Jurnal Surya Kencana Dua: Dinamika Masalah Hukum dan Keadilan Vol. 3 No.2 Desember 2016
1
DIVERSI DAN RESTORATIVE JUSTICE TERHADAP ANAK BERKONFLIK DENGAN HUKUM DALAM PELAKSANAAN SISTEM PEMASYARAKATAN Oleh : Rachmayanthy Dosen Universitas Pamulang Tangerang Selatan Email :
[email protected]
Abstrak Anak yang berkonflik dengan hukum menurut Undang Undang RI Nomor 12 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak atau disingkat UU SPPA adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Pada situasi penegak hukum anak rentan terhadap dampak negatif yang timbul akibat adanya proses peradilan, seperti stigmatisasi. Masyarakat mempunyai kecenderungan memberikan ”pengecapan” bahwa mereka adalah anak-anak yang nakal/ kriminal sehingga sudah sepantasnya dijauhkan dari pergaulan masyarakat, atau bahkan dianggap sebagai individu yang pantas di penjara. Dengan demikian, menjauhkan anak dari proses peradilan (terutama menjauhkan anak dari pemenjaraan) merupakan hal yang seharusnya dikedepankan. Deinstitusionalisasi terhadap anak yang berkonflik dengan hukum adalah satu kebijakan strategis yang berpihak pada kepentingan terbaik bagi anak. Oleh karenanya, penahanan dan pemenjaraan merupakan upaya terakhir anak yang berkonflik dengan hukum, mengingat besarnya dampak sosiologis dan psikologis bagi anak. Penyelesaian terbaik perkara anak yang efektif demi kepentingan terbaik anak serta memperhatikan perlindungan hak-hak anak, adalah diversi dan restorative justice. Diversi menurut UU SPPA adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses diluar peradilan pidana. Sedangkan Restorative Justice adalah proses dimana semua pihak yang berhubungan dengan tindak pidana tersebut bermusyawarah untuk memecahkan masalah dan memikirkan bagaimana mengatasi masalah tersebut serta akibat yang akan terjadi pada masa yang akan datang. Pemasyarakatan sebagai sebuah sistem dan merupakan subsistem dari sistem peradilan pidana (criminal justice system) memiliki kedudukan di setiap tahapan proses peradilan khususnya peradilan pidana anak, di mulai dari tahap pra-adjudikasi, adjudikasi (dilaksanakan oleh unit pelaksana teknis Bapas dan LPAS) dan tahap post-adjudikasi (dilaksanakan oleh unit pelaksana teknis LPKA dan Bapas). Balai Pemasyarakatan atau disingkat dengan Bapas merupakan subsistem pemasyarakatan yang berperan dari awal proses peradilan pidana. Fungsi Bapas pada kedua tahap baik pra-adjudikasi dan adjudikasi adalah pendampingan, pembimbingan, pengawasan dalam diversi, proses persidangan anak serta restorative justice. Pada tahap post-adjudikasi tetap diperlukan prinsip restorative justice yang pelaksanaanya melibatkan peran LPKA, Bapas dan pihak lain yang terkait. Kata Kunci: Anak yang berkonflik dengan hukum, Diversi, Restorative Justice, Pemasyarakatan
Rachmayanthy
Diversi dan restorative justice terhadap anak berkonflik.....................................
