BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TELEVISI DAN AGRESIVITAS PADA ANAK
A. Televisi Sebagai Media Hiburan 1. Pengertian Televisi Televisi sebagai salah satu media massa, memiliki tiga fungsi utama yaitu sebagai media informasi (information), sebagai media pendidikan (education) dan sebagai media hiburan (entertainment). Sesuai dengan fungsinya
televisi sangat memungkinkan untuk
dimanfaatkan sebagai media pendidikan, karena dalam berbagai hal televisi dapat memberikan : rangsangan, membawa serta, memicu, membangkitkan, mempengaruhi seseorang untuk melakukan sesuatu, memberikan saran-saran, memberikan warna, mengajar, menghibur, memperkuat, menggiatkan, menyampaikan pengaruh dari orang lain, memperkenalkan berbagai identitas (ciri) sesuatu, memberikan contoh, proses internalisasi tingkah laku, berbagai bentuk partisipasi serta penyesuaian diri dan lain-lain.1 Selain itu televisi juga merupakan wahana yang kuat sekali pengaruhnya dalam pembentukan pola fikir, sikap dan tingkah laku disamping menambah pengetahuan dan memperluas wawasan masyarakat. Selain TVRI, di Indonesia ada bermacam-macam stasiun televisi yang bersifat nasional maupun lokal. Yang bersifat nasional diantaranya adalah ANTV, Indosiar, TPI, RCTI, SCTV, TRANS-TV, TV-7, Lativi, TV-G, Metro-TV. Sedang yang bersifat lokal
1
http://www.pustekkom.go.id/teknodik/t9/9-2.htm
12
diantaranya adalah Pro-TV, TV-B, TV-Ku, Cakra-TV, J-TV dan lain sebagainya. Televisi, "si kotak ajaib"2 yang keberadaannya sudah menjadi bagian
dalam
kehidupan
sehari-hari,
seringkali
menimbulkan
kecemasan bagi orang tua yang anaknya masih kecil. Cemas kalau anak jadi malas belajar karena kebanyakan nonton televisi, cemas kalau anak meniru kata-kata dan adegan-adegan tertentu, cemas mata anak jadi rusak (minus), dan cemas anak menjadi lebih agresif karena terpengaruh banyaknya adegan kekerasan di televisi. Namun demikian harus
diakui
bahwa
kebutuhan
untuk
mendapatkan
hiburan,
pengetahuan dan informasi secara mudah melalui televisi juga tidak dapat dihindarkan.3 Televisi, selain selalu tersedia dan amat mudah diakses, juga menyuguhkan banyak pilihan, ada sederet acara dari tiap stasiun televisi misalnya, berita, film, sinetron, komedi, religi, dan masih banyak lagi, tinggal bagaimana pemirsa memilih acara yang dibutuhkan, disukai dan sesuai dengan selera. Sehingga, walaupun semua orang mungkin sudah tahu akan dampak negatif yang bisa ditimbulkannya, keberadaan televisi tetap saja dipertahankan. Hampir seluruh tayangan televisi itu berdampak negatif terhadap anak-anak dan hanya beberapa persen saja yang berdampak positif pada anak. Lihat saja tayangan berita kriminal yang menayangkan kekerasan pada orang, film-film remaja yang mempertontonkan aurat dan kata-kata kasar, film laga yang menayangkan kekerasan dan masih banyak lagi. Kecemasan orang tua terhadap dampak menonton televisi bagi anak-anak memang sangat beralasan, mengingat bahwa banyak 2 3
Disebut kotak ajaib karena kebanyakan televisi berbentuk kotak http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2003/1/19/kel1.html
13
penelitian menunjukkan televisi memiliki banyak pengaruh baik negatif maupun positif. Misalnya penelitian yang dilakukan Liebert dan Baron, menunjukkan hasil bahwa anak pemirsa program televisi yang menampilkan adegan kekerasan memiliki keinginan lebih untuk berbuat kekerasan terhadap anak lain, dibandingkan dengan anak yang menonton program netral atau tidak mengandung unsur kekerasan.4
2. Segi Negatif dan Positif Acara Televisi Perlu diketahui bahwa acara televisi itu mempunyai dua dampak, yaitu dampak positif dan negatif. a. Dampak Negatif Menurut
hasil penelitian yang dilakukan oleh Lembaga
Kesehatan Mental Nasional Amerika yang dilakukan dalam skala besar selama sepuluh tahun, menyatakan bahwa kekerasan dalam program televisi menimbulkan perilaku agresif pada anak-anak dan remaja yang menonton program tersebut. Sedangkan Ron Solby dari Universitas Harvard secara terinci menjelaskan, ada empat macam dampak acara televisi yang menayangkan kekerasan dalam televisi terhadap perkembangan kepribadian anak. Pertama, dampak agresor di mana sifat jahat dari anak semakin meningkat; kedua, dampak korban di mana anak menjadi penakut dan semakin sulit mempercayai orang lain; ketiga, dampak pemerhati, di sini anak menjadi makin kurang peduli terhadap kesulitan orang lain; keempat, dampak nafsu dengan meningkatnya keinginan anak untuk melihat atau melakukan kekerasan dalam mengatasi setiap persoalan5. Menurut Fawzia bahwa pada dasarnya setiap manusia itu mempunyai sifat agresif sejak lahir. Sifat ini berguna dalam bertahan 4 5
Ibid http://www.indomedia.com/intisari/1999/juli/kekerasan.htm
14
hidup. Tanpa agresivitas, anak tidak akan bereaksi jika mendapat rangsangan yang mengancamnya. Tetapi, tanpa pengarahan yang baik, sifat itu bisa merusak. Ada yang melihat, proses dari sekadar tontonan sampai menjadi perilaku perlu waktu yang cukup panjang. Namun, yang merepotkan bila tontonan kekerasan jadi suguhan sehari-hari, sehingga menjadi hal yang biasa, apalagi lingkungan sekitar juga mendukung6. Menurut psikolog dari Universitas Stanford, Albert Bandura, respons agresif bukan turunan, tetapi terbentuk dari pengalaman. Ada permainan yang dapat memicu agresi7. Aletha Huston, Ph.D. dari university of Kansas juga berpendapat bahwa anak-anak yang menonton kekerasan di televisi lebih mudah dan lebih sering memukul teman-temannya, tak mematuhi aturan kelas, membiarkan tugasnya tidak selesai, dan lebih tidak sabar dibandingkan dengan anak yang tidak menonton kekerasan di televisi8. Contoh tayangan televisi yang berdampak negatif adalah berita kriminal, sebagian besar film-film remaja, film laga baik orang maupun kartun dan lain sebagainya.
