BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KRIMINOLOGIS, ANAK, ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM DAN BALAI PEMASYARAKATAN 2.1 Pengertian Kriminologi Kriminologi merupakan ilmu pengetahuan yang mulai berkembang sejak tahun 1850 bersama-sama dengan ilmu pengetahuan sosiologi, antropolgi dan psikologi serta cabang-cabang ilmu yang mempelajari gejala atau tingkah laku manusia dalam masyarakat. Kriminologi sendiri adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang kejahatan. Nama kriminologi yang ditemukan oleh P. Topinard (1830-1911) seorang ahli antropologis Perancis, secara harfiah berasal dari kata “crimen” yang berarti kejahatan atau penjahat dan “logos” yang berarti ilmu pengetahuan, sehingga kriminologi dapat berarti ilmu tentang kejahatan atau penjahat.26 Pengertian secara harfiah tersebut, bila diartikan hanya secara sempit, bisa saja memberi pemahaman bahwa kriminologi hanyalah tentang kejahatan saja. Oleh karena itu diperlukan lebih banyak lagi pemahaman-pemahaman yang dapat menjelaskan tentang kriminologi. Pengertian-pengertian lainnya yang dikemukakan oleh para sarjana mengenai kriminologi antara lain yaitu27 : a.
Menurut Edwin H. Sutherland, “Crimonology is the body of
knowledge regarding delinquency and crime as social phenomena”, Sutherland 26 27
mengungkapkan
bahwa
kriminologi
adalah
kumpulan
Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, 2002, Kriminologi, PT Grafindo, Jakarta, hal 9. A.S. Alam dan Amir Ilyas, 2010, Pengantar Kriminologi, Makasar, hal 1-2.
19
20
pengetahuan yang membahas kenakalan remaja dan kejahatan sebagai gejala sosial, b.
Menurut J. Constant, kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang
bertujuan untuk menentukan faktor-faktor yang menjadi sebab-musabab terjadinya kejahatan dan penjahat, c.
Menurut WME. Noach, kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang
menyelidiki gejala-gejala kejahatan dan tingkah laku yang tidak senonoh, sebab-musabab serta akibat-akibatnya, d.
Bonger memberikan definisi kriminologi sebagai ilmu pengetahuan
yang bertujuan menyelidiki gejala kejahatan seluas-luasnya. Melalui definisi ini, Bonger membagi kriminologi menjadi kriminologi murni dan kriminologi terapan. Kriminologi murni mencakup : antropologi kriminil yaitu ilmu pengetahuan tentang manusia yang jahat, sosiologi kriminil adalah ilmu pengetahuan tentang kejahatan sebagai gejala masyarakat, psikologi kriminil ialah ilmu pengetahuan tentang penjahat yang dilihat dari sudut jiwanya, psikopatologi kriminil dan neuropatologi kriminil ialah ilmu pengetahuan tentang penjahat yang sakit jiwa, penologi yaitu ilmu pengetahuan tentang tumbuh kembangnya hukuman. Kriminologi terapan mencakup : hygiene kriminil yaitu usaha yang bertujuan untuk mencegah terjadinya kejahatan, politik kriminil adalah usaha penangulangan kejahatan dimana suatu kejahatan sudah terjadi, kriminalistik yaitu ilmu tentang pelaksanaan penyidikan, teknik kejahatan dan pengusutan kejahatan,
21
e.
Menurut Paul Mudigdo Mulyono, kriminologi adalah ilmu
pengetahuan yang mempelajari kejahatan sebagai masalah manusia, f.
Menurut Michael dan Alder, kriminologi adalah keseluruhan
keterangan mengenai perbuatan dan sifat dari para penjahat, lingkungan mereka, dan cara mereka secara resmi diperlakukan oleh lembaga-lembaga penertib masyarakat dan oleh para anggota masyarakat, g.
Wolfgang,
Savits
dan
Johnston
mengungkapkan
bahwa
kriminologi merupakan kumpulan ilmu pengetahuan tentang kejahatan yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan dan pengertian tentang gejala kejahatan dengan jalan mempelajari dan menganalisa secara ilmiah keterangan, pola dan faktor kausal yang berhubungan dengan kejahatan, pelaku serta reaksi masyarakat. Dalam hubungannya antara kriminologi dengan ilmu hukum pidana, yaitu bila dalam ilmu hukum pidana objeknya adalah aturan-aturan hukum mengenai kejahatan atau yang berkaitan dengan pidana dan tujannya ialah agar dapat dimengerti dan dipergunakan dengan sebaik-baiknya juga seadil-adilnya, maka objek kriminologi adalah orang yang melakukan kejahatan itu sendiri dan tujuannya untuk memahami sebab-sebab si penjahat berbuat jahat, apa memang karena bakatnya sebagai penjahat atau didorong oleh keadaan lingkungan sekitarnya.28 Secara luas kriminologi diartikan sebagai ilmu pengetahuan yang mencakup semua materi pengetahuan yang diperlukan untuk mendapatkan konsep
28
Moeljatno, 2002, Asas-Asas Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, hal 13.
