BAB III PEMIKIRAN SACHIKO MURATA TENTANG RELASI GENDER
A. Biografi Sachiko Murata Sachiko Murata dilahirkan di Jepang, sekitar tahun 1940-an. Perkenalannya dengan Islam dimulai semasa menjadi mahasiswi yang tengah mempelajari hukum keluarga di Universitas Chiba di pinggiran kota Tokyo. Rasa keingintahuan Sachiko Murata tergugah
ketika mengetahui
bahwa
hukum keluarga Islam membolehkan seorang pria mempunyai empat isteri sembari pada saat yang sama diharapkan bisa tetap mempertahankan kedamaian dan keharmonisannya sekaligus. Setelah menyelesaikan studinya dan bekerja setahun di sebuah badan hukum di Tokyo, rasa keingintahuannya semakin mengebu terutama ketika seorang sahabatnya dari Iran menawarkan mengusahakan beasiswanya untuk mempelajari hukum Islam di Universitas Teheran, Iran. Segera
Sachiko
Murata tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. tahun 1967 Sachiko Murata berangkat ke Iran untuk belajar di Universitas Teheran. Sebelum mempelajari lebih jauh tentang hukum Islam, dia memutuskan untuk memperdalam bahasa Persia selama tiga tahun. Tahun 1971,dia berhasil menyelesaikan disertasi Ph D dalam bidang sastra Persia tentang peranan kaum wanita dalam Hayft Paykar, dengan mengkaji sebuah karya puisi yang ditulis oleh Nizhami. Sachiko Murata tercatat sebagai seorang wanita non muslim pertama yang mendaftar masuk Fakultas Teologi dalam Program Yurisprudensi (fiqh), dan berkesempatan secara langsung mempelajari hukum Islam dari beberapa otoritas terkemuka dibidangnya, diantaranya:
Sayyid Hassan Iftikharzada
Sabziwari, seorang ulama terdidik dalam bidang metodologi tradisional yang membantunya mengkaji beberapa teks tersulit dari Yurisprudensi (Fiqh dan prinsip-prinsip Yurisprudensi (Ushul Fiqh). Profesor Abu al-Qasim Gurji’ serta Profesor Tashishiko Izutsu, pembimbingnya, sehingga Sachiko Murata berhasil menerjemahkan teks klasik abad ke-10 H / 16 M, tentang prinsip-prinsip Yuriprudensi, Mu’allim al-Ushul ke dalam bahasa Jepang.
31
32
Dalam waktu yang tidak terlalu lama, Sachiko Murata menyadari bahwa berbagai pra konsepsi dia tentang kedudukan wanita dalam Islam yang dipelajari orang-orang Jepang dari sumber-sumber Barat, sama sekali tidak berkaitan dengan realitas masyarakat
Iran saat itu sebelum revolusi Iran
terjadi. sebagai seorang wanita pertama dalam program tersebut, dia selalu diperlakukan dengan penuh sopan dan hormat oleh dosen dan para mahasiswa. Ada kesan mendalam selama dia mengambil studi di Teheran seperti yang diutarakannya: “Selama bertahun-tahun bergaul dan bekerjasama dengan para sarjana seperti Gurji, Iftikharzada dan lainnya, saya tidak pernah merasakan diperlakukan secara khusus hanya karena saya seorang wanita. Mereka memperdebatkan berbagai macam persoalan dengan saya sebagaimana yang mereka lakukan dengan rekan-rekan mereka sendiri. Kadang-kadang mereka berusaha meyakinkan saya bahwa merekalah yang benar, dan sesekali saya juga menyakinkan mereka bahwa sayalah yang benar. seringkali kami ngotot dan bersikukuh dengan pendapat kami masingmasing, dengan tetap menghormati satu sama lain. Pada tingkat ilmu, gender bukan masalah. Hanya saja, manakala seorang pria mengunjungi seseorang bersama istrinya, ada aturan-aturan tertentu yang perlu diperhatikan…………”1 Di Iran Sachiko Murata mulai mempelajari tradisi sufisme yang disebutnya sebagai tradisi kearifan (hikmah) secara serius dan sungguhsungguh, tentang beberapa
kajian yuridis. Selama beberapa tahun beliau
mengikuti beberapa kuliah professor Izutzu tentang Fushus al-Hikam karya Ibn al-‘Arabi dan kuliah yang disampaikan oleh Sayyed Hosein Nasr mengenai karya besar klasik Persia yang menganut mazhab ibn al-‘Arabi, Syarhi Ghulsyani-I raz. Salah satu kajian yang menjadi kenangan berkesan selama tahun-tahun studinya adalah ketika dia menelaah dan mengkaji ajaran cemerlang Jalal al-Din Huma’i, yang kehadirannya cukup meyakinkan sachiko Murata bahwa Islam memiliki tardisi spiritual yang dalam dan hidup. Tahun 1975, Sachiko Murata menyelesaikan tesis M.A-nya di Fakultas Teologi dengan topik pernikahan sementara (nikah mut’ah) berikut relevansi sosialnya. Semenjak perjumpaannya dengan berbagai manifestasi peradaban Islam klasik, baik dalam bidang seni, arsitektur, puisi, ajaran-ajaran hukum, 1
Sachiko Murata, The Tao of Islam: A. Source book on Gender Relationship in Islamic Thought, State University of New York, New York, 1992, hlm. 12-16.
