BAB III PENDEKATAN LAPANG
3.1
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif sebagai metode utama
dengan menggunakan metode penelitian survey. Kegiatan dilaksanakan dengan survey tahap I, sosialisasi program dan kemudian kembali dilaksanakan survey tahap II. Data didapatkan melalui data eksperimental. Metode penelitian survey adalah penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dengan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data yang pokok (Singarimbun, 1989). Data-data penelitian kemudian ditunjang dengan metode kualitatif yang diperoleh dari observasi lapang secara langsung dan wawancara mendalam. Wawancara mendalam dilakukan kepada informan untuk mendapatkan informasi lebih banyak. Informan yang diwawancara adalah pihak-pihak yang dianggap mengetahui keadaan seperti pihak Badan Karantina Pertanian.
3.2
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, yang
dibantu oleh Kantor Pusat Badan Karantina Pertanian dan Unit Pelaksana Teknis (UPT). Rangkaian Program Barantan dilaksanakan pada Desember 2007 hingga Agustus 2008. Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Juli sampai Agustus 2008. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) berdasarkan pertimbangan bahwa Bandara Soekarno-Hatta merupakan salah satu tempat lalulintas yang padat bagi para traveler. Hal ini memungkinkan peneliti dapat
mengetahui tingkat pengetahuan traveler mengenai Badan Karantina Pertanian baik fungsi maupun tugas-tugasnya, serta pengetahuan responden mengenai penyakit flu burung. Hal ini juga memungkinkan peneliti dapat mengetahui apakah kampanye berpengaruh terhadap perubahan perilaku responden (traveler).
3.3
Penentuan Subyek Penelitian Subyek dalam penelitian ini akan dibedakan menjadi responden dan
informan. Kriteria populasi sasaran yang dijadikan unit analisis adalah orang yang melakukan perjalanan (traveler) dan bersedia dijadikan responden. Adapun responden dari penelitian ini adalah traveler masyarakat Jakarta. Traveler yang dimaksud adalah traveler domestik. Jumlah responden yang diwawancarai sebanyak 800 orang yang dibagi menjadi 400 responden pada survey kuesioner tahap I dan 400 responden pada survey melalui kuesioner tahap II. Informan yang diwawancarai adalah pihak Karantina yaitu Kepala sub-bagian Humas Bapak Suwardi Suryaningrat, M.Sc. Subyek Penelitian dipilih secara purposive incidental.
3.4
Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data adalah prosedur yang sistematik dan standar untuk
memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian (Nazir, 1999). Data-data yang dikumpulkan dalam penelitian adalah data primer dan data sekunder. Pengumpulan data-data dilakukan dengan metode triangulasi data (kombinasi dari berbagai sumber data). Data-data tersebut dapat dikumpulkan melalui beberapa cara, yaitu:
1. Wawancara langsung. Cara ini dimaksud untuk memperoleh data primer dengan menggunakan instrumen pengumpulan data, yaitu kuesioner yang diberikan kepada responden. Kuesioner yang diberikan kepada responden berisi sejumlah pertanyaan tertutup (closed ended questions), yaitu berupa pertanyaan yang pilihan jawabannya telah tersedia sehingga responden hanya memilih salah satu pilihan jawaban yang dianggap paling sesuai dan sejumlah pertanyaan terbuka berupa pertanyaan tanpa ada pilihan jawaban sehingga responden dapat menjawab sesuai dengan keadaan pribadi mereka. 2. Studi literatur.
3.5
Teknik Analisis Data Penelitian ini diuji dengan menggunakan alat uji statistik yaitu Chi-square
untuk melihat hubungan masing-masing variabel dan tabulasi silang untuk memudahkan dalam menganalisis data. Karakteristik demografi berupa tingkat pendidikan, usia, jenis kelamin, dan jenis pekerjaan responden, serta media massa yang dihubungkan dengan kesadaran masyarakat. Data kuantitatif yang telah terkumpul melalui kuesioner kemudian diolah dengan menggunakan program SPSS.
BAB IV GAMBARAN UMUM
4.1.
