BAB IV ANALISIS PEREMPUAN TIDAK MEMBUTUHKAN IZIN WALI UNTUK MENIKAH DALAM PEMBARUAN HUKUM KELUARGA DI MAROKO
A. Pembaruan Hukum Keluarga di Maroko Salah satu fenomena yang muncul di dunia muslim sejak awal abad ke-20 adalah adanya semangat untuk mereformasi hukum keluarga di negaranegara yang berpenduduk mayoritas muslim.160 Dilihat dari segi bentuk pembaruannya,
negara-negara
muslim
menjadi
3
(tiga),
yaitu
pertama, umumnya (mayoritas) negara melakukan pembaruan dalam bentuk undang-undang. Kedua, ada negara yang usaha pembaruannya lahir dalam
160
Gagasan ini mengarah legislasi nasional (mengundang-undangkan menjadi hukum keluarga) yang pada awalnya sungguh tidaklah mulus. Tidak semua umat Islam di berbagai Negara Islam bergembira atas inisiatif ini. Mereka merasa lebih nyaman dengan mengamalkan apa yang sudah ada dalam kitab-kitab fikih. Unifikasi, kodifikasi atau legislasi hukum Islam akan menimbulkan kematian proses kreatif para ahli hukum (Fuqaha‟) dan hilangnya peran-peran lembaga keagamaan. Mereka mengutip kembali pernyataan Imam Malik bin Anas, pendiri mazhab Maliki, penulis hadis-hadis Nabi dalam al-Muwaṭṭa‟. Ketika ia diminta pandangannya oleh Khalifah Abbas, Abu Ja‟far al Manṣur, atas usul Abdullah bin al Muqaffā‟, agar karangannya alMuwaṭṭa itu, dijadikan sumber resmi dalam sistem hukum Kekhilafahan Islam, ia menolak. Imam Malik (w. 197 H/ 795 M), mengatakan: “Inna li kulli qaumin salafan wa „aimmah” (Setiap komunitas punya anutan dan pemimpin agama masing-masing). Khalifah penggantinya yang sangat terkenal Harun al Rasyid juga mendesak izin beliau, tetapi sang Imam tetap pada pendiriannya. Imam besar ini menolak karena menurutnya, di luar pendapatnya, ada pendapat lain yang dipraktekkan dalam masyarakat berdasarkan mazhab lain, dan ini harus dihormati. Para ulama sejak awal bersikap toleran terhadap pendapat lain yang berbeda. Dengan begitu masyarakat juga bisa melaksanakan hukum-hukum agama sesuai dengan tradisinya masing-masing. Para ulama sepakat bahwa perbedaan pendapat di kalangan ulama adalah rahmah(Ikhtilaf al „Aimmah Rahmah li al-Ummah). Akan tetapi sebagian justru merasa bangga, karena dengan begitu hukum Islam dapat dilaksanakan oleh semua orang dalam negaranya masing-masing. Penegakan hukum Islam, menurut pandangan ini adalah keharusan agama. Dan sejumlah ayat al-Qur‟an disebut, antara lain: “Wa man lam yaḥkum bi mā anzala Allah fa ulaaika hum al kāfirūn”. Barangsiapa yang tidak menegakkan hukum-hukum Allah, mereka adalah orang-orang kafir). Pada sisi lain positivisasi ini akan menyatukan pandangan umat dan umat tidak lagi terus menerus dalam konflik. Lihat Husein Muhammad, Hukum Keluarga Muslim, http://www.rahima.or.id, diakses tanggal 24 Mei 2014.
81
82
bentuk ketetapan-ketetapan hakim (manṣūrat al-Qāḍi al-Quḍā‟), seperti yang dilakukan Sudan. Dan Ketiga, ada beberapa negara yang melakukan pembaruan dengan berdasar pada dekrit presiden atau raja, seperti: Yaman Selatan, Syria, dan Maroko.161 Meski demikian, sejak tahun1911 telah terjadi reformasi dan kodifikasi hukum keluarga pada 22 negara Islam. pembaruan itu merupakan konsekuensi dari situasi politik yang berkembang di negara masing-masing. Tahap pertama pembaruan terjadi tahun 1911-1950, ketika angin kodifikasi dan pembaruan hukum melanda dunia sejak pertengahan abad ke-19. Namun kodifikasi hukum keluarga harus menunggu lebih lama. Faktor masyarakat yang sangat sensitif membuat para reformis harus bertindak sangat hati-hati. Sampai akhir pertengahan abad ke-20, kodifikasi dan pembaruan dalam hukum keluarga bisa dilakukan secara bertahap. Tahap
kedua,
terjadi
tahun
1951-1970,
sebagai
konsekuensi
berakhirnya perang dunia II dan kemerdekaan yang diperoleh sejumlah negara, baik di Afrika maupun Asia, termasuk negara-negara Islam baru yang lahir dari perpecahan sub kawasan India pada tahun 1947. Setelah menghirup udara bebas nasionalisme, kedaulatan dan kemerdekaan, mereka harus membongkar sistem hukum dan peradilannya untuk mengumumkan kostitusinya yang baru. Sebagai bagian proses nasionalisasi hukum dan yurisprudensi, kodifikasi dan pembaruan, peraturan dan statut baru dari hukum
161
Khoiruddin Nasution, Hukum Keluarga (Perdata) Islam Indonesia, cet. ke-1 (Yogyakarta: TAZZAFA dan ACCAMEDIA, 2007), h. 43.