33
adat-kebiasaan dan pandangan dunia menyeluruh. Sachiko Murata merasa bahwa semua itu mempunyai kedekatan yang erat degan latar belakang ketimurannya. Pada tahun 1977, wlaupun studinya di Teheran sempat terputus karena revolusi social yang terjadi di Iran, dia memutuskan untuk menulis disertasi Ph.D yang membandingkan ajaran-ajaran Islam dan Kong Hu Cu tentang keluarga, tapi revolusi Iran menyebabkan riset tersebut berhenti. Selama masa tersebut, bersama professor Izutsu, dia mempelajari I Ching, yakni tentang ajaran-ajaran dasar filsafat Cina, dan ini membuatnya semakin akrab dengan kedalaman-kedalaman filosofis eksplisit dalam pemikiran Cina. Tahun 1983, Sachiko Murata bergabung dengan Fakultas Agama di stony Brook dan diminta untuk mengajar mata kuliah “spiritualitas feminine dalam agama-agama Dunia’. Tugas terberat yang harus dihadapinya adalah mengubah pandangan kuno tentang kedudukan wanita dalam Islam yang hampir tidak pernah berubah. Prasangka bahwa wanita Timur, khususnya wanita muslim, merupakan kaum yang paling tertindas dan tertekan di muka bumi tampaknya telah berakar kuat di benak para mahasiswa dan koleganya. Walaupun Islam mungkin mempunyai sisi-sisi menarik untuk dikemukakan, namun sama sekali bukan aspek peran wanitanya dalam masyarakat. Untuk itulah, beliau menggunakan pendekatan tak langsung, menjelaskan Islam bukan dari konteks Barat, dengan segala asumsinya mengenai seksualitas dan peran gender yang tersirat tapi melalui perspektif timur jauh. Sachiko Murta mempunyai alasan kuat, ajaran-ajaran dasar filsafat cina sudah dikenal para pembaca terdidik Barat. Popularitas I Ching serta kehadiran symbol Yin dan Yang menyebabkan tak banyak orang yang mesti diberitahu bahwa pemikiran Cina sangat menekankan prinsip harmoni dan keseimbangan antara dua peran eksistensi. Sebaliknya, kosmologi Islam secara praktis tak dikenal, karena tak banyak cendikiawan Muslim yang mencurahkan perhatian pada pandangan yang lebih dalam atau makna dibalik institusi Islam. Melalui pendekatan yang dipilihnya tersebut, menjelang akhir diskusi, ketika melihat peranan ideal yang dimainkan kaum wanita dalam masyarakat yang sesuai dengan ajaran-ajaran spiritual Islam, sachiko Murata menemukan
34
para mahasiswanya tidak lagi sulit menghargai fakta bahwa peranan gender dalam Islam bukan tidak bertujuan sama sekali dan bukan dimotivasi oleh kepentingan-kepentingan politis. Adapun karya karya dari Sachiko Murata yang telah dihasilkan sampai kurun waktu sekarang. Beberapa diantaranya ditulis dalam bahasa Inggris, namun tidak sedikit yang ditulis dalam bahasa ibunya, bahasa Jepang. 1. Buku-Buku Sachiko Murata yang sudah dipublikasikan, antara lain: a. Izdi waj-i muwaqqat, Teheran Hamdani, 1978, 97 pp; b. Isuramu hooriran Jestsu (principle of Islamic Law, translation with introduction and commentary of ma’alim al-usiul by Shaykh hasan, Tokyo: Iwanami (Islamic Classiics, general editor T. Isutzu, 1985, 564 pp. c. Temporary marriage in Islamic Law, London: Muhammadi Trust, 1987, 73 pp, reprinted qum: Ansariyan Publications, 1991. d. The Tao of Islam: A Sourcebook on Gender Relationship in Islamic Thought, Albany: SUNY Press, 1992, 410pp. Indonesian translation by Ratna Megawangi, Bandung, Mizan, 1995. e. Sachiko Murata and William C. Chittick, The Vision of Islam, New York: Paragon, 1994, 39+368 pp. Pakistan edition: Lahore: Suhail Academy, 1998. f. Chinese Gleams of Sufi Light: Wang Tai-yu’s Great Learning of The Pure and Real liu Chih’s Displaying The Concealment of The Real Realm, Albany: SUNY Press, in production (2000). 2. Artikel-artikel yang telah ditulisnya, antara lain: a. Shiaha isuramu no tokushoku (“characteristic of Shi’ite Islam), Isuramu Pawa no Kenkyu, vol. 2, Tokyo: Chutoo Choosakai, 1982, pp. 22-34. b. Akund Korasani: His importance in Osul, Encylopedia Iranica, London: Routdge and Kegan Paul, Vol. 1, 1984, pp. 734-35. c. Anshari, Syaikh, Ibid.., vol. 2, 1985, pp. 102-103.
35
d. Angels on Islmic spirituality: Foundation (vol. 19 of world Spirituality” A Encyclopedia History of the Religions Quest), New York: Crossroad, 1987, pp. 324-344. e. Masculline / feminine Complementaryin Islamic spiritual Psychology, Islamic Quartely 33, 1989, pp. 165-187. f. The Tao of Islamic, Sufi 5, 1990, pp. 17-21. g. Myteries of Marriage: Notes on Sufi Text, the Legacy of Mrdieval Persian Sufism, edited by Leornard. h. Kawaranu Hito, (The unchanging Personality). i. Isuramu to Josei (Islam and women). j. Witnessing the Rose: Ya’qub Sarfi on the vision of God in Women. k. Ta’lim-l Islam dar Maghribzamin (Teaching Islam in the West).
B. Pemikiran Sachiko Murata Tentang Tao. Dalam masyarakat Cina ada tiga nama besar Konfusius, Tao, dan Budhisme sebagai agama monisme, sebelum mengenal ajaran marx dengan ideology sosialis dn ahteisnya. Secara histories Agama Konfusius dikenal di Cina abad XVI SM pada masa pemerintahan Dinasti Tjaw (1625 – 225 SM) yang menggantikan dinasti Shang.2sejarah Tao lahir sekitar abad VI SM, ketika dinasti Tjaw sedang berkuasa abad itu dikenal dengan abad kekacauan (Can Kuo), yakni adanya perang saudara.3 Sehingga agama Konfusius ada sebelum Tao ada di Cina. Abad VI SM, ketika itu merupakan abad proses perubahan fundamental, perubahan tradisi dari dinasti Shang ke dinasti Thaw dengan memberikan otonomi pada daerah-daerah di bawah kekuasaan dinasti Tjaw. Tumbuhlah
penguasa
ekonomi
sekaligus
menjadi
penguasa
daerah.
Masyarakat Cina yang mayoritas petani, terjadi perebutan kekuasaan tanah antara kayum feudal dan rakyat jelata, -termasuk penguasa otonomi daerah abad VIII-II SM. Di lain pihak terjadi penyelewengan kekuasaan oleh 2 Bleker, Pertemuan Agama Dunia, terj. Bahrus Siregar, Bandung: Sumur Bandung, 1985, hlm. 35-70. 3 Nic Joo Lan, Peradaban Tiong Hoa selayang Pandang Kenpo, Jakarta: tp, 1973, hlm. 45.