22
kejahatan serta bagaimana pencegahan kejahatan dilakukan termasuk didalamnya pemahaman tentang pidana atau hukuman. Bidang ilmu yang menjadi fokus kriminologi dan objek studi kriminologi mencakup : 1. Sosiologi hukum yang lebih memfokuskan perhatiannya pada objek studi kriminologi, yakni kejahatan, dengan mempelajari hal-hal yang terkait dengan kondisi terbentuknya hukum pidana, peranan hukum dalam
mewujudkan
nilai-nilai
sosial,
serta
kondisi
empiris
perkembangan hukum, 2. Etiologi criminal lebih memfokuskan perhatiannya pada objek studi kriminologi yakni penjahat, yaitu mempelajari alasan seseorang melanggar hukum pidana atau melakukan tindak kejahatan sementara orang lainnya tidak melakukannya, 3. Penologi lebih memfokuskan perhatianya pada objek studi kriminologi yakni reaksi sosial dengan mempelajari hal-hal yang terkait dengan berkembangnya hukuman, arti dan manfaatnya yang berhubungan dengan control of crime, 4. Viktimologi yang lebih memfokuskan perhatiannya pada objek studi kriminologi yaitu korban kejahatan dengan mempelajari hal-hal yang terkait dengan kedudukan korban dalam kejahatan, interaksi yang terjadi antara korban dan penjahat, tanggung jawab korban pada saat sebelum dan selama kejahatan terjadi.29
29
Yesmil Anwar dan Adang, 2010, Kriminologi, PT Refika Aditama, Bandung, h. 18
23
2.2
Pengertian Anak
Anak
merupakan
salah
satu aset
pembangunan
nasional,
patut
dipertimbangkan dan diperhitungkan dari segi kualitas dan masa depan nya. Tanpa kualitas yang handal dan masa depan yang jelas bagi anak, pembangunan nasional akan sulit dilaksanakan dan nasib bangsa akan sulit pula dibayangkan. Anak merupakan tunas, potensi dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri serta sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan. Oleh karena itu agar kelak anak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal. Anak memiliki karakteristik khusus dibandingkan dengan orang dewasa dan merupakan salah satu kelompok rentan yang haknya masih terabaikan, oleh karena itu hak-hak anak menjadi penting di prioritaskan. Ditinjau dari aspek yuridis pengertian anak dimata hukum positif Indonesia (ius constitutum / ius operatum) lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa (minderjarig / person under age), orang yang ada di bawah umur / keadaan di bawah umur (minderjarigheid / inferiority) atau kerap juga disebut sebagai anak yang dibawah pengawasan wali (minderjarig ondervoordij).30 Pengertian anak ini menjadi penting terutama berkaitan dengan upaya perumusan batasan upaya pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility)
30 Nandang Sambas, 2013, Peradilan Pidana Anak di Indonesia dan Instrumen Internasional Perlindungan Anak serta Penerapannya, Graha Ilmu, Yogyakarta,h.1-4
24
terhadap seorang anak yang melakukan tindakan kriminal, dalam tingkat usia berapakah seorang anak yang berprilaku kriminal dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Pada umumnya pembatasan umur anak tersebut relatif identik dengan batas usia pertanggungjawaban pidana (criminal liability/criminal responsibility) seorang anak yang dapat diajukan kedepan persidangan peradilan pidana anak. Artinya, batas umur tersebut sebagai batas usia minimal dikategorikan sebagai anak. Akan tetapi, hal ini bukan berarti sebagai batas usia pertanggungjawaban pidana (criminal liability/criminal responsibility) seorang anak untuk dapat dilakukan proses peradilan dan penahanan. Di Indonesia mengenai batasan usia tersebut dapat dilihat dalam beberapa peraturan, misalnya : 1. UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, mensyaratkan usia perkawinan 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki. 2. UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak mendefinisikan anak berusia 21 tahun dan belum kawin. 3. UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak mendefinisikan anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah berusia 8 tahun, tetapi belum mencapai 18 tahun dan belum pernah kawin. 4. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun dan belum pernah kawin. 5. UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, anak adalah anak yang telah berumur 12 tahun, tetapi belum berumur 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana.
25
6. Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 1/PUUVIII/2010 tanggal 24 Februari 2012, menyatakan bahwa batas usia anak adalah berumur 12 tahun dan telah diterima dalam praktik sebagian negara sebagaimana juga di rekomendasikan oleh Komite Hak Anak PBB dalam General Comment, 10 Februari 2007. 7. UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dalam Pasal 1 ayat (4) disebutkan anak adalah seorang yang belum berumur 18 tahun. 8. UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, menyatakan ketentuan dalam Pasal 1 angka 5, anak adalah seseorang yang belum berumur 18 tahun temasuk anak yang masih dalam kandungan. 9. UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pada ketentuan Pasal 1 angka 26 disebutkan bahwa anak adalah setiap orang yang berumur di bawah 18 tahun. 10. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dalam Pasal 1 angka 5 menyebutkan bahwa anak adalah setiap manusia yang berumur dibawah 18 tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut demi kepentingannya. 11. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, berdasarkan ketentuan Pasal 330 anak adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun dan belum kawin. 12. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia ketentuan dalm Pasal 45 KUHP batasan anak adalah orang yang berumur
26
dibawah 16 tahun. Terhadap hal ini baik secara teoritis dan praktik, apabila anak melakukan tindak pidana hakim dapat menentukan anak tersebut dikembalikan ke orang tuanya, wali, atau pemeliharanya tanpa penjatuhan pidana, diserahkan kepada pemerintah tanpa pidana sebagai anak negara atau juga dapat dijatuhi pidana. Sedangkan bila ditinjau batasan anak dalam KUHP sebagai korban kejahatan sebagaimana Bab XIV ketentuan Pasal 287, Pasal 290, Pasal 292, Pasal 294 dan Pasal 295 KUHP adalah berumur kurang dari 15 tahun. 13. Konvensi Internasional, dalam pasal 1 Kovensi Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) sebagaimana telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Rights of the Child (Konvensi tentang Hak-Hak Anak), mendefinisikan bahwa anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18 tahun kecuali berdasarkan Undang-Undang yang berlaku bagi anak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal. 14. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Anak, berdasarkan ketentuan Pasal 2 Perma Nomor 4 Tahun 2014 ditentukan mengenai Diversi terhadap anak, dimana ditentukan anak yag telah berumur 12 tahun tetapi belum berumur 18 tahun atau telah berumur 12 tahun meskipun pernah kawin tetapi belum berumur 18 tahun, yang diduga melakukan tindak pidana.
