BAB III PERTANGGUNGJAWABAN KEJAHATAN TERHADAP GENDER DALAM HUKUM INTERNASIONAL
A. Pembuktian dengan Investigasi Investigasi adalah Upaya penelitian, penyelidikan, pengusutan, pencarian, pemeriksaan dan pengumpulan data, informasi, dan temuan lainnya untuk mengetahui/membuktikan kebenaran atau bahkan kesalahan sebuah fakta yang kemudian menyajikan kesimpulan atas rangkaian temuan dan susunan kejadian. 69 Di masa-masa awal International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) mulai bekerja, sejumlah masalah terjadi berkaitan dengan kebutuhan langkahlangkah yang sifatnya khusus dalam penyelidikan dan penuntutan kejahatan berbasis jender. Misalnya dalam hal penggunaan penerjemah dan penyelidik laki-laki ketika mewawancarai korban kekerasan seksual dan berbagai teknik wawancara yang tidak pantas. Selain itu, penyelidik tidak secara aktif mengumpulkan kesaksian dari kejahatan-kejahatan
seksual,
karena
mitos
bahwa
perempuan
tidak
mampu
menceritakan pengalamannya dan kepercayaan bahwa pemerkosaan hanya merupakan insiden yang bersifat kebetulan dari genosida tersebut. 70 Namun dalam perkembangannya, secara terperinci dimensi prosedural yang mendefinisikan kejahatan seksual telah diakui. Beberapa hal prinsip yang diterapkan dalam
persidangan
menunjukkan
penghormatan
dan
perlindungan
terhadap
69
Peters A.A.G. & Koesriani Siswosoebroto, 1988, Hukum dan Perkembangan Investigasi (Buku I), Jakarta: Sinar Harapan, hlm 7 70 Moctar Kusumaatmadja, Perlindungan Hak Asasi Manusia dalam Hukum Hak Asasi Manusia, dan Hukum Humaniter Internasional, Kumpulan Tulisan Pusat Studi Hukum Humaniter, Fakultas Hukum, Universitas Trisakti, Jakarta, 1999hlm 112
Universitas Sumatera Utara
kepentingan korban, sekaligus keseimbangan terhadap kepentingan terdakwa. Secara umum, korban dapat dipahami sebagai pihak yang mengalami penderitaan akibat kejahatan yang berada dalam yurisdiksi pengadilan. Oleh karena itu, pentingnya langkah-langkah untuk melindungi keamanan, baik fisik mau pun psikologis martabat dan privasi korban dan saksi khususnya dalam kasuskasus kejahatan berbasis jender dan seksual ditegaskan dalam Pasal 68, Statuta Roma. Lebih jauh, dalam aturan persidangan secara khusus dinyatakan pentingnya perintah pengadilan untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan bagi kepentingan korban dan saksi, khususnya anak-anak, orang tua, difabel, dan korban kejahatan jender dan seksual (Aturan 85 dan 86, Rules of Proceedings and Evidences). Dalam hal menjaga privasi dan keamanan korban serta saksi, International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia (ICTY) dan International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) yang membolehkan hakim untuk mengadopsi langkah-langkah seperti
persidangan tertutup, televisi sirkuit satu arah tertutup, merahasiakan identitas dari publik. Juga,memperbolehkan tidak diikutsertakannya pers dan publik dari seluruh atau sebagian persidangan untuk melindungi “keamanan, keselamatan atau kerahasiaan identitas dari korban atau saksi”. 71 B. Pengadilan AD HOC ICTY dan ICTR Pengadilan Hak Asasi Manusia ad hoc adalah pengadilan yang dibentuk khusus untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat yang dilakukan sebelum adanya UU No. 26 Tahun 2000. 72 Hal inilah yang membedakan dengan pengadilan Hak Asasi Manusia permanen yang dapat memutus dan mengadili perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat yang terjadi setelah 71
Ibid, hlm 115 Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, Persepektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, Putra Abardin, Bandung. 1997, hlm 11 72
Universitas Sumatera Utara
diundangkannya UU No. 26 Tahun 2000. Kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat yang terjadi di Indonesia misalnya untuk kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia di Tanjung Priok dan Timur-timur dapat diselesaikan melalui pengadilan Hak Asasi Manusia ad hoc ini. 73 Sampai saat ini sudah berdiri pengadilan HAM ad hoc untuk kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat yang terjadi di Timor-timur. Pengalaman pengadilan Hak Asasi Manusia ad hoc menunjukkan bahwa penerapan ketentuan dalam UU No. 26 Tahun 2000 tidak dapat diaplikasikan secara konsekuen karena pengaturan yang lemah. Disamping itu terobosan hukum juga banyak dilakukan oleh majelis hakim yang menangani perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia di Timor-timur ini. Legitimasi atas adanya pengadilan Hak Asasi Manusia ad hoc didasarkan pada pasal 43 UU No. 26 tahun 2000. Ayat 1 menyatakan bahwa pelanggaran ham berat yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh pengadilan Hak Asasi Manusia ad hoc. bahwa pengadilan ham ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dibentuk atas usul dewan perwakilan rakyat berdasarkan peristiwa tertentu dengan keputusan presiden. Ayat 3 menyatakan bahwa pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 berada dalam pengadilan umum. Dalam penjelasannya, dewan perwakilan rakyat yang juga sebagai pihak yang mengusulkan dibentuknya pengadilan Hak Asasi Manusia ad hoc mendasarkan usulannya pada dugaan terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat yang dibatasi pada locus delicti dan tempos delicti tertentu yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang ini. 74 Definisi kejahatan perang dalam Statuta Roma mencerminkan perkembangan luar biasa yang terjadi dalam hukum humaniter sejak digelarnya Pengadilan Ad hoc 73
Supriyadi Widodo Edyono, Kejahatan Perang dalam RUU KUHP, diakseskan dari situs : http://kuhpreform.wordpress.com/2008/01/17/kejahatan-perang-dalam-ruu-khp/tanggal 19 November 2010 74 Ibid
Universitas Sumatera Utara
International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia (ICTY) dan International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR). Statuta Roma mengadopsi yurisprudensi kedua
pengadilan
internasional
ini,
sehingga
lebih
jelas
lagi
terlihat
adanya
pertanggungjawaban individu untuk kejahatan perang dalam konfllik bersenjata internasional dan konflik bersenjata internal. 75 Dalam yurisprudensi putusan pengadilan internasional, khususnya praktek International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia (ICTY) disebutkan, “Pasal 5(i) International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia (ICTY) (tindakan‐tindakan
tidak manusiawi) adalah suatu klausul sisa, yang berlaku pada tindakan‐tindakan yang tidak termasuk dalam sub‐klausul manapun dalam Pasal 5 Statuta namun secara memadai sama tingkat kejahatannya dengan kejahatan‐kejahatan lainnya yang telah disebutkan”. Tindakan‐tindakan tidak manusiawi adalah “tindakan‐tindakan atau pembiaran‐pembiaran yang diniatkan untuk menyebabkan secara sengaja penderitaan mental maupun fisik pada individu. Sebagaimana dinyatakan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, tindakan‐tindakan tersebut harus juga meluas dan sistematik.” 76 Dalam putusan lainnya, kejahatan tindakan‐tindakan tidak manusiawi adalah suatu klausul sisa untuk tindakan‐tindakan serius yang bukannya masuk dalam kategori sebagaimana disebutkan satu per satu, namun memerlukan pembuktian yang sama dengan elemen‐elemen chapeau lainnya. Dalam konteks hukum internasional, kejahatan tindakan‐tindakan tidak manusiawi tidak bertentangan dengan prinsip nullum crimen sine lege (menafsirkan 75 76
Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi,Yrama Widya, 2004, hlm 106 Jerry Flower, Op.Cit, hlm 107
Universitas Sumatera Utara
atau melarang kejahatan terhadap manusia), karena dalam prakteknya, sebagaimana ditegaskan oleh majelis pengadilan yang mendapati jenis kejahatan tersebut sebagai bagian dari customary international law (hukum internasional kebiasaan), sekaligus penegasan atas jenis kejahatan di bawah hukum pidana internasional. Majelis pengadilan melihat bahwa dakwaanatas jenis kejahatan tersebut sudah pernah dilakukan sebagai dasar dakwaan dalam Pengadilan Militer Internasional. 77 Dalam laporan komisi persiapan Mahkamah Pidana Internasional, dijelaskan bahwa
elemen
lainnyamenyangkut: 78
jenis (i)
kejahatan Pelaku
tindakan-tindakan
kejahatan
mengakibatkan
tidak
manusiawi
penderitaan
yang
besar/dalam, atau luka serius pada kesehatan tubuh atau mental atau fisik, yang bermakna tindakan tidak manusiawi; (ii) Kejahatan tersebut memiliki karakter yang sama dengan jenis kejahatan yang disebutkan dalam pasal 7 (1) Statuta Roma; (iii) Pelaku kejahatan menyadari kondisi factual yang melandasi karakter kejahatan; (iv) Tindakan ditujukan sebagai bagian dari penyerangan meluas dan sistematik ditujukan terhadap suatu populasi sipil; dan (v) Pelaku kejahatan telah mengetahui bahwa tindakannya adalah bagian atau diniatkan menjadi bagian penyerangan secara meluas dan sistematik ditujukan terhadap suatu populasi sipil. Meskipun tidak ada persyaratan yang diharuskan untuk menguji bahwa derajat keseriusan didasarkan pada akibat jangka panjang (long term effects) bagi korban, namun tindakan yang memiliki akibat atau dampak jangka panjang adalah relevan untuk menentukan keseriusan tindakan (atau juga pembiaran). 79
77
Wiratman, R. Herlambang Perdana, Konsep dan Pengaturan Hukum Kejahatan terhadap Kemanusiaan, Artikel untuk Jurnal Ilmu Hukum Yuridika, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 2008, hlm 79 78 Ibid, hlm 80 79 Ibid, hlm 81
Universitas Sumatera Utara
Dengan penjelasan demikian, maka karakter untuk menyebut jenis kejahatan “tindakan‐tindakan tidak manusiawi lainnya” memberikan peluang penafsiran untuk penegakan hukum atas segala jenis kejahatan terhadap kemanusiaan, atau dengan perkataan lain, kejahatan terhadap kemanusiaan jenis “tindakan‐tindakan tidak manusiawi lainnya” memberikan jaminan bahwa Mahkamah Pidana Internasional memiliki keleluasaan untuk meminta pertanggungjawaban atas pelanggaran hak asasi manusia yang keji yang tidak tersebutkan dalam hukum pidana internasional. Oleh sebab
itu,
dalam
upayamemajukan
penghormatan,
perlindungan
dan
pertanggungjawaban hak asasi manusia, ketentuan kategori sisa tersebut adalah penting dan diperlukan. 80 Dengan adanya kedua kasus tersebut, setidaknya memberikan pelajaran mengenai suatu tindak kejahatan terhadap kemanusiaan yang bisa dijangkau oleh aturan ”other
inhumane
acts”
(tindakan-tindakan
tidak
manusiawi
lainnya),
yang
penerapannya bisa ditujukan pada bentuk atau macam kejahatan yang berbeda namun memiliki karakter yang sama dengan bentuk atau macam kejahatan yang telah dideskripsikan secara eksplisit dalam ketentuan International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia (ICTY).
