BAB II PENJATUHAN SANKSI TERHADAP ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM KAITANNYA DENGAN TUJUAN PEMIDANAAN DAN PRINSIP PERLINDUNGAN ANAK
A. Hak-Hak Anak Yang Harus Dilindungi Hak adalah segala sesuatu yang harus didapatkan oleh setiap orang yang telah ada sejak lahir bahkan sebelum lahir, sedangkan hak anak adalah bagian dari hak azasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara. Hak anak tersebut mencakup nondiskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, hak kelangsungan hidup, perkembangan dan penghargaan terhadap pendapat anak. Hak-hak anak adalah merupakan alat untuk melindungi anak dari kekerasan dan penyalahgunaan. Hak anak dapat menciptakan saling menghargai pada setiap manusia. Penghargaan terhadap hak anak hanya bisa dicapai apabila semua orang, termasuk anak-anak sendiri, mengakui bahwa setiap orang memiliki hak yang sama, dan kemudian menerapkannya dalam sikap dan perilaku yang menghormati, mengikutsertakan dan menerima orang lain. Dalam dunia Internasional terdapat suatu Konvensi mengenai Hak-Hak Anak (KHA), yang mana Konvensi Hak-hak Anak tersebut adalah sebuah perjanjian internasional yang mengakui hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya dari anak-anak. Perjanjian ini diadopsi oleh perserikatan bangsa bangsa pada tanggal 20 November 1989. Prinsip-prinsip dasar hak anak itu sendiri yang
33
Universitas Sumatera Utara
34
kemudian diadopsi menjadi UU Perlindungan Anak No 23 Tahun 2002 oleh pemerintah Republik Indonesia. Prinsip-prinsip tersebut adalah:
1.
Non-diskriminasi dan kesempatan yang sama Semua anak memiliki hak yang sama. Konvensi ini berlaku untuk semua anak, apapun latar belakang etnis, agama, bahasa, budaya, atau jenis kelamin.Tidak peduli dari mana mereka datang atau di mana mereka tinggal, apa pekerjaan orang tua mereka, apakah mereka cacat, atau mereka kaya atau miskin. Semua anak harus memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai potensi mereka sepenuhnya.
2.
Kepentinggan terbaik dari anak Kepentingan terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama ketika membuat keputusan yang mungkin berdampak pada anak. Ketika orang dewasa membuat keputusan mereka harus berfikir bagaimana keputusan mereka itu berdampak pada anak-anak.
3.
Hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan Anak mempunyai hak untuk hidup. Anak harus memperoleh perawatan yang diperlukan untuk menjamin
kesehatan
fisik,
mental,
dan
emosi
mereka
serta juga
perkembangan intelektual, sosial, dan kultural. 4.
Partisipasi, Anak mempunyai hak untuk mengekspresikan diri dan didengar. Mereka harus memilik kesempatan untuk menyatakan pendapat tentang keputusan yang berdampak pada mereka dan pandangan mereka harus dipertimbangkan. Berkaitan dengan ini, usia anak, tingkat kematangan, dan
Universitas Sumatera Utara
35
kepentingan mereka yang terbaik harus selalu diingat bila mempertimbangan ide atau gagasan anak 54 Negara Indonesia adalah salah satu negara yang meratifikasi konfensi Hak-hak anak dan karena itu mempunyai komitmen menurut hukum nasional untuk menghormati, melindungi, mempromosikan, dan memenuhi Hak-hak anak di Indonesia. Jauh sebelumnya pada tahun 1979, pemerintah Indonesia mengeluarkan UU Nomor 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak. Beberapa tahun kemudian, tepatnya tahun 1997 Indonesia mengeluarkan UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, kemudian seiring lahirnya era reformasi, tahun 1998 Indonesia mengeluarkan UU Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia. Setahun kemudian kita memiliki UU Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengesahan Konvensi ILO Mengenai Kerja Paksa dan UU nomor 20 Tahun 1999 tentang Pengesahan Konvensi ILO Mengenai Usia Minimum Untuk diperbolehkan Bekerja. Puncak perjuangan hak-hak anak dan perlindungannya di Indonesia mencapai saat yang paling monumental ketika Pemerintah Republik Indonesia berhasil mengintrodusir Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Undang-undang ini dianggap ideal karena secara substantif mengacu pada penggabungan antara nilai-nilai dalam KHA dengan nilai-nilai lokal.
Perbedaan 54
yang mencolok
adalah,
apabila
dalam
KHA hanya
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak.
Universitas Sumatera Utara
36
mencantumkan hak-hak anak, dalam UU No 23 Tahun 2002, selain mencantumkan hak-hak anak juga kewajiban anak sebagaimana tercantum di dalam Pasal 19 UU tersebut.
55
Dimana kewajiban anak yang dimaksud dalam
Pasal 19 UU tersebut adalah setiap anak berkewajiban untuk: a. Menghormati orang tua, wali, dan guru; b. Mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman; c. Mencintai tanah air, bangsa, dan negara; d. Menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan e. Melaksanakan etika dan akhlak yang mulia. Undang-undang No. 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak, Bab II Pasal 2 sampai dengan 9, mengatur hak-hak anak atas kesejahteraan, diperkuat dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 dalam Bab III Pasal 4 sampai Pasal 18 yang juga memberi aturan terhadap hak-hak anak, yang pada pokoknya menyatakan sebagai berikut: 1.
Hak
atas
kesejahteraan,
perawatan,
asuhan
dan
bimbingan.
Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya maupun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar. Dimaksud dengan asuhan, adalah berbagai upaya yang dilakukan kepada anak yang tidak mempunyai orang tua dan terlantar, anak terlantar dan anak yang mengalami masalah kelainan yang bersifat sementara sebagai pengganti orang tua atau
55
http://www.kpai.go.id/artikel/menguji-komitmen-negara-dalam-perlindungan-anak/, diakses pada tanngal 16 April 2016, pukul 16.50
Universitas Sumatera Utara
37
keluarga agar dapat tumbuh dan berkembang dengan wajar, baik secara rohani, jasmani maupun sosial. 2.
Hak atas pelayanan Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian bangsa untuk menjadi warga negara yang baik dan berguna. (Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No. 4 Tahun 1979).
3.
Hak atas pemeliharaan dan perlindungan Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan (Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang No. 4 Tahun 1979).
4.
Hak atas perlindungan lingkungan hidup. Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar (Pasal 2 ayat (4) UndangUndang No.4 Tahun 1979).
5.
Hak mendapat pertolongan pertama. Dalam keadaan yang membahayakan, anaklah yang pertama-tama berhak mendapat pertolongan dan bantuan dan perlindungan (Pasal 3 Undang-undang No. 4 Tahun 1979).
6.
Hak memperoleh asuhan. Anak yang tidak mempunyai orang tua berhak memperoleh asuhan oleh negara, atau orang, atau badan lain (Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang No.4 Tahun 1979). Dengan demikian anak yang tidak mempunyai orang tua itu dapat tumbuh dan berkembang secara wajar baik jasmani, rohani maupun sosial.
7.
Hak memperoleh bantuan. Anak yang tidak mampu berhak memperoleh bantuan, agar dalam lingkungan keluarganya dapat tumbuh dan berkembang
Universitas Sumatera Utara
38
dengan wajar (Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 4 Tahun 1979). Menurut PP No. 2 Tahun 1988, bantuan itu bersifat tidak tetap dan diberikan dalam jangka waktu tertentu kepada anak yang tidak mampu (Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 ). 56 Substansi Hak-hak anak yang terdapat dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada umumnya adalah sebagai berikut:
1.
Hak-hak anak, Anak berhak atas : a. Kelangsungan hidup b. Tumbuh kembang c. Perlindungan d. Berpartisipasi
2.