27
Berbagai macam definisi tersebut, menunjukan adanya disharmonisasi perundang-undangan yang ada. Sehingga pada praktiknya di lapangan akan banyak kendala yang terjadi akibat dari perbedaan tersebut. Hadi Supeno mengungkapkan bahwa semestinya setelah lahir UU Perlindungan Anak yang dalam strata hukum dikategorikan sebagai lex specialist, semua ketentuan lainnya tentang definisi anak harus disesuaikan, termasuk kebijakan yang dilahirkan serta berkaitan dengan pemenuhan hak anak.31 2.3
Pengertian Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum
Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pada dasarnya anak-anak yang bermasalah dikategorikan dalam istilah kenakalan anak, yang mengacu pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Setelah diundangkannya Undang-Undang Perlindungan Anak, maka istilah tersebut berubah menjadi anak yang berkonflik dengan hukum (ABH), dan saat ini Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak pun menggunakan istilah anak yang berkonflik dengan hukum. Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang dimaksud dengan anak yang berhadapan dengan hukum (children in conflict with the law), adalah sebagai berikut : “Anak yang Berhadapan dengan Hukum adalah Anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana”. 31
Hadi Supeno, 2010, Kriminalisasi Anak Tawaran Gagasan Radikal Peradilan Anak Tanpa Pemidanaan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2010, h. 41
28
Berdasarkan Pasal 1 butir 2 UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, yang dimaksud dengan anak nakal adalah : a. Anak yang melakukan tindak pidana, atau b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan dilarang bagi anak, baik menurut perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Ketentuan tersebut secara luas, sebenarnya telah bertentangan dengan asas legalitas, karena memasukkan juga peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan ke dalam kategori pidana. Misalnya kenakalan anak menurut hukum adat bisa diselesaikan melalui pengadilan anak. Hal tersebut berakibat, adanya upaya mengkriminalisasi kenakalan anak, padahal belum tentu itu sesuai dengan konsep hukum pidana yang kita anut. Ada dua kategori perilaku anak yang membuat dia harus berhadapan dengan hukum, yaitu : 1. Status Offence adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasa tidak dianggap sebagai kejahatan, seperti tidak menurut, membolos sekolah atau kabur dari rumah 2. Juvenile Deliquency adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasa dianggap kejahatan atau pelanggaran hukum. Namun sebenarnya terlalu ekstrim apabila tindak pidana yang dilakukan oleh anak-anak disebut dengan kejahatan, karena pada dasarnya anak-anak memiliki kondisi kejiwaan yang labil, proses kemantapan psikis menghasilkan sikap kritis, agresif dan menunjukan tingkah laku yang cenderung bertindak
29
mengganggu ketertiban umum. Hal ini belum dapat dikatakan sebagai kejahatan, melainkan kenakalan yang ditimbulkan akibat dari kondisi psikologis yang tidak seimbang dan si pelaku belum sadar dan mengerti atas tindakan yang telah dilakukan anak. Dalam perkembangan anak menuju kedewasaan, ada beberapa faktor yang menjadi penyebab utama timbulnya kejahatan anak, di antaranya :32 1. Faktor lingkungan; 2. Faktor ekonomi atau sosial; 3. Faktor psikologis. Dalam KUHP, ditegaskan bahwa seseorang dapat dipertanggung jawabkan perbuatannya karena adanya kesadaran diri dari yang bersangkutan dan juga telah mengerti bahwa perbuatan itu dilarang menurut hukum yang berlaku. Hal tersebut terlihat jelas dalam KUHP di Indonesia, bahwa suatu perbuatan pidana (kejahatan) harus mengandung unsur-unsur : 1. Adanya perbuatan manusia; 2. Perbuatan tersebut harus sesuai dengan ketentuan hukum; 3. Adanya kesalahan; 4. Orang yang berbuat harus dapat di pertanggungjawabkan. Tindakan kenakalan yang dilakukan oleh anak-anak merupakan manifestasi dari kepuberan remaja tanpa ada maksud merugikan orang lain seperti yang di isyaraktan dalam KUHP, dimana pelaku harus menyadari akibat dari perbuatannya, serta pelaku mampu bertanggung jawab terhadap perbuatannya. 32
A. Syamsudin Meliala dan E. Sumaryono, 1985, Kejahatan Anak Suatu Tinjauan dari Psikologis dan Hukum, Liberty, Yogyakarta, h. 31
30
Kenakalan anak disebut juga Juvenile Deliquency. Juvenile berarti anakanak, anak muda, sedangkan Deliquency artinya terabaikan atau mengabaikan yang kemudia diperluas menjadi jahat, criminal, pelanggar aturan dan lain-lain. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, delikuensi diartikan sebagai tingkah laku yang menyalahi norma dan hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat. Suatu perbuatan dikatakan delikuensi apabila perbuatan-perbuatan tersebut bertentangan dengan norma yang ada dalam masyarakat dimana ia hidup atau suatu perbuatan yang anti sosial dimana didalamnya terkandung unsur-unsur anti normatif. Pengertian Juvenile Deliquency menurut Kartini Kartono adalah sebagai perilaku jahat, dursila, kejahatan atau kenakalan anak muda yang merupakan gejala sakit secara sosial yang disebabkan oleh suatu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka mengembangkan bentuk pengabaian tingkah laku yang menyimpang.33 Sedangkan Juvenile Deliquency menurut Romly Atmasasmita adalah setiap perbuatan atau tingkah laku seseorang anak di bawah umur 18 tahun dan belum kawin yang merupakan pelanggaran terhadap norma-norma hukum yang berlaku serta dapat membahayakan perkembangan pribadi di anak yang bersangkutan.34 Pada Naskah Akademis RUU Sistem Peradilan Pidana Anak, dikatakan bahwa UU No. 3 Tahun 1997 telah mencampuradukkan dua pengertian yang sama sekali berbeda pendekatannya, yakni : 33 34
40
Kartini Kartono, 1992, Pathologi Sosial (2), Kenakalan Remaja, Rajawali Pers, Jakarta, h. 7 Romli Atmasasmita, 1983, Problem Kenakalan Anak-Anak Remaja, Armico, Bandung, h.
31
1. Anak nakal didefinisikan sebagai anak yang melakukan tindak pidana (crimes
actor,
dader).