36
pemerintah, pengaturan hokum, dan terjadinya kejahatan yang merajalela. Di tengah kekacauan itulah muncul tokoh dan cendekiawan yang ingin ada perubahan dan pembaharuan, seperti: Yang Chua (440-260), Lao Tcze (604 SM), Chuang Tze (186 SM), dan Lieh Tze (450-375 SM), dan juga konfusius. Yang Chu adalah seorang peletak dasar ajaran dari Taoisme, yang kemudian di dalam perkembangannya ajaran Taoisme itu dipopulerkan oleh Lao Tze. Menurut tradisi Lao Tze adalah pendiri aliran Taoisme atau Tao Te Chia yang bersifat naturalisme. Ajaran Yang Chu bersifat individualis dan hedonistis.4 Adapun ajaran Lao Tze ditulis dalam buku Lao Tze, yang dikenal dengan Tao Te Ching (classic of the Way and its Virtues), terdiri dari 5000 kata berisis sajak-sajak tentang etika psikologi dan metafisika, yang menjadi Kitab Suci bagi penganut Taoisme (Taoist). Menurut Tjan Tjoe Som, Lao Tze adalah seorang hamba yang bertugas menjaga perpustakaan utama kerajaan yang berisiskan arsip-arsip kerajaan. Menurut Sae Tohcien, nama sebenarnya lao Tze adalah Er alias Tan. Sedangkan nama keluarganya Li. Jadi ia bernama Li Tan atau Li Er.5 Ia pergi merantau karena adanya kekacauan dlam pemerintah, dan akhirnya menetap di Han Kau. Ia menghabiskan umurnya sambil mendalami pemikiran dan mengajari murid-muridnya.ia menulis Tao Te Ching yang menjadi kitab suci.6 Muridnya lao Tze yang pertama adalah Chuang tze (namanya Chuang Chau), ajatrannya dituliskan dalam buku Chuang Tze, bukanya pertamanya Tao Te Ching, dan 3 Lieh Tze. Sementara itu Force percatya vbahwa Lao Tze menurut sebuah riwayat lain ia dalah guru konfusius yang amat terhormat. Ia sebenarnya hidup setelah masa konfusius. Dalam masyarakat Cina itu sendiri Lao Tze dikenal sebgai figure legendaries; yang bahkan pengaruhnya sudah lebih dari 2500 tahun dlam masyarakat Cina dan timur Jauh. Kisah ini uga diceritakan oleh Huston Smith sebagai berikut
4
Lasiyo, Taoisme, Yogjakarta: Proyek PPPT UGM, 1982/1983, hlm. 3-4. Tjan Tjoe Som, Tao Te Ching, Jakarta: Bharata, tt, h. 7. 6 M. Challab, Falsafah Timur, terj,. Adnan Lubis Syaiful, Medan: Medan Press, 1950, hlm. 125. 5
37
Ia sedih karena kecenderungan orang tidak untuk mengambil manfaat dari kebaikan yang diajarkan dan berusaha mencari kedamaian pribadi yang lebih besar pada usianya yang semakin lanjut, akhirnya dikabarkan bahwa Lao Tze menunggang kerbau pergi ke arah barat 9Tibet). Di lembah Han Kau, seorang penjaga gerbang yang merasakan lewatnya luar biasa sang musafir itu berusaha membujuknya untuk kembali, namun tak berhasil, ia meminta pada putra tua itu untuk setidaknya meninggalkan catatan tentang apa yang dipercayainya bagi kebudayaan yang sedang ditinggalkan itu. Hal ini disetujui oleh Lao Tze. Ia beristirahat selama tiga hari dan kembali dengan sebuah buku kecil…..Tao Te Ching, atau jalan dan kekuatanny. ….merupakan teks dasar bagi keseluruhan pemikiran Tao.7 La Tze lahir kira-kira tahun 640 SM, bebrapa sarjana menyatakan bahwa Lao Tze hidup tiga abad kemudian. Sedangkan para sarjana lainnya meragukannya. Lao Tze berarti putra tua, sahabat tua, sang guru tua. Taoisme berkembang pada tahun 570 SM, putra pujangga modern berpendapat tahun 600-200 SM. Dalam usahanya untuk mendekati Tao para Taoist ini selain hidup dekat dengan alam, tetapi juga melalaui semedi. Menjadi satu dengan Tao adalah mistik. Orang yang sudah berhasil menyatu dengan Tao ia tidak akan takut menghadapi mati. Menurut Lao Tze, Tao adalah jalan Tuhan atau sabda Tuhan. Tao lebih kecil dari yang kecil, lebih besar dari yang lebih besar, meliputi dan menyempurnakan segala makhluk dan benda. Semua berasal dan akan kembali pada Tao, The Reseval of Tao atau gerak balik Tao.8 Yang Chu menyebutkan sebagi aliran transformasi dan peradaban konstan. Arti sesungguhnya Tao adalah way, jalan, letuh (path) yang di dalam al-Quran bisa kita dapati kata sebanding: sabil, thariq, sirath, wasilah, (QS. alMaidah: 57, al-Isra’: 57, al-Mulk: 15, al-Ahqat: 30, al-Jasi’at: 18, dll). Tao merupakan filsafat kehidupan yang nilai-nilainya kemudian dilembagakan dalam agama Budha dan disederhanakan dlam pemenuhan program spiritual
7
Huston smith, Agama-Agama manusia, Terj. Safrudin Bahar, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985, hlm. 232. 8 Ajaran yang berisi “Yang” setelah mencapai klimaksnya mundur demi “Yin”, lalu “Yin” setelah mencapai klimaksnya mundur demi “Yang” . Frijjof Capra, Titik balik Peradaban: Sains, Masyarakat, dan Kebangkitan Kebudayaan, Terj. M. Thayyibi, Yogjakarta: bentang Budaya, 1997, hlm. 25.
