FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENJATUHAN SANKSI PIDANA TERHADAP ANAK NAKAL
JURNAL ILMIAH
Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
OLEH SAMUEL FRESLY NAINGGOLAN NIM: 080200259
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2013
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENJATUHAN SANKSI PIDANA TERHADAP ANAK NAKAL JURNAL ILMIAH Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum OLEH: SAMUEL FRESLY NAINGGOLAN NIM: 080200259
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
Mengetahui: Ketua Departemen Hukum Pidana
DR. M. Hamdan, SH, MH NIP: 195703261986011001
Editor
Liza Erwina, SH., M.Hum NIP: 19611024198903200
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2013
ABSTRAK Samuel Fresly Nainggolan * M. Nuh, SH, M.Hum ** Dr. Marlina, SH, M.HUM*** Masalah anak merupakan hal penting sehingga seluruh bangsa di seluruh dunia, mempunyai perhatian yang besar terhadap anak. Persoalan perlindungan anak pelaku tindak pidana merupakan hal yang sangat penting karena bagaimanapun anak pelaku tindak pidana merupakan generasi penerus dan masa depan suatu bangsa.Berkaitan dengan sistem peradilan pidana, Indonesia telah mempunyai undang-undang sendiri yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Dimana undang-undang ini telah didesign sebagai sarana menangani perkara anak nakal di Pengadilan. Artinya mau tidak mau titik sentral anak nakal terletak pada hakim. Adapun permasalahan penelitian yakni faktor apa saja yang menjadi menyebabkan anak melakukan tindak pidana, faktor apa yang mempengaruhi hakim dalam penjatuhan sanksi pidana terhadap anak dan bagaimana hambatan yang dihadapi hakim dalam penjatuhan sanksi pidana terhadap anak. Adapun metode penelitian dilakukan dengan jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif. Sumber data yang digunakan adalah bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan suatu penelitian kepustakaan (library reseach) dan Penelitian ini juga penulis lakukan dilapangan yang menjadi bahan hukumnya dengan melalui wawancara pada pelaku. Analisis data yang diperoleh dalam penelitian ini akan dianalisis secara kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian penulis yakni faktor penyebab anak melakukan tindak pidana adalah faktor intern dan ekstern, kedua faktor penyebab anak melakukan tindak pidana yang antara lain karena faktor dari keluarga adalah faktor yang utama, kemudian faktor dari lingkungan sekolah dan yang ketiga adalah faktor dari lingkungan masyarakat tempat tinggal. Adapun faktor-faktor penjatuhan sanksi terhadap anak nakal adalah faktor yuridis dan faktor non yuridis. hambatan yang dihadapi oleh hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana adalah hakim mendapat kesulitan dalam memperoleh keterangan saksi, keterangan terdakwa, mengajukan barang bukti di persidangan, dan penundaan penuntutan yang dilakukan oleh jaksa penuntut umum. Masalah penjatuhan sanksi pidana atau penghukuman adalah wewenang hakim. Oleh karena itu, dalam menentukan hukuman yang pantas untuk terdakwa anak, hakim harus memiliki perasaan yang peka dalam artian hakim harus menilai dengan baik dan objektif, dan penjatuhan hukuman tersebut harus mengutamakan pada pemberian bimbingan edukatif, disamping tindakan yang bersifat menghukum.
* ** ***
Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU Pembimbing 1, Dosen Fakultas Hukum USU Pembimbing 2, Dosen Fakultas Hukum USU
A. PENDAHULUAN Kenyataan menunjukkan, upaya pembinaan dan perlindungan terhadap anak belum berhasil secara memuaskan. Salah satu akibatnya, sebagian anak berperilaku menyimpang atau melakukan perbuatan melanggar hukum, yang bukan saja merugikan dirinya sendiri tetapi juga merugikan masyarakat. Anak-anak yang berperilaku menyimpang semacam ini menurut Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak disebut anak nakal. Pasal 1 angka 2 menyatakan: Anak nakal adalah (1) anak yang melakukan tindak pidana, atau (2) anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak baik menurut peraturan perundangundangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan anak, tidak dapat dilepaskan dari perubahan sosial yang bersifat mendasar dalam kehidupan masyarakat, sebagai akibat dari perkembangan pembangunan yang cepat, arus globalisasi di bidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan gaya dan cara hidup orang dewasa. Keberadaan anak yang berperilaku menyimpang khususnya yang melakukan tindak pidana, menarik untuk dikaji lebih lanjut. Pertama, tindak pidana yang dilakukan anak bagaimanapun juga merupakan perilaku yang merugikan bukan saja bagi diri sendiri tetapi juga bagi masyarakat, dan karena itu perilaku semacam itu perlu Pemberhentian antara lain melalui penjatuhan pidana atau tindakan. Kedua, anak dengan segala keberadaannya tidak sama dan tidak dapat dipersamakan dengan orang dewasa, karena itu penjatuhan pidana atau tindakan terhadap anak tidak dapat dipersamakan dengan pidana atau tindakan yang dijatuhkan kepada orang dewasa. Ketiga, secara umum anak memiliki jangkauan masa depan yang lebih panjang dibandingkan dengan orang dewasa, karena itu penjatuhan pidana atau tindakan terhadap anak tidak dapat dilepaskan dari upaya pembinaan terhadap anak untuk menjadi pribadi yang mandiri dan bertanggung jawab. 1 Pertimbangan Hakim dalam memutus perkara anak nakal. Semua aspek di dalam laporan penelitian kemasyarakatan selalu dipertimbangkan dalam putusan Hakim pada perkara anak nakal. Tetapi laporan kemasyarakatan tidak selalu berpengaruh terhadap