Hak-hak tersebut terbagi secara rinci meliputi : a. Hak sipil dan kebebasan b. Hak perawatan c. Pengasuhan dan pemanfaatan waktu luang d. Hak Kesehatan dan kesejahteraan e. Hak Pendidikan dan kebudayaan 57
56
http://setanon.blogspot.co.id/2010/03/diktat-hukum-perlindungan-anak.html,diakses pada tanggal 16 April 2016, pukul 16.50 wib. 57 http://www.kpai.go.id/artikel/menguji-komitmen-negara-dalam-perlindungan-anak/, diakses pada tanngal 16 April 2016, pukul 16.50
Universitas Sumatera Utara
39
Pada tahun 2012 Pemerintah Republik Indonesia telah melakukan perubahan atas Undang-Undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (PA) dengan Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sitem Peradilan pidana Anak. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Pengadilan Anak ini memberikan perlindungan terhadap hak-hak anak. Hak-hak anak yang dilindungi dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak tercantum dalam Pasal 3 dan 4, yaitu: 1.
Pasal 3 UU SPPA, setiap anak dalam proses peradilan pidana berhak: a. Diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya; b. Dipisahkan dari orang dewasa; c. Memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif; d. Melakukan kegiatan rekreasional; e. Bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya; f. Tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup; g. Tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat; h. Memperoleh keadilan di muka pengadilan anak yang objektif, tidak memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum; i. Tidak dipublikasikan identitasnya; j. Memperoleh pendampingan orang tua/Wali dan orang yang dipercaya oleh anak; k. Memperoleh advokasi sosial; l. Memperoleh kehidupan pribadi; m. Memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak cacat; n. Memperoleh pendidikan; o. Memperoleh pelayananan kesehatan; dan p. Memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
2.
Pasal 4 UU SPPA, menyatakan bahwa anak yang sedang menjalani masa pidana berhak atas: a. Remisi atau pengurangan masa pidana; b. Asimilasi; c. Cuti mengunjungi keluarga; d. Pembebasan bersyarat; e. Cuti menjelang bebas;
Universitas Sumatera Utara
40
f. Cuti bersyarat; g. Hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Hak-hak tersebut diberikan kepada anak dengan tujuan agar adanya jaminan terhadap keberlangsungan masa depan anak yang berkonflik dengan hukum. Baik terhadap anak yang menjadi korban tindak pidana maupun anak yang melakukan perbuatan tindak pidana. B. Instrumen Hukum Nasional Dan Internasional Tentang Perlindungan Anak 1. Instrumen Hukum Nasional Tentang Perlindungan Anak Komitmen Negara terhadap perlindungan anak sesungguhnya telah ada sejak berdirinya Negara ini. Hal tersebut dapat dilihat dalam konstitusi dasar Negara Republik Indonesia. Pada pembukaan UUD NRI 1945 disebutkan bahwa tujuan didirikannya Negara ini antara lain untuk memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Secaara implisit, kata kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa didominasi konotasi anak karena mencerdaskan
kehidupan
bangsa,
khususnya,
dilakikan
melalui
proses
pendidikan, dimana ruang-ruang belajar pada umumnya berisi anak-anak dari segala usia. Anak secara eksplisit disebut dalam Pasal 34 pada bagian Batang Tubuh yang berbuyi “ fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh Negara”. 58 Negara dalam menjamin perlindungan hak terhadap anak, dalam pelaksanaanya mengeluarkan beberapa peraturan perundang-undangan, oleh
58
Hadi Supeno, Op.cit, Hlm. 42
Universitas Sumatera Utara
41
karena itu, di bawah ini akan diuraikan beberapa instrument hukum nasional tentang perlindungan anak. a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Induk peraturan hukum pidana positif di Indonesia adalah Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) yang merupakan turunan dari Wetboek van Strafrecht (Wvs) Belanda, namun pemerintah colonial saat itu menerapkan asas konkordansi (persamaan/penyesuaian) bagi pemberlakuan WvS di negara jajahannya, termasuk di Indonesia. Beberapa pasal dihapuskan dan disesuaikan dengan kondisi dan misi kolonialisme Belanda atas wilayah Indonesia. 59 Tahun 1958 dikeluarkanlah Undang-undang Nomor 73 Tahun 1958 yang memberlakukan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 bagi seluruh wilayah Republik Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terdiri atas 3 (tiga) buku yang berjumlah 569 pasal. Buku kesatu mengenai Ketentuan Umum, buku kedua mengenai Kejahatan dan buku ketiga mengenai Pelanggaran. Seluruh pasal yang terdapat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tersebut, hanya terdapat 3 (tiga) pasal didalamnya yang terkait dan mengatur tentang perlindungan anak yang berkonflik dengan hukum, yang memberikan pengaturan mengenai perlindungan anak sebagai pelaku tindak pidana dalam bentuk pertanggungjawaban pemidanaan pelaku anak, yaitu:
59
Abdoel Djamali, 2005, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, hlm.22
Universitas Sumatera Utara
42
Pasal 45 KUHP Dalam hal penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa karena melakukan suatu perbuatan sebelum umur 16 (enam belas) tahun, hakim dapat menentukan; memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada orang tuanya, walinya, atau pemeliharanya, tanpa pidana apapun; atau memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah tanpa pidana apapun, jika perbuatan merupakan kejahatan atau salah satu pelanggaran berdasarkan pasal-pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503-505, 514, 517-519, 526, 531, 532, 536, dan 540 serta belum lewat dua tahun sejak dinyatakan bersalah karena melakukan kejahatan atau salah satu pelanggaran tersebut diatas, dan putusannya telah menjadi tetap; atau menjatuhkan pidana kepada yang bersalah. Pasal 46 KUHP (1). Jika hakim memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah, maka ia dimasukkan dalam rumah pendidikan Negara supaya menerima pendidikan dari pemerintah atau di kemudian hari dengan cara lain, atau diserahkan kepada seorang tertentu yang bertempat tinggal di Indonesia atau kepada sesuatu badan hukum, yayasan, atau lembaga amal yang berkedudukan di Indonesia untuk menyelenggarakan pendidikannya, atau di kemudian hari, atas tanggungan pemerintah, dengan cara lain: dalam kedua hal di atas, paling lama sampai orang yang bersalah itu mencapai umur 18 (delapan belas) tahun. (2). Aturan untuk melaksanakan Ayat 1 pasal ini ditetapkan dengan undang-undang. Pasal 47 KUHP (1). Jika Hakim menjatuhkan pidana, maka maksimum pidana pokok terhadap pidananya dikurangi 1/3 (satu pertiga). (2). Jika perbuatan itu merupakan kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka dijatuhkan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun. (3). Pidana tambahan dalam Pasal 10 butir b, nomor 1 dan 3, tidak dapat diterapkan. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak mengatur batas usia seseorang dapat dikategorikan sebagai anak dan juga batas usia minimum seorang anak dapat dihukum akibat perbuatan pidana yang dilakukannya. Namun dalam Pasal 45 KUHP tersebut dapat dilihat dengan jelas bahwa yang dikatakan orang
Universitas Sumatera Utara
43
yang belum dewasa dan dapat dihukum adalah seseorang yang berusia belum 16 (enam belas) tahun. Namun batas usia anak sebagai korban kejahatan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Pidana (KUHP) adalah seseorang yang belum berusia 15 (lima belas) tahun. Anak yang belum berusia 16 (enam belas) tahun, baik yang belum menikah maupun yang sudah menikah, apabila terbukti melakukan suatu tindak pidana, baik berupa keahatan maupun pelanggaran, maka Hakim yang mengadili perkara tersebut diberikan 3 (tiga) alternatif dalam memutuskan suatu perkara, yaitu: a. Mengembalikan anak kepada orangtua, wali, atau pemeliharanya tanpa dikenakan pidana apapun. b. Menyerahkan anak kepada pemerintah tanpa pidana apapun jika melakukan tindak pidana tertentu c. Menjatuhkan pidana kepada anak Pasal 45, 46, dan 47 KUHP memberikan kewenangan kepada Hakim untuk menimbang tentang kecakapan rohani Anak sebelum memberikan hukuman yang pantas sesuai dengan jiwa Anak tersebut. Apabila Hakim menganggap anak memiliki akal dan telah mampu membedakan mana perbuatan yang baik dan mana perbuatan yang buruk, maka Hakim dapat menjatuhkan hukuman pidana kepada anak yang telah bersalah melakukan kejahatan atau pelanggaran. Pidana yang dapat diberikan oleh Hakim kepada anak tidak boleh lebih dari 2/3 (dua pertiga) dari maksimum hukuman yang diancamkan.