81
Dalam praktek yurisprudensi di International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR), “other inhumane acts” (tindakan-tindakan tidak manusiawi lainnya)
merupakan suatu jenis pengaman untuk mendasari tindak kejahatan yang memiliki level sama dan menjaga kemungkinan untuk jatuh pada definisi di luar apa yang ditentukan rinci dalam Statuta. 82
80
Ibid, hlm 82 Wayan Parthiana, Op.Cit, hlm 109 82 Ibid, hlm 110 81
Universitas Sumatera Utara
Dalam putusan Kayishema and Ruzindana, majelis hakim mendefinisikan “other inhumane acts” sebagai “tindakan-tindakan atau pembiaran-pembiaran yang secara sengaja ditujukan untuk menyebabkan luka atau penderitaan mental atau fisik secara serius atau merupakan suatu kejahatan serius atas martabat manusia”. Majelis hakim menegaskan adanya hubungan antara tindakan dan penderitaan yang diakibatkannya. Berdasarkan majelis hakim, kata “deliberately” meyakinkan bahwa penderitaan mental yang diakibatkan terhadap pihak ketiga sebagai hasil dari melihat penderitaan dari korban langsung bisa dikualifikasi sebagai suatu “inhumane act” bila pelaku kejahatan memiliki niat untuk melakukan tindakannya di muka pihak ketiga. Namun dalam penerapannya bisa pula sebaliknya, sebagaimana dalam putusan Kamuhanda
mempertimbangkan
bahwa
terdakwa
mungkin
masih
dimintai
pertanggungjawaban untuk penderitaan mental yang diakibatkannya bila pihak. Ketiga secara tidak sengaja melihat kejahatan yang dilakukan oleh pelaku kejahatan tersebut terhadap korban. 83 Yang pertama kali dihukum dalam International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) karena alasan “other inhumane acts” (tindakan-tindakan tidak manusiawi
lainnya) adalah kasus Niyitegeka. Dalam putusannya, memenggal leher, memotong alat kelamin, dan segala bentuk mutilasi mayat, dan memasukkan sebatang kayu ke dalam vagina seorang perempuan yang telah mati dikualifikasi sebagai inhumane acts.
84
Ketentuan “other inhumane acts” (tindakan-tindakan tidak manusiawi lainnya) sebagai kategori sisa sangatlah menarik dan progresif bila ditinjau dari bagaimana para majelis hakim akan menafsirkan suatu bentuk kejahatan yang sama sekali tidak jatuh pada kategori kejahatan satupun yang ditentukan oleh statuta atau hukum yang ada. Namun, dalam konteks penegakan hak asasi manusia, hal ini merupakan terobosan 83 84
Ibid, hlm 110 Ibid, hlm 111
Universitas Sumatera Utara
hukum
untuk
tidak
sekalipun
melepaskan
setiap
pelaku
tindak
kejahatan
kemanusiaan. 85 Pembentukan kedua tribunal in juga bersifat ade hoc (sementara/khusus), artinya tribunal ini berlaku untuk mengadili kejahatan tertentu pada jangka waktu tertentu dan untuk daerah tertentu saja. Perbedaan kedua kategori mahkamah ad hoc tersebut yang dibentuk setelah Perang Dunia II (yaitu Mahkamah Nuremberg dan Mahkamah Tokyo) disatu sisi dengan International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia (ICTY) dan International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) di sisi lain
yaitu bahwa Mahkamah Tokyo dan Nuremberg dibentuk oleh pihak yang menang perang (dalam hal ini adalah AS dan sekutunya), sedangkan Mahkamah Yugoslavia dan Rwanda dibentuk berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB. 86 Pasal 1 sampai dengan Pasal 5 dari Statuta Mahkamah untuk bekas Yugoslavia mengatur mengenai kompetensi atau yurisdiksi Mahkamah, yaitu : 1. Pelanggaran serius terhadap hukum humaniter internasional (serious violations of international humanitarian law) 2. Pelanggaran berat sebagaimana yang dimaksud dalam Konvesi-konvensi Jenewa 1949.542 3. Pelanggaran terhadap hukum dan kebiasaan perang 4. Genosida 5. Kejahatan terhadap kemanusiaan. Penjelasan dari pelanggaran atau kejahatan yang dimaksud di atas terdapat pada Pasal-pasal yang mengaturnya. Misalnya tentang pelanggaran berat, Statuta ini
85 86
Ibid, hlm 112 Ibid, hlm 112
Universitas Sumatera Utara
mengambil rumusan sebagaimana yang dimaksud dalam Konvensi Jenewa 1949. Begitu juga misalnya apa yang dimaksud dengan kejahatan terhadap kemanusiaan seperti disebutkan dalam Pasal 5 Statuta.87 Sedangkan Mahkamah Ad Hoc Rwanda dibentuk untuk mengadili orang-orang yang melakukan kejahatan genosida di Rwanda dan mengadili warga negara Rwanda yang melakukan kejahatan genosida dan pelanggaran serupa lainnya di wilayah negara tetangga dan di Rwanda yang dilakukan antara tanggal 1 Januari 1994 sampai dengan tanggal 31 Desember 1994. Baik Mahkamah untuk negara bekas Yugoslavia maupun Mahkamah Rwanda menetapkan tanggung jawab individu terhadap mereka yang melakukan kejahatan dan atau melakukan pelanggaran sebagaimana disebut dalam masing-masing Statuta. Adapun untuk hukum acaranya Mahkamah untuk negara bekas Yugoslavia menggunakan sistem Common Law, (Hukum Anglo-Saxon), sedangkan Mahkamah Rwanda menggunakan campuran antara sistem Civil Law (Hukum Eropa Kontinental) dan Common Law. 88 Mengenai complementarity tersebut merupakan hal yang penting. Maksudnya bahwa
nanti akan menjalankan fungsinya apabila mahkamah nasional tidak dapat
menjalankan fungsinya dengan baik. Sehubungan dengan hal ini dalam Statuta Roma dikatakan bahwa International Criminal Court (ICC) akan bekerja apabila mahkamah nasional tidak mau (unwilling) dan tidak mampu (unable) untuk mengadili pelaku kejahatan-kejahatan yang dimaksud. 89 Dengan cara ini berarti apabila terjadi suatu kejahatan yang termasuk dalam yurisdiksi International Criminal Court (ICC), maka si pelaku harus diadili dahulu oleh mahkamah nasionalnya. Apabila mahkamah nasional tidak mau dan/atau tidak mampu
87
Supriyadi Widodo Edyono, Op.Cit www.kompas.com, diaksekan tanggal 21 November 2010 89 Supriyadi Widodo Edyono, Op.Cit 88
Universitas Sumatera Utara
mengadili si pelaku, maka International Criminal Court (ICC) akan menjalankan fungsinya untuk mengadili si pelaku kejahatan yang bersangkutan. Adapun yirisdiksi dari International Criminal Court (ICC) ini mencakup empat hal yaitu 90 : 1. genosida 2. kejahatan terhadap kemanusiaan 3. kejahatan perang 4. kejahatan agresi Kecuali mengenai kejahatan agresi, masing-masing kejahatan lainnya telah dirumuskan secara rinci mengenai apa-apa saja yang termasuk dalam kejahatan yang dimaksud beserta unsur-unsur deliknya. Statuta International Criminal Court (ICC) berlaku sejak bulan Juli tahun 2002 dan kejahatan agresi akan dirumuskan delapan tahun setelah Statuta berlaku, yaitu pada tahun 2010. 91 Hal yang perlu digarisbawahi sekali lagi disini bahwa International Criminal Court (ICC) bersifat complementarity atau pelengkap terhadap sistem hukum nasional. Oleh karena itu yurisdiksi International Criminal Court (ICC) hanya bisa dilaksanakan apabila telah dilalui suatu mekanisme nasional. Dalam hal ini yurisdiksi International Criminal Court (ICC) hanya bisa dilaksanakan apabila ternyata suatu negara tidak mau dan tidak mampu (unwilling and unable) untuk mengadili kejahatan kejahatan yang termasuk dalam ruang lingkup kompetensi International Criminal Court (ICC). Berkaitan dengan mekanisme penegakan hukum humaniter ini maka hal yang mendesak dan penting dilakukan oleh Indonesia saat ini adalah menyusun suatu hukum nasional yang mengatur tentang penghukuman bagi pelaku kejahatan perang. Hal ini diperlukan karena sampai saat ini baik Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM) belum mengatur 90 91
Ibid Jerry Flower, Op.Cit
Universitas Sumatera Utara
tentang kejahatan perang. Artinya Indonesia belum melaksanakan kewajibannya berdasarkan Konvensi Jenewa 1949 (yaitu menyusun suatu hukum nasional yangmemberikan sanksi pidana efektif bagi pelaku kejahatan perang). Ketiadaan hukum nasional ini juga dapat dikategorikan sebagai unwilling and unable dari sudut pandang International Criminal Court (ICC). 92
C. Menurut Statuta Roma Statuta Roma menjabarkan kasus-kasus apa saja yang dapat dibawa ke Penadilan 93: 1) Jaksa Penuntut Pengadilan dapat memulai investigasi dalam keadaan dimana satu atau lebih kejahatan telah dilakukan, berdasarkan informasi dari berbagai sumber, termasuk para korban dan keluarga. Namun, hanya Pengadilan yangmemberlakukan yuridiksi atas kejahatan dan individu tersebut (lihat pertanyaan 4 dan 5) 2) Negara yang telah meratifikasi Statuta Roma dapat meminta Jaksa Penuntut untuk menginvestigasi situasi dimana satu atau lebih kejahatan telah dilakukan, tetapi hanya Pengadilan yang memberlakukan yuridiksi. 3) Dewan Keamanan PBB dapat meminta Pengadilan untuk menginvestigasi situasi dimana satu atau lebih kejahatan telah dilakukan. Tidak seperti metode 1 dan 2, International Criminal Court (ICC) akan memberlakukan yuridiksi ketika Dewan Keamanan PBB mengajukan situasi tersebut ke Jaksa Penuntut, meskipun kejahatan tersebut terjadi di wilayah negara yang belum meratifikasi Statuta Roma atau telah dilakukan suatu bangsa di negara tersebut.
