutama dalam menjaga stabilitas harga dan nilai tukar rupiah. Tantangan ini cukup berat dengan masih besarnya tekanan eksternal terutama harga minyak dunia yang diperkirakan masih tinggi dan kemungkinan berlanjutnya siklus pengetatan moneter di negara-negara maju yang diperkirakan masih berlangsung paling tidak sampai dengan semester I/2006. Sementara itu ekspektasi masyarakat terhadap inflasi masih tinggi berkaitan dengan rencana penyesuaian harga barang dan jasa yang dikendalikan oleh pemerintah (administered price) serta kenaikan gaji dan upah yang diberlakukan awal tahun 2006. Kedua adalah meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Sejak triwulan I/2005 hingga triwulan III/2005, pertumbuhan ekonomi cenderung melambat. Perlambatan ini antara lain disebabkan oleh permintaan domestik yang melemah, tercermin dari menurunnya kepercayaan konsumen, terbatasnya ekspansi fiskal, dan meningkatnya suku bunga di dalam negeri. Tanpa adanya upaya yang sungguh-sungguh untuk mendorong permintaan domestik, perlambatan ekonomi dapat berlanjut. Survai yang dilakukan oleh Bank Indonesia (BI) dan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan keyakinan konsumen yang cenderung melemah. Sampai bulan November 2005, indeks keyakinan konsumen yang dikumpulkan oleh BI hanya mencapai 80,3. Indeks di bawah 100 menunjukkan pesimisme responden dilihat dari tingkat harapannya saat ini dan mendatang. Direktorat Perencanaan Makro Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas
II−1
Minat investasi, yang tercermin dari nilai persetujuan PMDN dan PMA belum menunjukkan kenaikan pada tingkat yang memadai. Dalam tahun 2005, nilai persetujuan PMDN dan PMA meningkat sebesar 14,7 persen dan 30,4 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2004. Meskipun meningkat, secara nominal tingkatnya masih lebih rendah dibandingkan nilai persetujuan investasi tahun 2000 dan 2001. Lebih lanjut, indeks tendensi bisnis yang dikumpulkan oleh BPS juga menunjukkan kecenderungan yang menurun. Untuk triwulan IV/2005, indeks tendensi bisnis mencapai 98,6, turun dibandingkan triwulan III/2005 (105,7). Seperti indeks keyakinan konsumen, indeks tendensi bisnis di bawah 100 menunjukkan pesimisme pelaku usaha. Dalam tiga triwulan pertama tahun 2005, pengeluaran pemerintah dalam pendapatan nasional secara riil hanya meningkat sebesar 0,6 persen. Sejak triwulan III/2004, pengeluaran pemerintah bersifat mengurang terhadap pertumbuhan ekonomi dengan pengurangan terbesar pada triwulan I dan II/2005. Sumbangan pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi sejak triwulan I/2003 dapat dilihat pada Grafik II.1. Grafik II.1.
SUMBANGAN PENGELUARAN PEMERINTAH 8 6
%
4 2 0 -2
2003:1
2003:3
2004:1
Pertumbuhan Ekonomi
2004:3
2005:1
2005:3
Andil Pengeluaran Pemerintah
Disamping permintaan domestik yang melemah pada tahun 2005, perekonomian nasional dalam tahun 2006 juga dihadapkan pada permintaan eksternal yang relatif stagnan. Dalam tahun 2006, perekonomian dunia diperkirakan hanya tumbuh 4,3 persen. Meskipun tingkat pertumbuhan ini relatif sama dengan tahun 2005; namun lebih rendah dibandingkan tahun 2004 (5,1 persen). Selanjutnya harga komoditi ekspor non-migas pada tahun 2006 juga diperkirakan menurun. Ketiga adalah meningkatkan kemampuan ekonomi untuk menciptakan lapangan kerja yang semakin luas dan mengurangi kemiskinan. Dengan jumlah pengangguran yang semakin bertambah, kualitas pertumbuhan perlu ditingkatkan agar kegiatan ekonomi dapat menciptakan lapangan kerja yang lebih besar dan mengurangi lebih banyak jumlah penduduk miskin. Direktorat Perencanaan Makro Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas
II−2
Dalam tahun 2004, jumlah pengangguran terbuka mencapai 10,3 juta orang (9,9 persen dari total angkatan kerja). Pada bulan Februari 2005, jumlah pengangguran terbuka meningkat menjadi 10,9 juta orang (10,3 persen) dan pada bulan Oktober 2005 diperkirakan meningkat lagi menjadi 11,6 juta orang (10,8 persen) antara lain karena pengaruh kenaikan BBM. Sejak krisis, kemampuan ekonomi untuk menciptakan lapangan kerja masih rendah. Dalam tahun 2000 – 2004, setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi setiap tahunnya hanya mampu menciptakan lapangan kerja rata-rata bagi sekitar 215 ribu orang; sedangkan dalam tahun 1994 untuk setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi mampu diciptakan lapangan kerja bagi sekitar 375 ribu orang. Dalam tahun 2006, tantangan untuk menciptakan lapangan kerja semakin besar dengan tambahan angkatan kerja baru dan dorongan kenaikan Upah Minimum Provinsi akibat dari kenaikan harga BBM di dalam negeri. Dengan tambahan angkatan kerja baru rata-rata sekitar 2 juta orang per tahun, pertumbuhan ekonomi harus mencapai lebih dari 6 persen dengan kualitas yang lebih tinggi dalam menciptakan lapangan kerja. Kemampuan ekonomi dalam menciptakan lapangan kerja dapat dilihat pada Grafik II.2.
Ribu Orang/1% Pertumbuhan Ekonomi
Grafik II.2.
PENCIPTAAN LAPANGAN KERJA 400 300 200 100 0
1994
1995
1996
2000
2001
2002
2003
2004
Per 1% Pertumbuhan Ekonomi
Dalam pada itu, meskipun menunjukkan kecenderungan menurun dibandingkan saat terjadinya krisis, penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan pada tahun 2004 masih berjumlah sekitar 36,1 juta jiwa (16,7 persen). Pada bulan Februari 2005, jumlah penduduk miskin menurun menjadi 35,1 juta jiwa (16,0 persen). Dengan bertambahnya pengangguran terbuka dan meningkatnya laju inflasi pada tahun 2005, jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan diperkirakan masih cukup besar. Perkembangan jumlah penduduk miskin tahun 1976 – 2005 dapat dilihat pada Grafik II.3. Upah riil buruh tani sebagai salah satu indikator kemiskinan juga menunjukkan perkembangan yang relatif stagnan. Pada akhir September 2005, upah riil buruh tani hanya meningkat 1,7 persen dibandingkan akhir tahun 2004. Upah riil buruh tani Jawa menurun sebesar 0,3 persen, sedangkan di luar Jawa meningkat sebesar Direktorat Perencanaan Makro Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas
II−3
4,7 persen. Perkembangan perkembangan upah riil buruh tani sejak Januari 2004 dapat dilihat pada Grafik II.4.
60
45
48
36
36
27
24
18
12
9
0
% Penduduk Miskin
Penduduk Miskin (juta orang)
Grafik II.3.
PENDUDUK MISKIN
0
1975
1980
1985
1990
Penduduk Miskin
1995
2000
2005
% Penduduk Miskin
Grafik II.4.
