BAB III PERLAKUAN PENYIDIK MENAHAN ANAK BERSAMA-SAMA DENGAN TAHANAN DEWASA TELAH SESUAI DENGAN UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN ANAK 3.1 Perlakuan penyidik menahan anak bersama-sama dengan tahanan Maraknya kasus hukum yang menimpa anak-anak di Indonesia, bukan berarti mereka sama seperti orang dewasa yang sudah mempunyai akal dan pengalaman. Prilaku ironi anak-anak disebabkan lebih banyak disebabkan lingkungan sosial, keluarga dan gagalnya tanggungjawab negara untuk memenuhi hak-hak mereka. Posisi anak-anak dalam instrumen HAM nasional dan internasional ditempatkan sebagai kelompok rentan yang harus diberlakukan istimewa, mempunyai hak-hak istimewa dan negara mempunyai tanggungjawab untuk menjamin pemenuhan hak-hak istimewa tersebut.14 Salah satu hak istimewa anak-anak ialah ketika bermasalah dengan hukum. Anak-anak dalam penanganan kasus hukumnya harus diberlakukan berbeda dengan orang-orang dewasa. Pada Pasal 42 UU No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan ditegaskan bahwa dalam kasus pidana anak-anak, penyidik
wajib
memeriksa
tersangka
dengan
suasana
kekeluargaan,
penyidikan terhadap anak nakal, penyidik wajib meminta pertimbangan dan saran dari pembimbing kemasyarakatan bahkan apabila perlu dapat meminta pertimbangan atau saran dari ahli pendidikan, ahli kesehatan jiwa, ahli agama atau petugas kemasyarakatan lainnya., serta masih banyak hak-hak anak lainnya.
14
Dalam instrumen internasional kelompok rentan itu meliputi, refugees, internally displaced persons (IDPS), national minorities, migrant workers, indigenous peoples, children; dan women. Sedangkan dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM Indonesia dalam penjelasannya disebutkan bahwa kelompok rentan itu meliputi orang lanjut usia, anakanak, fakir miskin, wanita hamil dan penyandang cacat.
31
Secara umum perlindungan dan hak-hak anak dijamain oleh UUD 1945 pada Pasal 28 D ayat 2 yang berbunyi “setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Ketentuan dalam UUD 1945 ini memang tidak secara langsung memerintah terkait dengan anak-anak yang bermasalah dengan hukum, tetapi secara umum menegaskan perihal hak-hak dan perlindungan anak-anak. Ketentuan dalam UUD 1945 ini kemudian dipertegas dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM, Pasal 58 ayat 1 yang berbunyi “Setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari segala bentuk kekerasan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual selama dalam pengasuhan orang tua atau walinya, atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak tersebut. Secara khusus perlindungan dan hak anak yang bermasalah dengan hukum secara material dijamin dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM. Pasal 66 ayat 1 berbunyi “Setiap anak berhak untuk tidak dijadikan sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi”. Pada ayat 2 berbunyi “hukuman mati atau hukuman seumur hidup tidak dapat dijatuhkan untuk pelaku tindak pidana yang masih anak”. Pada ayat 4 berbunyi “penangkapan, penahanan, atau pidana penjara anak hanya boleh dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir”. Pada ayat 5 berbunyi “setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan dengan memperhatikan kebutuhan pengembangan pribadi sesuai dengan usianya dan harus dipisahkan dari orang dewasa, kecuali demi kepentingannya”. Pada ayat 6 berbunyi “Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak
32
memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku”, dan pada ayat 7 yang berbunyi “setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk membela diri dan memperoleh keadilan di depan Pengadilan Anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang yang tertutup untuk umum. Perlindungan dan hak-hak anak juga ditegaskan secara spesifik dalam UU No. 3 tahun 1997 tentang Peradilan anak. Pada poin menimbang dalam Undang-Undang ini disebutkan, untuk melaksanakan pembinaan dan memberikan perlindungan terhadap anak, diperlukan dukungan baik yang menyangkut kelembagaan maupun perangkat hukum yang lebih mantap dan memadai, sehingga ketentuan mengenai penyelenggaraan pengadilan bagi anak perlu dilakukan secara khusus.15 Dalam konteks perlindungan anak, dibentuklah sidang khusus anak-anak. Anak-anak yang belum mencapai 8 tahun dan melakukan atau diduga melakukan tindak pidana maka boleh dilakukan pemeriksaan oleh Penyidik. Penyidik mempunyai kewenangan untuk merekomendasikan pembinaannya kepada pembinaan orang tua, wali atau orang tua asuhnya. Penyidik juga berwenang merekomendasikan setelah memeriksa anak bermasalah dengan hukum untuk diserahkan kepada Departemen Sosial setelah mendapatkan pertimbangan dari pembimbing kemasyarakatan.16 Penahanan terhadap anak bermasalah juga harus mempertimbangkan kepentingan anak-anak dan masyarakat. Tempat tahanan anak harus dipisahkan dari tempat tahanan orang dewasa. Selama dalam masa tahanan, kebutuhan jasmani, rohani dan sosial anak harus tetap terpenuhi. Penahanan
15
. Poin menimbang b, UU No. 3 tahun 1997. Ibid
16
33
terhadap anak paling lama 15 hari, jika dibutuhkan lagi demi kepentingan pemeriksaan, bisa dilakukan perpanjangan penahanan oleh Ketua Pengadilan Negeri paling lama 30 hari, jika dalam penambahan waktu, hakim masih belum
memutuskan
maka
anak
yang
bermasalah
tersebut
harus
dikeluarkan.17 Perlindungan dan hak-hak yang bermasalah dengan hukum juga dikemukakan dalam UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pada Pasal 1 ayat 2 dikatakan bahwa perlindungan anak merupakan segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Pada Pasal 2 dikatakan bahwa penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan UUD 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-HakAnak yang meliputi, non diskriminasi; kepentingan yang terbaik bagi anak; hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan prinsip penghargaan terhadap pendapat anak. Pasal 17 ayat 1 dan 2 juga ditegaskan bahwa setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk, pertama, mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa. Kedua, memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku. Ketiga, membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum. Keempat, setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan. 17
Ibid
34
Dalam konvensi juga ditegaskan bahwa negara harus berupaya meningkatkan pembentukan hukum, prosedur, kewenangan dan lembagalembaga yang secara khusus berlaku untuk anak-anak yang diduga, disangka, dituduh, atau dinyatakan melanggar hukum pidana, dan khususnya, pertama, menetapkan usia minimum sehingga anak-anak yang berusia di bawahnya dianggap tidak mempunyai kemampuan untuk melanggar hukum pidana. Kedua, bilamana layak dan diinginkan, melakukan langkah-langkah untuk menangani anak-anak seperti itu tanpa harus menempuh jalur hukum, dengan syarat bahwa HAM dan perangkat pengamanan hukum sepenuhnya dihormati. Perlindungan dan hak anak yang bermasalah dengan hukum juga diatur dalam Peraturan-Peraturan Minimum Standar PBB Mengenai Adiministrasi Peradilan Bagi Anak (Beijing Rules). Peraturan ini menegaskan beberapa hal, pertama, pada saat penangkapan, orang tua harus segera diberitahu tentang penangkapan,
dan
pejabat
yang
berwenang
tanpa
penundaan
mempertimbangkan isu pembebasan sehingga ada penghormatan terhadap status hukum, memajukan kesejahteraan dan menghindarkan kerugian. 18 Kedua, para penegak hukum harus mempertimbangkan penanganan anakanak yang bermasalah lewat jalur di luar pengadilan.19 Ketiga, agar dilakukan pendidikan dan pelatihan khusus bagi Polisi-Polisi yang bertugas pencegahan kejahatan remaja.