Perbuatan
yang
dapat
dimintakan
pertanggungjawaban hukum pidana adalah perbuatan yang sesuai dengan asas legalitas, yakni perbuatan yang dilarang Undang-Undang. Dalam hukum pidana suatu perbuatan tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang sudah ada.35 Pakar hukum pidana, Hamel dan Noyon Langemeyer, menyatakan bahwa straft baar feit sebagai kelakuan orang yang dirumuskan dalam undang-undang, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidanakan dengan kesalahan.36 2. Anak nakal didefinisikan sebagi pelaku kenakalan (delinquency), yakni melakukan perbuatan selain tindak pidana (straf baar feit). Maksudnya melakukan perbuatan selain tindak pidana yang karenanya tidak terikat dengan asas legalitas. 3. Pengertian anak nakal ini memberikan pembedaan antara tindak pidana (straf baar feit) dengan kenakalan anak (juvenile delinquency). Disisi lain, pengertian anak nakal ini sebenarnya adalah kriminalisasi atas kenakalan anak sebagaimana Pasal 1 butir 2 huruf b UU No. 3 Tahun 1997. Karena ada ketidakjelasan pemaknaan “peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan”, karena bisa menimbulkan interpretasi.
35 Komariah Emong Sapardjaja, 2002, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel Dalam Hukum Pidana Indonesia, Alumni, Bandung, h .5 36 Martiman Prodjohamidjoyo, 1996, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia 2, Pradnya Paramita, Jakarta, h. 15
32
Di Amerika Serikat perbuatan yang dilakukan anak-anak dengan perbuatan yang dilakukan oleh orang dewasa dibedakan pengertiannya. Suatu perbuatan tindakan anti sosial yang melanggar hukum pidana, kesusilaan dan ketertiban umum bila dilakukan oleh seseorang yang berusia diatas 21 tahun disebut dengan kejahatan (crime), namun jika yang melakukan perbuatan tersebut adalah seseorang yang berusia dibawah 21 tahun maka disebut dengan kenakalan (delinquency). Kemudian muncul sebuah teori oleh Sutherland yang disebut teori Association Differential yang menyatakan bahwa anak menjadi Delikuensi disebabkan oleh partisipasinya di tengah-tengah suatu lingkungan sosial yang ide dan teknik Delikuensi tertentu dijadikan sebagai sarana yang efisien untuk mengatasi kesulitan hidupnya. Karena itu semakin luas anak bergaul, semakin intensif relasinya dengan anak nakal, akan menjadi semakin lama pula proses berlangsungnya asosiasi deferential tersebut dan semakin besar pula kemungkinan anak tadi benar-benar menjadi nakal dan kriminal.37 Berdasarkan hal tersebut, maka melalui UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, anak nakal yang masuk dalam kategori dapat dipidana disebut dengan istilah anak yang berkonflik dengan hukum. 2.4
Balai Pemasyarakatan (BAPAS)
Balai Pemasyarakatan memiliki Kedudukan hukum dalam peraturan perundangan
Indonesia
yang
dapat
ditemukan
dalam
Undang-Undang
No.12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. Menurut Undang-Undang No 12
37
Wagiati Soetodjo, 2005, Hukum Pidana Anak, Refika Aditama, Bandung, h. 24
33
Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan dijelaskan bagaiamana fungsi dari setiap lembaga-lembaga kemasyarakatan seperti Lapas dan Bapas. Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan di rumuskan bahwa Balai Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut BAPAS adalah pranata untuk melaksanakan bimbingan Klien Pemasyarakatan. Adapun Klien Pemasyarakatan dirumuskan sebagai seseorang yang berada dalam bimbingan BAPAS (Pasal 1 angka 9 UU Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan). Nama Balai Pemasyarakatan (BAPAS) sebelumnya adalah Balai Bimbingan Pemasyarakatan dan Pengentasan Anak (BISPA) yang berdasarkan keputusan Menteri Kehakiman No. M.01.PR.07.03 Tahun 1997 namanya diubah menjadi Balai Pemasyarakatan (BAPAS) untuk disesuaikan dengan Undang-Undang No.12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan.Menurut Keputusan Menteri Kehakiman No. M.02.PR.08.03 tahun 1999 tentang pembentukan
Balai
pertimbangan
Pemasyarakatan
dan
Tim
Pengamat
Pemasyarakatan menyebutkan bahwa Balai Pemasyarakatan (Bapas) adalah unit pelaksana
teknis
pemasyarakatan
yang
menangani
pembinaan
klien
pemasyarakatan yang dimana adalah Warga Binaan Pemasyarakatan yang dibimbing oleh BAPAS yang terdiri dari terpidana bersyarat (dewasa dan anak), cuti menjelang bebas, serta anak negara yang mendapatkan pembebasan bersyarat atau diserahkan kepada keluarga asuh, anak negara yang mendapat cuti menjelang
34
bebas serta anak negara yang oleh hakim diputus dikembalikan kepada orang tuanya.38 BAPAS dalam menjalankan tugas dan fungsinya juga memiliki visi dan misi yaitu : VISI : Pulihnya kesatuan hubungan hidup, kehidupan dan penghidupan Warga Binaan Pemasyarakatan sebagai individu, anggota Masyarakat dan Makhluk tuhan Yang Maha Esa MISI : Meningkatkan Pembimbingan Klien Pemasyarakatan dalam Kerangka penegakan hukum dan Pelayanan masyarakat Melalui Visi dan Misi tentu sudah dapat diketahui bahwa peranan Bapas lebih kepada pemulihan suatu klien pemasyarakatan dan memberikan bimbingan yang sesuai dengan Undang – Undang yang berlaku sehingga klien pemasyarakatan mampu untuk pulih dari keadaan sebelumnya. Sistem pemasyarakatan memang tidak berdiri sendiri, melainkan terkait dengan sistem peradilan secara keseluruhan. Untuk melaksanakan pembinaan di dalam Bapas diperlukan suatu program agar proses pembinaan, pembimbingan maupun pengawasan berjalan dengan baik. Anak yang ditahan dan/atau berakhir di lembaga pemasyarakatan merupakan hasil dari tahapan penyelidikan, penyidikan, dan pemeriksaan yang melibatkan kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan serta berbagai komponen lain seperti advokat, pekerja sosial, petugas balai pemasyarakatan, orang tua atau keluarga.
