BAB III PEMBARUAN HUKUM KELUARGA DI MAROKO PEREMPUAN TIDAK MEMBUTUHKAN IZIN WALI UNTUK MENIKAH
A. Sejarah Negara Maroko Terdapat bukti arkeologi yang kuat bahwa Maroko pernah dihuni oleh manusia zaman batu. Mereka meninggalkan banyak jejak atas kehadiran mereka. Sekitar 2.000 tahun sebelum Masehi, bangsa Berber tiba di daerah itu dan bermukim disana.77 Sejarah Negara Maroko telah menjadi rumah Berber sejak milenium kedua SM. Sejarah Negara Maroko dianeksasi oleh Roma sebagai bagian dari provinsi Mauritania sampai Vandal pada abad ke-5. 78 Pada abad pertengahan abad ke-7 kaum Muslimin Arab menyerang dari Timur. Sebagian kecil dari angkatan perang Arab ini bermukim di Maroko. Namun, penyerangan Arab berikutnya terjadi dan di awal abad ke-8 orang Arab itu menduduki wilayah itu. Bangsa Berber tetap mempertahankan jati diri mereka selama penyerbuan itu meskipun akhirnya menerima agama Islam. Orang Berber kemudian bergabung dengan angkatan perang Arab dalam menaklukan sebagian Spanyol, yang pertama kali mereka serang pada tahun 711 M. Menjelang akhir abad- ke-8, kota Fez didirikan yang dahulunya kota Romawi dan menjadi terkenal sebagai pusat agama dan kebudayaan
77
Wiliiam Zartman, Negara dan Bangsa (Jakarta: Glorier International bekerjasama dengan Widyadara, 1988), h. 68. 78 http://hikmat.web.id/sejarah-dunia/sejarah-negara-maroko/ diakses pada tanggal 08 Juli 2014.
47
48
Islam. Dan kemudian membentuk kerajaan Idris dan wilayah kekuasaannya adalah Maroko.79 Selanjutanya, Maroko dikuasai oleh dinasti Murabbitun dengan Ibu kotanya Marrakech. Setelah kekuasaan Murabbitun jatuh, Maroko menjadi wilayah kekuasaan dinasti Muwahhidun (1121-1269). Setelah jatuhnya alMuwahhidun, Maroko dikuasai oleh dinasti Marrin (akhir abad ke-13 hingga awal abad ke-14). Selanjutnya, negeri ini dikuasai berbagai penguasa, yaitu tahun 1666 Syarifiyah Alawiyah, tahun 1844 Abdul Qadir al-Jaziry, dan tahun 1873-1894 Sultan Hasan I. Pada tahun 1894-1908, Maroko beralih ketangan Abdul Aziz bib Hasan, yang atas permintaannya, Perancis melakukan infiltrasi pada tahun 1901-1904.80 Penggantinya, Abdul Hafiz, karena terjadinya pemberontakan rakyat Maroko, meminta bantuan militer, ekonomi, dan politik kepada Perancis dengan melepaskan kemerdekaan politiknya. Tanggal 30 Maret 1912, ditandatangani suatu persetujuan bahwa Maroko menjadi negara protektorat Perancis.81 Era protektorat, dari tahun 1912-1956 merupakan penghinaan bagi rakyat Maroko, tetapi juga sebaliknya menjadikan negeri itu ke dalam dunia modern. Pada tahun 1956, Perancis dan Spanyol mengakui kemerdekaan dan kedaulatan Maroko, Raja Hassan I sebagai sultan Maroko. Pada 26 Februari 79
http://cintasejarahfitri.blogspot.com/2012/10/maroko.html, diakses pada tanggal 07 Juli
2014. 80
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam. (Jakarta: PT Ichtiyar BaruVan Hoeve, 1997), hal. 167. Pada tahun 1904 , Perancis dan Spanyol menyimpulkan perjanjian rahasia yang dibagi menjadi zona Maroko pengaruh Perancis dan Spanyol, dengan Perancis mengendalikan hampir semua Maroko dan Spanyol mengendalikan bagian barat daya kecil, yang kemudian dikenal sebagai Sahara Spanyol. http://hikmat.web.id/sejarah-dunia/sejarah-negaramaroko/. 81
Amirullah, Ensiklopedi Dunia Islam (Bandung: CV Putaka Setia, 2010), hal. 452.
49
1961 Raja Hassan I meninggal, Muhammad putra V menggantikannya sebagai Raja Hassan II. Pada 1990-an, Raja Hassan II diumumkan “Hassanian demokrasi” yang memungkinkan untuk kebebasan politik yang signifikan sementara pada saat yang sama mempertahankan kekuasaan tertinggi untuk raja. Pada Agustus 1999, Raja Hassan II meninggal setelah 38 tahun di atas takhta dan putranya. Pangeran Muhammad Sidi, dinobatkan Raja Muhammad VI. Sejak itu, Muhammed VI telah berjanji untuk membuat sistem politik yang lebih terbuka, memungkinkan kebebasan berekspresi, dan mendukung reformasi ekonomi . Dia juga telah menganjurkan hak lebih untuk perempuan, namun posisi ini ditentang oleh fundamentalis Islam. 82
B. Sosio-Historis Maroko Maroko (al-Mamlakah al-Magribīyah) adalah sebuah negara kerajaan yang terletak di bagian Barat Laut Afrika. Bagian Utara berbatasan dengan Mediterania, bagian Timur dengan Aljazair, bagian Tenggara dan Selatan dengan sahara Perancis dan Spanyol, dan bagian Barat dengan Samudra Atlantik. Saat ini penduduk Maroko berjumlah 33.723.418 jiwa, 99 % adalah muslim penganut mażhab Maliki.83 Maroko adalah negara yang berbentuk kerajaan,
dalam
bahasa
Arab
dikenal
dengan al-mamlakah
al-
magribīyah (kerajaan yang di Barat), terkadang juga disebut dengan al magrib al-’aqṣā (kerajaan yang terjauh di Barat). Dalam Bahasa Inggris disebut 82
http://hikmat.web.id/sejarah-dunia/sejarah-negara-maroko/ http://en.wikipedia.org/wiki/Talk:List_of_Muslim_majority_countries, diakses tanggal 23 April 2014. 83
50
dengan Marocco, yang berasal dari bahasa Spanyol Maruecos, bahasa latinnya Morroch, di
masa
pra
modern
Arab.
Dikenal
dengan
Marrakesh. Maroko mencapai kemerdekaannya dari Prancis pada tahun 1956 dengan sistem kerajaan konstitusional yang berada di Barat Laut Afrika.84 Sebagaimana dikutip dari waryani, Penduduk asli Maroko adalah suku Barber, yaitu masyarakat kulit putih dari Afrika Utara, yang dalam banyak hal, mengidentifikasikan dirinya dengan imazhigen (the freeman). Mereka masih mempunyai garis keturunan dengan Rasulullah dan merupakan penganut agama Islam. Penaklukan Maroko oleh bangsa Arab, terjadi pada Abad 7-8 M dan segera terjadi Arabisasi di kawasan ini, termasuk dalam bahasa, di mana bahasa Arab menjadi bahasa administrasi
dan kebudayaan, serta bahasa
pengantar dalam dunia pendidikan dikarenakan bahasa Barber tidak mengenal tulisan.85 Secara historis Maroko adalah negara yang relatif terisolasi dan lebih sedikit merasakan penderitaan akibat kontrol asing ketimbang negara-negara Afrika Utara lainnya. Oleh karena itulah Maroko, baik secara konseptual maupun normatif, relatif bersatu. Akan tetapi, otoritas pusat Maroko tidak bisa memperluas kontrolnya ke seluruh penjuru negeri. Akibatnya, negara ini terbagi menjadi setidaknya tiga zona atau lingkaran konsentris kekuasaan. Lingkaran pertama, Bled el-Makhzen, mewakili lokus kekuasaan dan berbasis di wilayah urban. Lingkar kedua mewakili suku-suku yang bertempat di zona
84
http://id.w3dictionary.org/index.php?q=kingdom%20of%/20morocco, diakses tanggal 23 April 2014. 85 Waryani Fajar Riyanto, Sistem Kewarisan Islam: Klasik, Modern, dan Postmodern (Perspektif Filsafat Sistem) (Pekalongan: STAIN Pekalongan Press, 2012), h. 347.
51
perantara di sekeliling kota-kota besar. Lingkaran ketiga, Bled es-Siba, mewakili suku-suku kecil dan pembangkang. Konsep tripartisme dan dualisme ini diungkapkan dalam buku Abdullah Laroui History of Magrib. Dalam buku ini dia menyimpulkan bahwa diversitas sosial mengubah bentuk dan maknanya melalui berbagai tahapan, namun “ada imej yang tetap bertahan yaitu Magrib sebagai sebuah masyarakat piramidal yang memiliki banyak level: antropologi, linguistik, sosial ekonomi, dalam momen historis tertentu, sementara dalam tiap level tersebut terdapat sedimen konflik
yang tidak
teratasi. Hingga saat ini, Maroko merupakan negara yang sangat plural.86 Sejak awal abad 20, Maroko berada di
bawah kekuasaan
“perlindungan” Prancis. Pada bulan Agustus 1953, Ahmed Belbachir Haskouri,
salah
seorang
tangan
kanan
Sultan
Muhammad
V
memproklamirkan Sultan Muhammad V sebagai penguasa Maroko yang sah. Pada Oktober 1955, kelompok Jaish al-Tahrir atau Pasukan Pembebasan yang dibentuk oleh Komite Pembebasan Arab Maghrib melancarkan serangan ke jantung pertahanan dan pemukiman Prancis di kota-kota besar di Maroko. Peristiwa di atas, bersama peristiwa lain di masa itu telah meningkatkan solidaritas di kalangan orang Maroko. Masyarakat Maroko mengenal masa itu sebagai masa revolusi yang digerakkan oleh Raja dan Rakyat atau Taourat alMalik wa Shaab dan dirayakan setiap tanggal 20 Agustus.87
86
Halim Barakat, The Arab World: Society, Culture, and State, terj. Irfan M/Zakkie, Dunia Arab: Masyarakat, Budaya, dan Negara (Bandung: Nusa Media, 2012), h. 23-24. 87 Sejarah singkat Maroko, http://www.sahabatmaroko.com/ index.php?option= com_ content&view= article&id=112&Itemid=55 di akses tanggal 23 April 2014.