83
keluarga juga mendesak dibahas dibeberapa negara Islam di Afrika Utara (Maroko), Barat, Selatan dan negara-negaradi Asia Tenggara. Tahap ketiga, dari pembaruan dan kodifikasi hukum keluarga terjadi dalam kurun waktu 16 tahun, antara tahun 1971-1986. Situasi antara negara satu dan negara lainnya sangat berbeda tergantung perkembangan masyarakat masing-masing. Ada negara-negara yang progresif, namun pada saat bersamaan juga muncul gerakan-gerakan merestorasi dan melindungi lembaga tradisional syari‟ah. Situasi mengenai segala peraturan dan perundangan berkaitan dengan hukum keluarga berbeda-beda disetiap negara. Konstitusi Nasional Aljazair, Brunei, Mesir, Iran, Irak, Jordania, Kuwait, Malaysia, Maroko, Pakistan, Somalia, Suriah, Tunisia, dan dua Yaman (Utara dan Selatan) mendeklarasikan Islam berdasarkan Islam sebagai agama negara. Syariah, hukum berdasarkan Islam secara spesifik menjadi dasar hukum utama atau sumber dasar dari berbagai hukum dan perundangan di Aljazair, Mesir, Kuwait, Yaman Utara dan Suriah, sementara hukum dasar dalam pembuatan hukum dan pelaksanaan pengadilan di Iran, Libya, Pakistan, dan Sudan mengikuti Syari‟ah.162 Dengan demikian, kodifikasi, pembaruan, atau regulasi secara hukum dari hukum-hukum keluarga yang dilakukan di negara-negara itu tidak dapat dilakukan secara “non-Islami” atau tidak sejalan dengan Syari‟ah sebagai dasar dari semua perundangan. Hanya Maroko, Turki dan Tunisia yang melakukan reformasi dan kodifikasi hukum keluarga secara radikal dalam 162
Waryani Fajar Riyanto, Sistem Kewarisan Islam : Klasik, Modern, dan Postmodern (Perspektif Filsafat Sistem), h. 356.
84
aspek-aspek tertentu, seperti peraturan dalam pernikahan dan kemudian juga menyangkut peraturan dan hukum mengenai wali nikah. Di negara-negara itu, meskipun Islam merupakan agama negara, namun tidak ada mandat konstitusional untuk menganut hukum syariah. Di Maroko, hukum keluarga saat ini merupakan bagian yang penting sehingga hukumnya berdasarkan perspektif sosial. Tujuan dari diadakannya kodifikasi atau legsilasi hukum keluarga oleh pemerintah adalah untuk mengatur hubungan sesama manusia dalam suatu masyarakat. Dengan demikian, diharapkan kehidupan masyarakat akan menjadi lebih baik, aman, tertib, dan penuh keharmonisan. Hal ini dapat terwujud, karena undang-undang itu bersifat mengatur, memaksa, dan mengikat bagi rakyat sehingga lahirnya sebuah undang-undang akan menimbulkan kepastian hukum.163 Reformasi hukum keluarga di Maroko164 adalah salah satunya yang membangun argumentasi
yang didasarkan
pada tradisi
agama
dan
kemasyarakatan Maroko sendiri, sehingga masyarakat dapat diyakinkan bahwa reformasi ini adalah dari dan untuk mereka sendiri. Perspektif sosial merupakan argumen
yang utama. Perubahan sosial saat ini telah
memungkinkan banyak perempuan terlibat dalam mengurus negara dengan menjadi anggota legislatif dan menjalankan tugas negara. Secara teologis pun ternyata banyak ditemukan tradisi pemikiran Islam di berbagai bidang yang 163
Mardani, Hukum Pernikahan Islam di Dunia Islam Modern (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011), h. 96. 164 Reformasi yang dilakukan pada bulan Februari 2004 yang mengakomodir kesetaraan laki-laki dan perempuan. Undang-undang ini merupakan revisi atas Hukum Keluarga yang telah berlaku selama setengah abad.
85
dapat dijadikan argumentasi untuk mendukung perubahan Hukum Keluarga ini. Tafsir agama yang bias itu berada dalam wilayah politik karena apapun akan selalu tergantung pada penafsiran dan penafsiran tergantung pada kekuasaan, terutama penafsiran Syariah atas persoalan masyarakat yang ada.165 Pertengahan tahun 1980-an, kelompok perempuan di Maroko sudah mewacanakan isu modernisasi dalam bidang politik. Pasca kemerdekaan 1956, sekelompok feminis progresif Maroko seperti Uni de l „Action Feminine (UAF, Kesatuan Aksi Perempuan) menuntut agar Hukum Keluarga digiring kepada hukum keluarga sekuler yang digali dari tradisi, dan nilai-nilai positifegaliter dari masyarakat Maroko. Jadi, pembaruan Mudawwanah
adalah
perjalanan panjang yang cukup penting menuju sekulerisasi Hukum Keluarga di Maroko.166 Namun masih berupa rancangan hingga implementasinya di lapangan, Hukum Keluarga 2004 sarat dengan kontroversi di kalangan masyarakat sendiri.167 Pada awalnya banyak mendapat tantangan dari kalangan
165
http://alimatindonesia.blogspot.com/2010/04/perjuangan-hukum-keluarga-yang-setara. html. Diakses tanggal 23 Mei 2014. Kebijakan ini merupakan sama dengan tesisnya Moh. Mahfudh MD yang menyatakan bahwa kebijakan hukum tergantung kebijakan dari penguasa. Artinya reformasi hukum yang terjadi di Maroko merupakan kehendak penguasa (raja) untuk reformasi hukum. 166 Moha. Ennaji, “The New Muslim Personal Law Status in Morocco”. http://www.yale.edu /macmilan/africadissent/moha/pdf Global Non-violent Action Database 2012. “Moroccan. Diakses tanggal 24 Mei2014. 167 Rencana pembaruan hukum keluarga di Maroko pada awalnyanya diluncurkan pada tahun 1997 oleh Perdana Menteri Maroko Abderrahman Youssoufi yang juga merupakan pimpinan Partai sayap kiri USFP. Proyek rencana pembaruan tersebut dinamai Plan of Action for the Integration of Women in Development (PAIWD) atau Rencana Aksi untuk Integrasi Perempuan dalam Pembangunan. Youssoufi memberikan tanggung jawab kepada Said Sa‟adi(Menteri Sosial dan Perlindungan Keluarga dan Anak dari partai sosialis PPS Parti et du Progres Socialisme) untuk menulis Rencana Aksi tersebut bersama-sama dengan panitia teknis ad hoc yang terdiri dari perwakilan pemerintah, perwakilan parpol, serikat pekerja dan LSM