INDEKS UPAH RIIL BURUH TANI
Indeks (1996:01 = 100)
140 135 130 125 120 115 110
Jan'04
Mar
Mei
Jawa
Jul
Sep
Nov Jan'05
Luar Jawa
Mar
Mei
Jul
Sep
Nasional
Untuk menghadapi tantangan-tantangan pokok tersebut di atas perlu ditempuh strategi pokok sebagai berikut. Pertama, memperbaiki stabilitas ekonomi dengan meningkatkan koordinasi dan efektivitas kebijakan fiskal dan moneter. Kedua, memperkuat peranan permintaan domestik secara seimbang untuk mendorong perekonomian dengan kemungkinan melambatnya permintaan eksternal. Dengan kebijakan moneter yang diperkirakan masih ketat sampai pertengahan tahun 2006, kebijakan fiskal perlu memberi dorongan kepada perekonomian sejak awal tahun 2006. Ketiga, mengurangi secara cepat ekonomi biaya tinggi untuk mendorong investasi dan meningkatkan daya saing ekspor non-migas. Strategi pokok tersebut dijabarkan dalam upaya-upaya sebagai berikut. Pertama, stabilitas ekonomi ditingkatkan terutama untuk menurunkan laju inflasi secara bertahap dan menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Dalam kaitan itu, koordinasi dan sinkronisasi kebijakan fiskal dan moneter perlu ditingkatkan. Koordinasi dilakukan untuk mengendalikan likuiditas perekonomian dengan memperhatikan timing dari implementasi kebijakan fiskal dan moneter serta pengaruhnya terhadap perekonomian secara menyeluruh. Dengan ekspektasi terhadap inflasi yang masih tinggi pada triwulan I dan II/2006 serta kemungkinan berlanjutnya siklus pengetatan moneter oleh negara-negara maju, kebijakan moneter diarahkan untuk mengendalikan likuiditas perekonomian dengan mengupayakan suku bunga yang Direktorat Perencanaan Makro Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas
II−4
secara riil mampu menjaga kepercayaan terhadap rupiah serta menjaga tekanan inflasi. Kedua, pertumbuhan ekonomi pada awal tahun 2006 perlu didorong oleh kebijakan fiskal. Meskipun kebijakan fiskal pada tahun 2006 tetap diarahkan untuk mengurangi defisit anggaran sebesar 0,7 persen PDB, pengaruh peluncuran dana pada awal tahun 2006 dapat memberi dorongan bagi kegiatan ekonomi dan pada gilirannya akan memberi pengaruh pada peningkatan daya beli masyarakat. Dengan tekanan inflasi yang masih besar pada awal tahun 2006, rencana untuk mengucurkan dana APBN dalam triwulan I/2006 perlu diarahkan pada kegiatankegiatan pembangunan yang tidak bersifat inflatoir. Dorongan fiskal terhadap perekonomian juga perlu diberikan pada belanja daerah dengan semakin besarnya fungsi pelayanan kepada masyarakat yang diberikan kepada daerah. Dalam kaitan itu, keselarasan antara APBN dan APBD sangat penting untuk meningkatkan efektivitas dari penggunaannya. Ketiga, iklim investasi perlu segera ditingkatkan agar mampu menarik penanaman modal baik dalam negeri maupun luar negeri. Berbagai faktor pokok yang selama ini menghambat investasi antara lain prosedur perijinan yang panjang dan lama, ketidakpastian hukum, tumpang tindih kebijakan antara pusat dan daerah serta antar sektor, iklim ketenagakerjaan yang belum kondusif bagi penciptaan iklim usaha yang sehat, administrasi perpajakan dan kepabeanan yang berbelit, serta dukungan infrastruktur yang kurang memadai perlu ditangani dengan segera. Pembenahan sektor riil ini semakin penting dengan semakin ketatnya persaingan antar negara untuk menarik investasi. Tantangan eksternal untuk menarik investasi dapat dilihat pada Boks II.1. BOKS II.1. TANTANGAN EKSTERNAL MENARIK INVESTASI Tantangan eksternal untuk menarik investasi ke Indonesia dalam tahun 2006 dan tahun-tahun mendatang diperkirakan makin berat. Pertama, terdapat kecenderungan arus masuk penanaman modal asing (PMA) dunia menurun sejak tahun 2000 dan stagnan sejak tahun 2003. Meskipun perekonomian dunia tahun 2004 membaik setelah mengalami resesi tahun 2001, arus masuk penanaman modal asing (PMA) dunia pada tahun 2004 masih 53,4 persen lebih rendah dibandingkan tahun 2000. Beberapa faktor yang mengakibatkan penurunan tersebut antara lain meningkatnya ketidakpastian global yang mempengaruhi rasa aman dalam kegiatan penanaman modal. Kedua, meskipun arus masuk PMA ke negara berkembang dan Asia meningkat terutama pada tahun 2004, sebagian besar mengalir ke negara-negara tertentu. RRC diperkirakan tetap menjadi negara tujuan terbesar arus masuk PMA yang mengalir ke kawasan Asia dalam tahun-tahun mendatang didukung oleh pertumbuhan pasar Direktorat Perencanaan Makro Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas
II−5
dalam negeri yang tinggi, biaya produksi yang murah, serta ketersediaan tenaga kerja yang memadai. Arus masuk PMA ke RRC pada tahun 2004 meningkat menjadi US$ 60,6 miliar atau naik sekitar 13,3 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Dibandingkan arus masuk PMA ke Asia tahun 2004 sebesar US$ 147,6 miliar, arus masuk ke RRC tersebut mencapai lebih dari 40 persen. Selain ke RRC, peningkatan arus masuk PMA juga terjadi di Korea Selatan yang naik dari US$ 3,8 miliar pada tahun 2003 menjadi US$ 7,8 miliar pada tahun 2004; Malaysia yang naik dari US$ 2,5 miliar menjadi US$ 4,6 miliar; serta Vietnam yang naik dari US$ 1,5 miliar menjadi US$ 1,6 miliar pada periode yang sama. Pada tahun 2004 Indonesia mengalami arus masuk PMA (neto) sebesar US$ 1,0 miliar setelah mengalami net-outflow sejak tahun 1998 kecuali pada tahun 2002. Dari gambaran di atas dapat disimpulkan bahwa tantangan eksternal untuk mendorong investasi tahun 2006 dan tahun-tahun mendatang bertambah berat dengan kecenderungan global arus masuk PMA yang menurun serta tingginya daya tarik RRC dan persaingan di kawasan regional dalam menarik PMA. Arus masuk PMA pada beberapa kawasan dunia dan beberapa negara di Asia dapat dilihat pada Tabel II.1. Tabel II.1. ARUS PENANAMAN MODAL ASING (US$ Miliar) Rt2 92-9 1998 1999 2000 2001 Dunia 310,9 690,9 1086,8 1388,0 817,6 Negara Maju 180,8 472,5 828,4 1108,0 571,5 Negara Berkembang 118,6 194,1 231,9 252,5 219,7 Afrika 5,9 9,1 11,6 8,7 19,6 Amerika Latin 38,2 82,5 107,4 97,5 88,1 Asia 74,1 102,2 112,6 146,1 111,9 RRC 32,8 45,5 40,3 40,7 46,9 Hongkong 7,8 14,8 24,6 61,9 23,8 Singapura 8,3 7,7 16,1 17,2 15,0 India 1,7 2,6 2,2 2,4 3,4 Korea Selatan 1,2 5,0 9,4 8,6 3,7 Malaysia 5,8 2,7 3,9 3,8 0,6 Thailand 2,3 7,5 6,1 3,4 3,8 Vietnam 1,6 1,7 1,5 1,3 1,3 Indonesia 3,5 -0,2 -1,9 -4,6 -3,0 Sumber: UNCTAD, World Investment Report, 2005
2002 716,1 547,8 155,5 13,0 50,5 92,0 52,7 9,7 5,8 3,4 3,0 3,2 0,9 1,2 0,1
2003 632,6 442,2 166,3 18,0 46,9 101,3 53,5 13,6 9,3 4,3 3,8 2,5 2,0 1,5 -0,6
2004 648,1 380,0 233,2 18,1 67,5 147,5 60,6 34,0 16,1 5,3 7,7 4,6 1,1 1,6 1,0
Dari Tabel II.1 dapat dilihat bahwa daya tarik investasi di Indonesia sebelum krisis (1991 – 1996) dilihat dari arus masuk PMA, lebih baik dibandingkan Thailand. Namun dalam masa krisis dan setelah krisis daya tarik investasi Indonesia menurun, bahkan di bawah Vietnam.
Dalam upaya untuk meningkatkan iklim investasi, pada rencana pembangunan tahun 2006, prosedur perijinan investasi diupayakan untuk diperpendek dari 151 hari menjadi sekitar 30 hari. Dengan waktu selama 151 hari tersebut, prosedur perijinan investasi di Indonesia tercatat terlama kedua di Asia. Selain membutuhkan Direktorat Perencanaan Makro Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas
II−6
biaya yang tinggi, prosedur perijinan yang lama mengakibatkan dunia usaha tidak dapat secara cepat memanfaatkan peluang yang ada. Dengan diperpendek menjadi 30 hari, prosedur perijinan di Indonesia diperkirakan mampu bersaing dengan Malaysia dan Thailand yang masing-masing membutuhkan waktu selama 32 hari dan 33 hari. Selain memperpendek prosedur perijinan, perhatian perlu diberikan pada upaya mengurangi biaya perijinan dalam rangka mendorong usaha kecil dan menengah. Rincian prosedur perijinan investasi di Indonesia dan perbandingan prosedur perijinan investasi di Asia dapat dilihat pada Tabel II.2 dan Boks II.2.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
TABEL II.2. PROSEDUR MEMULAI USAHA DI INDONESIA Prosedur Waktu (hari) Mendapatkan nama perusahaan dari 7 Departemen Hukum Menandatangani nota pendirian usaha di notaris 7 Mendapatkan ijin domisili dari Lurah 10 Mendapatkan NPWP 14 Menempatkan modal awal ke bank 4 Membayar PNBP untuk pelayanan hukum 1 Mendaftarkan ke Departemen Hukum untuk 75 persetujuan pendirian perusahaan Mendapatkan nomor registrasi perusahaan pada 15 Departemen Perdagangan
9.