52
Kolonialisasi Spanyol dan Perancis di Maroko, sedikit banyak berpengaruh terhadap hukum kedua negara tersebut terhadap hukum yang berlaku di negara Maroko, walaupun dalam hukum Keluarga, syari‟ah masih mendominasi. Selain itu, hukum adat juga berlaku pada beberapa daerah dan diatur oleh pengadilan daerah dan dalam beberapa aspek bertentangan dengan syari‟ah. Kenyataan ini merupakan salah satu pertimbangan bagi Maroko untuk melakukan reformasi hukum terutama dalam bidang hukum keluarga, selain pertimbangan lain yang tidak kalah pentingnya, yaitu “trend atau kecenderungan hukum di dunia Islam masa kini”.88 Reformasi ini dilakukan pada saat negara-negara Arab-Muslim yang sudah dijajah bangsa Eropa, kemudian menyatakan kemerdekaannya mulai menata diri dengan diawali menata sistem hukumnya, walaupun sudah ada dalam fikih mażhab yang telah dianut oleh negara tersebut dengan tujuan unifikasi atau kodifikasi hukum.
C. Kehidupan Masyarakat Maroko 1. Sosial Ekonomi89 Masyarakat Maroko yang berada di pedalaman atau pedesaan yang merupakan 4/5 bagian dari penduduk Maroko keseluruhan, mempunyai
88
Trend ini membentuk beberapa sistem hukum dinegara-negara Islam. Lihat J. N. D Anderson, Islamic Law in the Modern World, terj. Machnun Husein, Hukum Islam di Dunia Modern, h. 100-101. Sementara itu Maroko mengambil jalan tengah, yaitu mengkompromikan fikih mazhab dengan hukum Barat yang selama ini ada. Konsep tersebut selalu berkembang seiring dengan tuntutan zaman. Berbeda dengan sistem yang menggunakan fikih mazhab murni seperti Arab Saudi yang tidak bisa dipenagruhinya. Lihat J. N. D Anderson, Islamic Law in the Modern World, terj. Machnun Husein, Hukum Islam di Dunia Modern, h. 102. 89 Pembahasan bagian ini yang dikutip dari Atho‟Mudzhar dan Khoirudin Nasution (editor) dalam buku Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern dari E. Levi Provencal dan G. S. Colin,”Marocco, Social and Economic Life‟, dalam HAR Gibb (ed), First Ensyclopedia of Islam,Vol. 6 (Leiden: E. J. Briil, 1960), h. 591-592.
53
dua pola kehidupan, yaitu nomaden dan menetap. Suku Barber sebagai suku asli, sebagian besar merupakan penduduk yang menetap, sementara suku Arab yang pada mula kaum pendatang secara umum merupakan penduduk nomaden dan sebagian kecil dari mereka ada juga yang menetap pada lahan-lahan yang ingin mereka kembangkan. Ini berarti pembagian pola hidup nomaden dan menetap ini bukan berdasarkan faktor etnis semata-mata tetapi karena pengaruh kondisi geografis. Biasanya mereka yang tinggal di daerah pengunungan masuk kelompok yang menetap, sementara mereka yang berada di gurun pasir seringkali berpindah-pindah. Mata pencaharian mereka terpusat pada bidang pertanian90 dan peternakan. Padi, gandum, kacang, buah-buahan adalah tanaman yang sering mereka produk dan dijual, sementara hewan ternak yang biasanya adalah domba, kuda, lembu, dan unta. Bidang industri masih sangat terbatas, yang biasanya hanya memintal domba untuk dijadikan garmen, tenda atau karpet. Penduduk yang tinggal di kota dikategorisasikan menjadi dua, yakni yang disebut sebagai hadariyya dan non-hadariyya. Pola hidup kota yang termasuk dalam kategori hadariyya konon banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Spanyol, negara yang pernah menjajah mereka, yaitu Fez, Rabat-Sale, dan Tetwan. Sedangkan kota yang disebut non-hadariyya antara lain Udjda, Mazagan dan Tangier, yang komposisi penduduknya
90
Sektor Pertanian yang dijadikan fokus utama bagi penyusunan rencana yang dibuat negara ini karena negara ini mempunyai tanah yang sifatnya subur.ini dilakukan secara tradisional yang dapat meningkatkan ekonomi pada rakyat. http://anneahira.com/negara-maroko.htm diakses pada tanggal 10 Mei 2014.
54
kebanyakan berasal dari pedesaan yang berpindah ke kota (masyarakat urban). Industrialisasi terpusat di kota yang hasilnya, biasanya dibawa ke pasar (sūk) untuk dibeli oleh orang-orang dari desa, sebaliknya masyarakat kota membeli hasil pertanian orang desa di pasar. Sementara itu, dengan sebab industrialisasi, maka hubungan yang terjalin antara penduduk perkotaan Maroko dengan negara-negara maju Eropa semakin intens dilakukan. 2. Bidang Sosial Politik Maroko dalam Undang-Undang Dasar negaranya disebut sebagai kerajaan yang berkonstitusi dan demokratis, dan kedaulatan berada di tangan bangsa yang disalurkan melalui lembaga konstitusional yang telah ada. Maroko menganut sistem multi partai dan menolak sistem satu partai. Hukum adalah pernyataan tertinggi dari kemauan rakyat dan semua harus tunduk padanya. Negara menjamin kebebasan bagi semua warganya untuk menyatakan pendapatnya, berserikat, dan membentuk atau memasuki organisasi atau partai pilihannya. Dalam sejarah politik negara ini, hampir tidak pernah terjadi satu partai yang berhasil menguasai mayoritas kursi Dewan Perwakilan Rakyat. Oleh karena itu, sampai saat ini pemerintah Maroko merupakan pemerintahan koalisi.91 Kelompok Nasionalis terutama yang diwakili oleh partai Istiqlal banyak memberikan andil bagi keberhasilan perjuangan kemerdekaan Maroko. Demikian pada partai ini banyak berperan memajukan Maroko 91
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Edisi V (Jakarta: UI-Press, 1993), h. 222-223.
55
pasca kemerdekaan. Kelompok tersebut dipengaruhi oleh Marxisme yang nota bene berideologi kekiri-kirian. Kota Fez, merupakan pusat bertemunya kelompok nasional dan merupakan basecame-nya protes keagamaan terhadap gerakan salafiyah.92 Banyak aksi demonstrasi mengambil tempat di kota ini dan pimpinannya mengambil peranan penting dalam keberhasilan kemerdekaan Maroko. Namun, secara politis ekonomis terdesak dominasi Perancis. Dengan diperbolehnya kedaulatan ini, bukan berarti gangguangangguan politis yang terjadi di negara ini berhenti dengan sendirinya. Konflik lama, maupun konflik baru dalam beberapa level konflik internal, antar agama, maupun internasional muncul dan terus menerus mewarnai percaturan politik di dunia Arab, termasuk di Maroko.93 3. Bidang Sosial Keagamaan Pada awalnya, terutama daerah perkotaan, masyarakat Maroko sedikit banyak dipengaruhi oleh ajaran Yahudi dan Kristen walaupun diragukan ritual keagamaan mereka berdasarkan ajaran yang tepat dari dua agama tersebut. Tampaknya mereka hanya sebatas mengakui ajaranajarannya ketimbang sebagai pemeluk yang teguh kepada ajaran kedua 92
Gerakan Salafiyah akhirnya bergabung dengan nasionalime Maroko, seperti yang terwujud pada partai Istiqlal dan pemimpinnya yang termasyhur, Muhammad Allal al-Fasi. Begitu Maroko memperoleh kembali kemerdekaannya pada 1956, Raja Muhammad V (w. 1961) dan penerusnya Hasan II berusaha mengekang pengaruh politik dari partai tersebut. Lihat John L. Esposito, The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, terj. Eva. Y. N, dkk., Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, Jil. 3 (Bandung: Mizan 2002), h. 348. 93 Bernard Lewis, The Middle East, a Brief History of the Last 2000 Years (New York: Scribner, 1995), h. 354. Hal ini sudah menjadi suatu tantangan bagi negara yang baru merdeka atau memperoleh kedaulatan. Untuk menata dan menjadikan pemerintahan yang kuat konflik kepentingan antara kelompok individu bahkan kelompok akan menjadi pekerjaan bagi yang memerintah negara yang dianggap sudah merdeka dan berdaulat. Proses seperti inilah yang akan menjadi pola pembaruan yang mempunyai ciri khas sendiri.