92 93
Ibid www.elsam.co.id, diaksekan tanggal 21 November 2010
Universitas Sumatera Utara
Di dalam masing-masing situasi tersebut di atas, semua tergantung Jaksa Penuntut, bukan negara atau Dewan Keamanan, untuk memutuskan apakah investigasi akan dilakukan. Berdasarkan investigasi tersebut, pemutusan hukuman tergantung pada keputusan hokum. Jaksa Penuntut hanya akan dapat memulai investigasi ketika kejahatan telah dilakukan di wilayah suatu negara anggota Statuta atau si tertuduh adalah warga negara negara anggota Statuta, kecuali Dewan Keamanan mengajukan situasi tersebut ke Pengadilan. Keengganan Dewan Keamanan untuk menetapkan peradilan ad hoc kejahatan internasional untuk situasi-siatuasi di luar yang terjadi di bekas Yugoslavia dan Rwanda menyatakan sepertinya tidak banyak situasi dapat diajukan ke Pengadilan. Oleh karena itu, untuk alasan ini, efektivitas pengadilan akan dilihat dari banyaknya negara yang meratifikasi Statuta. Statuta Roma yang menetapkan ketentuan tentang dapat disidik, dituntut, dan diperiksanya di Majelis Pengadilan Internsional sejumlah pelanggaran Hak Asasi Manusia dan yang menetapkan sejumlah asas yang juga merupakan asas Hak Asasi Manusia, merupakan, pada hakikatnya, instrumen hukum internasional yang, meskipun bukan instrumen hukum internasional per se, merupakan instrumen hukum internasional yang memastikan perlindungan Hak Asasi Manusia (international legal instrument ensuring the protection of human rights). 94 Statuta Roma adalah instrumen internasional tentang kejahatan menurut hukum internasional. Namun, di dalamnya terkandung ketentuan-ketentuan yang pada hakikatnya, menetapkan sejumlah tindak pelanggaran Hak Asasi Manusia yang pelakunya dapat dituntut dan dipidana serta memuat sejumlah prinsip yang merupakan
94
Zainal Abidin, Pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia, Seri Bahan Bacaan Khusus untuk Pengacara X: 2005, Penerbit Elsam, Jakarta, hlm 12
Universitas Sumatera Utara
asas-asas Hak Asasi Manusia. 95 Oleh karena itu, dapatlah dikatakan bahwa Statuta Roma merupakan instrumen internasional mengenai kejahatan menurut hukum internasional, yang selain bertujuan menindas kejahatan internasional tertentu, juga merupakan instrumen internasional yang melindungi Hak Asasi Manusia dan menghormati asas-asas Hak Asasi Manusia tertentu, serta mengukuhkan peraturan perundang-undangan nasional tentang penyelesaian yudisial pelanggaran hak asasi manusia yang dapat dipidana, sebagaimana dapat dicatat sebagai berikut 96: a) Tema Hak Asasi Manusia yang pelanggarannya dikriminalisasikan dan, dengan demikian, dilindunginya Hak Asasi Manusia yang bersangkutan oleh aturan ini, adalah sebagai berikut: (1) Hak hidup (Pasal 6 (a), Pasal 7.1 (a), Pasal 8.2 (a) (ii), P a s a l 8.. 2 (b) (vi), Pa s a l 8 . b) (xi), P a s a l 8 . 2 (c) (i), dan P a s a l 8. 2 (e) (1)) ; (ii) Hak untuk tidak diperbudak (Pasal 7. l (c) dan Pasal 7.1(g); (iii) Hak untuk bebas bertempat tinggal wilayah negara (Pasal 7.1(d); (iv) Hak atas perlakuan dan perlindungan yang sama di depan hukum dan hak atas perlakuan yang adil dari pengadilan yang objek dan tidak berpihak (Pasal 7.1(c); (v) Hak untuk tidak disiksa (Pasal 7.1 (f), Pasal 8.2(a) (iii), dan Pasal 8.2 (c) (vi)Hak atas perlindungan diri pribadi, kehormatan, dan martabat Pasal 7.1(g), Pasal 8.2 (b) (xxi), Pasal 8.2 (b) (xxii), Pasal 8.2 (c) (ii), Pasal 8.2 (c) (ii), dan Pasal 8.2 (e) (vi) ;
95 96
Wiratman, R. Herlambang Perdana, Op.Cit, hlm 50 Wahyu Wagiman, Op.Cit, hlm 61
Universitas Sumatera Utara
(vii)
Hak
beragama
dan
menjalankan
ibadat
menurut
agama
dan
Kepercayaannya (Pasal 8.2 (b) (ix) dan Pasal 8.2 (e) (iv) ; (viii) Hak mempunyai milik dan atas perlindungan hak miliknya (Pasal 8.2 (b) (xiii), Pasal 8.2 (b) (xvi), Pasal 8.2 (e) (v), dan Pasal 8.2 (e) (xii); (ix) Hak memperolah keadilan (Pasal 8.2 (c) (vi) ; dan (x) Hak hidup tenteram, aman, dan damai (Pasal 8.2 (e) (i) ; Asas HAM yang juga menjadi asas Statuta Roma: (i) Asas tidak berlaku surutnya aturan hukum (kecuali dalam keadaan. Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat 2 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik - KIHSP -, 1966) (Pasal 11 dan Pasal 24) ; (ii) Asas ne bis in idem (Pasal 20); (iii) Asas legalitas (Pasal 22 dan Pasal 23); (iv) Asas kehadiran terdakwa dalam pemeriksaan pengadilan (Pasal63); (v) Asas praduga tak bersalah (Pasal 66); (vi) Hak terdakwa atas pemeriksaan pengadilan yang adil. (fair trial) (Pasal 66); dan (vii) Pemberian perlindungan kepada korban dan saksi (Pasal 68). 28. Harus digarisbawahi bahwa dalam hal ini Statuta Roma memasukkan norma substantif hak asasi manusia, terutama dengan mendefinisikan kejahatan terhadap kemanusiaan tanpa perlu adanya hubungan dengan konflik bersenjata. Selain itu Statuta Roma juga memuat ketentuan tentang unsur-unsur kejahatan yang kemungkinan juga akan terdapat lintas rujuk dengan perangkat hukum internasional hak asasi manusia maupun yurispridensinya. Dalam menafsir
Universitas Sumatera Utara
definisi penyiksaan misalnya, Majelis Pengadilan Internsional dapat mengacu pada Konvensi Penyiksaan dan yurisprudensi terkaitnya. 29. Salah satu ketentuan yang paling penting berkaitan dengan ini adalah Pasal 21 (3) yang menyatakan bahwa: “Penerapan dan interpretasi hukum sesuai dengan pasal ini harus konsisten dengan hak-hak manusia yang dikenal secara internasional, dan tanpa ada perbedaan-perbedaan yang panting yang ditemukan pada dasar-dasar seperti gender sebagaimana yang dijelaskan pada pasal 7 ayat 3, usia, ras, wama kulit, bahasa, agama atau keyakinan, politik atau pendapatpendapat lain, kebangsaan, etnis atau asal sosial, kekayaan, kelahiran atau status lain”. Dalam hal ini Judge Pillay menyatakan bahwa untuk menjamin perlindungan yang paling penting dan mendasar, dengan diskresi yang ada, hakim-hakim oleh karena itu akan mengambil dari hukum hak asasi manusia. 30.Oleh karena itu walaupun, Majelis Pengadilan Internsional pada dasarnya adalah sebuah
lembaga
peradilan
(juridical
institution),
namun
demikian,
keberadaannya dan hasil kerjanya pada masa depan akan membantu memajukan hak asasi manusia dengan menciptakan rekam historis tentang apa yang salah pada masa lalu (the past wrongs), menawarkan sebuah forum bagi korban untuk menyuarakan pendapatnya dan menerima kompensasi serta pemuasan atas kejahatan masa lalu, menciptakan preseden yuridis dan efek jera bagi para pelaku kejahatan yang paling berat dengan menghukum para pelaku. Dengan menarik perhatian pada kejahatan yang paling berat dan kemudian melakukan penghukuman pada pelakunya, Majelis Pengadilan Internsional akan menjadi sebuah contoh bagi pelaku pelanggaran hak asasi manusia lainnya. Dengan demikian, seperti sebuah lembaga pengadilan di tingkat nasional, Majelis Pengadilan Internsional akan menjadi sebuah upaya yang melengkapi
Universitas Sumatera Utara
(komplementer) bagi upaya hak asasi manusia baik masa kini maupun masa depan. 32. Sebagai instrumen internasional yang juga merupakan instrumen yang melindungi sejumlah Hak Asasi Manusia dan yang juga menjunjung sejumlah prinsip yang juga merupakan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia, Statuta Roma turut memperkuat jaminan dihormati dan dilindunginya Hak Asasi Manusia serta dijunjungnya prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia yang sudah dilakukan oleh instrumen-instrumen Hak Asasi Manusia, baik internasional, maupun regional, ataupun nasional. Oleh karena itu, menjadi pihaknya RI pada Statuta Roma akan makin meningkatkan citra dan komitmen bangsa Indonesia untuk tidak saja mengambil bagian dalam upaya komunitas internasional untuk menindas dan mencegah kejahatan paling serius yang merupakan urusan komunitas internasional secara keseluruhan melainkan juga menegaskan komitmen nasionial dan internasionalnya untuk menjunjung tinggi dan melindungi Hak Asasi Manusia.
D. Pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia 1. Landasan yuridis berdirinya pengadilan Berdasarkan kondisi tentang perlunya intrumen hukum untuk berdirinya sebuah pengadilan Hak Asasi Manusia secara cepat maka pemerintah menerbitkan Perpu No. 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Perpu ini sempat menjadi landasan yuridis untuk adanya penyelidikan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia berat di Timor-timur oleh komnas Hak Asasi Manusia. Karena berbagai alasan Perpu No. 1 ini
Universitas Sumatera Utara
yang kemudian ditolak oleh DPR untuk menjadi undang-undang. Alasan mengenai ditolaknya perpu adalah sebagai berikut 97 : a. secara konstitusional pembentukan perpu tentang pengadilan Hak Asasi Manusia dengan mendasarkan pada pasal 22 ayat 1 undang-undang dasar 1945 yang berbunyi “dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa”, yang dijadikan dasar untuk mengkualifikasikan adanya kegentingan yang memaksa dianggap tidak tepat. b. subtansi yang diatur dalam perpu tentang pengadilan Hak Asasi Manusia masih terdapat kekurangan atau kelemahan antara lain, sebagai berikut : kurang mencerminkan rasa keadilan karena ketentuan dalam perpu tersebut tidak berlaku surut (retroaktif), sehingga pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat yang dilakukan sebelum perpu ini disahkan menjadi undang-undang tidak tercakup pengaturannya. Masih terdapat ketentuan yang dinilai menyimpang dari ketentuan yang diatur dalam konvensi tentang pencegahan dan penghukuman kejahatan genocida tahun 1948 dan tidak sesuai dengan asas-asas hukum yang berlaku. Masih menggunakan standar konvensional, yakni dengan mendasarkan pada KUHP yang hanya membatasi tuntutan pada personal sehingga tidak mampu menjangkau tuntutan secara lembaga. Masih terdapat subtansi yang kontradiktif dan berpotensi untuk berbenturan atau overlapping dengan hukum positif. Setelah adanya penolakan perpu tersebut diatas oleh DPR maka pemerintah mengajukan rancangan undang-undang tentang pengadilan Hak Asasi Manusia. Dalam penjelasannya pengajuan RUU tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia adalah pertama,
97
Aliansi Nasional Reformasi KUHP, USAID, Kejahatan Kemanusiaan dan Kejahatan Genoside, Tepatkah diatur di dalam KUHP, diakseskan dari situs : http://usaid.or.id., Tanggal 15 November 2010
Universitas Sumatera Utara
merupakan perwujudan tanggung jawab bangsa indonesia sebagai salah satu anggota PBB. Dengan demikian merupakan salah satu misi yang mengembangkan tanggung jawab moral dan hukum dalam menjunjung tinggi dan melaksanakan deklarasi Hak Asasi Manusia yang ditetapkan oleh perserikatan bangsa-bangsa, serta yang terdapat dalam berbagai instrumen hukum lainnya yang mengatur mengenai Hak Asasi Manusia yang telah dan atau diterima oleh negara Indonesia. Kedua, dalam rangka melaksanakan Tap MPR No.XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia dan sebagai tindak lanjut dari pasal 104 ayat 1 Undang-undang No. 39 Tahun 1999. Ketiga, untuk mengatasi keadaan yang tidak menentu dibidang keamanan dan ketertiban umum, termasuk perekonomian nasional. Keberadaan pengadilan Hak Asasi Manusia ini sekaligus diharapkan dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat dan dunia internasional terhadap penegakan hukum dan jaminan kepastian hukum mengenai penegakan Hak Asasi Manusia di IndonesiaPasal 104 ayat 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia dan Komnas Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa untuk mengadili pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat dibentuk pengadilan Hak Asasi Manusia dilingkungan peradilan umum. Ayat 2 menyatakan pengadilan sebagaimana dimaksud ayat dalam ayat 1 dibentuk dengan udang-undang dalam jangka waktu paling lama 4 tahun. Tidak sampai 4 tahun, undang-undang yang khusus mengatur tentang pengadilan HAM adalah Undang-undang Nomor 26 tahun 2000. 2. Pengaturan tentang pengadilan HAM : UU No. 26 Tahun 2000 Konsideran dari UU No. 26 Tahun 2000 ini menyatakan bahwa untuk ikut serta memelihara perdamaian dunia dan menjamin pelaksanaan hak asasi manusia serta memberi perlindungan, kepastian, keadilan, dan perasaan aman kepada perorangan ataupun masyarakat, perlu segera dibentuk suatu Pengadilan Hak Asasi Manusia untuk
Universitas Sumatera Utara
menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia yang berat sesuai dengan ketentuan Pasal 104 ayat (1) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; Bahwa pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia untuk menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia yang berat telah diupayakan oleh Pemerintah berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang dinilai tidak memadai, sehingga tidak disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia menjadi undang-undang, dan oleh karena itu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tersebut perlu dicabut. Berdasarkan pertimbangan diatas maka pengadilan Hak Asasi Manusia perlu dibentuk. Undang-undang No. 26 tahun 2000 ini memberikan 3 cara alternatif untuk penyelesaian kasuskasus pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat. Pertama adalah mekanisme pengadilan Hak Asasi Manusia ad hoc untuk pelanggaran Hak Asasi Manusia masa lalu sebelum adanya undang-undang ini, pengadilan Hak Asasi Manusia yang sifatnya permanen dan menggunakan mekansime komisi kebenaran dan rekonsiliasi. Pembentukan pengadilan Hak Asasi Manusia yang mengadili kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genocida ini dianggap tidak tepat dan banyak dikritik sebagai pengaturan yang salah secara konseptual. Kesalahan ini yang terutama adalah memasukkan kejahatan terhadap kemanusian dan kejahatan genocida dalam yurisdiksi pengadilan Hak Asasi Manusia. Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat dengan dua jenis kejahatan tersebut adalah kejahatan yang merupakan bagian dari hukum pidana karena merupakan begian dari international crimes sehingga yang digunakan adalah seharusnya terminologi “peradilan pidana.” Secara yuridis seharusnya pengklasifikasian kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida diintegrasikan kedalam kitab undangundang hukum pidana melalui amandemen.