b. Dampak Positif Salah satu sisi dampak positifnya adalah televisi dapat memberikan hiburan (rasa senang, kesegaran dan kebahagiaan) informasi dan nilai-nilai pendidikan bagi anak. Melalui televisi anak mengenal lingkungan dan masyarakat lain, dan belajar dari hal-hal yang tidak diperoleh anak di rumah dan di sekolah.
6
Ibid Ibid 8 Ibid 7
15
Disamping itu salah satu dampak positif dari televisi dapat menambah kosakata (vocabulary) terutama kata-kata yang tidak terlalu sering digunakan sehari-hari. Anak juga dapat belajar tentang berbagai hal melalui program edukasi dari siaran televisi. Akan tetapi sayangnya persentasi acara televisi yang bersifat pendidikan masih sangat sedikit9. Contoh acara televisi yang mempunyai dampak positif bagi anak diantaranya adalah acara dora, teletubies karena dalam acara tersebut anak diajari mengenalkan sesuatu. Dengan melihat berbagai acara di televisi misalnya acara musik, olahraga, kesenian, berita dan sebagainya, televisi juga dapat menambah wawasan dan minat. Anak akan jadi mengenal berbagai aktifitas
yang
bisa
dilakukannya.
Anak
akan
mengetahui
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, perkembangan peristiwa yang terjadi di dunia, dan perkembangan permasalahan yang ada di luar lingkungannya10.
B. Agresivitas Pada Anak 1. Pengertian Agresivitas Agresivitas secara bahasa adalah bersifat menyerang11, kecenderungan yang dibiasakan untuk memamerkan permusuhan.12 Agresivitas disini bisa didefinisikan sebagai segala tindakan yang
9
http://almira-online.port5.com/artikel/artikel_p4.htm Ibid 11 W.J.S. Poerwadaminta, op. cit, hlm. 19 12 J.P. Chaplin, Penerjemah Dr. Kartini Kartono, op.cit. hlm. 17 10
16
bertujuan menyakiti atau melukai orang lain13, atau maksud untuk menyakiti orang lain14. Meskipun semua orang memahami apa itu agresi, namun masih terdapat perbedaan pendapat mengenai definisinya. Ada tiga perbedaan penting15. Pertama, agresi didefinisikan sebagai perilaku melukai, ataukah mempertimbangkan apakah orang itu mempunyai maksud melukai. Dengan definisi yang paling sederhana dan yang paling disukai oleh orang yang menggunakan pendekatan belajar atau pendekatan perilaku (behavioristik), adalah bahwa agresi merupakan perilaku yang melukai orang lain. Keuntungan definisi ini adalah bahwa perilaku itu sendiri menentukan apakah suatu tindakan agresif atau tidak16. Sayangnya, definisi ini mengabaikan maksud orang yang melakukan tindakan tersebut, padahal faktor ini penting jika mengabaikan tujuan, mungkin beberapa tindakan yang dimaksudkan untuk melukai orang lain tidak dikatakan agresif karena tampaknya tidak berbahaya. Misalkan, seorang pria yang sedang marah bermaksud menembak saingan bisnisnya, tetapi ternyata senjatanya kosong. Tindakan tersebut tidak berbahaya, karena menembak dengan senjata kosong tidak membahayakan, meskipun pada kenyataannya pria itu marah dan mencoba membunuh seseorang, dia tidak dianggap agresif karena dia tidak melakukan tindakan yang berbahaya.
13
Soetarlinah Sukadji, Pola Asuh, Perilaku Agresif Orang Tua, dan Kegemaran Menonton Film Kekerasan Sebagai Prediktor Perilaku Agresif, (Yogyakarta : Jurnal Psikologi UGM Tahun XXI Nomor 1, Juni 1994), hlm. 19 14 Rita L. Atkinson, Pengantar Psikologi, (Jakarta : Erlangga, 1999), Edisi kedelapan, Jilid 2, hlm. 58 15 David O. Sears, Psikologi Sosial, (Jakarta : Erlangga, 1991), Edisi Kelima, Jilid Kedua, hlm. 3 16 Ibid
17
Jika seseorang mencoba melukai Orang lain, biasanya disebut agresif, jika dia tidak mencoba menimbulkan bahaya, dia tidak dikatakan agresif. Oleh karena itu, agresivitas didefinisikan sebagai tindakan yang dimaksud untuk melukai orang lain. Konsep ini lebih sulit diterapkan, karena tidak semata-mata tergantung pada perilaku yang tampak. Seringkali sulit untuk mengetahui maksud seseorang. Tetapi agresi dapat didefinisikan dengan banyak arti apabila memperhatikan maksud seseorang17. Perbedaan definisi yang kedua yang juga dibutuhkan adalah antara agresi dan anti sosial dengan agresi prososial. Biasanya agresi diasosiasikan sebagai sesuatu yang buruk. Memang, tindakan agresif yang timbul dengan maksud melukai orang lain merupakan tindakan yang buruk. Tetapi ada perilaku agresif yang baik. seperti polisi yang menembak seorang teroris yang telah membunuh beberapa korban yang tidak bersalah dan menahan sandera lainnya. Yang menjadi masalah adalah apakah tindakan agresif melanggar atau mendukung norma sosial yang telah disepakati. Tindakan kriminal tak beralasan yang melukai orang lain, seperti penyerangan dengan kekerasan, pembunuhan, dan pemukulan oleh sekelompok orang, jelas melanggar norma sosial, sehingga disebut anti sosial. Tetapi, ada banyak tindakan agresif yang sebenarnya diatur oleh norma sosial, dan karena itu disebut prososial. Tindakan yang sesuai dengan hukum, disiplin yang diterapkan oleh orang tua, atau kepatuhan terhadap perintah komandan pada masa perang, dianggap penting. Beberapa tindakan agresif berada diantara agresi prososial dan agresi antisosial, dan disebut sebagai agresi yang disetujui