56
agama tersebut. Terbukti ketika mereka mengenal agama Monoties baru, Islam yang diperkenalkan oleh bangsa Arab, ternyata mereka cepat bisa mengakomodasinya.94 Pada perkembangan selanjutnya, Islam menjadi agama resmi negara, meskipun dalam undang-undang dasar tida disebut-sebut syari‟ah Islam. Hukum perdata maupun hukum pidana di negara itu tidak murni berdasarkan syari‟at Islam bahkan lebih banyak diwarnai oleh sistem hukum Barat. Hukum Islam, terutama Mazhab Maliki, berlaku bagi umat Islam hanya dalam bidang tertentu, yakni pernikahan, pembagian warisan dan perwakafan. Seluruh Muslim Maroko adalah penganut aliran Sunni, hampir tidak ditemukan ajaran Syi‟ah di sana. Penduduk perkotaan merupakan penganut agama yang taat dan menjalankan ritual keagamaan secara teguh, sementara penduduk desa suku Barber dan Baduwi agak longgar dalam menjalankan ajaran agama. Namun didaerah perbukitan, hampir pada setiap desa dapat ditemukan masjid.95 Walaupun jarak yang ditempuh ke Mekkah sangat jauh, namun penduduk Maroko sangat gemar menunaikan ibadah haji. Mereka juga selalu mengadakan festival resmi negara untuk merayakan hari-hari besar Islam, misalnya hari Raya Idul Fitri, Idul Adha, memperingati hari kelahiran Nabi (Maulid), hari Asyura (10 Muharram). 94
E. Levi Provencal dan G. S. Colin,”Marocco, Social and Economic Life‟, dalam HAR Gibb (ed), First Ensyclopedia of Islam, h. 593. 95 Terdapat minoritas kecil Yahudi yang berjumlah kurang dari 8.000 jiwa (sebagai besar di kota Casablanca dan kota-kota pantai lainnya), dan tidak ada minoritas Kristen pribumi. Tidak terdapat perbedaan religius yang signifikan di antara suku Barber dengan penduduk yang berbahasa Arab. Lihat John L. Esposito, The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, terj. Eva. Y. N, dkk., Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, h. 345.
57
4. Kehidupan Intelektual Sejak abad pertengahan Maroko telah menempati tempat tersendiri, bahkan berada pada posisi penting dalam sejarah peradaban Muslim. Dalam rentang waktu lama kehidupan intelektual Islam Maroko berada di bawah kekuasaan negara-negara tetangga. Namun demikian, bidang kehidupan intelektual menunjukkan kemandirian.96 Aktivitas akademik dan intelektual di Arab Spanyol yang marak pada akhir abad ke-13 membawa pengaruh yang cukup besar bagi Maroko, meskipun sempat terganjal, ketika Semenanjung Peninsula kembali ke ajaran Kristen. Munculnya ajaran Kristen ini disebabkan oleh migrasi pengungsi Spanyol
yang
sedikit
banyak
menimbulkan
kekhawatiran
bagi
keberlangsungan studi Islam. Dalam beberapa hal, walaupun negara ini mempunyai banyak sarjana yang mendalami berbagai cabang ilmu pengetahuan namun minim mewariskan reputasi intelektual sebagaimana yang dilakukan Spanyol ketika menjadi negara Muslim. Putra putri bangsa Maroko yang sempat meraih pendidikan tinggi berupaya secara sungguhsungguh meyelamatkan dan melindungi kebudayan tradisional mereka. 96
Dunia intelektual Arab-Islam kontemporer memang mengakui Maroko sebagai gudang para pemikir dan penulis produktif. Sebutlah misalnya, al-Jabiri di kritik nalar, Salim Yafut di epistemologi, Abdul Majid as-Sugair di relasi kekuasaan versus pengetahuan, Muhammad Sabila di modernitas, Abdussalam Benabdelali di filsafat kontemporer, Abdullah al-Arawi di sejarah, Taha Abdurrahman di filsafat bahasa dan akhlak dan Ali Omleil di sosiologi. Di samping itu Fatima Mernissi. Tokoh perempuan ini betul-betul membuktikan jargonnya, “menulis adalah obat awet muda paling mujarab”. Belum lama, ia mendapatkan penghargaan kesastraan dan kebudayaan dari Belanda. Karyanya tak pernah berhenti mengalir. Ternyata tokoh-tokoh perempuan lain, tidak kalah hebat. Kita bisa menyebut misalnya, Raja‟ Naji Mukawi, pakar hukum keluarga; Aisyah al-Hijami, pakar ilmu maqāṣid dan Farida Zamrou, ulama perempuan yang belakangan serius meng-counter karya-karya Nasr Hamid Abu Zayd. Mereka adalah tiga ulama perempuan yang mendapat kehormatan menyampaikan ceramah di Majelis Raja Maroko pada Bulan Ramadlan yang disebut: ad-Durus al-Hasaniyah dengan pembicara tokoh-tokoh ulama dari seluruh dunia Islam. http://featuresdedywsanusi.blogspot.com/2008/04/dunia-intelektual-maroko2.html. Diakses tanggal 29 Agustus 2014.
58
Bahkan sampai akhir abad ke-19 kebudayaan tersebut tidak pernah diizinkan dikontaminasi pengetahuan modern. Oleh karena itu, wajar bila ide-ide intelektual dan keagamaan misalnya bidang fikih, sarjana-sarjana Maroko, pada masa pemerintahan Sharifian misalnya mempunyai stok yang sama dengan ulama-ulama fikih Marinids atau Sa‟dians.97 Kebudayaan
tradisional
banyak
melingkupi
perkembangan
pemikiran keintelektualan dan keagamaan di Maroko, namun dapat pula dicatat adanya beberapa tokoh yang telah dipengaruhinya oleh trend intelektualitas Eropa. Sehingga perkembangan pembaruan hukum Islam di Maroko mengalami perkembangan yang cepat dan banyak perubahan terhadap tuntutan perkembangan zaman. Dibuktikan dengan pembaruan hukum keluarga yang baru saja direformasi tanggal 5 Februari 2004 dibanding negara muslim lain yang belum mereformasinya. 5. Kehidupan Perempuan Sebagaimana
negara-negara yang menganut sistem demokrasi
lainnya, secara de jure Maroko menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat, semua warga negara mempunyai hak politik dan menikmati kehidupan secara sama, tidak ada diskriminasi ras, jenis kelamin, agama dan lain-lain, namun secara de facto penegasan semacam ini perlu ditinjau kembali. Karena bisa dilihat dari diskrimasi atau pengekangan terhadap salah satu warga. Ini bisa dijadikan fakta, bahwa demokrasinya masih diragukan. Namun dalam sejarah negara bangsa memang tidak bisa 97
E. Levi Provencal dan G. S. Colin,”Marocco, Social and Economic Life‟, dalam HAR Gibb (ed), First Ensyclopedia of Islam, h. 604-605.
59
terhindarkan karena dari bentuk keragaman sulit disatukan dalam negara, apalagi terkait dengan ideologi. Ada tokoh feminis terkenal dan banyak menghasilkan karya-karya kelahiran Fez, Maroko pada tahun 1940 yang bernama Fatimah Mernisi.98 Dalam karya-karyanya ia sering menggugat negara, agama dan kehidupan wanita. Ia berangkat dari kondisi yang ia saksikan di negara kelahirannya tersebut, khususnya, yang ia nilai masih banyak mengeluarkan kebijakankebijakan dan praktek dalam kehidupan sehari-hari yang kurang menghargai wanita. Dalam karya Womens Rebellion and Islamic Memory, yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Pemberontakan Wanita: Peran Intelektual Wanita dalam Sejarh Muslim, Mernisi mengkritik kebijakan Maroko dalam upaya menurunkan pertumbuhan jumlah penduduk dengan hanya mengupayakan pemberian jaminan kesehatan kepada ibu dan anak, tanpa dibarengi dengan peningkatan pemberdayaan dan pendidikan wanita. Bahkan usaha pemberian kesehatan pada ibu dan anakpun tidak maksimal. Pada upaya penurunan angka kelahiran dan peningkatan pendidikan kaum wanita merupakan dua hal terkait. Berdasarkan survey awal tahun 80-an, menunjukkan kaitan langsung 98
Seorang sosiolog dan penulis dari Maroko, belajar di Universitas Muhammad V di kota Rabat. Dan kemudin melanjutkan ke Paris. Dia menyelesaikan studi sarjananya di Amerika Serikat, pada tahun 1973, meraih gelar doktor dalam bidang sosiologi dari Universitas Brandels. Karya-karya Mernissi mengkaji hubungan antara ideology seksual, identitas gender, organisasi sosial politik, status perempuan dalam Islam. Karya pertamanya, Beyond the Veil: Male-Famale Dynamics in Modern Muslim Society yang isinya berusaha merebut kembali wacana ideologis mengenai perempuan dan seksualitas dari cengkraman sistem patriakhi. Karya lainnya The Veil and The Male Elite dan Islam and Democracy: Fear of the Modern World. Lihat John L. Esposito, The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, terj. Eva. Y. N, dkk., Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, h. 42-43.