1
Maulana Hasan Wadong, Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, Jakarta : PT. Grasindo, 2002, hlm 23
putusan Hakim. Laporan kemasyarakatan hanya memberi wawasan kepada Hakim tentang diskripsi terdakwa dan lingkungannya. 2 Penjatuhan pidana terhadap anak, lebih cenderung mempergunakan pembinaan di luar lembaga (treatment in community) sebagai langkah awal dalam pembinaan anak pelanggar hukum, 3 daripada dilakukan pembinaan di dalam Lembaga Pemasyarakatan atau dengan kata lain penjatuhan hukuman berupa pidana penjara yang dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan. Adapun penyebab utama anak melakukan kenakalan sehingga berakibat pelanggaran hukum berhadapan dengan hukum adalah karena masih banyaknya anak-anak yang memikul tanggung jawab di luar kemampuannya sebagai akibat kehidupan sosial, ekonomi dan sosial budaya yang kurang mendukung anak dalam memenuhi hak-hak dasarnya sehingga sangat berpengaruh dan menghambat fisik, mental, emosional dan sosialnya. 4 Dengan demikian seharusnya kebijakan pemerintah berpihak kepada kesejahteraan anak sehingga tidak akan menciptakan kondisi-kondisi yang memaksa atau membuat anak terpaksa melakukan kejahatan. B. PERMASALAHAN Adapun permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah: 1. Faktor apa saja yang menjadi menyebabkan anak melakukan tindak pidana? 2. Faktor apa yang mempengaruhi hakim dalam penjatuhan sanksi pidana terhadap anak? 3. Bagaimana hambatan yang dihadapi hakim dalam penjatuhan sanksi pidana terhadap anak? C. METODE PENELITIAN Adapun penelitian yang digunakan dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Jenis penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini disesuaikan dengan permasalahan yang diangkat di dalamnya. Dengan demikian, penelitian yang dilaksanakan adalah penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara menganalisa hukum yang tertulis dari bahan pustaka atau data sekunder belaka yang lebih
2
Arief, Barda Nawawi, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Citra Aditya Bhakti, BAndung, 2001, hlm 29 3 Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, 1997), hlm. 116. 4 Emeliana Krisnawati, Aspek Hukum Perlindungan Anak, (Bandung: CV. Utama, 2005), hal.5.
di kenal dengan nama dan bahan acuan dalam bidang hukum atau bahan rujukan bidang hukum. 5 2. Sumber data Sumber data yang digunakan adalah bahan hukum primer, sekunder dan tersier. a. Bahan-bahan primer yaitu Bahan hukum yang diperoleh peneliti secara langsung dari subjek penelitian yang dapat berupa wawancara (field research). - Wawancara pelaku - Wawancara hakim selaku pemberi keputusan pidana dalam perkara anak. b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, yaitu hasil karya para ahli hukum berupa buku-buku, pendapatpendapat para sarjana yang berhubungan dengan skripsi ini. 6 c. Bahan hukum tersier atau badan hukum penunjang, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna bahan hukum primer dan/atau bahan hukum sekunder yaitu kamus hukum dan lain-lain. 7 3.
Pengumpulan data a. Pengumpulan data secara studi pustaka (library Reseach) Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan suatu penelitian kepustakaan (library reseach). Dalam hal ini penelitian hukum dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan atau di sebut dengan penelitian normatif yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka yang lebih di kenal dengan nama dan bahan acuan dalam bidang hukum atau bahan rujukan bidang hukum. 8 b. Observasi (Pengamatan) Yaitu dengan cara mengamati subjek langsung dari permasalahan ini. Penelitan ini dilakukan dengan pendekatan partisipatif, dimana peneliti ikut bersama anak-anak dalam bersahabat dengan mereka. Pendekatan ini berdasarkan pada prinsip-prisip penelitian kualitatif deskriptif dengan meletakkan anak sebagai subjek, bukan sebagai 5
Soejono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukun Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta : PT. RadjaGrafindo Persada, 2007), hlm 33. 6 Mulyana, Dedy, Metodologi Penelitian Kualitatif, Penerbit Remaja Rosdakarya, Bandung, 2003, hal 74 7 Soemitro, Ronny Hanitijo, Metodologi penelitian Hukum dan Jurimetri, Cet. V, Ghalia Indonesia, Jakarta.1995, hlm 53 8
hlm 64
Ibrahim, Johnny, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Penerbit Bayumedia, Malang, 2005,
objek dan mengutamakan hubungan persahabatan. Penelitian ini juga penulis lakukan dilapangan yang menjadi bahan hukumnya adalah data sekunder sedangkan sumber data dalam penelitian ini diperoleh dari penelitian hukum normatif dengan metode pendekatan empiris sedangkan bahan hukum primer diperoleh dilapangan yaitu dengan melalui wawancara dengan hakim dan pelaku. c. Wawancara Wawancara adalah suatu proses interaksi dan komunikasi yang dilakukan pewawancara dan terwawancara untuk memperoleh informasi
oleh
lengkap. Adapun
prakteknya nanti penulis akan melakukan wawancara langsung dengan Hakim selaku pemberi keputusan pidana dalam perkara anak dan para pelaku. 4.
Analisa data Analisis data yang diperoleh dalam penelitian ini akan dianalisis secara kualitatif.
