BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Anak adalah makhluk sosial sama seperti dengan orang dewasa. Anak
terlahir dalam keadaan tidak mengetahui apa-apa sehingga membutuhkan orang dewasa dalam membantu mengembangkan kemampuannya. Seiring berjalan waktu masa kanak-kanak merupakan periode yang demikian khas dan merupakan periode penting bagi anak menurut Clark (dalam Semiawan, 2002) dan terjadi sesuai dengan tahapan- tahapan usianya. Periode ini juga merupakan masa-masa pra-sekolah dimana anak belajar semakin mandiri, menjaga diri mereka sendiri, mengembangkan keterampilan dalam persiapan sekolah, dan meluangkan waktu berjam-jam bermain dengan teman-teman sebaya. Menurut Yamin dan Jamilah (2010), masa usia dini adalah masa yang sangat menentukan untuk perkembangan dan pertumbuhan anak selanjutnya karena merupakan masa peka dan masa emas dalam kehidupan anak. Hal ini menandakan bahwa semua pihak perlu memahami akan pentingnya masa usia dini untuk optimalisasi pertumbuhan dan perkembangan. Masa ini merupakan masa yang tepat untuk meletakkan dasar-dasar pengembangan kemampuan fisik, bahasa, sosio-emosional, konsep diri, seni, moral dan nilai agama. Pada usia ini anak juga mencoba untuk menjadi lebih mandiri secara fisik dikarenakan anak sudah mampu untuk berjalan dan berlari tanpa dibantu orang dewasa lagi. Masalah yang dapat terjadi pada usia ini menurut Erikson (1968, dalam Yamin, 2010), adalah anak akan merasa malu kepada
lingkungannya ketika dia merasa tidak mampu melakukan segala sesuatunya sendiri. Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam masa usia dini anak mulai membentuk dirinya untuk menjadi pribadi yang lebih mandiri. Pribadi yang mandiri adalah kemampuan hidup yang utama dan salah satu kebutuhan setiap manusia pada usia awal. Meski masih dalam usia yang sangat muda seorang anak harus memiliki pribadi yang mandiri karena pribadi yang mandiri akan dibutuhkan ketika seorang anak sudah bergabung dengan lingkungan di luar rumah yang mengharuskannya untuk tidak bergantung lagi pada orang tuanya. Kemandirian merupakan kondisi dapat berdiri sendiri tanpa bantuan orang lain dan cenderung tidak bergantung sehingga mampu bersosialisasi dan melakukan aktivitas sendiri serta mampu membuat keputusan sendiri. Kemandirian juga mengacu pada mengarahkan diri sendiri atau memerintah diri sendiri untuk bertindak. Menurut Havigurst (1972, dalam Yamin &Jamilah, 2010) menambahkan bahwa kemandirian terdiri dari empat aspek, yaitu: 1) emosi, 2) ekonomi, 3) intelektual, dan 4) sosial. Masa kritis bagi perkembangan kemandirian berlangsung pada usia dua sampai tiga tahun. Pada usia ini tugas utama perkembangan
anak
adalah
untuk
mengembangkan
kemandiriannya.
Kebutuhan untuk mengembangkan kemandirian yang tidak terpenuhi pada usia dua sampai tiga tahun akan menimbulkan terhambatnya perkembangan mandiri yang maksimal berdasarkan teori Erikson (Yamin&Jamilah,2010). Kemandirian anak ditandai dengan adanya kemampuan untuk melakukan aktivitas sederhana sehari-hari, seperti makan tanpa disuapi, menggunakan pakaian sendiri, mampu memakai kaos kaki dan sepatunya sendiri.