2
Abstract Juvenile in conflict with the law according to Indonesian constitution number 12 years 2012 about Junenile Justice System are Children, which have riched 12 years old and under 18 years old suspected crime. Law enforcement for juvenile suspectible of negative impact cause by the judicial process, such as Stigma. Community has tend to “judge” that they are naughty children/ criminal and worthly to be dissociated from society, or even worthy imprisoned. Therefore, dissociate juvenile from judicial process (especially imprisoned) is more preferred. Deinstitutionalization for juvenile in conflict with the law is one of strategic policy for children best interest. Therefore, detention and imprisoned were the last attempt in consider of sociological and psychological impact. Best solution in juvenile case were diversion and restorative justice. Diversion according to Indonesian Constitution is diversion settlement of juvenile case from criminal justice process to other. While, restorative justice is a process when every body/ side that involved are gathered to talk about the win win solution of the problem which best for nowadays and future interest. Correctional is a system and subsystem is every stages of criminal justice system, especially the criminal justice of juvenile. The stages began from pra adjudication, adjudication (by Bapas and LPAS) and post adjudication stage (by LPKA and Bapas). Balai Pemansyarakatan or we call it Bapas is a subsystem of correction which has role from beginning of criminal justice process. Its function is pra adjudication and adjudication stages were accompaniment, guiding, supervision of diversion criminal justice of juvenile and also restorative justice. In post adjudication stage, the principle of restorative justice is still needed with LPKA, Bapas and other are involved for the implementation. Keywords: Juvenile in conflict with the law, Diversion Restorative justice, Correction A. Latar Belakang Fenomena yang berkembang di masyarakat agar menuntut (yang diamini oleh aparat penegak hukum) untuk memenjarakan setiap pelaku pelanggaran hukum, hal ini tentu saja berdampak pada tingginya tingkat hunian Lapas/ Rutan. Data menunjukan bahwa hampir di semua Lapas/ Rutan seluruh Indonesia, terutama kota-kota besar, sudah mengalami kondisi over capacity (isi hunian lebih tinggi daripada kapasitas hunian). Bahkan ada beberapa Lapas/ Rutan yang melebihi kapasitas hunian sudah melebihi 200%. Kondisi ini tentu saja berdampak pada tidak efektifnya pelaksanaan pembinaan narapidana.1 Bagi anak yang berkonflik dengan hukum, anak berada pada situasi penegak hukum karena dianggap telah melakukan perbuatan yang melanggar aturan hukum yang berlaku. Pada situasi yang demikian, anak sangat rentan terhadap dampak negatif yang
1
Andi Wijaya, Pemasyarakatan Dalam Dinamika Hukum dan Sosial, (Jakarta: Penerbit Lembaga Kajian Pemasyarakatan, 2011), hlm. 183.
Jurnal Surya Kencana Dua: Dinamika Masalah Hukum dan Keadilan Vol. 3 No.2 Desember 2016
3
timbul akibat adanya proses peradilan, seperti stigmatisasi. Masyarakat mempunyai kecenderungan memberikan ”pengecapan” bahwa mereka adalah anak-anak yang nakal/ kriminal sehingga sudah sepantasnya dijauhkan dari pergaulan masyarakat, atau bahkan dianggap sebagai individu yang pantas di penjara. Dampak lain apabila anak dalam pemenjaraan adalah terjadinya proses prisonisasi karena sebagaimana diungkapkan oleh Donald Clemmer bahwa pemenjaraan dapat mengakibatkan terjadinya proses prisonisasi. Prisonisasi (prisonization) adalah sosialisasi yang bersifat negatif yang terjadi melalui pemenjaraan karena adanya budaya penjara, dan terjadinya internalisasi terhadap aspek negatif budaya penjara tersebut.2 Tidak kalah penting bahwa penyebutan ”kejahatan anak” juga harus dihindari dengan penyebutan yang lebih ramah terhadap anak, menurut Ruth Strang sebagaimana yang dikutip oleh Sabrina Hidayat menterjemahkan juvenile delinquency dengan kenakalan anak-anak dan menghindarkan penggunaan istilah kejahatan anak.3 Menurut Romli Atmasasmita, delinquensi adalah suatu tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh seorang anak yang dianggap bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku di suatu Negara dan yang oleh masyarakat itu sendiri dirasakan serta ditafsirkan sebagai perbuatan yang tercela.4 Dalam Encyclopedia of Criminal delikuensi diartikan perbuatan anti sosial yang bila dilakukan oleh orang dewasa dinamakan kejahatan (crime), sedangkan bila dilakukan oleh anak disebut sebagai delikuensi (kenakalan).5 Data tercatat jumlah anak yang menjadi penghuni Rutan dan Lapas pada tahun 2012 sejumlah 5.359 orang. Hal ini mengindikasikan bahwa sistem peradilan pidana anak belum ramah anak dan belum secara komprehensif memberikan perlindungan kepada anak. Dengan demikian, menjauhkan anak dari proses peradilan (terutama menjauhkan anak
dari
pemenjaraan)
merupakan
hal
yang
seharusnya
dikedepankan.
Deinstitusionallisasi terhadap anak yang berkonflik dengan hukum adalah satu 2
Donald, Clemmer, The Prison Community, (New York: Holt, Rinehart and Winston, 1966),
hlm.313. 3 Hidayat, Sabrina, Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Proses Peradilan Pidana, Jurnal Hukum Gema Pendidikan, No 1, Januari 2007, hlm. 40. 4 Gultom, Maidin, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2008), hlm. 56. 5 Simandjuntak, Latar Belakang Kenakalan Remaja (Etimologi Juvenile Delinquensi), (Bandung: Alumni. 1979), hlm.58.