Mengurus pada asosiasi untuk dipublikasi pada daftar perusahaan 10 Mendapatkan SIUP 11. Mendaftarkan pada Departemen Ketenagakerjaan 12. Mendaftar program Jamsostek Jumlah Sumber: FIAS (2005)
Biaya (Rp) 500.000 10.000.000 Scr resmi tidak dipungut Tidak ada Tidak ada 200.000 1.100.000 250.000 (PMA); Rp 150.000 (PMDN dan bukan PMA/PMDN) 850.000
2 14 1 1 151
400.000 Secara resmi tidak dipungut Tidak ada 13.200.000 – 13.300.000
BOKS II.2. PROSEDUR PERIJINAN DAN BIAYA MEMULAI USAHA Biaya untuk memperoleh izin usaha/investasi di Indonesia tergolong tinggi tercermin dari prosedur yang lebih banyak, waktu yang lebih lama, dan biaya yang relatif tinggi. Untuk mendapatkan izin usaha di Indonesia dibutuhkan 12 prosedur, waktu 151 hari, dan biaya 126 persen pendapatan per kapita. Sementara itu, negara Asia lainnya seperti Malaysia hanya membutuhkan 9 prosedur, waktu 32 hari, tanpa biaya; Cina 12 prosedur, waktu 41 hari, biaya 15 persen pendapatan per kapita; Filipina 11 prosedur, waktu 50 hari, biaya 20 persen pendapatan perkapita; dan Thailand 8 prosedur, waktu 33 hari, biaya 7 persen pendapatan per kapita. Waktu dan biaya (baik dalam persentase terhadap pendapatan per kapita maupun dalam USD dapat dilihat pada Grafik II.5 – II.7.
Direktorat Perencanaan Makro Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas
II−7
Grafik II.5.
WAKTU UNTUK MEMULAI USAHA Laos Indonesia Kamboja India Arab Saudi Yaman Bhutan Vietnam Papua Nugini Uni Emirat Arab Sri Lanka Filipina Iran Taiwan Syria Lebanon Cina Bangladesh Kuwait Israel Oman Thailand Malaysia Pakistan Korea Nepal Mongolia Hongkong Singapura
0
50
100
150
Hari
200
Grafik II.6.
BIAYA UNTUK MEMULAI USAHA Kamboja Yaman Lebanon Indonesia Bangladesh Nepal Arab Saudi India Pakistan Syria Papua Nugini Vietnam Uni Emirat Arab Malaysia Filipina Laos Korea Cina Bhutan Sri Lanka Mongolia Iran Thailand Taiwan Israel Oman Hongkong Kuwait Singapura
0
100
200 300 (dalam % pendapatan per kapita]
400
500
Grafik II.7.
BIAYA UNTUK MEMULAI USAHA Arab Saudi Uni Emirat Arab Lebanon Korea Kamboja Yaman Indonesia Malaysia Israel Hongkong Taiwan Syria Kuwait Oman Bangladesh India Singapura Filipina Nepal Pakistan Cina Papua Nugini Thailand Iran Vietnam Sri Lanka Bhutan Laos Mongolia
0
1000
2000
3000 Dolar AS
4000
5000
6000
Salah satu faktor yang menghambat bagi berkembangnya iklim investasi adalah banyaknya peraturan-peraturan daerah yang mengakibatkan iklim usaha tidak sehat. Hambatan peraturan daerah terhadap investasi dapat dilihat pada Boks II.3. BOKS II.3. PERATURAN DAERAH (PERDA) DIRASAKAN MENGHAMBAT INVESTASI Timbulnya peraturan daerah (perda) yang mengganggu investasi antara lain disebabkan oleh keinginan daerah untuk segera meningkatkan PAD yang selama ini hanya sekitar 10–30 persen APBD. Keinginan yang didorong oleh perspektif jangka pendek (myopic) ini mengakibatkan timbulnya berbagai pungutan di daerah yang berdampak buruk pada kegiatan ekonomi. Direktorat Perencanaan Makro Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas
II−8
Dari survai yang dilakukan oleh KPPOD (2003), hanya sekitar 14,8 persen perda secara umum tidak bermasalah. Selebihnya bermasalah dengan bobot tertinggi pada kejelasan standar waktu, biaya, prosedur, dan struktur tarif (22,7 persen); acuan yuridis (15,7 persen); serta dampak yang negatif terhadap ekonomi (9,2 persen). Secara rinci statistik peraturan daerah bermasalah yang dilakukan oleh KPPOD dapat dilihat pada Tabel II.3. Tabel II.3. STATISTIK PERATURAN DAERAH (PERDA) “BERMASALAH” KPPOD Jenis Pelanggaran/Masalah Secara Umum Tidak Bermasalah Relevansi Yuridis Up to date Acuan Yuridis Kelengkapan Yuridis Diskoneksi Tujuan dan Isi (Konsistensi Pasal) Kejelasan Obyek Kejelasan Subyek Kejelasan Hak dan Kewajiban Wajib Pungut Kejelasan Standar Waktu, Biaya, Prosedur, Struktur Tarif Kesesuaian Filosofi dan Prinsip Pungutan Keutuhan Wilayah Ekonomi Nasional & Prinsip Free Internal Trade Persaingan Sehat Dampak Ekonomi Negatif Menghalangi Akses Masyarakat, Perlindungan Lingkungan Hidup Pelanggaran Kewenangan Pemerintahan Jumlah Peraturan Daerah Sumber: KPPOD, 2003
Jumlah 152 30 162 58 32 76 5 81 234 46 24 9 95 11 15 1030
Persentase 14,8 2,9 15,7 5,6 3,1 7,4 0,5 7,9 22,7 4,5 2,3 0,9 9,2 1,1 1,5 100,0
Dari yang diterima oleh pemerintah, jenis perda yang paling banyak dikeluarkan oleh daerah berupa retribusi. Komposisi perda yang dikeluarkan oleh daerah dapat dilihat pada Tabel II.4. Tabel II.4. JUMLAH PERDA YG DITERIMA PEMERINTAH SAMPAI DENGAN JUNI 2004 No Jenis Peraturan Daerah Jumlah 1 Pajak Daerah 652 2 Retribusi Daerah 2573 3 Sumbangan Pihak Ketiga 21 4 Badan Usaha Milik Daerah 25 5 PAD lain-lain 7 6 Pencabutan Perda 15 7 Lain-lain 100 Jumlah Perda Diterima 3393 Jumlah Perda yang Direkomendasikan Menkeu kepada Mendagri untuk Dibatalkan 293 Jumlah Perda yang Dibatalkan Mendagri atas dasar rekomendasi Menkeu, dan lainnya 255 Sumber: Direktorat Pendapatan Daerah DJPKPD
Persentase 19,2 75,8 0,6 0,7 0,2 0,4 3,0 100,0 8,6 7,5
Sesuai peraturan perundangan, Pemerintah melalui Mendagri dapat membatalkan perda-perda bermasalah berdasarkan evaluasi dari departemen/instansi teknis lainnya. Dari Tabel II.3. dan Tabel II.4. dapat dilihat bahwa perda yang dibatalkan oleh Menteri Dalam Negeri belum mencerminkan persentase yang memadai untuk mencegah timbulnya perda bermasalah. Sampai dengan bulan April 2005, jumlah perda yang masuk mencapai 4.574. Menteri Keuangan telah meminta kepada Menteri Dalam Negeri untuk membatalkan 448 perda dan oleh Menteri Dalam Negeri telah dibatalkan sebanyak 304 perda.