Menurut Lexy J. Moleong, analisis data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah- milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mengsintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain. 9 D. HASIL PENELITIAN 1. Faktor Yang Mempengaruhi Hakim Dalam Penjatuhan Sanksi Pidana Terhadap Anak Faktor yuridis didasarkan atas fakta-fakta hukum yang terungkap dipersidangan. Fakta-fakta hukum diperoleh selama proses persidangan yang didasarkan pada kesesuaian dari keterangan saksi, keterangan terdakwa mapun barang bukti yang merupakan satu rangkaian. Fakta hukum ini oleh hakim menjadi dasar pertimbangan yang berhubungan dengan apakah perbuatan seorang anak telah memenuhi seluruh unsur tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Unsur-unsur ini akan menunjukkan jenis pidana yang telah dilakukan anak nakal. Selanjutnya
selain
jenis
pidana,
faktor
yuridis
berkaitan
juga
dengan
pertanggungjawaban pidana dari anak nakal. Di sini hakim akan mempertimbangankan apakah perbuatan yang telah dilakukan oleh anak nakal dapat dipertanggungjawabkan kepada anak. Adakah unsur kesalahan atas diri anak nakal atas perbuatan yang didakwakan.
9
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2006, hal. 248
Faktor yuridis juga berkaitan dengan berat ringannya pidana yang dijatuhkan, lamanya ancaman pidana dan bentuk dari pidana jenis pidana yang telah dilakukan. Faktor yuridis yaitu adanya kelemahan dalam Undang-Undang No.3 Tahun 1997, yaitu : 1. Tidak dirumuskan tujuan pemidanaan anak 2. Tidak dirumuskan pedoman pemidanaan anak 3. Tidak dirumuskan pedoman penjatuhan sanksi pidana penjara kurungan, denda maupun pedoman penjatuhan sanksi tindakan anak 4. Batasan usia pertanggungjawaban pidana anak terlalu rendah (8 tahun) 5. Perkara anak-anak ditangani oleh pejabat khusus profesional yang membidangi masalah anak-anak. Kenyatannya anak yang telah dijatuhi pidana penjara mereka justru tidak menjadi lebih baik dari sebelumnya tetapi justru akan melakukan kembali tindak pidana, maka dari sini dapat dikatakan bahwa ternyata penjatuhan pidana penjara tidaklah efektif dalam upaya menanggulangi kejahatan yang terjadi tetapi justru menimbulkan dampak-dampak yang merugikan bagi anak. Begitu pula halnya yang terjadi di pengadilan, seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa hakim cenderung untuk memberikan pidana penjara terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana dan menurut informasi yang diperoleh bahwa pada kenyataannya kebanyakan dari anak yang dijatuhi pidana penjara oeleh hakim , setelah keluar dari penjara justru akan mengulanginya kembali baik dalam tindak pidana yang sama maupun berbeda. Menjatuhkan pemidanaan, Hakim juga harus mempertimbangkan beberapa aspek baik dari aspek yuridis, maupun pertimbangan dari aspek psikologis dan sosiologis. Sebelum pertimbangan-pertimbangan yuridis ini di buktikan dan dipertimbangkan oleh Majelis Hakim, maka Majelis Hakim terlebih dahulu Majelis Hakim akan menarik fakta-fakta dalam persidangan yang timbul dan dan merupakan konklusi komulatif dari keterangan para saksi, keterangan terdakwa dan barang buktin yang diajukan dan diperiksa dipersidangan. Sistem penjatuhkan sanksi pidana dapat mencakup pengertian yang sangat luas. Sistem penjatuhan sanksi pidana adalah aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan sanksi pidana dan pemidanaan.apabila pengertian pmidanaan diartikan secara luas adalah sebagai suatu proses pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim atau penjatuhan sanksi pidana, maka dapatlah dikatakan bahwa sistem penjatuhan sanksi pidana mencakup keseluruhan perundang-undangan yang mengatur bagaimana hukum pidana itu ditegakkan atau dioperasionalkan secara konkret sehingga seseorang dijatuhkan sanksi (hukum pidana).