Universitas Sumatera Utara
44
Ketentuan yang terdapat pada Pasal 45,46 dan 47 KUHP tersebut sudah dinyatakan tidak berlaku lagi saat ini, karena ketentuan Pasal 45,46 dan 47 KUHP tersebut telah dicabut sejak dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak. Anak yang melakukan tindak pidana juga dapat dijatuhkan pidana pokok oleh Hakim. Pidana pokok yang diberikan kepada anak terdapat pada Pasal 10 KUHP kecuali butir nomor 1 dan 3 sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 47 ayat (3) KUHP. Sanksi pidana yang terdapat pada Pasal 10 KUHP tersebut yaitu: a. Pidana Pokok: 1. Pidana mati. 2. Pidana penjara. 3. Pidana kurungan. 4. Pidana denda. 5. Pidana tutupan. b. Pidana Tambahan: 1. Perampasan barang-barang tertentu. Pidana pokok diatas yang diberikan kepada anak harus dikurangi 1/3 (satu pertiga) dari maksimum ancaman pidana pokok yang diberikan kepada orang dewasa. Dari beberapa pasal tersebut dapat dilihat bahwa KUHP sudah memberikan perlindungan terhadap hak anak, dengan memberikan perbedaan terhadap sanksi yang diberikan kepada anak yang melakukan perbuatan tindak pidana. b. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Undang-undang ketenagakerjaan melarang pengusaha mempekerjakan anak, tentu hal tersebut sesuai dengan kodrat yang dimiliki anak, sebagaimana
Universitas Sumatera Utara
45
anak harus dilindungi dan di jauhkan dari eksploitasi yang menyebabkan si anak tidak bisa menikmati ataupun menerima hak-haknya. Pasal 68 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pengusaha dilarang mempekerjakan anak, kecuali bagi anak yang berumur antara 13 (tiga belas) tahun sampai 15 (lima belas) tahun untuk: 1. Melakukan
pekerjaan
ringan
sepanjang
tidak
mengganggu
perkembangan dan kesehatan fisik, mental dan sosial. Ketentuan dalam pasal ini dimaksud untuk melindungi anak agar pengembangan bakat dan minat anak yang pada umumnya muncul pada usia ini tidak terhambat. 60 2. Untuk
mengembangkan
memperkerjakan
bakat
dan
minat.
Pengusaha
yang
anak untuk mengembangkan bakat dan minatnya
wajib memenuhi syarat “ a.
Dibawah pengawasan/izin tertulis langsung orang tua/wali.
b.
Waktu kerja paling lama 3 (tiga) jam sehari.
c.
Pekerjaan yang dilakukan sang anak dalam siang hari dan tidak menghambat waktu sekolah.
d.
Kondisi dan lingkungan kerja tidak menggangu perkembangan fisik, mental, sosial, dan waktu sekolah.
e.
Serta pengusaha tempat anak bekerja dapat menjamin keselamatan pekerja anak dan juga kesehatan pekerja anak.
60
Pasal 69 ayat 1 UU No.13 Tahun 2003
Universitas Sumatera Utara
46
f.
Pengusaha tersebut juga memberikan hubungan kerja yang jelas bagi sang anak.
g.
Anak yang dipekerjakan oleh pengusaha mendapat upah yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 61
3. Bagi anak yang bekerja pada usaha keluarga, maka persyaratanpersyaratan yang ditentukan pada huruf a, b, f, dan g diatas tidak berlaku. 62 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juga memberikan perlindungan terhadap hak anak yang dipekerjakan, dimana siapapun dilarang mempekerjakan dan melibatkan anak pada pekerjaan-pekerjaan terburuk yang meliputi: a. Segala pekerjaan dalam bentuk perbudakan atau sejenisnya. b. Segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau menawarkan anak untuk pelacuran, produksi pornografi, pertunjukan porno atau perjudian. c. Segala pekerjaan yang memanfaatkan menyediakan atau melibatkan anak untuk produksi dan perdagangan miniman keras, narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya. d. Semua pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak. 63
61
Pasal 69 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 62 Pasal 69 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan 63 Pasal 74 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Universitas Sumatera Utara
47
Dari uraian yang terdapat pada Pasal13 sampai Pasal 15 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dapat dilihat bahwa UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sangat memperhatikan kelangsungan pertumbuhan dan memberikan perlindungan terhadap hak-hak yang dimiliki anak, sehingga Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tersebut memberikan batasan yang cukup ketat kepada para pemilik usaha atas pemberdayaan anak sebagai tenaga kerja. c. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak Pada Pasal 2 Undang-Undang Nomor 4 Thun 1979 tentang Kesejahteraan Anak menyatakan: a. Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasihsayang baik berdasarkan kasih saying keluarganya maupun didalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar. b. Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya, sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian bangsa untuk menjadi warga Negara yang baik dan berguna. c. Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan. d. Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar. Dari Pasal 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak tersebut diketahui bahwa Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tenntang Kesejahteraan Anak merumuskan hak-hak anak yang harus dilindungi, diantaranya:
Universitas Sumatera Utara
48
a. Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan, dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya maupun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar. b. Anak berhak atas pelayanan untuk megembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya yang baik dan berguna. c. Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan terhadap lingkungan kehidupannya
yang
dapat
membahayakan
atau
menghambat
pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar. d. Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan. Selanjutnya ketentuan Pasal 6 menyebutkan: a. Anak yang mengalami masalah kelakuan diberi pelayanan dan asuhan yang bertujuan menolongnya guna mengatasi hambatan yang terjadi dalam masa pertumbuhan dan perkembangannya. b. Pelayanan dan asuhan, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), juga diberikan kepada anak yang telah dinyatakan bersalah melakukan pelanggaran hukum berdasarkan keputusan hakim. Pasal 8 mengatur bahwa “Bantuan dan pelayanan yang bertujuan mewujudkan kesejahteraan anak menjadi hak setiap anak tanpa membedabedakan jenis kelamin, agama, pendirian politik, dan kedudukan sosial”. Keseluruhan hak anak tesebut efektivitas pelaksanaanya akan terwujud jika dipenuhinya syarat-syarat dibawah ini: 64 a. Adanya tatanan ekonomi sosial yang mampu mendistribusikan kemampuan ekonomi keseluruh lapisan masyarakat. 64
Abdul Hakim G. Nusantara, 1986, Prospek Perlindungan Anak, Jakarta, Rajawali,
hlm.23
Universitas Sumatera Utara
49
b. Adanya iklim budaya yang memberikan suasana kemerdekaan dan kebebasan bagi perkembangan si anak. c. Adanya semangat kebersamaan yang terwujud dalam bentuk ikatan solidaritas sosial yang kuat antara anggota-anggota masyarakat. d. Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Anak Ketika Konvensi Hak Anak dideklarasikan, Indonesia termasuk Negara yang ikut aktif membahas dan menyetujuinya. Tidak sampai satu tahun sejak ditetapkannya Konvensi Hak Anak, pemerintah Indonesia meratifikasi melalui Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 36 tanggal 25 Agustus 1990. Meratifikasi, berarti Negara secara hukum internasional terikat untuk melaksanakan isi ratifikasi tersebut,
yang tercermin dalam regulasi
yang disusun serta
implementasinya. Oleh karena itu, sejak tahun 1990 Indonesia terikat secara hukum untuk melaksanakan ketentuan yang termaktub dalam Konvensi Hak Anak. 65 Ketentuan Kepres ini mengintrodusir kaidah hukum yang terdapat dalam Konvensi Hak Anak kedalam hukum nasional. Sebagai Negara peserta yang terkait secara hukum (legally binding) dengan Konvensi Perserikatan BangsaBangsa
tentang
Hak
Anak,
maka
Indonesia
bekewajiban
memastikan
implementasi perlindungan anak tersebut. Menurut ketentuan hukum nasional di Indonesia, proses ratifikasi dapat dilakukan dengan dua kemungkinan, yakni dengan atau dalam bentuk undang-undang, atau hanya melalui keputusan presiden. 65
Muhammad Joni, Dkk, 2009, Tim Litigasi Untuk Penghapusan Kriminalisasi Anak, KPAI, Hlm. 33
Universitas Sumatera Utara
50
Konvensi Hak Anak ini memadukan hak-hak ekonomi sosial, politik dan sipil kedalam satu instrument, dengan demikian mengakui bahwa setiap kumpulan hak adalah integral dengan kesejahteraan anak. Tidak ada hirarki hak-hak, sehingga para perencana dan pelaksana pembangunan ditantang untuk menciptakan prioritas-prioritas berdasarkan kebutuhan dan peluang-peluang setempat.