17
Ibid, hlm. 4
18
(sanctioned aggression). Ini meliputi tindakan agresif yang tidak diterima oleh norma sosial, tetapi masih berada dalam batas yang wajar. Tindakan tersebut tidak melanggar sekitar moral yang telah diterima. Pelatih yang menghukum seorang pemain yang melakukan pelanggaran dengan mengeluarkannya dari permainan biasanya menganggap aturannya benar. Begitu pula pemilik toko yang berusaha mempertahankan diri dengan memukul orang yang akan menyerang dia, atau seorang wanita yang melawan si pemerkosa. Semua tindakan itu tidak dikehendaki, tetapi masih berada dalam batas yang dapat diterima oleh norma sosial.18 Perbedaan definisi yang ketiga adalah antar perilaku agresif dengan perasaan agresif, seperti misalnya rasa marah. Perilaku yang tampak tidak selalu mencerminkan perasaan internal. Mungkin saja seseorang merasa sangat marah, tetapi tidak menampakkan usaha untuk melukai orang lain. Masyarakat mengutuk dan tidak menyetujui sebagian besar bentuk perilaku agresif, dan memang hal ini hanya bisa terjadi bila orang senantiasa mengendalikan perasaanperasaan agresifnya. Masyrakat tidak dapat membiarkan seseorang memukul orang lain, merusak jendela, atau bertindak kasar seperti yang diinginkannya. Masyarakat sangat mengekang ekspresi semacam ini, dan sebagian besar orang, termasuk yang selalu marah, jarang bertindak agresif.19
2. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Agresivitas a. Amarah Marah merupakan emosi yang amat sukar untuk menerima dan untuk mengungkapkannya. Rasa marah menunjukkan bahwa 18 19
Ibid, hlm. 5 Ibid, hlm. 5
19
perasaan orang sudah tersinggung oleh seseorang, bahwa sesuatu sudah tidak baik20. Pada saat marah ada perasaan ingin menyerang, meninju, menghancurkan atau melempar sesuatu dan biasanya timbul pikiran yang kejam. Bila hal-hal tersebut disalurkan maka terjadilah perilaku agresi. Jadi tidak dapat dipungkiri bahwa pada kenyataannya agresi adalah suatu respon terhadap marah. Kekecewaan, sakit fisik, penghinaan, atau ancaman sering memancing amarah dan akhirnya memancing agresi. Ejekan, hinaan dan ancaman merupakan pancingan yang jitu terhadap amarah yang akan mengarah pada agresi. Anak-anak di kota seringkali saling mengejek pada saat bermain, begitu juga dengan remaja biasanya mereka mulai saling mengejek dengan ringan sebagai bahan tertawaan, kemudian yang diejek ikut membalas ejekan tersebut, lama kelamaan ejekan yang dilakukan semakin panjang dan terus-menerus dengan intensitas ketegangan yang semakin tinggi bahkan seringkali disertai katakata kotor dan cabul. Ejekan ini semakin lama-semakin seru karena rekan-rekan yang menjadi penonton juga ikut-ikutan memanasi situasi. Pada akhirnya bila salah satu tidak dapat menahan amarahnya maka ia mulai berupaya menyerang lawannya. Dia berusaha meraih apa saja untuk melukai lawannya. Dengan demikian berarti isyarat tindak kekerasan mulai terjadi. Bahkan pada akhirnya penontonpun tidak jarang ikut-ikutan terlibat dalam perkelahian.
20
Rochelle Semmel Albin, Emosi Bagaimana Mengenal, Menerima dan Mengarahkannya, (Yogyakarta : Kanisisus, 1986), hlm. 50
20
b. Faktor Biologis Ada beberapa faktor biologis yang mempengaruhi perilaku agresi:21 1. Gen tampaknya berpengaruh pada pembentukan sistem neural otak yang mengatur perilaku agresi. Dari penelitian yang dilakukan terhadap binatang, mulai dari yang sulit sampai yang paling
mudah
dipancing
amarahnya,
faktor
keturunan
tampaknya membuat hewan jantan yang berasal dari berbagai jenis lebih mudah marah dibandingkan betinanya. 2. Sistem otak yang tidak terlibat dalam agresi ternyata dapat memperkuat
atau
menghambat
sirkuit
neural
yang
mengendalikan agresi. Pada hewan sederhana marah dapat dihambat atau ditingkatkan dengan merangsang sistem limbik (daerah
yang
menimbulkan
kenikmatan
pada
manusia)
sehingga muncul hubungan timbal balik antara kenikmatan dan kekejaman. Prescott menyatakan bahwa orang yang berorientasi pada kenikmatan akan sedikit melakukan agresi sedangkan orang yang tidak pernah mengalami kesenangan, kegembiraan atau santai cenderung untuk melakukan kekejaman dan penghancuran (agresi). Prescott yakin bahwa keinginan yang kuat untuk menghancurkan disebabkan oleh ketidakmampuan untuk menikmati sesuatu hal yang disebabkan cedera otak karena kurang rangsangan sewaktu bayi.22 3. Kimia darah. Kimia darah (khususnya hormon seks yang sebagian
ditentukan
faktor
keturunan)
juga
dapat
mempengaruhi perilaku agresi. Dalam suatu eksperimen ilmuwan menyuntikan hormon testosteron pada tikus dan 21 22
http://www.e-psikologi.com/remaja/100602.htm Ibid
21
beberapa hewan lain (testosteron merupakan hormon androgen utama yang memberikan ciri kelamin jantan) maka tikus-tikus tersebut berkelahi semakin sering dan lebih kuat. Sewaktu testosteron
dikurangi
hewan
tersebut
menjadi
lembut.