Dari hasil penelitian Ruhidawan (2005) mengenai pola pengasuhan berpengaruh terhadap kemandirian anak dan didukung oleh Karma (2002) yang menyatakan bahwa perbedaan dalam pengasuhan dapat mempengaruhi pembentukan kemandirian anak. Dari penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa pendidikan non-formal dapat berpengaruh terhadap kemandirian. Selain itu, dalam mengembangkan kemandirian anak dapat melalui pendidikan formal yang lebih dikenal sebagai pendidikan anak usia dini (PAUD). Sebagaimana telah diatur dalam UU RI Nomor. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional Bab 1, Pasal 1, Butir 14 dinyatakan bahwa pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani. Menurut Hasan (2009) pendidikan anak juga merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan
pendidikan
yang
mengarah
pada
pertumbuhan,
perkembangan fisik dan kecerdasan, daya pikir, daya cipta, emosi, spiritual, berbahasa atau komunikasi, dan sosial. Selain itu, salah satu alasan orang tua menyekolah anak pada usia dini di harapkan kemandirian anak meningkat baik di rumah maupun di sekolah dan anak lebih siap menghadapi pendidikan lebih lanjut. Bertolak belakang dengan penjelasan sebelumnya berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Malau (2012) mengenai faktor eksternal yang mempengaruhi kemandirian anak kelas satu sekolah dasar negeri 1 Pondok
Cina kota Depok bahwa tahapan kemandirian anak kelas satu sekolah dasar diantaranya yaitu bisa berpakaian sendiri, bisa mengatur perlengkapan sekolah dengan sendiri. Namun sekitar 50% anak masih banyak yang kurang mandiri di rumah terutama dalam hal berpakaian dan menyiapkan alat-alat perlengkapan sekolah. Hal ini dikarenakan sekitar 10% anak masih berusia kurang dari 6 tahun sehingga masih dibantu oleh orang tua. Selain itu, sekitar 12% dipengaruhi faktor anak tunggal sehingga peran orang tua sangat banyak dalam membantu anak mengerjakan tugas sehari-hari. Lebih lanjut dalam penelitian tersebut beliau menyarankan bahwa guru perlu meningkatkan cara pengembangan kemandirian anak dengan cara membiasakan melakukan tugas di sekolah dengan sendiri. Selain itu, mengingatkan anak secara berulang bahwa tugas di sekolah harus dikerjakan dengan sendiri agar anak membiasakan diri untuk mengerjakan tugas sendiri. Hal ini terkait dengan salah satu metode belajar yang saat ini tengah berkembang di Indonesia, yaitu metode Montessori. Metode Montessori dicetuskan oleh Maria Montessori pada tahun 1907 melalui Casa dei Bambini atau Children House yang berkeyakinan bahwa pendidikan dimulai sejak lahir, pikiran anak sebagai absorbent mind atau pikiran dapat mudah menyerap karena kemampuannya yang besar dalam belajar dan berasimilasi secara terus menerus dari dunianya. Pada dasarnya, sistem ini hampir serupa dengan sistem regular, karena masih melibatkan peran murid dan guru. Menurut Setyanti (2011) menjelaskan bahwa biasanya metode Montessori pada pendidikan pre-school sampai sekolah dasar, namun ada juga yang menggunakan sistem ini di sekolah menengah. Penggunaan
metode Montessori sendiri tidak selalu di aplikasikan secara keseluruhan karena di Jakarta ada juga sekolah yang menggunakan metode tersebut dan dipadukan dengan kurikulum pemerintah atau bisa juga disebut sekolah semi Montessori. Sekolah yang menggunakan metode semi Montessori ini memiliki penilaian dan tujuan yang sama dengan sekolah lain yang menggunakan metode Montessori secara keseluruhan, namun sekolah ini juga melakukan penilain yang sesuai dengan kurikulum atau metode yang memang sudah ditetapkan oleh pemerintah. Sekolah yang menggunakan metode semi Montessori mampu menyesuaikan pengajarannya sesuai dengan tujuan dari metode yang dicetuskan oleh Maria Montessori. Para guru yang menggunakan metode semi Montessori ini juga harus memberikan arahan yang tepat kepada para siswa, karena ciri dari metode Montessori adalah penekanan pada aktivitas pengarahan diri pada anak dan pengamatan klinis dari guru yang berfungsi sebagai fasilitator atau pendamping. Menurut Montessori (1964, dalam Frick, 2010) pendidikan Montessori menggunakan filosofi untuk membantu setiap anak menjadi individu yang lebih disiplin, “menguasai dirinya dan karena itu dapat mengatur perilakunya sendiri ketika dibutuhkan untuk mengikuti beberapa aturan hidup”. Dasar dalam pendidikan dengan metode Montessori menekankan pada tiga hal, yaitu pendidikan sendiri, masa peka, dan kebebasan. Metode dan media pembelajaran dibagi menjadi tiga bagian, yaitu motorik, sensorik, dan bahasa. Penekanan utama ditujukan pada perkembangan alat-alat indera. Media yang digunakan pada sekolah semi Montessori juga memiliki kesamaan dengan sekolah metode Montessori tetapi memiliki perbedaan karena sekolah dengan