Sejarah Badan Karantina Pertanian17 Terminologi “Karantina” berasal dari bahasa Latin “Quaranta” yang
berarti Empat Puluh. Istilah tersebut lahir sekitar abad ke XIV di Venesia yang menetapkan batas waktu yang diberlakukan untuk menolak masuk dan merapat, kapal yang datang dari luar negeri untuk menghindari terjangkitnya penyakit menular. Sejarah berulangkali telah membuktikan bahwa hama penyakit hewan dan tumbuhan dapat menyebar dari negara ke negara lain, atau area satu ke area lainnya di suatu negara,
melalui lalu lintas manusia atau benda yang dapat
menjadi media pembawa. Institusi Karantina dibentuk dengan tujuan mencegah masuk hama dan penyakit hewan karantina dan organisme pengganggu tumbuhan karantina dari luar negeri, dan mencegah penyebarannya antar area di dalam negeri, serta melaksanakan pengawasan keamanan hayati. Karantina Indonesia diawali sejak Jaman Hindia Belanda, manakala terjadi wabah penyakit karat daun kopi di Srilanka, pada saat itu pemerintah berjuang keras untuk mencegah penyakit tersebut agar tidak masuk ke Hindia Belanda. Bertitik tolak dari kecemasan Hindia Belanda terhadap penyakit kopi, lahirlah Ordonansi 19 Desember 1877 (Staatsblad No.262) yang melarang pemasukan 17
Isnadi. 1999. Menuju Terbentuknya Badan Karantina Pertanian Nasional Menghadapi Era Globalisasi. Jakarta: Pusat Karantina Pertanian Departemen Pertanian.
tanaman kopi dan biji kopi dari Srilanka. Ordonansi tersebut merupakan pertama kali yang dikeluarkan pemerintah Hindia Belanda dalam bidang perkarantinaan tumbuhan di Indonesia. Selanjutnya pada Tahun 1912 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan ordonansi 13 Agustus 1912 (Staatsblad No.432) yang mengatur kehewanan, dan ketentuan tersebut merupakan dasar kegiatan perkarantinaan hewan pertama kali di Indonesia. Sejarah karantina di suatu negara diawali oleh terbitnya peraturan perundangan yang pertama kali dikeluarkan, dan ordonansi 1877 termasuk salah satu ordonansi tertua dalam dunia perkarantinaan. Pendirian kantor karantina dimulai sejak 1925 oleh pemerintah Hindia Belanda dengan membangun kantor karantina tumbuhan di Pelabuhan Tanjung Priok. Tahun 1940 dibangun kantor karantina di Belawan, Tanjung Perak serta Makassar. Salah satu ciri bangunan kantor karantina di Pelabuhan masa itu adalah terdapatnya bangunan pelengkap berupa Sel Fumigasi dan Alat pemusnahan (incenerator). Dinas Karantina Tumbuhan (Plantenquarantine Dienst) eksis pada tahun 1939, dan selanjutnya pada masa pasca kemerdekaan tahun 1957 dari sebuah Seksi ditingkatkan status menjadi Bagian dari Balai Penyidikan Hama Tumbuhan, dan dengan Keputusan Menteri Pertanian tahun 1961 berubah menjadi salah satu Bagian dari Lembaga Penelitian Hama dan Penyakit Tanaman (LPHT). Selanjutnya reorganisasi Dinas Karantina Tumbuhan berkembang mulai 1966 keluar dari LPHT. Berikutnya tahun 1969 menjadi Direktorat Karantina Tumbuhtumbuhan, yang secara operasional dibawah Menteri Pertanian dan secara administratif di bawah Sekretariat Jenderal Departemen Pertanian, sehingga status organisasi karantina menjadi unit Eselon II. Ketika penyerahan kedaulatan ke
pemerintah RI, petugas karantina tumbuhan dari Pusat ditugaskan melakukan penataaan organisasi perkarantinaan di wilayah tersebut yang kemudian sepenuhnya menjadi wilayah negara RI. Tahun 1971, dengan Keputusan Menteri Pertanian, No.171/1971 Direktorat Karantina Tumbuhan memiliki 24 kantor cabang di daerah. Lima tahun berikutnya tahun 1974, dengan Keppres No.45/1974 terbentuk Pusat Karantina Pertanian di bawah Badan Litbang Pertanian. Suatu hal yang perlu dicatat bahwa, sejak tahun 1974 terminologi “karantina pertanian” mulai muncul dengan mengintegrasikan karantina tumbuhan dan hewan dalam satu wadah. Sebelumnya, penyelenggaraan pengawasan, pemeriksaan lalu lintas hewan atau ternak serta pengasingan hewan di suatu lokasi tertentu akibat penyakit menular, dilaksanakan oleh dokter hewan pemerintah. Tahun 1995 sampai dengan 1996 