Kenyataan menunjukkan bahwa anak banteng jantan yang sudah dikebiri (dipotong alat kelaminnya) akan menjadi jinak. Sedangkan pada wanita yang sedang mengalami masa haid, kadar hormon kewanitaan yaitu estrogen dan progresteron menurun jumlahnya akibatnya banyak wanita melaporkan bahwa perasaan mereka mudah tersinggung, gelisah, tegang dan bermusuhan. Selain itu banyak wanita yang melakukan pelanggaran hukum (melakukan tindakan agresi) pada saat berlangsungnya siklus haid ini.23
c. Kesenjangan Generasi Adanya perbedaan atau jurang pemisah (Gap) antara generasi anak dengan orang tuanya dapat terlihat dalam bentuk hubungan komunikasi yang semakin minimal dan seringkali tidak nyambung. Kegagalan komunikasi orang tua dan anak diyakini sebagai salah satu penyebab timbulnya perilaku agresi pada anak. permasalahan generation gap ini harus diatasi dengan segera, mengingat bahwa selain agresi, masih banyak permasalahan lain yang dapat muncul seperti masalah ketergantungan narkotik, kehamilan diluar nikah, seks bebas, dll.24
23 24
Ibid Ibid
22
d. Lingkungan 1. Kemiskinan. Bila seorang anak dibesarkan dalam lingkungan kemiskinan, maka perilaku agresi mereka secara alami mengalami penguatan. Hal ini dapat dilihat dan dialami dalam kehidupan sehari-hari di ibukota Jakarta, di perempatan jalan dalam antrian lampu merah (Traffic Light) mobil-mobil biasa didatangi pengamen cilik yang jumlahnya lebih dari satu orang yang berdatangan silih berganti. Bila orang yang ada dalam mobil memberi salah satu dari mereka uang maka orangg tersebut siap-siap diserbu anak yang lain untuk meminta pada orang tersebut dan resikonya orang tersebut mungkin dicaci maki bahkan ada yang berani memukul pintu mobil, jika tidak memberi uang, terlebih bila mereka tahu jumlah uang yang diberikan pada temannya cukup besar. Mereka juga bahkan tidak segan-segan menyerang temannya yang telah diberi uang dan berusaha merebutnya. Hal ini sudah menjadi pemandangan yang seolah-olah biasa saja. Bila terjadi perkelahian dipemukiman kumuh, misalnya ada pemabuk yang memukuli istrinya karena tidak memberi uang untuk beli minuman, maka pada saat itu anak-anak dengan mudah dapat melihat model agresi secara langsung. Model agresi ini seringkali diadopsi anak-anak sebagai model pertahanan diri dalam mempertahankan hidup. Dalam situasisituasi yang dirasakan sangat kritis bagi pertahanan hidupnya dan ditambah dengan nalar yang belum berkembang optimal, anak-anak seringkali dengan gampang bertindak agresi misalnya dengan cara memukul, berteriak, dan mendorong orang lain sehingga terjatuh dan tersingkir dalam kompetisi sementara ia akan berhasil mencapai tujuannya. Hal yang
23
sangat menyedihkan adalah dengan berlarut-larut terjadinya krisis ekonomi & moneter menyebabkan pembengkakan kemiskinan yang semakin tidak terkendali. Hal ini berarti potensi meledaknya tingkat agresi semakin besar dan kesulitan mengatasinya lebih kompleks. 2. Anonimitas. Kota besar seperti Semarang, Jakarta, Bandung, Surabaya dan kota besar lainnya menyajikan berbagai suara, cahaya dan bermacam informasi yang besarnya sangat luar biasa. Orang secara otomatis cenderung berusaha untuk beradaptasi dengan melakukan penyesuaian diri terhadap rangsangan yang berlebihan tersebut. Terlalu banyak rangsangan indra dan kognitif membuat dunia menjadi sangat impersonal, artinya antara satu orang dengan orang lain tidak lagi saling mengenal atau mengetahui secara baik. Lebih jauh lagi, setiap individu
cenderung
menjadi anonim (tidak mempunyai identitas diri). Bila seseorang merasa anonim ia cenderung berperilaku semaunya sendiri, karena ia merasa tidak lagi terikat dengan norma masyarakat dan kurang bersimpati pada orang lain. 3. Suhu udara yang panas. Bila diperhatikan dengan seksama tawuran yang terjadi di Jakarta seringkali terjadi pada siang hari di terik panas matahari, tapi bila musim hujan relatif tidak ada peristiwa tersebut. Begitu juga dengan aksi-aksi demonstrasi yang berujung pada bentrokan dengan petugas keamanan yang biasa terjadi pada cuaca yang terik dan panas tapi bila hari diguyur hujan aksi tersebut juga menjadi sepi.25
25
Ibid
24
e.Peran Belajar Model Kekerasan Tidak dapat dipungkiri bahwa pada saat ini anak-anak dan remaja banyak belajar menyaksikan adegan kekerasan melalui Televisi dan juga "games" atau pun mainan yang bertema kekerasan. Acara-acara yang menampilan adegan kekerasan hampir setiap saat dapat ditemui dalam tontonan yang disajikan di televisi mulai dari film kartun, sinetron, sampai film laga.. Pendapat ini sesuai dengan yang diutarakan Davidoff yang mengatakan bahwa menyaksikan perkelahian dan pembunuhan meskipun sedikit pasti akan menimbulkan rangsangan dan memungkinkan untuk meniru model kekerasan tersebut. Selain model dari yang di saksikan di televisi belajar model juga dapat berlangsung secara langsung dalam kehidupan seharihari. Bila seorang yang sering menyaksikan tawuran di jalan, mereka secara langsung menyaksikan kebanggaan orang yang melakukan agresi secara langsung. Atau dalam kehidupan bila terbiasa di lingkungan rumah menyaksikan peristiwa perkelahian antar orang tua dilingkungan rumah, ayah dan ibu yang sering cekcok dan peristiwa sejenisnya , semua itu dapat memperkuat perilaku agresi yang ternyata sangat efektif bagi dirinya.26
f. Frustrasi Frustasi adalah gangguan atau kegagalan dalam mencapai tujuan27. Frustrasi terjadi bila seseorang terhalang oleh sesuatu hal dalam mencapai suatu tujuan, kebutuhan, keinginan, pengharapan atau tindakan tertentu. Agresi merupakan salah satu cara berespon terhadap frustrasi. Remaja miskin yang nakal adalah akibat dari 26 27
Ibid David O. Sears, Psikologi Sosial, op.cit. hlm. 6
25
frustrasi yang berhubungan dengan banyaknya waktu menganggur, keuangan yang pas-pasan dan adanya kebutuhan yang harus segera terpenuhi tetapi sulit sekali tercapai. Akibatnya mereka menjadi mudah marah dan berperilaku agresi. Misalnya,banyak juga perkelahian disulut oleh karena frustrasi yang diakibatkan hampir setiap saat dipalak (diminta uangnya) oleh anak sekolah lain padahal sebenarnya uang yang di palak adalah untuk kebutuhan dirinya.