Bertolak dari pengertian di atas, maka apabila peraturan perundang-undangan dibatasi pada hukum pidana substantif yang terdapat dalam KUHP, dapatlah dikatakan bahwa keseluruhan ketetuan dalam KUHP, baik berupa aturan umum (Buku I) maupun aturan khusus mengenai tindak pidana (Buku II dan III) pada hakikatnya merupakan satu kesatuan sistem penjatuhan sanksi pidana. Undang-undang Pengadilan anak merupakan langkah-langkah nyata kebijakan legislatif untuk mewujudkan perlindungan anak dalam proses peradilan pidana. Disamping itu lahirnya UU Pengadilan Anak ini merupakan positif atas kesepakatan internasional yang telah dituangkan dalam prinsip-prinsip United Nations Declaration of the Rights of the Child yang disahkan pada tanggal 20 Nopmber 1959 yang ditindak lanjuti dengan berbagai kongres PPB tentang pencegahan kejahatan dan pembinaan Narapidana yang salah satu topik bahasannya adalah mengenai masalah Juvenile Dehaquency sehingga akhirnya diteriama dan disahkan
resolusi
PBB
yang
didalamnya
memuat
prinsip-prinsip
dasar
untuk
menyelenggarakan peradilan anak. Terhadap anak nakal, hanya dapat dijatuhkan pidana atau tindakan yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor11 Tahun 2012 tentang Pengadilan Anak yang terdapat dalam Pasal 23 dan 24. Anak yang melakukan tindak pidana ataupun prilaku menyimpang, ia tetap harus dilindungi, karena anak sebagai generasi muda merupakan sumber daya manusia yang memiliki potensi untuk meneruskan cita-cita dan perjuangan bangsa. Oleh karena itu anak nakal, orang tua dan masyarakat sekitarnya seharusnya lebih bertanggungjawab terhadap pembinaan, pendidikan, dan pengembangan perilaku tersebut, karena anak berbeda dengan orang dewasa, di mana anak merupakan harapan bangsa yang nantinya akan menentukan kesejahteraan bangsa diwaktu yang akan datang. Untuk melindungi anak tersebut dari perlakuan hukum yang sewenang-wenang, maka dibentuklah Undang-Undang tentang Perlindungan Anak yang bertujuan untuk melindungi hak-hak anak meskipun anak tersebut melakukan tindak pidana ataupun perilaku penyimpang lainnya. 10 Secara umum UU No.11 Tahun 2012 mengatur 8 ketentuan penyelenggaraan peradilan anak.ketentuan Undang-Undang tersebut konsisten dengan pasal 10 UU No.14 Tahun 1970 tentang ketentuan Pokok Kekuasaan Hakim yaitu dengan menempatkan pengadilan anak pada lingkungan pengadilan umum. Sekalipun dalam bebeapa hal masih terdapat kelemahan-kelemahan tidak diaturnya masalah perlindungan anak sebagai sanksi dalam proses peradilan pidana (terutama sebagai saksi korban) dan tidak ada pedoman bagi 10
Wawancara hakim pengadilan negeri Pematang Siantar yang bernama Toni Liandri Sitoroes, SH, tanggal 11 Maret 2013
hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap kasus anak, namun secara keseluruhan UU No11 Tahun 2012 merupakan sarana yang telah baik guna menyelenggarakan pengadilan khususnya bagi anak dalam rangka memantapkan upaya pembinaan dan perlindungan bagi anak. Selain pidana pokok terhadap anak-anak nakal dapat juga dijatuhkan pidana tambahan, pidana tambahan tersebut berupa perampasan barang-barang tertentu dan pembayaran ganti rugi. Selain mengatur tentang hukuman terhadap anak nakal hakim juga dapat menjatuhkan tindakan, tindakan yang dapata dijatuhkan kepada anak nakal; ialah : a. Mengembalikan kepada orantua, wali atau orang tua asuh b. Menyerahkan kepada negara untukmengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan kerja c. Menyerahkan kepada Departemen sosial, atau organisasi sosial kemasyarakatan yangbergerak dibidang pendidikan, pembinaan dan latihan kerja. 11 Anak nakal tidak dapat dijatuhkan pidana mati maupun penjara seumur hidup. Akan tetapi pidana penjara bagi anak nakal maksimal 10 tahun. Jenis pidana baru dalam UndangUndang ini adalah pidana pengawasan. Pidana pengawasan adalah pidana khusus yang dikenakan untuk anak, yakni pengawasan yang dilakukan oleh jaksa penuntut umum terhadap perilaku anak dalam kehidupan sehari-hari di rumah anak tersebut dan pemberian bimbingan yang dilakukan oleh pembimbing kemasyarakatan. 12 Peradilan terhadap anak pada dasarnya harus memperhatikan banyak faktor, sebab penilaian psikis anak berbeda dengan orang dewasa. Anak belum dapat sepenuhnya membedakan mana perbuatan yang baik dan perbuatan yang buruk di lingkungannya dan memberikan contoh yang baik.seorang anak tidak dapat sepenuhnya mempertanggung jawabkan perbuatannya. Bagaimanapun tujuan peradilan anak adalah untuk memberikan korekasi dan rehabilitasi sehingga anak yang melanggar hukum akan kembali ke tengahtengah masyarakatdan bukan untuk merusak harapan dan potensi masa depannya. Penjatuhan pidana pembatasan kebebasan merupakan pidana berat dibandingkan dengan pidana lainnya yang dapat dijatuhkan kepada anak, maka itu pidana ini dijatuhkan sebagai upaya akhir, selain itu juga ditentukannya syarat-syarat secara rinci, sehingga hakim dapat memilih dengan tepat alasan penjatuhan pidana pembatasan kebebasan. Dalam melaksanakan pidana pembatasan bersyarat, lembaga pembebasan bersyarat hendaknya diberdayakan. 11 12
Darwan Prinst, Hukum Anak di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hal;.134. Ibid, hal 26
Kajian non yuridis sebagai dasar pertimbangan hakim berkaitan dengan penjatuhan sanksi kepada anak nakal di sini terdiri dari bebarapa faktor yaitu: 1. Filosofis Faktor folosofis dijadikan dasar pertimbangan yang penting dari hakim dalam menjatuhkan sanksi terhadap anak nakal. Dengan faktor ini hakim tidak akan kehilangan orientasi yang didasarkan atas tujuan yang telah digariskan undang-undang yang bersangkutan. Penjatuhan sanksi terhadap anak nakal maka dasar filosofis penjatuhannya tidak lain adalah demi kepentingan terbaik anak sebagaimana telah ditentukan dalam UU No. 3 Tahun 1997. 2. Sosiologis Faktor sosiologis berguna untuk mengkaji latar belakang sosial mengapa seorang anak melakukan suatu tindak pidana. Dasar pertimbangan hakim dalam penjatuhan sanksi terhadap anak nakal ini, diperoleh dari laporan kemasyarakatan yang didapat dari BAPAS. Laporan kemasyarakatan ini berisikan mengenai data individi anak, keluarga, pendidikan dan kehidupan sosial serta kesimpulan dari pembimbing kemasyarakatan. Dalam Undang-Undang Pengadilan Anak, pembacaan laporan kemasyarakatan ini telah diatur dalam Pasal 56 sehingga laporan kemasyarakatan ini menjadi pertimbangan hakim dalam penjatuhan sanksi. Faktor sosiologis ini menjadi juga menjadi dasar pertimbangan hakim akan pengaruh bentuk sanksi yang dijatuhkan di masa yang akan datang terhadap anak nakal, sehingga bentuk sanksi yang diambil akan dipertimbangankan matang-matang. 