86
Islamis,168
sementara
di
kalangan
memperjuangkan pelaksanaannya. Tarik
feminis
mendukung
hingga
ulur atau kontestasi mengenai
beberapa konsep yang ada pada Hukum Keluarga ini pun seperti tiada hentinya. Negara, dan masyarakat memiliki interpretasi dengan argumen yang berbeda dengan beberapa konsep tentang pembaruan Hukum Keluarga. Masing-masing mengklaim bahwa merekalah yang secara intelektual dan aktif berada di belakang wacana pembaruan dan authorship Hukum Keluarga di Maroko.169 Kelompok yang pro pembaruan hukum keluarga Maroko tergabung dalam aliansi gerakan modernis, organisasi perempuan, organisasi hak asasi manusia, dan partai politik sayap kiri yang sangat skeptis terhadap kemampuan kelompok Islamis untuk mengikuti perkembangan masyarakat di
yang didasarkan pada Beizing Plarform for Action dan deklarasi PBB lainnya yang selanjutnya dipresentasikan ke pemerintah 19 Maret 1999. Rencana Aksi tersebut memprioritaskan empat hal; (1) Pengembangan Pendidikan, (2) Peningkatan Kesehatan kaum Perempuan, (3) Integrasi Perempuan dalam Pembangunan Ekonomi, (4) Penguatan Status Perempuan dalam bidang hukum, politik dan ruang publik. Poin keempat ini terkait langsung dengan aturan hukum keluarga menyangkut status perempuan, termasuk juga pemberian sanksi terhadap tindakan KDRT terhadap perempuan, pemberi status Kewarnageraan Maroko bagi anak yang lahir dari ibu warganegara Maroko dan ayah dari warganegara lain. Menurut perencananya, PAIWD ini dilakukan karena pembaruan Mudawwanah 1993 belum cukup memuaskan. Perubahan paling penting yang diusulkan dalam PAIWD ini terkait dengan masalah pernikahan dan perceraian seperti; (1) usia minimal dalam pernikahan dari 15 tahun menjadi 18 tahun bagi calon pengantin pria dan wanita, (2) talak yang dijatuhkan harus dilakukan di depan pengadilan, (3) ibu memperoleh hak asuhnya sampai usia anak laki-laki dan perempuannya mencapai 15 tahun, (4) istri harus diberikan setengah dari harta pasca perceraian karena keikutsertaannya dalam pengurusan rumah tangga, (5) pengadilan khusus keluarga harus dibentuk dengan mengangkat hakim yang terlatihdalam hukum keluarga. Lihat Katja Zvan, “The Politics of Reform of the New Family Law (The Moudawana)” dalam Tesis dalam Kajian Timur Tengah (England: Universitas Oxford 2007), h. 70-73 168 Abdelkader M. Daghri (Menteri Wakaf dan Urusan Agama Islam) beserta ulama tradisional Maroko juga menolak PAIDW ini karena sarat dengan kepentingan Barat dan bantuan asing di Maroko. Lihat Katja Zvan, “ThePolitics…, 74 169 Rachel Salia, “Reflections on a Reform: Inside the Moroccan Family Code”, 16,Senior Thesis, h. 74.
87
Maroko, dan bercita-cita melakukan modernisasi di segala bidang, terutama untuk menjamin kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.170 Menurut mereka, keselamatan hak-hak perempuan hanya dapat dicapai melalui modernisasi dengan cara membersihkan Hukum Keluarga dari pengaruh agama, dan menghapuskan semua aturan hukum nasional yang bertentangan dengan hak asasi manusia, sebagaimana yang ditetapkan dalam perjanjian HAM dan konvensi internasional. Mereka menolak klaim bahwa ulama memiliki hak eksklusif dalam menginterpretasi Islam171 Kelompok kontra pembaruan hukum keluarga tergabung dalam aliansi gerakan Islam dan ulama tradisional yang menolak gagasan universalitas hak asasi manusia sebagaimana tercantum dalam perjanjian dan konvensi internasional, atas nama keaslian budaya (cultural authenticity) dan identitas agama (religious identity). Mereka menganggap HAM universal tidak sesuai dengan nilai-nilai fundamental Islam, baik itu dari segi landasan, metode atau tujuannya. Mereka menolak tuntutan kelompok feminis karena dianggap bertentangan dengan syariah, dan melanggar prosedur dalam merumuskan hukum keluarga, yang tidak melibatkan ulama, satu-satunya elit masyarakat yang berwenang untuk itu. Perbedaan pendapat seputar kerangka acuan (the frame of reference) inilah yang pada akhirnya menciptakan benturan ideologi (the ideological clash) antara kelompok Islamis dan feminis di Maroko. 170
Global Non-violent Action Database 2012, “Moroccan Feminist Groups Campaign to ReformMoudawana (Personal Status Code/Islamic Family Law), 1992-2004, 1 http://nvdatabase.swarthmore.edu/ content/moroccan-feminist-groups-campaign-reformmoudawana-personal-status-codeislamic-family-law-19, h. 4 171 Fatima Harrak, “The History and Significance of the New Moroccan Family Law”,Working Paper , No.09-002 March 2009 (Northwestern: Northwestern University, The Roberta Buffett Center for International and Comparative Studies, 2009), h. 5
88