38
yang puncaknya nirvana, yang dihubungkan dengan mistisisme. Di lain pihak unsure transendal itu memang ada karena adanya unsure immanensi. Sehingga keduanyya haruslah dipahami sebagai polaritas dari yang tunggal. Taoisme sendiri tersusun dari tiga pokok yang menjadi inti ajarannya: yakni Tao (jalan suci, suatu petunjuk bagi manusia dalam mencapai kebahagiaan), Te (kebajikan, sebagai buah yang didapatkan apabila seseorang menjalankan Tao), dan Wu Wei (tidak campur tangan, hokum yang kekal, bersikap wajar). Keterkaitan dari ketiganya adalah Tao sebagai asal mula dan kemabli segala sesuatu, mengingatkan manusia agar selalu berhati-hati dan mengarahkan diri kepada Te (kebajikan) dengan menerapkan ajaran Wu Wei, sehingga manusia dapat hidup dengan bahagia dan sejahtera. Kata Tao secara harfiah berarti “jalan atau jalan setapak” yang mengandung tiga makna: pertama, tao adalah jalan dari kenyataan terakhir, sifatnya transenden, maha besar, dan dipahami dengan kesadaran mistik. Kedua, jalan alam semesta, sebagai kaidah, irama, dan kekuatan pendorong dalam keseluruhan asas penata dibalik semua yang ada. Ketiga, jalan sebagaiman seharusnya manusia menata kehidupannya agar selaras dengan tata kerja alam.9 Tao bukan satu ajaran tetapi juga dimaksudkan sebagai tenaga kosmik yang menjadi sumber kehidupan di mana manusia menyesuaikan diri. Tao identik dengan thariqah jalan spiritual dalam dunia sufisme, di lain pihak Konfusius diidentikkan dengan Syariah.10 Tapi sebenaranya Tao merupakan ungkapan untuk the way of the Univers work”,11sebuah kesadaran kosmik yang sekarang dicari oleh New Age. Oleh karena itu para Taoist adalah orangorang yang hidupnya menyesuaikan dengan jalan, menyesuaikan diri dengan
9
Huston Smith, Op. Cit., hlm. 233-234. Sachiko Murata, “Pengalaman Saya Mengajar Islam Di Barat”, terj. Dewi Nurjulianti dan Budhy Munawwar Rahman, dalam : Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Quran, Jakarta, LSAF. No. 2, Vol. V, 1994, hlm. 52. 11 M. Wahyuni Nafis, Rekontruksi dan Renungan Religius Islam, Jakarta: Paramadina, 1996, hlm. 56. 10
39
alam Taoisme memberikan kepada kita Phlosophy of Duty.12 Yang ini sulit dipahami dengan cara berpikir Barat. Dalam sastra Cina Kuno, Tao Te Ching, menjabarkan arti tao sebagai berikut; “tao can be talked abaut not the eternal tao, name can be named, but not the eternal Name. As the origin of heaven and earth its is nameless: as “the mather” of all thing it is nameable. Ini bisa dipahami lewat: “we make doors and windows for a room: but it is these empaty space that make the roomliveable. Look at it: but yoau cannot see it /Its name is formless. Listen to it, but you cannot here / It name is soundless. Grasp at it, but you cannot get it / its name is corporeal.13
Cara berpikir sesuai dengan jalan Tao adalah “keadaan hening” (semacam puasa pemikiran atau silence, WuWei. Orang yang kurang simpatik dengan hal itu sering menafsirkan sebagai kepasifan, nothingness (ketiadaan, bahkan kekosongan), tetapi kurang tepat istilah itu. Tepatnya kreativitas yang muncul dari keheningan. Berbuatlah tanpa tindakan atau bekerjalah seperti tidak ada ada urusan, rasailah seperti tidak ada rasa, dalam hal besar maupun kecil, atau banyak maupun sedikit. Kekuatan dari keheningan kreatif ini, akan membawa seseorang pada keadaan awal (fitrah0, pengalaman keabadaian, sacred selft experience, pengetahuan yang ditanamkan dalam bathin. Wu Wei, tidak melakuaan apaapa maka segala sesuatu akan menjadi baik dengan sendirinya, atau para Taoist menuitik-beratkan ajarannya pada kodrat alamiah manusia dan benda. Rahasianya tertelatak pada caranya mencari ruang kosong dalam hidup dan alam, dan gerak melaluinya. Wu Wei adalah kejernihannya di saat ia
12
Yakni filsafat tentang apa yang harus dilakukan dalam hidup ini, supaya manusia hidup secara alami berdasarkan hakekatnya yang bersifat alami. Istilah “Alami’ artinya sederhana: menjalankan kehidupan sesuai dengan yang ditentukan, ketentuan alam pada setiap manusia tawakkal (istilah sufisme) ridlo terhadap apapun kehendak Allah pada kehidupan seseorang tanpa jatuh pada paham fatalisme. M. Wahyuni Nafis (ed), Ibid., hlm. 57. 13 Ibid., hlm. 81-82.
40
tenang,”Air keruh yang didiamkan akan jernih”, kata Tao Te Ching.14 Ini mengispirasikan bahwa bentuk yang paling mirip dengan Tao adalah air dalam dunia alamiah: ia merupakan bentuk pertama dari Wu Wei. Ciri lain dari Taoisme adalah konsepnya mengenai kenisbian semua nilai, dan sebagai imbalannya adalah adanya persamaan dari hal yang bertentangan, Yin Yang. Tao mengikuti asas kenisbian dalam batas yang logis, bahwa hidup dan mati ini dipandang sebagai suatu tahap relatif dari suatu keseimbangan tao yang mencakup segala-galanya dalam batasan-batasan polar,15 yakni berbagai hubungan yang melahirkan interpretasi holografis atas dunianya yang dicirikan oleh keseimbangan, interdependensi, keterbukaan, mutualitas, komplementaritas, dan korelatifitas yang terus menerus antara yang satu dengan yang laiun secara intrinsik. Dalam kehidupan religi Cina Tao telah melahirkan tiga aliaran Taoisme. Pertama, taoisme popular: Taoisme yang hidup di masyarakat yang diciikan penuh dengan ritus dan berbagai macam praktek magis. Kedua, taoisme Esoterik: aliran yang menjadikan taoisme sebagai ujuan pengalaman mistik sehingga mereka giat menrenung (tafafakur) untuk mendapatkan pencerahan bathin. Ketiga, taoisme filosofis: dalam arti Tao adalah kekauatan yang memasuki kehidupan yang secara reflektif dan intuitif telah menyatukan dirinya dengan jalan alam. Ia lebih merupakan sudut pandang dan bukan suatu gerakan. Taoisme popular dan taoisme telah hancur, sedang Taoisme filosofis masih terus membentuk watak orang Cina ke arah ketenagan dan kesopanan hingga sekarang. C. Pemikiran Sachiko Murata tentang Dimensi Teologi Islam dalam Relasai Gender. Tuhan menciptakan sesuatu berpasang-pasangan untuk membedakan ke Esaan Nya dengan kejamakan makhluk-makhlukNya. Ciptaan itu mustahil tanpa dualitas, sebab hanya Tuhanlah yang tunggal.16Tanpa wanita, pria bukanlah seorang pria, sebab dia didefinisikan oleh wanita. Keberadaan 14 Bambang Lim Tji Kay, (ed.), Tao Te Ching Kitab Suci Taoisme, Jakarta: Sasana, 1991, hlm. 30, 78-79, dan 99. 15 Sachiko Murata, The Tao of Islam, Op. Cit., hlm. 19. 16 Sachiko Murata, Op. Cit, hlm. 19.