60
antara pendidikan dan keluarga berencana. Tingkat kesuburan turun sejalan naiknya tingkat pendidikan. Hal ini terjadi karena kesadaran menggunakan alat kontrasepsi dan metode-metode pencegahan kehamilan lainnya akan mengikat jiwa wawasan kaum wanita lebih terbuka.99 Lebih
lanjut
Mernisi
mengatakan
bahwa
dengan
cara
mengontraskan angka buta huruf di kalangan kaum wanita dan kaum pria akan dapat dipahami sejauhmana sebuah negara membedakan jenis pelayanan pada dua jenis warganya. Sejak kemerdekaan Maroko telah berusaha menyediakan sekolah bagi setengah kaum prianya. Hanya 55,4 % yang buta huruf. Aljazair berhasil menurunkan angka buta huruf dikalangan kaum pria hingga 37 %. Angka buta huruf di kalangan kaum wanita, Maroko termasuk negara Arab yang mempunyai angka buta huruf tertinggi yaitu 78,3 %. Angka ini tidak terlalu jauh beda dengan Aljazair 63,1 %. Tunisia berusaha memberikan pendidikan kepada 2/3 dari penduduk pria (hanya 32,4 % yang buta huruf), tetapi hanya 40% wanita yang mempunyai akses pendidikan.100 Karya-karya Mernisi bila dicermati lebih lanjut merupakan cerminan kegelisahan seorang intelektual yang telah mengenyam pendidikan modern atas realitas yang terjadi di masyarakatnya.
99
Masyarakat Maroko merusak demografi regional dengan „menolak‟ menggunakan kontrasepsi. Angka penggunaannya tidak lebih dari 27 % di Maroko, sementara Aljazair berdiri paling depan dengan angka yang luar biasa rendah yaitu 7 %. Sedangkan di Inggris terdiri dari 83 %, 79 di Perancis, 78 di Kanada, 68 % di AS. Lihat Fatima Mernissi, Women’s Rebellion & Islamic Memory, terj. Rahmani Astuti, Pemberontakan Wanita!: Peran Intelektual Kaum Wanita dalam Sejarah Muslim (Bandung: Mizan, 1999). H. 101. 100 Fatima Mernissi, Women’s Rebellion & Islamic Memory, terj. Rahmani Astuti, Pemberontakan Wanita!: Peran Intelektual Kaum Wanita dalam Sejarah Muslim, h. 118-119.
61
Masyarakat Maroko yang tradisionalis dan baru menerima kemerdekaan saat mengalami ketegangan, antara tradisi di satu sisi dan tuntutan modernisasi di sisi lain serta pencarian metode yang relevan dalam rangka reinterpretasi teks agama agar sesuai dengan tuntutan zaman. Dari gambaran tersebut, kehidupan perempuan di Maroko belum bisa berperan dalam kehidupan sosial ekonomi, politik, dan keagamaan. Namun hal ini mulai bisa berperan seiring dengan pembaruan hukum kelaurga di Maroko seorang perempuan tidak membutuhkan izin wali untuk menikah.
D. Sejarah Kodifikasi dan Reformasi Hukum Keluarga Maroko Hukum keluarga di banyak negara Islam diluar Turki, selama ini diperlakukan sebagai disiplin hukum yang terpisah, berbeda dari hukum perdata-perdata lainnya. Hukum itu juga memiliki tempat khusus di masyarakat Islam global.101 Dalam sejarah, sejak dulu hingga kini hukum keluarga ini adalah satusatunya hukum Islam yang selalu diterapkan oleh masyarakat Muslim; baik mereka yang hidup di negara dan kerajaan Islam, seperti Mesir dan Saudi Arabia; negara semi sekuler, seperti Indonesia dan Malaysia; negara sekuler atau non Muslim, seperti komunitas Muslim di Singapura dan Amerika yang tentu saja hanya diberlakukan untuk komunitasnya sendiri. Hal ini berarti bahwa hukum Islam yang berkaitan dengan kehidupan sebuah keluarga 101
Waryani Fajar Riyanto, Sistem Kewarisan Islam: Klasik, Modern, dan Postmodern (Perspektif Filsafat Sistem), h. 356.
62
hampir bisa dipastikan diterapkan baik secara formal maupun non formal oleh komunitas Muslim tanpa menunggu sebuah negara menjadi Islam atau masyarakat menjadi mayoritas dalam sebuah negara. Setelah memproklamirkan kemerdekaan pada tanggal 19 Agustus 1957, Maroko yang penduduknya adalah pengikut mazhab Maliki, melakukan kodifikasi selama tahun 1957-1958, yang menghasilkan Mudawwanah alAhwal al-Syakhsiyah. Sejarah lahirnya UU Maroko berawal pada 6 Desember1957 (13 Jumadil Awal 1377) dengan terbitnya Dekrit Raja yang bertanggal 22 November 1957 (28 Rabiul Tsani 1377), mengumumkan akan lahirnya UU Pernikahan dan Perceraian pertama yang mencakup pernikahan dan perceraian ini mulai berlaku di seluruh wilayah kerajaan sejak 1 Januari 1958. Kedua buku ini adalah hasil kerja dari komite yang dibentuk tanggal 19 Agustus 1957 (22 Muharram 1377). Adapun isinya terdiri dari 8 bab.102 Antara tahun 1912-1956 Maroko berada di bawah dominasi politik Prancis dan Spanyol. Sistem hukum kedua negara ini banyak mewarnai hukum lokal yang ada di Maroko, terutama dalam hukum sipil.103 Hanya dalam hukum keluarga, syari‟ah, khususnya mazhab Maliki, secara teguh dianut, walaupun dalam batas-batas tertentu dan terdapat beberapa elemen yang dipengaruhi hukum Prancis dan Spanyol, dan kebiasaan-kebiasaan lokal. Aturan yang bercampuraduk ini terbungkus dalam hukum keluarga Maroko.
102
M. Atho‟ Mudzhar dan Khoiruddin Nasution (Ed.), Hukum Keluarga Di Dunia Islam Modern: Studi Perbandingan dan keberanjakan UU Modern dari Kitab-Kitab Fikih, h. 16-17. 103 Di sana hukum sipil berlaku didasarkan pada kitab hukum Perancis, sedangkan jika disebut hukum Syari‟ah maka yang dimaksud adalah hukum Islam mazhab Maliki. Hukum Rabbanic Yahudi juga diakui keberadaannya. Lihat Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam (Ringkas), Terj. Ghufron A. Mas‟udi (Jakarta: PT Raja Grafindo, 1999), di bawah artikel “Maroko”, h. 260.
63
Untuk menghindari kondisi ini negara terpanggil untuk melakukan kodifikasi hukum keluarga, sekaligus melakukan reformasi dengan pertimbangan maṣlaḥah mursalah. Pada tanggal 19 Agustus 1957 sebuah Komisi Reformasi Hukum dibentuk berdasarkan keputusan kerajaan. Komisi ini bertugas menyusun rancangan undang-undang Hukum Perorangan dan Kewarisan. Penyusunan rancangan undang-undang tersebut didasarkan pada: 1. Baberapa prinsip dari mazhab-mazhab hukum Islam (fikih), khususnya Mazhab Maliki yang dianut di Maroko. 2. Doktrin Maṣlaḥah Mursalah. 3. UU yang diberlakukan di beberapa negara Muslim lainnya.104 Rancangan ini resmi menjadi UU pada tahun 1958 dan diberi nama Mudawwanah al-Aḥwāl al-Syakhṣīyah. Sebagian besar aturan-aturan dalam hukum tersebut berdasar Mazhab Maliki yang secara umum dan telah lama di Maroko. Hukum keluarga yang baru ini mencakup berbagai pembaruan yang sangat penting terutama berkenaan dengan pernikahan dan perceraian. Isi UU ini sama komprehensifnya dengan hukum keluarga yang di Syiria meskipun dari segi isi lebih progresif. Sebaliknya UU Maroko lebih konservatif jika dibandingkan dengan yang berlaku di Tunisia.105 Hal ini dipengaruhi oleh beberapa hal, diantaranya karena pengaruh dari negara yang telah menjajah
104
Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries (History, Text, and Comparative Analisys), h. 118. 105 J. N. D Anderson, Islamic Law in the Modern World, terj. Machnun Husein, Hukum Islam di Dunia Modern, h. 41.
64
Maroko yang sedikit banyak telah terjadi proses asimilasi dalam hukum negara yang telah dibentuk. Oleh karena itu, peraturan hukum keluarga di Maroko dipengaruhi oleh negara yang secara politik telah lama mendominasinya yaitu Spanyol dan Prancis. Diantara pengaruh tersebut adalah adanya kodifikasi hukum keluarga yang dikenal dengan code of Personal Status atau mudawwanah al-aḥwāl al shakhṣīyah yang terjadi pada tahun 1957-1958.106 Terakhir hukum keluarga di Maroko ditetapkan pada tanggal 3 Februari 2004 yang disebut mudawwanah al-aḥwāl al shakhṣīyah al jadīdah fī al maghrib atau Mudawwanah al-’Usrah. Undang-Undang ini berisi 400 Pasal, terdapat tambahan 100 pasal dari undang-undang yang ditetapkan pada tahun 1957. Pada 2004, Maroko mencatat sejarah dengan disahkannya Hukum Keluarga (Mudawwanah al-Usrah) yang mengakomodir kesetaraan laki-laki dan perempuan. Undang-undang ini merupakan revisi atas Hukum Keluarga yang telah berlaku selama setengah abad.107 Beberapa capaian signifikan
106
Seperti di Indonesia, hukumnya masih dipengaruhi oleh hukum Belanda seperti KUHP baik perdata atau pidana. Namun seiring dengan perubahan zaman, hukum tersebut mulai ditinggalkan untuk direvisi atau bahkan ditinggalkan disesuaikan dengan konteks keindonesiaan, seperti munculnya KHI sebagai hukum materiil Peradilan Agama. Dalam bahasanya Marzuki Wahid disebut sebagai fikih mazhab negara. Lihat Marzuki Wahid, Fikih Indonesia: Kompilasi Hukum Islam dan Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam dalam Bingkai Politik Hukum Indonesia, h. 191. 107 Metode reformasi ini dengan mengakomodir kesetaraan laki-laki dan perempuan merupakan upaya memperkenalkan reformasi hukum dengan Extra Doctrinal Reform, penafsiran ulang terhadap nash yang ada dengan pemahaman yang baru. Cara ini sebagai upaya kodifikasi atau bersifat pengaturan administrasi yang pada umumnya tetap menekankan prinsip masalih mursalah atau siyasah syar’iyah. Lihat M. Atho Mudzhar, “Wanita dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern” dalam M. Atho‟ Mudzhar dan Khoiruddin Nasution (Ed.), Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern: Studi Perbandingan dan Keberanjakan UU Modern dari Kitab-kitab Fikih, h. 208.