20
Keempat, penahanan sebelum pengadilan hanya akan
digunakan sebagai pilihan langkah terakhir dan diganti dengan langkahlangkah alternatif seperti pengawasan secara dekat, perawatan intensif atau
18
Peraturan-Peraturan Minimum Standar PBB Mengenai Administrasi Peradilan Bagi Anak (Beijing Rules), pada Bagian Kedua : Pengusutan dan Penuntutan. 19 Ibid 20 Ibid
35
penempatan pada sebuah keluarga atau suatu tempat atau rumah pendidikan.21 Kelima, proses peradilan harus kondusif bagi kepentingan anakanak dan dilaksanakan dalam suasana pengertian yang memungkin anakanak terlibat di dalamnya.22 Keenam, selama proses peradilan anak-anak yang bermasalah dengan hukum berhak mewakilkan seorang penasehat hukum, berhak atas bantuan hukum bebas biaya, dan orang tua atau walinya berhak untuk ikut serta dalam proses peradilan.Ketujuh, sebelum vonis dijatuhkan, latar belakang dan keadaan anak harus diselidiki secara benar. Pada tahap penahanan, terdapat dua hal yang menjadi persoalan yaitu, masa penahanan yang selalu dihabiskan dan penahanan anak yang dicampur dengan para tahanan dewasa. Masa penahanan anak di tingkat kepolisian hanya 20 hari dan bisa diperpanjang atas ijin penuntut umum selama 10 hari. Polisi selalu menyelesaikan masa tahanan anak dengan alasan penyidikan belum selesai. Tindakan ini bertentangan dengan Pasal 37 ayat b Konvensi Tentang Hak Anak. Problem lainnya ialah dicampurnya tahanan anak-anak dengan tahanan orang dewasa. Salah satunya di Yogyakarta, kantor kepolisian di wilayah DIY masih belum menyediakan tahanan khusus untuk anak-anak.23 Kelemahan mendasar UU No. 3 tahun 1997 ialah tidak adanya pengaturan tentang konvensi, padahal sistem kovensi telah diakui di tegakkan dan diatur dalam sistem hukum pidana di beberapa negara internasional seperti Belanda, Australia, Selandia Baru, berbagai negara bagian di Amerika
21 22 23
Ibid Ibid Fathuddin Muchtar, Situasi Anak yang Berkonflik dengan Hukum di Daerah Istimewa Yogyakarta hal : 8(Periode Januari 2005- April 2006)
36
Serikat dan Jepang.24 Diversi ialah kebijakan para penegak hukum untuk mengalihkan penyelesaian jalur formal hukum menjadi penyelesaian yang non formal (musyawarah) dalam kasus anak. Diversi bisa dilakukan lewat kewenangan diskresi aparat penegak hukum (kewenangan meneruskan perkara atau menghentikan).25 Diversi lewat diskresi dilakukan semata-mata untuk melindungi hak-hak anak yang selama ini mengalami stigmatisasi, kekerasan, dan berbagai pelanggaran hak anak lainnya ketika dalam proses penyelesaian mikanisme formal. Dalam konteks model penyelesaian perkara anak, Gordon Bazomore memperkenalkan tiga model peradilan anak, pertama, model pembinaan pelaku perorangan (individual treatment model). Kedua, model retributive (retributive model). Ketiga, model restorative (restorative model). Model pembinaan pelaku perorangan (individual treatment model) dan model retributive (retributive model) mempercayakan campur tangan peradilan anak dan menetapkan dengan pasti parameter-parameter kebijakan tentang peradilan anak. Model pembinaan pelaku perorangan, persidangan anak dilihat sebagai suatu agensi quasi kesejahteraan dengan mandat peradilan yang samara-samar, pembinaan dilandaskan pada cara medik terapeutik, tentang sebab-sebab timbulnya delinkuensi anak. Intervensi adalah sarana untuk mencoba meralat perilaku penyimpangan sosial lewat pemberian sanksi terhadap masalah personal seseorang dan kebutuhan pembinaan anak pelaku. Model pembinaan pelaku perorangan dirasakan kelemahannya
24 25
Peradilan Restoratif : Model Peradilan Anak Indonesia Masa mendatang, lihat di http://eprints.undip.ac.id/336/ Diversi Sebagai Upaya Penyelesaian Terhadap Anak yang Berhadapan dengang Hukum, lihat di http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17751/3/Chapter%20II.pdf, diakses pada 4 Oktober 2010, jam 08. 17
37
karena tidak terjaminnya stigmatisasi, paternalistic, mahal, tidak memadai, dan jaminan hukumnya lemah serta diragukan intensitasnya.26 Krisis terhadap model-model penyelesaian hukum formal mendorong pada
tuntutan
untuk segera
mereformasi
peradilan
anak.
Peradilan
diharapkan menerapkan model restoratif justice. Musa mengatakan, model peradilan anak restorative berangkat dari asumsi bahwa tanggapan atau reaksi terhadap perilaku delinkuensi anak, tidak akan efektif tanpa adanya kerja sama dan keterlibatan dari korban, pelaku dan masyarakat. Prinsip yang menjadi dasar model peradilan restorative ini bahwa keadilan paling baik terlayani, apabila setiap pihak menerima perhatian secara adil dan seimbang, aktif dilibatkan dalam proses peradilan dan memperoleh keuntungan secara memadai dari interaksi mereka dengan system peradilan anak.