38 Santi Kusumaningrum dan Mamik Sri Supatmi, 2012, Mekanisme Pembinaan, Rehabilitasi dan Reintegrasi Sosial bagi Anak di Indonesia, Pusat Kajian Perlindungan Anak FISIP Universitas Indonesia, h. 2
35
Pelaksanaan sistem Pemasyarakatan mempunyai tujuan akhir yaitu terciptanya kemandirian warga binaan Pemasyarakatan atau membangun manusia mandiri di dalam suatu masyarakat. Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan menjelaskan bahwa : Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas warga binaan, pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga negara yang baik dan bertanggungjawab. 2.5
Hak dan Kewajiban Anak
Anak adalah generasi penerus yang akan datang. Baik buruknya masa depan tergantung pada kondisi anak saat ini. Berkaitan dengan hal tersebut, maka perlakuan terhadap anak dengan cara yang baik adalah kewajiban kita bersama, agar ia bisa tumbuh berkembang dengan baik dan dapat menjadi pengemban risalah peradaban bangsa. Berkaitan dengan hal tersebut maka ada baiknya kita mengetahui tentang hak dan kewajiban anak. 2.5.1 Hak-Hak Anak Anak sebagai sebuah pribadi yang sangat unik dan memiliki ciri yang khas. Walaupun dia dapat bertindak berdasarkan perasaan, pikiran dan kehendaknya sendiri, ternyata lingkungan sekitar mempunyai pengaruh yang cukup besar dalam membentuk perilaku seorang anak. Untuk itu bimbingan, pembinaan dan perlindungan dari orang tua, guru, serta orang dewasa lainnya sangat dibutuhkan oleh anak didalam perkembangannya.
36
Pasal 16 ayat (3) Deklarasi Umum tentang Hak Asasi Manusia (DUHAM) menentukan bahwa keluarga adalah kesatuan alamiah dan mendasar dari masyarakat dan berhak atas perlindungan oleh masyarakat dan negara. Anak, sebagai bagian dari keluarga memerlukan pemeliharaan dan perlindungan khusus, serta memerlukan pertolongan dari orang dewasa terutama pada tahun-tahun pertama dari kehidupannya. Konstitusi Indonesia, UUD 1945 sebagai norma hukum tertinggi telah menggariskan bahwa “setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dai kekerasan dan diskriminasi”. Dengan dicantumkannya hak anak tersebut dalam batang tubuh konstitusi, maka bisa diartikan bahwa kedudukan dan perlindungan hak anak merupakan hal penting yang harus dijabarkan lebih lanjut dan dijalankan dalam kenyataan seharihari. Berdasarkan Konvensi Hak-Hak Anak, hak-hak anak secara umum dapat dikelompokkan dalam empat kategori hak-hak anak, antara lain :39 a. Hak untuk kelangsungan hidup (The Rights To Survival) yaitu hak-hak untuk melestarikan dan mempertahankan hidup (The Rights of Live) dan hak untuk memperoleh standar kesehatan tertinggi dan perawatan yang sebaik-baiknya b. Hak terhadap perlindungan (Protection Rights) yaitu hak-hak dalam konvensi hak anak yang meliputi hak perlindunga dari diskriminasi,
39
Mohammad Joni dan Zulchaina Z. Tanamas, 1999, Aspek Hukum Perlindungan Anak dalam Perspektif Konvensi Hak Anak, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 35
37
tindak kekerasan dan keterlantaran bagi anak yang tidak mempunyai keluarga atau bagi anak-anak pengungsi c. Hak untuk tumbuh kembang (Development Right) yaitu hak-hak anak dalam Konvensi Hak-Hak Anak yang meliputi segala bentuk pendidikan (formal dan nonformal) dan hak untuk mencapai standar hidup yang layak bagi perkembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosial anak (The Rights of Standart og Living) d. Hak untuk berpartisipasi (Participation Rights), yaitu hak-hak anak yang meliputi hak untuk menyatakan pendapat dalam segala hal yang mempengaruhi anak. Hak untuk berpartisipasi juga merupakan hak anak mengenai identitas budaya mendasar bagi anak, karena masa kanak-kanak merupakan masa pengembangan keterlibatan anak dalam masyarakat luas. Pada tanggal 20 November 1959 Sidang Umum Perserikatan BangsaBangsa (PBB) telah mensahkan Deklarasi tentang hak-hak anak. Dalam Deklarasi ini, tersirat bahwa umat manusia berkewajiban memberikan yang terbaik bagi anak-anak. Deklarasi ini memuat 10 (sepuluh) asas tentang hak anak, yaitu : 1. Anak berhak menikmati semua hak-haknya sesuai ketentuan yang terkandung dalam deklarasi ini. Setiap anak tanpa pengecualian harus dijamin hak-haknya tanpa membedakan suku bangsa, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik, kebangsaan, tingkatan sosial, kaya miskin, kelahiran atau status lain, baik yang ada pada dirinya maupun pada keluarganya.