g. Proses Pendisiplinan yang Keliru Pendidikan disiplin yang otoriter dengan penerapan yang keras terutama dilakukan dengan memberikan hukuman fisik, dapat menimbulkan berbagai pengaruh yang buruk bagi remaja. Pendidikan disiplin seperti itu akan membuat remaja menjadi seorang penakut, tidak ramah dengan orang lain, dan membeci orang yang memberi hukuman, kehilangan spontanitas serta inisiatif dan pada akhirnya melampiaskan kemarahannya dalam bentuk agresi kepada orang lain. Hubungan dengan lingkungan sosial berorientasi kepada kekuasaan dan ketakutan. Siapa yang lebih berkuasa dapat berbuat sekehendak hatinya. Sedangkan yang tidak berkuasa menjadi tunduk. Pola pendisiplinan tersebut dapat pula menimbulkan pemberontakan, terutama bila laranganlarangan yang bersangsi hukuman tidak diimbangi dengan alternatif (cara) lain yang dapat memenuhi kebutuhan yang mendasar misalnya, seorang anak yang dilarang untuk keluar main oleh orang tuanya, tetapi di dalam rumah dia tidak diperhatikan oleh kedua orang tuanya karena kesibukan mereka28.
28
http://www.e-psikologi.com/remaja/100602.htm
26
3. Agresivitas Pada Anak Freud memandang agresi sebagai naluri dasar. Energi naluri kematian terbentuk dalam diri organisme sampai suatu saat harus dilepaskan-keluar, dalam bentuk agresi nyata, atau ke dalam, dalam bentuk tindakan-merusak diri. Freud merasa pesimis tentang kemungkinan penghilangan agresi, paling-paling, intensitasnya dapat diubah melalui pembentukan ikatan emosional yang positif diantara anggota masyarakat dan melalui pengadaan jalan keluar pengganti (misalnya, tontonan adu tinju bayaran atau keterlibatan dalam kegiatan olahraga)29. Pada dasarnya setiap manusia itu mempunyai sifat agresif sejak lahir, sifat ini berguna dalam bertahan hidup. Tanpa Agresivitas, anak tidak akan bereaksi jika mendapat rangsangan yang mengancamnya. Tetapi, tanpa pengarahan yang baik, sifat itu bisa merusak30. Agresivitas yang dilakukan anak setelah menonton televisi itu merupakan faktor imitasi. Imitasi merupakan mekanisme lain yang membentuk perilaku anak. Semua orang dan anak khususnya, mempunyai kecenderungan yang kuat untuk meniru orang lain. Anak yang melihat orang makan dengan garpu atau mendengarkan mereka bercakap-cakap akan mencoba melakukan hal yang sama. Beberapa saat kemudian, anak itu juga akan menggunakan garpu dan bercakap-cakap. Imitasi ini terjadi pada setiap jenis perilaku, termasuk agresi. Anak yang mengamati orang lain melakukan tindakan agresi atau mengendalikan agresinya akan meniru orang tersebut. Anak belajar untuk melakukan agresi secara verbal-
29 30
Rita L. Atkinson, Pengantar Psikologi, op.cit. hlm. 59 http://www.indomedia.com/intisari/1999/juli/kekerasan.htm
27
berteriak, mengutuk, dan mencela, melempar batu atau meledakkan gedung. Anak itu juga belajar kapan masing- masing perilaku tersebut boleh dilakukan. Pada saat-saat tertentu orang tidak boleh melakukan agresi meskipun secara verbal, tetapi pada saat lain agresi apapun tidak saja diizinkan bahkan perlu dilakukan (misalnya bila kita diserang). Jadi, perilaku agresif anak dibentuk dan ditentukan oleh pengamatannya terhadap perilaku orang lain.31 Albert Bandura mengemukakan bahwa tanggapan agresif dipelajari dengan dua cara yang agak berbeda. (1) perilaku baru didapat dengan belajar melalui pengamatan (modeling). Artinya, agresi orang lain diamati, dan diangkat sebagai perilaku sendiri. Anak-anak juga mungkin belajar cara melakukan agresi fisik maupun verbal dari mengamati orang dewasa, teman sebaya, atau saudara-saudara yang lebih tua saat menghadapi ancaman atau serangan.32 (2)Tipe
belajar
yang
lain
yaitu
keterkaitan
dengan
kemungkianan adanya reward yang mengikuti tindak agresi. Perilaku agresif dapat terkukuhkan, misalnya dengan keberhasilan menghentikan serangan terhadap dirinya, dapat memberikan rasa kepuasan yang lain seperti pujian, atau dapat mencapai obyek yang menjadi sasaran, dan dapat meredakan ketegangan. Perangsang agresi yang paling andal adalah serangan, atau paling tidak persepsi adanya serangan. Sekali saja tanggapan agresif telah dipelajari dengan baik oleh seseorang sebagai perbendaharaan perilaku, suatu serangan akan merangsang tanggapan semacam itu.33 31
David O. Sears, Psikologi Sosial, op. cit. hlm. 12 Soetarlinah Sukadji, Pola Asuh, Perilaku Agresif Orang Tua, dan Kegemaran Menonton Film Kekerasan Sebagai Prediktor Perilaku Agresif, op. cit. hlm. 21 33 Ibid 32
28
Eksperimen
yang
dilakukan
oleh
Albert
Bandura