Rachmayanthy
Diversi dan restorative justice terhadap anak berkonflik.....................................
4
kebijakan strategis yang berpihak pada kepentingan terbaik bagi anak. Oleh karena nya, penahanan dan pemenjaraan merupakan upaya terakhir anak yang berkonflik dengan hukum, mengingat besarnya dampak sosiologis dan psikologis bagi anak.6 Prinsip perlindungan hukum terhadap anak berdasarkan ketentuan Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child ) yang diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990, kemudian juga dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dan Undang –Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang kesemuanya mengemukakan prinsip-prinsip umum perlindungan anak, yaitu non diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang, dan menghargai partisipasi anak. Sehingga perlindungan anak berkonflik dengan hukum yaitu pengalihan dari pemidanaan dapat dilakukan melalui kebijakan diversi yang salah satunya dari proses restorative justice, sesuai dengan yang diamanatkan UndangUndang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang disingkat dengan UU SPPA. Penghukuman tanpa pemenjaraan, seperti diversi dan prinsip restorative justice sejalan dengan semangat Pemasyarakatan yang mempunyai perhatian besar pada upaya untuk memulihkan hubungan hidup, kehidupan, dan penghidupan pelanggar hukum.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas maka dapat ditarik rumusan masalahnya sebagai berikut : 1. Bagaimana kedudukan Pemasyarakatan menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak terkait diversi dan restorative justice ? 2. Bagaimana pelaksanaan diversi dan restorative justice bagi anak yang berkonflik dengan hukum dalam Sistem Pemasyarakatan ?
C. Metode Penelitian Pendekatan masalah yang digunakan dalam tulisan ini adalah dengan menggunakan bentuk penelitian kualitatif bersifat yuridis normatif dan yuridis empiris.
6
Andi Wijaya, op.cit. hlm. 184.
Jurnal Surya Kencana Dua: Dinamika Masalah Hukum dan Keadilan Vol. 3 No.2 Desember 2016
Proses penelitian
5
ini menggunakan dua sumber data yaitu data primer dan data
sekunder. Data kemudian diolah dan dianalisa untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini.
D. Pembahasan Anak yang berkonflik dengan hukum atau yang disingkat anak menurut UU SPPA adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Pada situasi anak yang berkonflik dengan hukum yang demikian, anak adalah pihak yang sangat tidak diuntungkan. Mereka berada pada situasi yang akan sangat menghambat proses tumbuh kembang dan rentan terhadap berbagai dampak negatif proses peradilan. Data kondisi tahanan dan anak didik pemasyarakatan per bulan Januari 2012 berdasarkan sumber data dari Biro Pusat Statistik ditemukan sejumlah 5.517 tahanan anak di Rutan dan Lapas di seluruh Indonesia. Jumlah tersebut belum termasuk anak anak yang ditahan di kantor polisi (Polsek, Polres, Polda, Mabes). Kemudian pada tahun yang sama tercatat 9.456 anak anak yang berstatus anak didik (anak sipil, anak Negara, dan anak pidana) tersebar di seluruh Rutan dan Lapas dewasa. Kondisi ini sangat memprihatinkan karena banyak anak yang harus berhadapan dengan sistem peradilan dan mereka ditempatkan di tempat penahanan dan pemenjaraan bersama orang dewasa sehingga mereka rawan mengalami tindak kekerasan. Mengacu kepada prinsip tentang perlindungan anak terutama prinsip mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak maka diperlukan proses penyelesaian perkara anak diluar mekanisme pidana atau biasa disebut diversi, karena Lapas bukanlah jalan untuk menyelesaikan permasalahan anak. Oleh karena itulah mengapa diversi khususnya melalui konsep Restorative Justice menjadi suatu pertimbangan yang sangat penting dalam menyelesaikan perkara pidana yang dilakukan oleh anak. Restorative Justice merupakan sebuah alternatif penanganan terhadap suatu pelanggaran hukum yang menitik beratkan pada upaya untuk memberikan penyelesaian secara berkeadilan dan mencoba memulihkan keadaan seperti semula7 .
7
Andi Wijaya, Ibid, hlm.176.