Direktorat Perencanaan Makro Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas
II−9
Keempat, mendorong ekspor non-migas melalui peningkatan daya saing dan diversifikasi pasar komoditi ekspor. Upaya peningkatan daya saing ini perlu dilakukan untuk mengimbangi perlambatan ekonomi dunia terutama perekonomian Amerika Serikat sebagai konsekuensi dari upaya untuk mengurangi kesenjangan global. Peningkatan daya saing dalam jangka pendek dan menengah dilakukan dengan mengurangi berbagai kendala yang menghambat arus barang dan jasa, termasuk peraturan-peraturan daerah yang menghambat, serta dengan menyederhanakan prosedur kepabeanan. Diversifikasi pasar komoditi ekspor perlu diperluas dengan mencari pasar baru di luar negara-negara industri maju terutama di negara-negara Asia sebagai kawasan yang tumbuh paling pesat dalam tiga puluh tahun terakhir ini. Dalam jangka menengah dan panjang, peningkatan daya saing perlu didorong oleh penerapan teknologi yang tepat dan mampu meningkatkan nilai tambah bagi komoditi ekspor nasional. Kelima, mengembangkan insentif yang tepat dalam menarik investasi dan mendorong ekspor non-migas. Selain melalui penyederhanaan perpajakan, tarif dan insentif perpajakan perlu ditinjau agar mampu bersaing dengan negara-negara lain untuk menarik investasi. Saat ini tarif pajak penghasilan badan di Indonesia bersifat progresif, yaitu sebesar 10 persen, 15 persen, dan 30 persen. Sedangkan untuk tarif pajak penghasilan perorangan sebesar 5 persen, 10 persen, 15 persen, 25 persen dan 35 persen. Dibandingkan Malaysia (28 persen, single rate) dan Thailand (30 persen, single rate), tarif pajak penghasilan badan di Indonesia saat ini relatif bersaing, namun lebih tinggi dibandingkan Vietnam (25 persen) dan Singapura (22 persen). Dalam RUU Perpajakan, tarif pajak penghasilan perusahaan direncanakan sebagai tarif tunggal, sebesar 30 persen dan dalam jangka waktu 5 tahun diturunkan menjadi 25 persen; sedangkan tarif pajak penghasilan perorangan untuk lapisan pendapatan tertinggi (di atas Rp 200 juta) direncanakan diturunkan dari 35 persen menjadi 30 persen dalam jangka waktu 5 tahun. Disamping melalui penurunan tarif pajak secara bertahap, zona-zona ekonomi khusus dan kebijakan spasial dalam jangka menengah dan panjang perlu dikembangkan dalam rangka mendorong kawasan-kawasan strategis dan cepat tumbuh agar tidak saja memberi manfaat bagi penguatan ekonomi nasional tetapi juga memberi peningkatan bagi kesejahteraan masyarakat di daerah. Keenam, mendorong fungsi intermediasi perbankan agar memberi tekanan yang lebih besar pada kegiatan investasi dan produksi. Meskipun pemberian kredit oleh perbankan kepada masyarakat meningkat, namun penyalurannya lebih banyak pada kegiatan yang bersifat konsumtif dibandingkan dengan kegiatan investasi dan produksi. Sampai dengan bulan Oktober 2005, peranan kredit konsumsi meningkat menjadi 30,0 persen; lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 1996 (10,3 persen). Secara keseluruhan rasio kredit terhadap PDB masih lebih rendah dibandingkan Direktorat Perencanaan Makro Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas
II−10
sebelum krisis. Perkembangan rasio kredit terhadap PDB dapat dilihat pada Grafik II.8. Grafik II.8.
RASIO KREDIT TERHADAP PDB 70 60 50
%
40 30 20 10 0
1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004
Upaya untuk memberi perhatian kegiatan sektor riil dalam perubahan kebijakan moneter ke arah yang lebih ketat juga tercermin dari penerapan Giro Wajib Minimum (GWM) yang dikaitkan dengan loan-to-deposit (LDR). Dalam Paket Kebijakan Moneter 30 Agustus, perbankan yang menyalurkan kredit lebih besar kepada kegiatan usaha dikenakan GWM yang relatif lebih rendah. 1 Dengan meningkatnya resiko di sektor riil, upaya untuk menyalurkan kredit perbankan perlu dijaga dengan menekan potensi peningkatan non-performing loan antara lain dengan menyalurkan kredit pada kegiatan-kegiatan usaha yang mempunyai resiko kecil. Sasaran peningkatan kredit sebesar 22 persen dalam tahun 2006 diperkirakan dapat mendorong kegiatan ekonomi tanpa mengorbankan kualitas kredit yang diberikan. Upaya penurunan biaya intermediasi juga didorong dengan melakukan pembenahan di sektor riil untuk memperkecil resiko penyaluran kredit. Ketujuh, menjaga ketahanan sektor keuangan berkaitan dengan perubahan kebijakan moneter negara-negara industri maju dan kebijakan moneter di dalam negeri yang sebelumnya relatif longgar kepada kebijakan moneter yang lebih ketat. Perubahan ini dapat mengakibatkan arus modal, terutama jangka pendek, yang masuk ke Indonesia ke luar kembali. Koordinasi antara otoritas kebijakan moneter, otoritas kebijakan fiskal, otoritas pengawasan lembaga keuangan dan pasar modal, serta otoritas lembaga penjamin simpanan perlu ditingkatkan agar mampu menjaga kepercayaan masyarakat terhadap kemampuan Indonesia dalam menangani gejolak moneter yang mungkin timbul.
Sejak 6 September 2005 GWM Rupiah dinaikkan: (a) LDR di atas 90 persen, dikenakan tambahan sebesar 0 persen; (b) LDR 75 – 90 persen dikenakan tambahan 1 persen; (c) LDR 60 – 75 persen dikenakan tambahan 2 persen; (d) LDR 50 – 60 persen dikenakan tambahan 3 persen; (e) LDR 40 – 50 persen dikenakan tambahan 4 persen; serta (f) LDR kurang dari 40 persen dikenakan tambahan 5 persen.
1
Direktorat Perencanaan Makro Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas
II−11
Kedelapan, meningkatkan kualitas pertumbuhan yang mampu mengurangi pengangguran dan jumlah penduduk miskin. Kebijakan ketenagakerjaan perlu menekankan pada 3 (tiga) upaya pokok, yaitu mengendalikan kenaikan UMP agar tidak terlalu tinggi dibandingkan dengan laju inflasi; memastikan agar biaya-biaya non-UMP mengarah pada peningkatan produktivitas tenaga kerja; serta meningkatkan perlindungan TKI di luar negeri. Upaya untuk meningkatkan penciptaan lapangan kerja juga perlu diprioritaskan dalam pemanfaatan APBN. Selain melalui penciptaan lapangan kerja, upaya mengurangi jumlah penduduk miskin perlu didorong dengan peningkatan efektivitas dalam pelaksanaan subsidi langsung tunai dan program penanggulangan kemiskinan lainnya, serta dengan pelibatan secara aktif pemerintah daerah untuk mengurangi jumlah penduduk miskin di daerahnya. Terkait dengan sasaran penurunan jumlah pengangguran dan penduduk miskin dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun 2004 – 2009 yaitu menurunnya jumlah pengangguran terbuka dan penduduk miskin masing-masing menjadi 5,1 persen dan 8,2 persen pada tahun 2009, program pembangunan perdesaan dan revitalisasi pertanian perlu mendapat perhatian yang sangat serius mengingat sebagian besar penganggur terbuka dan kemiskinan hidup di sektor pertanian dan berada di perdesaan. Dari jumlah pengangguran terbuka pada tahun 2004, sebesar 60 persen pengangguran terbuka berada di Jawa dengan konsentrasi terbesar di Jawa Timur, Jawa Barat dan Jawa Tengah. Adapun dilihat dari persentase desa – kota, sekitar 47 persen penganggur terbuka berada di desa. Upaya untuk menarik pengangguran terbuka dan menurunkan jumlah penduduk miskin melalui kegiatan industri yang ada di perkotaan diperkirakan tidak akan mampu mencapai sasaran yang dimaksud. Dalam kaitan itu kegiatan industri di pedesaan dan off-farm lainnya perlu ditingkatkan untuk mengurangi pengangguran dan kemiskinan. Dalam jangka menengah, upaya untuk mengurangi jumlah pengangguran dan penduduk miskin perlu didorong dengan kebijakan spasial yaitu dengan mendorong pembangunan di luar Jawa. Tanpa adanya upaya ini, pembangunan akan terus-menerus hanya memecahkan masalah-masalah pembangunan jangka pendek yang relatif terpusat di Jawa. Upaya-upaya pokok tersebut di atas membutuhkan stabilitas politik dan keamanan serta kepastian hukum yang memadai agar dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat yang sudah terbentuk. B. LINGKUNGAN GLOBAL DAN DOMESTIK Pada tahun 2006, pertumbuhan ekonomi dunia diperkirakan relatif sama dengan tahun 2005 dengan berkurangnya stimulus fiskal di beberapa negara maju, kenaikan suku bunga sebagai kelanjutan siklus pengetatan kebijakan moneter negara-negara industri maju, serta masih tingginya harga minyak dunia. Direktorat Perencanaan Makro Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas
II−12
Meningkatnya suku bunga di negara-negara industri maju diperkirakan akan mempengaruhi komposisi arus masuk modal swasta termasuk ke kawasan Asia. Meskipun arus modal swasta jangka panjang (neto) pada tahun 2006 diperkirakan relatif tetap yaitu sekitar US$ 83,8 miliar, namun arus modal jangka pendek diperkirakan menurun. Secara keseluruhan arus masuk modal swasta (neto) ke negara-negara emerging market diperkirakan turun dari US$ 84,6 miliar pada tahun 2005 menjadi US$ 34,1 miliar pada tahun 2006 (World Economic Outlook, September 2005). Dalam tahun 2006, pertumbuhan ekonomi dunia diperkirakan sekitar 4,3 persen. Perekonomian negara industri maju diperkirakan tumbuh 2,7 persen dengan perekonomian AS dan Jepang, sebagai mitra dagang utama Indonesia, yang diperkirakan tumbuh masing-masing sekitar 3,3 persen dan 2,0 persen. Pertumbuhan ekonomi dunia tahun 2006 yang relatif sama dengan tahun 2005 tersebut diperkirakan tetap mendorong volume perdagangan dunia. Permintaan impor negara-negara industri maju pada tahun 2006 diperkirakan meningkat 5,8 persen termasuk dari negara-negara berkembang; sementara ekspor negara-negara berkembang diperkirakan tumbuh 10,3 persen. Secara keseluruhan volume perdagangan dunia pada tahun 2006 diperkirakan meningkat menjadi 7,4 persen atau sedikit lebih tinggi dibandingkan tahun 2005 yaitu 7,0 persen. Pertumbuhan ekonomi dunia tahun 2006 yang relatif tetap tersebut diperkirakan berpengaruh terhadap harga komoditi non-migas di pasar internasional. Harga komoditi non-migas di pasar dunia diperkirakan menurun sebesar 2,1 persen; sedangkan harga minyak mentah dunia diperkirakan tetap tinggi. Berbagai perkiraan ekonomi dunia di atas memberikan gambaran mengenai pentingnya upaya untuk mempertahankan kinerja ekspor nasional yang cukup baik dalam tahun 2006. Sementara itu lingkungan domestik tahun 2006 diperkirakan akan membaik apabila tingkat harapan masyarakat dan kepastian usaha mampu dikelola dengan baik. Perkiraan ekonomi dunia dan pelaksanaan kedelapan upaya pokok tersebut di atas dalam lingkungan eksternal dan domestik sebagaimana yang diuraikan di atas diperkirakan akan menghasilkan besaran-besaran ekonomi makro sebagai berikut. HARGA EKSPOR MINYAK MENTAH INDONESIA DIPERKIRAKAN SEKITAR US$ 57 PER BAREL. Menjelang akhir tahun 2005, harga minyak dunia dipengaruhi oleh sisi permintaan dan penawaran sebagai berikut. Musim dingin yang tidak terlalu akut serta turunnya permintaan minyak dunia terkait dengan beberapa bencana alam yang terjadi di Amerika Serikat dan kelompok negara OECD diperkirakan akan mengimbangi kenaikan kebutuhan minyak di China dan India. Dengan perkembangan ini kenaikan permintaan minyak dunia tahun 2005 yang semula diperkirakan mencapai 1,9 juta barel/hari melemah menjadi 1,2 juta barel/hari. Dalam tahun 2006, permintaan minyak dunia diperkirakan meningkat sekitar 1,8 uta barel/hari. Direktorat Perencanaan Makro Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas
II−13
Di sisi suplai, dalam keseluruhan tahun 2005, pasokan minyak dari negaranegara non-OPEC diperkirakan meningkat 0,1 juta barel/hari dan pada tahun 2006 diperkirakan meningkat lagi sebesar 1,4 juta barel/hari. Pasokan OPEC (tidak termasuk NGL) dalam keseluruhan tahun 2005 mencapai 28,4 juta barel/hari dan diperkirakan hanya meningkat sebesar 0,2 juta barel/hari pada tahun 2006. Meskipun pasokan OPEC tahun 2006 diperkirakan relatif sama dengan tahun 2005, kemampuan produksi OPEC pada tahun 2006 masih dapat ditingkatkan dengan adanya spare capacity sebesar 2,2 juta barel/hari termasuk kapasitas terpasang yang dapat ditingkatkan sebesar 1,0 juta barel/hari pada tahun 2006 Berdasarkan perkembangan sisi permintaan, penawaran, dan stok minyak dunia, serta dengan perkiraan tidak adanya gejolak politik yang berarti di Timur Tengah, harga minyak dunia pada tahun 2006 diperkirakan masih tetap tinggi. Dengan gambaran harga minyak dunia tersebut, harga ekspor minyak mentah Indonesia diperkirakan sekitar US$ 57 per barel. Perkembangan permintaan dan penawaran minyak dunia dapat dilihat pada Tabel II.5. Tabel II.5. PERMINTAAN DAN PASOKAN MINYAK DUNIA (juta barel/hari) 2002 2003 2004 PERMINTAAN 77,9 79,2 82,2 OECD 48,0 48,7 49,5 Amerika Utara 24,1 24,5 25,3 Eropah 15,3 15,4 15,6 Pasifik 8,6 8,7 8,5 NON-OECD 29,9 30,6 32,7 FSU 3,5 3,6 3,7 Eropah 0,7 0,7 0,7 China 5,0 5,6 6,4 Asia Lainnya 8,0 8,1 8,6 Amerika Latin 4,8 4,7 4,9 Timur Tengah 5,2 5,3 5,6 Afrika 2,7 2,7 2,8 PENAWARAN 77,0 79,6 83,1 OECD 21,9 21,6 21,3 Amerika Utara 14,5 14,6 14,6 Eropa 6,6 6,3 6,1 Pasifik 0,8 0,7 0,6 NON-OECD 24,5 25,5 27,1 FSU 9,4 10,3 11,2 Eropah 0,2 0,2 0,2 China 3,4 3,4 3,5 Asia Lainnya 2,5 2,6 2,8 Amerika Latin 3,9 4,0 4,1 Timur Tengah 2,1 2,0 1,9 Afrika 3,0 3,0 3,4 Processing Gain 1,8 1,8 1,8 OPEC 28,8 30,7 32,9 Minyak Mentah 25,1 26,8 28,6 NGL 3,7 3,9 4,3 Sumber: International Energy Agency
2005 83,4 49,7 25,5 15,6 8,6 33,7 3,7 0,7 6,6 8,8 5,0 5,9 2,9
2006 85,2 50,3 25,9 15,6 8,7 34,9 3,8 0,7 7,0 9,0 5,1 6,2 3,0
20,4 14,1 5,7 0,6 28,0 11,6 0,2 3,6 2,7 4,3 1,9 3,7 1,9
20,4 14,4 5,4 0,6 29,3 12,1 0,2 3,6 2,8 4,5 1,8 4,3 1,9
4,7
5,1
NILAI TUKAR RUPIAH DIPERKIRAKAN SEKITAR RP 9.900,- PER DOLLAR AS. Dengan respon suku bunga di dalam negeri yang berjalan baik sejak Paket Kebijakan 30 Agustus 2005, kurs rupiah diperkirakan stabil. Arus modal swasta diperkirakan akan meningkat baik dalam bentuk investasi langsung maupun Direktorat Perencanaan Makro Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas
II−14
portfolio sehingga mampu menutup kewajiban pemerintah yang jatuh tempo pasca debt moratorium serta mengamankan cadangan devisa. Pada tahun 2006, rata-rara nilai tukar rupiah diperkirakan sekitar Rp 9.900,- per dollar AS. LAJU INFLASI DIPERKIRAKAN SEKITAR 8 PERSEN PADA AKHIR TAHUN 2006. Dengan mempertimbangkan dampak lanjutan kenaikan harga BBM pada harga barang dan jasa yang dikendalikan oleh pemerintah pada awal tahun 2006, nilai tukar rupiah yang relatif terjaga, serta komitmen dan konsistensi kebijakan moneter untuk mengarahkan ekspektasi inflasi jangka menengah, laju inflasi tahun 2006 secara tahunan (y-o-y) diperkirakan menurun mulai triwulan II atau III/2006. Dengan upaya untuk menjamin pasokan serta distribusi barang dan jasa termasuk pada perayaan hari besar keagamaan, laju inflasi pada akhir tahun 2006 diperkirakan mampu dikendalikan menjadi sekitar 8 persen. BI RATE DIPERKIRAKAN SEKITAR 9,5 PERSEN PADA AKHIR TAHUN 2006. Dengan kecenderungan laju inflasi yang menurun pada triwulan II/2006 dan menurunnya resiko ketidakstabilan ekonomi dan moneter internasional, suku bunga riil dipertahankan pada tingkat yang memadai. Dengan perkiraan laju inflasi sekitar 8 persen pada akhir tahun 2006 dan suku bunga riil sekitar 1,5 persen, BI rate pada akhir tahun 2006 diperkirakan sekitar 9,5 persen. Beberapa besaran pokok yang mendasari proyeksi perekonomian tahun 2006 dapat dilihat pada Tabel II.6 sebagai berikut. Tabel II.6 BESARAN-BESARAN POKOK (dalam persen perubahan) 2002 2003
2004 2005 2006 EKSTERNAL Pertumbuhan Ekonomi Dunia 3,0 4,0 5,1 4,3 4,3 2,7 2,5 3,3 1,5 1,9 Negara Industri Maju Amerika Serikat 3,3 3,5 4,2 2,7 1,6 1,8 1,2 2,0 0,7 0,9 Uni Eropah 2,0 2,0 2,7 1,4 -0,3 Jepang Negara Emerging Asia 6,6 8,1 8,2 7,8 7,2 Volume Perdagangan Dunia 3,3 5,4 10,3 7,0 7,4 Impor Negara Industri Maju 2,6 4,1 8,8 5,4 5,8 Ekspor Negara Berkembang 6,6 10,8 14,5 10,4 10,3 Inflasi Negara Industri Maju 1,5 1,8 2,0 2,2 2,0 Negara Berkembang 6,0 6,0 5,8 5,9 5,7 Harga Komoditi Non Migas 0,6 6,9 18,5 8,6 -2,1 LIBOR (6 bulan,%) 1,9 1,2 1,8 3,6 4,5 DOMESTIK Nilai Tukar rupiah (Rp/US$) 9.318 8.593 8.940 9.705 9.900 Laju Inflasi 10,0 5,1 6,4 17,1 8,0 Harga Ekspor Minas (US$/barel) 24,6 28,8 37,7 52,0 57,0 Suku Bunga SBI 3 Bulan (%) 13,0 8,3 7,4 12,8 9,5 Sumber: World Economic Outlook, IMF, Sept. 2005 (asumsi eksternal); Bappenas (asumsi Domestik) Direktorat Perencanaan Makro Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas
II−15
C. PROYEKSI EKONOMI TAHUN 2006 1. PERTUMBUHAN EKONOMI Dengan koordinasi kebijakan fiskal, moneter, dan sektor riil sebagaimana telah disebutkan terutama dalam mengatur permintaan agregat, perekonomian dalam tahun 2006 diupayakan mampu tumbuh 6,1 persen, lebih tinggi dibandingkan perkiraan tahun 2005 (5,7 persen). Investasi dan konsumsi masyarakat diupayakan menjadi penggerak utama pertumbuhan ekonomi dengan didorong oleh pengeluaran pemerintah. Investasi berupa pembentukan modal tetap bruto serta ekspor barang dan jasa diperkirakan tumbuh masing-masing sebesar 12,1 persen dan 8,5 persen. Dengan meningkatnya investasi, impor barang dan jasa diperkirakan tetap tinggi dengan pertumbuhan sebesar 11,5 persen. Pengeluaran pemerintah didorong tinggi sebesar 12,0 persen dengan pencairan dana yang diupayakan sejak triwulan I/2006. Luncuran dana yang diupayakan sejak awal tahun ini diharapkan dapat lebih menggerakkan roda perekonomian yang pada gilirannya akan meningkatkan daya beli masyarakat. Dalam keseluruhan tahun 2006, konsumsi masyarakat diperkirakan tumbuh sebesar 4,5 persen. Dari sisi produksi, dalam tahun 2006 sektor pertanian diperkirakan tumbuh 2,3 persen didorong oleh kondisi iklim dan musim tanam yang lebih baik. Adapun industri pengolahan non-migas diperkirakan mampu tumbuh 7,8 persen antara lain oleh perbaikan iklim investasi dan meningkatnya ekspor non-migas. Adapun sektor-sektor lain diperkirakan tumbuh 6,6 persen, lebih tinggi dari tahun sebelumnya. Dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 6,1 persen pada tahun 2006 dan jumlah penduduk sekitar 221,7 juta orang, pendapatan rill per kapita dalam harga konstan tahun 2000 diperkirakan Rp 8,4 juta atau setara dengan USD 1.436. Gambaran ekonomi makro dan perkiraan struktur ekonomi, serta proyeksi ekonomi tahun 2006 dapat dilihat pada Tabel II.7 dan Grafik II.9.
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
20 15 10 5 0 2002:1
2003:1
PMTB
2004:1
2005:1
Konsumsi RT
Direktorat Perencanaan Makro Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas
2006:1
Pertumbuhan PMTB (%)
Pertumbuhan PDB, Konsumsi RT (%)
Grafik II.9.
PERTUMBUHAN EKONOMI
-5
PDB
II−16
2. NERACA PEMBAYARAN Pada tahun 2006, surplus neraca transaksi berjalan diperkirakan menurun menjadi US$ 2,1 miliar, lebih rendah dibandingkan perkiraan tahun 2005 (US$ 2,3 miliar). Di sektor ekspor, penerimaan ekspor tahun 2006 diperkirakan meningkat sebesar 10,8 persen atau melambat dibandingkan perkiraan tahun 2005 (20,5 persen). Meningkatnya penerimaan ekspor terutama didorong oleh ekspor migas yang diperkirakan meningkat sebesar 19,0 persen dengan mulai beroperasinya beberapa sumur gas dan minyak bumi baru. Sementara itu ekspor non-migas diperkirakan meningkat sebesar 8,0 persen, lebih lambat dari tahun sebelumnya antara lain karena menurunnya harga komoditi non-migas di pasar internasional. Di sektor impor, meskipun melambat dibandingkan tahun 2005, impor non-migas diperkirakan tetap tumbuh tinggi yaitu sebesar 13,7 persen. Sedangkan defisit pada sektor jasa-jasa diperkirakan meningkat dibandingkan perkiraan tahun 2005 dengan masih tingginya impor barang dan belum pulihnya arus wisatawan asing paska Bom Bali kedua serta menurunnya daya tarik Pulau Batam. Surplus neraca arus modal dan finansial diperkirakan sebesar US$ 0,5 miliar atau lebih rendah dibanding tahun 2005 (US$ 3,3 miliar) dengan tidak adanya fasilitas penjadwalan utang pemerintah. Arus modal swasta neto diperkirakan meningkat menjadi US$ 3,6 miliar terutama bentuk PMA dan portfolio. Sementara itu, defisit arus modal publik diperkirakan meningkat menjadi US$ 3,1 miliar dengan dibayarkannya kewajiban utang yang ditunda pada tahun 2005. Dari gambaran neraca transaksi berjalan serta neraca modal dan finansial tersebut, neraca keseluruhan (overall balance) pada tahun 2006 diperkirakan menjadi surplus US$ 2,6 miliar dari semula defisit sebesar US$ 0,5 miliar pada tahun 2005. Dengan perkiraan tersebut, cadangan devisa diperkirakan meningkat menjadi US$ 36,2 miliar. Jumlah cadangan devisa tersebut diperkirakan cukup untuk membiayai sekitar 4,6 bulan impor (tidak termasuk pembayaran utang pemerintah). Perkiraan neraca pembayaran tahun 2006 dapat dilihat pada Tabel II.8. 3. MONETER Sampai dengan triwulan II dan III/2006, kebijakan moneter diperkirakan relatif ketat untuk menurunkan tekanan inflasi dan menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dengan masih tingginya ekspektasi masyarakat terhadap inflasi serta kemungkinan berlanjutnya siklus pengetatan moneter di Amerika Serikat. Upaya untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi dipertahankan dengan kombinasi kebijakan fiskal yang relatif ekspansif pada awal tahun 2005. Dalam keseluruhan tahun 2006, nilai tukar rupiah diperkirakan lebih stabil sekitar Rp 9.900,- per USD. Dengan tidak adanya pengaruh exchange rate pass-through terhadap inflasi, tekanan inflasi diperkirakan berkurang sejak triwulan III/2006. Direktorat Perencanaan Makro Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas
II−17
Stabilitas nilai tukar rupiah yang terjaga dan tekanan inflasi yang menurun memberi ruang bagi kebijakan moneter untuk melunak pada triwulan III atau IV/2006. Dengan melunaknya tekanan inflasi, BI rate diperkirakan akan turun secara bertahap sejak triwulan III atau IV/2006. Pada akhir tahun 2006, laju inflasi diperkirakan sekitar 8,0 persen dan BI rate diperkirakan menjadi sekitar 9,5 persen. Untuk mencapai sasaran tersebut, berbagai instrumen moneter antara lain operasi pasar terbuka (OPT), sterilisasi valuta asing, dan intervensi rupiah perlu dioptimalkan agar peredaran uang mencerminkan kebutuhan likuiditas perekonomian. 4. KEUANGAN NEGARA Kebijakan fiskal tahun 2006 tetap dilaksanakan untuk mewujudkan ketahanan fiskal (fiscal sustainability) dengan memberi stimulan terhadap perekonomian melalui penyelarasan APBN dan APBD. Stimulan fiskal diperlukan untuk mengimbangi kebijakan moneter yang relatif ketat sampai dengan semester I/2006. Dalam tahun 2006, belanja negara diperkirakan mencapai Rp 647,7 triliun, lebih tinggi dibandingkan perkiraan realisasi APBN 2005 (Rp 565,1 triliun). Sekitar 20 persen belanja modal pemerintah pusat (Rp 10 triliun) akan diluncurkan pada triwulan I/2006. Meningkatnya pengeluaran pemerintah pada triwulan I/2006 diperkirakan memberikan stimulus terhadap perekonomian pada saat kebijakan moneter masih relatif ketat dan diperkirakan tidak memberi tekanan pada inflasi. Dorongan kebijakan fiskal lebih lanjut terhadap perekonomian juga berasal dari belanja daerah. Peranan belanja daerah ditingkatkan dari 27 persen tahun 2005 menjadi 34 persen tahun 2006 atau sekitar 5,8 persen PDB pada tahun 2005 menjadi 7,2 persen PDB pada tahun 2006. Dengan besarnya dorongan ekspansi fiskal dalam bentuk belanja daerah, maka keselarasan program pembangunan di daerah dengan prioritas pembangunan nasional sangat penting. Program-program pembangunan di daerah perlu diupayakan untuk mendukung pencapaian programprogram nasional. Peningkatan terbesar belanja daerah terutama pada Dana Alokasi Khusus dari Rp 4,8 triliun menjadi Rp 11,6 triliun terutama untuk memperbaiki dan membangun gedung sekolah yang rusak. Sementara itu, kenaikan belanja pemerintah pusat terutama dipergunakan untuk meningkatkan kesejahteraan pegawai. Penerimaan negara dan hibah dalam tahun 2006 diperkirakan meningkat menjadi Rp 625,2 triliun dari Rp 540,1 triliun pada tahun 2005. Peningkatan tersebut terutama dari pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai yang dilakukan melalui perbaikan administrasi perpajakan dan upaya pemungutan pajak.