65
dalam Hukum Keluarga ini salah satunya108 adalah perempuan tidak membutuhkan izin wali untuk menikah, sehingga perempuan secara hukum dilindungi UU untuk menentukan sendiri calon suaminya.
E. Polemik Pembaruan Hukum Keluarga Dalam tahap masih berupa rancangan109 sampai implementasinya di lapangan, hukum keluarga di Maroko 2004 (4002 )المغرب مدونة األسرةsudah sarat dengan kontroversi di kalangan masyarakat sendiri.110 Pada awalnya
108
Adapun capaian yang lainnya adalah (1) Keluarga adalah tanggungjawab bersama antara laki-laki dan perempuan merevisi aturan sebelumnya bahwa laki-laki adalah penanggung jawab tunggal keluarga, (2) batas usia minimum pernikahan bagi laki-laki dan perempuan adalah sama-sama 18 tahun merivisi aturan sebelum di mana perempuan 15 tahun, sedangkan laki-laki 17 tahun, (3) poligami mempunyai syarat yang sangat ketat merevisi aturan sebelumnya yang membebaskan poligami. 109 Rencana pembaruan hukum keluarga di Maroko mulanya diluncurkan pada tahun 1997 oleh PerdanaMenteri Maroko Abderrahman Youssoufi yang juga merupakan pimpinan Partai sayap kiri USFP. Proyek rencana pembaruan tersebut dinamai Plan of Action for the Integration of Women in Development (PAIWD) atau RencanaAksi untuk Integrasi Perempuan dan Pembangunan. Youssoufi memberikan tanggung jawab kepada Said Sa‟adi(Menteri Sosial dan Perlindungan Keluarga dan Anak dari partai sosialis PPS Parti et du Progres Socialisme) untuk menulis Rencana Aksi tersebut bersama-sama dengan panitia teknis ad hoc yang terdiri dari perwakilan pemerintah, perwakilan parpol, serikat pekerja dan LSM yang didasarkan pada Beizing Plarform for Action dan deklarasi PBB lainnya yang selanjutnya dipresentasikan ke pemerintah 19 Maret 1999. Rencana Aksi tersebut memprioritaskan empat hal; (1) Pengembangan Pendidikan, (2) Peningkatan Kesehatan kaum Perempuan, (3) Integrasi Perempuan dalam Pembangunan Ekonomi, (4) Penguatan Status Perempuan dalam bidang hukum, politik dan ruang publik. Poin keempat ini terkait langsung dengan aturan hukum keluarga menyangkut status perempuan, termasuk juga pemberian sanksi terhadap tindakan KDRT terhadap perempuan, pemberian status kewarganegaraan Maroko bagi anak yang lahir dari ibu warga negara Maroko dan ayah dari warga negara lain. Menurut perencananya, PAIWD ini dilakukan karena pembaruan Mudawwanah 1993 belum cukup memuaskan. Perubahan paling penting yang diusulkan dalam PAIWD ini terkait dengan masalah perkawinan dan perceraian seperti; (1) usia minimal dalam perkawinan dari 15 tahun menjadi 18 tahun bagi calon pengantin pria dan wanita, (2) talak yang dijatuhkan harus dilakukan di depan pengadilan, (3) ibu memperoleh hak asuhnya sampai usia anak laki-laki dan perempuannya mencapai 15 tahun, (4) istri harus diberikan setengah dari harta pasca perceraian karena keikutsertaannya dalam pengurusan rumah tangga, (5) pengadilan khusus keluarga harus dibentuk dengan mengangkat hakim yang terlatih dalam hukum keluarga. Lihat, Katja Zvan, “The Politics of the Reform of the New Family Law (The Moudawana)”dalam Tesis dalam Kajian Timur Tengah Universitas Oxford 2007), h. 70-73. 110 Secara umum kubu ini terbagi menjadi dua bagian. Bagi yang pro pembaruan didukung oleh kaum aktivis feminis, sedangkan kubu kedua yang didukung oleh mereka menolak pembaruan yang dinamakan Islamis yang masih menjaga aturan sebelumnya. Sehingga pada akhirnya mempunyai kepentingan yang berbeda.
66
banyak mendapat tantangan dari kalangan Islamis,111 sementara di kalangan feminis mendukung hingga memperjuangkan pelaksanaannya. Tarik ulur mengenai beberapa konsep yang ada pada Hukum Keluarga ini pun seperti tiada hentinya. Negara, dan masyarakat memiliki interpretasi dengan argumen yang berbeda dengan beberapa konsep tentang pembaruan Hukum Keluarga. Masing-masing mengklaim bahwa merekalah yang secara intelektual dan aktif berada di belakang wacana pembaruan dan authorship Hukum Keluarga di Maroko.112 1. Pendukung Pembaruan Hukum Keluarga Kelompok ini meletakkan kerangka acuan universal seperti perjanjian hak asasi manusia dan konvensi internasional tentang penghapusan segala bentuk diskrminasi terhadap kaum
perempuan
(CEDAW: Cenvention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women) dalam pembaruan Hukum Keluarga.113 Mereka tergabung dalam aliansi gerakan modernis, organisasi perempuan, organisasi hak asasi manusia, dan partai politik sayap-kiri yang sangat skeptis terhadap kemampuan kelompok Islamis untuk mengikuti perkembangan masyarakat 111
Abdelkader M‟Daghri (Menteri Wakaf dan Urusan Agama Islam) beserta ulama tradisional Maroko juga menolak PAIDW ini karena sarat dengan kepentingan Barat dan bantuan asing di Maroko. Lihat Katja Zvan, “ThePolitics…, h.74. 112 Rachel Salia, “Reflections on a Reform: Inside the Moroccan Family Code”, 16, Senior Thesis,academiacommons.colombia.edu/. 113 Aicha el Hajjami, “Gender Equality and Islamic Law: The Case of Morocco”, dalam New Directions in Islamic Thought: Exploring Reform and Muslim Tradition (London, New York: I.B. Tauris, 2001), h. 104. Memang pada dasarnya kelompok ini memang bersikukuh terhadap pembelaan terhadap perempuan. Dalam konteks pembaruan hukum keluarga sebenarnya mempunyai tujuan minimal sama dengan kelompok ini yaitu melindungi hak-hak dang mengangkat derajat perempuan terutama dalam rumuah tangga. Tujuan tersebut kadang bertentangan apa yang telah selama ini mapan dengan ketentuan fikih yang dianut. Terlepas apakah ketentuan tersebut bisa diimplementasikan tergantung dari kondisi masyarakat yang menghadapinya dalam kesiapannya.
67
di Maroko, dan bercita-cita melakukan modernisasi di segala bidang, terutama untuk menjamin kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.114 Menurut mereka, keselamatan hak-hak perempuan hanya dapat dicapai melalui modernisasi dengan cara membersihkan Hukum Keluarga dari pengaruh agama, dan menghapuskan semua aturan hukum nasional yang bertentangan dengan hak asasi manusia,sebagaimana yang ditetapkan dalam perjanjian HAM dan konvensi internasional. Mereka menolak klaim bahwa ulama memiliki hak eksklusif dalam menginterpretasi Islam.115 Mereka menjadikan hukum keluarga tidak lagi sakral. Hukum keluarga diperlakukan tidak lebih seperti hukum sekuler, lebih terbuka untuk diperdebatkan.116 Meskipun perubahan hukum keluarga tidak mampu memuaskan seluruh tuntutan kelompok feminis liberal/sekuler, namun upaya tersebut sangat penting dan menarik dicermati karena yang mereka lakukan adalah membongkar keyakinan lama yang sudah mengakar, bahwa hukum keluarga tidak dapat diperbarui.117 Pada akhirnya pembaruan hukum keluarga harus dilakukan untuk mencapai cita-cita ideal kaum pendukung pembaruan. 114
Melalui UAF organisasi kesatuan aksi perempuan Maroko, mereka melakukan aktivitas seperti: (1)Memulai kampanye pembaruan Hukum Keluarga pada tanggal 3 Maret 1992, (2) Melobi Bank Dunia selama tahun1995, (3) Membentuk Le Plan d ‘Action Nasional pour l’Integration de la Femme au Development pada tahun 1999 (PANIFD, Rencana Aksi untuk Integrasi Perempuan dalam Pembangunan) yang memaparkan rencana strategis bagaimana dan mengapa para perempuan Maroko melakukan perubahan Hukum Keluarg a. Lihat, Global,“Moroccan…h. 4. 115 Fatima Harrak, “The History and Significance of the New Moroccan Family Law”, Working Paper , No.09-002 March 2009 (Northwestern University: Institute for the Study of Islamic Thought in Afrika, 2009), h. 5. 116 Moha Ennaji, “The New Muslim Personal Law Status in Morocco.” I 6,http://www.yale.edu/macmilan/africadissent/moha/pdf 117 Global, “Moroccan… h. 4.