menggambarkan proses belajar imitatif terhadap perilaku agresif yang khas ini. Sejumlah anak menyaksikan orang dewasa bermain dengan mainan kaleng dan sebuah boneka bobo (boneka balon plastik setinggi 5 kaki). Dalam kondisi pertama, orang dewasa itu mulai merakit mainan kaleng selama kurang lebih satu menit dan kemudian mengalihkan perhatiannya pada boneka tersebut. Dia mendekati boneka itu, memukul nya, menghantamnya dengan palu, melambungkan nya, dan menendangnya ke segala penjuru ruangan, sambil meneriakkan kata-kata seperti "pukul hidungnya," banting dia." Dia melakukan ini selama sembilan menit, sementara anakanak itu menyaksikannya. Dalam kondisi yang lain, si orang dewasa merakit mainan kaleng dengan tenang dan mengabaikan boneka tersebut.34 Beberapa saat kemudian, setiap anak dibuat agak frustasi dan kemudian ditinggalkan seorang diri selama dua puluh menit dengan sejumlah mainan, termasuk boneka bobo setinggi 3 kaki. Mereka cenderung meniru tindakan orang dewasa. Anak yang melihat orang dewasa itu bertindak agresif menampilkan perilaku yang jauh lebih agresif terhadap boneka tersebut dibandingkan anak yang melihat orang dewasa itu merakit mainan kaleng dengan tenang. Kelompok pertama memukul, menendang, dan menghantam boneka sambil mengucapkan komentar agresif seperti yang dilakukan oleh orang dewasa yang agresif tersebut. Gagasan teoritik utama dalam penelitian ini adalah bahwa anak mempelajari reaksi agresif tertentu melalui pengamatan terhadap apa yang dilakukan orang lain. Karena itu, proses belajar melalui
34
Ibid
29
orang lain ini akan meningkat bila perilaku orang dewasa tersebut diberi penguatan, dan bila situasinya mendukung identifikasi terhadap model orang dewasa itu. Anak tidak melakukan imitasi secara sembarang-mereka lebih sering meniru orang tertentu daripada meniru orang lain. Semakin penting, kuasa, berhasil, dan mirip seseorang, semakin besar kemungkinan seorang anak menirunya. Demikian juga orang yang paling banyak ditiru. orang tua memenuhi kriteria-kriteria ini, dan merupakan model utama bagi seorang anak pada masa awal kehidupannya. Karena orang tua merupakan sumber penguatan dan obyek imitasi utama, perilaku agresif anak di masa mendatang sangat tergantung pada cara mereka memperlakukan anak dan pada perilaku mereka sendiri.35 Ketergantungan pada penguatan dan imitasi orang tua menimbulkan akibat yang menarik. Hukuman terhadap anak yang bertindak agresif mungkin dianggap sebagai metode yang efektif untuk mengajar anak agar tidak agresif, tetapi seringkali hal itu justru menimbulkan efek yang sebaliknya. Hukuman anak mengurangi kemungkinan munculnya perilaku agresif di masa mendatang. Anak belajar bahwa dia akan dihukum jika memukul saudaranya, sehingga dia akan menghindari hukuman dengan tidak memukul saudaranya. Secara umum, dia tidak akan bertindak agresif bila menduga akan mendapat kesulitan karena tindakan itu. Biasanya dia tidak akan mengajak berkelahi orang yang sudah pasti dapat mengalahkannya, dia tidak akan memulai perkelahian, meskipun dia dapat memenangkan nya, bila dia menduga akan mendapat hukuman
35
Ibid, hlm. 13
30
berat sesudah itu. Orang tua menyadari hubungan yang sederhana ini dan menggunakannya untuk mencegah perkelahian anak. Sejauh melibatkan orang tua, kecenderungan ini menimbulkan efek yang diinginkan. Anak yang dihukum karena berkelahi cenderung kurang agresif di rumah. Rumah merupakan tempat resiko hukumannya paling besar sehingga merupakan tempat yang ancaman hukumannya menimbulkan efek penghambat yang paling kuat. Sayangnya, situasi di luar rumah sangat berbeda. Anak yang mendapat hukuman berat di rumah karena bertindak agresif cenderung menjadi lebih agresif di luar rumah36. Efek ini memberi kejelasan bahwa anak meniru perilaku agresif orang tua. Bila dia berada dalam situasi unggul, dia akan bertindak seperti apa yang dilakukan orang tuanya terhadap dia. Bila orang tua bertindak agresif, anak itu juga akan bertindak agresif. Hukuman akan mengajar dia untuk tidak bertindak agresif di rumah, tetapi juga akan memberitahu bahwa agresi dapat dilakukan bila diperlukan. Tanpa memperhatikan apa harapan orang tua, anak akan terus melakukan apa yang dikatakan dan dilakukan oleh orang tuanya. Salah satu bentuk agresi imitatif yang penting dalam kejahatan dan perilaku kerumunan adalah kekerasan yang menjalar (contagious violence). Sosiolog Perancis, Tarde, mengemukakan pendapat tentang kekerasan yang menjalar ketika dia melihat bahwa berita kejahatan besar dalam suatu masyarakat menimbulkan kejahatan imitatif. Dia menunjukkan bahwa berita yang mengerikan tentang pembunuhan yang dilakukan oleh Jack the Ripper mengilhami serangkaian kasus pemerkosaan di Inggris37.