Mereka menuduh Raja tunduk pada tekanan Eropa dan Amerika Serikat. Nadia Yassin, juru bicara perempuan dari kelompok al-„adl wa al-ihsān menyebut bahwa reformasi ini hanya akan memuaskan keinginan pihak asing dan
gerakan
dalam kehidupan
feminis,
tetapi
tidak
menghasilkan perubahan
kaum wanita Maroko.172
Mereka mengklaim
nyata bahwa
kelompok feminis liberal/sekuler sebagai bentukan Barat yang tidak mempertimbangkan dimensi identitas Islam di Maroko.173 Walaupun feminis Maroko sering menyamakan kelompok ini dengan kelompok tradisionalis, anti-pembaruan, namun, kenyatannya kelompok ini selalu mendengungkan slogan kembali kepada syariah dalam semua aspek kehidupan masyarakat. Hal ini menempatkan mereka secara langsung berhadapan dengan kelompok feminis dalam persaingan untuk memperoleh dukungan masyarakat dan pemerintah. Kelompok ini secara teknis dilarang. Mereka menggunakan klaim identitas keagamaan dan nasional (religious and national identity), yang menempatkan kelompok feminis sebagai orang luar (the outsiders).174 Mereka tidak anti integrasi perempuan dalam pembangunan, namun menolak westernisasi dan ketundukan pada Barat.175 Ketika Raja Muhammad VI mewarisi kepemimpinan ayahnya Raja Hassan II pada bulanJuli 1999, ada harapan besar dari masyarakat bahwa era baru reformasi akan segera dimulai diMaroko. Raja Muhammad VI yang diyakini lebih tertarik pada reformasi politik dan sosial, menyatakan
172
Moha. Ennaji, “The New Muslim Personal Law Status in Morocco”, h. 6. Fatima Harrak, “The History and Significance of the New Moroccan Family Law”, h. 25. 174 Rachel Salia, “Reflections on a Reform: Inside the Moroccan Family Code”, h. 34. 175 Rachel Salia, “Reflections on a Reform: Inside the Moroccan Family Code”, h. 26. 173
89
dukungannya terhadap penegakan hak asasi manusia dan keyakinannya bahwa melindungi hak-hak ini adalah sejalan dengan Islam. Enam bulan kepemimpinannya, Muhammad VI direpotkan dengan demonstrasi yang menuntut atau menolak penegakan hak-hak perempuan di Casablanca dan Rabat. Dalam menghadapi konfrontasi terbuka antara kelompok liberal dan konservatif tersebut, Raja memainkan peran tradisionalnya sebagai arbitrator dan mediator. Setahun kemudian, tepatnya pada tanggal 5 Maret 2001, Raja Muhammad VI bertemu dengan perwakilan perempuan dari partai-partai politik dan organisasi hak asasi manusia mengumumkan pembentukan sebuah komisi kerajaan yang bertugas mempersiapkan pembaruan hukum keluarga. Komisi ini dipimpin oleh seorang Hakim Agung, yang terdiri dari elit masyarakat, pria dan wanita, ulama, partai politik, intelektual tradisional dan liberal, kelompok independen, aktivis hak asasi manusia dan LSM perempuan.176 Hadirnya hukum keluarga diklaim untuk mewujudkan keinginan yang sama semua orang di Maroko, baik laki-laki maupun perempuan dengan mengadopsi prinsip-prinsip toleransi Islam dalam melindungi martabat manusia yang membuat Islam berlaku untuk setiap waktu dan tempat.177 Pada tanggal 10 Oktober 2003, Raja secara resmi berencana memodernisasi hukum keluarga untuk membebasan kaum perempuan dari
176 177
Fatima Harrak, “The History and Significance of the New Moroccan Family Law”, h. 6. Rachel Salia, “Reflections on a Reform: Inside the Moroccan Family Code”, h. 38.
90
ketidakadilan, melindungi hak-hak anak, dan menjaga martabat pria, yang sesuai dengan prinsip dalam mazhab Maliki dan tradisi ijtihad.178 Sebagai Raja dari semua masyarakat Maroko ia tidak membuat undang-undang untuk segmen masyarakat atau partai tertentu. Sebaliknya, ia berusaha untuk mencerminkan kehendak umum Bangsa, yang ia anggap sebagai keluarganya. Pidato kerajaan beliau disambut dengan gembira oleh semua pihak. Hukum Keluarga baru telah diratifikasi pada bulan Januari 2004 setelah diskusi panjang dan dengan beberapa perubahan. Raja Muhammad VI ingin membuktikan kepada masyarakat internasional bahwa Maroko adalah sebuah negara moderat, dengan menempatkan Maroko secara tepat dalam masyarakat internasional sebagai negara modern, negara dengan kombinasi tradisi dan modernitas, serta mengklaim bahwa Hukum Keluarga adalah hasil dari upaya yang terkoordinasi, dan mediasi pemerintah dan warga Maroko.179 Strategi dalam reformasi hukum keluarga Maroko adalah (1) Melakukan kordinasi dengan aktifis-aktifis perempuan lintas sektoral, (2) Merumuskan Hukum Keluarga seperti apa yang ingin dicapai dan perubahanperubahan apa yang dikehendaki, (3) membangun argumentasi teologis maupun non-teologis yang kuat dari berbagai perspektif, (4) advokasi ke pengambil kebijakan. Tuntutan perubahan Hukum Keluarga dengan berbagai argumentasi tersebut dikemukakan kepada anggota DPR yang mempunyai 178
Mounira M. Charrad, “Family Law Reforms in the Arab World: Tunisia and Morocco”, 7, Report for theUnited Nations Department of Economic and Social Affairs (UNDESA) Division for Social Policy andDevelopment Expert Group Meeting New York 15-17 May 2012,http://www.un.org/esa/socdev/family/does/egmiz/PAPER-CHARRAD.pdf diakses tanggal 25 Mei 2014. 179 Global Non-violent Action Database 2012, “Moroccan Feminist Groups Campaign to ReformMoudawana (Personal Status Code/Islamic Family Law), 1992-2004, h. 36-37.