Rachmayanthy
Diversi dan restorative justice terhadap anak berkonflik.....................................
6
Menurut Jack E Bynum dalam bukunya Juvenil Delinquency a Sociological Approch, yaitu ”Diversion is an attempt in divert, or channel out, youthful offenders from the juvenile justice system” (diversi adalah sebuah tindakan atau perlakuan untuk mengalihkan atau menempatkan pelaku tindak pidana anak keluar dari sistem peradilan pidana). 8 Konsep diversi didasarkan pada kenyataan bahwa proses peradilan pidana terhadap anak pelaku tindak pidana melalui sistem peradilan pidana lebih banyak menimbulkan bahaya daripada kebaikan. Usaha pencegahan anak inilah yang membawa aparat penegak hukum untuk mengambil wewenang diskresi atau di deinstitusional dari sistem peradilan pidana formal. Tony Marshall memberikan definisi dari Restorative Justice sebagai proses yang melibatkan semua pihak yang memiliki kepentingan dalam masalah pelanggaran tertentu untuk datang bersama-sama menyelesaikan secara kolektif bagaimana menyikapi dan meyelesaikan akibat dari pelanggaran dan implikasinya untuk masa depan. 9 Sedangkan menurut Marian Liebmann pengertian Restorative Justice adalah suatu sistem hukum yang bertujuan untuk mengembalikan kesejahteraan korban, pelaku dan masyarakat yang rusak oleh kejahatan, dan untuk mencegah pelanggaran atau tindakan kejahatan lebih lanjut.10 Penegasan penyelesaian perkara anak melalui Diversi telah dituangkan di dalam Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses diluar peradilan pidana. Sedangkan Restorative Justice adalah proses dimana semua pihak yang berhubungan dengan tindak pidana tersebut bermusyawarah untuk memecahkan masalah dan memikirkan bagaimana mengatasi masalah tersebut serta akibat yang akan terjadi pada masa yang akan datang.11 Terkait penyelesaian perkara anak melalui kebijakan diversi dan restorative justice, pemasyarakatan memiliki peran besar dalam mengupayakan kebijakan dimaksud agar anak yang berkonflik dengan hukum didalam pelaksanaan sistem 8
Jack E Bynum, William E. Thompson, Juvenile Delinquency a Sociological Approach., (Boston: Allyn and Bacon A Peason Education Company, 2002), hlm. 430. 9 Braithwaite, John, Restorative Justice and Responsive Regulation, (Oxford: Oxpord University Press, 2002), hlm 10. 10 Marian Liebmann, Restorative Justice: How is Work, (London: Jessica Kingsley Publisher, 2007), hlm. 25. 11 http://anjarnawanyep.wordpress.com/konsep-diversi-dan-restorative-justice/ diunduh pada hari senin tanggal 14 November 2016.
Jurnal Surya Kencana Dua: Dinamika Masalah Hukum dan Keadilan Vol. 3 No.2 Desember 2016
7
peradilan pidana anak sejak tahap pra adjudikasi, adjudikasi sampai post adjudikasi. Apabila kita bandingkan data tingkat hunian anak dari tahun 2012 hingga tahun 2015, ada pengurangan yang signifikan terhadap anak yang ditempatkan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA)/ Lapas/ Rutan sejak diterbitkannya UU SPPA dapat dilihat sebagai berikut: Tabel Angka Hunian Anak di LPKA/ Lapas/ Rutan Tahun
2012
2013
2014
2015
TAHANAN
2063
1913
790
663
NARAPIDANA
3295
3110
2962
2270
JUMLAH
5358
5023
3752
2933
Sumber data: smslap.ditjenpas.go.id Tahun 2012-2015 Dari data tersebut dapat dijelaskan bahwa sejak diterbitkannya UU SPPA di tahun 2012 dan telah diterapkan sebagai payung hukum dalam pelaksanaan penyelesaian perkara anak pada sistem peradilan pidana anak, maka telah terjadi penurunan angka hunian anak yang sangat signifikan, yaitu sebesar 40 % atau sejumlah 2.933 orang di tahun 2015 dari angka hunian sejumlah 3.752 di tahun 2014. Hal ini membuktikan bahwa UU SPPA membawa perubahan besar terhadap sistem peradilan pidana anak dengan pendekatan diversi dan keadilan restoratif (restorative justice) yang mengedepankan upaya pemenuhan hak-hak anak demi kepentingan terbaik anak. Apabila ditelaah dari isi ketentuan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 maka ”criminal justice system” di Indonesia terdiri dari komponen kepolisian, kejaksaan, pengadilan negeri dan lembaga pemasyarakatan sebagai aparat penegak hukum. 12 Pemasyarakatan sebagai sebuah sistem dan merupakan subsistem dari sistem peradilan pidana (criminal justice system) memiliki kedudukan di setiap tahapan proses peradilan khususnya peradilan pidana anak, di mulai dari tahap praadjudikasi, adjudikasi (dilaksanakan oleh unit pelaksana teknis Bapas dan LPAS) dan tahap post-adjudikasi (dilaksanakan oleh unit pelaksana teknis LPKA dan Bapas). Balai Pemasyarakatan atau disingkat dengan Bapas merupakan subsistem pemasyarakatan yang berperan dari awal proses peradilan pidana. Fungsi Bapas pada kedua tahap baik pra-adjudikasi dan adjudikasi adalah pendampingan, pembimbingan, 12
Yesmil Anwar, Adang, Sistem Peradilan Pidana, (Bandung: Widya Padjajaran,Bandung, 2009), hlm, 62.