Universitas Sumatera Utara
Dengan memasukkan jenis kejahatan ini kedalam kitab undang-undang hukum pidana maka tidak akan melampauai asas legalitas. Sedangkan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dilakukan sebelum adanya amandemen tersebut seharusnya dibentuk mahkamah peradilan pidana ad hoc untuk kasus tertentu. Pandangan ini sejalan dengan pemahaman bahwa pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genocida secara yuridis seharusnya mengalami transformasi menjadi tindak pidana dan peradilan yang berwenang adalah peradilan pidana. Kritik atas keadaan ini adalah bahwa UU No. 26 Tahun 2000 dianggap sebagai upaya praktis dari pemerintah untuk secaracepat mengakomodir dan menghentikan upaya-upaya kearah peradilan internasional dan melupakan aspek-aspek yuridis. UU No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan Hak Asasi Manusia ini juga dianggap mempunyai banyak kelemahan yang mendasar dalam pengaturannya. Kelamahan-kelemahan ini karena proses pengadopsian dari instrumen internasional yang tidak lengkap dan mengalami banyak kesalahan. Pengadopsian atas konsep kejahatan terhadap kemanusiaan dan tentang delik tanggung jawab komando tidak memadai sehingga banyak menimbulkan interpretasi dalam aplikasinya. Kelemahan lainnya adalah tidak ada hukum acara dan pembuktian secara khusus dan masih banyak menggunkan ketentuan yang berdasarkan kitab undang-undang hukum pidana (KUHAP). Pengadilan Hak Asasi Manusia adalah pengadilan khusus yang berada di lingkungan peradilan umum. Kedudukan dalam pengadilan Hak Asasi Manusia mengikuti
pengadilan
umum
atau
pengadilan
negeri
termasuk
dukungan
administrasinya. Hal ini membawa konsekuensi bahwa pengadilan Hak Asasi Manusia ini akan sangat tergantung dengan dukungan dari pengadilan negeri tersebut. Dukungan administratif itu adalah :
Universitas Sumatera Utara
a. Ruangan pengadilan yang juga merupakan ruangan pengadilan untuk kasus lainnya dan tidak ada ruangan yang khusus untuk pengadilan ham. Hal ini membawa konsekuensi bahwa jadual persidangan akan sangat bergantung dengan jadual persidangan kasus-kasus lainnya yang juga ditangani oleh pengadilan negeri tempat pengadilan ham ini digelar. b. Dukungan staf administrasi : staf administrasi adalah staf yang menangani perkara pengadilan Hak Asasi Manusia selain panitera yang juga bertugas untuk membantu para hakim yang mengadili perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat. c. Dukungan panitera yang juga diambilkan dari pengadilan negeri setempat. Panitera ini dalah panitera biasa dan bukan panitera yang dibentuk khusus untuk menangani kasus pelanggaran ham yang berat. Panitera ini juga menangani kasus lainnya. d. Ruangan hakim : ruangan hakim untuk hakim ad hoc adalah ruangan tersendiri namun ntuk hakim karir yangmerupakan hakim pengadilan setempat maka mereka mempunyai ruangan tersendiri. Dari proses adopsi tentang kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida dari Statuta Roma kedalam UU No. 26 Tahun 2000 ini terdapat distorsi yang secara teoritis melemahkan konsep kejahatan tersebut terutama konsep tentang kejahatan terhadap kemanusiaan yaitu tidak ada parameter yang tegas untuk mendefinisikan unsur “meluas”, “sistematik” dan “intensi” yang menjadi unsur utama bentuk kejahatan ini. Ketidakjelasan defenisi menyangkut ketiga elemen tersebut mengakibatkan (pembuktian) pemidanaan terhadap kejahatan-kejahatan yang dimaksud akan menjadi
Universitas Sumatera Utara
sulit. Kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity) yang rumusannya terdapat dalam pasal 9 UU No 26 tahun 2000 berbunyi sebagai berikut: “Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, …” Rumusan di atas memiliki kelemahan mendasar yaitu: pertama, tidak jelasnya defenisi kejahatan terhadap kemanusiaan dari tiga elemen penting yaitu: elemen meluas (widespread), sistematik (systematic) dan diketahui (intension). Ketidakjelasan defenisi ketiga elemen itu membuka bermacam interpretasi di pengadilan. (Sebagai perbandingan lihat pengertian dalam Statuta Roma dimana “intension” didefinisikan dengan
tegas)
Akibatnya
pembuktian
dan
pemidanaan
terhadap
pelaku
kejahatankejahatan yang dimaksud dalam pasal yang sama menjadi sulit sehingga dakwaan menjadi sumir. Kedua, adanya problematika yang timbul dari penerjemahan yang keliru dalam pasal ini oleh undang-undang yaitu kata: directed against any civilian population (bahasa Inggris, pengertian ini berasal Statuta Roma pasal 7) yang seharusnya diartikan: ditujukan kepada populasi sipil, oleh undang-undang ini diartikan: ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil. Kata “langsung” ini bisa berimplikasi bahwa seolah-olah hanya para pelaku langsung di lapangan sajalah yang dapat dikenakan pasal ini sedangkan pelaku diatasnya yang membuat kebijakan tidak akan tercakup oleh pasal ini. Penggunaan kata “penduduk” dan bukannya “populasi” sendiri telah menyempitkan subyek hukum dengan menggunakan batasan-batasan wilayah, dan hal ini secara signifikan juga menyempitkan target-target potensial korban kejahatan
Universitas Sumatera Utara
terhadap kemanusiaan hanya pada warga negara di mana kejahatan tersebut berlangsung. Selain itu juga distorsi penerjemahan konsep dalam klasifikasi perbuatan di bawah definisi kejahatan terhadap kemanusiaan, khususnya yang berkaitan dengan penerjemahan “persecution” menjadi “penganiayaan” dalam UU No 26 tahun 2000 juga merupakan tantangan pembuktian yang tak mudah bagi jaksa. Karena tidak ada penjelasan definitif yang detail, maka acuan definisi dirujuk kepada definisi “penganiayaan” dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia (KUHP). Padahal, persecution memiliki arti yang lebih luas merujuk pada perlakuan diskriminatif yang menghasilkan kerugian mental maupun fisik ataupun ekonomis. Artinya tidak mensyaratkan perbuatan yang langsung secara ditujukan pada fisik seseorang. Dengan digunakannya kata “penganiayaan” maka tindakan teror dan intimidasi yang sifatnya non-fisik atas seseorang atau kelompok sipil tertentu atas dasar kepercayaan politik menjadi tidak termasuk dalam kategori tersebut, dan Jaksa harus membuktikan adanya tindakan fisik yang terjadi dan bukan hanya akibat yang ditimbulkan. Jenis kejahatan yang dikategorikan sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia berat yang dapat diperiksa atau diputus oleh pengadilan Hak Asasi Manusia adalah 98: 1. Kejahatan genosida yaitu setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara : a. membunuh anggota kelompok b. mengakibatkan
penderitaan
fisik
atau
mental
yang
berat
terhadap
anggotaanggota kelompok; 98
Wiratman, R. Herlambang Perdana, Op.Cit, hlm 74
Universitas Sumatera Utara
c. menciptakan
kondisi
kehidupan
kelompok
yang
akan
mengakibatkan
kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagian; d. memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok atau; e. memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain. 2. Kejahatan terhadap kemanusiaan yaitu salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan itu ditujukan secara langsung kepada penduduk sipil yang berupa : a. Pembunuhan, dengan rumusan delik sebagaimana pasal 340 KUHP. b. Pemusnahan, yaitu meliputi perbuatan yang menimbulkan penderitaan yang dilakukan dengan sengaja, antara lain berupa perbuatan menghambat pemasokan barang makanan dan obat-obatan yang dapat menimbulkan pemusnahan pada sebagian penduduk. c. Perbudakan, dalam ketentuan ini termasuk perdagangan manusia, khususnya perdagangan wanita dan anak-anak. d. Pengusiran dan pemindahan penduduk secara paksa, yaitu pemindahan orangorang secara paksa dengan cara pengusiran atau tindakan pemaksaan yang lain dari daerah dimana mereka bertempat tinggal secar sah, tanpa disadari alasan yang diijinkan oleh hukum international. e. Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional. f. Penyiksaan, yaitu sengaja melawan hukum menimbulkan kesakitan atau penderitaan yang berat baik fisik maupun mental, terhadap seorang tahanan atau seorag yang berada dibawah pengawasan.
Universitas Sumatera Utara
g. Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara. h. Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional. i.
Penghilangan orang secara paksa, yaitu penangkapan, penahanan, atau penculikan seseorang oleh atau dengan kuasa, dukungan atau persetujuan dari negara atau kebijakan organisasi, diikuti oleh penolakan untuk mengakui perampasan kemerdekaan tersebut, dengan maksud untuk melepaskan dari perlindungan hukum dalam jangka waktu yang panjang.
j.
Kejahatan apartheid, yaitu perbuatan tidak manusiawi dengan sifat yang sama dengan sifat-sifat yang disebutkan dalam pasal 8 yang dilakukan dalam konteks suatu rezim kelembagaan berupa penindasan dan dominasi oleh suatu kelompok rasial atas suatu kelompok atau kelompok-kelompok ras lain dan dilakukan dengan maksud untuk mempertahankan regim itu. UU No. 26 Tahun 2000 mengatur Kekhususan pengadilan Hak Asasi Manusia
diluar ketentuan KUHAP untuk pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat. Kekhususan dalam penanganan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat dalam UU No. 26 Tahun 2000 adalah : 1) Diperlukan penyelidik dengan membentuk tim ad hoc, penyidik ad hoc, penuntut ad hoc, dan hakim ad hoc.
