BAB III PROGRAM-PROGRAM PEMBANGUNAN 3.1. AGENDA MEWUJUDKAN PEMERINTAHAN DAERAH YANG AMANAH 3.1.1. Sub Agenda Mewujudkan Pemerintahan Daerah yang bersih dari KKN A. KONDISI UMUM Korupsi, Kolusi dan Nepotisme adalah permasalahan yang telah berlarut-larut, yang terjadi pada sistem yang telah berjalan ber tahun-tahun. Pemerintah sangat menyadari keadaan tersebut dan mengupayakan secepat mungkin KKN bisa terhapuskan. Upaya yang dilakukan mulai dari tingkat regulasi yaitu dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi 2004–2009, sampai dengan upaya di tingkat aksi yaitu dengan adanya program kerja dengan nama Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (RAN-PK).
B. SASARAN Untuk mewujudkan Pemerintahan Daerah yang bersih dari KKN sasaran yang ingin dicapai adalah : 1. Meningkatnya kesadaran untuk tidak melakukan KKN. 2. Meningkatnya pemahaman terhadap prosedur kerja dan peraturan yang berlaku termasuk pemahaman terhadap Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999, dan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004; 3. Meningkatnya kualitas dan kuantitas pengawasan; 4. Terselenggaranya sistem Reward dan Punishment;
C. ARAH KEBIJAKAN Arah kebijakan dalam mewujudkan Pemerintahan Daerah yang bersih dari KKN adalah : 1. Meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia termasuk mental spiritual. 2. Meningkatkan kualitas dan kemampuan aparatur pengawas 3. Menerapkan sistem pengawasan yang terus-menerus / Intensif 4. Menerapkan kebijakan yang jelas dan pasti atas sistem reward dan punishment.
30
D. PROGRAM-PROGRAM PEMBANGUNAN Program-program
yang
ditetapkan
untuk
penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah yang bersih dari KKN adalah : 1. Penurunan tingkat kesalahan pelaksana tugas ; 2. Pengembangan dan peningkatan Sumber Daya Manusia aparatur pengawasan; 3. Pendayagunaan sistem pengawasan.
3.1.2. Sub Agenda Meningkatkan Kualitas SDM Aparatur Pemerintahan Daerah A. KONDISI UMUM Tidak
dipungkiri
bahwa
pada
kenyataannya
SDM
aparatur
Pemerintahan Daerah masih terbatas kemampuannya dalam merespon perubahan yang terjadi di masyarakat, termasuk sebagai akibat perubahan politik dalam negeri maupun perubahan karena arus globalisasi. Mengingat besar dan luasnya aspek yang harus ditangani membuat gerak peningkatan kinerja pemerintah daerah seakan - akan lamban. Dengan pertimbangan bahwa sesulit apapun masalah dan kendala yang dihadapi asalkan tersedia SDM yang memadai secara kuantitas dan kualitas, semuanya pasti akan teratasi. Atas dasar pemikiran tersebut diperlukan upaya untuk meningkatkan kualitas SDM aparatur Pemerintah Daerah. Masih terbatasnya akses untuk peningkatan SDM secara indikatif terlihat dari kebutuhan anggaran peningkatan SDM melalui jalur pendidikan dan pelatihan sebesar 20% dari anggaran belanja pegawai, namun kenyataannya masih kurang. Memang diakui bahwa kemampuan APBD masih sangat rendah termasuk dari dana dekonsentrasi. Sehingga bagi-bagi kue nampaknya masih terjadi dan berat untuk membuat prioritas karena kecilnya dukungan anggaran. Selain
itu
sistem organisasi
dan
tata
kerja
kurang
mampu
menempatkan dan mengoptimalkan SDM yang ada, sehingga seiring waktu terjadi penurunan kemampuan dan pengetahuan. B. SASARAN Untuk mewujudkan peningkatan kualitas SDM aparatur Pemerintah Daerah sasaran yang ingin dicapai adalah : 1. Meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan sikap prilaku Pegawai Negeri Sipil lingkup Pemerintahan Daerah; 2. Meningkatkan kualitas rekruitmen SDM, penempatan, mutasi dan promosi;
31
3. Meningkatkan tertib administrasi kepegawaian 4. Meningkatkan pelayanan kepegawaian; 5. Meningkatkan kualitas kesejahteraan.
C. ARAH KEBIJAKAN Arah kebijakan dalam rangka peningkatan kualitas SDM aparatur Pemerintah Daerah adalah : 1. Meningkatkan tertip administrasi dan kualitas pelayanan PNS; 2. Pendayagunaan kelembagaan dan ketatalaksanaan aparatur; 3. Peningkatan profesionalisme dan kesejahteraan; 4. Peningkatan kualitas SDM melalui pembinaan kepegawaian, melalui pendidikan serta pelatihan serta peningkatan jenjang pendidikan formal;
D. PROGRAM-PROGRAM PEMBANGUNAN Program yang ditetapkan untuk peningkatan kualitas SDM aparatur Pemerintah Daerah adalah : 1. Peningkatkan tertip administrasi dan kualitas pelayanan PNS; 2. Penataan personil, kelembagaan dan ketatalaksanaan; 3. Peningkatan kesejahteraan aparatur dan pengembangan karirer PNS; 4. Peningkatan kualitas pengembangan SDM aparatur.
3.1.3. Sub Agenda Meningkatkan Kualitas Penyelenggaraan Pemerintahan A. KONDISI UMUM Adanya perbedaan kepentingan dalam penyelenggara Pemerintah Daerah,
ditandai
dengan
masuknya
kepentingan politik
yang
dapat
mengganggu gerak roda pemerintahan dan pembangunan. Ketidaktaatan pada peraturan yang berlaku dan kewenangan yang ada sering menjadi sebab munculnya ketidak berdayaan sistem yang ada untuk mampu bergerak sesuai asas umum penyelenggaraan Negara. Rendahnya pengawasan atas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah berakibat semakin rentannya sistem atas kemampuan melaksanakan asas umum
penyelengaraan negara.
Budaya
buruk
yang
masih
ada
di
Pemerintahan Daerah, sebagai warisan budaya masa lalu masih belum hilang karena sudah mengakar dan perlu perombakan sesuai dengan sistem organisasi modern. Keterbatasan sumberdaya Manusia, peralatan dan
32
pembiayaan merupakan kaitan yang terpisahkan atas rendahnya kinerja pemerintah. B. SASARAN Untuk
mewujudkan
peningkatan
kualitas
penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah, sasaran yang ingin dicapai adalah : 1. Peningkatan sarana dan prasarana kerja 2. Peningkatan peraturan pendukung 3. Peningkatan kelembagaan an ketatalaksanaan 4. Peningkatan SDM dan tehnologi Modern 5. Peningkatan data informasi dan perencanaan 6. Meningkatkan hubungan kerja dan koordinasi 7. Meningkatkan fungsi perangkat daerah 8. Meningkatkan
peran
aktif
masyarakat
terhadap
perencanaan,
pelaksanaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan.
C. ARAH KEBIJAKAN Arah kebijakan dalam rangka meningkatan kualitas penyelenggaraan Pemerintahan adalah : 1. Meningkatkan Kinerja Pemerintah Daerah melalui peningkatan sarana dan prasarana ; 2. Meningkatkan
Kapasitas
Satuan
Kerja
Perangkat
Daerah
dalam
penyelenggaraan tugas pokok dan fungsinya. 3. Meningkatkan kemampuan anggaran dengan mengoptimalkan sumbersumber keuangan daerah. 4. Melaksanakan perencanaan yang baik dan pengelolaan anggaran yang efisien dan akuntable. 5. Menarik dan mendorong peran aktif masyarakat melalui berbagai media Informasi dan komunikasi 6. Menyiapkan aturan/regulasi dengan menerbitkan, melaksanakan dan menegakkan Peraturan Daerah. 7. Meningkatkan data dan informasi yang akurat untuk penataan kebijakan dan pelaksanaan program. 8. Mengintensifkan pengawasan, monitoring dan evaluasi atas perencanaan dan pelaksanaan program.
33
D. PROGRAM-PROGRAM PEMBANGUNAN Program yang ditetapkan agar mampu mewujudkan pemerintahan yang baik adalah : 1. Peningkatan sarasan dan prasarana aparatur pemerintah 2. Peningkatan operasional Kecamatan. 3. Pengukuran Akuntanbilitas Kinerja dan pembuatan LKPJ 4. Penyelenggaraan pemilihan, pelatihan kepala desa dan pelatihan BPD; 5. Percepatan penataan organisasi pemerintahan desa; 6. Penataan dan peningkatan kesejahteraan aparat pemerintah desa dan BPD; 7. Peningkatan sumber pendapatan desa; 8. Peningkatan kemampuan aparat pemerintah desa dan BPD; 9. Penyuluhan hukum, penyelesaian sengketa, peningkatan produk hukum dan pengembangan jaring informasi hukum; 10. Sosialisasi Peraturan Daerah; 11. Peningkatan prasarana dan sarana hukum 12. Peningkatan prasarana dan sarana kearsipan 13. Peningkatan teknologi canggih serta static politik dan pemerintahan dengan pengembangan O dan P Siskomdagri; 14. Peningkatan sarana dan prasarana kantor; 15. Peningkatan inventarisasi barang daerah; 16. Penataan kelembagaan dan analisa jabatan; 17. Ketatalaksanaan dan pengolahan data; 18. Peningkatan efisiensi dan pendayugunaan aparatur Pemerintahan; 19. Peningkatan
mutu
dan
pelayanan
atas
kebutuhan
peningkatan
produktifitas kerja DPRD; 20. Peningkatan dan intensifikasi penerimaan PAD dan penerimaan dari bagi hasil pajak; 21. Peningkatan akuntabilitas, efisiensi dan pengkajian kebijakan pengelolaan keuangan daerah; 22. Peningkatan
perencanaan, pembinaan
dan
pengendalian kegiatan
dibidang verifikasi SPJ keuangan; 23. Peningkatan manajemen kepegawaian; 24. Peningkatan pengawasan; 25. Peningkatan kualitas perencanaan pembangunan daerah melalui: a. Aplikasi keterpaduan bottom up dan top down planing; b. Penyediaan instrumen perencanaan;
34
c. Aplikasi Iptekda; d. Penyediaan data temuan deviasi pembangunan bidang fisik dan prasarana, bidang ekonomi, keuangan dan industri serta bidang sosial dan budaya; e. Penelitian potensi sumber daya daerah; f.
Pemberdayaan lembaga swadaya masyarakat dan masyarakat miskin.
g. Penyediaan perencana
dokumentasi
pembangunan,
peningkatan
SDM
pembangunan;
26. Peningkatan kualitas informasi pembangunan; 27. Pengembangan jaringan teknologi informasi dan komunikasi. 3.1.4. Sub Agenda Meningkatkan Kuantitas dan Kualitas Pelayanan Umum A. KONDISI UMUM Belum optimalnya pelayanan yang diberikan, yang nampak pada belum adanya standarisasi pelayanan. Sikap aparatur yang masih sulit meninggalkan pola lama, sehingga kurang optimal dalam memberikan rasa simpatik/puas kepada masyarakat yang menerima pelayanan. Masih adanya keengganan masyarakat untuk mengurus sendiri kebutuhan pelayanan dengan pemerintah daerah, sehingga sering melibatkan bantuan orang lain yang dianggap biasa berurusan dengan pemerintah daerah. Hal ini sebagai indikasi kurangnya sosialisasi atas kemudahan pelayanan yang diberikan. B. SASARAN Untuk mewujudkan peningkatan kuantitas dan kualitas pelayanan umum maka sasaran yang ditetapkan adalah : 1. Adanya standarisasi pelayanan 2. Peningkatan sarana dan prasarana untuk menunjang pemenuhan sarana dan prasarana pelayanan sosial dan pelayanan umum 3. Peningkatan SDM 4. Peningkatan dukungan anggaran untuk penyediaan pelayanan umum C. ARAH KEBIJAKAN Arah kebijakan yang ditetapkan daerah untuk meningkatkan pelayanan umum adalah : 1. Mengupayakan tersusunnya standarisasi pelayanan 2. Peningkatan
kualitas
pelayanan,
mempermudah
prosedur,
mengembangkan jumlah pelayanan
35
3. Memberikan prioritas anggaran untuk mendukung peningkatan kuantitas dan kualitas pelayanan termasuk peningkatan sarana dan prasarana. 4. Peningkatan kapasitas aparatur dalam memberikan pelayanan publik melalui pembinaan, pendidikan, pelatihan dan studi banding.
D. PROGRAM-PROGRAM PEMBANGUNAN Program yang ditetapkan untuk peningkatan kuantitas dan kualitas pelayanan umum adalah 1. Standarisasi pelayanan publik 2. Peningkatan kuantitas dan kualitas pelayanan publik 3. Peningkatan sarana dan prasarana pelayanan publik 4. Peningkatan kapasitas aparatur dalam memberikan pelayanan publik.
3.2. AGENDA MENINGKATKAN KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA BERDASAR NILAINILAI LUHUR 3.2.1. Sub Agenda Meningkatkan Akses Masyarakat Terhadap Pendidikan yang Berkualitas A. KONDISI UMUM Masih rendahnya kualitas pendidikan masyarakat.
Berbagai upaya
pembangunan pendidikan termasuk Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun yang dicanangkan pada tahun 1994 dilaksanakan untuk meningkatkan taraf pendidikan penduduk di Kabupaten Ponorogo. Namun demikian sampai saat ini tingkat pendidikan penduduk relatif masih rendah. Sampai dengan tahun 2008/2009 Angka Partisipasi Kasar Sekolah SD/MI mencapai 106,51%, SMP/MTs mencapai 96,90 % sedangkan SM/MA mencapai 71,19%. Sedangkan Angka Partisipasi Murni untuk SD/MI mencapai 95,38 %, SMP/MTs mencapai 77,54 % dan SM/MA mencapai 59,34 %. Kondisi tersebut belum memadai untuk menghadapi persaingan global dan belum mencukupi pula sebagai landasan pengembangan ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge based economy). Fasilitas pelayanan pendidikan khususnya unuk jenjang pendidikan menengah pertama dan yang lebih tinggi belum tersedia secara merata. Fasilitas pelayanan pendidikan di daerah perdesaan, terpencil yang masih terbatas menyebabkan sulitnya anak-anak terutama anak perempuan untuk mengakses layanan pendidikan. Selain itu, fasilitas dan layanan pendidikan khusus bagi anak-anak yang mempunyai kelainan fisik, emosional, mental,
36
sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa juga belum tersedia secara memadai. Kualitas pendidikan relatif masih rendah dan belum mampu memenuhi kebutuhan kompetensi peserta didik. Hal tersebut terutama disebabkan oleh : 1. Ketersediaan tenaga pendidik yang belum memadai baik secara kuantitas maupun kualitas ; 2. Kesejahteraan pendidik yang masih rendah, ; 3. Fasilitas belajar belum tersedia secara memadai ; 4. Biaya operasional pendidikan belum disediakan secara memadai ; Hasil survey pendidikan yang dilakukan Departemen Pendidikan Nasional tahun 2004 menunjukan bahwa belum semua pendidik memiliki kualifikasi pendidikan seperti yang disyaratkan. Proporsi guru Sekolah Dasar (SD) termasuk Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) yang berpendidikan Diploma-2 keatas adalah 77 % dan proporsi guru Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs) yang berpendidikan Diploma-3 keatas sebesar 87,30 %. Kondisi tersebut tentu belum mencukupi untuk menyediakan pelayanan pendidikan yang berkualitas. Untuk jenjang pendidikan SMP/MTs dan pendidikan menengah yang mencakup Sekolah Menengah Atas (SMA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan Madrasah Aliayah (MA) yang menggunakan sistem guru mata pelajaran banyak pula terjadi ketidak sesuaian antara pelajaran yang diajarkan dengan latar belakang pendidikan guru. Disamping itu kesejahteraan pendidik baik secara finansial maupun non finansial dinilai masih rendah pula. Hal tersebut berdampak pula pada terbatasnya SDM terbaik yang memilih berkarir sebagai pendidik. Jumlah sekolah pada tahun 2008/2009 untuk tingkat TK sejumlah 377, SD sejumlah 612, SMTP sejumlah 84, SMTA sejumlah 27, Kursus sejumlah 87 dan Perguruan Tinggi sejumlah 5 Sedangkan RA/BA/TA sejumlah 246, MI sejumlah 78, MTs sejumlah 69, MA sejumlah 44 dan Diniyah sejumlah 301. Masih banyak lembaga pendidikan di Kabupaten Ponorogo mengalami kerusakan mulai dari yang ringan hingga rusak berat bahkan tidak dapat digunakan sebagai fasilitas belajar mengajar. Hal tersebut selain berpengaruh pada ketidaklayakan dan ketidaknyamanan proses belajar mengajar juga berdampak pada keengganan orang tua untuk menyekolahkan anaknya kesekolah-sekolah tersebut. Pada saat yang sama masih banyak pula peserta didik yang tidak memiliki buku pelajaran. Kecenderungan sekolah untuk mengganti buku setiap tahun ajaran baru selain semakin memberatkan orang
37
tua juga menyebabkan inefisiensi karena buku-buku yang dimiliki sekolah tidak dapat lagi dimanfaatkan oleh siswa. Pembangunan pendidikan belum sepenuhnya dapat meningkatkan kemampuan kewirausahaan lulusan. Lulusan pendidikan menengah dan pendidikan tinggi masih cenderung memilih bekerja pada orang lain dibanding menciptakan pekerjaan bagi dirinya sendiri. Pendidikan non formal yang berfungsi baik sebagai transisi dari dunia sekolah ke dunia kerja maupun sebagai bentuk pendidikan sepanjang hayat dan di arahkan terutama untuk meningkatkan kecakapan hidup dan pembinaan profesionalisme serta kompetensi vokasional belum dapat di akses secara luas oleh masyarakat. Selain itu, format dan kualitas pendidikan non formal juga belum memungkinkan untuk digunakan sebagai pengganti pelajaran yang relevan disuatu pendidikan formal. Manajemen pendidikan belum berjalan secara efektif dan efisien. Dengan
dilaksanakannya
desentralisasi
pendidikan,
pemerintah
Kabupaten/Kota memiliki kewenangan yang lebih luas dalam membangun pendidikan di masing-masing wilayah sejak penyusunan rencana, penentuan prioritas program serta mobilisasi sumber daya untuk merealisasikan rencana yang telah dirumuskan. Sejalan dengan itu, otonomi pendidikan telah pula dilaksanakan melalui penerapan manajemen berbasis sekolah dan otonomi perguruan tinggi yang memberikan wewenang yang lebih luas pada satuan pendidikan
untuk
mengelola
sumber
daya
yang
dimiliki
termasuk
mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan. Dengan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi pendidikan diharapkan daerah dan satuan pendidikan lebih tanggap terhadap kebutuhan setempat. Namun demikian pelaksanaan desentralisasi dan otonomi pendidikan belum sepenuhnya dapat dilaksanakan karena belum mantapnya pembagian peran dan tanggung jawab masing-masing
tingkat
pemerintahan
termasuk
kontribusinya
dalam
penyediaan anggaran pendidikan, serta belum terlaksananya standar pelayanan
minimal
yang
seharusnya
ditetapkan
oleh
masing-masing
Kabupaten/Kota dengan acuan dari pemerintah pusat. Disamping itu efektifitas peran serta masyarakat dalam pembangunan pendidikan termasuk peran dan fungsi dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah juga belum optimal. Pembangunan pendidikan selama tiga tahun terakhir mendapat prioritas tertinggi dalam pembangunan di Kabupaten Ponorogo yang ditunjukkan oleh penyediaan anggaran pembangunan dengan porsi terbesar
38
dibandingkan
dengan
bidang–bidang
pembangunan
lainnya.
Dengan
amandemen UUD 1945 dan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mengamanatkan agar dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20 % APBN dan minimal 20 % dari APBD, serta mewajibkan pemerintah dan pemerintah daerah menyelenggarakan pendidikan dasar tanpa memungut biaya, anggaran pendidikan pada tahun 2007 mendapat porsi yang lebih besar lagi.
B. SASARAN Secara lebih rinci sasaran pembangunan pendidikan ditandai oleh meningkatnya taraf pendidikan penduduk Kabupaten Ponorogo melalui : 1. Meningkatnya
secara
nyata
persentase
penduduk
yang
dapat
menyelesaikan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun, yang antara lain diukur dengan tingginya angka kelulusan tingkat SD/MI dan SMTP/MTs; 2. Meningkatnya Angka Partisipasi Kasar (APK) jenjang SD termasuk SDLB, MI dan Paket A sebesar 106,82% dengan jumlah siswa menjadi 82.123 dan APK jenjang SMP/MTs/Paket B sebesar 97,82 % dengan jumlah siswa menjadi sebanyak 40.995; 3. Meningkatnya angka melanjutkan lulusan SD termasuk SDLB, MI dan Paket A ke jenjang SMP/MTs/Paket B menjadi 101,18 %; 4. Meningkatnya angka penyelesaian pendidikan dengan menurunkan angka putus sekolah pada jenjang SD termasuk SDLB, MI & Paket A menjadi 0,12 % dan jenjang SMP/MTs/Paket B menjadi 0,40 % ; 5. Menurunnya rata-rata lama penyelesaian pendidikan pada semua jenjang dengan
menurunkan
angka
mengulang
kelas
pada
jenjang
SD/MI/SDLB/Paket A menjadi 3,60% dan jenjang SMP/MTs/Paket B menjadi 0,13% ; 6. Meningkatnya angka partisipasi sekolah (APS) penduduk usia 7-12 tahun menjadi 101,95% dan anak usia
7-12 tahun yang bersekolah menjadi
78.376 anak; 7. Meningkatnya secara signifikan partisipasi penduduk yang mengikuti pendidikan menengah yang antara lain diukur dengan : a. Meningkatnya
APK
jenjang
pendidikan
menengah
(SMA/SMK/MA/Paket C) menjadi 71,55 % dengan jumlah siswa
39
menjadi sekitar 28.393 ; b. Meningkatnya angka melanjutkan lulusan SMP/MTs/Paket B ke jenjang pendidikan menengah menjadi 80,40 %; c. Menurunnya
rata-rata
lama
penyelesaian
pendidikan
denga
menurunkan angka mengulang kelas jenjang pendidikan menengah menjadi 0,14 % ; 8. Meningkatnya proporsi anak yang terlayani pada pendidikan anak- anak usia dini ; 9. Meningkatnya akses orang dewasa untuk mendapatkan pendidikan kecakapan hidup ; 10. Meningkatnya keadilan dan kesetaraan pendidikan antar kelompok masyarakat termasuk antara wilayah maju dan tertinggal, antara perkotaan dan perdesaan, antara daerah maju dan daerah tertinggal, antara penduduk kaya dan penduduk miskin, serta antara penduduk lakilaki dan perempuan. 11. Tersedianya standar pelayanan pendidikan propinsi serta standar pelayanan minimal untuk tingkat Kabupaten/Kota ; 12. Meningkatnya proporsi pendidik dan jalur pendidikan formal maupun nonformal yang memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar ; 13. Meningkatnya proporsi satuan pendidikan baik negeri maupun swasta yang terakreditasi baik ; 14. Meningkatkan persentase siswa yang lulus ujian akhir pada setiap jenjang pendidikan ; 15. Meningkatnya minat baca penduduk Indonesia ; 16. Meningkatnya efektifitas pendidikan kecakapan hidup pada semua jalur dan jenjang pendidikan ; 17. Meningkatnya hasil penelitian, pengembangan dan penciptaan ilmu pengetahuan dan teknologi oleh perguruan tinggi serta penyebarluasan dab penerapannya pada masyarakat ; 18. Efektifnya pelaksanaan manajemen berbasis sekolah ; 19. Meningkatnya anggaran pendidikan baik yang bersumber dari APBN maupun APBD sebagai prioritas nasional yang tinggi didukung oleh terwujudnya system pembiayaan yang adil, efisien, efektif, transparan dan akuntabel ;
40
20. Meningkatnya peran serta masyarakat dalam pembangunan pendidikan ; 21. Meningkatnya
efektivitas
pelaksanaan
otonomi
dan
desentralisasi
pendidikan termasuk otonomi keilmuan ; 22. Meningkatnya kualitas pendidikan ; 23. Meningkatnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan pembangunan; 24. Meningkatnya efektivitas dan efisiensi manajemen pelayanan pendidikan. C. ARAH KEBIJAKAN Dalam rangka mewujudkan sasaran tersebut, Peningkatan Kualitas Pendidikan Masyarakat akan dilaksanakan dalam kerangka arah kebijakan sebagai berikut : 1. Mendukung
pelaksanaan
otonomi
daerah
dengan
meningkatkan
sinkronisasi dan koordinasi bidang pendidikan dan kebudayaan antara Propinsi dan Kabupaten/Kota ; 2. Meningkatkan kualitas lulusan melalui peningkatan kualitas pendidikan yang bermuara pada peningkatan kualitas sumber daya yang mampu mengakomodasikan
kepentingan
pembangunan
dengan
cara
meningkatkan profesionalisme tenaga pendidik maupun peningkatan sarana dan prasarana pendidikan ; 3. Memberdayakan orang tua siswa dan masyarakat sebagai stakeholder sekolah dalam mewujudkan peningkatan mutu pendidikan yang berbasis kompetensi, dengan menciptakan iklim kelembagaan yang kondusif yang memungkinkan
terciptanya
sekolah
yang
mandiri
dan
memiliki
akuntabilitas yang baik; 4. Meningkatkan layanan pendidikan keterampilan bagi anak luar biasa agar hidup mandiri; 5. Mengoptimalkan peran komite sekolah; 6. Meningkatkan penyelenggaraan pendidikan yang berorientasi kecakapan hidup (PBKH) atau life skill berdasarkan paradigma Broad Based Education (BBE); 7. Melaksanakan perintisan akselerasi pendidikan baik SSN maupun SBI di semua jenjang pendidikan. 8. Meningkatkan kompetensi pendidikan kejuruan untuk meningkatkan kualitas lulusan dalam rangka memasuki dunia kerja; 9. Meningkatkan perluasan pelayanan PLS bagi kelompok masyarakat; 10. Memanfaatkan
system
pendidikan
jarak
jauh
/
terbuka
dengan
mendayagunakan teknologi komunikasi dan informasi pendidikan;
41
11. Mendorong terwujudnya upaya-upaya ke arah pemberdayaan budaya local dan tradisional untuk meningkatkan fungsinya sebagai asset pendidikan, maupun ilmu pengetahuan. 12. Meningkatkan pemeliharaan serta perawatan dan pemanfaatan bendabenda peninggalan budaya untuk pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan maupun kepentingan wisata; 13. Memperbanyak penyelenggaraan SMK Kecil di Pondok Pesantren; 14. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh Indonesia menuju tercapainya manusia Indonesia berkualitas tinggi dengan peningkatan anggaran pendidikan secara berarti; 15. Meningkatkan mutu dan relevansi pendidikan kecakapan hidup secara terarah, terpadu dan menyeluruh melalui berbagai upaya proaktif dan reaktif oleh seluruh komponen bangsa agar generasi muda dapat berkembang secara optimal disertai dengan hak dukungan dan lindungan sesuai dengan potensinya; 16. Meningkatnya
efisiensi
membudayakan dan
penyelenggaraan
pendidikan
dengan
meningkatkan kualitas lembaga pendidikan baik
sekolah maupun luar sekolah sebagai pusat pembudayaan nilai, sikap dan kemampuan,serta meningkatkan partisipasi keluarga dan Masyarakat, didukung oleh
sarana
dan
prasarana untuk
menciptakan
sistem
pendidikan yang efektif dan efisien; 17. Perwujudan iklim dan sistem pendidikan yang demokratif dan bermutu guna
memperteguh
kebangsaan,
cerdas,
akhlak sehat,
mulia,
kreatif,
berdisiplin
inofatif,
dan
berwawasan
bertanggung
jawab
berketrampilan serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi dalam rangka mengembangkan kualitas manusia Indonesia; 18. Melakukan
berbagai
upaya
terpadu
untuk
mempercepat
proses
pengentasan masyarakat dari kemiskinan dan mengurangi pengangguran, yang merupakan dampak krisis ekonomi; 19. Mewujudkan suatu sistem pendidikan yang terpadu sesuai dengan tuntutan dunia kerja yang mengutamakan kerja sama sinergi dengan masyarakat; 20. Mengembangkan dan melembagakan pendidikan kecakapan hidup yang berbasis pada masyarakat sejalan dengan prinsip “broad based education”. 21. Mengembangkan dan melembagakan pendidikan kecakapan hidup pada
42
berbagai lembaga dan satuan pendidikan baik pada jalur pendidikan sekolah maupun pada jalur pendidikan luar sekolah yang diselenggarakan oleh masyarakat dan oleh pemerintah; 22. Mengembangkan program pendidikan kecakapan hidup yang berorientasi pasar, fokus pada permintaan pasar kerja; 23. Mengembangkan program pendidikan kecakapan hidup yang difokuskan pada menyiapkan warga belajar untuk usaha mandiri; 24. Mengembangkan
program
pendidikan
kecakapan
hidup
yang
diorientasikan dan diintegrasikan dengan pengembangan industri dan ekonomi masyarakat tingkat lokal, dengan memanfaatkan potensi dan keunggulan local; 25. Memanfaatkan
seoptimal
mungkin
berbagai
potensi
dari
elemen
masyarakat, prasarana dan sarana yang ada di masyarakat untuk pengembangan penyelenggaraan pendidikan kecakapan hidup; 26. Memberikan fasilitas dan insentif pada daerah untuk meningkatkan penyelenggaraan kecakapan hidup; 27. Megintegrasikan pelaksanaan pendidikan kecakapan hidup dengan berbagai program pembangunan yang dilaksanakan bagi masyarakat desa, kota dan masyarakat terasing; 28. Segera melakukan sosialisasi program pendidikan keaksaraan kepada masyarakat luas terutama pada masyarakat pedesaan, baik melalui media cetak atau elektronik maupun wadah-wadah pertemuan kegiatan sosial kemasyarakatan; 29. Melakukan penelitian Tutor untuk mencetak kualitas yang sebaik–baiknya dan tanggap terhadap minat warga belajarl; 30. Meningkatkan honorarium Tutor untuk memenuhi kebutuhan material dan non materialnya, sehingga dapat berpengaruh pada tingkat pendapatan (sesuai standar UMR) sekaligus meningkatkan kinerja Tutor; 31. Pemberdayaan peran masyarakat harus lebih ditingkatkan melalui RT/ Kelurahan dan wahana sosial yang ada seperti taman bacaan, pengajian, karang taruna, PKK, dan lain-lain; 32. Sarana dan prasarana harus lebih ditingkatkan terutama modul dan alat peraga untuk penunjang kegiatan belajar mengajar; 33. Perlu disusun strategi, perencanaan serta manajemen pembinaan yang baik dalam membentuk suatu wadah bagi para aksarawan baru dapat mencegah terjadinya buta huruf di kemudian.
43
D. PROGRAM-PROGRAM PEMBANGUNAN 1. Program Pendidikan Pra Sekolah ( Usia Dini – TK ), dengan kegiatan pokok yang dilaksanakan antara lain meliputi : a. Peningkatan sarana dan prasarana ; b. Pemberian bantuan kepada lembaga dan siswa Prasekolah yang kurang mampu; c. Pengembangan lembaga baru yang menagani pendidikan usia dini; d. Mendorong efisiensi proses belajar mengajar dan akuntabilitas kinerja kelembagaan.
2. Program Pendidikan Dasar, dengan kegiatan pokok yang dilaksanakan antara lain meliputi : a. Peningkatan sarana dan prasarana; b. Pemberian subsidi bagi anak sekolah melalui biaya minimal pendidikan SD/SLB/MI,SMP/SLTPLB/MTs; c. Pengembangan kurikulum muatan lokal; d. Pengembangan Manajemen Berbasis Sekolah. 3.
Program Pendidikan Menengah dengan kegiatan pokok yang dilaksanakan antara lain meliputi : a. Peningkatan sarana dan prasarana b. Pemberian bantuan biaya pendidikan untuk anak berprestasi dari keluarga miskin; c. Penyelenggaraan model alternatif layanan pendidikan ; d. Pengembangan kurikulum muatan local ; e. Penyelenggaraan sekolah unggulan dan peningkatan peran SMA dan SMK dalam pengembangan daerah ; f.
Terbentuknya kerjasama lembaga pendidikan dengan dunia usaha / industri ;
g. Pengembangan Manajemen Berbasis Sekolah ; h. Optimalisasi dan Peningkatan kualitas SMK.
4. Program
Pendidikan
Luar
Biasa,
dengan
kegiatan
pokok
yang
dilaksanakan antara lain meliputi : a. Peningkatan sarana dan prasarana ; b. Pemberian bantuan biaya pendidikan untuk anak dari keluarga miskin; c. Masuknya kurikulum muatan lokal;
44
d. Mendorong pengembangan minat baca; e. Mendorong efisiensi PBM dan akuntabilitas kinerja kelembagaan. 5. Program Pendidikan Luar Sekolah (PLS), dengan kegiatan pokok yang dilaksanakan antara lain meliputi : a. Penuntasan keaksaraan fungsional (buta huruf) b. Peningkatan sarana dan prasarana ; c. Pemberian pendidikan dan pelatihan bagi tenaga fungsional PLS ; d. Penyelenggaraan model pendidikan luar sekolah melalui link and match antara PLS dan ketenagakerjaan. e. Pelatihan manajemen ketenagakerjaan dan kewirausahaan.
6. Program Pembinaan Tenaga Kependidikan dengan kegiatan pokok yang dilaksanakan adalah fasilitasi untuk peningkatan SDM bagi tenaga pendidik.
7. Program Pendidikan Tinggi dengan kegiatan pokok yang dilaksanakan adalah pemberian rekomendasi pembukaan dan penutupan perguruan tinggi sesuai kebutuhan dan kemampuan serta kondisi daerah.
8. Program Sinkronisasi Dan Koordinasi Pembangunan Pendidikan Di Daerah dengan kegiatan pokok yang dilaksanakan adalah fasilitasi pengembangan pendidikan.