41
kosmos membuat yang nyata menjadi Tuhan, dan keberadaan wanita mengubah pria menjadi pria. Tanpa kosmos, tidak ada Tuhan. Tanpa wanita, tidak ada pria.17 Maka manusia dijadikan wakil Tuhan di bumi sebab mereka diciptakan dalam bentuk Ilahi dan mewujudkan apa yang dimiliki oleh kedua tangan Tuhan dicerminkan dalam tabiat ganda dari dua ruh, sebagaimana yang diwakili oleh Ruh Terbesar (Akal Pertama) dan jiwa universal. Melalui jaraknya dari penciptaan, ruh mencerminkan keagungan dan kekerasan. Sebaliknya, jiwa mencerminkan sifat-sifat pemelihara yaitu kelembutan dan kebaikan melalui kedekatan relatifnya dengan penciptaan, keserbaragaman, dan perbedaan. Ruh dan jiwa selanjutnya dicerminkan dalam diri pasangan manusia, Adam dan Hawa, dan dalam ruh dan jiwa setiap individu manusia. Baik pria maupun wanita mewujudkan ruh dan jiwa setiap individu manusia. Baik pria maupun wanita mewujudkan Ruh dan jiwa, namun ruh mendominasi pria sementara jiwa mendominasi wanita.18 Di antara tanda kekuasaan Allah adalah penciptaan manusia (QS. 30: 20), dan penjelasan tentang penciptaan diulang dalam ayat demi ayat.19 Mengenai kisah penciptaan Adam, Sachiko Murata mengutip dari Najm alDin Razi (w. 654 M/ 1256 M), pengarang salah satu karya klasik prosa besar Persi tentang sufisme, mirsâd al-‘ibâd, dia menuntutkan kembali kisah penciptaan Adam dengan benar-benar memperhatikan kualitas-kualitas yang dinisbatkan oleh tradisi kepada manusia dan makhluk lainnya. Dia menjelaskan bagaimana sifat-sifat Ilahi menjadi tampak dalam diri manusia dan melukiskan hubungan erat antara mikrokosmos dan makrokosmos.20
17
Sachiko Murata, Op. Cit., hlm. 254. Ibid., hlm. 400. 19 Misalnya: “…….Dia menciptakan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari sari pati air yang hina” (QS. 32: 7-8. QS. 36: 77, QS. 73: 37. QS. 76: 2). “Kemudian dia menyempurnakan dan menciptakan dan meniupkan ke dalam tubuhnya ruhNya….” (QS. 32: 9). “Allah menciptakan kita semua dari satu orang dan kemudian menciptakan pasangannya” (QS. 75: 75, QS.92: 3). “Manusia diciptakan manusia dari tanah, debu bumi” (QS. 32: 7, QS. 30: 20) dan keturunannya dari air mani “Allah menciptakan manusia dari tanah dengan beragam, warna kulit dan bahasa” (QS. 30: 22). 20 Sebagaimana telah dibahas dalam bab III, bahwa Sachiko Murata berupaya memahami ayat al-Quran dengan mengacu pada ta’wil, yang mengambil titik awalnya pada ikatan yang jelas 18
42
Menurut Sachiko Murata, mitos Adam adalah sebuah titik referensi dalam teks-teks ini, namun aspek kesejarahannya memang tidak dikemukakan , karena yang demikian itu tidak sesuai dengan makna kisah itu, dan makna kisah itu dapat dijumpai dalam kualitas yang dinisbatkan kepada Adam dan karakter-karakter lain yang disebut dalam kisah itu.21 Sachiko Murata mengemukakan hubungan timbal balik antara Tuhan dan manusia di satu pihak, dan antara pria dan wanita di pihak lain. Dalam kaitannya dengan realitas, wanita identik dengan pria, namun dalam kaitannya dengan entifikasi, masing-masing berbeda satu sama lainnya. Pada akarnya, wanita menjadi terwujud karena pria, maka dia seperti menjadi bagian darinya. Wanita menjadi terpisah dan
terwujud dalam bentuk feminim.
Dengan mengutip dari Kasyâni, Sachiko Murata menjelaskan bahwa ada persesuaian dan bentuk antara pria dan wanita, sebagaimana ada persesuaian antara Tuhan dan manusia:22 “Bentuk adalah persesuaian yang paling besar, agung dan sempurna. Sebab ia adalah “salah satu dari pasangan” (zauj). Dengan kata lain, ia membuat zat yang nyata menjadi dua. Dengan cara yang sama, wanita membuat pria menjadi dua melalui eksistensinya. Wanita mengubahnya menjadi salah satu dari pasangannya”. Dengan kata lain, bentuk manusia membuat bentuk dari Yang Maha Pengasih menjadi salah satu dari pasangan, sebagaimana bentuk wanita membuat bentuk pria menjadi salah satu dari pasangan. Di sini, Sachiko Murata memahami ajaran-ajaran Ibn ‘Arabi, mengenai kebutuhan Tuhan akan seorang pelayan dan kebutuhan Tuhan akan hamba Ilahi. Sebaliknya, kaum
wanita (sebagai Yin) mempunyai keunggulan dari
kelemahannya yang relatif dan ketidakmampuan di bidang lahiriah. Jadi mereka tidak begitu berkecenderungan untuk membuat tuntutan-tuntutan yang tidak pada tempatnya. Mereka mempunyai keuntungan dari semacam sifat bawaannya sebagai hamba. Dengan kata lain, suami mempunyai kewajiban untuk mengumpulkan kekayaan demi isterinya, dan isteri berkewajiban untuk antara kosmos dan manusia. Ini didasarkan atas hubungan antara tiga realitas, yaitu mikrokosmos (individu manusia), makrokosmos dan metakosmos. 21 Sachiko Murata, Op. Cit., hlm. 66. 22 Ibid., hlm. 254.