91
otoritas membuat UU, pemerintahan, dan partai, (5) pembentukan opini publik agar masyarakat memahami dan menyadari apa yang sedang diperjuangkan, baik melalui media, demontrasi di jalan-jalan dan memobilisasi massa dari berbagai elemen masyarakat dan kekuatan politik.180 Sehingga mendapat capaian yang terdapat reformasi undang-undang hukum keluarga Maroko yang baru. Dilihat dari hal tersebut di atas, reformasi hukum telah menuju ke arah demokrasi yang selama ini negara Maroko menganggap negara kerajaan yang sangat demokratis. Ini memang dibuktikan dengan adanya sistem multi partai yang ada di Maroko.181 Berdasarkan muatan UU tersebut di atas, tergambar bahwa hukum keluarga di Maroko yang awalnya hanya di ambil dari kitab 180
Ibid. Kalau dilihat strategi yang dibangun untuk mewujudkan undang-undang tersebut adalah dari bottom-up, yang mana materi-materi atau bahan-bahan pembuatan hukum diawali dari komunitas-komunitas yang berkepentingan terhadap undang-undang tersebut. Bukan usulan dari DPR selaku pembuat undang-undang atau pemerintah. Hal ini sebenarnya strategi dibangun sama yang dilakukan CLD KHI di Indonesia. 181 Terlepas dari strategi dibangun untuk melakukan pembaruan di Maroko yang telah berhasil untuk mewujudkan undang-undang hukum keluarga Maroko yang baru telah muncul perdebatan. Perdebatan memunculkan untuk alasan untuk merubah Madawwana. Alasan menolak karena pembaruan itu tidak sesuai dengan takdir Tuhan. Bahwa untuk menikah karena ia mendengar bahwa ia akan harus membagi hartanya dengan isterinya bila ia bercerai. Bagi laki-laki merasa telah kehilangan martabat mereka karena keluarga mereka sekarang menjadi tanggung jawab bersama. Dengan Pendapat yang begitu beragam ini dicerminkan dalam film produksi tahun 2008, Number One (Nomor Satu). Diberi judul demikian karena tokoh utamanya adalah seorang manajer laki-laki – atau "orang nomor satu" – dari sebuah pabrik pakaian yang dioperasikan oleh 50 pekerja perempuan. Moudawana merupakan tema yang sering muncul dalam film itu, yang menggambarkan diskusi-diskusi tentang kesetaraan gender di Maroko dari sudut pandang baru.Ribuan perempuan menonton film ini, termasuk perempuan-perempuan yang selama ini, karena tidak mampu atau tidak berkepentingan, belum pernah pergi ke bioskop. Mereka datang karena mendapat kabar bahwa film itu bercerita tentang mereka, tentang hidup keseharian mereka. Banyak perempuan yang merasa terwakili dengan situasi-situasi yang digambarkan dalam film itu. Mereka mengenali suami-suami mereka, saudara-sadara sepupu mereka, majikan-majikan mereka. Perspektif lelaki pun dihancurkan. Seorang laki-laki berkata kepada saya setelah menonton film itu: "Saya menyadari bahwa saya adalah seorang male chauvinist ketika saya melihat film tersebut." Yang lain berkata, "Saya ingin anak-anak perempuan saya menonton film ini agar mereka tidak pernah menerima apa yang mereka pikir merupakan takdir mereka." Lima tahun setelah Moudawana, Number One menggunakan humor dan hiburan untuk membuka diskusi dan menantang pandangan-pandangan tradisional tentang peran laki-laki dan perempuan dalam masyarakat Maroko. Hakima Fassi-Fihri dan Zakia Tahiri, “Perspektif: 5 tahun undang-undang keluarga Maroko”, http://www.commongroundnews, diakses tanggal 23 Mei 2014
92
fikih dan bermazhab Maliki telah terjadi pembaruan. Jika di cermati dari segi sifatnya, reformasi hukum privat yang dilakukan oleh pemerintahan Maroko masuk dalam kategori intra-doctrinal-reform, karena reformasi hukum keluarga Islam yang dilakukan dengan menggabungkan pendapat mazhab atau mengambil pendapat lain selain mazhab utama yang di anut. Karena ketentuan bagi perempuan dewasa tanpa wali nikah untuk menikah misalnya, merupakan ketentuan yang populer di kalangan mazhab Hanafi, walaupun ada ketentuan mazhab Maliki ada ketentuan membolehkan perempuan menikah tanpa wali nikah untuk perempuan bukan bangsawan. Namun hukum keluarga Maroko dianggap dalam kategori Extradoctrinal reform, karena pembaruan hukum dengan cara memberikan penafsiran yang sama sekali baru terhadap nash yang ada. Di samping itu adanya perspektif perubahan hukum dan sosial yang melingkupinya. Terkait dengan seorang perempuan tidak membutuh izin wali untuk menikah, hukum keluarga sebenarnya hanya supaya tidak terjadi penyelewengan terhadap posisi wali nikah. Bukan karena menghendaki meniadakan wali nikah atau wali nikah perempuan. Oleh karena itu, inti dari pembaruan hukum keluarga Maroko adalah reposisi wali nikah.182
182
Reposisi ini dimaksudkan karena pertimbangan kultural, kemajemukan masyarakat terutama perempuan serta pertimbangan fungsional yakni sebagai upaya antisipasi kalau pernikahan tersebut menemui masalah di kemudian hari, harus ditegaskan bahwa keberadaan wali tidak boleh mereduksi hak otonom pihak perempuan untuk menentukan pendapatnya terhadap pernikahan yang akan dijalaninya. Dalam hal ini, wali tidak memiliki kewenangan untuk memaksa seorang anak perempuan menikah dengan laki-laki yang tidak disukainya. Wali hanya diperkenankan memberikan saran dan masukan, terutama menyangkut calon suaminya, tetapi tidak boleh memaksakan pendapatnya. Keputusan akhir tetap diserahkan kepada si anak perempuan. Sedangkan menyangkut siapa-siapa yang berhak menjadi wali, mengingat tidak ada dalil qaṭ‟ī mengenai hal tersebut, hendaknya lebuh ditekankan pada pihak-pihak kerabat yang dianggap bisa menjalankan fungsi perwalian. Dalam hal ini, wali harus dimaknai sebagai sebuah fungsi,
93
Dilihat dari pembaruan hukum keluarga di Maroko menunjukan bahwa pembaruannya bukan hanya disebabkan oleh sistem politik yang dianut,183 melainkan juga oleh faktor perbedaan sejarah, sosiologi dan kultur masingmasing negara muslim tersebut. Di Maroko dengan pembaruan hukum keluarga sudah dianggap dalam tahap sempurna dalam tipe perubahan hukum yang diungkapkan Lawrence F. Friedmen. Tipe tersebut adalah bahwa perubahan hukum berawal dari luar sistem hukum dan melewati sistem hukum tersebut (dengan atau tanpa proses internal tertentu) kemudian sampai ke titik dampak di luar sistem hukum, yakni di masyarakat.184 Di mana pembaruan itu dilakukan berawal dari kegelisahan dari masyarakat yang menuntut perubahan hukum yang berdampak adanya perubahan sistem hukum, setelah perubahan tersebut juga diberlakukan atau berdampak perubahan masyarakat.