Direktorat Perencanaan Makro Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas
II−18
Dengan kebijakan di sisi pengeluaran dan penerimaan tersebut, defisit APBN dalam tahun 2006 diperkirakan turun menjadi 0,7 persen PDB (Rp 22,4 triliun) dari 0,9 persen PDB tahun 2005 (Rp 24,9 triliun). Defisit tersebut akan dibiayai melalui penerbitan surat utang negara (SUN) sebesar Rp 24,9 triliun dan pinjaman luar negeri Rp 35,1 triliun. Sejalan dengan upaya mengurangi ketergantungan terhadap utang luar negeri, pembiayaan luar negeri neto diperkirakan defisit Rp 28,5 triliun didorong besarnya pembayaran cicilan utang luar negeri yaitu Rp 63,6 triliun. Ketahanan fiskal juga tercermin dari turunnya stok utang pemerintah dari 47,8 persen PDB pada tahun 2005 menjadi 41,2 persen PDB pada tahun 2006. Stok utang luar negeri diperkirakan menurun menjadi 20,2 persen PDB pada tahun 2006 dari 22,6 persen PDB pada tahun 2005 dan stok utang dalam negeri menjadi 21,0 persen PDB dari 25,0 persen PDB dalam periode yang sama. Pencapaian ketahanan fiskal pada tahun 2006 perlu didukung oleh stabilitas ekonomi yang lebih baik. Nilai tukar rupiah yang stabil, suku bunga dan tingkat inflasi yang menurun akan mengurangi beban pengeluaran negara. Rincian keuangan negara tahun 2004 – 2006 dapat dilihat pada Tabel II.9. 5. KEBUTUHAN INVESTASI DAN SUMBER PEMBIAYAAN Untuk membiayai pertumbuhan ekonomi sebesar 6,1 persen pada tahun 2006 dibutuhkan investasi sebesar Rp 805,4 triliun. Sebagian besar dari kebutuhan investasi tersebut (Rp 688,1 triliun atau sekitar 85,4 persen dari total kebutuhan investasi) diupayakan berasal dari masyarakat, termasuk swasta; sedangkan sisanya berasal dari pemerintah. Rincian kebutuhan investasi dan sumber pembiayaannya dapat dilihat pada Tabel II.10. D. KONSEKUENSI PERTUMBUHAN EKONOMI 6,1 PERSEN Pertumbuhan ekonomi 6,1 persen pada tahun 2006 diperkirakan belum cukup memadai untuk memecahkan masalah-masalah sosial mendasar. Dengan pertumbuhan tersebut diperkirakan tercipta lapangan kerja baru bagi sekitar 2 juta orang, relatif sama dengan tambahan angkatan kerja baru. Dengan demikian, jumlah penganggur terbuka pada tahun 2006 diperkirakan relatif sama dengan tahun 2005 yaitu sekitar 11,6 juta jiwa. Dalam kaitan itu, pemerintah perlu meninjau berbagai kebijakan di bidang ketenagakerjaan guna mendorong penciptaan lapangan kerja yang lebih luas. Tanpa pertumbuhan ekonomi yang tinggi, ketahanan fiskal akan terpengaruh karena perekonomian menjadi kurang mampu untuk mengurangi beban pembangunan termasuk pembayaran utang.
Direktorat Perencanaan Makro Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas
II−19
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, upaya untuk mengurangi jumlah pengangguran dan penduduk miskin dalam jangka menengah perlu didorong dengan kebijakan spasial terutama dengan membangun perdesaan yang didukung dengan pembangunan pertanian dan industrialisasi perdesaan. E. KEMUNGKINAN PERTUMBUHAN EKONOMI LEBIH LAMBAT DARI 6,1 PERSEN Terdapat kemungkinan pertumbuhan ekonomi tahun 2006 lebih rendah dari 6,1 persen. Faktor-faktor yang berpotensi memperlambat pertumbuhan ekonomi antara lain: (a) meningkatnya ketidakstabilan politik di Timur Tengah yang selanjutnya berpotensi mendorong harga minyak dunia serta meningkatnya ketidakstabilan moneter internasional yang pada gilirannya akan memperlambat pertumbuhan ekonomi dunia, meningkatkan tekanan inflasi di dalam negeri, serta menuntut kebijakan moneter di dalam negeri untuk terus ketat; (b) meningkatnya ketidakstabilan keamanan di dalam negeri yang akan mempengaruhi iklim usaha di Indonesia; serta (c) lambatnya penguatan daya beli masyarakat dan perbaikan iklim investasi di Indonesia. Berbagai faktor di atas dapat mengakibatkan nilai tukar rupiah melemah pada kisaran Rp 11.000 ⎯ Rp 12.000 per USD, laju inflasi pada akhir tahun 2006 antara 9 — 11 persen, BI rate antara 11 ⎯ 13 persen pada akhir tahun 2006; serta pertumbuhan ekonomi dalam keseluruhan tahun 2006 melambat di bawah 6 persen menjadi sekitar 5,7 persen.