Dengan
meratifikasi
Konvensi
Hak
Anak,
Indonesia
wajib
melaksanakan suatu kontrak sosial baru antara anak-anak dan wanita, serta dengan semua struktur dalam masyarakat yang memberikan tanggung jawab bagi kesejahteraan mereka. Pemenuhan hak-hak anak dan wanita merupakan tanggung jawab bersama bukan hanya tanggung jawab pemerintah saja. e. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Penggolongan hak-hak anak yang dikembangkan Konvensi PBB tentang Hak Anak, kelompok anak berkonflik dengan hukum merupakan bentuk anak yang membutuhkan perlindungan khusus. Sebagai negara peserta KHA, Indonesia diwajibkan membangun sistem peradilan pidana anak yang secara prosedural berbeda dengan peradilan pidana orang dewasa yang dimaksudkan antara lain guna menghindari pelaksanaan proses peradilan anak yang melanggar hak-haknya termasuk penyidikan kepolisian . Hakim, penyidik dan penuntut umum yang menangani perkara anak harus mempunyai perhatian, dedikasi dan memahami masalah anak. Penyidik wajib memeriksa tersangka anak dalam suasana kekeluargaan dan wajib meminta pertimbangan atau saran dari pembimbing kemasyarakatan. Proses penyidikan perkara terhadap anak yang berkonflik dengan hukum wajib dirahasiakan.
Universitas Sumatera Utara
51
Penahanan dilakukan setelah dengan sungguh-sungguh mempertimbangkan kepentingan anak dan atau kepentingan masyarakat. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak ini meskipun masih mengacu pada ketentuan yang ada di kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang minim akan perlindungan terhadap anak khususnya anak pelaku tindak pidana, namun terdapat beberapa ketentuan yang mengandung perlindungan tehadap anak pelaku tindak pidana dalam undang-undang ini, antara lain: a. Penyidik melakukan pemeriksaan terhadap anak yang belum berusia 8 (delapan) tahun, dan terhadap anak tersebut dapat dilakukan diskresi. Ketentuan tersirat dalam Pasal 5 b. Ketentuan penyidik, penuntut umum, dan hakim dalam perkara anak adalah aparat penegak hukum khusus menangani perkara anak c. Sidang anak dilakukan dengan tertutup, segala data pribadi anak harus dirahasiakan d. Hakim, penuntut umum, penyidik, serta petugas lain dalam sidang anak tidak memakai toga, dengan hakim tunggal e. Penahanan anak dilakukan terpisah dari orang dewasa f. Pidana mati dan pidana seumur hidup tidak dapat diberlakukan terhadap anak diganti dengan pidana penjara maksimal 10 (sepuluh) tahun g. Penjatuhan pidana terhadap anak nakal dikurangi 1/2 (satu perdua) dari pidana maksimum dewasa
Universitas Sumatera Utara
52
Ketentuan dalam Pasal 51 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak menyebutkan: (1). Setiap anak nakal sejak saat ditangkap atau ditahan berhak mendapatkan bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang ini. (2). Pejjabat yang melakukan penangkapan atau penahanan wajib memberitahukan kepada tersangka dan orang tua, wali, atau orang tua asuh, mengenai hak memperoleh bantuan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). (3). Setiap anak nakal yang ditangkap atau ditahan berhak berhubungan langsung dengan penasihat hukum dengan diawasi tanpa didengar oleh pejabat yang berwenang. Untuk mencapai tujuan Negara agar dapat mewujudkan pengadilan anak yang diharapkan akan melindungi dan mengayomi anak yang berhadapan dengan hukum agar anak tersebut dapat menjalankan kehidupannya seperti layaknya kehidupan anak yang penuh dengan pembelajaran dan kegembiraan serta memberi kesempatan kepada anak agar melalui pembinaan akan diperoleh jati dirinya untuk menjadi manusia yang mandiri bertanggungjawab dan berguna bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara, maka pada Tahun 2012, pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang merupakan pengganti UndangUndang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, dengan demikian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dinyatakan dicabut dan sudah tidak berlaku lagi.
Universitas Sumatera Utara
53
f. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak merupakan perubahan dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dasar pembentukan undang-undang ini adalah dalam rangka memberikan perlindungan hukum terhadap anak. Bahwa anak merupakan sebagai tunas, potensi dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa memiliki peran strategis, ciri dan sifat khusus sehingga wajib dilindungi dari segala bentuk perlakuan tidak manusiawi yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia. Lahirnya Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak merupakan salah satu bentuk keseriusan pemerintah meratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA) tahun 1990. Rancangan Undang-Undang Perlindungan Hak Anak ini telah diusulkan sejak tahun 1998. Namun ketika itu, kondisi perpolitikan dalam negeri belum stabil sehingga RUU Perlindungan Anak baru dapat dibahas pemerintah dan DPR sekitar pertengahan tahun 2001. 66 Perlindungan anak dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ini terlihat dengan diaturnya hak-hak anak mengenai: a. Setiap anak berhak mendapatkan perlindungan dari penganiayaan, penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi b. Setiap anak berhak memperoleh kebebasan sesuai hukum
66
http://bppmmahkamah.blogspot.co.id/2009/07/anak-dan-instrumen-perlindunganhukum.html, diakses pada tanggal 20 April 2016, pukul 14.50 wib.