9. Program Pengembangan Budaya Baca dan Pembinaan Perpustakaan dengan kegiatan pokok yang dilaksanakan antara lain meliputi : a. Perluasan dan peningkatan kualitas layanan perpustakaan ; b. Pembinaan
dan
pengembangan
bahasa
untuk
mendukung
berkembangnya budaya ilmiah, kreasi sastra, dan seni ; c. Peningkatan intensitas
pelaksanaan kampanye
dan
promosi
budaya baca melalui media masa dan cara-cara lainnya.
3.2.2. Sub Agenda Meningkatkan Akses Masyarakat Terhadap Pelayanan Kesehatan yang Berkualitas A. KONDISI UMUM Kemajuan penting dalam pembangunan kesehatan di Kabupaten Ponorogo, yaitu meningkatnya kualitas kesehatan masyarakat yang dapat
45
dilihat
melalui
pencapaian
indikator
Angka
Kematian
Bayi
(AKB)
mengalami Penurunan dari 13.24 pada Tahun 2007 menjadi 8.71 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2008. Umur Harapan Hidup (AHH) tahun 2007 60,00 tahun dan pada Tahun 2008 menjadi 68,97 tahun. Angka pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan meningkat dari 11.313 menjadi 11.383. Namun demikian permasalahan kesehatan akan selalu timbul seiring dengan perubahan politik, ekonomi dan sosial sehingga hal ini merupakan tantangan ke depan untuk dapat dipecahkan dalam upaya menyediakan pelayanan kesehatan yang berkualitas. Beberapa permasalahan yang menjadi isu penting yang terjadi di Kabupaten Ponorogo adalah sebagai berikut :
1. Kualitas dan akses pelayanan kesehatan yang belum optimal serta belum merata dan terjangkaunya pelayanan kesehatan Kualitas pelayanan belum optimal karena belum semua sarana pelayanan kesehatan melaksanakan standar pelayanan yang telah ditetapkan. Keterjangkauan dan pemerataan pelayanan dapat dilihat dengan rasio jumlah sarana yang ada. Di Kabupaten Ponorogo terdapat 31 Puskesmas dan 56 Puskesmas Pembantu berarti setiap puskesmas melayani 10.730 orang atau belum sesuai standar dimana setiap puskesmas
melayani
30.000 penduduk. Sedangkan
Pemerintah sebanyak RS dengan
Rumah Sakit
1 di tambah dengan RS swasta jumlahnya 5
perkiraan
jumlah
tempat tidur (TT) Rumah Sakit
sebanyak 396 buah.
Jenis
dengan tenaga
peralatan yang tersedia . Namun belum semua
dan
pelayananpun
bervariasi sesuai
peralatan dan tenaga tersedia sesuai kebutuhan dan standarisasi. Disamping itu rendahnya akses terhadap pelayanan kesehatan sering terjadi terutama pada masyarakat miskin terutama pada masyarakat miskin karena kendala biaya (cost barrier). Untuk meningkatkan akses pelayanan kesehatan kepada penduduk miskin dilaksanakan program Gerdu-Taskin dan program pelayanan gratis bagi masyarakat miskin. Hal ini dapat dilihat bahwa penduduk miskin telah berobat ke RS sebesar 30,56 %. Agar pemerataan pelayanan dan peningkatan kualitas pelayanan dapat diwujudkan, maka pengembangan pelayanan kesehatan bagi penduduk miskin harus terus ditingkatkan.
2. Perilaku yang kurang mendukung pola hidup bersih dan sehat dan
46
pemberdayaan masyarakat terhadap kesehatan relative rendah Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) dapat dilihat dari penggunaan air bersih sekitar 89,3 %, penggunaan jamban sebesar
62,17 % dan
pemberian ASI eksklusif baru mencapai 48,23 % serta jumlah penduduk yang merokok masih tinggi, sehingga perilaku PHBS belum sepenuhnya dilakukan masyarakat. Sedangkan pemberdayaan masyarakat dapat dilihat dari jumlah posyandu 1.131 buah serta dengan strata terbanyak pada tingkat purnama mandiri sebanyak 16,80 %. Selain itu terdapat 14 Polindes (4,62%) dari jumlah desa yang ada. Demikian wadah pemberdayaan masyarakat, seperti saka bakti husada, pos usaha kesehatan kerja, pos kesehatan pesantren dan lainnya yang sudah berkembang namun belum optimal mendukung peningkatan pelayanan kesehatan yang ada. 3. Terjadinya beban ganda penyakit dan rawan bencana Penyakit yang diderita oleh masyarakat di Kabupaten Ponorogo sebagian besar penyakit menular seperti TB dengan angka kesembuhan mencapai 82,4 % dari target 80 % ; malaria sebanyak 168 (0,56%) kasus dan upaya pemberantasan malaria dilakukan melalui penemuan dan pengobatan penderita baik aktif maupun pasif (ACD dan PCD), peningkatan sistem kewaspadaan dini, pemberantasan vector dengan penyemprotan, PSN, pemakaian kelambu maupun dengan pengelolaan lingkungan, sedangkan angka bebas jentik di Kabupaten Ponorogo tahun 2008 adalah 75% sedangkan angka bebas jentik yang diharapkan secara Nasional adalah lebih dari 95% ; penyakit kusta dengan prevalensi 0,61 per 10.000 (sepuluh ribu) penduduk ; Angka kematian akibat penyakit Demam Berdarah (DBD) meningkat menjadi 0,50 % tahun 2008; Penderita HIV/AIDS di Kabupaten Ponorogo belum terdeteksi. Demikian juga status gizi masyarakat masih rendah hal ini ditunjukkan oleh PMT pemulihan untuk balita gizi hingga
kurang
< 5 % dan balita gizi buruk hingga <1%, untuk balita gizi buruk
sejumlah 5 (lima) anak semuanya mendapatkan perawatan. Penanggulangan penyakit tersebut belum didukung sistem kewaspadaan dini yang memadai dan akurat sehingga sering tidak terdeteksi secara dini. Demikian pula banyak terjadi peningkatan penyakit menular atau degeneratif seperti jantung, diabetes, peningkatan pembuluh darah / stroke. Dengan adanya masalah penyakit menular dan tidak menular ini menjadi beban ganda. Disamping itu di Kabupaten Ponorogo merupakan
47
daerah rawan berbagai jenis bencana dengan beberapa korban yang meninggal, luka berat dan ringan. Sedangkan tim penanggulangan masih belum optimal.
4. Kualitas lingkungan yang belum mendukung Pembangunan berwawasan
kesehatan
merupakan
tujuan dari
peningkatan kualitas lingkungan - lingkungan sehat yang merupakan tanggung jawab bersama antar sektor. Saat ini kualitas lingkungan yang belum optimal yang dilihat dari tempat pengelolaan makanan (TPM) yang memenuhi syarat 60,30 % dari yang dibina. Tempat-tempat umum (TTU) yang memenuhi syarat 82,95 % dari yang dibina, sedangkan TTU yang terdaftar sejumlah 1.029. Demikian juga kondisi rumah yang memenuhi syarat baru 66,4 % dari yang dibina. Hasil uji petik pemeriksaan residu pestisida dalam darah pada petani pengguna pestisida yang diperiksa sejumlah 74 orang petani di Kabupaten Ponorogo menunjukkan bahwa tingkat keracunan ringan mencapai 47 orang, keracunan sedang sejumlah 15 orang, keracunan berat sejumlah 2 orang dan 10 orang dinyatakan normal. Belum lagi masalah limbah industri dan hasil produksi yang membawa dampak terhadap masalah-masalah kesehatan yang semakin marak.
5. Distribusi dan kompetensi tenaga kesehatan yang belum merata Berdasarkan jumlah tenaga medis yang ada, rasio tenaga medis masih belum merata, di Kabupaten Ponorogo satu tenaga medis melayani 2.126 penduduk. Di Kabupaten Ponorogo hanya memiliki Institusi Pendidikan D3 sebanyak 3 institusi. Sedangkan jumlah tenaga kesehatan di Kabupaten Ponorogo untuk Dokter Spesialis sebanyak 55 orang, Dokter Umum sebanyak 53 orang, Dokter Gigi 24 orang, Tenaga Kefarmasian 28 orang dan Tenaga Gizi 19 orang, Tenaga Keperawatan sebanyak 385 orang, Bidan 335 orang, Tenaga Kesehatan Masyarakat 54 orang, Tenaga Sanitasi 29 orang, Tenaga Teknisi Medis 36 orang. Institusi pendidikan dan pelatihan tenaga kesehatan di Kabupaten Ponorogo yang ada saat ini belum terakreditasi semuanya sehingga mutu lulusan tenaga kesehatan masih belum memadai dan memenuhi standar (siap latih belum siap kerja). Disisi lain belum semua tenaga kesehatan memenuhi kompetensi profesi terkait untuk dapat terakreditasi sebagai tenaga kesehatan profesional.
48
6. Kurang optimalnya sistem manajemen dan regulasi kesehatan Adanya otonomi daerah memberikan pengaruh bagi sistem manajemen dan regulasi kesehatan. Koordinasi menjadi strategi yang penting dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan antar daerah menjadi masalah penting, sebagai contoh pengumpulan data informasi kesehatan yang terganggu, bervariasinya sasaran pembangunan, pembangunan kesehatan, persentase anggaran kesehatan yang tidak optimal tergantung komitmen para pemimpin atau pengambil keputusan di daerah. Disamping itu ada
pula peraturan-
peraturan yang berlaku belum sepenuhnya mendukung peningkatan pelayanan kesehatan. Namun demikian sebagai upaya koordinasi dan evaluasi kinerja bidang kesehatan telah tersusun sistem kesehatan propinsi (SKP) dan sistem pelayanan minimal (SPM) yang digunakan sebagai acuan daerah dalam pembangunan di bidang kesehatan walaupun belum sepenuhnya dapat dilakukan oleh daerah saat ini. B. SASARAN Sasaran pembangunan kesehatan di Kabupaten Ponorogo pada tahun 2005-2010 adalah meningkatnya derajat kesehatan setinggi-tingginya melalui peningkatan jangkauan / akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang antara lain tercermin dari beberapa indikator sebagai berikut : 1. Meningkatnya umur harapan hidup dari 77,2 menjadi 79 tahun; 2. Menurunnya angka kematian bayi dari 39 menjadi 35 per 1.000 kelahiran hidup ; 3. Menjaga agar angka kematian ibu melahirkan berada dalam kisaran 125 per 100.000 kelahiran hidup ; 4. Menurunnya prevalensi gizi kurang pada anak balita dari 26 % menjadi 15 %. 5. Meningkatnya cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan dari 87% menjadi 90%. 6. Cakupan peserta aktif KB dari 50 % menjadi 70 %. 7. Cakupan sarana kesehatan dengan kemampuan pelayanan gawat darurat yang dapat di akses masyarakat dari 60 % menjadi 90 %. 8. Tersedianya obat generik dari 90 % menjadi 100 %. 9. Cakupan Posyandu Purnama dari 26 % menjadi 40 % . 10. Cakupan air bersih dari 86,7 % menjadi 88,47 %. 11. Angka prevalensi kusta dari 1,59 menjadi 1 per 10.000 penduduk. 12. Angka kesembuhan TB dari 85 % menjadi >85 %.
49
C. ARAH KEBIJAKAN Dalam upaya mencapai sasaran tersebut, kebijakan pembangunan kesehatan diarahkan pada : 1. Peningkatan kualitas pelayanan pada setiap strata pelayanan. 2. Pengembangan jaminan kesehatan bagi penduduk terutama keluarga miskin. 3. Peningkatan kualitas, kuantitas dan pendayagunaan tenaga kesehatan. 4. Peningkatan kualitas lingkungan sehat dan peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat serta mendorong pemberdayaan masyarakat. 5. Peningkatan pembinaan dan pengawasan obat dan perbekalan kesehatan. 6. Pemerataan dan peningkatan kualitas fasilitas atau sarana dan prasaran kesehatan. 7. Pengembangan manajemen dan regulasi bidang kesehatan.
D. PROGRAM-PROGRAM PEMBANGUNAN Arah
kebijakan
dalam
rangka
meningkatkan
derajat
kesehatan
masyarakat tersebut di jabarkan dalam program–program pembangunan sebagai berikut : 1. Program Upaya Kesehatan Masyarakat , dengan kegiatan pokok yang dilakukan dalam program ini meliputi : a. Pelayanan
kesehatan
penduduk
terutama
penduduk
miskin
di
Puskesmas dan jaringannya; b. Pengadaan, peningkatan dan perbaikan sarana dan prasarana di Puskesmas dan jaringannya; c. Pengadaan peralatan dan perbekalan kesehatan termasuk obat generik esensial; d. Peningkatan dan pengembangan pelayanan kesehatan dasar yang mencakup promosi kesehatan, kesehatan ibu dan anak, keluarga berencana, perbaikan gizi, kesehatan lingkungan, pemberantasan penyakit menular dan pengobatan dasar; e. Penyediaan biaya operasional dan pemeliharaan. 2. Program Upaya Kesehatan Perorangan dengan kegiatan pokok yang dilakukan dalam program ini meliputi : a. Pelayanan kesehatan bagi penduduk miskin di rumah sakit dan atau rumah sakit khusus; b. Pembangunan dan perbaikan sarana dan prasarana rumah sakit dan atau rumah sakit khusus;
50
c. Pengadaan peralatan dan perbekalan rumah sakit dan atau rumah sakit khusus.; d. Peningkatan dan pengembangan pelayanan kesehatan rujukan; e.
Penyediaan biaya operasional dan pemeliharaan.
3. Program Perbaikan gizi masyarakat dengan kegiatan pokok yang dilakukan dalam program ini meliputi : a. Peningkatan pendidikan dan pengetahuan tentang gizi; b. Penanggulangan kurang energi protein (KEP), Anemia gizi besi, gangguan akibat kekeurangan yodium (GAKY), kurang vitamin A, dan kekurangan c.
zat gizi mikro lainnya ;
d. Peningkatan surveilens untuk kewaspadaan gizi; e. Pelayanan Kesehatan di daerah rawan bencana; f.
Peningkatan dan pengembangan pelayanan kesehatan di daerah rawan bencana.
4. Program Obat dan Perbekalan Kesehatan dengan kegiatan pokok yang dilakukan program ini meliputi : a. Peningkatan pengawasan obat dan makanan ; b. Penanggulangan penyalahgunaan narkotika, psikotropika, zat adiktif lainnya (NAPZA) ; c. Peningkatan ketersediaan obat dan perbekalan kesehatan; d. Penelitian dan pengembangan tanaman obat; e. Peningkatan promosi pemanfaatan obat bahan alam Indonesia. 5. Program Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat dengan kegiatan pokok yang dilaksanakan dalam program ini adalah : a. Pengembangan perumusan pedoman promosi kesehatan dan teknologi serta peningkatan Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE); b. Pengembangan upaya kesehatan masyarakat dan terutama generasi muda; c. Peningkatan
pendidikan
dan
pengetahuan
kesehatan
kepada
masyarakat. 6. Program Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit dengan kegiatan pokok yang dilakukan dalam program ini adalah :
51
a. Pencegahan dan penanggulangan faktor resiko; b. Peningkatan imunisasi; c. Penemuan dan tatalaksana penderita; d. Peningkatan surveilens epidemiologi dan penanggulangan wabah; e. Peningkatan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) pencegahan dan pemberantasan penyakit. 7. Program Lingkungan Sehat dengan kegiatan pokok yang dilakukan dalam program ini meliputi : a. Penyediaan sarana air bersih dan sanitasi dasar ; b.
Pengawasan kualitas lingkungan;
c.
Pengendalian dampak resiko lingkungan.
8. Program Sumber Daya Kesehatan dengan kegiatan pokok yang dilakukan dalam program ini meliputi : a. Perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan; b. Peningkatan ketrampilan dan profesionalisme tenaga kesehatan melalui pendidikan, pelatihan dan pendayagunaan tenaga kesehatan; c. Pemenuhan kebutuhan tenaga kesehatan, terutama untuk pelayanan kesehatan di Puskesmas dan jaringannya serta Rumah Sakit; d. Pembinaan tenaga kesehatan termasuk pengembangan karir tenaga kesehatan. 9. Program Manajemen dan Kebijakan Pembangunan Kesehatan dengan kegiatan pokok yang dilakukan dalam program meliputi : a. Pengkajian dan perumusan kebijakan/regulasi bidang kesehatan; b. Pengembangan sistem perencanaan dan penganggaran, pelaksanaan dan pengendalian; c. Pengembangan sistem informasi kesehatan ; d. Penelitian dan pengembangan bidang kesehatan. 3.3. AGENDA MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN RAKYAT PONOROGO YANG LEBIH BAIK 3.3.1. Sub Agenda Meningkatkan Kualitas Kehidupan Beragama A. KONDISI UMUM Kehidupan beragama pada sebagian masyarakat baru mencapai tataran simbol-simbol keagamaan dan belum sepenuhnya bersifat substasial.
52
Hal ini tercermin antara lain pada gejala negatif seperti perilaku asusila, praktik KKN, penyalahgunaan narkoba, pornografi, pornoaksi, dan perjudian. Selain itu, angka perceraian yang masih tinggi dan ketidakharmonisan keluarga menunjukkan masih lemahnya peran keluarga sebagai basis pembinaan masyarakat dan bangsa. Berbagai perilaku masyarakat yang bertentangan
dengan
moralitas
dan
etika
keagamaan
itu
jelas
menggambarkan kesenjangan antara ajaran agama dengan pemahaman dan pengamalannya. Hal ini merupakan tantangan bagi pelaksanaan pendidikan agama dan pendidikan keagamaan yang belum dapat
diatasi
sepenuhnya
oleh
pemerintah. Kendala utama adalah kurangnya jumlah dan rendahnya mutu pendidik dan tenaga kependidikan lainnya, minimnya jam pelajaran agama pada sekolah umum, terbatasnya sarana dan prasarana pendidikan agama, serta minimnya fasilitas pendukung lainnya. Pada sisi lain, derasnya arus globalisasi terutama melalui media cetak dan elektronik yang semakin kuat mempengaruhi perilaku anak didik yang cenderung ke arah negatif, yang seharusnya dapat
dicegah atau dikurangi
dengan pemahaman dan
penghayatan agama. Hal tersebut terlihat antara lain dari kurangnya sarana dan prasarana ibadah, belum optimalnya pemanfaatan tempat peribadatan, serta belum optimalnya pengelolaan dana sosial keagamaan. Kehidupan beragama di sebagian kelompok masyarakat tampak eksklusif baik dalam hubungan intern umat beragama maupun dalam hubungan antar umat beragama. Hal ini perlu menjadi perhatian semua pihak termasuk lembaga sosial keagamaan dan lembaga pendidikan keagamaan. Lembaga sosial keagamaan dan lembaga pendidikan keagamaan perlu memerankan fungsinya sebagai agen perubahan sosial. Fungsi tersebut terutama dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan memberi kesempatan untuk memperoleh pendidikan bagi warga masyarakat yang kurang mampu terutama di daerah pedesaan. Kehidupan harmoni di dalam masyarakat belum sepenuhnya dapat diwujudkan antara lain akibat munculnya ketegangan sosial yang sering melahirkan konflik intern dan antar umat beragama. Konflik ini pada mulanya disebabkan oleh ketimpangan
sosial dan ketidakadilan ekonomi yang
seringkali memanfaatkan sentimen agama. Selain itu, konflik tersebut juga dapat diakibatkan
oleh tingkat pendidikan masyarakat yang masih lemah.
Padahal disadari bahwa dalam tatanan kehidupan masyarakat sudah ada
53
berbagai kearifan lokal dan adat istiadat yang dapat menjadi wadah komunikasi yang bersifat lintas wilayah, agama, dan suku bangsa. B. SASARAN 1. Peningkatan Kualitas Pelayanan Kehidupan Beragama a. Meningkatkan
kepedulian
dan
kesadaran
masyarakat
dalam
memenuhi kewajiban membayar zakat, wakaf, infak, dan shodaqoh dalam rangka mengurangi kesenjangan sosial di masyarakat; b. Meningkatkan kualitas pelayanan kehidupan beragama bagi seluruh lapisan masyarakat sehingga mereka dapat memperoleh hak-hak dasar dalam memeluk agamanya masing-masing dan beribadat sesuai agamanya masing-masing dan beribadat sesuai agama dan kepercayaannya; 2. Peningkatan Kerukunan Intern dan Antar umat Beragama Terciptanya harmoni sosial dalam kehidupan intern dan antarumat beragama
yang
toleran
serta
saling menghormati dalam rangka
menciptakan suasana yang aman dan damai. C. ARAH KEBIJAKAN 1. Peningkatan Kualitas Pelayanan Kehidupan Beragama a. Peningkatan kualitas pendidikan agama dan pendidikan keagamaan pada semua jalur, jenis, dan jenjang pendidikan; b. Peningkatan kesadaran masyarakat dalam membayar zakat, wakaf, infak, shodaqoh. c. Peningkatan kualitas penataan dan pengelolaan serta pengembangan fasilitas
pada
pelaksanaan
ibadah,
dengan
memperhatikan
kepentingan seluruh lapisan umat beragama dengan akses yang sama bagi setiap pemeluk agama; d. Pembinaan keluarga harmonis ( sakinah/bahagia/sukinah/hita sukaya) untuk menempatkan keluarga sebagai pilar utama pembentukan moral dan etika;
2. Peningkatan Kerukunan Intern Dan Antar umat Beragama a. Peningkatan upaya menjaga keserasian sosial dalam kelompok – kelompok keagamaan dengan memanfaatkan kearifan lokal dalam rangka memperkuat hubungan sosial masyarakat;
54
b. Pencegahan kemungkinan berkembangnya potensi konflik di dalam masyarakat
yang
mengandung
sentimen
keagamaan
dengan
mencermati secara responsif dan mengantisipasi secara dini terjadinya konflik; c. Penyelesaian konflik sosial yang berlatarbelakang agama melalui mekanisme revolusi konflik, dengan mengutamakan keadilan dan persamaan hak untuk mendapatkan perdamaian hakiki; d. Peningkatan kerjasama intern dan antar umat beragama di bidang sosial ekonomi.
D. PROGRAM-PROGRAM PEMBANGUNAN 1. Program Peningkatan Pendidikan Agama dengan kegiatan pokok : a. Fasilitasi Peningkatan Pengembangan wawasan bagi guru agama b. Fasilitasi keagamaan bagi pelajar dan mahasiswa c. Fasilitasi pengembangan pondok pesantren dan madrasah.
2. Program Peningkatan Pelayanan Kehidupan Beragama dengan kegiatan : a. Fasilitasi sarana dan prasarana keagamaan b. Fasilitasi pembinaan keluarga sakinah/sukinah/hita sukaya/bahagia; c. Peningkatan kualitas pembinaan, pelayanan, perlindungan bagi umat beragama; d. Peningkatan
pelayanan
dan
pengelolaan
zakat,
wakaf, infak,
shodaqoh, kolekte, dana dunia dan dana paramita serta ibadah sosial lainnya,
3.
Program Peningkatan Kerukunan Umat Beragama dengan kegiatan : a. Pembangunan hubungan antar umat beragama, majelis agama dengan pemerintah melalui forum dialog dan temu ilmiah; b. Meningkatkan peran jaringan kerjasama antar umat beragama dan silaturahmi antara pemuka agama, cendekiawan agama, dan tokoh agama.
3.3.2. Sub Agenda Penanggulangan Kemiskinan A. KONDISI UMUM 1. Keterbatasan Kecukupan dan Mutu Pangan Pemenuhan kebutuhan pangan yang layak dan memenuhi persyaratan gizi masih menjadi persoalan bagi masyarakat miskin.
55
Berdasarkan data yang digunakan MDGs dalam indikator kelaparan, sekitar 23,87 % dari penduduk Kabupaten Ponorogo masih berada dibawah asupan kalori sebanyak 2100 kalori per kapita/hari. Hal ini menunjukkan bahwa permasalahan kecukupan kalori, disamping menjadi permasalahan masyarakat miskin, ternyata juga dialami oleh kelompok masyarakat lainnya yang berpendapatan tidak jauh diatas garis kemiskinan.
2. Terbatasnya Akses dan Mutu Layanan Kesehatan Masalah utama yang menyebabkan rendahnya derajat kesehatan masyarakat miskin adalah : a. Rendahnya akses terhadap pelayanan kesehatan karena terbatasnya biaya, jarak dan transportasi, b. Belum optimalnya kualitas pelayanan kesehatan yang disebabkan belum meratanya tenaga kesehatan, sarana dan prasarana pelayanan kesehatan, c. Kurangnya pemahaman terhadap perilaku hidup sehat dan d. Belum optimalnya pemanfaatan dan sistem jaminan pemeliharaan bagi masyarakat miskin.
3. Terbatasnya Akses dan Rendahnya Mutu Layanan Pendidikan Keterbatasan masyarakat miskin untuk mengakses layanan pendidikan dasar terutama disebabkan tingginya beban biaya pendidikan baik biaya langsung maupun tidak langsung.
4. Terbatasnya Akses Layanan Perumahan dan Sanitasi Masalah
utama
yang
dihadapi
masyarakat
miskin
adalah
terbatasnya akses terhadap perumahan yang sehat dan layak, rendahnya mutu
lingkungan
mendapatkan Masyarakat
permukiman
dan miskin
menghuni tidak
dan
lemahnya
perumahan
mampu
yang
membayar
perlindungan layak biaya
untuk
dan sehat. awal
untuk
mendapatkan perumahan sederhana yang dekat dari tempat usaha dengan harga murah. 5. Terbatasnya Kesempatan Kerja dan Berusaha Angka pengangguran di Kabupaten Ponorogo tahun 2007 masih
56
sangat
tinggi jumlahnya. Tingginya angka pengangguran disebabkan
antara lain, lambannya pertumbuhan ekonomi, keterbatasan modal, rendahnya kualitas tenaga kerja, rendahnya investasi.
6. Terbatasnya Akses terhadap Air Bersih Kesulitan untuk mendapatkan air bersih terutama disebabkan oleh terbatasnya akses, terbatasnya penguasaan sumber air dan menurunnya mutu sumber air. Keterbatas akses terhadap air bersih akan berakibat pada penurunan mutu kesehatan dan penyebaran berbagai macam penyakit lain seperti diare. Masyarakat miskin juga mengalami masalah dalam mengakses sumber-sumber air yang diperlukan untuk usaha tani dan menurunnya mutu air akibat pencemaran dan limbah industri. Berkurangnya air akibat penggundulan hutan dan pendangkalan serta menurunnya mutu saluran irigasi mengakibatkan berkurangnya jangkauan irigasi. Masalah ini membuat lahan tidak dapat diusahakan secara maksimal, yang pada gilirannya mengurangi pendapatan petani. 7. Menyempitnya dan hilangnya sumber mata pencaharian Hilangnya
sumber
mata
pencaharian
masyarakat
miskin
disebabkan antara lain terdesaknya masyarakat miskin oleh pemodal besar, menurunnya produktifitas, bencana alam dan sosial, PHK, maupun kebijakan pemerintah.
B. SASARAN Sasaran penanggulangan kemiskinan adalah menurunnya penduduk miskin dan terpenuhinya hak-hak dasar rakyat miskin secara bertahap. Adapun sasaran secara rinci sebagai berikut : 1. Menurunnya persentase penduduk miskin yang berada dibawah garis kemiskinan menjadi 18 % pada tahun 2010; 2. Terpenuhinya kecukupan pangan yang bermutu dan terjangkau; 3. Terpenuhinya pelayanan kesehatan dan jaminan pelayanan kesehatan keluarga miskin secara gratis dan bermutu; 4. Tersedianya pelayanan pendidikan dasar secara gratis, bermutu dan merata; 5. Terpenuhinya kebutuhan perumahan dan sanitasi yang layak dan sehat serta kebutuhan air bersih bagi masyarakat miskin;
57
6. Terbukanya kesempatan kerja dan berusaha; 7. Terbukanya akses permodalan dalam menciptakan dan mengembangkan usaha; 8. Terbangunnya pusat pengembangan cluster ekonomi kawasan perdesaan serta tersedianya fasilitas uji coba dan pembelajaran masyarakat miskin dalam pengembangan potensi ekonomi perdesaan; 9. Terpenuhinya sasaran dan meningkatnya kualitas pengelolaan program Gerakan Terpadu Pengentasan Kemiskinan (Gerdu Taskin) melalui pendekatan Tridaya (pemberdayaan masyarakat, usaha dan lingkungan); 10. Peningkatan kapasitas kelembagaan desa dan kapasitas kelompok masyarakat (Pokmas) dalam mengelola usaha baik secara mandiri maupun kolektif; 11. Terbukanya akses masyarakat miskin dalam pembanfaatan sumber daya alam dan terjaganya kualitas lingkungan hidup; 12. Meningkatnya
partisipasi
masyarakat
miskin
dalam
pengambilan
keputusan; 13. Terjaminnya integrasi program sektoral yang secara tegas berorientasi pada penciptaan lapangan kerja dan pengentasan kemiskinan. C. ARAH KEBIJAKAN Memahami kompleksitas masalah kemiskinan dan kerentanan yang ada pada setiap proses upaya pengentasannya, menyadarkan kita betapa pemecahan masalah ini tidak bisa hanya dilakukan secara sektoral, tetapi multi dimensi dalam program lintas pembangunan yang menyangkut sinergitas peran pemerintah, dunia usaha dan masyarakat. Secara umum kebijakan pembangunan pemerintah Kabupaten Ponorogo diarahkan pada upaya pengentasan kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja melalui berbagai program yang mampu meningkatkan pendapatan dan meringankan beban masyarakat miskin. Sedangkan secara spesifik kebijakan penanganan kemiskinan diarahkan pada : 1. Penyempurnaan berbagai kebijakan yang merintangi aksesibilitas dan lebih
berpihak
kepada
rakyat
miskin
serta
konsisten
dalam
pelaksanaannya; 2. Mendorong partisipasi masyarakat dan dunia usaha melalui kebijakan yang mampu mengentaskan kemiskinan; 3. Penajaman program pembangunan lintas sektor dan lintas pelaku yang diarahkan pada desa-desa dan kantong-kantong komunitas miskin;
58
4. Peningkatan pemenuhan dan aksesibilitas masyarakat miskin terhadap ketersediaan pangan yang memadai dan bermutu; 5. Peningkatan aksesibilitas dan layanan kesehatan bagi masyarakat miskin secara gratis melalui program jaminan pelayanan kesehatan bagi keluarga miskin dan program-program lainnya yang berkelanjutan; 6. Peningkatan aksesibilitas dan layanan pendidikan dasar secara gratis dan bermutu melalui peningkatan angka partisipasi murni (APM), pengurangan beban operasional sekolah, mempersempit kesenjangan pendidikan antara kawasan perdesaan dan perkotaan, penyelarasan kurikulum sekolah kejuruan dengan dunia usaha, serta peningkatan anggaran pendidikan secara proporsional dan memadai; 7. Peningkatan ketersediaan dan akses masyarakat miskin terhadap rumah murah, sanitasi dan lingkungan yang sehat serta ketercukupan fasilitas air bersih, dan pemberian legalitas penduduk musiman bagi pendatang; 8. Peningkatan akses dan layanan permodalan dan pengembangan usaha bagi masyarakat miskin dengan memberikan bunga rendah tetapi tetap memperhatikan mekanisme pasar yang ada; 9. Pemeliharaan dan pengembangan kesempatan kerja yang didukung oleh tenaga kerja yang terampil dalam suasana hubungan kerja yang harmonis antar pelaku produksi, adanya perlindungan kesehatan dan keamanan kerja serta peningkatan upah buruh berdasarkan standar kebutuhan hidup minimal; 10. Pengembangan potensi wilayah dan cluster ekonomi perdesaan dengan mengembangkan produk unggulan yang spesifik dan kompetitif serta mempunyai dampak langsung terhadap percepatan pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja; 11. Melanjutkan program Gerdu Taskin khususnya pada daerah tertinggal dengan meningkatkan kualitas pendekatan Tridaya dan keterpaduan antar sektor serta revitalisasi fungsi Komite Penanggulangan Kemiskinan; 12. Pemenuhan kebutuhan infrastruktur dasar dan sarana ekonomi sesuai karakteristik kebutuhan, sehingga mampu mengakses dan meningkatkan peluang
bagi
kelompok
masyarakat
miskin
untuk
meningkatkan
produktivitas sesuai basis mata pencaharaannya; 13. Pengintegrasian semua program sektoral yang diikat oleh orientasi utama pengentasan kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja yang terukur kualitas dan kuantitas kontribusinya pada setiap periode. Integrasi program baik antar sektor dalam lingkungan Pemerintah Kabupaten
59
Ponorogo maupun dengan Pemerintah Propinsi Jawa Timur dan Pemerintah Pusat, dengan pembagian peran dan tanggungjawab pembiayaannya; 14. Pengembangan kapasitas yang diorientasikan pada penguatan peran pemerintah sebagai fasilitator dan katalisator pembangunan serta pengembangan sinergi dengan kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat dan Perguruan Tinggi dalam rangka fasilitasi atas pemberdayaan masyarakat miskin dan evaluasi program; 15. Peningkatan
keterlibatan
masyarakat
miskin
dalam
pengambilan
keputusan pembangunan terutama yang secara langsung menyangkut kepentingan dan eksistensinya melalui forum dialog yang konstruktif.