3. Psikologis Penjatuhan sanksi faktor psikologis merupakan faktor penting sebagai dasar pertimbangan penjatuhan sanksi terhadap anak nakal. Dengan faktor psikologis akan berguna untuk mengkaji kondisi psikologis anak pada saat anak melakukan suatu tindak pidana dan setelah menjalani pidana. Untuk itu pertimbangan psikologis dijadikan pertimbangan hakim dalam hal penjatuhan sanksi pidana karena pemahaman terhadap aspek psikologis ini memungkinkan adanya penggambaran terhadap persepsi hakim terhadap anak nakal tersebut. Dalam rangka penjatuhan sanksi pidana, hakim memperoleh laporan kemasyarakatan dari BAPAS maupun pendapat dari BAPAS dipersidangan serta diketahui dari perilaku anak selama menjalani persidangan anak. 4. Kriminologis Rendahnya penahanan masalah anak dikalangan hakim sebagaimana disyaratkan dalam Undang-Undang No.3 tahun 1997 antara lain anak-anak yang meliputi pola asuh,
perkembangan kejiwaan anak-anak, dan kurangnya peningkatan kualitas pemegang peran (hakim anak) antara lain pelatihan-pelatihan, workshoup, simposium, seminar-seminar yang berorientasi kepada masalah-masalah anak. Faktor kriminologi diperlukan untuk mengkaji sebab-sebab seorang anak melakukan tindak pidana dan bagaimana sikap serta prilaku anak yang melakukan tindak pidana. Berdasarkan pada faktor kriminologis ini, hakim dalam rangka penjatuhan sanksi mempertimbangkan motif dari anak nakal dalam melakukan tindak pidana yang akan berpengaruh terhadap bentuk penjatuhan sanksi kepada anak nakal. Meskipun faktor yuridis dan faktor non yuridis merupakan dasar pertimbangan hakim dalam penjatuhan sanksi terhadap anak nakal akan tetapi kenyataannya, pidana perampasan kemerdekaan tetap menjadi posisi sentral dalam stelsel sanksi pidana. Kebanyakan hakim cenderung menjatuhkan pidana penjara terhadap anak walaupun anak tersebut baru pertama kali melakukan tindak pidana. Penjatuhan penjara ini menunjukkan pidana hanya dipandang sebagai usaha untuk menanggulangi kejahatan, bahkan terlihat adanya pandangan pemidanaan dipandang sebagai pembalasan. Hal ini dapat diketahui dari dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana penjara secara umum dalam hal-hal yang memberatkan setiap perkara anak nakal adalah tindak pidana yang dilakukan oleh anak cukup meresahkan masyarakat. Anak yang kurang atau tidak memperoleh perhatian secara fisik, mental maupun sosial sering berperilaku dan bertindak asosial dan bahkan anti social yang merugikan dirinya, keluarga, dan masyarakat. Untuk itu salah satu pertimbangan dalam konsideran Undang undang No 3 Tahun 1997 menyatakan : bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita cita perjuangan bangsa, yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri , sifat khusus,memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik , mental, dan sosial secara utuh, serasi selaras dan seimbang. 13 Penjatuhan pidana sebagai upaya pembinaan dan perlindungan anak merupakan faktor penting. Salah satu upaya Pemerintah bersama DPR adalah terbitnya Undang undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Undang undang itu diundangkan tanggal 3 Januari 1997 ( Lembaran Negara 1997 No 3 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3668) dan mulai diberlakukan satu tahun kemudian yaitu 3 Januari 1998. Melalui Undang undang No. 3 Tahun 1997 diatur perlakuan khusus terhadap anak anak nakal, yang berbeda dengan pelaku tindak pidana orang dewasa. Misalnya ancaman pidana
13
Bambang Waluyo,Pidana dan Pemidanaan,Sinar Grafika,Jakarta ,2000 hlm 3
(satu perdua) dari ancaman maksimum pidana orang dewasa, tidak dikenal pidana penjara seumur hidup atau pun pidana mati dan sebagainya. Hal itu bukan berarti menyimpang dari prinsip equality before the law, ketentuan demikian dalam rangka menjamin pertumbuhan fisik dan mental secara utuh bagi anak. Undang undang Peradilan Anak yang tertuang dalam Undang undang No 3 Tahun 1997 mengatur banyak hal kekhususan, selain itu juga melibatkan beberapa lembaga / institusi diluar Pengadilan, seperti pembimbing pemasyarakatan dari Departemen Kehakiman , pekerja social dari Departemen Sosial, dan pekerja sukarela dari organisasi kemasyarakatan. Adanya ketentuan prosedur, mekanisme, dan lembaga lembaga yang mana baru itu memerlukan antisipasi dini bagi aparat terkait. Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, dan Penasihat Hukum merupakan hal biasa dalam proses penyidangan perkara pidana, namun dengan banyaknya kekhususan dalam Undang undang nomor 3 tahun 1997, sebaiknya aparat penegak hukum tersebut harus berupaya mendalami dan memahami kandungan dan filosofi dari Undang undang tersebut. Di luar itu, kerja sama dan koordinasi dalam pelaksanaan Undang undang tersebut merupakan hal yang penting. Tindakan yang dapat dikenakan kepada anak anak (Pasal 24 UU No 3 tahun 1997) adalah sebagai berikut: 14 a. Dikembalikan kepada orang tua / wali / orang tua asuh, anak nakal yang dijatuhi tindakan dikembalikan kepada orang tua / wali / orang tua asuhnya, apabila menurut penilaian hakim si anak masih dapat di bina di lingkungan orang tua/ wali /orang tua asuhnya (Pasal 24 ayat (1) huruf a UU NO 3 TH 1997). Namun demikian si anak tersebut tetap dibawah pengawasan dan bimbingan pembimbing kemasyarakatan antara lain untuk mengikuti kegiatan ke pramukaan, dan lain lain. b. Diserahkan Kepada Negara Menurut penilaian hakim pendidikan dan pembinaan terhadap anak nakal tidak lagi dilakukan di lingkungan keluarga, maka anak itu diserahkan kepada Negara dan disebut sebagai anak Negara (Pasal 24 UU No 3 TH 1997). Untuk itu si anak ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak dan wajib mengikuti pendidikan, pembinaan,dan latihan kerja. Tujuannya untuk memberi bekal keterampilan keterampilan kepada anak dengan memberikan keterampilan mengenai pertukangan, perbengkelan, tata rias, dan sebagainya selesai menjalani tindakan itu si anak diharapkan mampu mandiri.