43
melayaninya karena ini. Tetapi karena suami mempunyai satu tingkat lebih tinggi daripada mereka dalam keunggulan, sementara kaum wanita mendapatkan manfaat / keistimewaan (maziyyah) dari kelebihan (da’f) dan ketidakmampuan yang mendasar (‘ajz al-Basyariyyah). Sehingga menurut Sachiko Murata, dengan menyebut kelemahan wanita sebagai kelebihan,23 berarti menyinggung suatu pandangan positif dari realitas Yin. Ini adalah pandangan khas dari suatu pendekatan terhadap al-Quran dengan mencari makna batinnya. Sachiko Murata, dengan merujuk pada Ibn ‘Arabi, menjelaskan tentang keunggulan (derajat) kaum pria di atas kaum wanita dengan mengkaitkannya pada beberapa “hubungan” yang ada, pertama, dalam hubungan yang ditimbulkan melalui penciptaan Hawa melalui Adam. Kedua, Ibn ‘Arabi mengkaitkan ayat mengenai derajat yang lebih tinggi itu dengan keunggulan dari langit atas bumi. Ketiga, Ibn ‘Arabi menganggap tingkat pria di atas kaum wanita mengingat kenyataan bahwa kosmis tidak akan pernah mencapai kedudukan Tuhan dikarenakan hubungan khusus yang terjalin di antara mereka : penerimaan kosmik dan aktivitas Ilahi (QS. 112: 4). 1. Penciptaan Hawa Melalui Adam Pembahasannya mengenai penciptaan Hawa melalui Adam dimulai dengan menjelaskan hadis mengenai “tulang rusuk’.24 Dalam hubungan yang ditimbulkan melalui penciptaan Hawa melalui Adam, Ketika tubuh Adam terwujud, sebagaimana yang dikemukakan, dia tidak mempunyai nafsu untuk melakukan perkawinan……. Maka Dia mengeluarkan Hawa dari tulang rusuk Adam yang pendek. Dengan demikian Hawa tidak mempunyai tingkat yang sama dengan Adam, sebagaimana difirmankan oleh Tuhan, “kaum pria mempunyai satu tingkat lebih tinggi daripada kaum wanita’. Karena itu kaum wanita tidak akan pernah mencapai tingkat kaum pria”. Hawa berasal dari tulang rusuk, tulang rusuk itu bengkok.25Dengan demikian dia akan cenderung hatinya pada anak-anaknya serta 23
M. Dawam Raharjo, mengupamakannya seperti bayi, di mana ia merupakan lambang manusia yang tidak berdaya (Yin). Dia tidak bisa apa-apa, biasanya hanya menangis. Tapi justru dalam hubungan pria-wanita. Kaum wanita, sebagai Yin, dengan kelemahannya, pada akhirnya menuntut perhatian dari kaum pria (Yang). Nurul Agustina, Nurullah Ali Fauzi (ed), “Perempuan dalam Perbincangan”, dalam Ulumul Quran, NO. V dan VI, Vol. V, 1994, hlm. 50. 24 Pembahasan mengenai hadis ini, lihat footnote 14.
44
pasangannya. Kecenderungan hati kaum pria terhadap wanita adalah kecenderungan terhadap diri sendiri, sebab wanita itu merupakan bagian dari dirinya. Kecenderungan hati wanita terhadap pria adalah karena wanita tercipta dari tulang rusuknya, dan di dalam tulang rusuk itulah terdapat penyerahan dan kecenderungan…., Adam cenderung kepada Hawa sebagaimana dia cenderung kepada dirinya sendiri, sebab Hawa adalah bagian darinya. Hawa cenderung kepada Adam sebab Adam adalah tempat asal konfigurasinya.26 Menurut Sachiko Murata, Ibn ‘Arabi mengemukakan adanya suatu sisi maskulin pada realitas Hawa yang tidak sering ditemui. Dia menemukan pertalian antara Hawa dan Yesus, yang keduanya diciptakan melalui perantaraan satu orang manusia. Bukan berarti keduanya identik –bahkan dalam kenyataannya real maupun konseptual keduanya berbeda- tapi ditujukan untuk mempermudah memahami perbedaan penciptaan yang lainnya. Tubuh manusia pertama yang terwujud adalah Adam. Dia adalah ayah pertama jenis makhluk ini…..lalu Tuhan memisahkan darinya seorang ayah kedua bagi kita, yang disebut-Nya ibu, sebab ayah adalah akarnya (ibu)….. Tuhan memunculkan Yesus dari Maryam. Maka Maryam menempati kedudukan sebagaimana Adam, sementara Yesus menempati kedudukan sebagaimana Hawa. Sebab seperti juga seorang wanita. Jadi Tuhan menyelesaikan dengan cara yang sama seperti ketika Dia memulainya, dengan jalan memunculkan seorang putra tanpa ayah, sebagaimana Hawa muncul tanpa seorang ibu. Maka Yesus dan Hawa adalah dua saudara kandung, sementara Adam dan Maryam adalah kedua orang tua mereka (QS. 3: 59).27
25 Sejalan dengan pemaparan Barbara F. Stowasser, dalam kutipannya, menjelaskan hadis, “wanita dari tulang rusuk”, ini dengan konteks yang baru, “kebengkokakn” dalam hadis itu tidak menunjukkan kekurangan atau ketidaksempurnaan sifat wanita. Kebengkokan itu memungkinkan wanita untuk melakukan tugasnya, berhubungan dengan anak-anak yang membutuhkan kasih sayang dan simpati yang kuat. Kata-kata “bagian tulang rusuk yang paling bengkok adalah bagian atas” menandakan kasih sayang wanita terhadap wanita terhadap anak dan perasaannya yang melampui rasionalitas. Atas dasar ini “kebengokaannya” menjadi keistimewaan wanita. Barbara Freyer Stowasser, Reinterpretasi Gender Wanita dalam al-Quran, Hadis dan Tafsir, terj. HM. Mochtar Zoerni, Pustaka Hidayah, Bandung, 2001, hlm. 91. Hal inilah, yang menurut penulis, sejalan dengan konsep Sachiko Murata, mengenai suatu pandangan positif dari realitas Yin, yang memandang kelemahan wanita sebagai kelebihan. 26 Sachiko Murata, The Tao……….(Op. Cit), hlm. 243. 27 QS. 3: 59: “Perumpamaan Yesus, menurut pandangan Tuhan, adalah seperti perumpamaan Adam”.