D. PROGRAM-PROGRAM PEMBANGUNAN Berpijak dari sasaran dan arah kebijakan, maka program penanganan kemiskinan tetap akan berpegang pada akar permasalahan dengan mempertimbangkan kondisi dan kemampuan yang ada. Dengan demikian akan dilakukan secara bertahap dengan konsistensi tinggi atas arah yang telah ditentukan. Ada permasalahan strategis, ada permasalahan yang merupakan akibat, dan ada pula permasalahan yang bersifat pendukung. Masing-masing permasalahan akan dijawab melalui kerangka program yang dilaksanakan oleh masing-masing sektor, tetapi diikat oleh sebuah isu utama pengentasan kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja. Tidak semua permasalahan mampu dijawab melalui berbagai program yang dirancang oleh pemerintah daerah, tetapi diperlukan sharing dengan pemerintah pusat dan pemerintah propinsi. Langkah kebijakan penanganan kemiskinan dituangkan dalam programprogram sebagai berikut : 1. Program Penyempurnaan Kebijakan Kemiskinan a. Melakukan kajian ulang terhadap berbagai Peraturan Daerah dan peraturan lainnya yang terkait langsung dengan kebijakan penanganan kemiskinan; b. Pengembangan partisipasi masyarakat dalam perumusan program dan kebijakan pengentasan kemiskinan. 2. Program Pemenuhan Pelayanan Dasar dan Jaminan Sosial bagi Masyarakat Miskin a. Bantuan pangan kepada keluarga miskin / rawan pangan;
60
b. Peningkatan kualitas
pelayanan kesehatan secara gratis bagi
penduduk miskin di Rumah Sakit, Puskesmas dan jaringannya melalui asuransi kesehatan; c. Peningkatan mutu layanan pendidikan dasar bebas biaya bagi kelompok masyarakat miskin; d. Memberikan dukungan pembiayaan dalam bentuk bea siswa bagi anak keluarga miskin yang melanjutkan pendidikannya pada jenjang sekolah lanjutan. e. Pengembangan sistem pembiayaan perumahan bagi masyarakat miskin. 3. Program Pengembangan Usaha Ekonomi Produktif bagi Masyarakat Miskin a. Peningkatan akses masyarakat miskin terhadap modal, faktor produksi, informasi, teknologi dan pasar; b. Penyediaan sistim-sistim pembiayaan alternatif oleh Perbankan dengan tanpa mendistorsi pasar. 4. Program
Pemeliharaan
Dan
Perluasan
Kesempatan
Kerja
Bagi
Masyarakat Miskin a. Mengembangkan kualitas tenaga kerja terampil; b. Pencegahan terhadap eksploitasi dan berbagai bentuk pekerjaan terburuk anak.
5. Program Pengembangan Potensi Wilayah Miskin Perdesaan a. Pengembangan cluster ekonomi berbasis pada potensi dengan mengembangkan produk unggulan yang spesifik dan kompetitif; b. Fasilitasi pembentukan dan pengembangan BUM-Des.
6. Program Pengembangan Kawasan Miskin Perkotaan a. Peningkatan peran serta masyarakat miskin di perkotaan dalam perencanaan tata ruang; b. Memberikan kepastian status kependudukan masyarakat miskin di perkotaan; c. Penyediaan air bersih dan sanitasi lingkungan permukiman secara merata; d. Pengelolaan dan pengembangan sektor informal perkotaan.
61
7. Program Pemantapan dan Pelestarian Gerdu-Taskin a. Melanjutkan dan meningkatkan kualitas pengelolaan Gerdu-Taskin melalui pendekatan TRIDAYA; b. Meningkatkan kapasitas Unit Pengelola Keuangan (UPK) GerduTaskin dalam pengelolaan program dan pengelolaan Usaha Simpan Pinjam serta sektor riil; c. Mempersiapkan dan membentuk BUM-Des sebagai kelanjutan dari pengembangan UPK; d. Meningkatkan kapasitas kelembagaan masyarakat dan pemerintah desa.
8. Program Pengembangan Infrastruktur Perdesaan Bagi Masyarakat Miskin a. Pengembangan infrastruktur perdesaan sebagai upaya meningkatkan aksesibilitas
masyarakat
terhadap
sumberdaya
ekonomi
dan
sumberdaya lainnya; b. Pengembangan fasilitas kelistrikan dan komunikasi wilayah perdesaan; c. Peningkatan kualitas jalan dan jembatan antar desa, antar kecamatan dan membuka isolasi wilayah.
9. Program Pengembangan Kapasitas untuk Kemiskinan a. Penguatan peran pemerintah sebagai fasilisator dan katalisator pembangunan; b. Pengembangan sinergi dan kerjasama antar stakeholders dalam menguranngi kemiskinan di masing-masing daerah; c. Penguatan peran Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK) dalam mengkoordinasikan dan memadukan program-program kemiskinan; d. Peningkatan kerja sama antara LSM dan Perguruan tinggi dalam perbaikan kebijakan, pengembangan model dan fasilitasi program pengentasan kemiskinan; e. Pengembangan kelembagaan masyarakat dan desa/kelurahan.
10. Program Pembangunan Daerah Tertinggal a. Pengembangan ekonomi lokal bertumpu pada potensi sumberdaya aktual secara berkelanjutan; b. Pembangunan prasarana dan sarana kawasan tertinggal; c. Pemetaan
kawasan
berdasarkan
potensi
sumberdaya
alam,
62
sumberdaya manusia dan sumberdaya lain yang bernilai ekonomi tinggi. 3.3.3. Sub Agenda Revitalisasi Pertanian A. KONDISI UMUM Pembangunan Pertanian di Kabupaten Ponorogo dilaksanakan untuk mendukung
pencapaian
sasaran
pemantapan
ketahanan
pangan,
pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja dan pengentasan kemiskinan sebab sektor Pertanian sampai saat ini berperan cukup penting dalam perekonomian Kabupaten Ponorogo pada tahun 2008 mampu memberikan kontribusi sebesar 28,59%. Disamping itu sampai dengan saat ini struktur tenaga kerja di Kabupaten Ponorogo masih didominasi oleh sektor pertanian yang menghidupi 168.347 KK atau 77 % dari seluruh jumlah keluarga
di
Kabupaten Ponorogo. Dalam hal penyediaan bahan pangan, dengan produksi 60,68 ton Gabah Kering giling dengan luas areal panen 59.342 ha. Sedangkan untuk komoditi daging Sapi, daging Kambing, daging Ayam, daging Itik, telur, susu, dan ikan pada tahun 2008 sebesar 736.616 ton, 1.642.584 ton, 1.367.163 ton, 783.347 ton, 2.512.488 ton, 636.744 liter dan 1.007,46 ton. Rendahnya efisiensi pembangunan pertanian disebabkan oleh skala usaha yang relative sempit/kecil. Disamping itu rendahnya produktivitas dapat diilustrasikan menurut hasil penelitian, bahwa kecepatan pertumbuhan nilai tambah bruto lebih lambat dari pada pertumbuhan kesempatan kerja yang diciptakan. Disamping itu, keterbatasan terhadap penyediaan sarana produksi termasuk upaya pengendalian hama dan penyakit, disamping kejadian bencana alam banjir dan kekeringan yang setiap tahun terjadi juga mengganggu sistem produksi. Dengan kondisi demikian, maka tingkat kesejahteraan petani relatif masih rendah. Oversuplay produk, khusus untuk padi, panen terbesar terletak dimusim hujan, sehingga kualitas rendah, dan harga jatuh. Selanjutnya untuk komoditi lain, seperti tembakau dan tebu juga terjadi dan hal ini disebabkan oleh perilaku petani yang ikut-ikutan menanam komoditi yang pada awal mulanya mempunyai prospek baik. Kondisi demikian mengakibatkan tidak stabilnya harga produk pertanian. Rendahnya akses ke sumberdaya produktif yang meliputi rendahnya akses terhadap sumber permodalan yang diirngi dengan rendahnya kualitas SDM.
Minimnya akses terhadap informasi dan sumber permodalan,
63
menyebabkan masyarakat petani tidak dapat mengembangkan usahanya secara layak ekonomi. Akses petani dan nelayan terhadap prasarana dan sarana
transportasi
juga
menghambat
pemasaran
produk
pertanian,
perkebunan, peternakan dan perikanan sehingga menekan harga produk. Belum optimalnya sistem penyuluhan dan rendahnya Penguasaan IPTEK. Masih rendahnya penguasaan teknologi dan diseminasi teknologi pengolahan produk pertanian, peternakan, perkebunan; perikanan dan kehutanan berakibat pada rendahnya produktivitas dan nilai tambah produk pertanian, peternakan, perkebunan; perikanan dan kehutanan. Peningkatan nilai tambah melalui proses pengolahan memerlukan investasi dan teknologi pengolahan yang lebih modern. Kondisi ini diperberat oleh semakin tingginya persaingan produk dari luar negeri, baik yang masuk melalui jalur legal maupun ilegal. Kondisi demikian diperparah oleh system penyuluhan pertanian yang kurang optimal sehingga kemampuan transfer teknologi tidak berlangsung dengan baik. Penerapan strandar mutu produk yang belum optimal seperti Hazart Analysis Critical Control Point (HACCP) yang telah ditetapkan secara Internasional
akan menunjang daya saing produk pertanian dipasar
internasional. Pola penganekaragaman pangan dan gizi yang masih rendah, dimana masih tingginya ketergantungan masyarakat terhadap beras sebagai bahan pangan pokok, dan kurangnya pemanfaatan pangan lokal sebagai bahan pangan alternatif. Seiring dengan pertumbuhan penduduk, maka kebutuhan akan beras akan semakin meningkat, sedangkan kenaikan produksi beras / padi tidak seimbang dengan kenaikan konsumsi. Disamping itu kondisi tersebut ditunjang oleh
tingkat konsumsi protein hewani masyarakat dan
kurangnya
akan
pemenuhan
aksesibilitas
masyarakat
miskin
terhadap
ketersediaan pangan yang memadai dan bermutu yang berakibat pada terbatasnya kecukupan dan mutu
pangan ditingkat rumah tangga. Hal ini
ditunjukkan oleh masih adanya daerah agak rawan pangan berdasarkan data dari Dinas Kantor Ketahanan Pangan Kabupaten Ponorogo pada Bulan Juni 2008 ada di beberapa Kecamatan yaitu : Kecamatan Pulung, Bungkal, Ngrayun, Pudak dan Jambon. Masih lemahnya inventarisasi industri primer kehutanan dan belum terdatanya industri primer kehutanan secara keseluruhan di Ponorogo sesuai dengan SK Menhut 300/Kpts-II/2004, dan juga masih terdapat pengelolaan hutan produksi yang termasuk dalam kriteria lindung, sehingga dapat
64
berdampak banjir dan tanah longsor akibat perusakan hutan dan bencana alam serta adanya pengelolaan hutan produksi yang termasuk dalam kriteria lindung, yaitu 46.940 Ha.
B. SASARAN Sasaran pembangunan pertanian di Kabupaten Ponorogo adalah meningkatnya pertumbuhan sektor pertanian sebesar 2,44% pada tahun 2006 dan pada tahun 2007, 2008, 2009, 2010 dan 2011 diharapkan mampu tumbuh sebesar 2,80%, 3,22%, 3,71%, dan 4,13%, disamping itu sasaran pembangunan pertanian diarahkan untuk menjaga stabilitas ketahanan pangan serta peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani. Sasaran antara lain adalah : 1. Meningkatnya efisiensi dan produktivitas pembangunan pertanian, yang diupayakan melalui konsolidasi luasan usaha tani, ketepatan penyediaan sarana produksi pertanian dan terjaminnya sistem pengendalian hama dan penyakit maupun penanganan bencana alam banjir dan kekeringan yang setiap tahun terjadi secara fundamental. Dengan demikian sistem produksi akan mampu terjaga dengan baik. 2. Terjaganya sistem permintaan dan penawaran produk yang berimbang, sehingga akan mampu menjaga stabilitas harga produk pertanian. 3. Meningkatnya akses petani/nelayan kepada sumberdaya produktif, yang dicirikan oleh berkembangnya sistem usaha pertanian yang didukung oleh akses permodalan, informasi dan transportasi yang memadai maupun peningkatan kemampuan SDM petani. 4. Meningkatnya kemampuan petani untuk dapat menghasilkan komoditas yang berdaya saing tinggi melalui perkuatan sistem penyuluhan maupun penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang memadai. 5. Peningkatan daya saing produk pertanian di internasional, dicirikan oleh semakin kecilnya penolakan ekspor komoditi di pasar internasional. 6. Terciptanya pola penganekaragaman pangan dan pemenuhan gizi yang semakin baik yang dicirikan oleh menurunnya ketergantungan pada beras dari 93,46 kg/kapita/tahun (Susenas 2002) menjadi 90,50 kg/kapita/tahun (tahun 2010), meningkatnya konsumsi masyarakat terhadap protein hewani yang berasal dari ternak dan ikan, berkurangnya daerah rawan pangan yang saat ini mencapai 13 Kecamatan, dan peningkatan pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat yang diukur dengan skor pola pangan harapan dari 75,10 menjadi 79,70.
65
7. Optimalnya pengelolaan pelayanan
UPTD yang dicirikan oleh
kepada masyarakat
maupun
meningkatnya
peningkatan PAD secara
signifikan. 8. Terjaminnya suplai kayu di Kabupaten Ponorogo yang dicirikan oleh berkembangnya industri berbasis kayu melalui peningkatan pengusahaan hutan rakyat dilahan kritis secara partisipatif maupun pengamanan sistem distribusi kayu ke Kabupaten Ponorogo serta terwujudnya percepatan rehabilitasi hutan dan lahan dalam pengelolaan hutan lestari (sustainable forest management). 9. Terwujudnya dukungan regulasi pengelolaan hutan yang memadai, yang dicirikan oleh pengusahaan hutan yang menggunanakan kaidah-lkaidah kelestarian dan manfaat
serta berkurangnya sengketa kawasan hutan
terhadap aspek batas kawasan hutan, melalui penyelesaian permasalahan agraria kehutanan. 10. Terwujudnya upaya pembinaan industri primer hasil hutan yang dicirikan oleh peningkatan pendataan dalam rangka optimalisasi kinerja ekonomi sub sektor kehutanan. 11. Terbentuknya lembaga keuangan alternatif dalam upaya mensinergikan pengelolaan hutan hulu – hilir. 12. Terwujudnya penataan kembali hutan produksi dan hutan lindung di Kabupaten Ponorogo. C. ARAH KEBIJAKAN Dalam rangka mengoptimalkan perencanaan Pembangunan Sektor pertanian di Kabupaten Ponorogo tahun 2005-2010 sebagai kelanjutan dari kebijakan Percepatan pemulihan ekonomi dan peningkatan produktivitas melalui pengembangan ekonomi kerakyatan, penguatan unit-unit usaha dan lembaga-lembaga ekonomi yang difokuskan dengan mengakomodir produk unggulan baru yang sesuai dengan potensi perkembangan di sektor pertanian, untuk itu dalam implementasinya diarahkan pada strategi kebijakan sebagai berikut : 1. Kebijakan dalam pengamanan ketahanan pangan diarahkan untuk : a. Mempertahankan tingkat produksi beras dengan ketersediaan 90% dari kebutuhan domestik untuk mendukung kemandirian pangan, disertai dengan diversifikasi sumber pangan non beras ; b. Meningkatkan ketersediaan pangan dari ternak dan ikan melalui pengembangan peternakan dan perikanan yang diarahkan untuk
66
meningkatkan populasi hewan dan ikan, serta produksi pangan asal hewani dan ikan untuk mendukung peningkatan kualitas SDM ; c. Melakukan diversifikasi pangan untuk mengurangi ketergantungan pada beras dengan melakukan rekayasa sosial terhadap pola konsumsi masyarakat melalui peningkatan minat dan kemudahan konsumsi pangan alternatif. 2. Kebijakan peningkatan produktivitas, produksi, daya saing dan nilai tambah produk pertanian dan perikanan diarahkan untuk : a. Meningkatkan pemanfaatan sumber daya perikanan dalam mendukung ekonomi dengan tetap menjaga kelestariannya, melalui : 1) penataan dan perbaikan lingkungan perikanan budidaya, 2) peningkatan peran aktif masyarakat dan swasta dalam pengelolaan sumber daya perikanan, 3) peningkatan kualitas pengolahan dan nilai tambah produk perikanan melalui pengembangan teknologi pasca panen, 4) percepatan peningkatan produk perikanan budi daya, 5) peningkatan kemampuan SDM petani dan pembudidaya ikan, penyuluh, serta pendamping perikanan,
6)
pengembangan
penguatan peraturan
sistem
kelembagaan,
sebagai
instrumen
koordinasi penting
dan untuk
mempertegas pengelolaan sumber daya perikanan yang ada. b. Pengembangan usaha pertanian dengan pendekatan kewilayahan secara terpadu dengan konsep pengembangan agribisnis. Pendekatan ini
dimaksudkan
untuk
meningkatkan
pelayakan
dalam
pengembangan/skala ekonomi sehingga dapat meningkatkan efisiensi dan nilai tambah, serta mendukung pembangunan perdesaan dan perekonomian daerah ; c. Penyusunan langkah-langkah meningkatkan daya saing produk pertanian
dan
perikanan,
misalnya
berupa
dorongan
untuk
meningkatkan penanganan pasca panen dan pengolahan hasil pertanian dan kehutanan, peningkatan standar mutu komoditas pertanian dan keamanan pangan serta melindungi petani dari persaingan tata niaga yang tidak sehat ; d. Penguatan sistem pemasaran dan manajemen usaha untuk mengelola resiko usaha pertanian serta untuk mendukung pengembangan agroindustri.
67
3. Kebijakan peningkatan kemampuan petani
dan
penguatan lembaga
pendukungnya, diarahkan untuk : a. Revitalisasi penyuluhan dan pendampingan petani, termasuk peternak, dan pembudidaya ikan. b. Menghidupkan dan memperkuat lembaga pertanian dan pedesaan untuk meningkatkan akses petani terhadap sarana produksi, membangun delivery sistem dukungan pemerintah untuk sektor pertanian dan meningkatkan skala pengusahaan yang dapat meningkatkan posisi tawar petani ; c. Peningkatan kemampuan / kualitas SDM pertanian, baik petani maupun petugas.
4. Kebijakan pemanfaatan hutan untuk diversifikasi usaha dan mendukung produksi pangan dengan memperhatikan kepentingan pembangunan berkelanjutan diarahkan untuk : a. Peningkatan nilai tambah dan manfaat hasil hutan kayu dan pemberian insentif pengembangan hutan tanaman industri ; b. Peningkatan partisipasi masyarakat
dalam pengembangan hutan
tanaman; c. Peningkatan produksi hasil hutan non kayu untuk kesejahteraan masyarakat sekitar hutan. D. PROGRAM-PROGRAM PEMBANGUNAN Arah
kebijakan
tersebut
dijabarkan
dalam
program-program
pembangunan pertanian sebagai berikut : 1. Program Peningkatan Ketahanan Pangan dengan kegiatan : a. Pemantapan ketersediaan pangan dari produksi sendiri melalui pengamanan lahan sawah irigasi, peningkatan mutu intensifikasi, dan optimalisasi areal pertanian ; b. Peningkatan distribusi pangan melalui kelembagaan pangan petani dan peningkatan infrastruktur perdesaan yang mendukung sistem distribusi pangan dalam rangka menjamin keterjangkauan masyarakat atas sektor pangan ; c. Peningkatan pengelolaan pasca panen dalam rangka peningkatan hasil pertanian dengan menekan kehilangan hasil (looses) ; d. Diversifikasi pangan melalui peningkatan ketersediaan pangan hewani, buah dan sayuran dengan perekayasaan sosial terhadap pola
68
konsumsi masyarakat menuju pola pangan dengan mutu yang semakin meningkat dan peningkatan minat dan kemudahan konsumsi pangan alternatif/pangan lokal ; e. Pencegahan
dan
penanggulangan
masalah
pangan
melalui
peningkatan bantuan pangan kepada keluarga miskin/wirarawan pangan, peningkatan pengawasan mutu dan keamanan pangan, serta pengembangan sistem antisipasi dini terhadap kerawanan pangan.
2. Program Pengembangan Agribisnis dengan kegiatan : a. Pengembangan diversifikasi usaha tani yang difokuskan terhadap pengembangan komoditas bernilai ekonomi tinggi dan pengembangan kegiatan off-farm untuk meningkatkan pendapatan petani dan nilai tambah pertanian ; b. Peningkatan nilai tambah produk pertanian dan perikanan melalui peningkatan penanganan pasca panen, mutu, pengolahan hasil dan pemasaran, serta pengembangan agroindustri (skala rumah tangga) di pedesaan ; c. Pengembangan dan rehabilitasi infrastruktur pertanian dan perdesaan melalui perbaikan jaringan irigasi dan jalan usaha tani ; d. Peningkatan akses terhadap sumber daya produktif yaitu sarana produksi dan terutama permodalan ; e. Peningkatan penerapan teknologi pertanian tepat guna yang murah dan ramah lingkungan sesuai dengan spesifikasi lokasi ; f.
Pengembangan lembaga keuangan perdesaan dan sistem pendanaan yang layak bagi usaha pertanian melalui pengembangan dan penguatan lembaga
keuangan
mikro/perdesaan,
insentif
permodalan
dan
pengembangan pola-pola pembiayaan yang layak dan sesuai bagi usaha pertanian.
3. Program Peningkatan Kesejahteraan Petani dengan kegiatan : a. Revitalisasi sistem penyuluhan pertanian, perikanan dan kehutanan di daerah yang secara intensif di koordinasikan dengan pemerintah propinsi dan
pusat ;
b. Penumbuhan dan penguatan
lembaga pertanian dan perdesaan,
kelompok tani misalnya untuk meningkatkan posisi tawar petani ;
69
c. Penyederhanaan mekanisme dukungan kepada petani dan pengurangan hambatan usaha pertanian ; d. Pendidikan dan pelatihan sumberdaya manusia pertanian (petani, pembudidaya ikan, penyuluh dan aparat pembina) dalam rangka peningkatan kompetensi ; e. Pengembangan sistem perlindungan petani dari persaingan usaha yang tidak sehat dan perdagangan yang tidak adil ; f.
Pengembangan upaya pengentasan kemiskinan;
4. Program Pemantapan Pemanfaatan Potensi Sumberdaya Hutan dengan kegiatan : a. Pengembangan produk-produk kayu bernilai tinggi pengembangan cluster industri kehutanan berbasis wilayah ;
dan
b. Pemasaran dan pengendalian peredaran hasil hutan ; c. Pengembangan hasil hutan non kayu dan jaga lingkungan termasuk pemberian hak pengelolaan untuk periode tertentu kepada masyarakat untuk mengembangkan hutan tanaman dan hasil hutan non kayu ; d. Peningkatan kesadaran dan partisipasi masyarakat, khususnya masyarakat yang hidup disekitar hutan dalam pengembangan hutan yang lestari ; e. Pengembangan iptek untuk menunjang peningkatan produktivitas f.
sektor kehutnan ; Pengendalian dan rehabilitasi kawasan hutan/lahan kritis untuk usahausaha pertanian.
5. Program Pengembangan Sumber Daya Perikanan dengan kegiatan : a. Pemberdayaan ekonomi masyarakat petani pembudidaya ikan ; b. Pengembangan kawasan budidaya air tawar (kolam dan karamba) serta percepatan dan penataan kembali usaha budidaya tambak, karamba dan air tawar lainnya ; c. Penyempurnaan iptek dan sistem pembenihan serta pengembangan dan rehabilitasi sarana dan prasarana perikanan; d. Pengendalian dan peningkatan pelayanan perijinan usaha serta penyusunan kebijakan dan perencanaan pengelolaan perikanan di daerah ; e. Penguatan kelembagaan dan tata laksana kelembagaan petani pembudidaya ikan ; f. Pengembangan sistem data, statistik dan informasi perikanan ; g. Peningkatan kualitas SDM, penyuluh dan pendamping perikanan, serta peningkatan profesionalisme perencanaan dan pengawasan
70
pembangunan perikanan daerah. 3.3.4. Sub Agenda Peningkatan Investasi, Perdagangan dan Pariwisata A. KONDISI UMUM Kebijakan ekonomi yang diterapkan Pemerintah Kabupaten Ponorogo antara lain diarahkan untuk membuka peluang investasi sektor swasta yang sebesar-besarnya. Namun dalam realisasinya hingga tahun 2010
kinerja
investasi belum memberikan dampak sebagaimana yang diharapkan. Hal ini disebabkan oleh adanya ketidakpastian hukum dan kurang terjaminnya stabilitas politik dan keamanan yang selanjutnya berdampak pada belum optimalnya kinerja investasi karena angka realisasi sangat kecil dibandingkan dengan angka persetujuan, dan bahkan ancaman penutupan usaha dan relokasi pabrik sedang menjadi fenomena perkembangan investasi di Ponorogo. Disisi lain meskipun kinerja investasi belum optimal, namun secara sektoral seluruh sektor ekonomi mengalami pertumbuhan positif. Pengembangan investasi
di Ponorogo ke depan menghadapi
tantangan internal dan eksternal yang tidak ringan, salah satunya adalah kecenderungan tidak adanya
arus masuk investasi dalam negeri maupun
investasi asing sejak tahun 2001 hingga tahun 2008. Permasalahan yang dihadapi dalam peningkatan investasi adalah iklim investasi yang kurang kondusif karena berbagai faktor sebagai berikut : 1. Lemahnya kualitas SDM tenaga kerja dan rendahnya produktivitas tenaga kerja berdampak serius bagi perkembangan kinerja investasi. Terkait dengan hal tersebut maka kualitas SDM bidang investasi khususnya SDM pelayanan
publik
investasi
menjadi
satu
agenda
penting
untuk
ditingkatkan. 2. Terbatasnya infrastruktur yang antara lain meliputi jaringan transportasi darat, listrik, telekomunikasi dan air bersih ini telah mengakibatkan pengembangan dan penyebaran investasi di Ponorogo belum merata. 3. Lemahnya kelembagaan investasi, yang ditunjukkan dengan belum berfungsinya lembaga investasi di Kabupaten Ponorogo sehingga fungsifungsi perencanaan dan pengembangan investasi, promosi dan kerjasama investasi, pelayanan perijinan dan pengendalian pelaksanaan investasi kurang ditangani secara optimal. 4. Selain itu dalam rangka menciptakan ketahanan ekonomi yang kokoh, keseimbangan
dan
integrasi
perdagangan
luar
negeri
dengan
perdagangan dalam negeri, dilakukan penguatan dan pengembangan
71
sistem jaringan perdagangan terutama untuk produk-produk pertanian yang selama ini mengakibatkan posisi tawar eksportir menjadi lemah. 5. Rendahnya daya saing produk-produk ekspor Kabupaten Ponorogo menjadi peluang bagi berkembangnya produk-produk impor. Adanya kecenderungan berdirinya blok-blok perdagangan seperti AFTA, NAFTA yang kerap menjurus pada perkembangan yang sebaliknya dari integrasi ekonomi dunia telah memperlebar spektrum permasalahan ekonomi dunia. Hal ini telah ditandai oleh semakin mencuatnya ekonomi regional dilingkungan negara-negara maju dan kurang dapat diterimanya produkproduk hasil produksi negara berkembang. 6. Meningkatnya terhadap
pola hidup masyarakat yang
cenderung
konsumtif
produk-produk impor dan kurang mempunyai rasa cinta
menggunakan produk dalam negeri. Hal ini antara lain disebabkan oleh meningkatnya produk-produk impor baik legal maupun ilegal dipasar dalam negeri yang meliputi produk-produk seperti peralatan rumah tangga, garment, sepatu, tas dan lain-lain dengan harga yang lebih murah, desain yang lebih menarik, dan kualitas yang lebih baik dibandingkan dengan produk dalam negeri. 7. Lemahnya perlindungan konsumen dan rendahnya tertib niaga selain disebabkan oleh lemahnya pengawasan terhadap peredaran barang dan jasa, juga masih belum optimalnya penerapan standarisasi dan sertifikasi produk. Untuk meningkatkan perlindungan konsumen dan tertib niaga maka 8. lembaga sertifikasi mutu barang dan standarisasi perlu ditingkatkan. 9. Lemahnya
sistem
jaringan
distribusi
perdagangan
dalam
negeri
berpengaruh negatif bagi peningkatan dan pengembangan daya saing ekspor non migas. Faktor penghambat sistem jaringan distribusi perdagangan dalam negeri disebabkan oleh belum terintegrasinya sistem perdagangan di tiga tingkatan distribusi yaitu pengepul, eceran dan grosir serta maraknya pungutan diberbagai daerah akibat penyelenggaraan otonomi daerah. Untuk pembangunan pariwisata, secara umum dapat dicermati kompilasi permasalahan pengembangan pariwisata di Kabupaten Ponorogo yang perlu mendapat perhatian dalam menjawab tantangan masa mendatang sebagai berikut : 1. Belum terpadunya pola perencanaan pengembangan pariwisata antar daerah sehingga dapat menyulitkan dalam penataan dan penawaran
72
produk pariwisata. 2. Masih terbatasnya kesiapan daerah dalam menyiapkan perangkat hukum pariwisata yang dapat mencerminkan terciptanya standar kualifikasi produk wisata (pariwisata yang bersifat universal) yang dapat diterima dan diakui oleh masyarakat industri pariwisata. 3. Masih rendahnya minat investasi masyarakat dalam negeri di bidang usaha pariwisata. 4. Belum terealisasinya kualitas produk pariwisata yang memiliki standarisasi nilai universal khususnya jenis usaha perhotelan. 5. Masih rendahnya partisipasi usaha pariwisata Ponorogo dalam berbagai event promosi pariwisata baik untuk skala regional,nasional maupun internasional. 6. Masih adanya kesenjangan kondisi antara kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang tersedia dengan tuntutan pasar yang memiliki sertifikasi kompetensi menurut profesi keahlian masing-masing. 7. Adanya tuntutan pasar global terhadap tersedianya penawaran produk pariwisata yang memperhatikan nilai-nilai standar pelayanan universal, perlindungan
konsumen
dan
ramah
lingkungan
serta
kurangnya
revitalisasi produk pariwisata. 8. Belum optimalnya penguatan citra pariwisata Ponorogo sebagai daerah tujuan wisata dan andalan. 9. Pemahaman otonomi daerah pada tatanan aspek kewenangan telah menimbulkan
beberapa
permasalahan
yang
menyangkut
belum
terwujudnya standar regulasi pengusahaan pariwisata.
B. SASARAN Sasaran yang hendak dicapai dalam upaya meningkatkan investasi perdagangan dan pariwisata adalah : 1. Terwujudnya iklim investasi yang kondusif di Kabupaten Ponorogo; 2. Berkembangnya Investasi Nasional (PMDN/PMA maupun UKM dan Koperasi) yang berakar dari potensi sumber daya daerah serta akan mendorong
tercapainya
dampak
ganda
dalam
pembangunan
perekonomian daerah; 3. Semakin terciptanya pemerataan investasi secara bertahap sesuai dengan potensi daerah, sehingga peranan investasi terhadap PDRB lebih meningkat agar dapat memicu pertumbuhan perekonomian daerah dan penciptaan lapangan kerja;
73
4. Tercapainya prediksi kebutuhan investasi untuk mendukung pertumbuhan ekonomi secara bertahap 5. Meningkatnya nilai ekspor non migas Kabupaten Ponorogo 6. Terwujudnya keseimbangan antara`suplly dan demand untuk menjaga stabilitas harga; 7. Meningkatnya pelayanan publik dan perlindungan konsumen melalui peningkatan penyediaan standar layanan minimum pada lembaga sertifikasi mutu barang dan standarisasi; 8. Berkembangnya pasar spesifik produk UKM/IKM dan hasil pertanian di Ponorogo sehingga terbentuk harga yang wajar dan transparan; 9. Perencanaan tata ruang dan pengembangan wilayah yang sesuai guna mendukung struktur demografi industri, perdagangan dan pariwisata; 10. Menurunnya
tingkat
pengangguran
dan
kerawanan
sosial
serta
meningkatnya daya beli masyarakat; 11. Penyelamatan (rescure), pemulihan (recovery), pemantapan (stabilition) dan 12. pengembangan (development), non PMA/PMDN yang telah ada di Ponorogo tetapi belum bangkit karena terkena dampak krisis moneter; 13. Menjadikan ekspor sebagai andalan pertumbuhan ekonomi daerah, penciptaan
lapangan
kerja
dan
peningkatan
nilai
tambah
serta
peningkatan devisa termasuk di dalamnya transfer teknologi dalam rangka mendukung daya saing global produk unggulan Ponorogo terutama yang berbasis keunggulan SDA dan SDM dengan menghapus segala bentuk perlakuan diskriminatif dan hambatan yang ada; 14. Terciptanya penataan dan pengembangan wilayah Pariwisata Kabupaten Ponorogo yang selaras dan terpadu serta berwawasan lingkungan; lmeningkatnya kuantitas dan kualitas produk pariwisata yang memiliki daya saing, meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan manca negara, menginap di akomodasi, kunjungan di TDTW, lama tinggal, pengeluaran rata-rata. Kunjungan wisatawan nusantara menginap di akomodasi, kunjungan di OTDW dan tenaga kerja di bidang pariwisata. 15. Meningkatnya kualitas SDM pariwisata, meningkatnya peran serta masyarakat
dalam
pembangunan
pariwisata,
meningkatnya
fungsi
kelembagaan pariwisata dan meningkatnya kerjasama promosi.