38
2. Anak berhak memperoleh perlindungan khusus dan harus memperoleh kesempatan yang dijamin oleh hukum dan sarana lain, agar menjadikannya mampu untuk mengembangkan diri secara fisik, kejiwaan, moral, spiritual dan kemasyarakatan dalam situasi yang sehat, normal sesuai dengan kebebasan dan harkatnya. Penuangan itu kedalam hukum, kepentingan terbaik atas diri anak harus merupakan pertimbangan utama. 3. Anak sejak dilahirkan berhak atas nama dan kebangsaan. 4. Anak berhak dan harus dijamin secara kemasyarakatan untuk tumbuh kembang secara sehat. Untuk ini baik sebelum maupun setelah kelahirannya harus ada perawatan dan perlindungan khusus bagi anak dan ibunya. Anak berhak mendapat gizi yang cukup, perumahan, rekreasi dan pelayanan kesehatan. 5. Anak yang cacat fisik, mental dan lemah kedudukan sosialnya akibat keadaan tertentu harus memperoleh pendidikan, perawatan, dan perlakuan khusus. 6. Agar kepribadian anak tumbuh secara maksimal dan harmonis, ia memerlukan kasih sayang dan pengertian. Sedapat mungkin ia harus dibesarkan dibawah asuhan dan tanggung jawab orang tuanya sendiri, dan bagaimanapun harus di usahakan agar tetap berada dalam suasana yang penuh kasih sayang, sehat jasmani dan rohani. Anak dibawah usia lima tahun tidak dibenarkan berpisah dengan ibunya. Masyarakat dan pemerintah yang berwenang berkewajiban memberikan perawatan
39
khusus kepada anak yang tidak memiliki keluarga dan kepada anak yang tidak mampu. Diharapkan agar pemerintah atau pihak lain memberikan bantuan pembiayaan bagi anak-anak yang berasal dari keluarga besar. 7. Anak berhak mendapat pendidikan wajib secara cuma-cuma sekurangkurangnya di tingkat sekolah dasar. Mereka harus mendapat perlindungan yang dapat meningkatkan pengetahuan umum nya, dan yang memungkinkan, atas dasar kesempatan yang sama untuk mengembangkan kemampuannya, pendapat pribadinya dan perasaan tanggung jawab moral sosialnya, sehingga mereka dapat menjadi anggota masyarakat yang berguna. Kepentingan anak haruslah dijadikan pedoman oleh mereka yang bertanggung jawab terhadap pendidikan dan bimbingan anak yang bersangkutan dimana tanggung jawab ini terletak pada orang tua mereka. Anak harus mempunyai kesempatan yang leluasa untuk bermain dan berekreasi yang diarahkan untuk tujuan pendidikan, masyarakat dan pemerintah yang berwenang harus berusaha meningkatkan pelaksanaan hak ini. 8. Dalam keadaan apapun anak harus didahulukan dalam menerima perlindungan dan pertolongan. 9. Anak harus dilindungi dari segala bentuk kealpaan, kekerasan, penghisapan. Ia tidak boleh menjadi obyek perdagangan. Anak tidak boleh bekerja sebelum usia tertentu, ia tidak boleh dilibatkan dalam pekerjaan yang dapat merugikan kesehatan atau pendidikannya,
40
maupun yang dapat mempengaruhi perkembangan tubuh, jiwa dan akhlaknya. 10. Anak harus dilindungi dari perbuatan yang mengarah ke dalam bentuk diskriminasi sosial, agama maupun bentuk-bentuk diskriminasi lainnya. Mereka harus dibesarkan di dalam semangat penuh pengertian, toleransi dan persahabatan antar bangsa, perdamaian serta persaudaraan semesta dengan penuh kesadaran bahwa tenaga dan bakatnya harus diabdikan kepada sesama manusia. Di Indonesia pelaksanaan perlindungan hak-hak anak sebagaimana tersebut dalam Deklarasi PBB dituangkan dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Pasal 1 Undang-Undang tersebut menentukan bahwa, kesejahteraan anak adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya denga wajar, baik secara rohani, jasmani maupun sosial. Usaha kesejahteraan anak adalah usaha kesejahteraan sosial yang ditujukan untuk menjamin terwujudnya kesejahteraan anak, terutama terpenuhinya kebutuhan pokok anak. Kepekaan akan rasa keadilan dan sikap perduli terhadap generasi penerus suatu bangsa, hendaknya diukur pula dari perhatian mereka terhadap usaha-usaha perlindungan hak-hak anak bermasalah. Berbicara mengenai hak-hak anak bermasalah, orang sering mengaitkannya dengan masalah-masalah perilaku anak yang dalam kadar tertentu berbentuk perilaku menyimpang dan atau perilaku yang menjurus pada tindak kriminal. Pembicaraan ini biasanya lalu membawa orang pada permasalahan pemahaman mengenai bentuk-bentuk perilaku menyimpang
41
dan atau perilaku kriminal di kalangan anak, beserta latar belakangnya, termasuk usaha-usaha penanggulangan perilaku-perilaku tersebut dalam masyarakat. Pengaturan hak-hak anak, kewajiban pemerintah, instansi penegak hukum, dan masyarakat akan bermanfaat sebagai indikator dalam melihat dan mengevaluasi bagaimana ketentuan-ketentuan tersebut diwujudkan dalam mengatasi gejala perilaku menyimpang dan tindakan kriminal kalangan anak. Dalam proses Peradilan Pidana Anak, anak-anak tidak mengetahui hak dan kewajibannya, karena itu perlu mendapat bantuan dan perlindungan dalam pelaksanaan hak dan kewajiban. Perlindungan anak ini pada hakikatnya menyangkut tentang kebijaksanaan, usaha dan kegiatan yang menjamin terwujudnya perlindungan hak-hak anak, yang didasarkan atas pertimbangan bahwa anak-anak merupakan golongan yang rawan, disamping karena adanya golongan anak-anak yang mengalami hambatan dalam pertumbuhan dan perkembangannya, baik fisik, mental, dan sosial. Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 20 November 1989 telah menyetujui Konvensi Hak-Hak Anak, yang diratifikasi oleh bangsa Indonesia dengan Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990. Dalam konvensi itu ditentukan antara lain : larangan penyiksaan, perlakuan atau hukuman kejam, hukuman mati, penjara seumur hidup, dan penahanan semena-mena atau perampasan kebebasan anak; hak anak yang didakwa ataupun diputuskan telah melakukan pelanggaran untuk tetap dihargai hak asasinya dan khususnya untuk menerima manfaat dari segala proses hukum atau bantuan hukum lainnya dalam
42
penyiapan dan pengajuan pembelaan mereka. Prinsip demi hukum dan institusional sedapat mungkin dihindari. Dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Perkawinan, dijumpai pengaturan hak dan perlindungan anak, seperti : a. Perlindungan dan jaminan hak anak untuk tetap memperoleh pemeliharaan dan pendidikan dalam hal terjadi perceraian, dengan pembebanan biaya pemeliharaan dan pendidikan anak pertama-tama dan terutama kepada bapak (Pasal 41), b. Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya (Pasal 43 ayat 1), c. Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya (Pasal 45 ayat 1), d. Orangtua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya (Pasal 48), e. Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orangtua, berada dibawah kekuasaan wali, perwalian ini mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya (Pasal 50), f. Wali yang bertanggung jawab tentang harta benda anak yang berada dibawah perwalian serta kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan atau kelalaiannya (Pasal 51 ayat 1),
43
g. Wali yang telah menyebabkan kerugian terhadap harta benda anak yang berada dibawah kekuasaannya, atas tuntutan anak atau keluarga anak tersebut dengan keputusan pengadilan yang bersangkutan dapat diwajibkan untuk mengganti kerugian tersebut (Pasal 54). Didalam Pasal 2 UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak menentukan bahwa : a. Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya maupun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar, b. Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya, sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian bangsa, untuk menjadi warga negara yang baik dan berguna, c. Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan, d. Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar. Dalam keadaan yang membahayakan, anaklah yang pertama-tama berhak mendapat pertolongan, bantuan dan perlindungan (Pasal 3 UU No. 4 Tahun 1979). Anak yang mengalami masalah kelakuan diberi pelayanan dan asuhan yang bertujuan menolongnya guna mengatasi hambatan yang terjadi dalam masa pertumbuhan dan perkembangannya. Pelayanan dan asuhan juga diberikan kepada
44
anak yang telah dinyatakan bersalah melakukan pelanggaran hukum berdasarkan keputusan hakim (Pasal 6 UU No. 4 Tahun 1979). Pasal 66 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menentukan : a. Setiap anak berhak untuk tidak dijadikan sasaran penganiayaan, penyiksaan atau penjatuhan hukuman-hukuman yang tidak manusiawi, b. Hukuman mati atau hukuman seumur hidup tidak dapat dijatuhkan untuk pelaku tindak pidana yang masih anak, c. Setiap anak berhak untuk tidak dirampas kebebasannya secara melawan hukum, d. Penangkapan, penahanan atau pidana penjara hanya boleh dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir, e. Setiap anak dirampas kebebasannya berhak mendapat perlakuan secara manusiawi dan dengan memperhatikan kebutuhan pengembangan pribadi sesuai dengan usianya dan harus dipisahkan dari orang dewasa, kecuali demi kepentingannya, f. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku, g. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk membela diri dan memperoleh keadilan didepan Pengadilan Anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang yang tertutup untuk umum.