Direktorat Perencanaan Makro Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas
II−20
Tabel II.7. GAMBARAN EKONOMI MAKRO DAN STRUKTUR EKONOMI Realisasi Proyeksi 2002 2003 2004 2005*) 2006 PERTUMBUHAN EKONOMI Pertumbuhan PDB (%) 3,8 4,4 5,1 5,7 6,1 PDB/Kapita Harga Konstan 2000 (Rp 6.144 7.136 7.673 8.010 8.402 PERTUMBUHAN PDB PENGELUARAN (%) Pertumbuhan Ekonomi Konsumsi Masyarakat Konsumsi Pemerintah Investasi Ekspor Impor
4,4 3,8 13,0 4,7 -1,2 -4,2
4,9 3,9 10,0 1,0 8,2 2,7
5,1 4,9 1,9 15,7 8,5 24,9
5,7 3,8 4,1 11,2 8,0 12,5
6,1 4,5 12,0 12,1 8,5 11,5
3,2 5,3 5,7 4,2
4,3 5,3 6,0 4,8
4,1 6,2 7,7 4,9
1,8 5,8 6,7 6,7
2,3 7,0 7,8 6,6
16,0 29,7 26,0 54,2
15,9 28,8 25,0 55,2
15,4 28,3 24,6 56,3
14,6 29,2 24,9 56,2
14,1 29,3 25,6 56,6
10,0 10.241
5,1 9.375
6,4 8.928
17,1 9.705
8,0 9.900
4,2 -11,0 -15,8 28,0
3,9 3,4 0,1 32,0
1,5 11,5 24,4 36,3
0,7 17,0 19,9 34, 7
1,0 8,0 13,7 36,2
2,8 -2,4 11,0 74,6 35,8 38,8
3.3 -1,4 11,1 65,1 31,5 33,6
1,4 -1,3 12,2 54,3 27,0 27,3
1,4 -0,9 12,8 47,8 22,6 25,0
1,8 -0,7 13,1 41,2 20,2 21,0
PERTUMBUHAN PDB PRODUKSI (%) Pertanian Industri Pengolahan Nonmigas Lainnya DISTRIBUSI PDB (%) Pertanian Industri Pengolahan Nonmigas Lainnya STABILITAS EKONOMI Laju Inflasi, Indeks Harga Konsumen Nilai Tukar Nominal (Rp/US$) NERACA PEMBAYARAN Transaksi Berjalan/PDB (%) Pertumbuhan Ekspor Nonmigas (%) Pertumbuhan Impor Nonmigas (%) Cadangan Devisa (US$ miliar) KEUANGAN NEGARA Keseimbangan Primer/PDB (%) Surplus/Defisit APBN/PDB (%) Penerimaan Pajak/PDB (%) Stok Utang Pemerintah/PDB (%) Utang Luar Negeri Utang Dalam Negeri *) Perkiraan untuk PDB dan Neraca Pembayaran
Direktorat Perencanaan Makro Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas
II−21
Tabel II.8. PERKIRAAN NERACA PEMBAYARAN (US$ miliar) Realisasi 2002 2003 2004 Ekspor Migas Nonmigas (Pertumbuhan, %)
2005*)
Proyeksi 2006
64,1 15,2 48,9 5,5 17.4 -39,5 -7,8 -31,7 9,4
72,2 17,7 54,5 11,5
87,0 23,2 63,7 17,0
96,4 27,6 68,8 8,0
Impor Migas Nonmigas (Pertumbuhan, %)
59,2 12,9 46,3 3,4 16.7 -35,7 -6,7 -29,0 0,1
-50,6 -11,2 -39,5 24,4
-63,7 -16,4 -47,3 19,9
-72,9 -19,2 -53,7 13,7
Jasa-jasa Pembayaran Bunga Pinjaman
-15,7 -3,1
-16,5 -2,9
-18,4 -2,8
-20,8 -2,6
-21,5 -2,6
7,8
8,1
3,1
2,3
2,1
-1,1 -0,2 2,4 -2,6 -0,9 0,1 1,2 -2,3
-0,9 -0,8 2,2 -3,0 -0,1 -0,6 2,3 -0,6
2,6 -1,8 3,8 -5,6 4,4 1,0 3,1 0,2
3,3 2,1 5,1 -2,9 1,2 2,3 2,4 -3,5
0,5 -3,1 4,7 -7,8 3,6 2,4 2,1 -0,9
6,7
7,2
5,7
6,4
2,6
Selisih Perhitungan
-1,7
-0,1
-5,4
-5,8
0,0
Neraca Keseluruhan
5,0
7,2
0,3
0,6
2,6
2,6 -1,0 3,6 32,0 7,5 25,8 131,3 74,7 56,7
3,7 0,6 3,1 36,3 7,8 29,5 138,2 81,7 56,6
-1,0 -1,0 0,0 36,3 6,4 30,5 139,1 78,1 61,0
-1,5 -1,1 2,7 34,7 4,8 30,0 140,5 78,2 62,3
-1,5 -1,5 0,0 36,2 4,6 32,6 138,8 73,3 65,5
Neraca Transaksi Berjalan Neraca Modal dan Finansial Pemerintah Arus Masuk Arus Keluar Swasta PMA Neto Portofolio Lainnya To t a l
Memorandum Item Exceptional Financing IMF Neto Penjadwalan Hutang Cadangan Devisa (Dalam Bulan Impor) Cadangan Devisa Bersih Utang Luar Negeri Pemerintah Swasta *) Perkiraan
Direktorat Perencanaan Makro Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas
II−22
Tabel II.9. KEUANGAN NEGARA APBN 20041) APBN P II 2005 Rp % Rp % I. PENERIMAAN NEGARA DAN HIBAH 407,9 17,7 540,1 20,4 A. Penerimaan Negara 407,6 17,7 532,7 17,8 1. Penerimaan Pajak 280,9 12,2 334,4 12,8 a. Pajak Penghasilan 134,9 5,9 180,2 6,8 b. Pajak Pertambahan Nilai 87,6 3,8 102,7 3,9 c. Lainnya 558,4 2,5 51,5 11,9, 2. Penerimaan Bukan Pajak 126,7 5,5 180,7 6,5 a. Migas 85,3 3,7 138,6 5,0 b. Bukan Migas 41,4 1,8 42,1 1,5 B. Hibah
APBN 2006 Rp %PDB 625,2 20,6 621,6 20,4 399,3 13,1 210,7 6,9 128,3 4,2 60,3 1,9 205,3 6,8 151,6 5,0 53,7 1,7
0,3
0,0
7,5
0,3
3,6
0,1
II. PENGELUARAN NEGARA A. Belanja Pemerintah Pusat 1. Belanja Pegawai 2. Belanja Barang 3. Belanja Modal 4. Pembayaran Utang 5. Subsidi 6. Belanja Hibah 7. Belanja sosial 8. Belanja lain-lain
437,7 308,1 54,4 16,6 69,4 62,3 85,5 0 0 19,8
19,0 13,4 2,4 0,7 3,0 2,7 3,7 0 0 0,9
565,1 411,7 61,2 42,3 54,7 61,0 119,1 0 30,0 43,4
21,3 15,5 2,3 1,6 2,1 2,3 4,5 0 1,1 23,3
647,7 427,6 78,0 48,1 45,0 76,6 79,5 0 27,3 36,5
21,3 14,1 2,6 1,6 1,5 2,5 2,6 0 0,9 1,2
B. Belanja Daerah 1. Dana perimbangan a. Dana Bagi Hasil b. Dana Alokasi Umum c. Dana Alokasi Khusus 2. Dana Khusus dan
129,7 122,9 36,7 82,1 4,1 6,8
5,6 5,3 1,6 3,6 0,2 0,3
153,4 146,2 52,6 88,8 4,8 7,2
5,8 5,5 2,0 3,3 0,2 0,3
220,1 216,6 59,4 145,7 11,6 3,5
7,2 7,1 2,0 4,8 0,4 0,1
32,5
1,4
36,0
1,4
54,2
1,8
-29,9
-1,3
-24,9
-0,9
-22,4
-0,7
III. KESEIMBANGAN PRIMER IV. SURPLUS/DEFISIT ANGGARAN
V. PEMBIAYAAN 29,9 1,3 24,9 0,9 22,4 0,7 A. Pembiayaan Dalam Negeri 52,9 2,3 29,8 1,1 50,9 1,7 1. Perbankan 26,8 1,2 4,3 0,2 23,0 0,8 2. Non Perbankan 26,1 1,1 25,5 1,0 27,9 0,9 a. Privatisasi 3,5 0,2 3,5 0,1 1,0 0,0 b. Penjualan Aset 15,7 0,7 5,1 0,2 2,4 0,1 c. Surat Utang Negara 6,9 0,3 22,1 0,8 24,9 0,8 d. Penyertaan Modal 0 0 -5,2 -0,2 -0,4 0,0 B. Pembiayaan Luar Negeri -23,0 -1,0 -4,9 -0,2 -28,5 -0,9 1. Penarikan Pinjaman Luar 23,5 1,0 35,5 1,3 35,1 1,2 a. Pinjaman Program 5,1 0,2 11,3 0,4 9,9 0,3 b. Pinjaman Proyek 18,4 0,8 24,3 0,9 25,2 0,8 2. Pembayaran Pokok -46,5 -2,0 40,4 -1,5 -63,6 -2,1 Keterangan: 1) realisasi per 31 Desember; 2) menggunakan asumsi PDB nominal Rp 2.651 triliun; 3) menggunakan asumsi PDB nominal Rp 3.040 triliun
Direktorat Perencanaan Makro Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas
II−23
Tabel II.10 KEBUTUHAN INVESTASI DAN SUMBER PEMBIAYAAN (Rp Triliun) Realisasi 2002 2003 2004 2005*)
Proyeksi 2006
KEBUTUHAN INVESTASI a. Pemerintah persentase terhadap PNB (%) b. Masyarakat (termsk perubahan stok) persentase terhadap PNB (%)
389,9 55,2 3,1 334,7 18,5
360,0 70,4 3,6 283,6 14,4
491,3 74,6 3,3 416,7 18,2
646,8 95,0 3,5 551,8 20,2
805,4 117,3 3,7 688,1 21,9
SUMBER PEMBIAYAAN 1.Tabungan Dalam Negeri persentase terhadap PNB (%) a. Pemerintah persentase terhadap PNB (%) b. Masyarakat persentase terhadap PNB (%) 2.Tabungan Luar Negeri persentase terhadap PNB (%)
389,9 450,1 24,9 16,1 0,9 434,0 24,0 -60,2 -3,3
354,0 430,4 22,8 1,9 0,1 428,5 21,7 -76,4 -3,8
491,3 563,1 24,7 38,9 2,0 524,2 22,7 -71,9 -3,1
646,8 680,7 24,9 62,0 2,6 618,6 22,3 -33,8 -1,2
805,4 826,1 26,4 96,4 3,0 729,7 23,4 -20,8 -0,8
3,3 -2,2 5,5
3,8 -3,5 7,4
3,1 -1,3 4,7
1,2 -0,9 2,4
0,8 -0,7 1,3
TABUNGAN - INVESTASI (S-I) Rasio Terhadap PNB (%) a. Pemerintah b. Masyarakat *) Perkiraan
Direktorat Perencanaan Makro Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas
II−24