74
C. ARAH KEBIJAKAN Dalam rangka mewujudkan peningkatan investasi, perdagangan dan pariwisata, arah kebijakan 5 (lima) tahun ke depan, mencakup antara lain : 1. Percepatan pemulihan ekonomi dan peningkatan produktivitas melalui pengembangan ekonomi kerakyatan, penguatan unit-unit usaha dan lembaga-lembaga ekonomi : a. Diarahkan untuk mengatasi masalah pengangguran dan kemiskinan melalui kebijakan investasi, perdagangan, industri, peningkatan efisiensi dan produktivitas di sektor pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan dan kelautan, pengembangan koperasi dan UKM serta pariwisata; b. Diarahkan pada penciptaan ekonomi terpadu, pengembangan wilayah strategis, pemantapan wilayah perbatasan antar daerah. 2. Menjamin kepastian usaha dan meningkatkan penegakan hukum terutama berkenaan dengan kepentingan untuk menghormati kontrak usaha, menjaga hak kepemilikan terutama berkenaan dengan kepemilikan lahan dan pengaturan yang adil pada mekanisme penyelesaian konflik di bidang investasi; 3. Meningkatkan pertumbuhan ekspor non migas di Kabupaten Ponorogo berbasis SDA, teknologi dan produk unggulan daerah; 4. Meningkatkan koordinasi dengan instansi terkait di Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Propinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota guna merumuskan reformasi kelembagaan investasi sebagai lembaga perencana dan pengembangan investasi, promosi investasi, pelayanan investasi dan pengawasan pelaksanaan investasi yang berdaya saing; 5. Melakukan
debirokrasi
dalam
pelayanan
perijinan
investasi
dan
pengelolaan aktifitas ekspor impor melalui penyederhanaan sistem dan prosedure melalui pelayanan satu atap/satu pintu; 6. Mendorong secara bertahap perluasan basis produk ekspor dengan tetap memperhatikan kriteria produk ekspor yang ramah lingkungan; 7. Peningkatan nilai tambah ekspor secara bertahap terutama dari dominasi bahan mentah ke dominasi barang setengah jadi dan barang jadi disertai upaya pengurangan ketergantungan bahan baku impor; 8. Revitalisasi kinerja kelembagaan promosi
ekspor serta perkuatan
kapasitas kelembagaan dalam bentuk pelatihan investasi, tata cara ekspor dan pembinaan secara sinergis, simultan dan berkelanjutan; 9. Peningkatan fasilitasi perdagangan melalui penyederhanaan prosedur
75
ekspor-impor, menerapkan konsep single document, menyederhanakan system tata niaga untuk komodity strategis dan yang tidak memerlukan pengawasan serta perkuatan kapasitas lembaga uji mutu produk eksporimpor; 10. Optimalisasi
sarana
penunjang
perdagangan
internasional
seperti
kelembagaan free financing untuk ekspor, fasilitasi modal kerja dengan bunga non komersial bagi UKM/IKM agroindustri yang berorientasi ekspor dan bertumpu pada sumber daya lokal, dan pemberdayaan lembagalembaga pelatihan dan promosi ekspor daerah seperti P3ED; 11. Pembinaan pasar dalam negeri melalui peningkatan kualitas SDM, kualitas produk sesuai dengan ISO, dan kemitraan untuk menjamin kontinuitas produk; 12. Harmonisasi kebijakan pusat dan daerah, penyederhanaan prosedur dan perijinan yang selama ini belum efisien ( waktu, biaya) serta telah lmenjadi penghambat kelancaran arus barang dan pengembangan kegiatan jasa perdagangan; 13. Penguatan lembaga perdagangan melalui sosialisasi keberadaan lembaga perlindungan konsumen, kemetrologian, kelembagaan persaingan usaha serta kelembagaan perdagangan lainnya; 14. Fasilitasi pengembangan prasarana distribusi tingkat regional dan sub sistem pada daerah tertentu seperti kawasan perbatasan dan daerah terpencil serta peningkatan dan pengembangan sarana penunjang perdagangan melalui pengembangan jaringan informasi produksi, pasar dan peningkatan kegiatan pasar lelang ditingkat lokal dan regional; 15. Peningkatan efektifitas pelaksanaan perlindungan konsumen, terwujudnya tertib niaga dan perkuatan sistem pengawasan barang beredar dan jasa; 16. Menciptakan dan menggerakkan iklim investasi bidang pariwisata seperti usaha kawasan pariwisata, usaha sarana wisata tirta, usaha jasa informasi dan konsultan pariwisata; 17. Meningkatkan dan menumbuhkan kembali potensi pariwisata yang telah berkembang, bersumber pada potensi yang belum berkembang dan bersumber pada potensi alam dan budaya yang berwawasan lingkungan serta pelestarian budaya; 18. Meningkatkan kuantitas dan varitas potensi unggulan pariwisata dan diversifikasi produk pelayanan pariwisata yang standar, berdaya saing , memenuhi rasa aman dan nyaman serta tercipta ragam koridor pariwisata di Kabupaten Ponorogo;
76
19. Diversifikasi dan peningkatan mutu produk usaha jasa - jasa pariwisata untuk memenuhi standar Nasional Indonesia (SNI) sehingga memiliki daya saing dan mampu berperan secara aktif dalam mengantisipasi era global; 20. Memberdayakan pengembangan pemasaran pariwisata terpadu dalam dan luar negeri agar tepat sasaran dan efisien serta menggalang peran serta masyarakat dengan cara memposisikan masyarakat sebagai lsubjek pengembangan pariwisata, sehingga dapat mewujudkan iklim usaha pariwisata yang kooperatif dan dinamis; 21. Meningkatkan kualitas SDM pariwisata yang profesional dalam rangka mewujudkan kinerja pelayanan yang memiliki standarisasi, sertifikasi, akreditasi dan rekognasi; 22. Memposisikan masyarakat sebagai pelaku langsung dalam kegiatan usaha pariwisata melalui penggalangan bentuk-bentuk kemitraan usaha antar skala mikro kecil-menengah dengan skala besar (PIR) serta menempatkan
sektor
ekonomi
kerakyatan
dalam
pengembangan
pariwisata.
D. PROGRAM-PROGRAM PEMBANGUNAN Program
yang
akan
ditempuh
dalam
Peningkatan
Investasi
Perdagangan dan Pariwisata adalah : 1. Program Peningkatan Iklim Investasi Dan Realisasi Investasi dengan kegiatan pokok yang dilakukan adalah : a. Peningkatan dan penyempurnaan Kebijakan Penanaman Modal Daerah; b. Fasilitasi pengembangan Penanaman Modal Daerah. 2. Program Peningkatan Promosi Dan Kerjasama Investasi dengan kegiatan pokok yang dilakukan adalah : a. Promosi investasi dalam dan luar negeri; b. Fasilitasi kerjasama investasi; 3. Program Pengembangan dan Penerapan Standarisasi dengan kegiatan pokok sebagai berikut : a. Pengembangan infrastruktur kelembagaan standarisasi; b. Penguatan kelembagaan standarisasi; c. Penerapan standarisasi dan pemberdayaan laboratorium standarisasi; d. Sosialisai SNI.
77
4. Program Peningkatan Dan Pengembangan Ekspor melalui kegiatankegiatan pokok sebagai berikut : a. Perluasan dan pemantapan pasar ekspor; b. Peningkatan kualitas pelayanan ekspor; c. Fasilitasi peningkatan kualitas produk unggulan daerah berpotensi ekspor; d. Pengembangan kelembagaan ekspor-impor.
5. Program
Peningkatan
Kerjasama
Perdagangan
Regional
dan
Internasional melalui kegiatan-kegiatan pokok : a. Peningkatan partisipasi dalam forum perdagangan internasional; b. Peningkatan kerjasama perdagangan lokal, regional dan internasional; c. Pengembangan Perencanaan Perdagangan lintas sektor, regional dan internasional.
6. Program Peningkatan Daya Saing melalui kegiatan-kegiatan pokok : a. Pengembangan jaringan kemitraan antar IKM/UKM; b. Peningkatan kualitas SDM berbasis teknologi tepat guna; c. Pelembagaan sistem pelayanan satu atap.
7. Program Perlindungan Konsumen Dan Pengamanan Perdagangan melalui kegiatan-kegiatan pokok : a. Pemberdayaan lembaga perlindungan konsumen; b. Pengawasan peredaran barang dan jasa; c. Penyediaan fasilitasi dan konsultasi usaha perdagangan; d. Peningkatan
pengawasan
dan
penerapan
Ukuran,
Takaran,
Timbangan dan Peralatannya (UTTP) dan Barang Dalam Keadaan terbungkus (BDKT); e. Optimalisasi lembaga sertifikasi mutu barang. 8. Program Efisiensi Perdagangan Dalam Negeri melalui kegiatan-kegiatan pokok : a. Pengembangan jaringan distribusi dan sistem koleksi produk unggulan daerah; b. Penguatan kapasitas kelembagaan Pasar Lelang Agrobis; c. Pengembangan pasar spesifik produk UKM/IKM;
78
d. Pelembagaan pemakaian produk dalam negeri. 9. Peningkatan
Daya
Saing
Pariwisata
diarahkan
pada
kegiatan
Pengembangan Pemasaran, Pengembangan Destinasi, Pengembangan Kemitraan, Pengembangan Penataan wilayah serta Sumber Daya Manusia sehingga bisa memberikan kontribusi sektor Pariwisata Ponorogo.
10. Program Pengembangan Pemasaran Pariwisata dengan kegiatan pokok yang akan dilakukan adalah : a. Optimalisasi pameran yang bertaraf
daerah, propinsi, nasional dan
internasional; b.
Fasilitasi pemasaran paket wisata dan jaringan distribusinya;
c.
Fasilitasi kerjasama pemasaran antar daerah, propinsi dan negara;
d.
Fasilitasi dan motivasi bagi perjalanan wisata domestik;
e.
Pengembangan sistim informasi pariwisata.
11. Program Pengembangan Destinasi Pariwisata dengan kegiatan-kegiatan pokok yang akan dilakukan adalah : a. Penumbuhan dan pengembangan investasi pada Industri pariwisata; b.
Pengembangan paket wisata yang kompetitif;
c.
Revitalisasi dan pengembangan kawasan pariwisata;
d.
Fasilitasi dan pengembangan kawasan ekowisata dan agrowisata;
e.
Pengembangan produk pariwisata dari aset warisan budaya dan potensi alam yang berdaya saing.
12. Program Pengembangan Kemitraan Pariwisata dengan kegiatan-kegiatan pokok yang akan dilakukan adalah sebagai berikut : a. Pengembangan kerjasama bisnis pariwisata; b. Pengembangan SDM pariwisata; c. Fasilitasi pengembangan forum komunikasi insan pariwisata terpadu; d. Pemberdayaan ekonomi kerakyatan melalui pola Pariwisata Inti Rakyat (PIR); e. Peningkatan sadar wisata masyarakat. 13. Program Penataan Wilayah Pariwisata dengan kegiatan pokok yang akan dilakukan adalah sebagai berikut :
79
a. Pengkajian potensi sumber daya pariwisata yang berbasis alam dan budaya. b.
Pengembangan Pariwisata terpadu yang berwawasan lingkungan.
c.
Penataan tata ruang pengembangan pariwisata.
d.
Pengembangan desa wisata.
e.
Fasilitasi usaha kepariwisataan.
3.3.5. Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah A. KONDISI UMUM Perkembangan Koperasi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (KUMKM) memiliki potensi yang besar dlm meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Hal ini ditunjukkan oleh keberadaan KUMKM yang telah mencerminkan wujud nyata kehidupan sosial dan ekonomi yang merupakan bagian terbesar dari penduduk
Ponorogo.
Peran
KUMKM
yang
besar
ditunjukkan
oleh
kontribusinya terhadap produksi Ponorogo, jumlah unit usaha dan pengusaha, serta penyerapan tenaga kerja. Dalam masa krisis usaha skala kecil dan menengah (UKM) telah memperlihatkan ketangguhannya dalam menghadapi gejolak makro. Skala usaha tersebut bahkan mampu tumbuh dengan tingkat yang cukup menggembirakan. Oleh karena itu, pembangunan ekonomi ke depan diarahkan untuk lebih menguatkan keberpihakan kepada pemberdayaan ekonomi kerkayatan melalui penumbuhan dan pengembangan usaha yang komprehensif dan terpadu sehingga keberadaan UKM dapat menjadi pilar utama dalam mendorong perekonomian daerah. Keberadaan Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (KUMKM) sebagai pilar utama perekonomian daerah dipandang sangat penting dan mempunyai nilai strategis dlm pembangunan di Kabupaten Ponorogo. Hal ini disebabkan oleh : Pertama, Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan menengah memiliki potensi cukup besar dalam meningkatkan taraf hidup rakyat banyak dengan jumlah pelaku ekonomi terbesar
& tersebar di seluruh pelosok
wilayah perkotaan hingga pedesaan. Berdasarkan kondisi keragamannya, Koperasi & UKM di Ponorogo sampai dengan 31 Desember 2008 sebesar 525 unit koperasi dan 11.761 UKM. Kedua, berdasarkan aktivitas usahanya Koperasi, Usaha Mikro, Kecil & menengah bergerak di hampir seluruh jenis lapangan usaha & berperan sebagai pelaku utama pembangunan di setiap sektor & kegiatan ekonomi.
80
Berdasarkan nilai strategis yang dimiliki oleh KUMKM tersebut, value added yang dapat diperoleh dari pengembangan usaha KUMKM di Ponorogo antara lain : Pertama, tumbuh dan berkembangnya usaha ekonomi rakyat dan potensi
sumber daya lokal
kemandirian KUMKM di
yang mengakar di
daerah,
masyarakat. Kedua,
memiliki peran yang nyata dalam
meningkatkan kesejahteraan rakyat dan penyediaan lapangan kerja. Ketiga, mendorong pertumbuhan perekonomian daerah.
Keempat, meningkatkan
nilai tambah (bruto) dan kontribusi KUMKM terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang merupakan salah satu indikator pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, upaya pemberdayaan KUMKM menjadi tugas bersama antara pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat, sehingga mampu menjadi pilar utama ekonomi daerah yang tangguh yang mampu menjadi penggerak
perekonomian,
dan
secara
bertahap
diharapkan
dapat
mewujudkan pemulihan ekonomi yang diikuti dengan pemantapan dan stabilitas ekonomi Kabupaten Ponorogo. Permasalahan umum yang dihadapi oleh Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah di Kabupaten Ponorogo adalah belum mantapnya pengelolaan kelembagaan dan usaha KUMKM serta akses pasar domestik dan internasional. Adapun secara rinci KUMKM di Kabupaten Ponorogo adalah sebagai berikut : 1) Rendahnya produktifitas dan daya saing koperasi, Usaha mikro, Kecil dan Menengah (KUMKM) yang disebabkan oleh rendahnya Kualitas Sumber daya Manusia terutama dalam bidang managemen, kelembagaan, pemasaran & penguasaan teknologi informasi sehingga menimbulkan disparitas usaha yang sangat lebar antar pelaku usaha. 2) Rendahnya kualitas Sumber Daya Manusia pengelola koperasi & UKM menjadikan kegiatan lembaga usaha rakyat ini kurang kompetitif dalam persaingan global yang mempunyai turbulensi tinggi baik dalam hal inovasi, efisiensi, diversifikasi produk maupun dalam menciptakan dan membangun jaringan pasar dalam berbagai kawasan strata ekonomi. 3) Terkait dengan hal tersebut, maka peningkatan dan penguatan kualitas SDM Koperasi, Usaha Mikro, Kecil & Menengah (KUKM) menjadi satu pilar penting dalam menguatkan usaha ekonomi rakyat dalam berbagai skala wilayah dan kawasan baik lokal, regional, maupun global. Guna merespon tuntutan penguatan SDM pelaku usaha ekonomi rakyat agar tumbuh dan berkembang sejajar dengan usaha ekonomi lainnya maka
81
sampai dengan 2010 penguatan kualitas SDM KUMKM terpenuhi. 4) Selain masalah SDM KUMKM yg masih lemah, KUMKM juga menghadapi masalah pengelolaan usaha yang belum mantap. Hal ini digambarkan dengan jumlah koperasi yang berklasifikasi “A” yang hanya 1 unit koperasi dari jumlah koperasi yang jumlahnya mencapai 525 unit koperasi yang ada di Ponorogo. Pada tahun 2010 jumlah koperasi yang berklasifikasi “A” ditargetkan tumbuh menjadi sebesar 10% atau mencapai 41 unit koperasi. Sedangkan pengelolaan usaha UMKM masih didominasi UMKM informal sehingga masih dijumpai kendala dlm hal legalitas usaha, belum terbitnya pengelolaan keuangan/pembukuan, dan pengelolaan usaha masih bersifat tradisional. 5) Dalam hal pemasaran, KUKM masih menghadapi kendala. Hal ini disebabkan oleh lemahnya informasi pasar dan terbatasnya kemampuan KUKM dlm memanfaatkan teknologi informasi. 6) Terbatasnya akses Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah terhadap sumberdaya produktif yang meliputi tiga aspek penting yaitu modal usaha yang bukan saja mencakup penyediaan kredit modal kerja tetapi juga kredit investasi, informasi dan pasar. Gambaran terbatasnya permodalan tersebut antara lain ditandai dengan jumlah KSP/USP-Koperasi yang aktif atau tidak aktif di Ponorogo yaitu 525 unit KSP/USP-Koperasi dengan rincian, jumlah KSP/USP-Koperasi aktif 421 unit (80,2%) & jumlah KSP/USP-Koperasi tidak aktif 104 unit (19,8%). Berdasarkan jenis penggunaannya, plafond kredit UKM lebih banyak disalurkan untuk modal kerja sebesar Rp. 8.615.250.000. Dengan demikian, meskipun plafon kredit untuk UKM menunjukkan perkembangan positif namun di masa yang akan datang pertumbuhan kredit modal kerja perlu untuk dipacu perkembangan dan penyalurannya agar kontribusi sektor riil dalam pertumbuhan ekonomi dapat dioptimalkan.
B. SASARAN Koperasi dan UMKM menempati posisi strategis dalam upaya mempercepat perubahan struktural untuk meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Sebagai wadah kegiatan usaha bersama bagi produsen maupun konsumen, koperasi diharapkan dapat berperan aktif dalam meningkatkan posisi tawar, efisiensi usaha, dan daya saing sebagai dampak eksternalitas positif dari pasar bebas. Sedangkan UMKM diharapkan
dapat berperan
dalam memperluas penyediaan lapangan kerja, memberikan kontribusi yang
82
signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, dan meningkatkan pemerataan pendapatan.
Dengan
perspektif
peran
seperti
itu,
sasaran
umum
pemberdayaan koperasi dan UMKM adalah : 1. Meningkatnya produktivitas usaha & daya saing KUMKM di pasar bebas; 2. Meningkatnya proporsi Usaha Kecil formal; 3. Meningkatnya laju nilai ekspor produk usaha kecil dan menengah; 4. Berfungsinya sistem lembaga pendidikan untuk menumbuh kembangkan wirausaha baru berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi; 5. Meningkatnya kualitas kelembagaan dan organisasi koperasi sesuai dengan jati diri koperasi. C. ARAH KEBIJAKAN Berdasarkan permasalahan umum yang dihadapi Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, serta memperhatikan permasalahan utama pembangunan di Ponorogo, maka arah kebijakan yang akan dilaksanakan adalah : 1. Mengembangkan UKM yang diarahkan untuk memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah, penciptaan lapangan kerja,
peningkatan
produktifitas
dan
daya
saing.
Sedangkan
pengembangan usaha skala mikro diarahkan untuk memberikan kontribusi dalam
peningkatan
pendapatan
pada
kelompok
masyarakat
berpenghasilan rendah; 2. Memperkuat
kelembagaan
melalui
penerapan
prinsip-prinsip
tata
kepemerintahan yg baik (good governance) dan berwawasan gender; 3. Memperluas
basis
dan
kesempatan
berusaha
serta
menumbuhkembangkan wirausaha baru berkeunggulan prima untuk mendorong pertumbuhan, peningkatan ekspor dan penciptaan lapangan kerja; 4. Mengembangkan KUMKM untuk lebih berperan sebagai penyedia barang dan jasa dipasar domestik yang semakin berdaya saing dengan produk impor; 5. Membangun tatanan kelembagaan dan organisasi koperasi, meningkatkan kepedulian dan dukungan pemangku kepentingan (stakeholders) dan meningkatkan kemandirian gerakan koperasi.
83
D. PROGRAM-PROGRAM PEMBANGUNAN Berdasarkan permasalahan dan arah kebijakan tersebut, maka program-program dalam pemberdayaan Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah yang diimplementasikan adalah sebagai berikut :
1. Program Penciptaan Iklim Usaha bagi Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah dengan kegiatan pokok yang dilakukan adalah : a. Perencanaan pembangunan KUMKM secara terpadu; b. Fasilitasi kebijakan pengembangan KUMKM;
2. Program Pengembangan Sistem Pendukung Usaha bagi Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah dengan kegiatan pokok yang akan dilakukan adalah : a. Peningkatan akses permodalan bagi KUMKM; b. Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) dan KSP/USP; c. Peningkatan peran serta Masyarakat dan Dunia Usaha Dalam Kegiatan Ekonomi Daerah; d. Peningkatan Peran Lembaga Jasa Pelayanan Bisnis bagi KUMKM; e. Penguatan dan Perluasan Akses Usaha dan Jaringan Pasar Produk KUMKM. 3.
Program Pengembangan Kewirausahaan Dan Keunggulan
Kompetitif
KUKM dengan kegiatan pokok yang dilakukan untuk mencapai tujuan ini adalah : a. Fasilitas Pengembangan dan legalitas Usaha Bagi Wirausaha Baru; b. Pengembangan Inkubator Teknologi dan Bisnis; c. Fasilitasi Pengembangan Usaha KUKM Berkeunggulan Sumber Daya Lokal; d. Fasilitasi Pengembangan Jaringan Produksi dan Distribusi Usaha KUKM; e. Peningkatan Kualitas SDM KUKM.
4.
Program Pemberdayaan Usaha Skala Mikro dengan kegiatan pokoknya adalah: a. Pemberdayaan usaha Produktif Berskala Mikro; b. Fasilitasi Perkuatan Kemandirian Usaha Mikro.
84
5.
Program Peningkatan Kualitas Kelembagaan Koperasi dengan kegiatan yang dilakukan adalah : a. Pemantapan Organisasi dan tata laksana Koperasi; b. Fasilitasi Perkuatan Hukum dan Advokasi bagi Pengembangan Koperasi.
3.3.6. Sub Agenda Peningkatan Daya Saing Industri Manufaktur A. KONDISI UMUM Permasalahan umum yang dihadapi sektor Industri di Kabupaten Ponorogo antara lain : 6. Nilai tambah sektor industri masih kecil, hal ini dikarenakan bahan baku industri kebanyakan masih impor, 7. Masih lemahnya struktur Industri baik secara vertikal maupun horizontal hal ini diperburuk lagi oleh masih lemahnya keterkaitan antara Industri Besar, Menengah dan Kecil, penyebaran Industri masih belum merata, parsial dan heterogen sehingga menyebabkan inefisiensi. 8. Banyak Industri yang belum menerapkan HaKI (Hak Cipta, Paten, Merek, Desain Industri, dsb) sehingga secara hukum produk Industri belum terlindungi. 9. Isu Standarisasi, yaitu masih banyak produk industri yang belum terstandarisasi sehingga mengurangi daya saing baik dipasaran dalam negeri terlebih luar negeri. 10. Penurunan penggunaan kapasitas Industri yang secara maksimal oleh sektor Industri pengolahan
serta dan masih terbatasnya Infrastruktur
Industri. 11. Iklim usaha kurang kondusif untuk pengembangan sektor Industri hal ini tidak hanya berdampak pada penurunan kinerja Industri tapi juga berpotensi melemahkan daya tarik investasi di Kabupaten Ponorogo. B. SASARAN Sasaran yang akan dicapai dalam rangka pembangunan Industri adalah sebagai berikut : 1. Meningkatnya jumlah unit usaha , nilai investasi, nilai produksi serta penyerapan tenaga 2. Melanjutkan program Revitalisasi, Konsolidasi dan Restrukturisasi Industri serta memperkuat struktur Industri untuk membangun pilar-pilar industri
85
masa depan. 3. Meningkatkan
komponen
lokal
dan
sumber
daya
lokal
dengan
mengoptimalkan potensi pasar di dalam negeri. 4. Meningkatkan daya saing industri terpilih dan meningkatkan ekspor serta mengembalikan kinerja Industri yang terpuruk akibat krisis. 5. Terciptanya iklim usaha yang lebih kondusif bagi Industri yang sudah ada maupun investasi baru dalam bentuk tersedianya layanan umum yang baik dan bersih dari KKN, sumber-sumber pendanaan yang terjangkau, dan kebijakan fiskal yang menunjang sehingga mampu menumbuhkan industri potensial yang berbasis pada potensi kekuatan dan modal dasar nasional. 6. Peningkatan pangsa sektor Industri Manufaktur di pasar domestik, baik untuk bahan baku maupun produk akhir, sebagai cerminan daya saing sektor ini dalam menghadapi produk-produk impor serta mempercepat pertumbuhan IKM, khususnya Industri Menengah. 7. Menciptakan iklim usaha industri yang kondusif dengan keluaran yang diharapkan dapat mengatasi masalah pengangguran dan kemiskinan dengan menciptakan lapangan kerja baru serta percepatan perkembangan ekonomi dan pemerataannya. 8. Meningkatnya proses alih teknologi dari foreign direct investment (FDI) yang dicerminkan dari meningkatnya pemasokan bahan antara dari produk lokal dan meningkatkan kandungan bahan baku/penolong lokal. 9. Meningkatnya penerapan standarisasi produk Industri manufaktur sebagai faktor penguat daya saing produk serta meningkatkan kuantitas dan kualitas produksi.
C. ARAH KEBIJAKAN Dalam rangka mewujudkan sasaran di atas, arah kebijakan pembangunan Industri Kabupaten Ponorogo adalah sebagai
berikut :
1. Peningkatan nilai tambah dan produktivitas melalui pengembangan Industri dalam rangka pengembangan rantai nilai untuk membentuk Industri-Industri yang kuat, meningkatkan nilai tambah dari setiap produk yang
dibuat
baik
pada
industri
ataupun
pada
rantai
nilainya,
memperpanjang rantai nilai baik dengan meningkatkan inovasi maupun penguasaan pasar, meningkatkan efisiensi rantai nilai untuk meningkatkan keseluruhan produktivitas. 2. Pembangunan klaster Industri dengan memperkuat industri-industri yang terdapat dalam rantai nilai, yang mencakup Industri inti, Industri terkait,
86
dan
industri
pendukung, dengan
mendorong keunggulan komparatif
keunggulan
lokasi, yang dapat
menjadi keunggulan kompetitif;
Memperkuat keterkaitan antar klaster dalam satu sektor maupun dengan klaster pada sektor lainnya, sekaligus mendorong kemitraan antara IKM dengan perusahaan besar dan kaitan interaktif yang relevan lainnya, sehingga membentuk jaringan industri serta struktur yang mendukung peningkatan nilai tambah melalui peningkatan prduktivitas; Mendorong tumbuhnya Industri terkait yang memerlukan suplai bahan baku dan penolong yang sama, sehingga memperkuat partnership antara Industri inti, terkait, dan pendukung; memfasilitasi upaya-upaya pemasaran dalam maupun luar negeri.
3. Pengembangan
lingkungan
bisnis
yang
nyaman/kondusif
dengan
mengembangkan infrastruktur pendidikan dan pelatihan di bidang teknik dan manajerial; memperluas infrastruktur fisik; memperluas infrastruktur bisnis jasa, termasuk jasa profesi dan jasa publik; mengembangkan riset dan teknologi untuk meningkatkan inovasi yang berorientasi pasar; menyempurnakan dan mengimplementasikan perangkat hukum yang terkait dengan pengembangan dunia usaha; menyempurnakan kebijakan perdagangan
dan
kebijakan
investasi
dalam
rangka
mendukung
pengembangan industri. 4. Pembangunan industri yang berkelanjutan dengan memperhatikan aspek lingkungan
dalam
pengembangan
industri
sehingga
menghasilkan
produksi bersih; melakukan sosialisasi produksi bersih terutama terhadap industri-industri
yang
berpotensi
menghasilkan
limbah;
menginternalisasikan biaya pengelolaan lingkungan ke dalam biaya produksi; mengembangkan zero waste industries; dan mengembangkan industri baku lokal yang terbaharukan. 5. Mengembangkan IKM agar perannya setara dengan industri besar sehingga merupakan fondasi perekonomian yang kokoh dan mewujudkan IKM yang mandiri dan atau mendukung industri besar dalam satu kerangka kerjasama yang sederajat dan saling menguntungkan. 6. Mendorong revitalisasi industri untuk meningkatkan daya saing industri. 7. Mendorong investasi industri baru, selama ini pertumbuhan investasi domestik dan luar negeri mengalami kinerja yang sangat rendah dan cenderung stagnan maka beberapa jenis industri yang menjadi prioritas untuk dikembangkan adalah : Industri Minyak’ Industri Batu-batuan
87
perhiasan dan industri garam. 8. Mengintegrasikan pembangunan industri di utara dan selatan Jawa Timur yang selama ini masih terjadi ketimpangan. Jenis industri yang menjadi prioritas untuk dilakukan integrasi adalah : industri pengolahan kayu dan produk dari kayu serta industri pengolahan kulit. D. PROGRAM-PROGRAM PEMBANGUNAN Untuk mencapai sasaran pembangunan Industri tersebut maka program pembangunan Industri di Kabupaten Ponorogo ke depan adalah : 1. Program Peningkatan Ketrampilan SDM Industri. 2. Program Peningkatan Standardisasi Produk Industri 3. Program Pengembangan Industri Kecil Dan Menengah 4. Program Peningkatan Kemampuan Teknologi 5. Program Penataan Struktur Industri 6. Program Peningkatan Nilai Tambah Industri Berbasis Sumber Daya Alam
3.3.7. Sub Agenda Peningkatan Pengelolaan BUMD A. KONDISI UMUM Permasalahan umum yg dihadapi oleh Kabupaten Ponorogo dalam meningkatkan pengelolaan BUMD adalah masih belum optimalnya kinerja BUMD akibat keterbatasan kapasitas terpasang dan pasar. Habisnya umur ekonomis dan umur produktif serta tingginya biaya O dan P asset yang sudah tua membuat rendahnya daya saing BUMD. Terbatasnya akses pasar juga merupakan salah satu penyebab belum optimalnya kinerja BUMD di Ponorogo. Walaupun saat ini kinerja BUMD secara umum telah menunjukkan adanya peningkatan, namun pencapaian tersebut masih jauh dari hasil yang diharapkan. Belum optimalnya kinerja pengelolaan BUMD tersebut antara lain disebabkan masih lemahnya koordinasi kebijakan antara langkah perbaikan internal perusahaan dengan kebijakan industrial di Ponorogo, dan masih rendahnya Sumber Daya Manusia. Kedepan, upaya peningkatan kinerja BUMD yang semakin sehat, profesional dan efisien serta berdaya saing tinggi, menjadi penting guna memberikan sumbangan yang makin besar pada keuangan daerah maupun memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat.
88
B. SASARAN Sasaran yang hendak dicapai dalam pengelolaan BUMD adalah meningkatnya kinerja kinerja,
dan daya saing BUMD dalam rangka meningkatkan
memperbaiki
pelayanannya
kepada
masyarakat serta
mengoptimalkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). C. ARAH KEBIJAKAN Kebijakan pengelolaan BUMD diarahkan pada : 1. Menciptakan
peluang
dan
kesempatan
bagi daerah untuk dapat
menarik Investor. 2. Meningkatkan efisiensi usaha dan daya saing Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) serta terwujudnya kemitraan antara BUMD dengan mitra usaha lainnya sekaligus sebagai salah satu sumber PAD. 3. Melanjutkan langkah – langkah restrukturisasi meliputi restrukturisasi asset, manajemen, organisasi, operasi dan sistem prosedur dan lain sebagainya. 4. Memantapkan penerapan prinsip – prinsip Good Corporate Governance (GCG), yaitu transparansi, akuntabilitas, keadilan dan responsibilitas pada pengelolaan BUMD. 5. Melakukan sinergi antar BUMD agar dapat meningkatkan daya saing dan memberikan multiplier effect kepada perekonomian di Ponorogo yang memberikan nilai tambah akan ditumbuh-kembangkan. D. PROGRAM-PROGRAM PEMBANGUNAN Arah kebijakan tersebut dijabarkan ke dalam progam pengembangan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Program Pengembangan Badan Usaha Milik Daerah dengan kegiatan pokok yang dilakukan dalam program ini adalah fasilitasi pengembangan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
3.3.8. Sub Agenda Percepatan Pembangunan Infrastruktur 3.3.8.1. Sumber Daya Air A. KONDISI UMUM Secara
alamiah
Ponorogo menghadapi kendala
memenuhi kebutuhan air karena
dalam
distribusi yang tidak merata baik
secara spasial maupun waktu, sehingga air yang dapat disediakan tidak selalu sesuai dengan kebutuhan, baik dalam perspektif jumlah maupun mutu.
89
Dari segi distribusi waktu sepanjang tahun, 80 % air tersedia pada musim hujan yang berdurasi lima bulan, sedangkan 20 % lainnya tersedia pada musim kemarau dengan durasi tujuh bulan. Ketersediaan air yang melimpah pada musim hujan, yang selain memberikan manfaat, pada saat yang sama juga menimbulkan potensi bahaya kemanusiaan berupa banjir. Sedangkan pada musim kemarau, kelangkaan air telah pula menyebabkan potensi bahaya kemanusiaan lainnya berupa kekeringan yang berkepanjangan. Kerusakan lingkungan yang semakin luas akibat kerusakan hutan secara signifikan telah menyebabkan penurunan daya dukung Daerah Aliran Sungai (DAS) dalam menahan dan menyimpan air. Hal
yang
memprihatinkan
adalah
indikasi
terjadinya
proses
percepatan laju kerusakan daerah tangkapan air. Kecenderungan meluas dan bertambahnya jumlah DAS kritis telah mengarah pada tingkat kelangkaan dan peningkatan daya rusak air yang semakin serius. Selain itu, kelangkaan air yang terjadi cenderung mendorong pola penggunaan sumber daya air yang tidak bijaksana, antara lain pola eksploitasi air tanah secara berlebihan sehingga mengakibatkan terjadinya penurunan permukaan tanah dan terjadinya intrusi air laut yang mengakibatkan air tanah tercemar, dan “amblesan” permukaan tanah. Kerusakan air tanah sangat sulit untuk dipulihkan, sehingga apabila hal tersebut terjadi terus menerus secara pasti akan berujung pada terjadinya bencana lingkungan yang berimplikasi luas. Berkembangnya daerah permukiman dan industri telah menurunkan area resapan air lingkungan
dalam
dan
mengancam
kapasitas
menyediakan air. Pada sisi lain, kapasitas
infrastruktur penampung air seperti waduk dan bendungan makin menurun
sebagai
akibat
meningkatnya sedimentasi, sehingga
menurunkan keandalan penyediaan air untuk irigasi maupun air baku.