Universitas Sumatera Utara
54
c. Penangkapan, penahanan atau tindakan pidana penara terhadap anak hanya boleh dilakukan apabila tidak ada upaya terakhir lagi dan harus sesuai dengan hukum yang berlaku d. Anak yang terpaksa harus dipidana penjara tetap berhak untuk mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan harus dipisahkan dari oraang dewasa e. Anak yang terlibat tindak pidana berhak mendapat bantuan hukum untuk setiap taapan upaya hukum yang berlaku f. Negara
dan
pemerintah
berkewajiban
dan
bertanggungjawab
menghormati dan menjamin hak asasi anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak, kondisi fisik dan atau mental g. Negara
dan
memberikan
pemerintah dukungan
berkewajiban
dan
prasarana
dan dalam
bertanggungjawab penyelenggaraan
perlindungan anak dan menjamin perlindungan, pemeliharaan dan kesejahteraan anak dan negara juga menadi pengawas dalam penyelenggaraan perlindungan anak. h. Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum merupakan
kewajiban
dan
tanggung
jawab
pemerintah
dan
masyarakat. 67
67
Marlina, 2012, Peradilan Pidana Anak di Indonesia : Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice, Bandung, PT.Refika Aditama, hlm. 58-59
Universitas Sumatera Utara
55
g. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak merupakan undang-undang yang menggantikan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, dengan tujuan agar dapat terwujud pengadilan anak yang diharapkan akan melindungi dan mengayomi anak yang berhadapan dengan hukum agar anak tersebut dapat menjalankan kehidupannya seperti layaknya kehidupan anak yang penuh dengan pembelajaran dan kegembiraan serta memberi kesempatan kepada anak agar melalui pembinaan akan
diperoleh
jati
dirinya
untuk
menjadi
manusia
yang
mandiri
bertanggungjawab dan berguna bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Prinsip perlindungan anak dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ini dilakukan berdasarkan beberapa asas yang termuat dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak selain memaparkan asas-asas, namun asas itu juga mencerminkan bahwa undang-undang ini dalam penerapan sistem peradilan pidana anak harus memberikan perlindungan terhadap anak. Asas-asas tersebut adalah: 1) Asas Perlindungan Perlindungan yang meliputi kegiatan yang bersifat langsung dan tidak langsung dari tindakan yang membahayakan anak secara fisik dan/atau psikis. Asas perlindungan ini merupakan asas yang paling mendasar di dalam Undang-
Universitas Sumatera Utara
56
Undang Nomor 11 Tahun 2012, sehingga di setiap pasal di dalam undang-undang ini sebenarnya mengandung unsur perlindungan terhadap anak. 2) Asas Keadilan dan Non-Diskriminasi Keadilan mengandung makna bahwa setiap penyelesaian perkara anak harus mencerminkan rasa keadilan bagi anak. Non-diskriminasi bermakna bahwa tidak ada perbedaan perlakuan terhadap anak yang didasarkan pada suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak, serta kondisi fisik dan/atau mental anak. Sehingga dengan diterapkannya sistem peradilan pidana anak tanpa membeda-bedakan (Nondiskriminasi), akan tercapai keadilan hukum bagi anak. Asas ini diantaranya tercermin dalam Pasal 8 ayat (3), Pasal 23 ayat (1) dan (2), serta di dalam Pasal 25 ayat (1). 3) Asas Penghargaan terhadap Anak Penghargaan terhadap anak memiliki arti bahwa penghormatan atas hakhak anak untuk berpartisipasi dan menyatakan pendapatnya dalam pengambilan keputusan, terutama menyangkut hal yang mempengaruhi kehidupan anak. 4) Kepentingan terbaik bagi anak yang berpengaruh pada kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak Kepentingan terbaik bermakna bahwa segala pengambilan keputusan harus mempertimbangkan kelangsungan hidup dan tumbuh kebang anak. Kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak adalah hak asasi yang paling mendasar terhadap anak yang harus dilindungi oleh negara, pemeritah, masyarakat, keluarha dan
Universitas Sumatera Utara
57
orang tua. Kedua asas ini diantaranya dapat dilihat dalam Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 22, Pasal 53, dan Pasal 58. 5) Pembinaan dan Pembimbingan Pembinaan berarti bahwa harus diterapkannya pengupayaan kegiatan pembinaan ditujukan untuk meningkatkan kualitas, ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, pelatihan keterampilan, profesional, serta kesehatan jasmani dan rohani anak baik didalam maupun di luar proses peradilan pidana. Pembimbingan dilakukan terhadap masyarakat dengan kegiatan yang sama dengan pembinaan. Asas ini dapat dilihat dalam Pasal 84 sampai dengan Pasal 87. 6) Perlakuan yang Proporsional, penghindaran perampasan kemerdekaan dan pembalasan. Perlakuan proporsional mengandung makna bahwa sistem peradilan pidana dilakukan dengan segala perlakuan terhadap anak harus memperhatikan batas keperluan. Umur, dan kondisi anak. Perampasan kemerdekaan merupakan upaya terakhir mengandung arti bahwa penyelesaian perkara anak harus diupayakan melindungi anak, namun dalam keadaan yang terpaksa perampasan kemerdekaan terhadap anak baru dapat dilakukan. Penghindaran pembalasan, ini yang bermakna bahwa penerapan sistem peradilan pidana anak merupakan upaya pembinaan dan pemulihan anak agar kembali menjadi baik dan tidak mengulangi perbuatannya, sehingga penerapan sistem peradilan pidana anak haruslah dihindari dari tindakan yang bersifat memberi tekanan terhadap anak sebagai tujuan pembalasan. Asas-asas ini dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 11
Universitas Sumatera Utara
58
Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yaitu diantaranya dalam Pasal 7, Pasal 9, Pasal 20, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 32, Pasal 69, Pasal 70, dan Pasal 71. Asas-asas yang terkandung di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak tersebut sebenarnya saling terkait satu sama lain, dan telah sesuai dengan prinsip perlindungan terhadap anak, baik menurut prinsip hukum internasional maupun prinsip hukum nasional. Prinsip perlindungan anak dalam hukum nasional sebenarnya sudah mengacu pada instrumen hukum internasioanal. 2. Instrumen Hukum Internasional Tentang Perlindungan Anak The way of siciety treats is children not only its qualities of compassion and protective caring, but also its sense of justice, its comitmen to future and its urge to enhance the human condition for cominggenerations... 68 (cara masyarakat memperlakukan anak-anaknya tidak hanya mencerminkan kualitas atas kasih sayang dan kepedulian pelindung, tetapi juga mencerminkan keadilan, hal ini merupakan komitmen untuk masa depan dan dorongan untuk meningkatkan kondisi manusia untuk generasi yang akan datang...). kalimat tersebut merupakan penggalan/kutipan dari kata-kata yang diungkapkan oleh mantan Sekretaris Jendral Persatuan Bangsa-Bangsa (Sekjend PBB) bernama Javier Perez de Ceullar pada tahun 1987. Ungkapan tersebut tidak hanya memiliki makna komitmen suatu bangsa terhadap perlindungan hak-hak anak secara umum, tetapi juga mengandung komitmen tehadap perlindungan hak-hak anak bermasalah baik dalam hal masalah fisik, kejiwaan (mental), maupun perilaku anak yang mengarah 68
Paulus Hadisuprapto, 1997, Juvenile Deliquency, penanggulangannya, Bandung, PT.Citra Aditya Bakti, hlm. 81
Pemahaman
dan
Universitas Sumatera Utara
59