bukan sekedar symbol. Jadi harus diangkat dari kerabat dekat yang dinilai mampu melaksanakan fungsi tersebut. Untuk efektifnya, hendaknya dilakukan musyawarah keluarga khususnya dengan anak perempuan yang bersangkutan untuk memutuskan pihak yang akan diangkat menjadi wali dalam pernikahannya. Lihat Asni, Pembaruan Hukum Islam di Indonesia: Telaah Epistemologis Kedudukan Perempuan dalam Hukum Keluarga, 272. 183 Dimana pemerintah (raja) Maroko mengakomodir dari dua kelompok yang mempunyai ideologi yang berbeda dengan memiliki kepentingan yang berbeda pula. Dalam teori fungsi hukum dalam masyarakat bahwa kemajuan masyarakat dalam berbagai bidang membutuhkan aturan hukum untuk mengaturnya, sehingga sektor hukum ikut ditarik oleh perkembangan masyarakat tersebut, hukum lebih berfungsi untuk menjamin keamanan dalam masyarakat dan jaminan pencapaian struktur sosial yang diharapkan oleh masyarakat. Lihat Munir Fuady, Teori-teori Besar (Grand Theory) dalam Hukum, h. 245. Secara kemajuan dalam perkembangan masyarakat, Maroko dianggap telah berhasil melakukannya, buktinya negara dianggap reformasi hukum keluarga yang paling baru dan maju. namun faktor untuk menyamakan persepsi masih gagal karena jaminan keamanan dan pencapaian structural sosial yang diharapkan belum bisa diwujudkan. Artinya fungsi hukum dalam masyarakat yang mengarahkan perkembangan masyarakat untuk jaminan keamanan dan pencapaian struktur sosial yang diharapkan tidak selama benar. Sebagai bukti terjadi pembaruan hukum keluarga. Namun dari sisi perubahan sosial dan perubahan hukum teori tersebut dapat dibenarkan ketika tujuan tersebut tercapai. Konklusinya adalah perlu waktu yang lama. 184 Lawrence M. Friedman, The Legal System: A Social Science Perspective, terj. Alimandan, Sistem Hukum: Perspektif Ilmu Sosial, h. 253.
94
Kalau dibandingkan di Indonesia pembaruan hukum keluarga di Indonesia, keberhasilannya hanya masih sebatas melalui ketetapan-ketetapan hakim peradilan agama dan kebijakan-kebijakan pemerintah (siyasah syar‟iyah) demi menjaga stabilitas negara. Kalaupun ada di undang-undang hanya pelengkap saja. Artinya tipe perubahan hukumnya yang berawal dari luar sistem hukum, yakni dari masyarakat, tetapi mempengaruhi sistem hukum saja dan berakhir di sana seperti sebuah peluru yang ditembakkan dan sampai sasarannya.185
B. Kententuan Perempuan tidak Membutuhkan Izin Wali untuk Menikah Adanya
Hukum Keluarga
di Maroko 2004 merupakan upaya
peningkatan hak-hak perempuan serta sebagai suatu langkah perubahan terhadap relasi kuasa suami-istri dalam rumah tangga. Peran perempuan di ruang publik pasca-kolonialisme Prancis 1956 mengalami perubahan yang cukup signifikan sejak dari kemerdekaan sampai hari ini. Sebagai salah negara Arab-Muslim, tradisi patriarki dan penafsiran tekstual yang ketat terhadap alQur‟an
pada masa kepemimpinan Raja Muhammad V turut
berkontribusi
terhadap subordinasi kaum perempuan Maroko. Hasilnya, pasca-kemerdekaan, kaum perempuan memiliki keterbatasan dalam memperoleh hak-hak mereka. Bangkitnya kelompok feminis di Maroko, membuat kaum perempuan semakin mengalami penindasan dengan kebijakan pemberlakuan Hukum Keluarga 1957.
185
Ibid.
95
Hukum Keluarga yang bermuatan produk hukum baru dalam masalah keluarga memiliki inspirasi yang egaliter, berangkat dari pembacaan kembali teks-teks suci untuk melihat realitas dan kebutuhan terkini masyarakat, sejalan dengan nilai-nilai universal.186 Perubahan dalam muatan hukum keluarga di Maroko itu yang paling penting adalah penghapusan perwalian dalam pernikahan dan menjamin otonomi perempuan. Hukum keluarga (pernikahan) di Maroko pada ketentuan penghapusan perwalian dalam pernikahan dan menjamin otonomi perempuan yang ada dalam ketentuan pasal-pasalnya antara lain: (1) adanya wali nikah jika diperlukan (pasal 13 ayat 3, (2) mengharuskan adanya surat kuasa bagi pernikahan yang mempergunakan wali (pasal17), (3) seorang wali tidak dapat menikah terhadap seorang perempuan yang menjadi walinya (pasal 18), (4) perwalian dalam pernikahan menjadi hak perempuan (pasal 24), (5) seorang perempuan yang sudah mengerti dapat menikahkan dirinya kepada lelaki lain atau ia menyerahkan kepada walinya (pasal 25).187 Dari ketentuan tersebut disimpulkan adanya meniadakan wali nikah untuk memberi kebebasan perempuan menentukan pilihan sendiri dari intervensi
wali atau penyalahgunaan wali. Namun, wali nikah masih
dimungkinkan wali laki-laki dengan persyaratan adanya penunjukan melalui surat kuasa yang dianggap bisa memberikan kekuasaan bagi perempuan dan tidak diperbolehkan menikah dengan perempuan yang memberikan mandat sebagai wali nikah dalam pernikahan. Rinciannya adalah:
186
Musawah,Cedaw and Muslim Family Laws: InSearch of Common Ground (Malaysia: Sisters in Islam Forum, 2011), h. 45-55. 187 Mudawwanah al-Usrah, h. 13-16.