Kondisi
ini
diperparah
dengan
kualitas
operasi
dan
pemeliharaan yang rendah sehingga fungsi layanan prasarana sumber daya air menurun semakin tajam. Sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk dan kualitas kehidupan masyarakat, jumlah kebutuhan air baku bagi rumah tangga, permukiman, pertanian maupun industri juga semakin meningkat.
90
Oleh karenanya, kebutuhan air yang semakin terbatas pada sisi yang lain, secara pasti akan memperparah kelangkaan air. Semakin
parahnya
kelangkaan
tersebut
berpeluang
memicu
terjadinya berbagai bentuk konflik air, baik antar kelompok pengguna, antar wilayah, maupun antar generasi. Konflik air yang tidak terkendali berpotensi berkembang menjadi konflik dengan dimensi yang lebih luas, bahkan lebih jauh dapat memicu berbagai bentuk disintegrasi. Disebabkan oleh jaringan irigasi yang telah dibangun masih belum atau tidak berfungsi. Belum atau tidak berfungsinya jaringan irigasi tersebut disebabkan antara lain masih mengalami kerusakan, belum lengkapnya sistem jaringan, ketidaksediaan air, belum tercukupinya dana operasi dan pemeliharaan yang memadai, ketidaksiapan petani penggarap, atau terjadinya mutasi lahan. Selain itu, pada jaringan irigasi yang berfungsi juga mengalami kerusakan terutama
disebabkan
oleh
rendahnya
kualitas
operasi
dan
pemeliharaan. Dengan tingkat kerusakan jaringan irigasi yang mencapai sekitar 50% tersebut cukup mengkhawatirkan, apabila sebagian besar kerusakan tersebut terjadi pada daerah–daerah penghasil
beras
di
Kabupaten
Ponorogo. Selain
penurunan
keandalan layanan jaringan irigasi, luas sawah produktif beririgasi juga makin menurun karena alih fungsi lahan menjadi non pertanian terutama untuk perumahan. Perubahan
paradigma
pembangunan
sejalan
dengan
semangat reformasi memerlukan beberapa langkah penyesuaian tata Pemerintahan, peran masyarakat, peran BUMD dan peran swasta dalam pengelolaan infrastruktur sumber daya air. Penguatan peran
masyarakat,
Pemerintah
Daerah,
BUMD
dan
swasta
diperlukan dalam rangka memperluas dan memperkokoh basis sumber daya. Meskipun prinsip–prinsip dasar mengenai hal tersebut telah diatur dalam Undang–undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang sumber daya air, namun masih diperlukan upaya tindak lanjut untuk menerbitkan beberapa produk peraturan perundangan turunan dari Undang–undang tersebut sebagai acuan operasional. Pada aspek Institusi lemahnya koordinasi
antar
instansi
dan
antar
daerah
otonom
telah
menimbulkan pola pengelolaan sumber daya air yang tidak efektif,
91
bahkan tidak jarang saling berbenturan. Pada sisi lain, kesadaran dan partisipasi masyarakat, sebagai salah satu prasyarat terjaminnya keberlanjutan pola pengelolaan sumber daya air,masih belum mencapai tingkat yang diharapkan karena terbatasnya kesempatan, kemampuan. Pengelolaan sumber daya air belum didukung oleh basis data dan sistem informasi yang memadai. Kualitas data dan informasi yang dimiliki belum memenuhi standar yang ditetapkan dan tersedia pada saat diperlukan. Selain itu, akses public terhadap data masih belum dapat terlayani secara baik. Berbagai instansi mengumpulkan serta mengelola data dan informasi tentang sumber daya air, namun pertukaran data dan informasi antar instansi masih banyak mengalami hambatan. Masalah lain yang dihadapi adalah sikap kurang perhatian dan penghargaan akan pentingnya data dan informasi. Hal tersebut perlu diperhatikan, karena dapat berakibat pada pencemaran sumber-sumber air akibat sedimentasi dan kerusakan pada bangunan-bangunan airnya juga telah menggangu penyediaan air baku bagi masyarakat. Endapan lumpur dan sampah pada sungai-sungai telah pula menggangu dan menurunkan kapasitas aliran air. Kondisi ini sangat membahayakan dan berpotensi mengakibatkan banjir. B. SASARAN Sasaran umum pembangunan sumber daya air adalah: (1)
tercapainya pola pengelolaan sumber daya air yang terpadu dan berkelanjutan;
(2)
terkendalinya potensi konflik air;
(3)
terkendalinya pemanfaatan air tanah;
(4)
meningkatnya kemampuan pemenuhan kebutuhan air bagi rumah tangga, permukiman, pertanian, dan industri dengan prioritas utama untuk kebutuhan pokok masyarakat dan pertanian rakyat;
(5)
berkurangnya dampak bencana banjir dan kekeringan;
(6)
terkendalinya pencemaran air;
(7)
meningkatnya partisipasi aktif masyarakat;
(8)
meningkatnya kualitas koordinasi dan kerjasama antar instansi;
92
(9)
terciptanya pola pembiayaan yang berkelanjutan;
(10) tersedianya data dan sistem informasi yang aktual, akurat dan mudah diakses; dan (11) pulihnya kondisi sumber-sumber air, sarana dan prasarana sumber daya air, ketersediaan air baku bagi masyarakat, pengendalian banjir terutama pada daerah perkotaan. C. ARAH KEBIJAKAN Pengelolaan
sumber
daya
air
dilaksanakan
dengan
memperhatikan keserasian antara konservasi dan pendayagunaan, antara hulu dan hilir, antara pemanfaatan air permukaan dan air tanah, antara pengelolaan demand dan pengelolaan supply, serta antara pemenuhan kepentingan jangka pendek dan kepentingan jangka panjang. Pada masa lalu fokus pembangunan lebih ditujukan pada pendayagunaan. Ke depan upaya konservasi akan lebih diutamakan sehingga akan terjadi keseimbangan antara upaya untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek dan upaya untuk memenuhi kebutuhan jangka panjang. Selain itu, pola hubungan hulu-hilir akan terus dikembangkan agar tercapai pola pengelolaan yang lebih berkeadilan. Pengembangan dan penerapan system konjuctive use antara pemanfaatan air permukaan dan air tanah akan digalakkan terutama untuk menciptakan sinergi dan menjaga keberlanjutan ketersediaan air tanah. Untuk itu, pemanfaatan air tanah akan dibatasi, terutama untuk pemenuhan kebutuhan air baku, rumah tangga dan usaha pertanian yang secara financial mempunyai prospek menguntungkan. Upaya yang terlalu menintik beratkan pada sisi penyediaan (supply) terbukti kurang efisien dan efektif dalam rangka memecahkan masalah pengelolaan sumber daya air. Untuk itu, upaya tersebut perlu disertai dengan upaya melakukan rasionalisasi permintaan dan pengunaan air melalui demand dan management. Pendekatan vegetatif dalm rangka konservasi sumbersumber air adalah hal yang sangat perlu dilakukan karena penting dan tak-tergantikannya fungsi vegetatif dalam konteks lingkungan. Namun disadari bahwa hasil dari upaya vegetatif tersebut bersifat jangka panjang. Untuk itu, dalam 5 (lima) tahun kedepan
upaya
vegetatif perlu diimbangi upaya-upaya lain, antara lain :
93
Rekayasa keteknikan, yang lebih bersifat quick yielding. Pembangunan
tampungan
air
berskala
kecil
akan
lebih
dikedepankan, sedangkan pembangunan tampungan air dalam skala besar perlu pertimbangan yang lebih hati-hati karena menghadapi masalah yang lebih kompleks, terutama terkait dengan isu sosial dan lingkungan. Pola pembangunan berskala kecil ini akan mengurangi derajat konsentrasi biaya dan resiko pada suatu areal dan penduduk tertentu. Upaya konservasi sumber-sumber air dilakukan tidak hanya untuk melestarikan kuantutas air, tapi juga diarahkan untuk memelihara kualitas air. Selain itu, upaya konservasi air tanah terus akan ditingkatkan dengan pengisian kembali, pembuatan sumur resapan, atau dengan aplikasi teknologi lain yang tersedia dan layak. Untuk melindungi sumber daya air dan bencana banjir, maka perlu dilakukan pelestarian situ-situ dan pengamanan daerah aliran sungai. Pendayagunaan
sumber
daya
air
untuk
pemenuhan
kebutuhan air irigasi pada 5 (lima) tahun kedepan difokuskan pada upaya peningkatan fungsi jaringan irigasi yang sudah dibangun tapi belum berfungsi, rehabilitasi pada areal irigasi berfungsi yang mengalami kerusakan, dan peningkatan kinerja operasi dan pemeliharaan. Upaya peningkatan fungsi jaringan akan dilakukan hanya pada areal yang ketersediaan airnya terjamin dan petani penggarapnya sudah siap, dengan prioritas areal irigasi di daerah lumbung padi. Mengingat luasnya jaringan irigasi yang belum optimal fungsinya, maka pada tiga tahun kedepan tidak perlu lagi dilakukan upaya pengembangan jaringan sawah beririgasi baru, kecuali menyelesaikan proyek-proyek yang sudah dimulai dan tengah dikerjakan. Operasi dan pemeliharaan jaringan
irigasi
diselenggarakan
dengan
berbasis
partisipasi
masyarakat dalam seluruh proses kegiatan. Untuk mengendalikan kecenderungan meningkatnya alih fungsi lahan, akan dikembangkan berbagai
skema
insentif
kepada
petani
agar
bersedia
mempertahankan sawahnya. Pendayagunaan
sumber
daya
air
untuk
pemenuhan
kebutuhan air baku diprioritaskan pada pemenuhan kebutuhan pokok rumah tangga terutama di wilayah rawan defisit air, wilayah tertinggal, dan wilayah strategis.
94
Pemanfaatan air tanah untuk pemenuhan kebutuhan air baku akan dikendalikan dan sejalan dengan itu akan dilakukan upaya peningkatan penyediaan air baku dari air permukaan. Pengendalian
daya
rusak
air
terutama
dalam
hal
penanggulangan banjir mengutamakan pendekatan non-konstruksi melalui konservasi sumber daya air dan pengelolaan daerah aliran sungai dengan memperhatikan keterpaduan dengan tata ruang wilayah. Peningkatan partisipasi masyarakat dan kemitraan di antara pemangku kepentingan terus diupayakan tidak hanya pada saat kejadian banjir, tetapi juga pada tahap pencegahan serta pemulihan pasca bencana. Penanggulangan banjir diutamakan pada wilayah berpenduduk padat dan wilayah strategis. Pengembangan
dan
pengelolaan
sumber
daya
air
memerlukan penataan kelembagaan melalui pengaturan kembali kewenangan dan
tanggung jawab masing-masing pemangku
kepentingan. Lembaga dewan sumber daya air dan komisi irigasi akan dibentuk dan diperkuat, yang ditujukan selain sebagai instrument kelembagaan untuk mengendalikan berbagai potensi konflik air, juga untuk memantapkan mekanisme koordinasi, baik antar institusi pemerintah maupun antara institusi pemerintah dengan institusi pemerintah,
masyarakat. Walaupun domain
pemerintah
propinsi
dan
kewenangan
kabupaten/kota
telah
ditetapkan, upaya kerjasama kemitraan antar ketiga tingkatan pemerintah tersebut akan terus didorong agar keterpaduan pengelolaan sumber daya air dalam satu wilayah sungai dapat dijamin. Dalam upaya memperkokoh civil society, keterlibatan masyarakat, BUMD dan swasta perlu terus didorong. Peran modal sosial dalam pengelolaan sumber daya air sangat penting, terutama dalam hal mendorong rasa memiliki masyarakat pengguna air, yang merupakan faktor penting untuk menjamin keberlanjutan fungsi infrastruktur. Pengembangan
modal
sosial
akan
dilakukan
dengan
pendekatan budaya, terutama untuk menggali dan merevitalisasi kearifan lokal yang secara tradisi banyak tersebar di masyarakat Ponorogo. Kebijakan pengembangan dan pengelolaan sumber daya air perlu didukung dengan ketersediaan data yang tepat, akurat dan
95
dapat diakses dengan mudah oleh pihak-pihak yang memerlukan. Untuk itu penataan dan penguatan sistem pengolahan data dan informasi sumber daya air dilakukan secara terencana dan dikelola secara berkesinambungan sehingga tercipta basis data yang dapat dijadikan dasar acuan perencanaan pengembangan dan pengeloaan sumber daya air. Potensi pemerintah daerah, pengelola dan pemakai sumber daya air perlu dimanfaatkan seoptimal mungkin. Pemulihan pelayanan sumber daya air yang rusak akibat bencana alam dilakukan secara darurat dengan memprioritaskan pada
penyediaan
air
baku
bagi
masyarakat
dengan
mempertimbangkan kondisi sumber-sumber air permukaan dan pengendalian
banjir
dengan
pendekatan
flood
management.
Selanjutnya akan dilakukan upaya mengembalikan fungsi secara permanen terhadap bangunan-bangunan pengairan, memfungsikan kembali jaringan irigasi dan mengamankan pantai dari kerusakan akibat
erosi
dan
sedimentasi
dengan
lebih
mengutamakan
pendekatan vegetatif. D. PROGRAM-PROGRAM PEMBANGUNAN Untuk mencapai sasaran umum dan melaksanakan kebijakan diatas dilakukan kegiatan-kegiatan yang tercakup dalam 5 (lima) program, yaitu : 1. pengembangan, pengelolaan dan konservasi sungai, dan sumber air lainnya, dengan kegiatan antara lain : a) penatagunaan sumber daya air; b) menyelenggarakan konservasi air tanah pada wilayah kritis air; c) operasi
dan
pemeliharaan
embung
serta
bangunan
penampung air lainnya; d) rehabilitasi bangunan tampungan air; e) pembangunan embung dan bangunan penampung air lainnya pada wilayah rawan kekeringan; f) pembangunan waduk Bendo; g) peningkatan pemanfaatan potensi kawasan dan potensi air embung dan bangunan penampung air lainnya, termasuk untuk pengembangan wisata tirta; h) melaksanakan pembiayaan kompetitif (competitive fund)
96
untuk konservasi air oleh kelompok masyarakat; i)
menggali dan mengembangkan budaya masyarakat dalam konservasi air;
j)
melakukan studi penelitian, kajian dan lain lain dalam rangka peningkatan sumber daya air;
k) pengembangan teknologi tepat guna; l)
penyusunan Norma, Standar, Pedoman dan Manual (NSPM).
2. pengembangan dan pengelolaan jaringan irigasi dan jaringan pengairan lainnya, dengan kegiatan antara lain : a) pemberdayaan
petani
pemakai
air
terutama
dalam
pengelolaaan jaringan irigasi; b) peningkatan optimalisasi jaringan irigasi yang belum optimal berfungsi; c) rehabilitasi jaringan irigasi terutama pada daerah penghasil pangan; d) pengelolaan jaringan irigasi dan jaringan pengairan lainnya; e) optimalisasi
pemanfaatan
lahan
irigasi
yang
telah
dikembangkan; f) rehabilitasi dan rekonstruksi jaringan irigasi yang rusak akibat bencana alam. 3. penyediaan dan pengelolaan air baku; dengan kegiatan : a) operasi dan pemeliharaan serta rehabilitasi saluran pembawa dan prasarana air baku lainnya; b) pembangunan
prasarana
pengambilan
dan
saluaran
pembawa air baku terutama pada kawasan-kawasan dengan tingkat kebutuhan air baku tinggi di wilayah strategis dan daerah tertinggal; c) pembangunan sumur air tanah dengan memperhatikan prinsip-prinsip conjuctive use pada daerah–daerah rawan air, dan daerah tertinggal; d) sinkronisasi kegiatan antara penyediaan air baku dengan kegiatan pengelolaan dan distribusi; serta e) pembangunan prasarana air baku dengan pemanfaatan air tanah perlu dibatasi dan diprioritaskan pada daerah yang kekeringan
karena
eksploitasi
yang
berlebihan
akan
97
mengganggu keseimbangan lingkungan (penurunan muka air tanah, intrusi air laut dan lain-lain). 4. pengendalian banjir; dengan kegiatan antara lain : a) melakukan studi penelitian, kajian dan lain-lainnya dalam rangka pengendalian banjir; b) operasi dan pemeliharaan serta perbaikan alur sungai di seluruh Daerah Aliran Sungai; c) rehabilitasi, operasi dan pemeliharaan prasarana pengendali banjir, termasuk tanggul dan normalisasi sungai; d) pembangunan prasarana pengendali banjir terutama pada daerah-daerah rawan bencana banjir pada wilayah strategis, daerah tertinggal; e) mengendalikan aliran air permukaan (run off) didaerah tangkapan air dan badan-badan sungai melalui pengaturan dan penegakkan hukum; f) menggali
dan
mengembangkan
budaya
masyarakat
setempat dalam mengendalikan banjir. 5. penataan kelembagaan dan ketatalaksanaan, dengan kegiatan antara lain : a) penyusunan/penyesuaian
Peraturan
Daerah
tentang
Pengelolaan Sumber Daya Air, Peraturan Daerah tentang Sungai, Peraturan Daerah tentang Pengusahaan Sumber Daya Air Wilayah Sungai, Peraturan daerah tentang Irigasi, Peraturan Daerah tentang Pembiayaan Pengelolaan Sumber Daya Air Wilayah sungai; b) Peraturan Daerah tentang Pembentukan Dewan Sumber Daya Air Kabupaten; c) Penataan dan perkuatan kelembagaan pengelola sumber daya air ditingkat Kabupaten; d) pembentukan wadah koordinasi pengelolaan sumber daya air tingkat kabupaten; e)
membangun sistem informasi dan pengelolaan data yang dapat memenuhi kebutuhan data dan informasi yang akurat, aktual dan mudah diakses;
f) pembentukan jaringan dan kelembagaan pengelola data dan
98
sistem
informasi
serta
penyiapan
dan
pengoperasian
decision support system (DSS); g) peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengembangan, pengelolaan dan konservasi sungai dan sumber air lainnya; h) peningkatan kemampuan dan pemberdayaan masyarakat dan Himpunan Petani Pemakai Air (HIPPA) dalam hal teknis, organisasi dan administrasi pengembangan dan pengelolaan irigasi dan sumber daya air lainnya; serta i)
penegakan hukum dan peraturan terkait dengan pengelolaan sumber daya air.
3.3.8.2. Transportasi 3.3.8.2.1. PRASARANA JALAN A. KONDISI UMUM Secara umum, kondisi jaringan jalan kabupten beberapa
tahun
terakhir
terus
mengalami
penurunan.
Beberapa sebab utama adalah kualitas konstruksi jalan yang belum optimal, pembebanan berlebihan (excessive over loading), menurunnya kemampuan pembiayaan setelah masa krisis ekonomi yag menyebabkan berkurangnya biaya pemeliharaan jalan oleh Pemerintah. Kurangnya tenaga perawatan jalan, berpengaruh terhadap kondisi jalan, idealnya satu tenaga perawatan jalan memelihara jalan sepanjang 3 km, sehingga apabila saluran di kiri jalan ada yang tertutup dan kurang terpelihara bisa segera berfungsi dan air hujan tidak mengalir lewat jalan. Untuk meningkatkan mutu bangunan perlu dioptimalkan pengawasan terhadap pelaksanaan kegiatan yang saat ini masih kurang sehingga umur bangunan sesuai rencana. Sarana dan prasarana yang ada masih kurang sehingga mengganggu kelancaran pelaksanaan kegiatan. Banyak alatalat berat yang sudah tua umurnya sehingga sering kali rusak. Kendaraan operasional dinas banyak yang tidak layak pakai sehingga untuk kegiatan ke lapangan tidak bisa optimal.
99
Pembiayaan dari tahun ke tahun relatif sama, bahkan dari sisi kemampuan mengalami penurunan. Walaupun secara nominal, pembiayaan prasarana jalan dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, peningkatan tersebut belum menunjukkan
kemampuan
pemenuhan
dana
untuk
pemeliharaan atau pembangunan prasarana jalan yang ada. Tingkat kerusakan jalan akibat pembebanan muatan lebih (excessive over loading) dan sistem penanganan yang belum memadai, berakibat hancurnya jalan sebelum umur teknis jalan dicapai. Hal ini akan membutuhkan biaya tambahan untuk mempertahankan fungsi jalan tersebut dan mengurangi alokasi dana untuk jalan yang lain, sehingga pada akhirnya pengelolaan seluruh jaringan jalan akan terganggu. Selain itu, kerugian paling besar secara langsung akan dialami oleh pengguna jalan yaitu bertambahnya waktu tempuh perjalanan sehingga biaya operasional kendaraan akan semakin tinggi, serta akibat tak langsung komponen biaya transportasi pada proses distribusi barang semakin bertambah. Oleh karena itu harus ada upaya terpadu untuk mengurangi, dan sedapatnya menghilangkan pembebanan muatan
lebih
dari
kendaraan
berat,
khususnya
truk
bergandar tunggal, dengan tekanan gandar jauh melampaui daya dukung jalan. Apabila sebab-sebab yang mendasar tersebut
belum
diselesaikan
secara
tuntas,
maka
pemeliharaan jalan dengan biaya APBD tidak akan dapat mengejar proses kerusakan yang begitu cepat terjadi. Kerusakan
prasarana
jalan
telah
menyebabkan
bertambahnya secara dramatis biaya sosial ekonomi yang diderita oleh pengguna jalan diberbagai ruas jalan yang merupakan jalur utama ekonomi. Mekanisme
pendanaan
dan
penanganan
jalan
nasional, propinsi, kabupaten, kota dan desa belum jelas bahkan masih mengacu kepada batas-batas administrasi wilayah, sehingga berdampak kepada sistem jaringan jalan yang
belum
membentuk
suatu
jaringan
transportasi
intermoda yang terpadu. Di era desentralisasi, wewenang perencanaan, pemeliharaan dan pelaksanaan pembangunan
100
jaringan jalan termasuk pembiayaannya sepenuhnya ada pada pemerintah daerah masing-masing sesuai status jalan. B. SASARAN Sasaran umum Pembangunan Prasarana
Jalan
adalah : 1.
Terwujudnya jalan dan jembatan pada ruas jalan Kabupaten yang memiliki daya dukung, kapasitas serta kualitas yang memadai;
2.
Terwujudnya sistem jaringan jalan untuk mendukung Kawasan strategis Potensial;
3.
Meningkatnya aksesbilitas wilayah yang sedang dan belum
berkembang
melalui
dukungan
pelayanan
prasarana jalan terutama di wilayah perdesaan, daerah terpencil; 4.
Terwujudnya peran masyarakat dan swasta dalam penyelenggaraan prasarana jalan;
5.
Terbangunnya kembali jalan dan jembatan yang rusak akibat bencana alam.
C. ARAH KEBIJAKAN Arah kebijakan pembangunan prasarana jalan adalah : 1.
Penanganan seluruh ruas jalan dengan mengutamakan Pemeliharaan Rutin dan Berkala;
2.
Meningkatkan daya dukung dan kapasitas jalan dan jembatan untuk mengantispasi pertumbuhan lalu lintas;
3.
Membangun sistem jaringan jalan Lintas Perbatasan;
4.
Membangun sistem jaringan jalan yang mendukung Kawasan Strategis Potensial;
5.
Mengembangkan rencana induk sistem jaringan jalan Kabupaten yang mengacu kepada Kebijakan Tata Ruang
Wilayah
Kabupaten
Ponorogo
dan
meningkatkan keterpaduan dengan sistem jaringan prasarana lainnya dalam kontek pelayanan intermoda dan sistem transportasi nasional (Sistranas); 6.
Menumbuhkan sikap profesionalisme dan kemandirian institusi dan SDM bidang penyelenggaraan prasarana
101
jalan; 7.
Mendorong peran serta aktif masyarakat dan swasta untuk pembiayaan pembangunan prasarana jalan;
8.
Melakukan tindakan segera dalam penanganan darurat akibat bencana alam;
9.
Meningkatkan
SDM
aparatur
dan
pemberdayaan
masyarakat dalam penanganan di bidang Jalan dan jembatan.
D. PROGRAM-PROGRAM PEMBANGUNAN 1. Program Rehabilitasi/Pemeliharaan Jalan dan Jembatan, dengan kegiatan pokok dalam program ini adalah : a) Rehabilitasi/Pemeliharaan rutin dan berkala Jalan dan Jembatan Kabupaten; b) Penanganan darurat jalan dan jembatan yang rusak akibat bencana alam.
2. Program
Peningkatan/Pembangunan
Jalan
dan
Jembatan dengan kegiatan pokok dalam program ini adalah : a) Peningkatan / Pembangunan Jalan Kabupaten; b) Pembangunan Jaringan Jalan Lintas Perbatasan; c) Pembangunan Jembatan Kabupaten; d) Pembangunan Jalan Strategis Kawasan Perkotaan, terutama bertujuan untuk mengatasi kemacetan lalu lintas;
3. Program Pendamping Swadaya Masyarakat dengan kegiatan
pokok
berupa
bantuan
langsung kepada
masyarakat. 4. Program Pendukung Sarana dan Prasarana, dengan kegiatan pokok :
a) Pengadaan alat berat; b) Pengadaan alat laboratorium; c) Inventory Jalan;
102
d) Pradesain. 3.3.8.2.2. TRANSPORTASI DARAT 1. Lalu Lintas Angkutan Jalan A. KONDISI UMUM Beberapa hal terkait dengan kondisi lalu lintas angkutan jalan secara umum adalah sebagai berikut : 1) Ketidak-cukupan kapasitas jalan, terutama dilihat dari perkembangan
kapasitas
prasarana
jalan,
dibandingkan dengan perkembangan armada jalan; 2) Penataan
kelas jalan
pelayanan
distribusi
dan
terminal
angkutan
serta
jalan,
pola
antarkota,
perkotaan, dan pedesaan; 3) Rendahnya kondisi prasarana akibat kerusakan di jalan, serta banyaknya pungutan dan retribusi di jalan, yang membuat biaya angkut belum efisien; 4) Tingginya
jumlah kecelakaan disebabkan oleh :
human error, rendahnya tingkat kelaikan armada, disiplin
pengguna
jalan,
rambu
dan
fasilitas
keselamatan di jalan; law-enforcement dan pendidikan berlalu lintas; 5) Persaingan antar armada meningkat, diperlukan peningkatan kualitas pelayanan dan efisiensi dalam system transportasi jalan; 6) Masih tingginya kerusakan jalan akibat pelanggaran muatan lebih di jalan yang dapat mengakibatkan kerugian ekonomi; 7) Masih terbatasnya pengembangan SDM dibidang LLAJ baik ditingkat regulator maupun operator, pembinaan usaha angkutan serta pengembangan teknologi sarana dan prasarana LLAJ yang lebih efisien dan ramah lingkungan; 8) Pelayanan angkutan umum yang masih terbatas dan rendah kualitasnya; 9) Dalam transportasi jalan, sebagian besar pelayanan angkutan umum sudah menjadi domain swasta. Peran BUMD hanya untuk penugasan pelayanan
103
yang kurang komersial lintas/trayeknya (angkutan perintis dan perbatasan untuk perum Damri). Karena semenjak
desentralisasi,
transportasi
perkotaan
menjadi tanggung jawab pemerintah daerah; 10) Masalah dampak lingkungan ( polusi udara dan kemacetan;
keterjangkauan
dan
pemerataan
pelayanan; mobilitas transportasi jalan; keterpaduan pelayanan antar moda, penetapan kelas jalan dan pengaturan system terminal, lemahnya manajemen lalu lintas; rendahnya ketertiban pengguna jalan, banyaknya kegiatan parkir dan masyarakat yang menggunakan badan jalan, Pedagang kaki lima; kerusakan jalan). B. SASARAN Sasaran umum pembangunan lalu lintas angkutan jalan adalah : 1) Meningkatnya kondisi kelaikan jalan, jumlah sarana prasarana LLAJ; 2) Meningkatnya keterpaduan antar armada dan efisiensi dalam mendukung mobilitas manusia, barang dan jasa: 3) Menurunnya jumlah pelanggaran lalu lintas dan muatan lebih dinjalan; 4) Menurunnya
tingkat
kecelakaan
dan
fasilitas
kecelakaan lalu lintas di jalan; 5) Meningkatnya ketertiban, keamanan dan kenyamanan transportasi jalan, terutama angkutan umum di perkotaan, pedesaan dan antar kota; 6) Meningkatnya
kelancaran
dan
keterjangkauan
pelayanan transportasi umum bagi masyarakat luas; 7) Meningkatnya dukungan pelayanan transportasi jalan terhadap
pengembangan
teknologi
sarana yang
ramah lingkungan, terutama di wilayah perkotaan; 8) Meningkatnya efektifitas regulasi dan kelembagaan transportasi jalan; 9) Meningkatnya peran serta swasta dan masyarakat
104
dalam penyelenggaraan transportasi jalan (angkutan perkotaan, perdesaan, dan antar kota); 10) Meningkatnya kesadaran dan penanganan dampak polusi udara; 11) Terwujudnya penyelenggaraan angkutan perkotaan yang efisien dengan berbasis masyarakat yang andal dan ramah lingkungan; 12) Terwujudnya manajemen dan rekayasa lalu lintas yang
terpadu
diharapkan
dapat
membrikan
peringatan, perintah atau petunjuk dan arahan bagi pemakai/pengguna jalan agar dapat selamat, aman dan lancar sampai tujuan; 13) Terwujudnya sistem transportasi yang efektif, tertib, lancar dan aman. C. ARAH KEBIJAKAN 1) Peningkatan keselamatan lalu lintas jalan secara komprehensif
dan terpadu dari berbagai aspek
(pencegahan, pembinaan dan penegakan hokum, penanganan dampak kecelakaan dan daerah rawan kecelakan; system informasi kecelakaan lalu lintas dan kelaikan sarana serta ijin pengemudi di jalan); 2) Meningkatnya manajemen dan rekayasa lalu lintas serta
pembinaan
teknis
tentang
pelayanan
operasional transportasi; 3) Menjaga keseimbangan permintaan dan penawaran angkutan serta kesediaan aksesibilitas angkutan pada daerah terpencil; 4) Penanganan muatan lebih secara komprehensif, dan melibatkan berbagai instansi terkait; 5) Penataan
transportasi
jalan
dengan
system
transportasi nasional dan wilayah (lokal), diantaranya melalui Jaringan
penyusunan Transportasi
RUJTJ Jalan)
(Rancangan meliputi
Umum
penataan
simpul, ruang kegiatan, ruang lalu lintas serta penataan pola distribusi barang; 6) Mengantisipasi, merencanakan serta melaksanakan
105
secara bertahap regulasi dan standarisasi global di bidang lalu lintas angkutan jalan; 7) Menciptakan
iklim
kompetensi
yang
sehat dan
transparan dalam penyelenggaraan transportasi, serta pembinaan terhadap operator dan pengusaha di bidang lalu lintas angkutan jalan; 8) Meningkatkan peran serta, investasi swasta dan masyarakat
dalam
penyelenggaraan
transportasi
jalan; 9) Peningkatan pembinaan teknis transportasi di daerah; 10) Sejalan dengan desentralisasi dan otonomi daerah, dibuat system standar pelayanan minimal dan standar teknis dibidang LLAJ serta skema untuk peningkatan pelaksanaan pengendalian dan pengawasan LLAJ di daerah; 11) Mendukung
pengembangan
transportasi
yang
berkelanjutan; 12) Meningkatkan kelancaran pelayanan angkutan jalan secara terpadu : penataan system jaringan dan terminal, manajemen lalu lintas, fasilitas dan rambu jalan, penegakan hukum dan disiplin di jalan; 13) Mendorong
efisiensi
transportasi
barang
dan
penumpang di jalan melalui deregulasi pungutan dan retribusi di jalan, penataan jaringan dan ijin trayek; kerja sama antar lembaga pemerintah daerah; 14) Penerapan teknologi angkutan jalan yang ramah lingkungan/berkesinambungan; 15) Terwujudnya Sistem Informasi Manajemen Lalu Lintas Angkutan
Jalan
yang
bertujuan
memberikan
kelancaran terhadap pelaksanaan tugas bidang LLAJ; 16) Menekan jumlah pelanggaran lalu lintas dan tingkat kecelakaan lalu lintas dapat dikurangi.
D. PROGRAM-PROGRAM PEMBANGUNAN 1) Program rehabilitasi dan pemeliharaan prasarana dan fasilitas LLAJ, dengan kegiatan : a. Rehabilitasi dan pemeliharaan terminal dan sub
106
terminal. b. Rehabilitasi dan pemeliharaan fasilitas LLAJ. 2) Program pembangunan prasarana dan fasilitas LLAJ, dengan kegiatan yang akan dilakukan adalah : a. Penataan sistem trasportasi di wilayah Ponorogo; b. Peningkatan keselamatan transportasi jalan; c.Pembangunan transportasi berkelanjutan terutama di perkotaan; d. Pembangunan fasilitas transportasi daerah. 3) Program
peningkatan
aksesbilitas
pelayanan
angkutan LLJJ, dengan kegiatan pokok pembangunan transportasi umum perkotaan yang terpadu dan terjangkau.
4) Program restrukturisasi kelembagaan dan prasarana LLAJ dengan kegiatan : a. Peningkatan pelayanan dan kelancaran angkutan jalan, terutama angkutan umum dan barang; b. Pembinaan terhadap pengusaha dan pengemudi angkutan dalam mendukung penyelenggaraan LLAJ; c.Penyusunan perencanan teknis bidang LLAJ terkait dengan jaringan transportasi jalan, sarana angkut jalan, keselamatan lalu lintas dan angkutan jalan; d. Pembinaan SDM transportasi jalan dalam disiplin lalu
lintas
serta
dalam
perencanaan
dan
penyelenggaraan transportasi. 3.3.8.2.3. POS DAN TELEMATIKA A. KONDISI UMUM Pos dan telematika lebih ditekankan pada upaya memberikan pelayanan berkenaan dengan perkembangan multi media yang sangat pesat, antara lain dalam bentuk pengadaan alat kalibrasi, peralatan laboratorium uji multi media,
monitoring
dan
pengendalian
frekuensi
serta
107
pembangunan infrastruktur telematika.