Universitas Sumatera Utara
2) Diperlukan penegasan bahwa penyelidik hanya dilakukan oleh komisi nasional hak asasi manusia sedangkan penyidik tidak berwenang menerima laporan atau pengaduan sebagai mana diatur dalam KUHAP. 3) Diperlukan ketentuan mengenai tenggang waktu tertentu untuk melakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan dipengadilan. 4) Diperlukan ketentuan mengenai perlindungan korban dan saksi. 5) Diperlukan ketentuan mengenai tidak ada kedaluarsa pelanggaran ham yang berat.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV KEJAHATAN KEMANUSIAAN TERHADAP TAWANAN PERANG DALAM PERSFEKTIF HAK ASASI MANUSIA
A. Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Sebagai Kejahatan Internasional Sebagaimana yang telah diketahui bersama, bahwa yuridiksi pengadilan kejahatan internasional terdiri dari 4 jenis , yaitu : 1. Genocide 2. Kejahatan terhadap kemanusiaan 3. Kejahatan perang 4. Kejahatan agresi Namun belum ada penuntutan untuk “agresi” sampai ada kesepakatan tentang defenisinya. Empat kategori kejahatan ini didefenisikan sebagai “kejahatan paling serius yang mengancam masyarakat internasional secara keseluruhan”. Diharapkan pengujian dari “keseriusan’ tersebut akan dipakai untuk memutuskan penuntutan dalam kasus-kasus aktual yang mungkin bukan merupakan contoh serius dari kejahatan yang dipertanyakan. Bagaimanapun pengadilan tidak akan dapat mencapai tujuannya apabila targetnya terbatas para prajurit seperti Dusko Tadic, yang kejahatannya (walaupun kejam) adalah kecil jika dibandingkan dengan orang-orang yang menghasut atau melakukan kejahatan seperti yang didefenisikan dalam Statuta Roma. Kejahatankejahatan dalam yuridiksi International Criminal Court (ICC) tersebut saling tumpang tindih. Misalnya, genocide yang sebenarnya juga merupakan kejahaan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. Kemudian dalam kejahatan perang ada tindakan-tindakan pada waktu damai di klasifikasikan oleh Pengadilan Tingkat
Universitas Sumatera Utara
Banding dalam kasus Tadic, tidak ada alasan yang tepat mengapa tindakan negara dalam perang harus di nilai dengan cara berbeda dengan yang berlaku dalam konflik internal negara. 99 Perbedaan menurut hukum ini telah terlalu lama ada dalam Pengadilan Den haag, dan hal yang sama juga akan terjadi dalam pelaksanaan International Criminal Court (ICC). Sulit untuk dimengerti mengapa pengadilan ini tidak memiliki yuridiksi hanya atas kejahatan terhadap kemanusiaan, baik yang dilakukan pada masa perang, saat perang internal negara, saat terjadi pemberontakan atau kerusuhan, atau saat damai. Orang –orang yang bertanggung jawab atas pola meluas dari kekejaman yang dilakukan oleh negara (melalui politisi atau kepolisian atau militernya 100) atau oleh organisasi-organisasi militer yang berjuang untuk memperoleh atau menambah kekuasaannya, juga harus dituntut. Tuntutan terhadap mereka seharusnya tidak bergantung pada persoalan teknis karakteristik legal dari latar belakang konflik.
B Pengadilan Kejahatan Internasional Untuk Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada tanggal 17 Juli 1998, sebuah statuta untuk membentuk Mahkamah pidana Internasional (International Criminal Court/ICC) akhirnya mencapai tahap penentuan di hadapan Konferensi Diplomatik PBB di Roma. Yang berlangsung sejak 15 Juni 1998. Dengan hasil perhitungan suara dimana 120 diantaranya mendukung, 7 menentang, dan 21 abstain, para perserta menyetujui statuta yang akan membentuk sebuah pengadilan bagi tindak kejahatan paling serius yang menjadi perhatian internasional : genocide (pemusnahan etnis/suku bangsa), crime against humanity (kejahatan terhadap kemanusiaan, dan war crime (kejahatan perang). 101
99
Goeffrey Robertson QC, Op.Cit, hlm 46
100 101
http://www.pikiran-rakyat.com
Universitas Sumatera Utara
Sesuatu yang bersejarah baru saja lahir. Namun, bagi para aktivis hak asasi manusia di Amerika Serikat, kegembiraan yang hadir karena satu langkah maju bagi upaya meniadakan imputy ini, sedikit ternoda karena negara mereka bersama-sama dengan China dan Irak justru menentang disahkannya statuta ini. Statuta ini belum bisa diberlakukan sebelum 60 negara meratifikasinya, sebuah proses yang bisa memakan waktu bertahun-tahun. Bahkan , setelah mahkamah ini terbentuk, beberapa hambatanhambatan yuridiksional akan memberi efektivitasnya pada tahun-tahun awal. Walaupun demikian, Mahkamah ini paling tidak memberikan harapan untuk memutus rantai imputy bagi tindak kekejaman terhadap hak asasi manusia dan meningkatkan daya cegah terhadap kejahatan yang menakutkan itu. Menjelang akhir abad yang menjadi saksi terjadinya holocaust, ditambah dengan bayangan pembersihan etnis di Bosnia dan Rwanda yang masih segar dalam ingatan, arti penting harapan ini bagi nilai-nilai kemanusiaan sangatlah besar. Berikut ini kita lihat beberapa hal yang berkaitan dengan keberadaan dan ekstensi Mahkamah Internasional, antara lain 102 : 1. Struktur Mahkamah Mahkamah ini mreupakan pengadilan yang permanen yang berkedudukan di Hague (Pasal 3 ayat 1). Hanya menangani tindak kejahatan yang terjadi setelah diberlakukannya Statuta Roma ini (Pasal 24). Karena mahkamah ini diberlakukan atas dasar statuta multilateral, maka ia tidak menjadi bagian atau organ dari PBB meskipun kedua organisasi ini akan mempunyai hubungan yang formal (Pasal 2). Dewan Keamanan akan mempunyai peran yang penting dalam operasional mahkamah ini atas dasar kewenangannya untuk memprakasai suatu penyelidikan, sesuai dengan pasal 13 dan 16. 102
Jerry Flower, Op.Cit
Universitas Sumatera Utara
Pada awalnya, mahkamah terdiri dari 18 orang hakim yang bertugas selama 9 tahun tanpa dapat dipilih kembali. Para hakim dipilih berdasarkan 2/3 suara Majelis Negara Pihak,yang terdiri atas negara-negara yang telah meratifikasi statuta ini (Pasal 36 ayat 6 dan 9) paling tidak separuh dari para hakim tersebut memiliki kompetensi di bidang hukum pidana dan acara pidana, sementara paling tidak 5 hakim lainnya mempunyai kempetensi dibidang hukum internasional, misalnya saja hukum humaniter internasional, dan hukum Hak Asasi Manusia internasional (Pasal 36 ayat 5). Orang – orang ini haruslah memiliki pengalaman praktek yang luas dalam penuntutan atau penyidangan kasus-kasus pidana (Pasal 42 ayat 3). Jaksa akan bertindak aas penyerahan dari Negara Pihak atau Dewan Keamanan, dan dapat juga berinisiatif melakukan penyelidikan atas kehendak sendiri (propio motu). Prinsip yang mendasar bagi statuta roma ini adalah International Criminal Court (ICC) “merupakan pelengkap bagi yuridiksi pidana nasional” (Pasal 1). Ini berarti mahkamah harus mendahulukan sistem nasional, kecuali jika sistem nasional yang ada benar-benar tidak mampu (unable) dan tidak bersedia (unwilling) untuk melakukan penyelidikan atau menuntut tindak kejahatan yang terjadi, maka akan diambil ahli menjadi dibawah Yuridiksi mahkamah (Pasal 17). Meskipun mahkamah mempunyai standart sendiri untuk menilai Peradilan Nasional, statuta yang ada juga memungkinkan tertuduh atau negara yang bersangkutan untuk menentang campur tangan Mahkamah (pasal 18 dan 19). Standart untuk menentukan “ketidakbersediaan” untuk menyelidiki atau menyidangkan sangatlah tinggi. Misalnya, keputusan nasional yang diambil dengan tujuan melindungi orang yang bersangkutan dari tanggung jawab kriminal (Pasal 17 ayat 2.a). Seperti halnya menetukan ketidakmampuan memerlukan apa yang disebut sebagai “keruntuhan menyeluruh atau sebagian besar dari sistem pengadilan nasionalnya (Pasal 17 ayat 3) “.
Universitas Sumatera Utara
Prinsip komplementaritas menggaris bawahi bahwa mahkamah tidak dimaksudkan untuk menggantikan sistem peradilan yang masih berfungsi, melainkan untuk menggantikan sistem peradilan yang masih berfungsi, melainkan untuk menyediakan sebuah alternatif untuk mencegah impunity yang disebabkan karena sistem peradilan yang independen dan efektif tidak tersedia. 2. Hal-hal yang dapat ditangani oleh mahkamah Para partisipan konvensi menentukan tindak kejahatan apa saja yang dimasukkan dalam yuridiksi Mahkamah, dan bagaimana menetapkan batasanbatasannya. Mahkamah akan mempunyai yuridiksi atas tindak kejahatan genocide terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. Statuta juga menyatakan mahkamah akan mempunyai yuridiksi atas agresi, setelah mahkamah menegaskan batasan-batasan tindak kejahatan dan syarat-syarat yang harus dipenuhi ketika mahkamah menjalani yuridiksinya. Ada kesepakatan universal bahwa genocide haruslah disertakan, dengan pengertian sebagaimana yang tercantum pada Konvensi Genocide 1948. Sementara, bentuk-bentuk kejahatan lain sempat mengundang perdebatan dan sedikit kontropersi. 3. Kejahatan terhadap kemanusiaan Hasil terpenting dalam Konferensi Roma adalah kodifikasi kejahatan terhadap kemanusiaan (pasal 7) dalam perjanjian multilateral yang pertama sejak piagam Nuremberg. Mahkamah akan memiliki yuridiksi atas kejahatan tersebut, baik yang dilakukan oleh negara maupun aktor non negara. Memang ada desakan dari beberapa negara untuk membatasi kewenangan mahkamah atas kejahatan terhadap kejahatan saat berlangsungnya konflik bersenjata. Hukum kebiasaan internasional, kenyataannya yang terjadi di masa damai. Kesepakatan akhir memutuskan bahwa mahkamah tetap memiliki kewenangan atas kejahatan terhadap kemanusiaan baik yang terjadi di masa damai maupun di tengah konflik bersenjata.