36 37
Ibid, hlm. 14 Ibid
31
4. Peran Keluarga Dalam Pembinaan Anak Sebenarnya bahwa keluarga itu memberikan pengaruh yang sangat menentukan pada pembentukan watak dan kepribadian anak. Keluarga merupakan untuk sosial terkecil yang memberikan stempel dan pondasi primer bagi perkembangan anak. Selanjutnya, lingkungan alam sekitar dan sekolahan ikut menentukan nuansa pertumbuhan anak. Baik buruknya struktur keluarga dan masyarakat memberikan efek yang baik atau yang buruk pada pertumbuhan anak.38 Bahwa kejahatan atau kebaikan itu bukan merupakan peristiwa herediter (bawaan sejak lahir, warisan). Namun dengan tegas bisa dinyatakan, bahwa tingkah laku kriminal dari orang tua atau salah satu anggota keluarga itu memberikan pengaruh yang menular dan infectious pada lingkungannya. Anak seorang pencuri biasanya juga akan menjadi pencuri, bukan karena sifat-sifat pencuri itu diwariskan kepada anak-anaknya sebagai ciri-ciri karakteristik herediter, akan tetapi karena pekerjaan mencuri itu merupakan satu usaha “home industry” atau kegiatan rumah tangga” yang mengkoordinir pola tingkah laku dan sikap hidup para anggota keluarga tersebut. Jadi ada proses-kondisioning/pengkodisian.39 Pola kriminil dari ayah, ibu, atau salah seorang anggota keluarga dapat secara.. langsung atau tidak langsung mencetak pola kriminil pada anggota-anggotanya keluarga lainnya. Oleh karena itu keluarga memiliki peranan yang sangat penting dalam upaya mengembangkan kesehatan mental anak. Perawatan orang tua yang penuh kasih sayang dan pendidikan tentang nilai-nilai kehidupan, baik agama maupun sosial budaya, yang diberikannya
38 39
Kartini Kartono, Psikologi Anak, (Bandung : Mandar Maju, 1995), hlm.224 Ibid.
32
merupakan faktor yang kondusif untuk mempersiapkan anak menjadi pribadi dan anggota masyarakat yang sehat40. Agama memberikan petunjuk tentang tugas dan fungsi orang tua dalam merawat dan mendidik anak, agar dalam hidupnya berada dalam jalan yang benar, sehingga terhindar dari malapetaka kehidupan, baik di dunia ini maupun di akhirat kelak (kandungan Alqur’an, Surat Attahrim:6
ﺭ ﹸﺓ ﺎﺤﺠ ِ ﺍﹾﻟﺱ ﻭ ﺎﺎ ﺍﻟﻨﺩﻫ ﻭﻗﹸﻮ ﺎﺭﹰﺍﻢ ﻧ ﻫﻠِﻴ ﹸﻜ ﻭﹶﺃ ﻢ ﺴﻜﹸ ﻮﺍ ﻗﹸﻮﺍ ﺃﹶﻧﻔﹸﻣﻨ ﻦ ﺁ ﺎ ﺍﱠﻟﺬِﻳﻳﻬﺎ ﹶﺃﻳ
ْﻢﺮﻫ ﻣ ﺎ ﹶﺃﻪ ﻣ ﻮ ﹶﻥ ﺍﻟﻠﱠﻌﺼ ﻳ ﺩ ﻟﹶﺎ ﺍﻣﻠﹶﺎِﺋ ﹶﻜ ﹲﺔ ِﻏﻠﹶﺎ ﹲﻅ ِﺷﺪ ﺎﻴﻬﻋﹶﻠ “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah
terhadap apa yang diperintahkan-Nya
kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan” (QS. At-Tahrim : 6) Rasulullah saw. dalam salah satu hadisnya bersabda :
ﻛﻞ ﻣﻮﻟﻮﺩ ﻳﻮﻟﺪ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻔﻄﺮﺓ ﻓﺄﺑﻮﺍﻩ ﻳﻬﻮﺩﺍﻧﻪ ﺍﻭ ﻳﻨﺼﺮﺍﻧﻪ ﺍﻭ ﳝﺠﺴﺎﻧﻪ "Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (tauhiidulllah), karena orang tuanyalah anak itu menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi" (H.R. Bukhari & Muslim) Berkenaan dengan peran keluarga (orang tua) dalam mendidik anak, Imam Al-Ghazali dalam Kitab Ikhtisar Ihya Ulumuddin mengemukakan bahwa anak merupakan amanat bagi orang tuanya, dia masih suci laksana permata, baik atau buruknya perkembangan anak,
40
http://www.republika.co.id/suplemen/cetak
33
amat bergantung kepada baik atau buruknya pembiasaan yang diberikan kepadanya41. Keluarga merupakan aset yang sangat penting, individu tidak bisa hidup sendirian, tanpa ada ikatan-ikatan dengan keluarga. Begitu menurut fitrahnya, menurut budayanya, dan begitulah perintah Allah SWT. Keluarga memberikan pengaruh yang besar terhadap seluruh anggotanya sebab selalu terjadi interaksi yang paling bermakna, paling berkenan dengan nilai yang sangat mendasar dan sangat intim. Keluarga mempunyai peranan penting karena sebagai sumber pertama dalam proses sosialisasi. Keluarga juga berfungsi sebagai transmitter budaya, atau mediator sosial budaya anak.42 Keluarga juga dipandang sebagai instansi (lembaga) yang dapat memenuhi kebutuhan insani (manusiawi), terutama kebutuhan bagi pengembangan kepribadiannya, dan pengembangan ras manusia. Jika mengaitkan peranan keluarga dengan upaya memenuhi kebutuhan individu, keluarga merupakan lembaga pertama yang dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Melalui perawatan, dan perlakuan yang baik dari orang tua, anak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya, baik fisik-biologis, maupun sosio psikologisnya. Keluarga yang bahagia merupakan suatu hal yang sangat penting bagi perkembangan emosi para anggotanya (terutama anak). Kebahagiaan itu diperoleh apabila keluarga dapat memerankan fungsinya secara baik. Fungsi dasar keluarga adalah memberikan rasa memiliki, rasa aman, kasih sayang; dan mengembangkan hubungan yang baik di antara anggota keluarga. Hubungan cinta kasih dalam keluarga tidak sebatas perasaan, akan tetapi juga menyangkut 41