Telematika melalui
konsep electronik government (E-government) juga sangat menjanjikan
perannya
penyelenggaraan
dalam
Pemerintah
mendorong yang
Good
terwujudnya Governance.
Penyediaan informasi sebagai bahan pengambilan kebijakan yang semakin komplek, tidak lagi cukup menghasilkan melalui pengelolaan data secara manual melainkan sudah menjadi kebutuhan adanya pengelolaan data yang lebih akurat, cepat, efisien dan mudah.
Dalam hal demikian
pengelolaan data juga akan bergeser dari cara manual menjadi pengolahan data yang secara elektronik. Rendahnya masyarakat Kabupaten Ponorogo untuk mengakses informasi
menimbulkan kesenjangan
digital
(digital divide) dengan daerah lain. Oleh karena itu, perlu dilakukan berbagai perbaikan dan perubahan mendasar untuk meningkatkan kesiapan dan kemampuan Ponorogo dalam menghadapi era informasi. Tingkat kesiapan dan kemampuan masyarakat dalam mengakses dan memanfaatkan informasi ditentukan oleh dua aspek, yaitu supply yang terkait dengan kemampuan pembangunan penyedia infrastruktur informasi (pos dam telematika), dan demand yang terkait dengan kebutuhan masyarakat pengguna. Tidak seimbangnya supply-demand pada
akhirnya
akan
menyebabkan
rendahnya
tingkat
kesiapan dan kemampuan mengakses dan memanfaatkan informasi. Ketidakseimbangan tersebut disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut : 1. Belum optimalnya pengolahan data sebagai informasi yang mempunyai nilai strategis baik bagi pemerintah maupun swasta dalam pengambilan kebijakan. 2. Rendahnya tingkat pemahaman terhadap Telematika (eLiteracy) masyarakat serta tingginya biaya penyediaan perangkat keras dan biaya komunikasi. 3. Belum lengkapnya peraturan pendukung pemanfaatan dan pengembangan teknologi informasi seperti transaksi elektronik serta kerahasiaan dan perlindungan data yang merupakan
kendala
bagi
pengembangan
berbagai
108
aplikasi berbasis teknologi informasi. 4. Terbatasnya kemampuan masyarakat untuk mengakses dan mengolah informasi menjadi peluang ekonomi.
B. SASARAN Sasaran
umum
yang
hendak
dicapai
dalam
pembangunan Pos dan Telematika adalah : 1. Meningkatnya aksesibilitas masyarakat akan layanan Pos dan telematika; 2. Terwujudnya penyelenggaraan telematika yang efisien, mampu
mendorong
ekonomi
Ponorogo
produktifitas dengan
dan
tetap
pertumbuhan memperhatikan
kemanfaatan aspek sosial dan komersial; 3. Terwujudnya jaringan Intranet dan Internet di lingkungan Pemerintah Kabupaten Ponorogo. 4. Meningkatnya kapasitas serta kemampuan masyarakat dalam mengembangkan dan mendayagunakan teknologi dan aplikasi telematika secara efektif. C. ARAH KEBIJAKAN Untuk
mendukung
tercapainya
sasaran
pembangunan, arah kebijakan yang ditempuh adalah : 1. Mengembangkan dan mendaya-gunakan infrastruktur telematika dalam rangka meningkatkan kemampuan mengumpulkan, mengolah, dan menyajikan data dan informasi
untuk
keperluan pemerintah dan pelayanan
masyarakat; 2. Mendorong
peningkatan
kesiapan
aparatur
pemerintah dan masyarakat dalam pemanfaatan telematika
sebagai
sarana
pendukung
penyelenggaraan pemerintahan dan meningkatkan e-Literacy aparatur maupun
masyarakat menuju
terciptanya budaya informasi; 3. Mengembangkan kepemerintahan
upaya yang
terselenggaranya
berbasis elektronik dalam
rangka meningkatkan kualitas layanan public yang efektif
dan
interaktif
secara
bertahap
dan
109
berkelanjutan
sebagai
wujud
implementasi
e-Government; 4. Meningkatkan aplikasi
pengembangan
berbasis
dan
teknologi
pemanfaatan
informasi
dan
komunikasi. D. PROGRAM-PROGRAM PEMBANGUNAN 1. Program Pengembangan dan Pembinaan Pos, Frekuensi Radio dan Telematika, dengan kegiatan Pokok : a. Pengembangan Sarana Prasarana Telematika; b. Pengembangan
dan
pemeliharaan
pusat
data
kabupaten; c. Pembinaan usaha jasa pos dan telematika; d. Pembinaan frekuensi radio dan amatir radio. 2. Program penguasaan serta pengembangan aplikasi dan teknologi informasi dan komunikasi, dengan kegiatan pokok : a. Penyusunan
peraturan
daerah
terkait
dengan
pemanfaatan dan pengembangan teknologi informasi dan komunikasi beserta aplikasinya; b. Pengembangan aplikasi e-govenrment; 3.3.8.3. Ketenaga Listrikan A. KONDISI UMUM Kebutuhan tenaga listrik daerah Ponorogo dilayani dari energy transfer dari sistem interkoneksi Jawa-Madura-Bali (JAMALI), dan PLTD yang dimiliki oleh PLN Distribusi Jawa Timur dengan kapasitas terpasang total 50 MVA. Kapasitas ini lebih dari cukup bila dibandingkan dengan potensi kebutuhan listrik yang ada, sehingga tidak diperlukan pasokan daya tambahan dengan melakukan sewa PLTD. Desa berlistrik sampai dengan Tahun 2008 berjumlah 303 desa dan kelurahan dari jumlah total desa dan kelurahan sebanyak 303 desa. Berarti sudah 100 % desa di Ponorogo yang terjangkau pasokan listrik, namun masih ada dusun yang belum berlistrik sekitar 7,9%.
110
Di wilayah Ponorogo, walaupun sampai saat ini potensi Pembangkit
Skala
Keciltersebar
ma
sih
kecil,
perlu
dipertimbangkan keberadaan dan pertumbuhannya dalam tahuntahun mendatang. Selain daripada itu, melihat kondisi geografisnya, PSK Tersebar tersebut dapat digunakan sebagai substitusi program listrik perdesaan. Kondisi cadangan kapasitas tenaga listrik untuk Sistem JawaMadura-Bali (JAMALI) saat ini telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan yaitu sekitar 7%.
Untuk mengatasi krisis
diupayakan dengan meningkatkan kapasitas pembangkit yang ada serta pembangunan pembangkit baru berikut jaringan transmisi dan distribusinya. Selain itu diupayakan pula pembangunan pembangkitpembangkit skala kecil dengan memanfaatkan potensi energi setempat/lokal.
Beberapa kendala dalam pembangunan listrik
pedesaan adalah kondisi geografis serta letak pusat beban yang jauh dari pembangkit listrik.
B. SASARAN Sasaran bidang pembangunan prasaranan ketenagalistrikan adalah pemenuhan kebutuhan energi listrik penduduk pada daerah perdesaan dan daerah terpencil. C. ARAH KEBIJAKAN Kebijakan pembangunan ketenagalistrikan diarahkan pada pemenuhan
tenaga listrik
terutama
daerah
terpencil
melalui
pengembangan infrastruktur jaringan dan penyediaan pembangkit listrik dari energi alternative.
D. PROGRAM-PROGRAM PEMBANGUNAN Untuk mewujudkan pembangunan ketenagalistrikan di Ponorogo, Program yang akan dilaksanakan adalah : a. Program peningkatan kualitas jasa pelayanan sarana dan prasarana, dengan kegiatan pokok peningkatan pembangunan listrik perdesaan
melalui pembangunan sarana penyediaan
tenaga listrik di daerah perdesaan dan daerah yang belum berkembang. b. Program
penguasaan
dan
pengembangan
aplikasi
serta
111
teknologi kelistrikan, dengan kegiatan : a. Mendorong
industri
penunjang
ketenagalistrikan
dan
memberikan peluang seluas-luasnya kepada pengusaha tenaga b. listrik daerah untuk berpartisipasi dalam usaha penunjang ketenagalistrikan; c. Peningkatan
kualitas
Sumber
Daya
Manusia
bidang
ketenagalistrikan melalui sertifikasi kompetensi; d. Bantuan ketenagalistrikan berupa Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) dan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) bagi masyarakat di perdesaan; e. Pengembangan jaringan listrik di perdesaan;
3.3.8.4. Perumahan dan Permukiman A. KONDISI UMUM Pemenuhan terhadap kebutuhan masyarakat akan hunian yang layak dan sehat merupakan salah satu tujuan utama pembangunan perumahan dan permukiman. Pemenuhan kebutuhan rumah antara lain dilakukan oleh masyarakat antara lain dilakukan secara swadaya oleh masyarakat sendiri dan oleh pengembang (developer). Sampai dengan Tahun 2007, backlog rumah di Ponorogo telah mencapai 2.081 unit rumah di Kota dan Desa. Pembangunan prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan (air limbah, persampahan dan drainase) yang telah dilakukan telah mengalami banyak kemajuan, namun demikian cakupan pelayanan air minum dan penyehatan lingkungan masih jauh dari memadai. Pada tahun 2008, tingkat pelayanan air bersih perpipaan Ponorogo di kawasan perkotaan baru mencapai 40 %.
Untuk prasarana dan sarana pengolahan air limbah dasar
cakupan pelayanannya telah mencapai 88,77 % untuk perkotaan dan 62,30 % untuk perdesaan.
Sedangkan tingkat pengelolaan
persampahan mencapai 70,89 % dan luas daerah genangan mencapai sekitar 328 ha. Pembangunan sarana dan prasarana pertamanan dan penerangan jalan umum (PJU) masih perlu untuk ditingkatkan. Beberapa permasalahan yang dapat dirangkum dalam bahasan ini antara lain :
112
1. Pembangunan Perumahan a. Terbatasnya kemampuan penyediaan prasarana dan sarana perumahan. b. Terbatasnya kemampuan masyarakat yang berpenghasilan rendah akan tempat tinggal dan lingkungan hunian yang sehat. c. Belum
mantapnya
kelembagaan
penyelenggaraan
pembangunan perumahan dan permukiman. d. Meningkatnya jumlah rumah tangga yang belum memiliki rumah. e. Masih lemahnya pemahaman ketentuan jasa kontruksi dan pengelolaan / pembangunan gedung Negara.
2. Pembangunan Air Minum dan Air Limbah a. Belum optimalnya cakupan pelayanan air bersih perpipaan di perkotaan dan perdesaan. b. Rendahnya kinerja pengelolaan air minum dan air limbah di perkotaan dan perdesaan. c. Menurunnya kuantitas dan kualitas air baku untuk air minum. d. Masih rendahnya peran serta dan kemampuan masyarakat dalam pelestarian sumber air serta pemeliharaan sarana air minum dan air limbah. e. Belum
diolahnya
lumpur
tinja
(sludge)
dengan
baik.
Pengelolaan lebih lanjut terhadap lumpur tinja domestik dari septik tank dan jamban belum dilaksanakan pemanfaatan Instalasi Pengolahan Limbah Tinja (IPLT) yang telah dibangun untuk mengolah Lumpur tinja domestic yaitu sebesar lebih kecil dari 30% dan masih terbatasnya sarana pembuangan system air limbah terpusat. f.
Masih terbatasnya akses sarana sanitasi dasar perdesaan.
g. Belum adanya peran serta swasta dalam pembangunan dan pengelolaan air minum dan air limbah.
3. Pembangunan Persampahan dan Drainase a. Terjadinya stagnasi dalam penanganan sampah dan drainase b. secara baik dan berwawasan lingkungan (environment friendly). Stagnasi terjadi karena rendahnya kesadaran
113
stakeholder, khususnya pengambil keputusan, terhadap peranan penanganan persampahan dan drainase dalam mendukung kualitas lingkungan hidup yang baik. c. Meningkatnya volume sampah yang tidak diimbangi sarana prasarana dan kinerja pengelolaan terutama pada tahap pembuangan akhir. d. Peningkatan
luasan
daerah
genangan
akibat
tidak
berfungsinya saluran drainase sebagai pemutus air hujan. e. Masih rendahnya peran serta dan kemampuan masyarakat dalam pengelolaan sampah dan drainase serta masih rendahnya kesadaran perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS).
4. Pembangunan Pertamanan dan Penerangan Jalan Umum a. Kurangnya
sarana
penerangan jalan
dan
prasarana
umum yang
pertamanan
belum
sesuai
dan
dengan
kebutuhan masyarakat. b. Masih banyaknya pemasangan PJU liar. c. Mahalnya biaya operasional pertamanan. d. Masih rendahnya peran serta masyarakat dalam pengelolaan pertamanan. B. SASARAN Sasaran umum yang ingin dicapai dalam pembangunan perumahan dan permukiman antara lain adalah : 1. Terwujudnya pemenuhan kebutuhan masyarakat Ponorogo akan hunian yang layak dan sehat; 2. Terwujudnya keterlibatan usaha swasta dan masyarakat dalam penyediaan perumahan agar tercipta pasar primer yang sehat, efisien, akuntabel, tidak diskriminatif, dan terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat; 3. Bagi masyarakat berpendapatan rendah yang terbatas 4. kemampuannya, maka sasaran umum yang harus dicapai adalah terbentuknya pola subsidi yang tepat sasaran, akuntabel, tidak diskriminatif, dan mempunyai kepastian dalam hal ketersediaan setiap tahun; 5. Terciptanya masyarakat yang produktif secara ekonomi dan
114
berkemampuan untuk mewujudkan lingkungan permukiman yang sehat, harmonis, dan berkelanjutan; 6. Tercapainya penurunan luasan kawasan kumuh; 7. Tercapainya peningkatan pemahaman peraturan jasa konstruksi dan peningkatan kinerja pengelolaan/ pembangunan gedung Negara; 8. Meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap perlunya perilaku hidup bersih dan sehat; 9. Meningkatnya cakupan pelayanan air minum perpipaan; 10. Tercapainya penurunan kebocoran air minum; 11. Terpenuhinya kuantitas dan kualitas air baku untuk air minum; 12. Tercapainya peningkatan kinerja pengelolaan air minum dan air limbah; 13. Tercapainya peran serta dan kemampuan masyarakat dalam menjaga kualitas dan kuantitas sumber air serta kesadaran untuk memelihara sarana air minum dan air limbah; 14. Tercapainya peran serta swasta dalam pembangunan dan pengelolaan air minum dan air limbah; 15. Terwujudnya sistem air limbah terpusat dengan pemanfaatan instalasi pengolah limbah di perkotaan; 16. Tercapainya peningkatan cakupan pelayanan prasarana sanitasi di perdesaan; 17. Meningkatnya akses sanitasi dasar; 18. Meningkatnya volume sampah terangkut di kawasan perkotaan serta
meningkatnya
kinerja
pengelolaan
sampah
yang
berwawasan lingkungan (environmental friendly); 19. Terwujudnya
kerjasama
antar
daerah
dalam
pengelolaan
persampahan;
20. Tercapainya
peningkatan
peran
serta
swasta
dalam
pembangunan dan pengelolaan sampah ; 21. Tercapainya peran serta masyarakat dalam pengelolaan dan pemeliharaan
sarana
persampahan
dan
drainase
serta
peningkatan kesadaran berperilaku hidup bersih dan sehat (PHBS); 22. Tercapainya fungsi saluran drainase sebagai pematus air hujan sehingga dapat mengurangi luasan daerah genangan;
115
23. Terwujudnya
sarana
dan
prasarana
pertamanan
dan
penerangan jalan umum guna mengatasi permasalahan yang timbul dan dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah.
C. ARAH KEBIJAKAN Arah kebijakan yang akan dikembangkan untuk mencapai sasaran sebagaimana telah disebutkan diatas adalah sebagai berikut: 1. Mendukung Gerakan Nasional Pembangunan Sejuta Rumah (GNPSR) melalui penyediaan hunian rumah sederhana sehat dengan melibatkan semua stakeholders; 2. Meningkatkan penyediaan prasarana dan sarana dasar bagi kawasan rumah sederhana dan rumah sederhana sehat; 3. Mendorong pembangunan perumahan yang bertumpu pada kemandirian (swadaya) kelompok masyarakat; 4. Mengembangkan pembangunan
lembaga
perumahan
yang dan
bertanggungjawab permukiman
pada
dalam semua
tingkatan pemerintah serta fasilitas pelaksanaan penataan ruang kawasan permukiman yang transparan dan partisipatif; 5. Meningkatkan pengawasan dan pembinaan teknis keamanan dan keselamatan gedung; 6. Meningkatkan pemahaman peraturan jasa konstruksi dan pembinaan teknis pengelolaan/pembangunan gedung negara; 7. Meningkatkan peran serta seluruh stakeholder dalam upaya mencapai sasaran target cakupan pelayanan air minum di perkotaan dan perdesaan; 8. Menunjang pelaksanaan pengendalian kebocoran air minum; 9. Meningkatkan kinerja pengelolaan air minum dan air limbah melalui restrukturisasi kelembagaan; 10. Meningkatkan peran serta dan kemampuan masyarakat dalam pelestarian
sumber
air
serta
dalam
pemeliharaan
dan
pengelolaan sarana air minum dan air limbah; 11. Mendorong terwujudnya sistem pembuangan air limbah terpusat di perkotaan; 12. Meningkatkan
cakupan
pelayanan
prasarana
sanitasi
di
perdesaan; 13. Meningkatkan peran serta seluruh stakeholder dalam mencapai
116
sasaran pembangunan persampahan dan drainase hingga akhir tahun 2010; 14. Menciptakan kesadaran seluruh stakeholder terhadap pentingnya peningkatan pelayanan persampahan dan drainase; 15. Meningkatan kinerja dalam pengelolaan TPA dengan sistem sanitary landfill; 16. Meningkatkan peran serta dan kemampuan masyarakat dalam pengelolaan
dan pemeliharaan
sarana
persampahan dan
drainase serta peningkatan kesadaran berperilaku hidup bersih dan sehat (PHBS); 17. Meningkatkan kualitas SDM pengelola pelayanan air minum, air limbah, persampahan dan drainase melalui pendidikan dan pelatihan; 18. Meningkatkan peran serta seluruh stakeholder dalam mencapai sasaran pembangunan drainase guna pengendalian banjir; 19. Meningkatkan pelayanan kebersihan masyarakat khususnya dalam kota dan luar kota pada umumnya; 20. Meningkatkan
kualitas
pertamanan
untuk
mewujudkan
keindahan, kesejukan dan kenyamanan hidup akibat dari polusi udara; 21. Meningkatkan
pelayanan
penerangan
jalan
umum
untuk
keselamatan pengguna jalan, kenyamanan dan keindahan; 22. Terwujudnya sarana dan prasarana demi kelancaran kegiatan kebersihan, pertamanan, penerangan jalan umum sehingga dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. D. PROGRAM-PROGRAM PEMBANGUNAN 1. Program Pengembangan Perumahan dengan kegiatan : a. Penyediaan rumah sederhana dan rumah sederhana sehat termasuk
penyediaan
prasarana
dan
sarana
dasar
permukiman bagi perumahan PNS, TNI/Polri dan masyarakat berpenghasilan rendah; b. Pembinaan teknologi pengelolaan dan pembangunan gedung Negara serta sosialisasi peraturan jasa konstruksi dan norma standar pedoman manual (NSPM); c. Revitalisasi BKP4D; d. Peningkatan pengelolaan bangunan gedung dan rumah
117
negara. 2. Program
Pemberdayaan
Komunitas
Perumahan
dengan
kegiatan: a. Peningkatan kualitas lingkungan pada kawasan kumuh, kawasan pondok pesantren dan kawasan desa tradisional; b. Fasilitasi dan bantuan teknis perbaikan rumah pada kawasan kumuh, kawasan pondok pesantren dan kawasan desa tradisional c. Fasilitasi dan stimulasi pembangunan perumahan swadaya yang berbasis pemberdayaan masyarakat; d. Penataan, peremajaan dan revitalisasi kawasan; e. Fasilitasi
kerjasama
dengan
pengembang
dalam
pelaksanaan pembangunan perumahan. 3. Program Pemberdayaan Masyarakat dengan kegiatan : a. Kampanye publik, mediasi dan fasilitasi kepada masyarakat mengenai perlunya perilaku hidup bersih dan sehat; b. Kampanye penyadaran publik (public awareness campaign) mengenai 3R (reduce, reuse, recycle); c. Pelaksanaan
percontohan
dan
pengembangan
peran
masyarakat dalam menjaga kelestarian sumber air baku; d. Pelaksanan
percontohan
dan
pengembangan
peran
masyarakat dalam meningkatkan kualitas lingkungan; e. Peningkatan pemeliharaan dan normalisasi saluran drainase yang
berbasis
masyarakat
pada
kawasan-kawasan
perkotaan.
4. Program Pengembangan Kelembagaan dengan kegiatan : a. Menunjang pelaksanaan penyehatan PDAM serta pembinaan teknis dan manajemen bagi HIPPAM dan instansi pengelola air limbah; b. Fasilitasi pengembangan pengelolaan air minum dan air limbah yang berbasis kelompok masyarakat serta menunjang pelaksanaan sosialisasi perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS); c. Peningkatan
kualitas
sumber
daya
manusia
melalui
118
pendidikan dan pelatihan. 5. Program Pengembangan kinerja Pengelolaan Air Minum dan Air Limbah dengan kegiatan : a. Restrukturisasi manajemen PDAM; b. Revisi peraturan daerah mengenai struktur dan penentuan tarif; c. Pembangunan sarana air minum di perkotaan dan perdesaan meliputi bangunan produksi sampai jaringan distribusi; d. Revitalisasi dan perbaikan
sarana air
minum
untuk
menunjang peningkatan pemeliharaan guna pengendalian kebocoran; e. Pendataan dan identifikasi potensi air baku untuk air minum dan
pengembangan
pemanfaatan
sumber
air
secara
terintegrasi; f.
Pembangunan sarana sanitasi (jamban keluarga/komunal) di perdesaan.
6. Program Peningkatan Kinerja Pembangunan Persampahan dan Drainase dengan kegiatan : a. Peningkatan kualitas pengelolaan sampah yang meliputi pengelolaan dan pembuangannya; b. Revitalisasi dan peningkatan operasional TPA; c. Pengembangan teknologi tepat guna pengolahan sampah; d. Pembangunan dan normalisasi saluran drainase primer dan sekunder di perkotaan; e. Pengendalian banjir di perkotaan; f.
Pengadaan sarana dan prasarana TPA.
7. Program Peningkatan Kinerja Pertamanan dan PJU, dengan kegiatan : a. Pengadaan
sarana
dan
prasarana
pertamanan
dan
penerangan jalan umum ; b. Rehabilitasi/pemeliharaan sarana dan prasarana pertamanan dan penerangan jalan umum.
3.3.9. Sub Agenda Pembangunan Pedesaan
119
A. KONDISI UMUM Sebagaimana
diketahui
bahwa
sebagian
besar
penduduk
di
Kabupaten Ponorogo bertempat tinggal dikawasan permukiman perdesaan, dari jumlah penduduk tahun 2008 sejumlah 1.026.775 jiwa, sejumlah 340.051 jiwa atau 33,1 % adalah penduduk miskin. Selama ini kawasan perdesaan dicirikan antara lain oleh rendahnya tingkat produktifitas tenaga kerja, masih tingginya tingkat kemiskinan dan rendahnya
kualitas
lingkungan
permukiman
di
perdesaan.
Beberapa
permasalahan yang dapat diinventarisir antara lain : 1. Berkurangnya lahan pertanian. Pada umumnya angkatan kerja di perdesaan bertambah akan tetapi lahan pertanian telah berkurang dan terjadi alih fungsi sawah menjadi non sawah. Sebagian besar kegiatan ekonomi di perdesaan masih mengandalkan produksi komunitas primer sehingga nilai tambah yang dihasilkan kecil. 2. Tingginya resiko kerentanan yang dihadapi petani dan pelaku usaha di perdesaan. Petani dan pelaku usaha dikawasan perdesaan sebagian besar sangat bergantung pada alam. Kondisi alam yang tidak bersahabat akan meningkatkan resiko kerugian usaha seperti gagal panen karena banjir, kekeringan, maupun serangan hama penyakit. Pada kondisi demikian, pelaku industri kecil yang ergerak dibidang pengolahan produk produk pertanian otomatis akan terkena dampak sulitnya memperoleh bahan baku produksi. Resiko ini masih ditambah lagi dengan fluktuasi harga dan struktur pasar yang merugikan. 3. Lemahnya kegiatan ekonomi diluar sektor pertanian. Kegiatan ekonomi diluar sektor pertanian termasuk didalamnya industri kecil yang mengolah hasil pertanian maupun industri kerajinan serta industri lainnya sangat terbatas. 4. Terjadinya
urbanisasi
dari
desa
ke
perkotaan.
Seiring
dengan
keterbatasan lapangan pekerjaaan yang tersedia di perdesaan maka masyarakat perdesaan untuk memenuhi standar kehidupannya melakukan urbanisasi / perpindahan dari desa ke kawasan perkotaan, disamping itu dengan gencarnya informasi berkaitan dengan TKI yang memperoleh pendapatan dan keinginan untuk hidup yang layak, meskipun dengan kemampuan yang terbatas maka telah tertarik untuk menjadi TKI di manca Negara. 5. Rendahnya kualitas SDM di Perdesaan. Kualitan Sumber Daya Manusia ( SDM ) di perdesaan sebagian besar berketrampilan rendah sehingga akan
120
berdampak pula untuk memasuki persaingan dengan tenaga kerja lainnya baik dalam negeri maupun luar negeri. Ini di tunjukkan dengan angkatan kerja yang tidak tamat SD dan tamat SD serta tingkat SLTP cukup tinggi. 6. Lemahnya
Pemanfaatan
Sarana,
Prasarana
dan
Kelembagaan
Perdesaan. Tingkat penggunaan prasarana dan sarana perdesaan seharusnya dapat dimanfaatkan dengan sebaik–baiknya untuk kegiatan kegiatan produktif belum dimanfaatkan secara maksimal. Hal ini dimungkinkan karena belum optimalnya kinerja atau belum terbentuknya kelembagaan dan organisasi yang berbasis masyarakat di perdesaan. 7. Lemahnya kelembagaan dan organisasi berbasis masyarakat. Hal ini tercermin dari kemampuan lembaga dan organisasi dalam menyalurkan aspirasi masyarakat untuk perencanaan kegiatan pembangunan, serta dalam memperkuat posisi tawar masyarakat dalam aktifitas ekonomi. Disamping itu juga terdapat permasalahan masih terbatasnya akses, kontrol dan partisipasi perempuan dalam kegiatan pembangunan di perdesaan yang antara lain disebabkan masih kuatnya pengaruh nilai nilai sosial budaya yang patriarki, yang menempatkan perempuan dan laki laki pada kedudukan dan peran yang berbeda, tidak adil dan tidak setara. 8. Rendahnya aset yang dikuasai oleh masyrakat perdesaan, yang dapat terlihat dari besarnya jumlah rumah tangga petani gurem
( petani
dengan pemilikan lahan kurang dari 0,5 ha ). Hal ini ditambah lagi dengan masih rendahnya aset masyarakat perdesaan ke sumber daya ekonomi seperti lahan atau tanah, permodalan, input produksi, ketrampilan dan teknologi, informasi serta jaringan kerja sama. Akses masyarakat perdesaan juga masih minim dalam pemanfaatan sumber daya alam, tingkat kesejahteraan masyarakat yang tinggal disekitar hutan, dan pertambangan masih tergolong rendah, bahkan sebagian besar tergolong miskin. 9. Rendahnya
pemahaman
masyarakat
tentang
pemeliharaan
dan
pemanfaatan sumber daya alam. Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup
sebenarnya
merupakan
aset
yang
sangat
berharga
bagi
peningkatan kesejahteraan masyarakat apabila dikelola dan dimanfaatkan secara optimal, terutama bagi masyarakat yang tinggal disekitarnya. Namun demikian, potensi ini akan berkurang bila praktek praktek pengelolaan yang dijalankan kurang memperhatikan prinsip prinsip pembangunan yang berkelanjutan.
121
B. SASARAN 1. Meningkatnya peran dan kontribusi kawasan perdesaan sebagai basis pertumbuhan ekonomi Ponorogo yang diukur dari meningkatnya peran sektor pertanian dan non pertanian yang terkait dalam mata rantai pengolahan produk produk yang berbasis perdesaan ; 2. Terciptanya lapangan kerja berkualitas di perdesaan, khususnya lapangan kerja non pertanian,
yang ditandai
dengan berkurangnya angka
pengangguran terbuka dan setengah pengangguran ; 3. Meningkatnya kesejahteraan masyarakat perdesaan yang ditandai dengan berkurangnya
jumlah
penduduk
miskin
serta
meningkatnya
taraf
pendidikan dan kesehatan, terutama perempuan dan anak ; 4. Meningkatnya kualitas dan kuantitas infrastruktur di kawasan permukiman dan perdesaan yang ditandai dengan antara lain : Listrik masuk Desa 100 % walaupun masih ada sekitar 7,90% dusun yang belum berlistrik, luas areal irigasi seluas 30.783 ha, penggunaan air bersih 42 % dan jamban 52,93 % ; 5. Pengurangan lahan kritis didalam kawasan hutan dan diluar kawasan hutan; 6. Meningkatnya akses, kontrol dan partisipasi seluruh elemen masyarakat dalam
kegiatan
pembangunan
perdesaan
terwakilinya aspirasi semua kelompok
yang
ditandai
dengan
masyarakat dan meningkatnya
kesetaraan antara perempuan dan laki laki dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi kegiatan pembangunan.
C. ARAH KEBIJAKAN Kebijakan pembangunan perdesaan tahun 2006 – 2010 Ponorogo diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat perdesaan secara berkelanjutan, berbasis sumber daya lokal dengan memperhatikan kesetaraan gender melalui langkah langkah kebijakan sebagai berikut : 1. Mendorong terciptanya lapangan kerja berkualitas di perdesaan dengan merangsang pertumbuhan aktifitas ekonomi non pertanian ( industri perdesaan dan jasa penunjang ), diversifikasi usaha pertanian kearah komoditas pertanian bernilai ekonomi tinggi, dan memperkuat keterkaitan kawasan perdesaan dan perkotaan ; 2. Meningkatkan promosi dan pemasaran produk-produk pertanian dan perdesaan lainnya untuk meningkatkan kontinuitas pasokan, khususnya
122
ke pasar perkotaan terdekat serta industri olahan berbasis sumber daya lokal ; 3. Memperluas akses masyarakat, terutama kaum perempuan, ke sumber daya sumber daya produktif untuk pengembangan usaha seperti lahan, prasarana sosial ekonomi, permodalan, informasi, teknologi dan inovasi serta akses masyarakat ke pelayanan publik dan pasar ; 4. Meningkatkan keberdayaan masyarakat perdesaan melalui peningkatan kualitasnya,
baik
pembangunan,
sebagai
serta
insan
penguatan
maupun
sebagai
kelembagaan
dan
sumber
daya
modal
sosial
masyarakat perdesaaan berupa jaringan kerja sama untuk memperkuat posisi tawar ; 5. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan dengan memenuhi hak hak dasar atas pelayanan pendidikan dan kesehatan serta meminimalkan kelembagaan
resiko
kerentanan
perlindungan
baik
masyarakat
dengan petani
mengembangkan maupun
dengan
memperbaiki struktur pasar yang tidak sehat ; 6. Mengembangkan prakatek-praktek budidaya pertanian dan usaha non pertanian yang ramah lingkungan dan sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan sebagai bagian dari upaya mempertahankan daya dukung lingkungan .
D. PROGRAM-PROGRAM PEMBANGUNAN Pelaksanaan arah kebijakan diatas akan dilakukan terutama melalui program dan
kegiatan pokok yang dilaksanakan di kawasan perdesaan
sebagai berikut : 1. Program Peningkatan Keberdayaan Masyarakat Perdesaan, dengan kegiatan pokok : a. Peningkatan akses masyarakat perdesaan pada informasi Teknologi; b. Penyederhanaan sertifikasi tanah di kawasan perdesaan ; c. Penguatan
kapasitas
kelembagaan
pemerintah
desa
dan
pengembangan teknologi tepat guna yang ramah lingkungan ; d. Peningkatan partisipasi masyarakat perdesaan dalam setiap tahapan proses manajemen pembangunan ; e. Sinergisme pemberdayaan masyarakat antar pelaku pembangunan. 2. Program Pengembangan Ekonomi Lokal, dengan kegiatan : a. Pemantapan dan pengembangan kawasan agropolitan yang strategis
123
dan potensial, melalui pembentukan klaster komoditi unggulan yang berpotensi eksport; b. Peningkatan pengembangan usaha agribisnis yang meliputi mata rantai subsektor hulu (pasokan input), on farm (budidaya), hilir (pengelolahan), dan jasa penunjang ; c. Penguatan rantai pasokan bagi industri perdesaan dan penguatan keterkaitan produksi berbasis sumber daya lokal baik sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia; d. Pengembangan budaya usaha dan kewirausahaan terutama bagi angkatan kerja produktif perdesaan; e. Pengembangan, penerapan, pemanfaatan dan pemasyarakatan ilmu dan teknologi tepat guna dalam kegiatan usaha ekonomi masyarakat perdesaan; f.
Pengembangan jaringan kerjasama dan kemitraan usaha dengan LSM dan LPM Perguruan tinggi dalam bidang ekonomi produktif, untuk pendampingan kelompok –kelompok Usaha Ekonomi Lokal;
g. Pengembangan kemitraan antara pelaku usaha besar dan usaha kecil menengah serta usaha mikro/rumah tangga; h. Peningkatan peran perempuan dalam kegiatan usaha ekonomi produktif di perdesaan ; i.
Perluasan jaringan pasar dan pusat-pusat bisnis serta peningkatan promosi produk-produk perdesaan;
j.
Peningkatan pelayanan lembaga keuangan baik lembaga keuangan bank dan non bank, termasuk didalamnya lembaga keuangan mikro, kepada pelaku usaha di perdesaan;
k. Pengembangan usaha masyarakat perdesaan di bidang pertanian dan non pertanian yang berbasis pada cluster komoditi unggulan. l.