metode semi Montessori tetap menerapkan sistem per kelas, dimana siswa tetap belajar di dalam kelas sesuai dengan usianya. Metode dan media yang digunakan sekaligus sebagai materi belajar sekolah Montessori akan mengizinkan anak untuk bergerak, menyentuh, manipulasi, dan bereksplorasi secara bebas dalam rancangan kegiatan belajar yang disediakan guru, hal ini akan memberikan kebebasan kepada anak tanpa ada intervensi dari orang dewasa. Menurut Lillard (2005, dalam Frick, 2010) menjelaskan bahwa kebebasan siswa merupakan prinsip utama dalam penggunaan metode Montessori, karena anak bertanggung jawab dengan pilihannya dalam lingkungan pembelajaran yang telah di siapkan. Peneliti juga melihat kemandirian beberapa anak ketika melakukan kegiatan praktek magang di salah satu sekolah yang menggunakan metode semi Montessori sebagai salah satu metode pembelajaran mengenai kemampuan anak akan kehidupan sehari-harinya. Kemandirian anak-anak terlihat seperti anak sudah mampu melepas dan menggunakan kembali pakaiannya tanpa bantuan guru. Anak-anak terbiasa untuk makan sendiri (menggunakan sendok dan garpu dengan benar) dan anak usia 2-3 tahun sudah mampu mencuci tangannya sendiri dan membuang sampah pada tempatnya setelah makan. Anak usia 4-5 tahun sudah mampu melipat pakaiannya sendiri dan meletakan ke dalam loker tanpa bantuan guru. Hal ini terjadi karena guru membiasakan anak untuk melakukan kegiatan tersebut dengan usahanya sendiri, Sesuai dengan dasar pemikiran Montessori (dalam Seldin, 2007) bahwa anak harus dihormati dan diberi kesempatan untuk melakukan hal-hal sendiri tanpa bantuan orang lain. Dari hal tersebut maka sekolah yang
menggunakan metode Montessori lebih banyak melibatkan peran anak sendiri dalam kegiatan belajar. Metode lain dalam pendidikan anak usia dini adalah metode yang umum digunakan, yaitu metode bermain. Metode bermain banyak digunakan dalam pendidikan anak usia dini karena bermain sendiri tidak dapat dilepaskan bagi anak usia dini. Menurut Semiawan (2002) pendidikan bagi anak usia dini adalah belajar sambil bermain. Dengan bermain secara bebas dan berekspresi serta bereksplorasi dapat mengembangkan potensi fisik maupun mental. Hal tersebut sejalan pendapat Santrock (2007) yaitu dalam memberikan pembelajaran pada anak harus berdasarkan dengan minat dan gaya mereka sehingga anak tidak bosan dalam belajar. Bermain adalah salah satu kegiatan yang paling dekat dengan kebiasaan hidup seorang anak adalah melalui bermain. Melalui bermain anak dapat bereksplorasi dengan dunia luar. Metode bermain yang berdasarkan dengan teori Mueller (dalam Kusuma, 2013), anak diberikan kesempatan untuk berpartisipasi aktif dan mengembangkan pengetahuannya tentang benda-benda di sekitar melalui kegiatan bermain. Perkembangan kemandirian anak dengan metode bermain juga dapat terlihat ketika anak aktif dalam memilih permainannya sendiri. Pada metode bermain pengajaran yang dapat diterapkan adalah dengan brainstorming activity yaitu guru mengarahkan siswa untuk berfikir dan merefleksikan sesuatu di sekitar mereka menjadi bahan belajar. Langkah selanjutnya, introducing activity yaitu memperkenalkan sesuatu yang konkret pada siswa dan memulai aktivitas yang sesuai dengan topik yang akan diajarkan. Langkah ketiga, play and do activity yaitu siswa belajar diselingi bermain yang bersifat mendidik dan adanya
media gambar yang disesuaikan dengan lingkungan anak. Langkah terakhir, share and show yaitu anak melaporkan hasil bermain dan menunjukkan sesuatu yang mereka temukan ketika bermain (dalam Kusuma, 2013). Lebih lanjut Lillard (2005, dalam Frick, 2010) menjelaskan bahwa guru Montessori memberikan dukungan penuh pada kemandirian anak melalui observasi dan intervensi dengan membiarkan anak sendiri saat dia tertarik dan konsentrasi dengan tugasnya dan guru akan membantu mereka dalam menentukan pilihan yang baik saat mereka mulai melemah dan tidak tertarik lagi akan pekerjaannya. Dalam metode bermain guru juga memberikan arahan ketika anak mulai tertarik dalam sebuah permainan dan guru juga memberikan pengajaran melalui sebuah permainan yang menarik sehingga anak terus terpacu untuk lebih unggul lagi (dalam Kusuma, 2013) Dari penjelasan di atas menunjukkan bahwa kemandirian dapat berkembang dengan pendidikan yang di dapat oleh seorang anak. Perkembangan metode Montessori
dalam dunia pendidikan di Indonesia
mengajarkan agar anak dapat menumbuhkan sikap mandiri dan menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri dalam bertindak dan metode bermain juga memberikan kesempatan pada anak untuk lebih bereksplorasi terhadap lingkungannya. Lebih lanjut peneliti tertarik untuk meneliti apakah ada perbedaan
kemandirian
anak
usia
pra-sekolah
pada
menggunakan metode semi Montessori dan sekolah regular.
sekolah
yang
1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan Uraian di atas rumusan masalahnya sebagai berikut “Adakah perbedaan
kemandirian
anak
usia
pra-sekolah
pada
sekolah
yang
menggunakan metode semi Montessori dan sekolah regular ”. 1.3. Tujuan Dalam Penelitian ini tujuan yang ingin dicapai adalah untuk mengetahui perbedaan
kemandirian
anak
usia
pra-sekolah
pada
menggunakan metode semi Montessori dan sekolah regular.
sekolah
yang