14
Ibid, hlm 28
Tindakan lain yang mungkin dijatuhkan oleh hakim kepada anak nakal adalah menyerahkan kepada Departemen Sosial atau Organisasi Sosial kemasyarakatan yang bergerak dibidang pendidikan, pembinaan latihan kerja untuk dididik dan di bina. Akan tetapi dalam hal kepentingan si anak menghendaki bahwa hakim dapat menetapkan anak tersebut diserahkan kepada organisasi sosial kemasyarakatan seperti pesantren, panti sosial dan lembaga lainnya (Pasal 24 ayat (1) huruf c UU NO 3 tahun 1997). Seorang remaja yang bernama (Cristian Panggabean) nekat mencuri telepon genggam, laptop dan sepeda motor milik masyarakat/warga di Kabupaten pematang siantar. Akibat perbuatannya itu, pelaku (Cristian Panggabean) dijerat Pasal 362 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dengan ancaman hukuman enam bulan penjara. Karena ancaman hukumannya hanya enam bulan, pelaku pun tak perlu ditahan. Cristian Panggabean yang berprofesi sebagai pelajar, melarikan diri/kabur dari tahanan Polsek selama tahanan selama 1 tahun. Petugas kepolisian mengetahui keberadaan tahanan tersebut berdasarkan keterangan dari pihak saudara dan keluarga yang mengetahui rencana pelarian pelaku. Dalam surat pelimpahan berita acara pemeriksaan (BAP) yang dikeluarkan Pengadilan, pelaku dinyatakan sebagai tahanan rumah. Saat ini, pelaku sudah menjalani persidangan. 15 Kasus kriminal yang menjerat pelaku bermula dari keinginannya menambah uang jajanya. Dia mengaku sudah sering melakukan perbuatan tersebut, tapi dia merasa jumlah itu masih kurang, dan ingin menambahnya sedikit lagi. Terkait keadilan,keluarga pelaku mengatakan, akan sangat ditentukan oleh keputusan majelis hakim. Untuk itu, majelis hakim akan menimbang seluruh fakta persidangan. Hasilnya, akan sangat bergantung pada pertimbangan majelis hakim. Setiap orang didunia ini pasti tidak ingin hidup dalam kesusahan atau kemiskinan. Setiap orang menginginkan hidup yang sejahtera dan makmur. Namun realita berkata lain, kemiskinan tetap melanda hingga saat ini. Sehingga menimbulkan faktor kejahatan didalam kehidupan masyarakat. Hal ini sesuai dengan contoh diatas yaitu: Seorang remaja yang berprofesi sebagai pelajar usia nya 16 tahun melakukan pencurian telepon genggam, laptop dan sepeda motor.dikarenakan untuk memenuhi kebutuhan. Demi melangsungkan hidup, remaja tersebut rela melakukan tindakan tidak terpuji yaitu dengan mencuri. Sesuai dengan tindakannya tersebut maka remaja itu dijerat dengan Pasal 362 tentang pencurian dengan ancaman paling lama lima tahun penjara atau pidana dengan denda paling banyak sembilan ratus rupiah. Tindakan tersebut terjadi karena 15
2013
Wawancara hakim pengadilan negeri Pematang Siantar yang bernama R. Purba SH, tanggal 11 Maret
adanya kesempatan bagi si pelaku kejahatan, maka dari itu, kita harus lebih waspada. Alasan pelaku (Cristian Panggabean) melakukan pencurian adalah faktor lingkungan, kekurangan dari segi materi dan ajakan dari bertemanan. 16 Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dipesidangkan serta diperkuat dengan adanya alat bukti berupa keterangan saksi-saksi, keterangan terdakwa dan memperhatikan barang bukti yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum di persidangan dan semua itu dapat dipandang saling berhubungan satu sama lain maka majelis Hakim telah mempertimbangkan bahwa unsur-unsur dari pasal yang didakwakan telah sesuai dengan fakta-fakta yang ditemukan dalam persidangan tersebut. Fakta-fakta tersebut adalah, di mana Fakta-fakta tersebut adalah Cristian Panggabean telah terbukti melakukan Delik pencurian. Sanksi yang diberikan sudah cukup tepat jika di lihat dari hal-hal yang meringankan dan memberatkan dari sisi terdakwa, di mana perbuatan terdakwa menimbulkan kekhawatiran kepada keluarga dan saksi korban, berdasarkan dari alat bukti dan barang bukti yang ada kemudian dihubungkan dengan dakwaan Jaksa Penuntut Umum, maka Majelis Hakim dapat memperoleh fakta-fakta dalam persidangan yang dapat dijadikan sebagai dasar untuk Majelis Hakim dalam penjatuhan putusan pidana kepada terdakwa, dengan harapan dari Majelis Hakim dan sesuai dengan tujuan dari dibuatnya UU Tentang Perlindungan Anak agar terdakwa menyesali perbuatanya, korban dan keluarga, mendapatkan rasa keadilan dan juga agar terdakwa tidak mengulangi perbuatanya dikemudian hari. 2. Hakim mendapat kesulitan dalam memperoleh keterangan terdakwa Menurut Pasal 189 ayat (1) KUHAP, Keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang dilakukan atau yang ia ketahui sendiri atau ia alami sendiri. Mengingat bahwa keterangan terdakwa yang memuat informasi tentang kejadian peristiwa pidana bersumber dari terdakwa, maka hakim dalam melakukan penilaian terhadap isi keterangan terdakwa haruslah cermat dan sadar bahwa ada kemungkinan terjadinya kebohongan atau keterangan palsu yang dibuat oleh terdakwa mengenai hal ikhwal kejadian atau peristiwa pidana yang terjadi. Penyelesaian perkara perdata yang lebih menekankan pada pencarian kebenaran formil, mendapat perhatian dari para ahli hukum, karena terkadang menjadi alasan ketidakpuasan pihak-pihak yang berperkara atas putusan hakim. Apabila hakim semata-mata hanya mencari kebenaran formil, sangat mungkin terjadi pihak yang sesungguhnya benar dapat dikalahkan perkaranya, karena tidak dapat menunjukkan bukti-bukti yang diminta di 16
2013
Wawancara hakim pengadilan negeri Pematang Siantar yang bernama R. Purba SH, tanggal 11 Maret
muka persidangan. Sehingga putusan hakim dalam praktek tidak selalu mencerminkan keadaan yang senyatanya. Sebagai akibatnya, para pencari keadilan merasa dirugikan hakhak dan kepentingannya. Persidangan terdakwa kerap mencabut kembali keterangan pengakuan yang diberikan dalam pemeriksaan penyidikan di sidang pengadilan. Suatu hal yang ironi memang bila melihat bahwa setiap tersangka pasti memberikan keterangan pengakuan di depan penyidik sedemikian rupa jelasnya mengutarakan dan menggambarkan jalannya perbuatan tindak pidana yang disangkakan. Akan tetapi bagaimanapun gamblangnya pengakuan yang tercatat dalam Berita Acara Penyidikan (BAP), akan selalu dicabut kembali dalam pemeriksaan pengadilan. Hampir seluruh terdakwa, mencabut kembali keterangan pengakuan yang tercatat dalam BAP, hanya satu dua yang tetap bersedia mengakui kebenarannya. Alasan yang kerap dijadikan dasar pencabutan adalah bahwa pada saat memberikan keterangan di hadapan penyidik, terdakwa dipaksa atau diancam dengan kekerasan baik fisik maupun psikis untuk mengakui tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Sedemikian rupa penyiksaan dan ancaman berupa pemukulan, penyulutan bagian badan atau bagian vital tubuh. Kepala dibenturkan di dinding, dan segala macam penganiayaan yang keji, membuat tersangka terpaksa mengakui segala pertanyaan yang didiktekan pejabat pemeriksa. Begitulah selalu alasan yang yang melandasi setiap pencabutan keterangan pengakuan yang dijumpai di sidang pengadilan. 17 Pasal 194 KUHAP, yang dimaksud keterangan terdakwa itu adalah apa yang telah dinyatakan terdakwa di muka sidang, tentang perbuatan yang dilakukannya atau yang diketahui dan alami sendiri. Pengertian keterangan terdakwa memiliki aspek yang lebih luas dari pengakuan, karena tidak selalu berisi pengakuan dari terdakwa. Keterangan terdakwa bersifat bebas (tidak dalam tekanan) dan ia memiliki hak untuk tidak menjawab Kekuatan alat bukti keterangan terdakwa, tergantung pada alat bukti lainnya (keterangan terdakwa saja tidak cukup) dan hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri. 18 Hakim akan mengalami kesulitan dalam mendapatkan keyakinan tanpa hadirnya terdakwa dalam persidangan. Kehadiran terdakwa dalam persidangan sangatlah penting salah satunya untuk memberikan keterangan di muka persidangan. Keterangan terdakwa mempunyai nilai pembuktian yang dapat dipergunakan hakim dalam pertimbangan hukum vonis, dalam usaha hakim membentuk keyakinan untuk menarik amar putusan akhir atas 17
http://kumpulan-skripsi-ku.blogspot.com/2012/05/tinjauan-tentang-pencabutan-keterangan. html diakses 22 Maret 2013 18 http://pakkasolank-post.blogspot.com/2012/08/pembuktian-perkara-pidana.html diakses 22 Maret 2013
perkara yang diadilinya. 19 Indonesia menganut sistem pembuktian negatif plus keyakinan hakim dimana hakim harus mendengar pihak-pihak (audi et alteram patem) disinilah kesulitan dan agak lunturnya nilai-nilai objektivitas karena hakim tidak dapat mendengarkan keterangan dari terdakwa. E. PENUTUP 1. Kesimpulan Bedasarkan penjelasan pada bagian sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : a. Faktor penyebab anak melakukan tindak pidana adalah faktor intern dan ekstern, kedua faktor penyebab anak melakukan tindak pidana yang antara lain karena faktor dari keluarga adalah faktor yang utama, kemudian faktor dari lingkungan sekolah dan yang ketiga adalah faktor dari lingkungan masyarakat tempat tinggal. b. Adapun faktor-faktor penjatuhan sanksi terhadap anak