68
2. Penolak Pembaruan Hukum Keluarga Visi kelompok ini dengan meletakkan Islam dan nilai-nilai Islam fundamental sebagai kerangka acuan dalam pembaruan hukum keluarga. Mereka tergabung dalam aliansi gerakan Islam118 dan ulama tradisional119 yang menolak gagasan universalitas hak asasi manusia sebagaimana tercantum dalam perjanjian dan konvensi internasional, atas nama keaslian budaya (cultural authenticity) dan identitas agama (religious identity).120 Mereka menganggap HAM universal tidak sesuai dengan nilainilai fundamental Islam, baik itu dari segi
landasan,
metode atau
tujuannya. Mereka menolak tuntutan kelompok feminiskarena dianggap bertentangan dengan syari‟ah dan melanggar prosedur dalam merumuskan hukum keluarga, yang tidak melibatkan ulama,121 satu-satunya elit masyarakat yang berwenang untuk itu.122 Penolakan mereka terhadap kelompok feminis juga diarahkan pada rujukan yang digunakan kelompok feminis tersebut untuk memperbarui 118
Aliansi gerakan Islam ini terdiri dari Parti de la Justice et du Development (PJD Partai Keadilan danPembangunan, Organisme National pour la Protection de la Famille Marcaine (ONPM Kelompok Nasional untuk Perlindungan Keluarga Maroko), dan Istiqlal Party (Partai Kemerdekaan), Islamic Movement Al-Tauhid wa al-Iṣlāh (Gerakan Islam Tauhid dan Reformasi). Menurut mereka PAIWD tidak menawarkan solusi nyata yang dihadapi anggota keluarga melainkan masalah palsu karena jarangnya terjadi kasus poligami dan pernikahan dini di Maroko.Poligami bagi mereka bukan masalah penting di Maroko karena kebanyakan pria tidak mampu menikah walaupun dengan seorang wanita. PAIWD adalah upaya pengalihan isu seperti masalah kebebasan berbicara di ruang publicdan isu pembebasan tahanan politik. Lihat, Global, “Moroccan…5, Aicha El Hajjami, “Gender…h. 106. 119 Kelompok Islam tradisional di Maroko sangat unik. Keunikan tersebut karena mereka mendukung peran Raja (Muhammad V) sepenuh hati, dan menolak pembaruan hukum keluarga. Lihat, Rachel Salia, “Reflection on aReform: Inside the Moroccan Family Code”, 26, Senior Thesis, Department of History, Spring 2011,academiacommons.colombia.edu/. 120 Penolakan juga dilakukan oleh Menteri Agama Maroko. Lihat, Aicha El Hajjami, “Gender…h. 242. 121 Fakta ini bertolak belakang dengan saat Mudawwanah 1957-1958 dirumuskan dimana Raja MuhammadV merangkul ulama dalam rangka pengkodifikasian Hukum Keluarga tersebut. 122 Aicha El Hajjami, “Gender…h. 104.
69
draf hukum keluarga yang baru. Perbedaan pendapat seputar kerangka acuan (the frame of reference) inilah yang pada akhirnya menciptakan benturan ideologi (the ideological clash) antara kelompok Islamis dan feminisliberal/sekuler di Maroko.123 Mereka menuduh Raja tunduk pada tekanan Eropa dan Amerika Serikat. Nadia Yassin, juru bicara perempuan dari kelompok al-‘adl wa alihsan menyebut bahwa reformasi ini hanya akan memuaskan keinginan pihak asing dan gerakan feminis, tetapi tidak menghasilkan perubahan nyata dalam kehidupan kaum wanita Maroko.124 Mereka mengklaim bahwa kelompok feminis liberal/sekuler sebagai bentukan Barat yang tidak mempertimbangkan dimensi identitas Islam di Maroko.125 Raja adalah
satu-satunya
yang
berhak
mengubah
Hukum
Keluarga
setelah berkonsultasi dengan ulama. Selain itu, kelompok Islam al-‘adl wa al-ihsan mengklaim sebagai kelompok pertama yang menyuarakan pembaruan hukum keluarga sekaligus bertanggung jawab terhadap produk hukumnya. Walaupun feminis Maroko sering menyamakan kelompok ini dengan kelompok tradisionalis, anti-pembaruan, namun, kenyatannya kelompok ini selalu mendengungkan slogan kembali kepada syari‟ah dalam semua aspek kehidupan masyarakat. Hal ini menempatkan mereka secara langsung berhadapan dengan kelompok feminis dalam persaingan untuk memperoleh dukungan masyarakat dan pemerintah. Kelompok ini 123
Aicha El Hajjami, “Gender…h. 243. Moha Ennaji, “The New…h. 6. 125 Fatima Harrak, “The History…h. 25. 124
70
secara teknis dilarang. Mereka menggunakan klaim identitas keagamaan dan nasional (religious and national identity), yang menempatkan kelompok feminis sebagai orang luar (the outsiders).126 Mereka tidak antiintegrasi perempuan dalam pembangunan, namun menolak westernisasi dan ketundukan kepada Barat. Mereka menilai bahwa PANIFD melanggar syari‟at dan meyakinkan pemerintah untuk menghapus dukungannya terhadap rencana pembaruan hukum keluarga karena pelanggaran terhadap syari‟at.127 Dari hal tersebut tampak bahwa yang dibangun oleh kelompok ini adalah bertujuan agar masyarakat dapat dipersatukan oleh ideologi Islam konservatif. 3. Kedudukan Negara dalam Pembaruan Hukum Keluarga Ketika Raja Muhammad VI mewarisi kepemimpinan ayahnya Raja Hassan II pada bulan Juli 1999, ada harapan besar dari masyarakat bahwa era baru reformasi akan segera dimulai di Maroko. Raja Muhammad VI yang diyakini lebih tertarik pada reformasi politik dan sosial, menyatakan dukungannya terhadap penegakan hak asasi manusia dan keyakinannya bahwa melindungi hak-hak ini adalah sejalan dengan Islam.128 Enam bulan kepemimpinannya, Muhammad VI direpotkan dengan demonstrasi yangmenuntut atau menolak penegakan hak-hak perempuan di Casablanca dan Rabat. Dalam menghadapi konfrontasi terbuka antara kelompok liberal dan konservatif tersebut, Raja memainkan peran 126
Rachel Salia, “Reflections…34, dan Global, “Moroccan…h. 5. Rachel Salia, “Reflections…26, Stepanie Willman Bordat and Saida Kouzzi, “The Challenge of Implementing Morocco‟s New Personal Status Law”, dalam Bulletin of The Carnegie Endowment for International Peace’s Arab Reform Bulletin, Vol. 2, No. 8, 2004), h. 3. 128 Fatima Harrak, “The History…h. 6. 127
71
tradisionalnya sebagai arbitrator dan mediator. Setahun kemudian, tepatnya pada tanggal 5 Maret 2001, Raja Muhammad VI bertemu dengan perwakilan perempuan dari partai-partai politik dan organisasi hak asasi manusia dan mengumumkan pembentukan sebuah komisi kerajaan yang bertugas mempersiapkan pembaruan hukum keluarga. Komisi ini dipimpin oleh seorang Hakim Agung, yang terdiri dari elit masyarakat, pria dan wanita, ulama, partai politik, intelektual tradisional dan liberal, kelompok independen, aktivis hak asasi manusiadan LSM perempuan.129 Hadirnya hukum keluarga diklaim untuk mewujudkan keinginan yang sama semua orang di Maroko, baik laki-laki maupun perempuan dengan mengadopsi prinsip-prinsip toleransi Islam dalam melindungi martabat manusia yang membuat Islam berlaku untuk setiap waktu dantempat.130 Pada tanggal 10 Oktober 2003, Raja secara resmi berencana memodernisasi hukum keluarga untuk membebasan kaum perempuan dari ketidakadilan, melindungi hak-hak anak, dan menjaga martabat pria, yang sesuai dengan prinsip dalam mazhab Maliki dan tradisi ijtihad.131 Sebagai Raja dari semua masyarakat Maroko ia tidak membuat undang-undang untuk segmen masyarakat atau partai tertentu. Sebaliknya,
129
Setelah Raja mengintervensi pembaruan hukum keluarga, terjadi serangan teroris di Casablanca 16 Mei2003. Fatima Harrak, “The History…h. 6. Setelah Raja mengintervensi pembaruan hukum keluarga, terjadi seranganteroris di Casablanca 16 Mei 2003. 130 Rachel Salia, “Reflections…h. 38. 131 Mounira M. Charrad, “Family Law Reforms in the Arab World: Tunisia and Morocco”, 7, Report for theUnited Nations Department of Economic and Social Affairs(UNDESA) Division for Social Policy andDevelopment Expert Group Meeting New York 15-17 May 2012,http://www.un.org/esa/socdev/family/does/egmiz/PAPER-CHARRAD.pdf
72
ia berusaha untuk mencerminkan kehendak umum bangsa, yang ia anggap sebagai keluarganya. Pidato kerajaan beliau disambut dengan gembira oleh semua pihak. hukum keluarga baru telah diratifikasi pada bulan Januari 2004 setelah diskusi panjang dan dengan beberapa perubahan. Raja Muhammad VI ingin membuktikan kepada masyarakat internasional bahwa Maroko adalah sebuah negara moderat, dengan menempatkan Maroko secara tepat dalam masyarakat internasional sebagai negara modern, negara dengan kombinasi tradisi dan modernitas, serta mengklaim bahwa hukum keluarga adalah hasil dari upaya yang terkoordinasi, dan mediasi pemerintah dan warga negara Maroko.132 Dari yang dibangun oleh Raja Muhammad VI adalah bertujuan agar masyarakat dapat dipersatukan oleh ideologi Islam moderat.