Rachmayanthy
Diversi dan restorative justice terhadap anak berkonflik.....................................
8
pengawasan dalam diversi, proses persidangan anak serta restorative justice. Pada tahap post-adjudikasi tetap diperlukan prinsip restorative justice yang pelaksanaanya melibatkan peran LPKA, Bapas dan pihak lain yang terkait. Seperti dijelaskan pada gambar berikut. PROSES SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK BALAI PEMASYARAKATAN
Integrented Crim inal Justice System
M M
P OL I S I ( PE NY I D IK)
A
J AKS A ( PE NUNT UT )
H AKI M ( PE NG A DI L A N)
L PK A
A S
S
Y
Y
L P AS
A R A K
R U P BA S A N ( Ba r an g B uk t i )
T i n da ka n
0 – 1/3 Pembina an dalam Lapas A d m isi Orientas i
T P P
1/3 1/2 -Pem bi naan keprib adian -Kem a ndirian
T P P T P P
1/2 - 3/2 Asim ilasi dalam Lapas d a n di luar Lapas
A T P P
2 / -Se 3 lesai ⁻PB ⁻ CB -CMB
A
R A K A
T
T
B A LA RA K A TA N L A I PEM A S YA YAR AK
Dalam proses sistem peradilan pidana anak, Balai Pemasyarakatan (Bapas) tergambar memiliki peran yang sangat luas ia berada di semua posisi mulai tahap praadjudikasi, adjudikasi sampai tahap post-adjudikasi. Dimana penjelasan proses penanganan anak yang berkonflik dengan hukum dimulai anak menjadi tersangka pada tahap awal peradilan atau pra-adjudikasi yaitu proses penyidikan anak oleh kepolisian, keterlibatan pemasyarakatan dalam hal pendampingan terhadap anak dilaksanakan oleh PK (pembimbing kemasyarakatan) Bapas. Peran PK dalam pendampingan berdasarkan pasal 24 ayat 2 UU SPPA pada tahapan penyidikan, antara lain memberikan inisiasi, berkoordinasi, memfasilitasi dan memediasi untuk upaya diversi dan menyiapkan penelitian kemasyarakatan (Litmas). Penelitian kemasyarakatan adalah kegiatan penelitian untuk mengetahui latar belakang kehidupan anak (WBP) yang dilaksanakan oleh BAPAS
menurut pasal 1 angka 3 PP No.31 Tahun 1999, sebagai bahan
musyawarah yang akan disajikan pada saat mediasi dalam upaya diversi. Sedangkan tujuan diversi menurut UU SPPA yaitu mencapai perdamaian antara korban dan anak; menyelesaikan perkara anak diluar proses peradilan; menghindarkan anak dari
Jurnal Surya Kencana Dua: Dinamika Masalah Hukum dan Keadilan Vol. 3 No.2 Desember 2016
perampasan
kemerdekaan;
mendorong
masyarakat
untuk
9
berpartisipasi
dan
menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak. Apabila upaya diversi pada tingkat penyidikan gagal tahapan selanjutnya perkara diteruskan atau dilimpahkan ke jaksa penuntut umum (kejaksaan). Peran PK Bapas pada tahap adjudikasi yaitu melakukan pendampingan kepada anak pada saat persidangan pengadilan negeri dan tetap mengupayakan diversi namun apabila upaya diversi gagal, PK Bapas berdasarkan pasal 60 UU SPPA wajib mengikuti sidang pengadilan untuk menyajikan dan membacakan Litmas guna menyampaikan hal-hal yang dianggap perlu terkait latarbelakang dan kehidupan objektif anak
dalam
pemeriksaan di sidang pengadilan negeri sebagai bahan pertimbangan hakim dalam memutus perkara anak (menjatuhkan vonis kepada anak). Kalaupun mediasi guna upaya diversi gagal atau upaya keadilan restoratif gagal (putusan pidana bersyarat) dan anak terpaksa harus diputus pidana penjara maka anak tetap mendapat perlindungan terhadap hak-hak anak dan di tempatkan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Tahap post adjudikasi dimana anak yang dijatuhi putusan pidana penjara dan ditempatkan di LPKA. Pada tahap ini pemasyarakatan melaksanakan 2 (dua) peran sekaligus; pertama peran