Universitas Sumatera Utara
Isu yang paling berkembang dalam debat wacana tentang kejahatan terhadap kemanusiaan ini adalah apakah yuridiksi mahkamah juga termasuk atas “serangan yang luas atau sistematik yan diarahkan pada suatu kelompok penduduk sipil”. Beberapa negara beragumen bahwa mahkamah hanya boleh mempunyai kewenangan atas serangan yang sifatnya luas dan sistematik. Sementara kelompok pembela Hak Asasi Manusia merespon bahwa hal itu bisa menimbulkan keterbatasan yang tidak perlu bagi mahkamah, yang hanya bisa menangani kasus dimana ditemukan bukti yang terjadi merupakan kebijaksanaan yang direncanakan. Mereka lebih lanjut menegaskan bahwa rangkaian aksi yan meluas yang berupa pembunuhan dan pembasmian sudah cukup untuk mendukung yuridiksi mahkamah. Kompromi yang dicapai adalah “luas atau sistematik”, namun ditegaskan dengan “serangan yang ditujukan terhadap suatu kelompok penduduk sipil” berarti serangkaian perbuatan yang mencakup pelaksanaan berganda sesuai dengan atau sebagai kelanjutan dari kebijakan Negara atau organisasi untuk melakukan serangan tersebut” (Pasal 7 ayat 2.a). Sayangnya, pernyataan bahwa serangan sebagai kelanjutan dari sebuah kebijakan secara efektif berarti bahwa tindak kejahatan tersebut haruslah sistematik. Statuta juga mesyaratkan adanya saksi individu yang berkaitan dengan serangan menimbulkan segesti bahwa pelaku individual haruslah mengerti tentang kebijakan yang bersangkuan untuk bisa dinyatakan bersalah. Persyaratan ini sebetulnya merupakan kemunduran dilihat dari standar hukum internasional yang selama ini diakui dan dipakai, dan secara signifikan membatasi yuridiksi Mahkamah atas jenis kejahatan ini. Hasil penting lain dari Konferensi Roma ini adalah pencantuman secara ekspilit bahwa kejahatan yang berupa serangan seksual sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. Beberapa tindakan yang dapat dimasukkan dalam dua kategori ini adalah : perkosaan, perbudakan seksual, prostitusi yang dipaksakan,
Universitas Sumatera Utara
kehamilan yang dipaksakan, sterilisasi yang dipaksakan, atau bentuk lain dari kekerasan seksual yang memiliki bobot yang setara (Pasal 7 ayat 1.b ) (Pasal 8 ayat 2.b.xxii ) (Pasal 8 ayat 2.e.vi ). Statuta tidak berbeda substansi dengan yang terkandung dalam hukum internasional yang ada dalam ini. Pencantuman secara detail dan ekspilit tindakan kejahatan seksual ini dalam yuridiksi Mahkamah, merupakan sebuah penguatan yang kritis bahwa perkosaan dan bentuk serangan seksual lainnya dalam situasi tertentu merupakan tindak kejahatan paling serius yang menjadi perhatian internasional.
4. Kejahatan Perang Statuta Roma memberikan kepada mahkamah yuridiksi atas kejahatan perang baik yang dilakukan dalam konflik internasional maupun internal (Pasl 8 ayat 2). Dimasukkannya konflik internal dalam yuridiksi mahkamah sangatlah vital, karena kebanyakan konflik kejahatan yang terjadi di dunia dewasa ini terjadi dalam batas-batas suatu negara. Terjadi kompromi untuk tidak mengikutsertakan sejumlah tindak kejahatan yang sebenarnya merupakan pelanggaran serius dalam konflik bersenjata intenal. Misalnya saja menimbulkan secara sengaja kelaparan penduduk sipil sebagai salah satu metode memenangkan perang. Ada beberapa upaya yang terus dilakukan dalam seminggu terakhir pembahasan oleh beberapa negara untuk membatasi lebih banyak lagi jangkauan kejahatan di dalam konflik bersenjata internal atau mengusulkan ambang yang menyulitkan mahkamah dalam menerapkan yuridiksinya. Untung saja upaya-upaya ini tidak berhasil. Ketentuan-ketentuan dalam Statuta Roma tentang kejahatan di dalam konflik bersenjata internal harus melalui berbagai argumen sekedar untuk menentukan apakah suatu kejahatan tertentu perlu diatur dalam hukum internasional. Statuta ini termasuk di dalamnya sebuah prasyarat yang menyatakan
Universitas Sumatera Utara
“Mahkamah mempunyai yuridiksi berkenaan dengan kejahatan perang pada khususnya apabila dilakukan sebagai suatu bagian dari suatu rencana atau kebijakan atau sebagai bagian dari suatu pelaksanaan secara besar-besaran dari kejahatan tersebut” (Pasal 8 ayat 1). Pernyataan ini merupakan sebuah kompromi antara mereka yang menginginkan mahkamah untuk mempunyai yuridiksi hanya ketika sebuah kejahatan perang merupakan bagian dari suatu rencana atau bagian dari suatu pelaksanaan yang luas sifatnya, dengan mereka yang menginginkan tidak adanya prasyarat sama sekali. Kata “sebagai suatu bagian” dianggap membatasi yuridiksi mahkamah, namun juga memberi jalan pada mahkamah untuk melakukan suatu tindakan jika keadaan memungkinkan, meskipun tidak ada bukti bahwa ada rencana atau ada pelaksanaan kejahatan perang berskala luas. Kekecewaan timbul ketika Statuta mencantumkan bahwa perintah atasan dapat digunakan sebagai pembelaan atas tuduhan kejahatan perang. Jika Nuremberg memang benar-benar berarti, ialah bahwa kalimat “saya cuma mengikuti perintah” tidak bisa dijadikan sebuah alasan untuk melakukan kejahatan perang. Bahkan Statuta Pengadilan bagi Yugoslavia dan Rwanda menyatakan dengan tegas bahwa perintah atasan tidak dapat membebaskan seorang individu dari tanggung jawabnya. Di bawah Statuta Roma, seorang tertuduh dapat menghindar dari tanggung jawab pidananya dengan menunjukkan bahwa ia terikat oleh kewajiban hukum untuk mematuhi perintah, yang ia tidak tahu bahwa perintah tersebut sebenarnya melanggar hukum atau perintah itu tidak nyata-nyata melawan hukum (Pasal 33). Statuta Roma ini justru menyimpang dari Piagam Nuremberg dan statuta-statuta pendirian Peradilan Hak Asasi Manusia internasional yang pernah ada, dengan membuatnya semakin sulit untuk menerapkan atau menghadirkan tanggung jawab seorang atasan secara pidana atas kejahatan yang termasuk dalam yuridiksi mahkamah (Pasal 28).