45
Penciptaan Hawa dan Isa berbeda dengan masyarakat pada umumnya, keduanya diciptakan dengan perantaraan seorang manusia. Bedanya Hawa dari seorang pria dan Isa dari seorang wanita. Jadi proses penciptaan Hawa dan Isa merupakan salah satu kreativitas Tuhan sebagai sang Perancang. Di sini Ibn ‘Arabi melihat pada hubungan antara Hawa dan Yesus, bahwa Hawa dan Yesus merupakan pihak (lokus) yang menerima aktivitas, Hawa menerima aktivitas Adam, dan Yesus menerima aktivitas Maryam, sebab Yesus –ruh dan firman Tuhan dan salah seorang manusia terbesartercipta dari Maryam, tanpa ada perantaraan manusia sama sekali. Namun, karena Dia berfirman, “Kaum pria mempunyai satu tingkat lebih tinggi daripada kaum wanita”, maka dia mengutus Jibril kepada Maryam (QS. 19: 17).28 2. Keunggulan Langit atas Bumi. Langit dam bumi bukan hanya mencakup berbagai planet, matahari, dan galaksi, melainkan juga “langit dan bumi” dalam diri kita sendiri. Bumi melambangkan
wujud
material
kita
–tubuh
fisik
berikut
berbagai
kebutuhannya, langit melambangkan aspek-aspek wujud kita lebih tinggi, lebih luas, lebih rumit, tingkat jiwa kita yang paling spiritual. Kita membawa langit dan bumi dalam diri kita.29 Ibn ‘Arabi mengkaitkan ayat mengenai derajat yang lebih tinggi itu dengan keunggulan dari langit atas bumi. Di sini dia mengemukakan pembenaran logis bagi keunggulan kaum pria, bukan semata-mata berdasarkan pada teks al-Quran, meskipun al-Quran juga dibawa-bawa (QS. 40: 57). Namun telah ditetapkan bahwa “kaum pria mempunyai satu tingkat lebih tinggi” daripada wanita, sebagaimana telah ditetapkan bahwa “penciptaan langit dan bumi itu lebih hebat daripada penciptaan manusia” (QS. 40: 57), Tuhan berfirman, “Apakah kamu yang lebih hebat dalam penciptaan ataukah langit yang Ia bangun ?”, (QS. 79::27)
28 29
Sachiko Murata, The Tao……(Op. Cit), hlm. 242. Lynn, Op. Cit., hlm. 60.
46
Semua ini dimaksudkan untuk menunjukkan keunggulan keduanya atas
manusi. Ketinggian derajat langit dan bumi atas manusia persis sama
seperti ketinggian derajat kaum pria atas kaum wanita.30 Itu karena manusia menerima aktivitas langit dan bumi dan berada di antara keduanya, dan berasal dari mereka. Pihak yang menerima aktivitas tidak mempunyai kekuatan dari pihak yang bertindak terhadapnya. Demikian pula, Hawa menerima aktivitas dari Adam dan dikeluarkan serta dimunculkan dari tulang rusuk yang paling pendek. Karena itu Hawa tidak dapat mencapai tingkatan Adam yang bertindak kepadanya. Maka, dia mengetahui tingkat pria sejauh jangkauan asal penciptaannya, yaitu, tulang rusuk. Jadi persepsinya tidak dapat mencapai realitas pria. Wanita sama dengan alam dalam hal menjadi lokus yang menerima aktivitas. Itulah sebabnya kaum wanita tidak mempunyai kecerdasan kaum pria: mereka memahami hanya sampai pada tingkat bahwa wanita mengambil penciptaan dari pada akar konfigurasi”.31 Padanan mikrokosmik bagi pemisahan langit dan bumi adalah penciptaan Adam dan Hawa dari satu jiwa. Kedua jiwa berasal dari satu jiwa tunggal primordial yang kemudian menjadi “pasangan” (zaujan) manusia pertama. Pasangan (zauj) dalam tulisan berikut ini secara harfiah berarti salah satu dari dua anggota pasangan. “Dialah yang menciptakanmu dari satu jiwa dan darinya dijadikanNya jodohnya, supaya dia dapat menikmati ketentraman hati dengan isterinya itu (QS. 7: 189). “Dia menciptakanmu dari satu jiwa, lalu darinya dijadikan-Nya jodohnya (QS. 39: 6).32 Gender gramatikal dari kata-kata itu dalam sebagian
dari bagian-
bagian tulisan ini menjalin suatu hubungan yang menarik: “jiwa” itu secara 30
Kalangan sufi mengupamakan langit dengan suami yang menyimpan air (QS. 86: 11), dan langit diumpamakan isteri yang menerima limpahan air yang nantinya melahirkan janin atau berbagai tumbuh-tumbuhan (QS. 86: 12). Dan kedudukan makrokosmos merupakan Yang, dalam kaitannya dengan mikrokosmos (QS. 40: 57) 31 Sachiko Murata, The Tao……(Op. Cit), hlm. 240. 32 Ibid., hlm. 169.