dari PK Bapas dan kedua peran LPKA. PK Bapas berperan melaksanakan pembimbingan. Pembimbingan adalah pemberian tuntunan untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan terhadap Tuhan YME, intelektual, sikap, perilaku, profesional, serta kesehatan jasmani dan rohani klien pemasyarakatan (PP No.31 Tahun 1999 tentang pembinaan & pembimbingan WBP) melalui metode pembimbingan. Metode pembimbingan adalah suatu prosedur kerja yang teratur dan sistematis yang digunakan oleh PK dalam proses pembimbingan terhadap klien pemasyarakatan (anak didik pemasyarakatan)). Peran kedua pemasyarakatan adalah pelaksanaan Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) adalah lembaga atau tempat anak menjalani masa pidananya. LPKA berbasis model lembaga ramah anak yang memperhatikan dan melindungi hak-hak anak berdasarkan pedoman perlakuan bagi anak. Pedoman perlakuan bagi anak
menitik
beratkan program pembinaan berbasis budi pekerti dan berpokus pada pelaksanaan pendidikan, baik formal maupun non formal. Sesuai dengan amanat yang tertuang pasal 84 UU SPPA yaitu:
Rachmayanthy
Diversi dan restorative justice terhadap anak berkonflik.....................................
10
(1) Anak yang ditahan ditempatkan di LPAS. (2) Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berhak memperoleh pelayanan, pendidikan dan pelatihan, pembimbingan dan pendampingan, serta hal lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) LPAS wajib menyelenggarakan pendidikan, pelatihan ketrampilan, dan pemenuhan hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Pembimbing Kemasyarakatan melakukan penelitian kemasyarakatan untuk menentukan penyelenggaraan program pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) (5) Bapas
wajib
melakukan
pengawasan
terhadap
pelaksanaan
program
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Dan Pasal 85 UU SPPA yaitu: (1) Anak yang dijatuhi pidana penjara ditempatkan di LPKA (2) Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berhak memperoleh pembinaan, pembimbingan, pengawasan, pendampingan, pendidikan dan pelatihan, serta hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (3) LPKA wajib menyelenggarakan pendidikan, pelatihan ketrerampilan, pembinaan dan pemenuhan hal lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. (4) Pembimbing Kemasyarakatan melakukan penelitian kemasyarakatan untuk menentukan penyelenggaraan program pendidikan dan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3). (5) Bapas
wajib
melakukan
pengawasan
terhadap
pelaksanaan
program
sebagaimana dimaksud pada ayat (4). Pasal 88 menyebutkan pelaksanaan tugas dan fungsi Bapas, LPAS, dan LPKA dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan per-Undang-Undangan. Dengan demikian lingkup proses yang dilaksanakan pemasyarakatan yang dilaksanakan oleh Bapas sebagai ujung tombak, menjadi begitu kompleks dan komprehensive khususnya terhadap penanganan anak dalam sistem peradilan pidana anak yang mengedepankan diversi dan keadilan restoratif.
Selain itu kebijakan
restoratif justice (keadilan restoratif) dapat dilakukan dalam 2 (dua) bentuk. Pertama, dengan memberikan pidana diluar penjara seperti pidana bersyarat, pidana pelayanan
Jurnal Surya Kencana Dua: Dinamika Masalah Hukum dan Keadilan Vol. 3 No.2 Desember 2016
11
sosial dan pidana pengawasan. Kedua, dengan memberikan pembebasan bersyarat atau kebijakan pembinaan berbasis masyarakat lainnya ketika anak telah menjani sebagian dari masa pidana penjaranya.