45
2.5.2 Kewajiban Anak Selain berbicara mengenai hak-hak anak, anak-anak juga memiliki kewajiban yang harus dipenuhi dan dijalankan. Karena antara hak dan kewajiban adalah suatu hal yang akan selalu berjalan bersamaan. Kewajiban berarti sesuatu yang wajib diamalkan (dilakukan), keharusan, tugas yang harus dilakukan.40 Menurut Setya Wahyudi, anak melakukan kewajiban bukan semata-mata sebagai beban, tetapi justru dengan melakukan kewajiban-kewajiban menjadikan anak tersebut berpredikat anak baik.41 Anak yang baik tidak hanya meminta hak-haknya untuk dipenuhi, tetapi akan melakukan kewajiban-kewajibannya sebagai seorang anak agar semua berjalan dengan secara bersamaan. Berdasarkan UU No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, disebutkan bahwa ada lima kewajiban anak di Indonesia yang semestinya dilakukan, antara lain : a. Menghormati orang tua, wali, dan guru, b. Mencintai keluarga, mayarakat dan menyayangi teman, c. Mencintai tanah air, bangsa dan negara, d. Menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya, e. Melaksanakan etika dn akhlak yang mulia. Anak wajib menghormati orang tua, karena ayah dan ibu berhak dari segala manusia untuk dihormati dan di taati. Selain itu orang tua berperan penting
40
W.J.S Poerwadarminta, 2005, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, h.
1359 41
Setya Wahyudi, 2011, Implementasi Ide Diversi dalam Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta, h. 26
46
dalam proses tumbuh kembang anak, mulai sejak kandungan para orang tua telah mencurahkan segala rasa kasih sayang mereka terhadap anaknya, maka hendaknya selalu hormati orang tua dan tunjukan rasa sayang kepada mereka. Kewajiban anak menghormati guru, karena guru telah mendidik, melatih otak, menunjukkan kepada kebaikan dan kebahagiaan. Maka patutlah pula bila anak wajib mencintai dan menghormatinya. Anak wajib mencintai keluarga, seperti saudara kandung, saudara ayah dan saudara ibu, karena mereka ikut menolong keperluan ayah dan ibu. Kewajiban mecintai masyarakat seperti tetangga, karena tetangga hidup bersama dengan keluarga (ayah-ibu). Didalam memenuhi keperluan sehari-hari orang tua dan keperlua anak mesti membutuhkan bantuan tetangga. Demikian pula terhadap teman, anak harus menghormati, karena mereka merupakan sahabat yang tolong menolong. Oleh karena itu, anak berkewajiban pula untuk mencintai masyarakat atau tetangga dan teman-temannya. Anak wajib mencintai tanah air sebagai tempat dilahirkan, tempat tinggal dan hidup bersama kerabat dan juga teman lainnya. Negara telah memberikan fasilitas dan perlindungan terhadap warganya, maka dari itu sudah seharusnya mencintai dan membela tanah air. Semua orang sebanga dengan kita adalah warga masyarakat dengan bahasa persatuan yang sama, dan mereka tidak segan berkorban untuk kemuliaan tanah air, hidup bersama senasib sepenanggungan. Hal-hal ini yang menjadikan semua wajib untuk mencintai tanah air, bangsa dan negara. Anak wajib melakukan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya, dalam hal
47
ini tidak terlepas dari tuntutan orang tua atau guru yang memberikan pelajaran agama. Anak wajib melaksanakan etika dan akhlak mulia sebagai wujud kepedulian sosial yang membuat hubungan antar anak dengan anak, anak dengan orang tua, dan anak dengan masyarakat agar tercipta hubungan yang teratur dan harmonis. Melalui pembelajaran dan kewajiban beretika dan berakhlak mulia, diharapkan akan memperoleh anak yang cerdas, bertanggung jawab, memiliki kesopanan dan kepekaan terhadap sesame, dengan demikian anak akan menjadi pribadi yang positif dan berguna bagi bangsa dan negara. 2.6
Perlindungan Anak
Perlindungan anak merupakan pembinaan yan penting untuk generasi muda. Dimana pembinaan generasi muda merupakan bagian integral dari Pembangunan Nasional dan juga menjadi sarana guna mencapai tujuan Pembangunan Nasional, yaitu masyarakat adil dan makmur serta aman dan sentosa berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Konsepsi perlindungan anak meliputi ruang lingkup yang luas, dalam arti bahwa perlindungan anak tidak hanya mengenai perlindungan atas jiwa dan raga si anak, tetapi mencakup pula perlindungan atas semua hak serta kepentingannya yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangan yang wajar, baik secara rohani, jasmani, maupun sosialnya sehingga diharapkan dapat mencapai dan memelihara tujuan Pembangunan Nasional tersebut.42
42
Wagiati Sutedjo, 2006, Hukum Pidana Anak, Bandung : PT. Refika Aditama, h. 62
48