Peningkatan pengetahuan dan ketrampilan tentang manajemen pengelolaan potensi ekonomi lokal serta fasilitas dan bimbingan teknis peningkatan kualitas dan kuantitas produk ekonomi lokal dengan pengembangan desain kemasan, jaringan pemasaran dan kemudahan ijin usaha.
3. Program Peningkatan Infrastruktur Perdesaan dengan kegiatan : a. Peningkatan prasarana jalan perdesaan
yang menghubungkan
kawasan perdesaan dan perkotaan;
124
b. Peningkatan pelayanan sarana dan prasarana energi termasuk ketenagalistrikan di perdesaan; c. Peningkatan sarana dan prasarana pos dan telematika (telokomunikasi dan informasi) di perdesaan; d. Optimalisasi jaringan irigasi dan jaringan pengairan lainnya; e. Peningkatan pelayanan prasarana permukiman, seperti pelayanan air minum, air limbah, persampahan dan drainase; f.
Peningkatan sarana dan prasarana serta fungsi dan peranan sarana ekonomi perdesaan seperti pasar desa.
4. Program
Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia Di Perdesaan
dengan kegiatan : a. Penyediaan sarana dan prasarana pendidikan dasar dan menengah termasuk pendidikan menengah kejuruan yang berkualitas dan terjangkau untuk daerah perdesaan, disertai rehabilitasi dan revitalisasi sarana dan prasarana yang rusak; b. Perluasan
akses
dan
peningkatan
kualitas
penyelenggaraan
pendidikan keaksaraan fungsional bagi penduduk buta aksara di perdesaan; c. Peningkatan pendidikan non formal untuk meningkatkan ketrampilan kerja; d. Peningkatan pelayanan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau bagi penduduk perdesaan; e. Promosi dan pemasyarakatan Perilaku Hidup Bersih Sehat mulai sejak usia
dini
baik
dalam
lingkungan
keluarga,
lembaga-lembaga
pendidikan maupun di tempat-tempat umum.
5. Program Perlindungan Dan Konservasi Sumber Daya Alam dengan kegiatan : a. Perlindungan sumber daya alam dari pemanfaatan yang ekploitatif dan tidak terkendali, terutama kawasan-kawasan konservasi dan kawasan lain yang rentan terhadap kerusakan; b. Peningkatan
partisipasi
masyarakat
dan
dunia
usaha
dalam
perlindungan dan sumber daya alam; dan c. Pengembangan dan pemasyrakatan pemanfaatan teknologi tepat guna yang ramah lingkungan.
125
3.3.10.
Sub Agenda Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah A. KONDISI UMUM Pembangunan yang telah dilakukan selama ini secara umum telah mampu meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat, namun demikian pembangunan tersebut ternyata belum menunjukkan perkembangan yang merata. Gambaran kondisi seperti ini menunjukan bahwa di beberapa daerah di Ponorogo masih terjadi disparitas wilayah khususnya terkait dengan masih terkonsentrasi beberapa aktifitas ekonomi pada wilayah tertentu (terjadi eglomerasi), tidak selarasnya hubungan perkotaan dan perdesaan, terhambatnya pembangunan infrastruktur akibat krisis yang berkepanjangan. Dalam pelaksanaan pembangunan
sebagai
upaya mengurangi
ketimbangan pembangunan wilayah, masih ditemui beberapa permasalahan antara lain : 1. Masih Terdapat Wilayah–Wilayah yang Relatif Masih Tertinggal. WilayahWilayah yang relatif tertinggal di Ponorogo antara lain adalah Kecamatan Badegan, Jambon, Sawoo, Sambit, Sukorejo, Masyarakat yang berada di wilayah yang relatif tertinggal pada umumnya masih belum secara merata dan
optimal tersentuh oleh program-program pembangunan sehingga
perkembangan
tidak berjalan secepat wilayah-wilayah lain yang telah
berkembang terlebih dahulu. Hal ini mengakibatkan pertumbuhan ekonomi dan tingkat kesejahteraan masyarkat yang hidup di wilayah tertinggal masih berada di bawah rata-rata Ponorogo, maka dari itu memerlukan perhatian dan keberpihakan pembangunan yang besar dari pemerintah. Permasalahan yang dihadapi oleh wilayah-wilayah yang relatif tertinggal antara lain : a. Terbatasnya
akses
transportasi
yang
menghubungkan
wilayah
tertinggal dengan wilayah yang relatif lebih maju; b. Kepadatan penduduk relatif rendah dan tersebar; c. Masih terbatasnya pengembangan potensi yang dimiliki oleh wilayahwilayah tersebut; d. Terbatasnya sumber daya manusia yang ada; e. Belum optimal dukungan sektor terkait untuk pengembangan wilayahwilayah ini.
126
2. Belum Berkembangnya Wilayah–Wilayah Strategi Dan Cepat Tumbuh. Beberapa wilayah di Ponorogo mempunyai potensi yang apabila dikembangkan secara optimal akan menjadi wilayah yang strategis dan dengan
dukungan sarana prasarana yang memadai dapat membuat
wilayah atau kawasan dimaksud cepat tumbuh dan berkembang. Namun demikian sampai dengan
saat
ini
pengembangan
wilayah-wilayah
tersebut masih mengalami beberapa kendala antara lain : a. Adanya
keterbatasan
informasi
pasar
dan
teknologi
untuk
pengembangan produk unggulan; b.
Keterbatasan jaringan prasarana dan sarana fisik dan ekonomi dalam mendukung pengembangan kawasan, dan produk daerah;
c.
Masih lemahnya koordinasi, sinergi, dan kerjasama diantara pelakupelaku pengembangan kawasan, baik pemerintah, swasta, lembaga non pemerintah, dan masyarakat, serta antara pemerintah pusat, provinsi, dan Kabupaten, dalam upaya meningkatkan daya saing produk unggulan;
d.
Masih terbatasnya akses petani dan pelaku usaha skala kecil terhadap modal pengembangan usaha, input produksi, dukungan teknologi, dan jaringan pemasaran, dalam upaya mengembangkan peluang usaha dan kerjasama investasi;
e.
Belum optimalnya dukungan kebijakan nasional dan daerah yang berpihak pada petani dan pelaku usaha swasta;
f.
Belum berkembangnya infrastruktur kelembagaan yang berorientasi pada pengelolaan pengembangan usaha yang berkelanjutan dalam perekonomian daerah;
g.
Belum optimalnya pemanfaatan kerangka kerjasama antar wilayah untuk mendukung peningkatan daya saing kawasan dan produk unggulan, serta
h.
Masih rendahnya sikap profesionalisme dan kewirausahaan dari pelaku pengembangan kawasan di daerah. Wilayah-wilayah strategis dan cepat tumbuh bila sudah berkembang diharapkan akan dapat berperan sebagai penggerak bagi pertumbuhan ekonomi di wilayahwilayah sekitarnya yang miskin sumber daya dan masih terbelakang.
3. Kurang Terintegrasinya Pengembangan Wilayah Perbatasan. Wilayah perbatasan meliputi perbatasan antar kabupaten maupun perbatasan antar propinsi. Pembangunan yang dilaksanakan pada wilayah perbatasan
127
seringkali tidak dilaksanakan secara terintegrasi sehingga beberapa program pembangunan yang dilaksanakan kurang sinergis antar satu dengan
yang lainnya.
Diantaranya
adalah dalam pengembangan
infrastruktur jalan yang seringkali belum terintegrasi dan belum bisa menjadi sarana penghubung yang efektif bagi dua wilayah yang saling berbatasan. Pada beberapa wilayah perbatasan pengembangan potensi yang ada belum dapat dilaksanakan secara optimal sehingga belum bisa memberikan hasil yang maksimal bagi kesejahteraan masyarakat di wilayah dimaksud. Permasalahan
utama dari
keterbatasan
pembangunan di
wilayah
perbatasan antara lain adalah : a.
Arah kebijakan pembangunan kewilayahan masing-masing wilayah yang perbatasan cenderung berorientasi pada wilayahnya masingmasing;
b. Masih lemahnya koordinasi dan sinkronisasi program pembangunan antar pemerintah Kabupaten yang saling berbatasan; c. Masih terbatasnya aksessibilitas maupun sarana dan prasarana pendukung lainnya. 4. Belum Optimalnya Pemanfaatan dan Pengendalian Ruang Sebagai Acuan Koordinasi Pembangunan. Pembangunan seringkali ditujukan untuk mendapatkan keuntungan ekonomi yang sebesar-besarnya dalam waktu yang secepatnya, sehingga yang dilakukan adalah mengeksploitasi sumber daya alam secara belebihan yang mengakibatkan penurunan kualitas (degradasi) dan kuantitas (depresi) sumber daya alam dan lingkungan hidup. Di sisi lain, sering terjadi kekurangan sinkronan program antar sektor yang mengakibatkan konflik pemanfaatan ruang, sebagai contoh adalah terjadinya konflik antara kehutanan dan pertambangan. Penyebab dari permasalahan tersebut antara lain adalah karena pembangunan yang dilakukan dalam wilayah tersebut belum mengacu pada ’Rencana Tata Ruang’ sebagai acuan koordinasi dan sinkronisasi pembangunan antar sektor dan antar wilayah.
5. Belum
Optimalnya
Sistem
Pengelolaan
Pertanahan.
Pengelolaan
pertanahan secara transparan merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari penatan ruang. Pada saat ini masih terdapat berbagai masalah dalam pengelolaan pertanahan, antara lain :
128
a. Sistem pengelolaan tanah yang belum efektif dan efisien; b. Masih rendahnya kompetensi pengelola pertanahan; c. Masih lemahnya penegakan hukum terhadap hak atas tanah yang menerapkan prinsip-prinsip yang adil, transparan, dan demokratis.
B. SASARAN Sasaran Umum pengembangan wilayah-wilayah yang relatif masih tertinggal
diharapkan
akan
dapat
meningkatkan
kualitas
hidup
dan
kesejahteraan masyarakat secara lebih merata. Sasaran dari pengurangan ketimpangan pembangunan antar wilayah adalah : 1. Terwujudnya
keseimbangan
antar
wilayah
melalui
percepatan
pembangunan di wilayah tertinggal, wilayah cepat tumbuh dan strategis, dan wilayah perbatasan dalam suatu sistem perencanaan wilayah yang sinergis dan terintegrasi; 2. Terwujudnya keseimbangan pembangunan antar kota sebagai motor penggerak pembangunan di wilayah-wilayah pengaruhnya dalam rangka pembangunan sistem kota-kota yang terintegrasi; 3. Terkendalinya pertumbuhan kota kabupaten dan kota kecamatan dalam suatu wilayah pembangunan metropolitan yang nyaman dan efisien dalam pengelolaan guna mendukung pembangunan yang berkelanjutan; 4. Terwujudnya keterkaitan kegiatan ekonomi antar wilayah perkotaan dan perdesaan yang sinergis dan saling menguntungkan; 5. Terwujudnya keserasian pemanfaatan dan pengendalian ruang dalam suatu sistem wilayah pembangunan yang berkelanjutan; 6. Terwujudnya sistem pengelolaan tanah yang efisien, efektif serta terlaksanakanya penegakan hukum terhadap hak atas tanah masyarakat dengan menerapkan prinsip-prinsip keadilan, transparansi dan demokrasi ; 7. Meningkatnya PDRB perkapita ; 8. Meningkatnya indeks pembangunan manusia pada wilayah tertinggal ; 9. Meningkatnya jumlah dokumen perencanaan wilayah perbatasan yang terintegrasi ; 10. Terciptanya hubungan sinergi antar daerah ; 11. Terciptanya pengembangan wilayah yang terintegrasi ; 12. Ditetapkannya revisi RTRW Ponorogo dalam Peraturan Daerah ; 13. Terwujudnya basis data tanah desa.
129
C. ARAH KEBIJAKAN Dalam
rangka
mencapai
sasaran
pengurangan
ketimpangan
pembangunan antar Wilayah dimaksud diatas, diperlukan arah kebijakan sebagai berikut : 1. Mendorong pemerataan pembangunan dengan percepatan pembangunan dan pertumbuhan wilayah-wilyah tertinggal, strategis dan cepat tumbuh yang mempunyai potensi Sumber Daya Alam dan lokasi yang strategis dalam suatu sistem wilayah pengembangan ekonomi yang sinergis serta mendorong
terwujudnya
koordinasi,
sinkronisasi,
keterpaduan
dan
kerjasama antar sektor, dunia usaha, dan masyarakat guna mendukung peluang berusaha dan investasi di daerah ; 2. Menciptakan
kawasan
ekonomi
terpadu
yang
didasarkan
pada
keterkaiatan antar sektor ekonomi dan kawasan sentra produksi melalui pengembangan sektor unggulan dan potensial serta menciptakan pusat pengembangan baru yang berorientasi pada sektor primer . 3. Mendorong pembangunan dan pengembangan wilayah perbatasan antar Kabupaten agar tercipta integrasi ekonomi antar Kabupaten yang didukung integrasi infrastruktur; 4. Menyeimbangkan pertumbuhan pembangunan antar desa dengan meningkatkan keterkaitan kegiatan ekonomi (forward and backward linkages); 5. Meningkatkan percepatan pembangunan desa pusat pertumbuhan agar dapat menjalankan perannya sebagai motor penggerak pembangunan wilayah-wilayah di sekitarnya dalam suatu sistem wilayah pembangunan yang
compact,
nyaman,
efisien
dalam
pengelolaan,
serta
mempertimbangkan pembangunan yang berlanjutan ; 6. Membangun interlingkage perkotaan dan perdesaan sehingga tercipta keterkaitan kegiatan ekonomi di wilayah perkotaan dan perdesaan secara sinergis (hasil produksi wilayah perdesaan merupakan backward lingkages dari kegiatan ekonomi di wilayah perkotaan ) dengan dukungan penyediaan sarana prasarana, pembangunan agrobisnis, industri kecil rakyat ; 7. Mengoptimalkan peran ’Rencana Tata Ruang’ sesuai hirarki perencanaan sebagai acuan koordinasi dan sinkronisasi pembangunan antar sektor dan antar wilayah ; 8. Mengembangkan skenario sistem managemen pengelolaan tanah yang efisien, efektif, serta melaksanakan penegakan hukum terhadap hak atas
130
tanah guna mendukung dinamika kebutuhan lahan bagi pembangunan dengan menerapkan prinsip–prinsip keadilan, transparansi dan demokrasi. D. PROGRAM-PROGRAM PEMBANGUNAN 1) Program Pengembangan Wilayah Strategis Dan Cepat Tumbuh, dengan kegiatan pokok yang akan dilakukan antara lain : a. Penataan dan pengembangan kawasan-kawasan strategis dan cepat tumbuh; b. Penyediaan prasarana dan sarana sumber daya air, transportasi, ketenagalistrikan dan parasarana dasar permukiman. c. Peningkatan kerja sama antar pemerintah daerah melalui sistem jaring kerja (networking) yang saling menguntungkan.
2) Program Pengembangan Wilayah Tertinggal, kegiatan pokok yang akan dilakukan antara lain adalah : a. Penataan dan pengembangan kawasan tertinggal; b. Penyediaan prasarana dan sarana sumber daya air, transportasi, kelistrikan dan prasarana dasar permukiman. 3) Program Pengembangan Wilayah Perbatasan, dengan kegiatan pokok yang akan dilakukan antara lain adalah : a. Kerjasama antar Kabupaten dalam pembangunan dan pengembangan di wilayah perbatasan Kabupaten maupun, melaui Penataan Kawasan Perbatasan; b. Penyediaan prasarana dan sarana sumber daya air, transportasi, kelistrikan dan prasarana dasar permukiman.
4) Program Keterkaitan Pembangunan Antar Daerah, dengan kegiatan pokok yang akan dilakukan antara lain : a. Pembentukan forum kerjasama antar Pemerintah Kabupaten untuk merumuskan kerjasama pembangunan. b. Peningkatan penyediaan prasarana dan sarana sember daya air, transportasi, ketenagalistrikan dan prasarana dasar permukiman. 5) Program Penataan Ruang, dengan kegiatan pokok yang akan dilakukan antara lain adalah : a. Pemantapan dan Pemaduserasian RTRWP Jawa Timur
dengan
131
RTRW Kabupaten; b. Penyelenggaraan perencanaan dan pengendalian pemanfaatan ruang; c. Fasilitas kerjasama tata Ruang Lintas Kabupaten; d. Penataan kawasan prospektus bisnis yang mendukung pertumbuhan ekonomi daerah; e. Penyelengaraan sosialisasi penataan ruang secara umum dan menyeluruh; f.
Pemantapan koordinasi dan konsultasi antar lembaga dan masyarakat yang terkait dalam kegiatan penataan ruang.
6) Program Pengelolaan Pertanahan, dengan kegiatan pokok yang akan dilakukan antara lain : a. Pembangunan sistem pendaftaran tanah yang efisien dan transparan; b. Penataan pengusaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah 3.3.11.
Sub Agenda Perbaikan Iklim Ketenagakerjaan A. KONDISI UMUM Meningkatnya tingkat pengangguran terbuka di Kabupaten Ponorogo yang mencapai 7,07 % berpotensi menimbulkan berbagai permasalahan sosial. Meningkatnya jumlah pengangguran disebabkan antara lain oleh lesunya dunia usaha dan adanya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Disamping itu juga disebabkan oleh rendahnya SDM angkatan kerja sehingga sulit mendapatkan pekerjaan. Salah satu terbatasnya kesempatan kerja adalah banyaknya pekerja yang
bekerja
di lapangan kerja yang kurang produktif, dimana jumlah
pekerja yang bekerja dibawah 35 jam seminggu mencapai 63,91 %. Kurang produktifnya tenaga kerja berakibat pada rendahnya pendapatan yang diterima. Selain itu juga terjadi banyaknya perselisihan tenaga kerja, dikarenakan rendahnya upah yang diterima, kondisi perusahaan, beban kerja, maupun perlakuan yang diterima pekerja.
B. SASARAN Sasaran yang ingin dicapai antara lain : 1.
Menurunnya tingkat pengangguran terbuka.
2.
Meningkatnya kualitas dan produktifitas tenaga kerja.
3.
Meningkatnya kesejahteraan dan perlindungan tenaga kerja.
132
C. ARAH KEBIJAKAN Kebijakan yang ditempuh untuk menciptakan lapangan kerja formal dan meningkatkan produktifitas pekerja dilaksanakan dengan: 1. Menciptakan fleksibilitas pasar kerja dengan memperbaiki aturan main ketenagakerjaan
yang
berkaitan
dengan
rekruitmen,
outsourcing,
pengupahan, PHK, serta memperbaiki aturan main yang mengakibatkan perlindungan yang berlebihan. 2. Menciptakan
kesempatan
kerja
melalui
investasi.
Dalam
hal
ini
Pemerintah akan menciptakan iklim usaha yang kondusif dengan peningkatan investasi. Iklim usaha yang kondusif memerlukan stabilitas ekonomi, politik dan keamanan, biya produksi yang rendah, kepastian hukum serta peningkatan ketersediaan infrastruktur. 3. Meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia yang dilakukan antara lain dengan memperbaiki pelayanan pendidikan, pelatihan serta memperbaiki pelayanan kesehatan. 4. Memperbarui progam-progam perluasan kesempatan kerja yang dilakukan oleh pemerintah, antara lain adalah progam padat karya, pengembangan UKM, serta progam-progam pengentasan kemiskinan. 5. Memperbaiki kebijakan yang berkaitan dengan migrasi tenaga kerja, baik itu migrasi tenaga kerja internal maupun eksternal. 6. Menyempurnakan kebijakan program pendukung program penempatan dan pengembangan kesempatan kerja dengan mendorong terbentuknya jejaring informasi ketenagakerjaan dan informasi pasar kerja serta Perencanaan Tenaga Kerja Daerah. D. PROGRAM-PROGRAM PEMBANGUNAN 1. Program Penempatan Dan Pengembangan Kesempatan Kerja, dengan kegiatan pokok : a. Pengembangan dan penyempurnaan kebijakan yang berorientasi pada terciptanya pasar kerja yang potensial; b. Peningkatan kualitas pelayanan, penempatan dan pengembangan kesempatan kerja. 2. Program Peningkatan Kualitas dan Produktifitas Tenaga Kerja dengan kegiatan pokok antara lain : a. Penyelenggaraan
program-program
pelatihan
kerja
berbasis
kompetensi;
133
b. Peningkatan sarana dan prasarana lembaga latihan kerja. 3. Program Peningkatan Kesejahteraan Dan Perlindungan Tenaga Kerja, dengan kegiatan pokok antara lain : a. Peningkatan, pengawasan, perlindungan dan penegakan hukum terhadap aturan ketenagakerjaan yang berlaku. b. Penguatan kapasitas kelembagaan ketenagakerjaan. 3.3.12.
Sub Agenda Peningkatan Perlindungan dan Kesejahteraan Sosial A. KONDISI UMUM Jumlah penduduk di Kabupaten Ponorogo berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2008 berjumlah 1.026.775 jiwa. Seiring dengan besarnya jumlah penduduk tersebut bertambah pula kompleksitas dan besarnya penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS), antara lain ketelantaran, baik anak maupun lanjut usia, ketunasusilaan, bencana alam dan sosial
(konflik sosial). Selanjutnya penanganan
penyandang masalah
kesejahteraan sosial khususnya fakir miskin apabila tidak dilakukan secara tepat akan berakibat pada kesenjangan sosial yang semakin meluas dan berdampak pada melemahnya ketahanan sosial masyarakat, serta dapat mendorong terjadinya konflik sosial, terutama bagi kelompok masyarakat yang tinggal di daerah terpencil dan perbatasan. Dengan masih rendahnya kualitas penanganan penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS), khususnya para penyandang cacat masih banyak menghadapi kendala untuk mencapai kemandirian, produktivitas dan hak untuk hidup normal yang meliputi antara lain akses kepelayanan sosial dasar, terbatasnya jumlah dan kualitas tenaga pelayanan sosial untuk berbagai jenis kecatatan dan aksesibilitas terhadap pelayanan umum untuk mempermudah kehidupan mereka, berdasarkan data tahun 2008 jumlah penyandang cacat berjumlah 9.139 jiwa, hal ini disebabkan juga oleh rendahnya kualitas manajemen dan profesionalisme pelayanan kesejahteraan sosial dan belum serasinya kebijakan kesejahteraan sosial di tingkat daerah. Penanganan penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) selama ini belum optimal. Dari data rekapitulasi penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) di Kabupaten Ponorogo tahun 2008 terdapat sebanyak 82.155 orang PMKS dari jumlah penduduk miskin di Kabupaten Ponorogo tahun 2008 sebanyak 340.051 jiwa. Penyandang cacat masih menghadapi kendala untuk kemandirian, produktivitas dan hak untuk hidup normal yang meliputi antara lain akses ke
134
pelayanan sosial dasar, terbatasnya jumlah dan kualitas dan tenaga pelayanan sosial untuk berbagai jenis kecacatan, dan aksesibilitas
terhadap pelayanan
umum. Sedangkan masalah ketunasosialan yang terdiri dari gelandangan dan pengemis serta tuna susila selain disebabkan oleh kemiskinan juga di akibatkan oleh ketidakmampuan individu untuk hidup dan bekerja. Disamping itu bencana alam merupakan kejadian yang sulit diperkirakan secara tepat karena masih terbatasnya kemampuan sumber daya manusia dan teknologi untuk memprediksi kemungkinan terjadinya bencana alam. Selain itu, masih adanya sebagian warga masyarakat yang bermukim di sekitar wilayah bencana alam. Penanganan eks-korban kerusuhan sosial (termasuk pengungsi) yang terjadi di berbagai daerah sebagai akibat dari kerusuhan dan gejolak sosial berjumlah sangat banyak dan terbesar di berbagai lokasi. Hal ini dapat menimbulkan masalah lain, seperti penempatan kembali eks-korban kerusuhan sosial ke tempat asal maupun baru, masalah sosial psikologis dan kecemburuan sosial antara pendatang dengan penduduk setempat, serta keterlantaran anak di lokasi pengungsian. B. SASARAN Sasaran perlindungan dan kesejahteraan sosial adalah sebagai berikut : 1. Meningkatnya aksesibilitas
penyandang masalah kesejahteraan sosial
terhadap pelayanan terhadap pelayanan sosial dasar ; 2. Meningkatnya kemampuan dan kepedulian sosial masyarakat dalam pelayanan kesejahteraan sosial serta melembaga dan berkelanjutan ; 3. Meningkatnya ketahanan sosial individu, keluarga dan komunitas masyarakat dalam mencegah dan menangani permasalahan kesejahteraan sosial ; 4. Terpenuhinya bantuan sosial dan meningkatnya penanganan korban bencana alam dan bencana sosial ; 5. Meningkatnya kualitas pelayanan, rehabilitasi, bantuan sosial dan jaminan kesejahteraan sosial bagi penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) 6. Meningkatnya mutu profesionalisme pelayanan kesejahteraan sosial.
C. ARAH KEBIJAKAN Guna mencapai sasaran diatas, arah kebijakan perlindungan dan kesejahteraan sosial yang memperhatikan keserasian kebijakan nasional dan daerah serta kesejahteran gender adalah sebagai berikut : 1. Meningkatkan kualitas pelayanan dan bantuan dasar kesejahteraan sosial
135
bagi penyandang masalah kesejahteraan sosial ; 2. Meningkatkan kepedulian dan pemberdayaan terhadap penyandang cacat, fakir miskin, anak terlantar, anak jalanan dan kelompok rentan sosial lainnya ; 3. Meningkatkan kualitas hidup bagi PMKS terhadap layanan sosial dasar, fasilitas pelayanan publik, dan jaminan kesejahteraan sosial ; 4. Mengembangkan dan menyerasikan kebijakan untuk penanganan masalahmasalah strategis yang menyangkut masalah kesejahteraan sosial ; 5. Memperkuat ketahanan sosial masyarakat berlandaskan prinsip kemitraan dan nilai-nilai sosial budaya bangsa ; 6. Meningkatnya kualitas manajemen pelayanan kesejahteraan sosial dalam mendayagunakan sumber-sumber kesejahteraan sosial. 7. Meningkatkan pelayanan bagi korban bencana alam dan sosial ; 8. Meningkatkan prakarsa dan peran aktif masyarakat termasuk masyarakat mampu,
dunia
usaha,
perguruan
tinggi,
dan
orsos/LSM
dalam
penyelenggaraan pembangunan kesejahteraan sosial secara terpadu dan berkelanjutan ; 9. Pembangunan aspirasi terhadap penduduk, terhadap lanjut usia, keluarga pahlawan dan perintis kemerdekaan ; D. PROGRAM-PROGRAM PEMBANGUNAN 1. Program Pemberdayaan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS). Kegiatan pokok yang dilaksanakan antara lain meliputi : a. Pemberdayaan sosial keluarga, fakir miskin, Komunitas adat terpencil dan PMKS lainnya, melalui peningkatan usaha ekonomi produktif (UEP) dan usaha kesejahteraan sosial (UKS) serta kelompok usaha bersama (KUBE) b. Peningkatan kerjasama kemitraan antara pengusaha dengan KUBE & LKM ; c.
Peningkatan kemampuan bagi petugas dan pendamping pemberdayaan sosial keluarga, fakir miskin, KAT, dan lainnya ;
d. Pemberdayaan fakir miskin dan perempuan penyandang masalah rawan sosial ekonomi ;
2. Program Pelayanan dan Rehabilitasi Kesejahteraan Sosial, dengan kegiatan pokok yang dilaksanakan antara lain meliputi : a. Penyusunan kebijakan pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi PMKS ; b. Peningkatan kualitas pelayanan, sarana dan prasarana rehabilitasi
136
kesejahteraan sosial bagi PMKS ; c. Peningkatan pembinaan, pelayanan dan perlindungan sosial dan hukum bagi anak terlantar, lanjut usia, penyandang cacat dan tuna sosial ; d. Penyelenggaraan pelatihan ketrampilan dan praktek belajar kerja bagi PMKS ; e. Peningkatan pelayanan psikososial dan pembangunan pusat pelayanan krisis (trauma center) bagi PMKS, termasuk korban bencana alam dan sosial ; f.
Pelaksanaan komunikasi, informasi, dan edukasi mengenai anti eksploitasi, kekerasan, perdagangan perempuan dan anak, reintegrasi eks-PMKS, dan pencegahan HIV/AIDS serta penyalahgunaan NAPZA ;
3. Program Bantuan dan Jaminan Kesejahteraan Sosial, dengan kegiatan pokok yang dilaksanakan antara lain meliputi : a. Penyediaan bantuan dasar pangan, sandang, papan dan fasilitas bantuan tanggap darurat dan bantuan pemulungan / terminasi, serta stimulan bahan bangunan rumah bagi korban bencana alam, bencana sosial dan lainnya ; b. Pemberian bantuan bagi daerah penerima eks-korban kerusuhan dan pekerja migran bermasalah ; c. Pemberian bantuan bagi korban tindak kekerasan melalui perlindungan dan advokasi sosial ; d. Penyelenggaraan bantuan dan jaminan sosial bagi fakir miskin, penduduk daerah kumuh, dan lainnya ; e. Pemberdayaan satgas penanggulangan bencana. 4. Program Pemberdayaan Kelembagaan Kesejahteraan Sosial. Kegiatan pokok yang di laksanakan antara lain meliputi : a. Peningkatan kualitas SDM kesejahteraan sosial dan masyarakat (TKSM / relawan sosial, karang taruna, organisasi sosial termasuk kelembagaan sosial di tingkat lokal ) ; b. Peningkatan peran aktif masyarakat dan dunia usaha dalam mendukung upaya penyelenggaraan pelayanan kesejahteraan sosial bagi PMKS ; c.
Pembentukan jejaring kerjasama pelaku-pelaku usaha kesejahteraan sosial (UKS), masyarakat dan dunia usaha termasuk organisasi sosial tingkat lokal ;
d. Pelestarian nilai-nilai keperintisan, kepahlawanan dan kejuangan ;
137
e. Pemantauan dan pengawasan pelaksanaan pengumpulan uang dan undian berhadiah. 5. Program Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial. Kegiatan pokok yang dilaksanakan antara lain meliputi : a. Kajian analisis masalah/kebijakan/program kesejahteraan sosial; b. Fasilitas pembangunan bidan kesejahteraan sosial ; c. Penambahan jumlah personil SDM, peningkatan pendidikan dan pelatihan SDM.
3.3.13.
Sub Agenda Perbaikan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup A. KONDISI UMUM Hasil
hutan,
pertambangan
dan
pertanian
pada
tahun
2008
memberikan kontribusi sebesar 31,23 % terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Namun dilain pihak, kebijakan ekonomi yang lebih berpihak pada pertumbuhan jangka pendek telah memicu produksi dan konsomsi yang agresif, eksplortatif, dan ekspansif sehingga daya dukung dan fungsi lingkungan hidupnya semakin menurun, bahkan mengarah pada kondisi yang mengkhawatirkan. Berbagai permasalahan yang dapat diidentifikasi dari pemanfaatan sumber
daya
alam
yang
dikhawatirkan
berdampak
terhadap
pada
berkelanjutan pembangunan dan kehidupan masyarakat adalah : 1. Permasalahan kehutanan antara lain meliputi : a. Keterbatasan sumber daya manusia,
sarana dan prasarana yang
digunakan untuk menangani lahan kritis diluar kawasan hutan. b. Masih luasnya lahan kritis diluar kawasan hutan. Pada tahun 2008, luas lahan kritis diluar kawasan hutan di Kabupaten Ponorogo 27.692,54 ha yang perlu segera ditangani. 2. Permasalahan daerah aliran sungai (DAS) antara lain meliputi : a. Praktek penebangan liar dan konservasi lahan menimbulkan dampak yang luas, yaitu kerusakan ekosistem dalam tatanan DAS; b. Kerusakan DAS tersebut juga dipicu oleh pengelolaan DAS yang kurang terkoordinasi antara hulu dan hilir serta kelembagaannya yang sangat lemah. Hal ini akan mengancam keseimbangan ekosistem secara luas, khususnya cadangan dan pasokan air yang sangat
138
dibutuhkan untuk irigasi, pertanian, industri, dan konsumsi rumah tangga. 3. Permasalahan pertambangan antara lain meliputi : a. Belum optimalnya pemanfaatan Bahan Galian Golongan (Sumber Daya Mineral) yang ada ; b. Adanya pelanggaran K3 ( Kesehatan Keselamatan Kerja ) dan kerusakan lingkungan. Hal ini dilakukan oleh pemegang SIPD (Surat Ijin Pertambangan Daerah) sebanyak 4 sampai tahun 2006 serta penambangan galian C khususnya pasir dan batu yang dilakukan secara tradisional (penambangan skala kecil) oleh 440 yang belum memiliki izin (SIPD) dan pengambilan air tanah tanpa ijin yang cukup banyak. c. Belum memadainya data potensi dan pelaksanaan konservasi air tanah. Hal ini dapat ditunjukkan oleh sedikitnya cekungan air tanah ( CAT ) yang teridentifikasi, banyak daerah sulit air bersih, dan belum optimalnya pengendalian; d. Belum memadainya data daerah rawan bencana dan data geologi lingkungan. Hal ini dapat ditunjukkan oleh sedikitnya daerah rawan gerakan tanah dan bencana gunung berapi yang teridentifikasi, belum terindentifikasi pemanfaatan lahan yang tidak sesuai
dengan
kemampuan lahan atau kondisi geologinya; e. Pertambangan merupakan serangkaian kegiatan spesifik 4 P yaitu padat modal, padat teknologi, padat resiko dan peka lingkungan, sehingga hanya bisa dikerjakan oleh badan usaha/perorangan yang memiliki spesifikasi tertentu.
4. Permasalahan Lingkungan hidup antara lain meliputi : a. Belum harmonisnya
peraturan perundangan lingkungan
hidup.