E. Penutup 1. Pemasyarakatan sebagai sebuah sistem tidak hanya memiliki tugas dan fungsi di penghujung sistem peradilan pidana anak atau sebatas pelaksana putusan pidana penjara oleh pengadilan negeri yang dilaksanakan oleh Lapas Anak/ LPKA saja, namun peran
terhadap penyelesaian anak yang berkonflik dengan hukum oleh
pemasyarakatan dilaksanakan melalui 3 (tiga) tahap yaitu tahap pra-adjudikasi, adjudikasi sampai tahap post-adjudikasi dalam upaya kebijakan diversi dan restorative justice sebagaimana tercantum Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. 2. Pelaksanaan diversi dan restorative justice bagi anak yang berkonflik dengan hukum dalam Sistem Pemasyarakatan, melalui peran unit pelaksana teknis Balai Pemasyarakatan (Bapas) merupakan sub sistem pemasyarakatan memiliki tugas dan fungsi sejak dari awal proses peradilan pidana sampai berakhirnya pelaksanaan putusan hakim oleh pengadilan negeri di LPKA. Peran dan fungsi Bapas dilakukan di setiap tahapan sistem peradilan pidana anak, dimulai pada tahap pra-adjudikasi dan adjudikasi yaitu memberikan pendampingan kepada anak antara lain dengan melakukan inisiasi, koordinasi, memfasilitasi dan memediasi pihak-pihak terkait antara lain anak sebagai pelaku beserta keluarga, korban beserta keluarga serta unsur masyarakat terkait lainnya serta penegak hukum dalam upaya diversi, membuat Litmas, melaksanakan pembimbingan dan pengawasan dalam pelaksanaan penetapan diversi, mengikuti proses persidangan anak serta upaya restorative justice, dimana upaya keadilan restoratif agar anak sedapat mungkin tidak dimasukan dalam penjara namun diberikan pidana diluar penjara seperti pidana bersyarat, pidana pelayanan sosial dan pidana pengawasan. Pada tahap post adjudikasi, dimana anak yang berada di LPKA masih memerlukan upaya restorative justice yang pelaksanaannya melibatkan peran LPKA, Bapas, dan pihak lain terkait yaitu dengan memberikan pembebasan bersyarat atau kebijakan pembinaan berbasis
Rachmayanthy
Diversi dan restorative justice terhadap anak berkonflik.....................................
12
masyarakat lainnya ketika anak telah menjani sebagian dari masa pidana penjaranya (asimilasi).
Jurnal Surya Kencana Dua: Dinamika Masalah Hukum dan Keadilan Vol. 3 No.2 Desember 2016
13
Daftar Pustaka
Buku Andi Wijaya, Pemasyarakatan Dalam Dinamika Hukum dan Sosial, Jakarta, Penerbit Lembaga Kajian Pemasyarakatan, 2011. Braithwaite, John, Restorative Justice and Responsive Regulation, Oxford: Oxpord University Press, 2002. Donald, Clemmer, The Prison Community, New York: Holt, Rinehart and Winston, 1966. Gultom, Maidin, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Bandung: PT. Refika Aditama, 2008. Hidayat, Sabrina, Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Proses Peradilan Pidana, Jurnal Hukum Gema Pendidikan, No 1, Januari 2007. Jack E Bynum, William E. Thompson, Juvenile Delinquency a Sociological Approach., Boston: Allyn and Bacon A Peason Education Company, 2002. Simandjuntak, Latar Belakang Kenakalan Remaja (Etimologi Juvenile Delinquensi), Bandung: Alumni. 1979. Marian Liebmann, Restorative Justice: How is Work.London: Jessica Kingsley Publisher, 2007. Simandjuntak, Latar Belakang Kenakalan Remaja (Etimologi Juvenile Delinquensi), Bandung: Alumni. 1979. Yesmil Anwar, Adang, Sistem Peradilan Pidana, Bandung: Widya Padjajaran,2009.
Website http://anjarnawanyep.wordpress.com/konsep-diversi-dan-restorative-justice/ diunduh pada hari senin tanggal 14 November 2016.