reorganisasi lingkup Departemen Pertanian, Pusat Karantina Pertanian kembali dipindah ke Eselon I lain yaitu Badan Agribisnis. Setelah melalui masa reformasi yang sulit dan transisi yang terus berlanjut, masa tersebut diakhiri dengan terbitnya Keputusan Presiden No.58 tahun 2001 menyatakan lahirnya Badan Karantina Pertanian unit Eselon Ia di Departemen Pertanian. Selanjutnya pada tanggal 27 September 2001 Karantina Ikan diserahterimakan ke Departemen Kelautan dan Perikanan. Dengan demikian tahun 2001 merupakan tonggak sejarah bagi perkembangan organisasi Karantina Pertanian di Indonesia. Bidang peraturan perundangan tanggal 8 Juni 1992 adalah monumental yang tidak terlupakan, karena Presiden Republik Indonesia menandatangani Undang-Undang No.16 tahun 1992 Tentang Karantina Hewan, Ikan dan
Tumbuhan. Perkembangan dibidang legislasi terus berlanjut dengan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 82 tahun 2000 tentang Karantina Hewan dan kemudian lahir PP No. 14 tahun 2002 tentang Karantina Tumbuhan. Merupakan hal yang penting bahwa produk pertanian dan pangan Indonesia yang akan memasuki perdagangan internasional harus sesuai dengan standar Sanitary and Phytosanitary Measures (SPS) dan persyaratan keamanan pangan yang diminta oleh pasar dunia. Studi menyimpulkan bahwa bagi negaranegara yang kurang atau belum menerapkan standar SPS, memberikan risiko akan akses pasar, sehingga akan menyulitkan persaingan dan potensi pengembangan perekonomian yang didasarkan pada ekspor produk pertanian terutama pangan. Pelaksanaan ketentuan karantina pertanian pada tempat-tempat pemasukan dan pengeluaran di Indonesia, akan menyumbangkan peningkatan rasa percaya diri dari konsumen baik di dalam maupun di luar negeri. Penyempurnaan organisasi Badan Karantina Pertanian dilakukan berdasar Peraturan Menteri Pertanian No. 299 pada tahun 2005 dengan penambahan Pusat Informasi dan Keamanan Hayati sebagai salah satu unit eselon II. Sejak keluarnya Keputusan Menteri Pertanian No. 22 tahun 2008 Badan Karantina Pertanian melalui reorganisasi melakukan fusi karantina hewan dan tumbuhan menjadi Karantina Pertanian, yang dilanjutkan dengan Keputusan Menteri Pertanian No.808/Kpts/KP.330/6/2008 tentang pengangkatan dalam jabatan struktural Unit Pelayanan Teknis dari Balai Besar, Balai, Stasiun Karantian Pertanian mewujudkan integrasi penggabungan karantina hewan dan tumbuhan dalam kerangka operasional di lapangan.
Penyelenggaraan karantina saat ini berbeda dengan sebelumnya, yang tidak hanya mencakup pencegahan penyebaran Hama Penyakit Hewan Karantina (HPHK) dan Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina (OPTK), tetapi juga menyangkut Keamanan Pangan, Lingkungan dimana didalamnya terdapat komponen Keanekaragaman Hayati. Berdirinya Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization) pada tahun 1995 dengan aturan-aturannya yang diterapkan pada perdagangan komoditas pertanian, kesehatan tanaman telah menjadi isu kebijakan pokok dalam perdagangan. Fungsi Karantina dilaksanakan dengan melakukan tindakan karantina, yaitu melakukan pemeriksaan, pengasingan, pengamatan, perlakuan, penolakan, pemusnahan dan pembebasan terhadap komoditas sebagai media pembawa HPHK dan OPTK. Dari sisi operasional yang juga berdasarkan hukum internasional, karantina pertanian sebagai salah satu sistim operasional Custom, Immigration, and Quarantine (CIQ) di setiap pintu masuk dan keluar termasuk pos perbatasan sebagai pelaksana law enforcement terhadap pengawasan lalu lintas komoditas dengan berdasar peraturan baik nasional maupun internasional.
4.2.
Visi dan Misi dan Tugas Pokok Badan Karantina Pertanian Visi Badan Karantina Pertanian adalah: ”Karantina Pertanian yang
Tangguh, Modern dan Terpercaya”. Sedangkan Misi dari Badan Karantina Pertanian adalah: 1. Melindungi kelestarian sumber daya alam hayati, hewan dan tumbuhan. 2. Mendukung keberhasilan program pengembangan agribisnis dan peningkatan ketahanan pangan nasional.