Hukum lingkungan atau peraturan-peraturan dibidang lingkungan hidup masih kurang bersinergi dengan peraturan sektor lainnya. Banyak terjadi inkonsistensi, tumpang tindih dan bahkan saling bertentangan.
Untuk
memberikan
penguatan
sebagai
upaya
pengarusutamaan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan maka pengembangan hukum lingkungan hidup perlu terus dilakukan. b. Pencemaran tanah, pencemaran tanah diakibatkan oleh pengelolaan sampah
( padat ) parsial dan Pemilihan sistem pengolahan sampah
139
di TPA yang kurang tepat, yaitu dengan open dumping mengakibatkan umur TPA terbatas. c. Masih
rendahnya
kesadaran
masyakat
dalam
pemeliharaan
lingkungan hidup.
B. SASARAN Berdasarkan permasalahan yang ada, sasaran pembangunan sumber daya alam dan pelestarian lingkungan hidup adalah membaiknya pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian lingkungan hidup adalah membaiknya pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian lingkungan hidup dalam rangka meningkatnya kesejahteraan masyarakat. 1. Sasaran pembangunan kehutanan adalah : a. Tegaknya hukum, khususnya dalam pemberantasan pembalakan liar (illegal logging); b. Terwujudnya peningkatan kapasitas kelembagaan pengeloala hutan; c. Terwujudnya rehabilitasi hutan dan lahan kritis; dan d. Terwujudnya kelestarian kawasan konservasi. 2. Sasaran Pembangunan DAS adalah Rehabilitas lahan di DAS untuk menjamin pasokan air dan system penopang kehidupan lainnya;
3. Sasaran pembangunan pertambangan umum dan air bawah tanah adalah: a. Optimalisasi
pemanfaatan
hasil
dalam
rangka
peningkatan
Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan kesejahteraan masyarakat ; b. Percepatan pembangunan ekonomi daerah; c. Perluasan lapangan kerja di bidang pertambangan; d. Terpenuhinya kebutuhan air bersih dan kelestarian air tanah; e. Fasilitasi dan penerapan teknologi tepat guna; dan f.
Pencegahan dan pemulihan kerusakan lingkungan pertambangan serta pengendalian bencana kegeologian.
4. Sasaran pembangunan lingkungan hidup adalah : a. Meningkatnya kualitas air sungai di seluruh DAS kritis disertai pengendalian dan pemantauan secara kontinue; b. Berkurangnya pencemaran air disertai pengendalian dan pemantauan terpadu antar sektor; c. Membaiknya kualitas udara perkotaan yang didukung oleh perbaikan
140
manajemen dan sistem transportasi kota yang ramah lingkungan; d. Terwujudnya fasilitas pengelolaan limbah B3 di sekitar pusat kegiatan industri; e. Tersusunnya informasi dan peta wilayah-wilayah yang rentan terhadap kerusakan lingkungan, bencana banjir, kekeringan, gempa bumi serta bencana-bencana alam lainnya; f.
Tersusunnya peraturan pendanaan lingkungan yang inovatif sebagai terobosan untuk mengatasi kecilnya pembiayaan sektor lingkungan hidup;
g. Terlaksananya reorganisasi pengelolaan Tempat Pembuangan Akhir ( TPA) secara professional untuk mengantisipasi keterbatasan lahan.
C. ARAH KEBIJAKAN 1. Pembangunan kehutanan diarahkan untuk : a. Memperbaiki sistem pengelolaan hutan termasuk meningkatkan pengawasan dan penegakan hukumnya dan b. Mengefektifkan sumber daya yang tersedia dalam pengolahan hutan. 2. Pembangunan pertambangan umum dan air bawah tanah diarahkan untuk: a. Meningkatkan
eksplorasi
dan
eksploitasi
dengan
selalu
memperhatikan aspek pembangunan berkelanjutan; b. Meningkatkan peluang usaha pertambangan skala kecil; c. Meningkatkan nilai tambah dan pengendalian dalam pemanfaatan bahan tambang dan air tanah; d. Merehabilitasi kawasan bekas pertambangan; e. Meningkatkan
pembinaan
dan
pengawasan
pengelolaan
pertambangan dan air tanah; f.
Meningkatkan pelayanan dan informasi pertambangan;
g. Mencegah terjadinya bencana kegeologian. 3. Pembangunan lingkungan hidup diarahkan untuk : a. Mengarusutamakan (mainstreaming) prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan ke seluruh bidang pembangunan; b. Meningkatkan koordinasi pengelolaan lingkungan hidup di tingkat kabupaten; c. Meningkatkan upaya
penegakan hukum secara konsisten kepada
141
pencemar lingkungan; d. Meningkatkan kapasitas lembaga pengelolaan lingkungan hidup ditingkat Kabupaten; e. Membangun kesadaran masyarakat agar peduli pada isu lingkungan hidup dan berperan aktif sebagai kontrol sosial dalam memantau kualitas lingkungan hidup.
D. PROGRAM-PROGRAM PEMBANGUNAN 1. Program Pengeloaan Pertambangan dan air bawah tanah, dengan kegiatan pokok yang akan dilaksanakan antara lain meliputi : a. Pengendalian,
pengawasan,
dan
pembinaan
kegiatan
usaha
pertambangan dan air bawah tanah ; b. Pengembangan potensi dan konservasi sumber daya mineral serta rehabilitasi lahan bekas pertambangan; c. Fasilitasi dan pengembangan teknologi pertambangan umum; d. Pengembangan pemanfaatan dan konservasi air bawah tanah; dan e. Perencanaan program dan evaluasi serta pengembangan sistem informasi dan promosi bidang pertambangan dan air bawah tanah.
2. Program Perlindungan dan Konservasi Sumber Daya Alam, dengan kegiatan pokok yang akan dilaksanakan antara lain meliputi : a. Perlindungan sumber daya alam di kawasan hutan, kawasan penyangga, dan kawasan lindung; b. Pengembangan kemitraan dengan perguruan tinggi; masyarakat setempat, lembaga swadaya masyarakat, legeslatif dan dunia usaha dalam perlindungan dan pelestarian sumber daya alam; dan c. Peningkatan pemberdayaan masyarakat dan dunia usaha dalam perlindungan sumber daya alam. 3. Program Rehabilitasi dan Pemilihan Sumber Daya Alam, dengan kegiatan pokok yang akan dilaksanakan antara lain meliputi : a. Rehabilitasi ekosistem dan habitat yang rusak dalam kawasan hutan dan diluar kawasan hutan serta pengembangan sistem manajemen pengelolaannya; b. Rehabilitasi kerusakan di sekitar sumber-sumber air, wilayah rawan bencana lingkungan tanah longsor, banjir dan kekeringan.
142
4. Program Pengembangan Kapasitas Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup dengan kegiatan pokok yang akan dilaksanakan antara lain meliputi : a. Pengembangan program dan evaluasi perencanaan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup; b. Peningkatan kapasitas pengelola sumber daya alam dan lingkungan hidup di Kabupaten, termasuk lembaga masyarakat; c. Peningkatan peran serta masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup melalui pola kemitraan; dan d. Pengembangan
peraturan
perundangan
lingkungan
dalam
pengendalian perusakan sumber daya alam dan pencemaran lingkungan hidup. 5. Program Peningkatan kualitas dan Akses Informasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup dengan kegiatan pokok yang akan dilkasanakan antara lain meliputi : a. Penyusunan data sumber daya alam baik data potensi maupun data daya dukung kawasan ekosistem; b. Penyebaran dan peningkatan akses informasi kepada masyarakat, termasuk informasi potensi sumber daya alam dan lingkungan hidup. c. Sosialisasi berbagai perjanjian internasional di tingkat Kabupaten. 6. Program Pengendalian Pencemaran Lingkungan Hidup, dengan kegiatan pokok yang akan dilaksanakan antara lain meliputi : a. Pengawasan dan pengendalian pencemaran udara, air dan tanah ; b. Pengembangan laboratorium lingkungan ; c. Pengembangan pemisahan sampah dengan metode 3R (reduce, reuse, recycle) dan pemanfaatannya ; d. Pengembangan teknologi yang berwawasan lingkungan, termasuk teknologi
tradisional
dalam
pengelolaan
sumber
daya
alam,
pengelolaan limbah, dan teknologi industri yang ramah lingkungan ; e. Penetapan baku mutu lingkungan Kabupaten berdasarkan peraturan nasional ; f.
Pengawasan, pengendalian kerusakan dan pencemaran tanah, air dan udara Kabupaten ;
g. Pengukuran dan pemantauan kualitas udara, air dan tanah.
143
3.3.14.
Sub Agenda Peningkatan Kemampuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi A. KONDISI UMUM Pembangunan
ilmu
pengetahuan
dan
teknologi
(Iptek)
pada
hakekatnya ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam rangka membangun peradapan bangsa. Sejalan dengan paradigma baru di era globalisasi yang Tekno-Ekonomi (Techno-economy Paradigm), teknologi menjadi faktor yang memberikan kontribusi signifikan dalam peningkatan kualitas hidup suatu bangsa. Pembangunan iptek merupakan sumber terbentuknya iklim inovasi yang menjadi landasan bagi tumbuhnya kreatifitas sumberdaya manusia (SDM), yang pada gilirannya dapat menjadi sumber pertumbuhan dan daya saing ekonomi. Selain itu iptek menentukan tingkat efektifitas dan efisiensi proses transformasi sumberdaya menjadi sumberdaya baru yang lebih bernilai. Dengan demikian peningkatan kemampuan Iptek sangat diperlukan untuk meningkatkan kemandirian dan daya saing dimata dunia. Terbatasnya sumber daya Iptek tercermin dari rendahnya kualitas SDM dan kesenjangan pendidikan di bidang Iptek. Lemahnya sumber daya Iptek diperparah oleh tidak adanya lembaga keuangan modal ventura dan start-up capital yang diperlukan untuk sumber pembiayaan inovasi-inovasi baru. Hasil pengembangan IPTEK belum
menjadi teknologi
yang
siap
pakai untuk difungsikan dalam sistem produksi terutama untuk industri kecil. Masalah ini dapat terlihat dari belum tertatanya Infrastruktur Iptek, antara lain institusi yang mengolah dan menterjemahkan hasil pengembangan Iptek menjadi teknologi yang siap pakai untuk difungsikan dalam sistem produksi. Disamping itu, masalah tersebut apat dilihat dari belum efektifnya sistem komunikasi
antara lembaga Litbang dan pihak industri, yang antara lain
berakibat pada minimnya keberadaan industri kecil menengah berbasis teknologi. Kebijakan belum
terintegrasi
bidang
pendidikan, industri,
sehingga
mengakibatkan
dan IPTEK selama ini kapasitas
yang
tidak
termanfaatkan pada sisi penyedia, tidak berjalannya sistem transaksi, dan belum tumbuhnya permintaan dari sisi pengguna yaitu industri. Secara umum di nilai-nilai
masyarakat masih
belum
mencerminkan
Iptek yang mempunyai penalaran obyektif, rasional, maju, unggul,
dan mandiri. Pola pikir mayarakat belum berkembang ke arah yang lebih suka
144
mencipta daripada sekedar memakai, lebih suka membuat daripada sekedar membeli,
serta lebih
suka
belajar dan berkreasi
daripada
sekedar
menggunakan teknologi yang ada.
B. SASARAN Sasaran dari Peningkatan Kemampuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi adalah : 1. Tumbuhnya penemuan iptek baru dapat dimanfaatkan bagi peningkatan nilai tambah dalam sistem produksi dan dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan secara lestari dan bertanggung jawab. 2. Meningkatnya ketersediaan, hasil guna, dan daya guna sumberdaya (SDM, sarana, prasarana dan kelembagaan) iptek. 3. Tertatanya mekanisme intermediasi untuk meningkatkan pemanfaatan hasil litbang oleh dunia usaha dan industri, meningkatnya kandungan teknologi dalam industri nasional, serta tumbuhnya jaringan kemitraan. 4. Terwujudnya iklim yang kondusif bagi berkembangnya kreatifitas, sistem pembinaan dan pengelolaan hak atas kekayaan intelektual, pengetahuan lokal, serta sistem standarisasi. C. ARAH KEBIJAKAN Arah kebijakan dalam Peningkatan Kemampuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi adalah untuk : 1. Mempertajam prioritas penelitian, pengembangan dan rekayasa Iptek yang berorientasi pada permintaan dan kebutuhan masyarakat dan dunia usaha dan serta berbagai masukan dalam pembuatan kebijakan Pemerintah Daerah. 2. Meningkatkan kapasitas dan kapabilitas IPTEK dengan memperkuat kelembagaan, sumberdaya dan jaringan iptek di Propinsi dan Kab/Kota. 3. Menciptakan iklim inovasi dalam bentuk pengembangan skema insentif yang tepat untuk mendorong perkuatan struktur industri. 4. Menanamkan
dan
menumbuhkembangkan
budaya
iptek
untuk
meningkatkan peradapan bangsa. D. PROGRAM-PROGRAM PEMBANGUNAN Progam yang akan ditempuh dalam peningkatan kemampuan Ilmu pengetahuan dan teknologi selama tiga tahun mendatang adalah
145
1. Progam Penelitian Dan
Pengembangan
Ilmu
Pengetahuan dan
Teknologi 2. Progam Pemanfaatan
Dan
Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan
dan
Teknologi (progam difusi dan pemanfaatan IPTEK) 3. Peningkatan kapasitas IPTEK sistem produksi 4. Progam Penguatan Kelembagaan IPTEK 3.3.15.
Sub Agenda Pembangunan Kependudukan dan Keluarga Kecil Berkualitas serta Pemuda dan Olah Raga A. KONDISI UMUM Pembangunan kependudukan dan keluarga kecil berkualitas merupakan agenda penting dalam mencapai pembangunan berkelanjutan. Hal ini diselenggarakan melalui pengendalian kuantitas penduduk dan peningkatan kualitas insani dan sumber daya manusia. Karakteristik pembangunan antara lain dilaksanakan melalui pengendalian pertumbuhan penduduk, keluarga berencana, dan pengembangan kualitas penduduk, melalui perwujudan keluarga kecil yang berkualitas dan mobilitas penduduk. Pada saat ini pertumbuhan penduduk Kabupaten Ponorogo sebesar 0,38 %, diharapkan pada tahun 2009 pertumbuhan penduduk dapat ditekan hingga dalam kisaran 0,41 %. Dalam kaitan itu, aspek penataan administrasi kependudukan merupakan hal penting dalam mendukung perencanaan pembangunan, baik di tingkat nasional maupun daerah. Adapun pemuda sebagai bagian dari penduduk merupakan aset pembangunan bangsa, terutama dalam bidang ekonomi. Guna mendukung langkah di atas, meningkatkan partisipasi pemuda dan menumbuhkan budaya olah raga yang lebih luas bagi seluruh lapisan masyarakat menjadi aspek penting dalam peningkatan kualitas penduduk. Jumlah penduduk di Kabupaten Ponorogo dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan, meskipun laju pertumbuhannya dapat dikendalikan dengan prosentase yang cenderung menurun. Penurunan pertumbuhan tersebut karena menurunnya angka kelahiran, namun secara absolute pertambahan penduduk di Kabupaten Ponorogo masih relatife tinggi. Hal ini disebabkan belum terkendalinya angka kelahiran dan meningkatnya jumlah penduduk pasangan usia subur. Faktor utama yang mempengaruhi laju pertumbuhan penduduk adalah tingkat kelahiran. Tingginya tingkat kelahiran penduduk disebabkan karena Pasangan Usia Subur (PUS) masih relative tinggi. Oleh karena itu, perlu
146
dilakukan peningkatan akses dan kualitas pelayanan KB, serta ketersediaan alat kontrasepsi. Melalui upaya tersebut diharapkan agar angka kelahiran terkendali, sehingga angka pertumbuhan dapat mencapai kondisi seimbang. Oleh karena itu peningkatan akses dan kualitas pelayanan pelayanan KB, dan penyediaan alat kontrasepsi menjadi sangat penting untuk menurunkan tingkat kelahiran. Pengetahuan dan kesadaran pasangan usia subur dan remaja tentang reproduksi dan kesehatan reproduksi masih sangat kurang. Hal ini disebabkan oleh sebagian besar masyarakat, orang tua, maupun remaja belum memahami kesehatan reproduksi. Pemahaman dan kesadaran tentang kesehatan reproduksi remaja masih rendah. Masyarakat dan keluarga masih enggan untuk membicarakan masalah reproduksi secara terbuka dalam keluarga. Para anak dan remaja lebih merasa nyaman mendiskusikannya secara terbuka dengan sesama teman. Pemahaman nilai-nilai adat, budaya, dan agama yang menganggap pembahasan kesehatan produksi sebagai hal yang tabu justru lebih popular. Sementara itu, pendidikan kesehatan reproduksi remaja melalui jalur sekolah belum sepenuhnya berhasil yang mengakibatkan banyaknya remaja yang kurang memahami atau mempunyai pandangan yang tidak tepat tentang masalah kesehatan reproduksi. Pemahaman yang tidak benar tentang hak-hak dan kesehatan reproduksi ini menyebabkan banyaknya remaja yang berperilaku menyimpang tanpa menyadari akibatnya terhadap kesehatan reproduksi. Selain itu didapati masih rendahnya usia kawin pertama penduduk. Median usia kawin pertama perempuan di perdesaan lebih rendah yaitu 18,5 tahun, sedangkan di daerah perkotaan adalah 20,5 tahun. Usia kawin pertama yang rendah juga berkaitan dengan faktor sosial ekonomi penduduk, terutama pendidikan. Di samping itu sebagian kelompok masyarakat dan keluarga belum menerima dan menghayati norma keluarga kecil sebagai landasan untuk mewujudkan keluarga yang berkualitas. Sementara partisipasi pria dalam ber-KB masih rendah. Hal ini selain disebabkan oleh keterbatasan macam dan jenis alat kontrasepsi untuk pria, juga oleh keterbatasan pengetahuan pria akan hak-hak dan kesehatan reproduksi. Juga masih kurang masksimalnya akses dan kualitas pelayanan KB. Saat ini belum semua fasilitas pelayanan kesehatan primer dapat melayani KB dan kesehatan reproduksi. Hal ini disebabkan oleh kurang optimalnya petugas penyuluh KB sehingga masih banyak pasangan usia subur yang menggunakan kontrasepsi yang kurang efektif dan efisien dalam memanfaatkan jasa pelayanan KB. Kondisi
lemahnya ekonomi
keluarga mempengaruhi
daya beli
termasuk kemampuan membeli alat dan obat kontrasepsi. Keluarga miskin
147
pada umumnya mempunyai anggota keluarga cukup banyak. Jumlah keluarga miskin menggunakan kriteria keluarga Pra- sejahtera dan keluarga Sejahtera I alasan ekonomi (Pendataan Keluarga BKKBN) pada tahun 2008 adalah 340.051 jiwa. Kemiskinan menjadikan mereka relatif tidak memiliki akses dan bersifat pasif dalam berpartisipasi untuk meningkatkan kualitas diri dan keluarganya. Pada gilirannya, kemiskinan akan semakin memperburuk keadaan sosial ekonomi keluarga miskin tersebut. Demikian pula, tingkat partisipasi masyarakat terhadap pembinaan ketahanan keluarga, terutama pembinaan tumbuh kembang anak, masih lemah. Hal di atas akan menghambat pembentukan keluarga kecil yang berkualitas. Jumlah penduduk Kabupaten Ponorogo tahun 2008 sebesar 1.026.775 jiwa merupakan beban pembangunan yang apabila tidak ditangani secara terpadu akan berakibat pada meningkatnya kesenjangan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Sampai saat ini kebijakan dan perundangundangan tentang kependudukan masih tumpang tindih, dan pesebaran penduduk tidak disesuaikan dengan daya dukung lahan dan daya tampung lingkungan selain itu, kebijakan dan strategi pengendalian kuantitas, peningkatan kualitas, dan pengarahan mobilitas penduduk yang sesuai dengan pertumbuhan ekonomi wilayah belum tersusun. Dalam rangka menbangun sistem pembangunan, pemerintahan, dan pembangunan
yang
berkelanjutan,
penataan
sistem
penyelenggaraan
administrasi kependudukan merupakan upaya penting yang harus dilakukan. Hal ini dikarenakan peraturan perundang-undangan
tentang administrasi
kependudukan yang akan melengkapi Kepres Nomor 88 tahun 2004 tentang Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan belum dapat dilaksanakan secara optimal. Berbagai institusi kepemudaan sebagai organisasi kemasyarakatan memiliki potensi yang dapat dikembangkan dan diarahkan untuk mendorong dan mendukung pengembangan generasi muda, baik dalam hal peningkatan produktivitas, prestasi, maupun daya kreatifitas sehingga pada saatnya akan mampu menjadi wadah bagi pengembangan kesejahteraan generasi muda. Namun dalam pelaksanaannya, kegiatan kepemudaan kurang terkoordinir sehingga respon institusi kepemudaan terhadap perkembangan situasi lingkungan rendah. Disisi lain, perkembangan dan kemajuan teknologi, telekomunikasi dan transportasi, serta derasnya arus informasi global cepat telah mengakibatkan terjadinya penetrasi budaya dan pengaruh global yang
148
semakin
kuat
sehingga
secara
langsung
maupun
tidak
langsung
mempengaruhi pola pikir, sikap dan perilaku generasi muda kita. Selain itu budaya olahraga ternyata masih rendah. Hal ini tercermin pada rendahnya kesempatan untuk beraktivitas olahraga karena semakin berkurangnya lapangan dan fasilitas untuk berolahraga, lemahnya koordinasi lintas lembaga dalam hal penyediaan fasilitas umum untuk lapangan dan fasilitas olahraga bagi masyarakat umum dan tempat pemukiman. Selain itu, kesadaran masyarakat akan pentingnya olahraga sebagai landasan untuk menjaga kualitas kesehatan sekaligus kesadaran akan budaya olahraga masih rendah. Dalam rangka menumbuhkan budaya olahraga untuk meningkatkan kemajuan pengembangan olahraga, beberapa permasalahan yang harus diatasi adalah : masih terkotak-kotaknya sistem dan manajemen keolahragaan dan belum terpadunya semua unsur masyarakat; lemahnya sumber daya manusia ( guru, pelatih, instruktur, manajer ); sarana dan prasarana tidak lagi memenuhi standart latihan; belum adanya sistem informasi keolahragaan yang mutakir dan dikelola secara profesional serta jaringan kerjasama yang baik dalam pembinaan dan pengembangan olahraga antar daerah, antar instansi, antar perkumpulan/organisasi olahraga dan lainlain. Pola-pola permasalahan dan pembibitan olahraga belum berdampak secara baik penyiapan dan regenerasi atlet. Pekan olahraga di tingkat Sekolah Dasar, Pekan Olahraga Pelajar, Pekan Olahraga Pondok Pesantren, baik ditingkat daerah maupun Nasional belum menjadi media bagi rekrutmen atlet, khususnya di Kabupaten Ponorogo. Salah satu kendalanya adalah keterbatasan sarana dan prasarana pendukung. Selain itu, pengembangan pelatihan olahraga belum sepenuhnya didukung basis ilmu pengetahuan dan teknologi ( iptek ) sehingga olahraga lebih bertumpu pada bakat alam semata.
B. SASARAN 1. Kependudukan a. Menurunnya laju pertumbuhan penduduk. b. Meningkatkan peserta KB laki-laki menjadi 2 %; c. Meningkatnya penggunaan metode kontrasepsi yang efektif serta efisien; d. Meningkatnya usia perkawinan pertama perempuan menjadi 21 tahun; e. Meningkatnya pertisipasi keluarga dalam pembinaan tumbuh kembang anak;
149
f.
Meningkatnya jumlah keluarga Pra-Sejahtera dan keluarga Sejahtera-I yang aktif dalam usaha ekonomi produktif; dan;
g. Meningkatnya jumlah institusi masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan keluarga berencana dan kesehatan reproduksi. h. Meningkatnya keserasian kebijakan kependudukan dalam rangka peningkatan kualitas, pengendalian pertumbihan dan kuantitas, pengarahan mobilitas dan persebaran penduduk yang serasi dengan daya dukung alam dan daya tampung lingkungan, baik ditingkat nasional maupun daerah; dan i.
Meningkatnya
pelaksanaan
sistem
Informasi
Administrasi
Kependudukan.
2. Kepemudaan dan Keolahragaan a. Terciptanya pemuda yang bermoral, produktif,, prestatif, inovatif dan mandiri diindikasikan dengan : (1) Meningkatnya moral pemuda dalam menyikapi pengaruh budaya asing dengan perkembangan teknologi informasi; (2) Semakin mantapnya organisasi kepemudaan (3) Berkembangnya kreatifitas anak dan remaja; (4) Meningkatnya produktivitas pemuda; (5) Semakin mantapnya mekanisme perencanaan dan penyusunan program kepemudaan; (6) Semakin
terciptannya
sarana prasarana kepemudaan
yang
berkualitas, dan (7) Meningkatnya kualitas
dan
partisipasi
pemuda di
berbagai
bidang pembangunan. b. Terciptannya
olahraga
yang
berkualitas,
berprestasi
dan
memasyarakat ditandai dengan : (1) Semakin mantapnya pola pembinaan olahraga dikalangan pelajar dan mahasiswa; (2) Meningkatnya keserasian berbagai kebijakan olahraga ditingkat nasional dan daerah; (3) Meningkatnya prestasi pada PON XVII di Kalimantan Timur tahun 2008; (4) Semakin membudayanya olahraga di kalangan Masyarakat; (5) Semakin berkembangnya organisasi olahraga (6) Semakin mantapnya mekanisme perencanaan dan penyusunan
150
program olahraga, dan (7) Semakin mantapnya daya dukung sarana prasarana keolahragaan. c. Terciptannya pemuda dan insan olahraga yang sejahtera diindikasikan melalui: (1) Semakin kuatnya daya saing pemuda; (2) Semakin mantapnya
olahraga
sebagai
profesi
yang mampu
memberikan jaminan kesejahteraan hidup bagi para atletnya.
C. ARAH KEBIJAKAN Dengan mempertimbangkan bahwa pada waktu yang akan datang akan mencapai penduduk tumbuh seimbang dan akan mengalami bonus demografi ( suatu keadaan ketika tingkat dependency ratio rendah, atau jumlah penduduk usia produktif lebih besar dari pada jumlah penduduk usia tidak produktif, sebagai akibat dari perubahan struktur umur ), maka tiga arah kebijakan disusun untuk mencapai ketiga sasaran tersebut di atas, sebagai berikut ; 1. Kependudukan a. Kebijakan
pembangunan
keluarga
berencana
diarahkan
untuk
mengendalikan pertumbuhan penduduk serta meningkatkan keluarga kecil berkualitas dengan : 1) Mengendalikan
tingkat
kelahiran
penduduk
melalui
upaya
memaksimalkan akses dan kualitas pelayanan KB terutama bagi keluarga miskin dan rentan serta derah terpencil; peningkatan komunikasi, informasi, dan edukasi bagi pasangan usia subur tentang
kesehatan
reproduksi; melindungi peserta keluarga
berencana dari dampak negatif penggunaan alat dan obat kontrasepsi; peningkatan kualitas penyediaan dan pemanfaatan alat dan obat kontrasepsi dan peningkatan pemakaian kontrasepsi yang lebih efektif serta efisien untuk jangka panjang. 2) Meningkatkan kualitas kesehatan reproduksi remaja dalam rangka menyiapkan kehidupan pendewasaan
usia
berkeluarga
perkawinan
yang lebih baik, serta
melalui
upaya
peningkatan
pemahaman kesehatan reproduksi remaja; penguatan institusi masyarakat dan pemerintah yang memberikan layanan kesehatan reproduksi bagi remaja; serta pemberian konseling tentang permasalahan remaja; 3) Meningkatkan pembedayaan dan ketahanan keluarga dalam
151
kemampuan
pengasuhan
dan
penumbuhkembangan
anak,
peningkatan pendapatan keluarga khususnya bagi keluarga miskin, peningkatan kualitas lingkungan keluarga; 4) Memperkuat
kelembagaan
dan
jaringan
pelayanan
KB
bekerjasama dengan masyarakat luas, dalam upaya pengendalian jumlah dan laju pertumbuhan penduduk dan pembudayaan keluarga kecil berkualitas. b. Kebijakan pembangunan kependudukan diarahkan untuk menata pembangunan kependudukan melalui : 1) Menata kebijakan persebaran dan mobilitas penduduk secara lebih seimbang sesuai dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan, melalui peningkatan pertumbuhan ekonomi wilayah; 2) Menata kebijakan administrasi kependudukan guna mendorong ter
akomodasinya
hak-hak
penduduk,
dalam
mendukung
perencanaan dan pelaksanaan pembangunan berkelanjutan serta pelayan publik, antara lain melaui penyelenggaraan regristrasi penduduk. 2. Kepemudaan dan Keolahragaan Kebijakan pembangunan pemuda dan olahraga diarahkan untuk meningkatkan
pertisipasi
pemuda
dalam
pembangunan
dan
menumbuhkan budaya olahraga dan prestasi guna meningkatnya kualitas manusia melalui; a. Mewujudkan keserasian kebijakan pemuda di berbagai bidang pembangunan; b. Memperluas kesempatan memperoleh pendidikan dan ketrampilan; c. Meningkatkan peran serta pemuda dalam pembangunan sosial, politik, ekonomi, budaya dan agama; d. Meningkatkan potensi pemuda dalam kewirausahaan, kepeloporan dan kepemimpinan dalam pembangunan; e. Mengembangkan potensi
organisasi kepemudaan sebagi kader
penerus pembangunan nasional; f.
Melindungi dan mengembangkan kesadaran generasi muda dari bahaya
penyalahgunaan
NAPZA,
minuman
keras,
penyebaran
penyakit HIV/AIDS, dan penyakit menular seksual di kalangan pemuda; g. Mengembangkan
kebijakan
dan
manajemen
penyusunan
dan
152
perencanaan program olahraga dalam upaya mewujudkan penataan sistem pembinaan dan pengembangan olahraga secara terpadu dan berkelanjutan; h. Meningkatkan akses dan partisipasi masyarakat secara lebih luas dan merata untuk meningkatkan kesehatan dan kebugaran jasmani serta membentuk watak bangsa, sekaligus membangun konsepsi budaya olahraga di kalangan masyarakat; i.
Meningkatnya sarana prasarana olahraga yang sudah tersedia untuk mendukung pembinaan olahraga;
j.
Meningkatkan upaya pembibitan dan pengembangan prestasi olahraga secara sistematik, berjenjang dan berkelanjutan;
k. Meningkatkan pola kemitraan dan kewirausahaan dalam upaya menggali potensi ekonomi olahraga melalui pengembangan industri olahraga; l.
Mengembangkan
sistem
penghargaan
dan
meningkatkan
kesejahteraan atlet, pelatih, dan tenaga keolahragaan.
D. PROGRAM-PROGRAM PEMBANGUNAN Program
yang
akan
ditempuh
dalam
pembangunan
dalam
pembangunan kependudukan dan keluarga kecil berkualitas serta pemuda dan olahraga sekama tiga tahun mendatang adalah: 1. Program Keluarga Berencana, dengan kegiatan pokok yang dilaksanakan adalah peningkatan dan pengembangan program KB dan kesehatan reproduksi yang berkualitas. 2. Program
Kesehatan
Reproduksi
Remaja
dengan
kegiatan
pokok
pengembangan kebijakan pelayanan dan pungutan partisipasi masyarakat terhadap kesehatan reproduksi bagi remaja. 3. Program Ketahanan Dan Pemberdayaan Keluarga, dengan kegiatan pokok pengembangan dan pemantapan ketahanan dan pemberdayaan keluarga. 4. Program Penguatan Pelembagaan keluarga Kecil Berkualitas dengan kegiatan pokok fasilitasi pengembangan sistem pengelolaan dan informasi serta penguatan kelembagaan KB yang berbasis masyarakat. 5. Program Keserasian Kebijakan Kependudukan dengan kegiatan pokok pengembangan dan penyempurnaan kebijakan kependudukan. 6. Program Penataan Administrasi Kependudukan dengan kegiatan pokok : a. Penyempurnaan
dan
penembangan
Sistem
Administrasi
153
Kependudukan (SAK) ; b. Peningkatan pelayanan kepada masyarakat dengan pelaksanaan pendaftaran penduduk di tingkat Kecamatan. 7. Program pengembangan dan Keserasian kebijakan pemuda dan Olahraga dengan kegiatan pokok : a. Pemetaan dan pendataan potensi kepemudaan dan keolahragaan di kabupaten Ponorogo; b. Pengkajian kebijakan-kebijakan pembangunan di bidang pemuda dan olahraga; c. Pengembangan kemitraan pemerintah dengan masyarakat dalam pembangunan kepemudaan dan keolahragaan; d. Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan pembangunan pemuda dan olahraga. 8. Program
Pembinaan dan peningkatan Partisipasi Pemuda dengan
kegiatan pokok : a. Peningkatan
wawasan
dan
sikap
mental
pemuda
dalam
pembangunan dari pengaruh budaya asing serta bahaya NAPZA dan HIV/AIDS; b. Peningkatan pengetahuan, ketrampilan, dan kewirausahaan pemuda, inovasi pemuda; c. Fasilitasi dan penyelenggaraan kegiatan kepemudaan; d. Penegembangan dan pemberdayaan organisasi kepemudaan.
9. Program pembinaan dan Pemasyarakatan Olahraga, dengan kegiatan pokok: a. Permasalahan olahraga bagi pelajar, mahasiswa, dan masyarakat; b. Peningkatan pemanduan bakat dan pembibitan olahraga; c. Peningkatan prestasi olahraga; d. Peningkatan
profesionalisme
pelatih,
manajer,
dan
tenaga
keolahragaan; e. Pengembangan sistem penghargaan dan kesejahteraan bagi atlet, pelatih, dan tenaga keolahragaan. 10. Program Peningkatan Sarana, Prasarana Pemuda Dan Olahraga dengan kegiatan pokok : a. Peningkatan
partisipasi
dunia
usaha
dan
masyarakat
untuk
154
mendukung pendanaan dan pembinaan olahraga;
b. Peningkatan sarana, prasarana pemuda dan olahraga.
155