F. Ketentuan Baru dalam Hukum Keluarga Maroko Kehadiran hukum keluarga di Maroko 2004133 adalah suatu kemenangan hak-hak perempuan serta sebagai suatu langkah perubahan terhadap
relasi
kuasa
suami-isteri dalam
rumah
tangga
( power
relation between man and women within the household). Peran perempuan di ruang publik pasca-kolonialisme Prancis 1956 mengalami perubahan yang cukup signifikan sejak dari kemerdekaan sampai hari ini. Sebagai salah negara Arab-Muslim, tradisi patriarki, penafsiran tekstual yang ketat terhadap al132
Gobal, “Moroccan…h. 36-37. Tahun 2011, Negara berpenduduk 99% Muslim ini memiliki jumlah penduduk 32.3 juta jiwa. Lihat,Alexis Arieff,”Morocco: Current Issues”,1, CRS Report for Congress, 20 Juni 2012,www.fas.org/spg/crs/row/RS21579.pdf diakses pada tanggal 07 juli 2014 133
73
Qur‟an pada masa kepemimpinan Raja Muhammad V134 turut berkontribusi terhadap subordinasi kaum perempuan Maroko. Hasilnya, pasca-kemerdekaan, kaum perempuan memiliki keterbatasan dalam memperoleh hak-hak mereka. Bangkitnya kelompok feminis di Maroko, membuat kaum perempuan semakin mengalami penindasan dengan kebijakan pemberlakuan Hukum Keluarga 1957 (the Family Code).135 Salah satu contoh bagaimana kaum perempuan mengalami subordinasi adalah tentang kewajiban seorang isteri untuk mematuhi suaminya (the obligatory female obedience). Alasan tersebut berdasarkan atas penafsiran alQur‟an 4: 34, bahwa suami menafkahi isterinya. Dalam masalah talak, suami berhak secara mutlak menceraikan isterinya, namun hak itu tidak diberikan kepada isteri untuk menceraikan suaminya. Karena ada perintah terhadap perempuan dalam al-Qur‟an untuk mematuhi suaminya, maka penafsiran harfiah terhadap ayat ini sekali lagi melegitimasi subordinasi perempuan dalam Islam.136
134
Tahun 1957, Raja Muhammad V membentuk sebuah komisi beranggotakan seluruhnya laki-laki (an all-male commission) untuk merancang kitab undang-undang perkawinan –selanjutnya disebut Mudawwanah al-Ahwal al-Shakhsiyah –yang diberlakukan pada tahun 1958. Lihat, Fatima Sadiqi & Moha Ennaji, “The Feminization of Public Space: Women‟s Activism, the Family Law, and Social Change in Morocco”, dalam Journal of Middle East Women’s Studies, 2006, h. 100. 135 Fatima Sadiqi, “The Impact of Islamization of Moroccan Feminism”, dalam Journal of Women inCulture & Society, 2006, h. 32-40. 136 Nada Tahiri, “The Rise and Success of Faminism in Morocco”, 23,spain.slu.edu/academics/degress_&_programs/divisions/docs/TheRiseAndSuccessOfFeminismIn Morocco.pdf
74
Undang-undang tersebut memposisikan perempuan inferior di hadapan laki-laki.137 Sebagai contoh, dalam Mudawwanah disebutkan bahwa suami adalah kepala keluarga138
dan oleh karena itu isteri harus mematuhi
keputusan-keputusan yang dibuat oleh suami.139 Budaya patriarki menciptakan dikotomi antara laki-laki dan perempuan baik di ruang publik maupun di ruang privat.140 Pemisahan itu berpengaruh pada ketidaksejajaran antara lakilaki dan perempuan. Diruang publik misalnya, kaum perempuan sulit memperoleh kesempatan bekerja dan belajar daripada laki-laki. Ironisnya lagi, di ruang privat, perempuan juga mengalami pembatasan- pembatasan, di dalam rumah, di mana seharusnya ia bisa lebih bebas daripada saat sedang berada di luar rumah.141 Mereka secara hukum harus patuh terhadap suami dan ayah, mengasuh anak, menghormati keluarga dari pihak suaminya, dan 137
Aixela Yolanda Cabre, “The Mudawwana and Koranic Law from a Gender Perspective: The SubstantialChanges in the Moroccan Family Code of 2004”, Language & Intercultural Communication, 2007, h. 136. 138 “Marriage is a legal bond of a lasting nature uniting the spouses with a view to safeguarding their chastity and increasing the numerical strength of the nation by the creation of a family, under the husband‟ssupervision, on a firm basis guaranteeing to the spouses discharge of family liabilities in security, love and mutualrespect.” Teks ini diterjemahkan oleh Tahir Mahmood dari teks resmi berbahasa Prancis. Lihat, Text of the Moroccan Code of Personal Status Buku I Pasal 1 tentang perkawinan, dalam Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries (History, Text and Comparative Analysis) , (New Delhi: Academy of Law and Religion, 1987),120. Lihat juga teks Arab Mudawwanah setelah diratifikasi 1993 “Al-zawaj mitsaqu tarabuthin wa tamasukinsyar‟iyyin bayna rajulin wa imraatin „ala wajh al-baqa‟i ghayatuhu al-ihshanu wa al„afafu ma‟a taktsiri sawadi al-al-ummati bi insya‟i usratin tahta ri‟ayati al-zawj „ala ususin mustaqirratin takfulu li al-muta‟aqidaini tahmilua‟baahuma fi thimakninantin wa salamin wa dawamin wa ihtiramin.” Muhammad al-Kasybur, Qanun al-Ahwal al-Shakhsiyah ma’a Ta’dilat 1993, (Dar al-Baydha‟, 1993), 39. Bandingkan dengan Mudawwanah al-Usrah 2004, 1993“Alzawaj mitsaqu tarabuthin wa tamasukin syar‟iyyin bayna rajulin wa imraatin „ala wajh al-baqa‟i ghayatuhu al-ihshanu wa al-„afafu ma‟a taktsiri sawadi al-al-ummati bi insya‟i usratin bi ri‟ayati al-zawjaini thabaqan li ahkamihadzihi al-mudawwanah.” Lihat, Al-Jaridah al-Rasmiyyah No. 5184 bertanggal 5 Februari 2004 tentang Mudawwanah alUsrah, 5. http://www.ugtm.ma/siteugtm/pdf/codefamile_ar.pdf 139 Aixela Yolanda Cabre, h. 136. 140 Fatima Sadiqi & Moha Ennaji, “The Feminization of Public Space: Women‟s Activism, the Family Law,and Social Change in Morocco”, dalam Journal of Middle East Women‟s Studies, 2006, h. 88. 141 Fatima Sadiqi & Moha Ennaji, “The Feminization…h. 88.