47
gramatikal feminin, sementara “pasangan” itu maskulin. Dalam ayat 7 : 189, konteksnya tampak secara jelas dan para ahli tafsir sepakat bahwa Adam diacu sebagai “jiwa tunggal”. Namun kata ganti yang mengacu pada jiwa ini adalah feminin. Selanjutnya kata ganti itu berubah, sehingga Adam menjadi maskulin dan “pasangannya” menjadi feminin. Jika kita mau mengamati gender gramatika, kita dapat menerjemahkan ayat itu sebagai berikut: “Dialah yang menciptakanmu dari satu jiwa (yaitu Adam) dan menciptakan dirinya (jiwa) pasangannya (Hawa), ayat ini bagaimana-pun juga mengacu pada cara di mana Yin muncul dari Adam, dan androgini primordial yang mencakup sekaligus pria dan wanita. Permainan kata ganti itu dapat dipahami, dalam gaya sufi, sebagai suatu “kiasan” (isyarat) Ilahi bagi kehadiran Yin dalam Yang dan Yang dalam Yin.33 3. Kosmis tidak akan pernah mencapai kedudukan Tuhan Mengenai hal ini Sachiko Murata, dengan mengutip Ibn ‘Arabi, menganggap tingkat pria di atas kaum wanita mengingat kenyataan bahwa kosmis tidak akan pernah mencapai kedudukan Tuhan dikarenakan hubungan khusus yang terjalin di antara mereka: penerimaan kosmik dan aktivitas Ilahi (QS. 112: 4). Dengan mengutip dua ayat al-Quran yang menunjukkan adanya kesamaan yang menarik. Tuhan “berdiri di atas” (qâ’im) (QS. 13: 33) atau menjaga setiap jiwa sebagaimana kaum pria “berdiri di atas” kaum wanita (qawwâm) (QS. 4: 34). Jika kiat menyebut-nyebut kosmos dalam nada yang sama dengan Tuhan, maka kita mesti mempertimbangkan sejumlah hubungan yang terjalin antara Tuhan dan kosmos. Hubungan-hubungan ini diungkap secara verbal oleh nama-nama Ilahi. Dalam hal ini, kita bisa mengatakan bahwa Tuhan sama sekali berbeda dari segenap makhluk-Nya (Tanzih) yang dengan demikian, sekali lagi, menegaskan ketakterbandingan-Nya. atau, kita bisa juga mengatakan bahwa ada keserupaan tertentu yang bisa diamati (Tasyih). Atau, kita bisa mengambil kedua posisi ini sekaligus.
33
Ibid., hlm. 194.
48
Tanzîh dan tasybîh seringkali disandingkan dengan nama Allah albâtin (batin, atau non-manifest) dan al-zâhir (lahir, atau manifest). Lantaran Yang Nyata (the Real) adalah sisi batin, sedang segala sisi luar merupakan ketidaknyataan, dan keesaan Tuhan hanya terdapat pada “Yang Nyata” (real) saja. Namun lantaran Allah adalah al-Zahîr (yang Luar), maka segala bentuk lahir adalah nyata (real). Oleh karena itu alam secara otomatis adalah nyata dan esa melalui kenyataan dan keesaan Allah. Ketidakterbandingan Allah dan keserupaan-Nya, keduanya, memerlukan pemahaman secara lebih mendalam dalam pikiran kita. Jika Allah adalah Jauh. Ia sekaligus dekat. Di tengahtengah kejauhan-Nya ia adalah Maha Dekat, dan di tengah-tengah persamaanNYA ia tidak dapat diperbandingkan. Lalu diulas tentang ayat al-Quran, “tiada sesuatu pun yang ada menyerupai-Nya”, (QS. 112: 4). Di sini yang dimaksudkan adalah pasangan yang “setara” (shâhibah), dikarenakan adanya orang-orang yang mengatakan bahwa al-Masih itu adalah putra Tuhan dan Ezra adalah putra Tuhan. Persamaan itu adalah suatu kemiripan. Tetapi wanita tidak pernah
akan
seperti pria, sebab Tuhan berfirman QS. 2: 228. Karena itu wanita tidak setara dengan pria. Sebab lokus yang menerima aktivitas tidak sama dengan lokus yang bertindak atasnya. Kosmos adalah lokus yang menerima aktivitas Tuhan. Maka ia tidak setara dengan Tuhan. Hawa adalah lokus yang menerima aktivitas Adam, maka Adam mempunyai tingkat aktivitas atas diri Hawa. Maka Hawa tidak setara dengannya dalam hal ini. Pada ayat , “Laysa ka misli syay”, menurut Ibn ‘Arabi terkandung pengertian tanzîh dan Tasybîh. Mengikari adanya misl- Tuhan, itu adalah tanzîh, dalam tanzîh. Misl-Tuhan adalah sesuatu (alam) yang setara atau semartabat dengan Tuhan, ini harus diingkari. Sedangkan mengakui adanya misl-Nya adalah tasybîh. Misl-Tuhan yang diakui di sini adalah alam, terutama alam imateri, yang menyerupai-Nya, tapi tidak setara dengan-Nya. maka wujud alam, tidak dapat dipahami sebagai wujud yang setara dengan Tuhan dan tidak pula dapat dinamakan Tuhan.34
34
Abdul Aziz, “Pengajaran tentang Tuhan dan Alam”.
49
Sachiko Murata juga menyambung penjelasannya, dengan mengutip dari Ibn ‘Arabi, tentang hakikat dari “derajat” yang dimiliki kaum pria di atas kaum wanita. Secara khas, Ibn ‘Arabi tidak memberi perhatian besar pada penerapan-penerapan sosial dari derajat itu,35melainkan pada makna kosmologis dan metafikanya. Sehingga, menurutnya dikemukakannya, “derajat itu bersifat ontologis (wujud) sehingga ia tidak hilang”,36 bahkan meskipun “kaum wanita adalah padanan kaum pria”.37 Berdasarkan paparan di atas, Sachiko Murata mengambil satu kesimpulan bahwa setiap kali Ibn ‘Arabi mengambil sudut pandang mengenai suatu sifat dalam diri kaum pria atau kaum wanita, dia mencapai satu kesimpulan yang layak bagi sifat itu. Sementara, Sachiko Murata dalam analisis terakhirnya memasuki faktor-faktor yang tidak dapat diperhitungkan dari bentuk Ilahi, yang mendorong pada ketidakterbatasan. Menurut Sachiko Murata, di sini Tuhan melakukan apa yang Dia inginkan, dan dalam hal itu tidak ada perbedaan antara kaum pria dan kaum wanita.38
35
Dalam tataran sosial, ayat ini berimplikasi pada pemberian nafkah seorang suami pada isterinya. Lihat bab II. 36 Sachiko Murata, The Tao….. (Loc. Cit.), 37 Abi Isa Muhmmad Ibn Abi Surah, al-Jami’ as-Sah îh Sunan at-Tirmizi, Juz. I, Dâr alKutub al-Ilmiyyah, Beirut, tt., hlm. 190. 38 Sachiko Murata, The Tao of Islam,…….(Op. Cit.), hlm. 246.