Universitas Sumatera Utara
Isu politis yang sentral yang dibahas dalam minggu terakhir Konferensi adalah bagaimana persidangan mahkamah bisa”dipicu”. Ada kesepakatan yang meluas bahwa negara pihaklah yang seharusnya dapat merujuk suatu keadaan tertentu pada mahkamah. Tapi ada juga debat yang a lot mengenai apakah Dewan Keamanan sebaiknya dapat merujuk suatu keadaan tertentu, dan apakah jaksa penuntut dapat berinisiatif melakukan suatu penyelidikan atas mosinya sendiri. 103 Salah satu yang paling kuat menentang kewenangan Dewan Keamanan ini adalah India, Yang beragumen bahwa Dewan Keamanan hendaknya tidak mempunyai peranan apapun dalam operasional mahkamah. Dalam
penjelasannya ketika memberikan suara
menantang, India menambahkan bahwa “pemberian peran kepada Dewan Keamanan yang tercantum dalam Statuta melanggar hukum internasional”. Dewan Keamanan juga mempunyai wewenang utuk menunda penyelidikan atau penuntutan sampai selama dua belas bulan dan dapat diperbaharui kembali (Pasal 16). 5. Jaksa Penuntut Umum Statuta Roma
juga
mengijinkan
jaksa penuntut
menginisiasi sebuah
penyelidikan atas mosinya sendiri (propio motu). Para pendukung pengadilan yang propio motu merupakan sumbangan yang esensial bagi penyerahan Dewan Keamanan dan Negara Pihak. Meskipun penyerahan semacam itu penting artinya, tapi tidak akan tindakan pidana intrnasional. Dewan Keamanan merupakan sebuah badan politis yang seringkali dilumpuhkan oleh hak veto para anggota tetapnya. Sementara para negara seringkali segan untuk mengajukan pengaduan jika berkaitan dengan kedaulatan negara lain, terutama jika bisa merusak hubungan diplomatik dan ekonomi, atau jika bisa mengundang pengaduan balasan. Konsekuensinya jaksa penuntut yang independen
103
Statuta Roma mengijinkan Dewan Keamanan merujuk atau meneruskan sebuah keadaan atau situasi (dimana satu atau lebih kejahatan yang tampak telah dilakukan) kepada Mahkamah saat memainkan peran sebagaimana di sebutkan pada Bab VII Piagam PBB (Pasal 13 b)
Universitas Sumatera Utara
sangat penting artinya jika kasus yang ditangani ada dalam situasi tindak kriminal yang sangat keji dimana keamanan politik untuk memprosesnya sangatlah kurang. Statuta Roma sangatlah membatasi hak propio motu jaksa penuntut. Sebelum seorang penuntut bisa memulai inisiatifnya, ia harus menyakinkan terlebih dahulu dewan hakim bahwa “ada suatu dasar yang masuk akal untuk melanjutkan dengan penyelidikan dan bahwa kasus itu tampak masuk ke dalam yuridiksi mahkamah” (Pasal 15 ayat 4). Jaksa penuntut juga harus menghormati penyelidikan yang dilakukan oleh otoritas nasional, kecuali jika dewan hakim memutuskan bahwa otoritas yang ada benar-benar tidak berniat atau tidak mampu melakukan penyelidikan atau penuntutan (Pasal 17 dan 18). Tambahan lainnya : Mahkamah dan Jaksa Penuntut harus menunda proses sampai masa 12 bulan dan bisa diperpanjang, jika Dewan Keamanan memintanya (Pasal 16). Terakhir Jaksa Penuntut dibatasi hak inisiatifnya hanya pada kasus-kasus yang terjadi dalam wilayah negara yan telah menerima yuridiksi Mahkamah, atau tindakan dilakukan oleh negara tersebut. Berbagai sistem dan prosedur bisa dikembangkan demi penanganan informasi pengaduan yang adil dan efisien. Bahkan jika sang Jaksa Penuntut memang menerima banyak sekali pengaduan, kenyataan bahwa subyek yuridiksi Mahkamah yang dibatasi bisa menyediakan “saringan” yang efektif yang akan menyaring limpahan pengaduan tersebut. Lebih lanjut, prakondisi yang dibutuhkan untuk menjalankan yuridiksi Mahkamah juga berperan sebagai mekanisme penyaring. Dan terhadap bahaya “pengambilan keputusan politik” cara paling pasti untuk menghindari hal tersebut adalah mekanisme yang ada dalam statuta : Jaksa Penuntut yang independen yang tunduk pada sudut pandang hukum, hanya menangani tindak kejahatan sebagaimana yang telah dijelaskan secara tegas dan diterima secara luas. 6. Prokondisi untuk Menerapkan Yuridiksi Mahkamah
Universitas Sumatera Utara
Dibawah Statuta Roma, Dewan Keamanan dapat merujuk sebuah situasi yang melibatkan wilayah atau bagsa dari suatu negara yang menjadi Pihak dalam Piagam PBB,
sebagaimana
Dewan
Keamanan
juga
mempunyai
otoritas
untuk
menyelenggarakan pengadilan ad hoc tanpa perlu mendapatkan persetujuan dari motu oleh Jaksa Penuntut sangatlah dibatasi dengan tegas. Jika “picu” tersebut telah menerima yuridiksi Mahkamah atau yang dilakukan oleh negara itu sendiri (Pasal 12 ayat 2). Sebuah negara dinyatakan menerima yuridiksi Mahkamah jika ia telah meratifikasi Statuta meskipun negara tersebut dapat menunda penerimaanya atas yuridiksi kejahatan perang selama tujuh tahun (Pasal 124) atau dengan cara menandatangani deklarasi ad hoc yang menyatakan menerima otoritas Mahkamah (Pasal 12 ayat 1 dan 3). Banyak atau bisa dibilang
kebanyakan negara yang
diwilayahnya banyak terjadi tindak kejahatan sebagimana yang termasuk dalam yuridiksi Mahkamah, atau yang warga negaranya cenderung bertanggung jawab atas kejahatan-kejahatan tersebut bukanlah yang termasuk pertama-tama menandatangani Statuta Roma ini. Prokondisi berkaitan dengan wilayah dan kewarganegaraan ini mengandung arti bahwa untuk beberapa tahun tampaknya Mahkamah Pidana Internasional akan menjadi Mahkamah-nya Dewan Keamanan Harapan kelompok pembela Hak Asasi Manusia dan penduduknya adalah pada akhirnya bisa tercapai sebuah kesepakatan universal, yang memungkinkan Mahkamah “melayani” generasi mendatang sebagai institusi peradilan yang independen dan efektif. Ada dukungan yang luas dalam Konferensi ini untuk mengikutsertakan negaranegara yang persetujuannya dianggap dapat memberi dasar bagi yuridiksi Mahkamah. Negara yang sedang melakukan penahanan terhadap tersangka dan negara dimana korban adalah warganya. Tekanan dari Amerika Serikat dan negara-negara kuat lainnya, sayangnya, mengalahkan inisiatif ini dan menghasilkan kesepakatan yang
Universitas Sumatera Utara
hanya sekedar mendekati. Jika mengikutsertakan kesepakatan yang hanya sekedar tersangka kejahatan dalam yuridiksi Mahkamah secara signifikan akan meluaskan jangkauan Mahkamah. Dalam Statuta yang sekarang ini, Mahkamah tidak mempunyai kuasa untuk menuntut dan memproses seorang individu yang dituduh melakukan genocide yang sedang berada dalam tahanan di sebuah negara penandatangan. Ini sekaligus juga meniadakan beberapa dasar yuridiksi yang lain. Mengikutsertakan negara dimana korban menjadi warganya, juga akan meluaskan jangkauan Mahkamah. Yang utama adalah memberi perlindungan lebih kepada tentara penjaga perdamaian yang berasal dari negara peratifikasi yang sedang melakukan misis non peratifikasi. Mahkamah akan bisa menerapkan yuridiksinya atas kejahatan perang yang menimpa pasukan penjaga perdamaian walupun terjadi di wilayah sebuah negara atau dilakukan oleh warga negara yang paling kukuh membatasi jangkauan yuridiksi Mahkamah justru mereka yang menyatakan perhatiannya pada hubungan antara Mahkamah dengan pasukan penjaga perdamaian internasional. Kelompok pembela Hak Asasi Manusia beragumen bahwa prinsip “yuridiksi universal” haruslah melekat pada Mahkamah. Yuridiksi universal adalah sebuah prinsip hukum internasional yang telah diterima secara luas yang menyatakan bahwa negara manapun dapat menuntut para pelaku genocide, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang, tanpa perlu memperdulikan batas-batas wilayah dan kewarganegaraan. Sebagai contoh praktis kemampuan Mahkmah untuk menentukan kejahatan apa saja yang masuk dalam yuridiksinya akan bisa ditingkatkan jika diberi yuridiksi universal. Tidak perlu banyak komentar kiranya, Statuta ini akhirnya dengan prokondisi yang “ketat” untuk penerapan yuridiksinya, merefleksikan kemunduran substansial dari yuridiksi universal. Ini barangkali hal yang paling mengecewakan selama Konferensi.
Universitas Sumatera Utara
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan 1. Momentum Reformasi nasional menjadi titik tolak penegakan hukum yang berwawasan gender secara lebih bersungguh-sungguh. Proses penegakan hukum yang dilakukan oleh berbagai institusi penegakan hukum telah berupaya mengimplementasikan kebijakan berwawasan gender sesuai dengan situasi dan kondisi yang terdapat di dalam lembaga itu. Hingga kini masih terdapat kekurangan dalam proses implementasi kebijakan berwawasan gender yang disebabkan keterbatasan jumlah sumber daya manusia pelaksana di dalam lembaga penegakan hukum tertentu seperti pengadilan. 2. Sebagaimana kita ketahui bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan musuh seluruh umat manusia (hostis humanis generis) dan penuntutan terhadap pelakunya merupakan kewajiban seluruh umat manusia (obligatio erga omnes). Kelemahan yang dimiliki dalam UU No. 26 Tahun 2000 yang ditujukan untuk mengadili kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat, utamanya kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan, haruslah segera diperbaiki. 3. Upaya memperbaiki kerangka normatif UU No. 26 Tahun 2000 yang kurang lengkap, berbeda dan tidak memenuhi standar hukum internasional, menjadi penting dan mendesak sebagai salah satu mendorong penegakan hukum atas kejahatan terhadap kemanusiaan di Indonesia. Secara khusus, perlu diatur lebih jelas dan tegas pasal “residual category” mengenai “other inhumane acts” sebagai salah satu jenis kejahatan terhadap kemanusiaan. Secara konseptual, hal
Universitas Sumatera Utara
ini untuk mengantisipasi jenis-jenis kejahatan yang berbeda namun memiliki karakter yang sama dengan apa yang tersebut dalam Pasal 9 UU No. 26 Tahun 2000, dapat diadili sesuai dengan standar dan dapat memberikan rasa keadilan bagi korban dan keluarganya. Artinya, bahwa kita memerlukan pasal khusus yang bisa menjangkau segala jenis kejahatan sekelas kejahatan terhadap kemanusiaan (catchall provision), sebagaimana disebut dalam pasal 7 huruf k Statuta Roma. B. Saran 1. Mahkamah Internasonal harus dapat menindak dengan tegas setiap perbuatan yang mengarah kepada kejahatan terhadap kemanusiaan, sehingga dapat terlaksananya atran-aturan tersebut dengan baik. 2. Diberikan tindakan yang tegas kepada pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan pada tawanan perang dimana serinya terjadinya tindakan penahanan dan penyiksaan yang sewenang-wenang sehingga tawanan perang mendapatkan hak-haknya dan pelakuan yang baik menurut aturan-aturan yang berlaku dalam hukum internasonal 3. Dalam menghadapi kejahatan terhadap kemanusiaan pada tawanan perang hendaknya diberi pengawasan yang ketat agar tindakan-tindakan yang sewenang-wenang
tidak
terulang
lagi
dikemudian
hari.
Juga
untuk
melaksanakannya diperlukan kerjasama dari seluruh negara-negara di dunia untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Universitas Sumatera Utara