Model restorative justice, memandang perilaku delinkuensi anak adalah perilaku yang merugikan korban dan masyarakat, sehingga penyelesaian delinkuensi terfokus pada perbaikan kerugian korban dan penyembuhan luka masyarakat. Peradilan restorative tidak bersifat penderaan (punitive), fokusnya ialah perbaikan luka yang diderita oleh korban, pengakuan tegas pelaku dan konsiliasi serta rekonsiliasi dikalangan korban, pelaku dan masyarakat. Model peradilan restoratif juga mendorong pada perbaikan kesejahteraan masyarakat melalui cara-cara menghadapkan pelaku anak pada pertanggungjawaban atas perilakunya, korban yang biasanya dihalangi ikut berperan serta dalam proses peradilan kini diberi kesempatan untuk berperan serta di dalam proses penyelesaian.
26
Ibid
38
Menurut Musa, tujuan akhir dari peradilan restorative diharapkan berkurangnya jumlah anak-anak yang ditangkap, ditahan, dan divonis penjara; menghapuskan stigma dan mengembalikan anak menjadi manusia normal sehingga diharapkan dapat berguna kelak di kemudian hari; pelaku pidana anak
dapat
menyadari
kesalahannya,
sehingga
tidak
mengulangi
perbuatannya mengurangi beban kerja polisi, jaksa, rutan, pengadilan, dan Lapas; menghemat keuangan negara dan tidak menimbulkan rasa dendam karena pelaku telah dimaafkan oleh korban. Mediator dalam restoratif justice dapat diambil dari tokoh masyarakat yang terpercaya. Syarat utamanya ialah adanya pemulihan, pengakuan dari pelaku serta adanya persetujuan dari pelaku beserta keluarganya dan korban untuk menyelesaikan perkara. Tidak ada paksaan, apabila pihak-pihak tidak menghendaki penyelesaian melalui lewat restoratif justice, maka proses peradilan baru dilaksanakan oleh para penegak hukum.27 Penganalisaan terhadap dua masalah sentral ini tidak dapat dilepaskan dari konsepsi intergral antara kebijakan kriminal dengan kebijakan sosial atau kebijakan pembangunan nasional. Ini berati pemecahan masalah-masalah diatas harus pula diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dari kebijakan sosio-politik yang telah ditetapkan. Dengan demikian kebijakan hukum pidana,. termasuk pula kebijakan dalam menangani dua masalah sentral diatas, harus pula dilakukan dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach). Sudah barang tentu pendekatan kebijakan yang integral ini tidak hanya dalam bidang hukum pidana, tetapi juga pada pembangunan hukum pada umumnya. 27
Adrianus Meliala, Penyelesaian Sengketa Alternatif : Posisi dan Potensinya di Indonesia, di http://www.docstoc.com/docs/.../penyelesaian-sengketa-alternatif-makalah, diakses pada 4 Oktober 2010, jam 09. 27
39
Penanggulangan delinkuensi anak erat kaitannya dengan kebijakan kriminal (criminal policy), hal ini melihat suatu delikuen anak baik itu merupakan pelanggaran ataupun perbuatan pidana maka kita harus melihatnya secara logis bahwa suatu kebijakan sangatlah diperlukan menimbang anak adalah aset suatu bangsa yang perlu mendapat perhatian khusus. Kebijakan kriminal sebagai usaha rasional masyarakat untuk menanggulangi kejahatan, di dalam gerak operasionalnya terarah pada dua jalur, yaitu kebijakan penal dan kebijakan non penal.28 Menurut Paulus Hadisuprapto penggunaan sarana penal atau jalur hukum pidana cenderung merugikan masa depan anak karena membekaskan stigma pada anak.29 Melalui sarana penal, seorang anak terpaksa harus berhadapan dengan proses hukum yang panjang, mulai pada proses penyidikan oleh kepolisian, proses penuntutan oleh jaksa, proses persidangan di pengadilan oleh hakim, dan mengalami proses penahanan dalam rumah tahanan. Kondisi tersebut dapat memberikan tekanan baik fisik maupun mental bagi anak yang berhadapan dengan hukum. Satjipto Rahardjo, dalam tulisannya berjudul : "Pembangunan Hukum yang diarahkan kepada tujuan Nasional", mengemukakan bahwa tidak dijumpai perbedaan antara fungsi hukum sebelum dan sesudah kemerdekaan. Perbedaannya terletak pada keputusan