kepada melakukan tindak kriminal. Artinya bahwa perlakuan terhadap pemberian pemenuhan hak-hak anak akan terasa adil apabila hak-hak anak itu juga tetap diberikan terhadap perlindungan anak yang bermasalah dengan hukum. Perlindungan terhadap hak-hak anak termasuk perlindungan anak yang berkonflik dengan hukum sebagaimana yang disampaikan oleh mantan Sekjend PBB tersebut kiranya manjadi bukti bahwa ada hukum secara internasional yang mengatur perlindungan anak, termasuk anak yang berkonflik dengan hukum, hal ini dapat dilihat dengan adanya beberapa konvensi anak yang telah diratifikasi oleh Negara Indonesia yang menjadi instrumen hukum bagi Indonesia dalam perlindungan anak a. Konvensi Hak-Hak Anak 1989 (Convenstion on the Rights of the Child) Konvensi Hak Anak merupakan Instrumen Internasional tentang anak yang dituangkan dalam Resolusi PBB 44/25 tentang Convention On The Right of The Child (CRC), telah disahkan pada tanggal 20 November 1989. Dalam instrument tersebut, ketentuan khusus yang mengatur tentang anak pelaku delikuen tercantum dalam Article 40. Dalam article tersebut antara lain terkandung prinsip-prinsip perlindungan hak-hak anak pelanggar hukum yang secara umum menonjolkan Asas Kesejahteraan anak serta Asas Proporsionalitas. Prinsip-prinsip tersebut, meliputi: 1. Perlakuan hak anak secara memadai sesuai tingkatan pemahaman anak, mengusahakan anak menguasai rasa hormat kepada pihak lain, sambil berusaha mengintegrasiakn anak kembali ke masyarakat;
Universitas Sumatera Utara
60
2. Asas legalitas; 3. Asas presumption of innocence; 4. Penjelasan tuduhan dan pemberian bantuan hukum; 5. Pemeriksaan yang fair dengan melibatkan orang tua dan penasihat hukum anak; 6. Pemberian tindakan pada anak oleh lembaga yang berwenang sesuai hukum yang berlaku; 7. Pemberian juru bahasa, perlindungan dan privasi anak; Bagi semua anggota Negara merupakan suatu kewajiban, disamping merumuskan hukum pidana anak secara substansial dan prosedural termasuk lembaga-lembaga pendukungnya, diminta juga untuk memperhatikan akan pentingnya : 1. Batas usia minimal pertanggung jawaban pidana anak 2. Penindakan anak tanpa harus melibatkan proses peradilan pidana Prinsip-prinsip tersebut, dijabarkan lebih rinci di dalam Resolusi PBB 40/33- The UN Standart Minimum Rules for the Administration of Juvanale Justice ( the Beijing Rules). Instrument internasional yang relevan dengan masalah perindungan anak delikuen, satu sama lain berhubungan erat dengan resolusi PBB 45/112The U.N. Standart Guidelines for the Prevention of Juvenale delinquency (Riyadh Guidelines), Resolusi PBB 40//33- The U.N. Standart Minimum Rules for the Administration of the Juvenale Deliquence (Beijing Rule), serta
Universitas Sumatera Utara
61
Resolusi PBB 45/113 – The U.N. Rules for the Protection of Juvenale Deprived of Their Liberty. 69 Pada tahun 1989, rancangan Konvensi Hak Anak diselesaikan dan pada tahun ini pula naskah akhir disahkan oleh Majelis umum PBB pada tanggal 20 November 1989, yang dituangkan dalam Resolusi PBB Nomor 44/25 tanggal 5 Desember 1989. Sejak itulah anak-anak diseluruh dunia memperoleh perhatian secara khusus dalam standar internasional. Konvensi Hak anak juga memberikan aturan mengenai perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 40 Konvensi, yang berisi : 1. Negara-negara anggota mengakui hak setiap anak yang dinyatakan sebagai terdakwa atau
telah melanggar hukum pidana, untuk
diperlakukan sedemikian rupa, sesuai dengan kemajuan pengertian anak tentang harkat dan martabatnya, sambil mengusahakan agar anak mempunyai rasa hormat pada hak-hak asasi dan kebebasan pihak lain, dengan tetap mempertimbangkan usia dan keinginan anak dalam rangka mengintegrasikannya kembali sesuai dengan peran konstruktifnya di masyarakat. 2. Pada akhirnya kembali dengan ketentuan instrumen internasional yang relevan, negara-negara anggota secara khusus harus menjamin bahwa :
69
Ibid, Hlm.101
Universitas Sumatera Utara
62
(a). Tidak boleh anak didakwa, dituntut, atau dinyatakan telah melanggar hukum pidana dengan alasan perbuatan atau kelalaiannya itu tidak dilarang oleh hukum internasional pada saat perbuatan pelanggaran itu dilakukannya. (b). Setiap anak yang didakwa atau dituntut sebagai pelaku pelanggaran hukum pidana harus paling tidak dijamin hakhaknya berikut ini: i. Anak dianggap tidak bersalah sampai ada pembuktian kesalahannya secara hukum. ii. Anak berhak diberitahu dengan jelas dan langsung tuduhan yang ditujukan terhadapnya, apabila perlu, dilakukan melalui orang tuanya atau kuasa hukumnya dan kepada mereka diberikan bantuan hukum dalam rangka persiapan pembelaannya. iii. Demi
kepastian
hukum
dan
mencegah
terjadinyan
penundaan penanganan oleh lembaga yang berkompeten, bebas dan tidak memihak atau lembaga yudisial dalam kerangka pemeriksaan yang fair sesuai hukum yang berlaku, anak harus didampingi penasihat hukumnya, kecuai adanya alasan-alasan demi kepentingan terbaik anak, namun dengan tetap memperhatikan usia dan situasi anak, orang tua atau kuasa hukumnya.
Universitas Sumatera Utara
63
iv. Agar tidak ada paksaan dalam memberikan kesaksian atau pengakuan bersalah, pengujian terhadap kesaksian yang merugikan anak dan untuk memperoleh bahwa peran serta saksi dan pengujian kesaksiannya betul-betul atas kehendak anak, pengujian itu harus dilandaskan atas dasar persamaan hak. v. Bila pertimbangan adanya pelanggaran hukum pidana, keputusan dan setiap tindakan yang dijatuhkan harus dibawah pihak yang lebih berkompeten, bebas dan tidak memihak atau badan yudisial sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. vi. Anak yang tidak memahami atau tidak bisa berbicara bahasa yang digunakan, harus dibantu oleh seorang penerjemah yang bebas. vii. Anak berhak menerima privasinya di semua tingkat pemeriksaan. 3. Negara anggota dalam mendukung konvensi ini harus menetapkan hukum, prosedur, pihak-pihak yang berwenang, lembaga khusus untuk menangani anak yang didakwa, dituntut atau yang dinyatakan sebagai pelaku pelanggaran hukum pidana, secara khusus:
Universitas Sumatera Utara
64
(a). Penetapan batas usia minimal terendah bagi seorang anak yang dinyatakan
belum
layak
dinyatakan
sebagai
pelaku
pelanggaran hukum pidana. (b). Apabila diperlukan dan dikehendaki, tindakan terhadap anak yang dilakukan tanpa melibatkan proses peradilan, persyaratan hak asasi manusia dan kuasa hukum harus dipenuhi. 4. Berbagi
disposisi
seperti
perhatian,
bimbigan,
perintah
pengawasan, konseling, probation, bimbingan untuk membantu perkembangan, pendidikan, program training vokasional dan alternatif lain ke dalam lembaga, harus memungkinkan untuk menjamin bahwa anak diperlakukan dengan cara-cara yang sesuai dengan kesejahteraan manusia dan proporsional baik dengan keadaan lingkungan dan perbuatannya. Konvensi hak anak yang diratifikasi oleh hampir semua anggota PBB, yang menandakan bahwa semua bangsa di dunia sepakat dan sepaham untuk terikat dengan ketentuan-ketentuan dalam Konvensi Hak Anak tersebut, termasuk Indonesia yang meratifikasi Konvensi Hak Anak berdasarkan Kepres Nomor 36 tanggal 25 Agustus 1990. 70 Konvensi Hak Anak ini mengatur tentang perlindungan anak secara keseluruhan dan juga perlindungan terhadap anak yang melakukan tindak pidana, bukanlah membahas khusus mengenai perlindungan terhadap anak pelaku tindak pidana. Instrumen hukum internasional yang secara khusus membahas tentang 70