75
dilarang
meninggalkan
perempuan
mengalami
rumah
tanpa
subordinasi
izinsuaminya. tidak
hanya
Konsekuensinya, melalui
budaya
patriarki, namun juga melalui hukum negara dan hukum Tuhan yang dipahami menurut perspektif kaum laki-laki.142 Laki-laki juga memiliki kuasa ganda, baik dalam urusan publik maupun urusan privat( power over both the public and privates spaces). Lakilaki secara hukum didukung olehundang-undang (Mudawwanah al-Ahwal alShakhsiyah 1957-1958) untuk melakukan poligamiatau menceraikan isterinya. Secara hukum, laki-laki diberikan hak mengontrol istrinya. Kuasaganda ini di bawah kendali dan kontrol kaum laki-laki.143 Dengan demikian, saat kaum perempuan mengalami
subordinasi
ganda dalam urusan publik
dan
privat, kaum laki-laki malah menikmati kuasa gandanya baik dalam urusan publik maupun urusan privat. Dalam konteks itu,gerakan feminis Maroko bangkit melakukan berbagai tekanan. Sebagai contoh, pada sekitar tahun 1950-an sebuah asosiasi perempuan yang menyebut nama mereka the Sisters of Purity membuat dokumen resmi menuntut hak-hak mereka sebagai perempuan, dan melarang praktek poligami.144 Hukum Keluarga yang bermuatan produk hukum baru dalam masalah keluarga memiliki inspirasi yang egaliter, berangkat dari pembacaan kembali teks-teks suci untuk melihat realitas dan kebutuhan terkini masyarakat, sejalan
142
Aixela Yolanda Cabre, h. 139. Fatima Sadiqi & Moha Ennaji, “The Feminization…h. 5. 144 Fatima Sadiqi & Moha Ennaji, “The Feminization…h. 96. 143
76
dengan nilai-nilai universal.145 Diantara perubahan dalam muatan Hukum Keluarga Maroko itu yang paling penting adalah: (1) Kesejajaran posisi suami dan istri dalam tanggung jawab keluarga,146 (2) Peningkatan usia perempuan yang akanmenikah, dari 15 menjadi 18 tahun,147 (3) Penghapusan perwalian dalam pernikahan dan menjamin otonomi perempuan,148 (4) Pensyaratan perlunya izin dari istri pertama untuk pernikahan poligami,149 (5) Pemberian hak kepada istri untuk meminta cerai,150 (6) Pensyaratanhak untuk properti untuk istri pasca- perceraian,151 (7) Pemberian kebebasan kepada anak untuk memilih (ayah atau ibu) yang akan memiliki hak asuh terhadap dirinya,152 (8) Pemberian jaminantempat tinggal bagi anak-anak dalam kasus perceraian orang tua.153
G. Perempuan tidak Membutuhkan Izin Wali untuk Menikah Sebagian besar ulama fikih berpendapat bahwa seorang perempuan tidak boleh menikahkan dirinya sendiri atau orang lain. Jika dia menikah tanpa
145
Nilai-nilai universal yang dimaksudkan disini adalah sebagaimana yang terdapat dalam konvensi theCommittee on the Elimination of Discrimination against Women (CEDAW Komite Penghapusan Diskriminasiterhadap Perempuan). Lihat Aicha El Hajjami, “Gender…105 dan Musawah, Cedaw and Muslim Family Laws: InSearch of Common Ground (Malaysia: Sisters in Islam Forum, 2011), tentang beberapa hal seperti: (1) Equality of spouses, (2) Women‟s capacity for marriage, (3) Divorce, dll, h. 45-55. 146 Al-Jaridah al-Rasmiyah 2004, “Mudawwanat al-Usrah”, pasal 4, http://www.ugtm.ma/siteugtm/pdf/codefamile_ar.pdf . diakses pada tanggal 07 Juli 2014. Seluruh pasal-pasal tersebut sudah melalui proses penandatangan, ratifikasi, pengujian dalam masalah relasi perkawinan. Lihat, Musawah, Cedaw and Muslim Family Laws: In Search of Common Ground (Malaysia: Sisters in Islam Forum, 2011), h. 56. 147 Al-Magrib Mudawwanah al-‘Usrah 2004, pasal 19. 148 Ibid, pasal 24. 149 Ibid, pasal 46. 150 Ibid, pasal 78. 151 Ibid, pasal 102. 152 Ibid, pasal 166. 153 Ibid, pasal 171.
77
wali, maka pernikahannya batal atau tidak sah. Adapun argumentasi yang dikemukakan oleh ulama fikih tersebut, menurut Sayyid Sabiq154, adalah: 1. al-Qur‟an al-Nur (24): 32; dan Q.S. Al-Baqarah (2): 22. Menurut mereka khitab dalam dua ayat tersebut ditujukan kepada laki-laki, bukan perempuan. 2. Hadis Nabi riwayat Abu Musa yang berbunyi “La nikaha illa bi Waliyyin” dan hadis Nabi riwayat Aisyah yang berbunyi ”Ayyuma imraatin nakahat bighairi izdni waliyyiha fanikahuha batil...”. 3. Latar belakang turunnya Q.S. Al-Baqarah (2): 232. Berdasarkan riwayat Bukhari dari Hasan diceritakan bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan kasus Ma‟qil Ibn Yasar yang menikahkan saudara perempuannya dengan
seorang
laki-laki,
tetapi
kemudian
laki-laki
tersebut
menceraikannya. Setelah masa „iddahnya habis, laki-laki itu datang kembali untuk meminangnya. Namun Ma‟qil melarang laki-laki tersebutuntuk bersama kembali dengan saudara perempuannya untuk selamanya. Kemudian Allah menurunkan ayat tersebut. 4. Perkawinan itu mempunyai beberapa tujuan, sedangkan perempuan biasanya tunduk kepada perasaannya, karena itu ia tidak pandai memilih, sehingga tidak dapat mencapai tujuan perkawinan. Oleh sebab itu ia tidak boleh melakukan akad nikah secara langsung. Akad nikah harus dilakukan oleh walinya supaya tujuan perkawinan dapat tercapai secara sempurna.
154
127.
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid II (Beirut : Dar al-Kitab al-Arabi, 1977), h. 125-
78
Akan tetapi, berbeda dengan pendapat mayoritas ulama fikih tersebut, Imam Abu Hanifah dan muridnya Abu Yusuf berpendapat bahwa perempuan dewasa yang berakal sehat memiliki hak melaksanakan akad nikah langsung tanpa wali, baik gadis maupun janda, baik menikah dengan laki-laki yang sekufu atau tidak.155 Adapun argumentasi yang diajukan oleh Abu Hanifah dan Abu Yusuf adalah: 1. Q.S. Al- Baqarah (2): 230; 232; dan 234. Dalam ketiga ayat tersebut, akad dinisbahkan kepada perempuan, hal ini menunjukkan bahwa perempuan memiliki hak melakukan pernikahan secara langsung (tanpa wali). 2. Perempuan bebas melakukan akad jual-beli dan akad-akad lainnya, karena itu ia bebas melakukan akad nikahnya. Karena tidak ada perbedaan hukum antara akad nikah dengan akad-akad lainnya. 3. Hadis-hadis yang mengaitkan sahnya perkawinan dengan izin wali bersifat khusus, yaitu ketika sang perempuan yang akan menikahkan dirinya itu tidak memenuhi syarat untuk bertindak sendiri, misalnya karena masih belum dewasa atau tidak memiliki akal sehat.156 Meskipun terdapat pendapat yang membolehkan perempuan dewasa dan memiliki akal sehat untuk melakukan pernikahan sendiri, namun pendapat ini bukanlah pendapat yang diterima dan berlaku secara umum di dunia muslim. Bahwa wali merupakan salah satu rukun perkawinan, dan tanpa wali perkawinan tidak sah.
155 156
Al-Sarkhasi, al-Mabsuth, Jilid. V (Beirut: Dar al-Ma‟rufah, 1409/1989), h. 10. Ibid, h. 11-12.
79
Berbeda halnya dengan peraturan wali nikah di Maroko yang memberikan seorang perempuan tidak membutuhkan izin wali untuk menikah. Hal ini telah menjadi ketentuan dalam hukum keluarga di Maroko yang telah diperbarui. Padahal Maroko secara penganut mazhab bukan mazhab Hanafi, melainkan mazhab Maliki. Bentuk peraturan tersebut menjadi berbeda dengan mazhab Maliki. Bentuk peraturan hukum keluarga di Maroko dipengaruhi oleh negara yang secara politik telah lama mendominasinya yaitu Spanyol dan Prancis. Diantara pengaruh tersebut adalah adanya kodifikasi hukum keluarga yang dikenal dengan code of Personal Status atau Mudawwanah a-Aḥwāl alSyakhṣīyah yang terjadi pada tahun 1957-1958. Terakhir hukum keluarga di Maroko ditetapkan pada tanggal 3 Februari 2004 yang disebut Mudawwanah a-Aḥwāl al-Syakhṣīyah al-Jadīdah fī al-Maghrib atau Mudawwanah al‘Usrah. Undang-Undang ini berisi 400 Pasal, terdapat tambahan 100 pasal dari undang-undang yang ditetapkan pada tahun 1957. Wali nikah dalam hukum keluarga di Maroko tahun 2004 terdapat dalam beberapa pasal. Pasal 13 menyebutkan bahwa dalam perkawinan harus terpenuhi : kebolehannya seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk menikah, tidak ada kesepakatan untuk menggugurkan mahar, adanya wali ketika ditetapkan, adanya saksi yang adil serta tidak adanya halangan untuk menikah.157 Pembahasan wali juga terdapat pada Pasal 17 yang mengharuskan adanya surat kuasa bagi pernikahan yang mempergunakan wali sedangkan
157
Al-Magrib Mudawwanah al-‘Usrah, pasal 13.
80
Pasal 18, seorang wali tidak dapat menikah terhadap seorang perempuan yang menjadi walinya.158 Penjelasan kedudukan wali dalam pernikahan disebutkan pada Pasal 24. Perwalian dalam pernikahan menjadi hak perempuan (bukan orang tuanya, kakeknya dst). Seorang perempuan yang sudah mengerti dapat menikahkan dirinya kepada lelaki lain atau ia menyerahkan kepada walinya (Pasal 25).159 Ketentuan ini telah menghapus kedudukan wali dalam pernikahan, karena akad nikah berada pada kekuasaan mempelai perempuan, kalaupun yang menikahkan adalah walinya, secara hukum harus ditegaskan adanya penyerahan perwalian tersebut kepada orang tuanya (walinya). Ketentuan ini juga menghapuskan kedudukan wali adlol, karena pada dasarnya wali adlol muncul karena adanya hak wali bagi orang tua terhadap anak perempuannya. Di samping itu mengurangi kekerasan terhadap anak perempuan yang dieksploitasi untuk kepentingan orang tua yang kadang menyengsarakan dengan nikah paksa yang tidak sesuai dengan tujuan pernikahan membina rumah tangga yang sakinah, mawaddah wa rahmah.
158 159
Ibid, pasal 17, 18. Ibid, pasal 24, 25.