politik
yang
diambil
dalam
kedua
masa
tersebut
dan
pengimplimentasiannya kedalam system hukum masing-masing. Apabila keputusan politik yang diambil setelah kemerdekaan 17 Agustus 1945 adalah mengutamakan kemakmuran rakyat yang sebesar-besamya, maka keputusan 28
29
Paulus Hadisuprapto, 2008. Delinkuensi Anak, Pemahaman dan Penanggulangannya (Selanjutnya disebut dengan Paulus II), Bayumedia Publishing, Malang hal 16. Op.cit, hal.5
40
demikian harus dirumuskan dalam kaidah-kaidah hukum dan sruktur hukumnya pun harus menyediakan kemungkinan untuk melakukan hal itu.30 Sebagaimana telah dipaparkan secara jelas dan kongkrit bahwa jalur penal telah diatur secara tegas dan jelas dalam aturan positif di Indonesia untuk masalah penanganan anak yang berhadapan dengan hukum yaitu sebagaimana telah diatur dalam Undang-undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak namun proses penanganan dalam sarana penal tersebut lebih menekankan kepada suatu proses peradilan anak yang dapat menimbulkan suatu stigmatisasi dan labeling kepada anak yang berhadapan dengan hukum. Dalam konteks di Indonesia, dengan degradasi moral anak, mekanisme tersebut dapat diterapkan guna menghilangkan stigmatisasi dan labeling yang diproduksi oleh sistem peradilan anak. Anak yang tersesat dalam dunia hitam harus dikembalikan atau direhabilitasi melalui kebijakan Non Penal (tindak mempidana) khususnya melalui diversi yang bermuara pada restorative justice. Kebijakan ini sesuai dengan pemikiran-pemikiran Marc Ancel sendiri yang pernah mengungkapkan bahwa apabila terjadi suatu kejahatan dalam suatu wilayah, maka yang sakit bukan hanya pelaku tetapi juga masyarakat, Ancel yang berpandangan reformis dan moderat lebih sempurna menganalisis bahwa kegagalan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan termasuk kenakalan
remaja,
karena
hukum
pidana
seharusnya
bertitik
tolak
“perlindungan sosial dan masyarakat tergantung pada perumusan yang tepat mengenai hukum pidana, karena itu sistem hukum pidana, tindak pidana, penilaian hakim terhadap pelaku serta pidana merupakan institusi yang harus
30
Masalah-masalah Hukum , No.5-6 Thn. XII/1982, FH. UNDIP, hal. 2
41
tetap dipertahankan, namun tidak digunakan dengan fiksi-fiksi dan teknikteknik yuridis yang terlepas dari kenyataan sosial.31 Maka dalam proses penangan anak yang bermasalah dengan hukum khususnya sarana non-penal (aturan diversi) haruslah terlebih dahulu dirumuskan secara limitatif dalam hukum positif Indonesia dimana dalam hal ini yaitu Undang-undang Pengadilan Anak, hal ini tidak terlepas dari asas legalitas yang dianut hukum pidana khususnya Indonesia yang bersistem hukum Civil Law. maka sangatlah penting adanya suatu aturan yang telah disahkan oleh badan yang berwenang atau dilakukannya penormaan dari konvensi internasional tentang anak yang telah ada sebelumnya sehingga para aparat penegak hukum yang menangani proses penangan anak yang bermasalah dengan hukum memiliki pegangan didalam praktek sistem peradilan anak tersebut. Patut dicatat pula bahwa penormaan tersebut haruslah selaras dengan nilai filosofi dan sosial dari masyarakat Indonesia, dimana
Pemikiran
harmonisasi
bermula
dari
Rudolf
Stamler
yang
mengemukakan bahwa konsep dan prinsip-prinsip hukum yang adil mencakup “harmonisasi” antara maksud, tujuan dan kepentingan individu dengan maksud, tujuan dan kepentingan masyarakat umum. Dengan kata lain, hukum akan tercipta baik apabila terdapat keselarasan antara maksud, tujuan dan kepentingan penguasa (pemerintah) dengan masyarakat.32
31
32
SR. SIanturi dan Mompang Panggabean, 1996, Hukum Penitensia di Indonesia, AHM dan PTHM, Jakarta, hal. 20 Hukum online, Serial Online September 30, 2010, availaible from : URL: http://www.legalitas.org
42