nakal adalah faktor yuridis dan faktor non yuridis. Baik faktor yuridis maupun non yuridis didasarkan atas faktafakta dipersidangan yang merupakan saling keterkaitan antara keterangan saksi, terdakwa , laporan kemasyarakatan dari BAPAS, maupun pendapat dari petugas BAPAS serta orang tua terdakwa anak nakal. Dalam penjatuhan sanksi terhadap anak nakal, hakim anak tidak dapat mendasarkan salah satu faktor misalnya hanya berdasarkan faktor yuridis. Pendasaran hanya pada faktor yuridis dan mengabaikan faktor non yuridis mengakibatkan putusan tidak mencapai tujuan keadilan dan hanya bersifat legistik. Faktor Yuridis merupakan fakta-fakta hukum yang berkaitan pertanggungjawaban pidana, jenis tindak pidana dan berat ringannya pidana maupun ancaman pidana. Sedangkan faktor non yuridis meliputi aspek filosofis, sosiologis, psikologis dan kriminologis. Faktor non yuridis ini digunakan oleh hakim dalam rangka memandang pelaku secara objektif dan realistik. Hal ini mengandung maksud bahwa dalam hal penjatuhan sanksi terhadap anak nakal, hakim dapat memberikan putusan yang sesuai dengan anak (the best interest of child). c. Hambatan yang dihadapi hakim dalam penjatuhan sanksi pidana terhadap anak adalah Putusan yang dijatuhkan hakim terhadap pelaku tindak pidana pencurian kendaraan bermotor masih jauh dari maksimal pidana yang dapat dijatuhkan. Hal itu disebabkan karena Undang-Undang memberikan kebebasan kepada hakim untuk menentukan berat ringannya putusan yang diberikan antara minimal pidana dan maksimal pidana yang 19
90.
Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, (Bandung : PT. Alumni, 2008), hlm.
dapat dijatuhkan. Dalam menjatuhkan putusan hakim mempertimbangkan fakta-fakta yang terungkap di Pengadilan, hal-hal yang memberatkan dan meringankan, dan memperhatikan aspek kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Sedangkan hambatan yang dihadapi oleh hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana adalah hakim mendapat kesulitan dalam memperoleh keterangan saksi, keterangan terdakwa, mengajukan barang bukti di persidangan, dan penundaan penuntutan yang dilakukan oleh jaksa penuntut umum. 2. Saran a. Masalah penjatuhan sanksi pidana atau penghukuman adalah wewenang hakim. Oleh karena itu, dalam menentukan hukuman yang pantas untuk terdakwa anak, hakim harus memiliki perasaan yang peka dalam artian hakim harus menilai dengan baik dan objektif, dan penjatuhan hukuman tersebut harus mengutamakan pada pemberian bimbingan edukatif, disamping tindakan yang bersifat menghukum. b. Hakim dalam menjatuhkan pidana yang kemungkinan mengarah pada pemenjaraan bagi anak hendaknya mempertimbangkan catatan penelitian kemasyarakatan yang telah disusun oleh Balai Kemasyarakatan. c. Hendaknya dalam memberikan ancaman hukuman kepada anak pelaku tindak pidana, selain dilihat dari seberapa berat jenis ancaman sanksi, hal lain yang tidak kalah pentingnya diperhatikkan adalah perlakuan dalam penanganan anak, serta sarana dan prasarana yang dapat mendukung berjalannya proses peradilan anak yang didasarkan kepada filosofi memberikan yang baik bagi anak.
DAFTAR PUSTAKA I.Buku Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, (Bandung : PT. Alumni, 2008) Arief, Barda Nawawi, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Citra Aditya Bhakti, BAndung, 2001 Bambang Waluyo,Pidana dan Pemidanaan,Sinar Grafika,Jakarta ,2000 Darwan Prinst, Hukum Anak di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997 Emeliana Krisnawati, Aspek Hukum Perlindungan Anak, (Bandung: CV. Utama, 2005) Ibrahim, Johnny, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Penerbit Bayumedia, Malang, 2005 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2006 Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, 1997) Maulana Hasan Wadong, Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, Jakarta : PT. Grasindo, 2002 Mulyana, Dedy, Metodologi Penelitian Kualitatif, Penerbit Remaja Rosdakarya, Bandung, 2003 Soejono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukun Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta : PT. RadjaGrafindo Persada, 2007) Soemitro, Ronny Hanitijo, Metodologi penelitian Hukum dan Jurimetri, Cet. V, Ghalia Indonesia, Jakarta.1995 II. Website http://pakkasolank-post.blogspot.com/2012/08/pembuktian-perkara-pidana.html diakses 22 Maret 2013 http://kumpulan-skripsi-ku.blogspot.com/2012/05/tinjauan-tentang-pencabutan-keterangan. html diakses 22 Maret 2013