Perlindungan anak adalah segala usaha yang dilakukan untuk menciptakan kondisi agar setiap anak dapat hak dan kewajibannya demi perkembangan dan pertumbuhan anak secara wajar baik fisik, mental dan sosial. Perlindungan anak merupakan perwujudan adanya keadilan dalam suatu masyarakat, dengan demikian perlindungan anak diusahakan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Kegiatan perlindungan anak membawa hukum, baik dalam kaitannya dengan hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis. Namun perlindungan anak tidak boleh dilakukan secara berlebihan dan memperhatikan dampaknya terhadap lingkungan maupun diri anak itu sendiri agar tidak berakibat negatif. Perlindungan anak dapat dibedakan dalam 2 (dua) bagian yaitu : 1. Perlindungan anak yang bersifat yuridis, yang meliputi perlindungan dalam bidang hukum publik dan dalam bidang hukum keperdataan, 2. Perlindungan anak yang bersifat non yuridis, meliputi perlindungan dalam bidang sosial, bidang kesehatan, bidang pendidikan. Seorang ahli dalam perlindungan anak, Peter Newel mengemukakan beberapa alasan subjektif dari sisi keberadan anak, sehingga anak membutuhkan perlindungan, antara lain : 1. Biaya pemulihan (recovery) akibat kegagalan dalam memberikan perlindungan anak sangat tinggi, jauh lebih tinggi daripada biaya yang dikeluarkan jika anak-anak memperoleh perlindungan,
49
2. Anak-anak sangat berpengaruh langsung dan berjangka panjang atas perbuatan (action) ataupun tidak adanya/dilakukannya perbuatan (unaction) dari pemerintah dan kelompok lainnya, 3. Anak-anak selalu mengalami pemisahan atau kesenjangan dalam pemberian pelayanan publik, 4. Anak-anak tidak mempunyai hak suara, dan tidak mempunyai kekuatan lobi untuk mempengaruhi agenda kebijakan pemerintah, 5. Anak-anak pada banyak keadaan tidak dapat mengakses perlindungan dan penataan hak-hak anak, dan 6. Anak-anak lebih beresiko dalam eksploitasi dan penyalahgunaan. Upaya perlindungan anak direspon dalam Majelis Umum PBB yang mengeluarkan pernyataan Deklarasi Hak Anak pada 20 November 1959 yang dapat dilihat dalam Asas (1), Asas (2) dan Asas (9) yang pada prinsipnya antara lain mengatakan bahwa : a. Asas (1), menyatakan anak hendaknya menikmati semua hak yang dinyatakan dalam deklarasi ini. Setiap anak, tanpa pengecualian apapun, harus menerima hak-hak ini, tanpa perbedaan atau diskriminasi ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik, asal usul kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran atau status sosial lainnya, baik dirinya maupun keluarganya, b. Asas (2), menyatakan anak harus menikmati perlindungan khusus dan harus diberikan kesempatan dan fasilitas oleh hukum atau peraturan lainnya, untuk memungkinkan tumbuh jasmaninya, rohaninya,
50
budinya, kejiwaannya dan kemasyarakatannya dalam keadaan sehat dan wajardalam kondisi yang bebas dan bermartabat. Dalam penetapan hukum untuk tujuan ini, perhatian yang terbaik adalah pada saat anak harus menjadi pertimbangan pertimbangan pertama, c. Asas (9), menyatakan anak harus dilindungi dari semua bentuk kelalaian, kekejaman dan eksploitasi. Anak tidak boleh menjadi sasaran perdagangan dalam segala bentuknya. Selanjutnya, upaya perlindungan anak akhirnya membuahkan hasil nyata dengan di deklarasikan Konvensi Hak Anak (Convention on the Right of The Child) secara bulat oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 20 November 1989 (Resolusi PBB No.44/25 tanggal 5 Desember 1989). Sejak saat itu, maka anakanak seluruh dunia memperoleh perhatian khusus dalam standar Internasional. Indonesia sendiri sebagai anggota PBB, meratifikasi Konvensi Hak Anak melalui Kepres No. 36 Tahun 1990 yang menandakan bahwa Indonesia secara nasional memiliki perhatian khusus terhadap hak-hak anak. Sebagai negara yang Pancasilais, serta menjunjung tinggi nilai-nilai kebangsaan dan kemanusiaan, Indonesia memiliki banyak peraturan yang secara tegas memberikan upaya perlindungan anak. Dalam Konstitusi UUD 1945, disebutkan bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Kemudian juga perlindungan spesifik hak anak sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia, masuk dalam Pasal 28B ayat (2), bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta memperoleh perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
51
Undang-Undang Perlindungan Anak di Indonesia dilengkapi dengan memasukan prinsip-prinsip hak anak pada UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisten Pendidikan Nasional, UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kepedudukan, UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), UU No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Keppres RI No.59 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak, Keppres RI No. 87 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak, Keppres RI No. 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan (Trafficking) Perempuan dan Anak. Kemudian pada tahun 2012 disahkan UU No. 9 Tahun 2012 tentang Protokol Opsional Konvensi Hak-Hak Anak mengenai Keterlibatan Anak dalam Konflik Bersenjata dan UU No. 10 Tahun 2012 tentang RUU Protokol Opsional Konvensi Hak-Hak Anak mengenai Penjualan Anak, Prostitusi Anak, dan Pornografi Anak. Dari berbagai peraturan yang ada, maka secara yuridis Indonesia telah berupaya secara maksimal dalam memberikan perlindungan terhadap hak anak. Yang kemudian dibutuhkan adalah implementasi dari berbagai macam peraturan yang sudah ada, dimana hal ini merupakan tugas dan kewenangan dari lembaga eksekutif.