Hadi Supeno, Op.cit, hlm. 33
Universitas Sumatera Utara
65
perlindungan anak pelaku tindak pidana salah satunya adalah United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (Beijing Rules). b. United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (Beijing Rules). Beijing Rules disetujui pada tanggal 6 September 1985 dan menjadi Resolusi PBB pada tanggal 29 November 1985 dalam Resolusi 40/33. Isi dari Beijing Rules terdiri dari 6 (enam) bagian, dimana bagian I berisi tentang Asas Umum, Bagian II mengenai penyelidikan dan penuntutan, bagian III berisi tentang Adjudikasi dan Deposisi, bagian IV mengenai Pembinaan di luar Lembaga, bagian ke V mengenai Pembinaan dalam Lembaga, bagian VI mengenai Penelitian, Perencanaan dan Evaluasi. Bagian I : General Principles (Asas Umum) Bagian ini secara umum berisi tentang perlunya kebijakan sosial komprehensif yang bertujuan untuk mendukung tercapainya sebesar mungkin kesejahteraan anak, yang pada gilirannya akan mengurangi campur tangan sistem peradilan anak. 71 Artinya kebijakan sosial yang diatur dalam bagian ini benarbenar bertujuan untuk memberikan kesejahteraan terhadap anak, hal tersebut dapat tercapai apabila dilakukan dengan mendekatkan atau melibatkan anak dengan sistem peradilan pidana anak terhadap anak pelaku tindak pidana. Sistem peradilan anak yang penerapannya tidak dihindarkan akan memberikan dampak
71
Ibid, hlm. 109
Universitas Sumatera Utara
66
kerugian kepada anak, dan ini mengakibatkan tidak tercapainya kesejahteraan anak tersebut. Bagian ini menegaskan pula akan peranan peradilan anak, ia tidak lain merupakan bagian integral dari keadilan sosial anak, 72 dalam hal ini batasan umur anak akan sangat bergantung pada sistem hukum negara anggota pada satu pihak dan kondisi ekonomi, sosial politik dan budaya masyarakat pada lain pihak, oleh karena itu batasan anak dirumuskan secara relatif. Perumusan batasan mengenai pengkategorian perbuatan-perbuatan anak yang dapat dipidana hendaknya lebih luas dari batasan pidana dewasa, misalnya dengan memasukkan perbuatan bolos sekolah, berbicara yang tidak sopan yang sebenarnya mengarah kepada penghinaan, ketidak taatan dengan peraturan sekolah, dan sebagainya. Rule 4 secara singkat menerangkan bahwa batas usia pertanggungjawaban pidana masih dipengaruhi dengan berbagai aspek sejarah, budaya, dan perkembangan zaman modern, namun yang terpenting bahwa batas usia pertanggung jawaban pidana anak tidak ditentukan terlalu rendah apalagi tidak ditentukan sama sekali. Peradilan anak sebagai bagian dari upaya perwujudan kesejahteraan anak dilaksanakan atas dasar Asas Proporsionalitas. 73 Asas ini mengarah pada pembatasan pemberian sanksi yang bersifat penekanan terhadap anak, melainkan untuk meningkatkan agar tanggapan dan reaksi masyarakat yang sesuai terhadap pelaku perbuatan anti sosial. Tanggapan dan reaksi masyarakat hendaknya sesuai dengan memperhatikan lingkungan anak, yakni status sosial, keadaan keluarga, 72 73
Ibid Ibid, hlm. 110
Universitas Sumatera Utara
67
dan faktor lain penyebab anak melakukan tindak pidana, bukanlah hanya sebatas penilaian terhadap perbuatan yang dilakukan anak. Rule 6 memberikan penjelasan secara ringkas bahwa tujuan peradilan anak dengan proporsionalitas secara operasional diperankan oleh aparat penegak hukum, dalam konteks ini kepada para aparat penegak hukum diberikan kewenangan seluas mungkin dan dalam segala pemeriksaan mengupayakan diskresi. Anak selama dalam proses peradilan, hak-haknya harus dilindungi, seperti misalnya asas praduga tak bersalah, hak untuk memahami tuduhan, hak untuk diam, hak untuk menghadirkan orang tua atau wali, hak untuk bertemu berhadapan dan menguji silang kesaksian atas dirinya dan hak untuk banding.74 Perlindungan terhadap privasi anak juga diatur dalam hal ini guna menghindari stigmatisasi terhadap anak oleh masyarakat. Bagian II : Penyelidikan dan Penuntutan Penanganan anak di tingkat penyelidikan dan penuntutan harus dihindari dari sikap yang mengarah kepenekanan terhadap anak seperti pernyataan yang bersifat gertakan bernada keras maupun tindakan kekerasan (kontak fisik), agar tidak menimbulkan ketakutan dari dalam diri anak. Diversi (pengalihan), suatu mekanisme yang memungkinkan anak dialihkan dari proses peradilan menuju proses pelayanan sosial diprioritaskan, karena keterlibatan anak dalam proses peradilan telah mengalami proses stigmatisasi. 75 Bagian II ini secara tersirat
74 75
Ibid, hlm.111 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
68
menyarankan agar setiap proses pemeriksaan terhadap anak pelaku tindak pidana khususnya di kepolisian, dibentuk kesatuan kepolisian yang terlatih dalam melayani dan menangani anak, yang benar-benar bersifat melindungi anak. Bagian III : Adjudikasi dan Disposisi Proses Adjudikasi dan Disposisi, memberikan syarat penting yang wajib untuk diperhatikan ialah menjadikan laporan penyelidikan sosial anak, prinsip dan pedoman penyelesaian perkara dan penempatan anak sebagai bahan pertimbangan dalam pemberian dan penetapan sanksi. Satu asas penting yang harus diingat dengan kaitan ini ialah, penempatan anak di dalam lembaga koreksi (penjara) hendaknya ditempatkan sebagai usaha terakhir, itupun hanya untuk jangka pendek. Penahanan anak semata-mata karena alasan penundaan sidang dihindarkan. (RULE 19-20). 76 Bagian IV dan V : Pembinaan Luar dan Dalam Lembaga Penempatan anak di luar lembaga dan didalam lembaga harus tetap pada konteks untuk pembinaan. Pembinaan di luar lembaga tetap harus disiapkan secara matang dan sistematis dengan melibatkan peran lembaga-lembaga kesejahteraan anak dengan petugas yang berkualitas. Pembinaan dalam lembaga diarahkan agar pembinaan tidak bersifat umum, melainkan memperhatikan kondisi sosial, ekonomi dan budaya anak bersangkutan (individualisasi pembinaan) penyediaan tenaga medis, ahli jiwa,
76
Ibid, hlm 112
Universitas Sumatera Utara
69
khusus bagi anak pecandu narkotika. 77 Pembinaan dalam lembaga juga tidak menutup keterlibatan dan campur tangan orang tua. C. Penjatuhan Sanksi Terhadap Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum Kaitannya Dengan Tujuan Pemidanaan Dan Prinsip Perlindungan Anak. Tujuan pemberian sanksi bagi anak tidak dapat dilepaskan dari tujuan utama untuk mewujudkan kesejahteraan anak. Jadi hakim dalam menjatuhkan putusan pada peradilan anak harus berdasarkan pada tujuan peradilan anak yaitu kesejahteraan anak dalam menjatuhkan putusan hakim harus dilakukan dengan pertimbangan : a. Penghormatan terhadap kedudukan hukum si anak (respect the legal status of juvenile); b. Memajukan kesejahteraan anak (promote the wellbeing of the juvenile); c. Menghindari hal-hal yang merugikan atau membahayakan kepentingan anak (avoid harm to her or him). 78 Pertimbangan-pertimbangan sosiologis di atas harus menjadi pegangan hakim karena tujuan dari pidana terhadap anak lebih mengutamakan menjaga kepentingan anak sehingga harus menghindari penjatuhan pidana yang akan menimbulkan labelling (pelekatan indentitas) sebagai penjahat terpidana, karena anak sebagai pelaku kejahatan harus dilihat sebagai individual yang belum seluruhnya sempurna baik dari segi kegiatan fisik maupun kegiatan non fisik.