96
1. Adanya Wali jika Diperlukan188 Dalam menetapkan hukum dan ketentuan mengenai perwalian, Islam merujuk kepada firman Allah SWT mengenai pentingnya pemeliharaan terhadap harta, terutama pemeliharaan terhadap harta anak yatim yang telah ditinggalkan oleh orang tuannya. Dalam hal ini Allah berfirman: Artinya: ”Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu Makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar.189 Ayat ini menjadi suatu landasan dalam memelihara harta anak yatim yang telah ditinggalkan orang tuanya atau ahli warisnya. Dalam ayat tersebut secara jelas menyatakan mengenai pemeliharaan dan perlindungan terhadap harta sampai mereka telah cakap dalam pengelolaannya (dewasa). Artinya jika anak-anak yatim tersebut belum cakap hukum, maka pengelolaan harta tersebut harus dijaga dan dipelihara oleh walinya. Hal ini sebagaimana kemudian dijelaskan pada ayat berikutnya. Allah berfirman:
188 189
Mudawwanah al-Usrah, Pasal 13, h. 13. Q. S al-Nisa‟ 4: 2
97
Artinya: ”Dan ujilah190 anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), Maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. dan janganlah kamu Makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, Maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan Barangsiapa yang miskin, Maka bolehlah ia Makan harta itu menurut yang patut. kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, Maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu).191 Selain adanya perintah untuk menjaga anak yatim tersebut, baik dalam konteks penjagaan jiwa dan perkembangan mereka, juga penjagaan terhadap harta mereka. Allah sangat murka jika orang yang kemudian menjadi wali tidak dapat menjaga dan memelihara harta tersebut. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT: Artinya: ”Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyalanyala (neraka).”192
190
Yakni mengadakan penyelidikan terhadap mereka tentang keagamaan, usaha-usaha mereka, kelakuan dan lain-lain sampai diketahui bahwa anak itu dapat dipercayai. 191 Q. S al-Nisa‟ 4: 6 192 Q. S al-Nisa‟ 4: 10
98
Dari penjelasan dari ayat tersebut bisa dipahami bahwa dalam pengelolaan harta seorang anak yatim (perempuan) yang sudah dewasa dapat memikul tanggungjawab atas harta sendiri. Oleh karena itu, dalam bahasa ushul fikihnya dapat dipahami secara qiyas193 dengan pemahaman, bahwa urusan harta seorang (perempuan) dewasa dapat memikul tanggungjawab, maka analoginya adalah mengurus dengan diri sendiri dimungkinkan tanpa wali saja bisa. 2. Surat Kuasa bagi Pernikahan yang Mempergunakan Wali Dalam pasal 17194 syarat bagi pasangan yang akan menikah harus orang dewasa yang memiliki kemampuan dalam perihal hukum (cakap hukum). Seorang anak yang sudah mencapai 18 tahun. Namun hal ini dimungkinkan bagi calon mempelai perempuan dapat mendelagasikan wali nikah dengan dibuktikan surat kuasa. Adanya surat kuasa bagi pernikahan yang mempergunakan wali merupakan sama seperti halnya pecacatan pernikahana atau bisa dianggap sebagai bagian dari pencatatan pernikahan. Hal ini dilakukan supaya status wali
dalam
calonmempelai.
menjalankannya Logikanya
sesuai
adalah
dengan
adanya
yang
diharapkan
percatatan
pernikahan
memungkinkan adanya bukti tertulis atau surat kuasa wali nikah. Secara tekstual memang tidak ada dalil, baik dari al-Qur‟an maupun Hadits yang menyebutkan bahwa surat kuasa bagi pernikahan yang menggunakan wali merupakan suatu ukuran keabsahan pernikahan. 193
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, terj. Faiz al-Muttaqien, Kaidah Hukum Islam (Jakarta: Pustaka Amani, 2003), h. 77. 194 Mudawwanah al-Usrah, h. 14.
99
Hal ini dilakukan agar dengan adanya wali bisa menjalankan tugasnya dengan baik tidak sewenang-wenang terhadap yang memberi kuasa. Inilah yang kemudian menjadi isyarat bahwa surat kuasa bagi pernikahan yang menggunakan wali menjadi sangat penting dan perlu dilakukan.195 3. Seorang Wali tidak dapat Menikah terhadap Seorang Perempuan yang menjadi Walinya Posisi ini sebagai memberikan peringatan bahwa wali nikah tidak sewenang-wenang karena perwaliannya. Karena dengan bisa menikahinya akan terjadi kurang bisa menghargai kebebasan dari yang memberikan perwaliannya. Ini juga menghindari eksploitasi terhadap sesorang yang ada dibawa
perwaliannya.196
Pertimbangan
ini
sebagai
pertimbangan
kemaslahatan yang terjadi dalam pernikahan.
195
Karena wali nikah yang mendapat kuasa supaya tidak menyalahgunakan wewenangnya dan bisa dibatalkan jika wali tersebut tidak cakap atau menyalahi dari perbuatan yang tidak diinginkan. Sehingga proses seperti ini sama halnya denga pencatatan nikah. Pencatatanan nikah dilakukan agar pernikahan yang dilaksanakan bisa diketahui oleh orang lain. Lebih banyak orang mengetahui peristiwa pernikahan seseorang, maka itu akan lebih baik lagi. Inilah yang kemudian menjadi isyarat bahwa pencatatan pernikahan menjadi sangat penting dan perlu dilakukan. Lebih jauh dalam analisa hukum Islam dapat dijelaskan bahwa tujuan syari‟at Islam (maqashid al-syari‟ah) adalah mendatangkan maslahat dan menghindarkan bahaya/madharat. Karena pernikahan yang tidak dicatat pemerintah menimbulkan madharat kepada isteri, anak dan harta pernikahan/harta bersama, maka pencatatan pernikahan oleh pemerintah menurut hukum Islam dapat dipandang sebagai dharurat. Ketentuan umum bagi sahnya pernikahan yang telah disebutkan di atas adalah hasil ijtihad karena tidak disebutkan secara rinci di dalam al-Qur‟an dan Hadits. Hukum yang ditetapkan berdasarkan ijtihad dapat berubah sesuai kondisi selama perubahan hukum itu untuk kemaslahatan dan tidak bertentangan dengan al-Qur‟an dan Hadits, atau maqashid al-syari‟ah. Lihat Huzaimah Tahido Yanggo, Pernikahan Yang Tidak Dicatat Pemerintah : Pandangan Hukum Islam (Jakarta, PT Rajagrafindo Persada, 2007), h. 38. 196 Mudawwanah al-Usrah, Pasal 18. Ilustrasi kasus seorang anak perempuan yang diadopsi bisa saja dinikahi bahkan secara umum tidak ada halangan pernikahan dan itu sah dilakukan. Kasus seorang yang menjadi wali bisa menikahi seorang perempuan yang dalam perwaliannya, seperti anak perempuan paman bisa dinikahi. Istilah jawanya wali biso maleni lan meleni.