3. Memfasilitasi kelancaran perdagangan atau pemasaran produk agribisnis. 4. Mewujudkan pelayanan prima kepada masyarakat. 5. Mendorong partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan perkarantinaan. Tugas
pokok
Badan
Karantina
Pertanian
adalah
melaksanakan
perkarantinaan tumbuhan tanaman pangan, hortikultura dan tanaman perkebunan serta hewan dan pengawasan keamanan hayati terhadap hewan, produk hewan, tumbuhan dan produk tumbuhan yang diimpor, diekspor dan diantar-areakan.
4.3.
Struktur Organisasi dan Ruang Lingkup Ruang Lingkup Badan Karantina Pertanian mencakup:
1. Kepala Badan Karantina Pertanian (Eselon I Departemen Pertanian), 2. Sekretaris Badan (Eselon II), Terdiri dari 4 Kepala Bagian (Eselon III) dimana masing-masing bagian terdiri dari 3 Kepala Sub Bagian (Eselon IV) yaitu : Kepala Bagian Perencanaan, Kepala bagian Keuangan dan perlengkapan, dan Kepala Bagian Kerjasama dan Humas yang masing-masing bidang terdiri dari 3 Sub Bagian, serta Jabatan Fungsional. 3. Kepala Pusat Karantina Hewan (Eselon II), Meliputi 3 Kepala Bidang (Eselon III) dan setiap bidang terdiri dari 2 Sub Bidang (Eselon IV) dan Jabatan Fungsional yang terdiri dari Medik dan Paramedik.
4. Kepala Pusat Karantina Tumbuhan (Eselon II), Meliputi 3 Kepala Bidang (Eselon III) dan setiap bidang terdiri dari 2 Sub Bidang (Eselon IV) dan Jabatan Fungsional yang terdiri dari Pengendali Organisme Pengganggu Tumbuhan (POPT) Ahli dan Terampil. 5. Pusat Informasi dan Keamanan Hayati (Eselon II) Meliputi 3 Kepala Bidang (Eselon III) dan setiap bidang terdiri dari 2 Sub Bidang (Eselon IV).
4.4.
Program Badan Karantina Pertanian Karantina Pertanian adalah tempat pengasingan dan atau tindakan sebagai upaya
pencegahan masuk serta tersebarnya hama dan penyakit atau organisme pengganggu tumbuhan serta hewan dari luar negeri, dan dari suatu area ke area lain didalam negeri atau keluarnya dari dalam wilayah negara Republik Indonesia. Tugas pokok badan Karantina Pertanian ialah untuk melaksanakan perkarantinaan tumbuhan, tanaman pangan, hortikultura dan tanaman perkebunan serta hewan, produk hewan, tumbuhan dan produk tumbuhan yang diimpor, diekspor dan di antar areakan. Namun seiring dengan perkembangan zaman, selain yang telah dipaparkan diatas fungsi Karantina berkembang sebagai salah satu instrumen perdagangan baik dalam lingkup nasional maupun internasional. Adapun Program Badan Karantina Pertanian adalah: 1.
Public Awareness Program Revitalisasi Karantina Pertanian tidak akan mampu menghasilkan kinerja yang maksimal, jika tidak ada dukungan dan keterlibatan dari masyarakat. Badan Karantina Pertanian mengelompokkan masyarakat dalam lima strata, yakni: a. Masyarakat pemegang kebijakan: eksekutif, legislatif dan yudikatif baik di tingkat pusat maupun daerah, b. Masyarakat pendidikan, c. Masyarakat media (press), d. Masyarakat pengusaha, meliputi: eksportir, importir dan jasa pendukung perkarantinaan, e. Masyarakat umum.
Strategi kampanye Public Awareness Karantina Pertanian akan terus digalang dan ditingkatkan bagi kelima kelompok masyarakat tersebut untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya tindakan dan pelaksanaan Karantina dalam rangka perlindungan kehidupan dan perekonomian bangsa. Atas dasar tersebut, tim humas Karantina Pertanian yang bekerjasama dengan Karantina Australia (Indonesian Quarantine Strengthening Program atau IQSP) merancang suatu program Public Awareness flu burung melalui metode kampanye di Jakarta.