77
Ibid, hlm. 113 Romli Atmasasmita, 1992, Tindak Pidana, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Bandung, PT. Eresco, hlm. 117. 78
Universitas Sumatera Utara
70
Dalam pemikiran kebijakan kriminal dan kebijakan penal, harus berpijak kepada adanya keterkaitan yang sangat erat antara landasan filsafat pemidanaan, teori-teori pemidanaan serta aliran-aliran hukum pidana. Hal itu akan menunjukkan adanya suatu perundang-undangan dengan tujuan pemidanaan. Oleh karena itu, sebagai suatu sistem pola pemidanaan tidak dapat dipisah lepaskan dari proses penetapan sanksi, penerapan sanksi dan pelaksanaan sanksi. 79 Dalam model keadilan restoratif, sanksi / hukuman terhadap pelaku delikuensi tetap ada, tetapi hukuman itu diletakkan sebagai bagian dari proses pendidikan, bukan sebagai balas dendam dan pemidanaan. Hukuman dalam kerangka proses pendidikan bukanlah hukuman yang melemahkan semangat hidup apa lagi mematikan masa depan anak, tetapi justru harus berfungsi mencerahkan secara moral dan mendewasakan sebagai pribadi yang utuh. Karena itu hukumannya bukan pidana, tetapi tindakan, melalui apa yang disebut pendidikan paksa. Anak memang dipaksa, tetapi dipaksa untuk tumbuh berkembang bebas dan sampai pada kedewasaan diri. Pada dasarnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak lebih mengutamakan keadilan restorative dalam penyelesaian perkaranya, oleh karena itu dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dikenal ada proses penyelesaian perkara secara diversi. Dimana hal tersebut lebih mengutamakan agar keluarga dari masing-masing pihak yang berperkara dapat duduk bersama untuk
79
Nandang Sambas, Op.cit., hal. 214-215
Universitas Sumatera Utara
71
bermusyawarah secara kekeluargaan untuk menentukan bentuk sanksi apa yang akan diberikan kepada anak yang berkonflik dengan hukum. Dapat dikatakan bahwa tujuan pemidanaan merupakan persoalan yang penting dan sulit, terutama dalam menentukan apakah pemidanaan ditujukan untuk melakukan pembalasan ataukah pemidanaan itu mempunyai suatu tujuan tertentu, misanya untuk mencegah terjadinya tindak pidana. 80 Persoalan tujuan yang ingin dicapai dengan pemidanaan, ternyata tidak terdapat suatu kesamaan pendapat diantara para ahli, khususnya ahli hukum pidana dan kriminologi. Namun menurut P.A.F. Lamintang secara umum pada dasarnya terdapat tiga pokok pemikiran tentang tujuan yang ingin dicapai dengan suatu pemidanaan, yaitu : 4.
Untuk memperbaiki pribadi dari penjahatnya itu sendiri
5.
Untuk membuat orang menjadi jera untuk melakukan kejahatankejahatan
6.
Untuk membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi tidak mampu untuk melakukan kejahatan-kejahatan lainnya, yakni penjahatpenjahat dengan cara-cara lain sudah tidak dapat diperbaiki lagi
Perbedaaan tujuan pemidanaan sudah terjadi sejak lama. Muladi menyebutkan, bahwa perbedaan tujuan pemidanaan, sudah terjadi sejak dulu kala, yakni antara mereka yang berpandangan pidana sebagai sarana retributif (retributivism) dan mereka yang menyatakan bahwa pidana mempunyai tujuan yang positif lebih lanjut (teleological theoris). Selain itu muncul pula pandangan
80
Muladi dan Barda Nawawi, Op. Cit, hlm. 28.
Universitas Sumatera Utara
72
integratif di dalam tujuan pemidanaan (teleological retributivist) yang beranggapan bahwa pemidanaan mempunyai tujuan yang plural, yang merupakan gabungan antara pandangan utilitarian yang menyatakan bahwa tujuan pemidanaan harus menimbulkan konsikuensi bermanfaat yang dapat dibuktikan, keadilan tidak diperoleh melalui pembebanan penderitaan yang patut diterima untuk tujuan penderitaan itu sendiri, dan pandangan retributivist yang menyatakan bahwa keadilan data tercapai apabila tujuan yang teleological tersebut dilakukan dengan menggunakan ukuran-ukuran berdasarkan prinsip-prinsip keadilan, misalnya bahwa penderitaan pidana itu tidak boleh melebihi ganjaran yang selayaknya diperoleh pelaku tindak pidana. 81 Selanjutnya Muladi menjelaskan bahwa dari sekian banyak pendapat para sarjana yang menganut teori integrative tentang tujuan pemidanaan, beliau cenderung untuk mengadakan kombinasi tujuan pemidanaan yang cocok dengan pendekatan sosiologis, ideologis dan yuridis filosofis, dilandasi oleh asumsi dasar bahwa tindak pidana merupakan gangguan terhadap keseimbangan, keselarasan, dan keserasian dalam kehidupan masyarakat yang mengakibatkan kerusakan individual ataupun masyarakat. Dengan demikian, tujuan pemidanaan adalah untuk memperbaiki kerusakan individual dan sosial (individual and social damages) yang diakibatkan oleh tindak pidana. Hal ini terdiri atas seperangkat tujuan pemidanaan yang harus dipenuhi dengan catatan, bahwa tujuan manakah yang merupakan titik berat sifatnya kasuistis. 82
81 82
Ibid, hlm. 53-55 Nandang Sambas, Op.cit., hlm. 19-20
Universitas Sumatera Utara
73
Jika dilihat dari sisi tujuan pemidanaan berdasarkan konsep KUHP buku I tahun 2002, yang mana pemidanaan adalah bertujuan untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dengan mengenakan norma hukum demi pengayoman masyarakat, mengadakan koreksi terhadap terpidana dan dengan demikian menjadikannya orang yang baik dan berguna, serta mampu untuk hidup bermasyarakat, menyelesaikan konflik yang timbul oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat, membebaskan rasa bersalah pada terpidana serta pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia. 83 Maka dari konsep tersebut penjatuhan atau pemberian sanksi terhadap anak yang berkonflik dengan hukum berdasarkan aturan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak pada dasarnya tidak bertentangan dengan tujuan dari pemidanaan sebagai mana yang telah diuraikan dalam konsep KUHP di atas. Namun terdapat beberapa hal yang menjadi tujuan pemidanaan anak secara khusus yang berbeda dengan tujuan pemidanaan orang dewasa, sebagaimana yang terdapat dalam konsep KUHP tersebut. Pada dasarnya sanksi yang diberikan kepada anak yang berkonflik dengan hukum adalah bertujuan untuk kepentingan terbaik bagi Anak, penghargaan terhadap pendapat Anak, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang Anak, pembinaan dan pembimbingan Anak, perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir serta penghindaran pembalasan. Dengan demikian jelas bahwa sanksi yang diberikan kepada anak bukanlah bertujuan
83
Ibid, hal.20.
Universitas Sumatera Utara
74
untuk pembalasan, tetapi bertujuan untuk pendidikan kepada anak yang berkonflik dengan hukum. Dilihat dari kaitannya dengan prinsip perlindungan anak sesuai dengan prinsip-prinsip yang terdapat dalam konvensi hak anak yaitu Non-diskriminasi dan kesempatan yang sama (semua anak memiliki hak yang sama), kepentinggan terbaik dari anak (kepentingan terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama ketika membuat keputusan yang mungkin berdampak pada anak), kelangsungan hidup dan perkembangan (anak mempunyai hak untuk hidup), anak mempunyai hak untuk mengekspresikan diri dan didengar. Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa penjatuhan sanksi terhadap anak yang berkonflik dengan hukum berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak pada dasarnya sudah sejalan dengan prinsip-prinsip yang terdapat dalam konvensi hak anak. Dimana dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak sudah kita ketahui bahwa dalam penjatuhan sanksi terhadap anak, hal utama yang harus diperhatikan adalah kepentingan anak dalam tumbuh kembangnya dan keberlangsungan dari kehidupan anak,. Sistem Peradilan Anak pun wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif, serta wajib diupayakan diversi dengan tujuan mencapai perdamaian antara korban dan Anak, menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan, menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan, menghindarkan
Universitas Sumatera Utara
75
anak dari perampasan kemerdekaan, mendorong masyarakat untuk berpartisipasi, dan
menanamkan
rasa
tanggung
jawab
kepada
Anak.84
84
http://socialwelfare.fisip.ui.ac.id/index.php?op=readberita&idberita=27,Kehadiran-UUNo-11-Tahun-2012-Tentang- Sistem- Peradilan- Anak- dan- Peran- Pekerja- Sosial, diakses- pada tanggal 25 April 2016, pukul 12.10 wib.
Universitas Sumatera Utara