42
Ibid Ibid
34
pemeliharaan, rasa tanggung jawab, perhatian, pemahaman, respek, dan keinginan untuk menumbuhkembangkan anak yang dicintainya. Keluarga yang hubungan antar anggotanya tidak harmonis, penuh konflik, atau gap communication, dapat mengembangkan masalahmasalah kesehatan mental (mental illness) bagi anak. Secara sosio-psikologis, keluarga berfungsi sebagai: 1. Pemberi rasa aman bagi anak dan anggota keluarga lainnya 2. Sumber pemenuhan kebutuhan, baik fisik maupun psikis 3. Sumber kasih sayang dan penerimaan 4. Model pola perilaku yang tepat bagi anak untuk belajar menjadi anggota masyarakat yang baik 5. Pemberi bimbingan bagi pengembangan perilaku yang secara sosial di anggap tepat 6. Pembantu
anak
dalam
memecahkan
masalah
yang
dihadapinya dalam rangka menyesuaikan dirinya terhadap kehidupan 7. Pemberi bimbingan dalam belajar ketrampilan, motor, verbal, dan sosial yang dibutuhkan untuk penyesuaian diri 8. Stimulator bagi pengembangan kemampuan anak untuk mencapai prestasi, baik di sekolah maupun di masyarakat 9. Pembimbing dalam mengembangkan aspirasi; Dan (10) sumber persahabatan (teman bermain) anak, sampai cukup usia untuk mendapatkan teman di luar rumah, atau apabila persahabatan di luar rumah tidak memungkinkan.43 Pengokohan penerapan nilai-nilai agama dalam keluarga merupakan lkitasan fundamental bagi perkembangan kondisi atau tatanan masyarakat yang damai dan sejahtera. Namun sebaliknya,
43
Ibid
35
apabila terjadi pengikisan atau erosi nilai-nilai agama dalam keluarga, atau juga dalam masyarakat, maka akan timbul malapetaka kehidupan yang dapat menjungkirbalikkan nilai-nilai kemanusiaan. Anak adalah amanat bagi orang tuanya. Mereka bertanggung jawab atas pendidikan, agama, dan akhlak anak-anaknya. Anak-anak yang lebih baik akan menjadi permata hati bagi mereka di dunia dan akhirat. Firman Allah SWT dalam Surat. Ath Thuur52:21:
ﻦ ﻢ ﱢﻣﺎﻫﺘﻨﺎ ﹶﺃﹶﻟﻭﻣ ﻢ ﻬ ﺘﻢ ﹸﺫﺭﱢﻳ ﺎ ِﺑ ِﻬﺤ ﹾﻘﻨ ﺎ ٍﻥ ﹶﺃﹾﻟﻢ ِﺑِﺈﳝﺘﻬﻳﻢ ﹸﺫ ﱢﺭ ﻬ ﺘﻌ ﺒﺗﺍﻮﺍ ﻭﻣﻨ ﻦ ﺁ ﺍﱠﻟﺬِﻳﻭ ﲔ ﺭ ِﻫ ﺐ ﺴ ﺎ ﹶﻛﺉ ِﺑﻤ ٍ ﻣ ِﺮ ﻲ ٍﺀ ﹸﻛﻞﱡ ﺍ ﺷ ﻤِﻠﻬِﻢ ﻣﱢﻦ ﻋ “Dan orang-orang yang beriman, dan anak cucunya yang ikut beriman, kami gabungkan anak cucu itu dengan mereka, dan kami tiada mengurangi sedikit pun dari pahala sama mereka tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya" (QS. Ath Thuur52:21). Untuk memaksimalkan perhatian kepada anak, hal-hal yang perlu diperhatikan oleh orang tua dalam mendidik anak adalah sebagai berikut : a. Sebagaimana kewajiban memberi makan, minum dan pakaian kepada anaknya, setiap orang tua wajib memperhatikan dan menyuburkan
hati
mereka
dengan
ilmu
dan
iman
serta
memakaikan pakaian takwa pada rohaninya. Hal ini diwujudkan dengan menanamkan akidah sejak dini, diawali dengan pembinaan prinsip-prinsip tauhid sebagai pondasi keimanan. b. Memperhatikan
moral,
diwujudkan
dengan
menanamkan
kejujuran, sifat amanah dan akhlak yang baik serta memilihkan teman bergaul, lingkungan dan bahan bacaan yang baik. c. Memperhatikan mental anak, diwujudkan dengan membentengi anak sejak awal dari kebiasaan buruk dan membahayakan mental
36
dan intelektual anak seperti masturbasi dan penggunaan obat terlarang. d. Memperhatikan
sisi
kejiwaan,
sebagai
contoh,
jika
anak
menunjukkan gejala minder, pemarah, atau pendiam harus ditelusuri penyebabnya, apakah karena dihina, kefakiran, atau sebab lain. Kemudian cari solusinya dan atasi dengan bijaksana dan penuh perhatian. e. Memperhatikan segi sosial, orang tua hendaknya memantau anak tentang pemenuhan hak orang lain, memiliki sifat empati, rendah hati, belas kasih, santun, dan bertanggung jawab. f. Memperhatikan segi spiritual, diwujudkan dengan mengusahakan agar anak memiliki sifat khusyu’, taqwa, rajin, dan semangat beribadah. g. Memperhatikan jasmani, diwujudkan dengan memberi makanan halal
dan
baik,
menciptakan
rumah
yang
sehat,
bersih,
membiasakan olahraga, kecenderungan pola makan dan hidup teratur. h. Memperhatikan segi intelektual, orang tua hendaknya membimbing dan melatih anak dengan penuh kesabaran dalam belajar, membiasakan membaca Al qur’an serta berusaha memupuk daya ilmiahnya dengan berbagai ilmu pengetahuan.