100
4. Perwalian dalam Pernikahan menjadi Hak Perempuan197 Seseorang bisa memiliki hak perwalian karena lima hal. Pertama, hubungan kerabat, baik dekat (ayah, kakek, dan anak laki-laki) maupun jauh (seperti anak laki-laki dari paman, dst). Kedua, hubungan kepemilikan majikan atas hamba sahaya. Ketiga, hubungan karena memerdekakan budak. Keempat, mawali, dengan perjanjian di antara dua orang untuk saling mewaris dan menanggung beban bila salah satu di antaranya melakukan delik pidana.198 Kelima, penguasa dengan rakyatnya. Sesuai hadits Aisyah RA, sulthan menjadi wali bagi seorang perempuan yang tidak memiliki wali.199 Urutan wali nikah dari posisi pertama hingga seterusnya, tidak satupun menyebut perempuan dan jalur perempuan. Seluruh jalur perwalian hanya berasal dari laki-laki dan bermuara juga pada laki-laki. Hakikat wali adalah adanya perlindungan dan pertanggung jawaban orang tua terhadap keberlangsungan anaknya. Namun tampaknya fungsi wali sejauh ini hanya terbatas pada aturan formal bagi didapatkannya status sahnya sebuah pernikahan. Padahal hakikat wali berimplikasi pada perjalanan rumah tangga yang dibangun oleh anak perempuan bersama laki-laki yang menjadi suaminya. Keikutsertaan wali dalam perjalanan 197
Mudawwanah al-Usrah, pasal 24, h. 16. Terdapat empat klasifikasi mawali yang pernah berlaku di kalangan Arab: mawali al„ataqah (karena memerdekakan budak); mawali al-„aqd (karena adanya perjanjian untuk saling menanggung, baik dalam bentuk sumpah ataupun deklarasi); mawali ar-rahm (karena menikah dengan perempuan yang menjadi mawali suatu suku); dan mudabbar (budak yang akan dimerdekakan ketika tuanya meninggal dunia). Akan tetapi, dalam kasus wali nikah, hanya mawali al-aqd yang berlaku sebagai salah satu penentu hak. Lihat Abdul Aziz Dahlan (ed), Ensiklopedi Hukum Islam, h. 1160. 199 Lihat Abdul Aziz Dahlan (ed), Ensiklopedi Hukum Islam, h. 1336. 198
101
rumah tangga anaknya tersebut, merupakan wujud dari fungsi wali yang sebenarnya. 5. Perempuan Dewasa dapat Menikahkan Dirinya atau Menyerahkan kepada Walinya200 Aturan tersebut sebenarnya sama
(pendukung) apa yang
disebutkan adanya wali jika dibutuhkan yang dapat dipahami bahwa dalam pengelolaan harta seorang anak yatim (perempuan) yang sudah dewasa dapat diserahkan hartanya untuk mengurusnya. Dalam ushul fikihnya
dapat dipahami secara qiyas201 dengan pemahaman, bahwa
urusan harta seorang (perempuan) dewasa dapat memikul tanggungjawab, maka analoginya adalah mengurus dengan diri sendiri dimungkinkan tanpa wali saja bisa. Dalam konteks pandangan mazhab Maliki, Syafi‟i dan Hanbali, wali nikah merupakan rukun dalam pernikahan,202 sehingga dianggap tidak sah apabila pernikahan tidak memakai wali.203
Para ulama sepakat mengenai
kedudukan wali untuk menikahkan anaknya yang kecil, gila ataupun yang kurang kemampuan akalnya. Akan tetapi apabila anaknya sudah balig dan berakal, Imam Abu Hanifah berbeda pendapat dengan ulama lainnya. Menurut 200 201
Mudawwanah al-Usrah, Pasal 25, h. 16. Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, terj. Faiz al-Muttaqien, Kaidah Hukum Islam, h. 77. Secara tegas status wali nikah dalam mazhab fikih masih terjadi perbedaan, sehingga bisa dimungkinkan adanya wali perempuan. Analogi atau qiyasnya adalah seorang anak dewasa dapat mengelola hartanya termasuk juga urusan dirinya. 202 Hal ini didasarkan pada surat al Baqarah ayat 221 Dan janganlah kamu nikahkan wanita-wanita mukminat dengan pria-pria musyrik sebelum mereka beriman, ayat ini ditujukan kepada wali nikah. Demikian pula dalam surat al Baqarah ayat 232 Janganlah kamu menghalanghalangi mereka (para isteri) untuk menikah kembali dengan bekas suami mereka jika mereka saling meridoi dengan cara yang ma‟ruf. 203 Wahbah Az Zuhaili, Al fiqhu al Islamy wa Adillatuhu Juz VII, (Berut: Darul Fikr, 1985), h 192.
102
Abu Hanifah, bagi yang berakal, balig apalagi statusnya janda ia berhak untuk menikahkan dirinya sendiri. Jumhur ulama tetap dengan pendapatnya semula, yaitu pernikahan akan sah jika adanya wali baik anak tersebut kecil, dewasa, balig ataupun janda. Menurut mazhab Hambali, tetap harus ada izin (persetujuan) baik janda ataupun gadis, sedangkan menurut mazhab Maliki dan Syafi‟i persetujuan hanya untuk janda, apabila masih gadis tidap perlu mendapat persetujuan dari anak tersebut meskipun adanya persetujuan akan lebih baik bagi pernikahan yang akan dilangsungkan.204 Dalam pandangan Abu Hanifah dan Abu Yusuf, meskipun izin wali tidak diperlukan dalam sebuah pernikahan, wali mempunyai kewenangan apabila pernikahan yang dilangsungkan oleh anaknya ternyata dilakukan dengan lelaki yang tidak sekufu. Perbedaan yang cukup jauh antara pendapat Abu Hanifah dengan jumhur ulama, lebih karena disebabkan metodologi dalam pengambilan hukum. Aqad nikah dalam mazhab Hanafiyah dipersamakan dengan akad jual beli. Oleh karena itu syaratnya cukup ijab dan qabul, kedudukan wali hanya diperuntukan bagi pasangan suami istri yang masih kecil. Di sisi lain, ulama Hanafiyah memandang tidak adanya ketentuan yang tegas mengenai status wali baik dalam al Quran maupun hadits. Beberapa hadits Rasulullah yang menjelaskan mar‟ah tidak boleh menikahkan sendiri, memberi makna sesuai lafadnya di mana mar‟ah merupakan anak kecil yang belum dewasa sehingga tidak sah apabila ia menikahkan dirinya.205
204
Wahbah Al- Zuhaili, Al fiqhu al Islamy wa adillatuhu Juz VII, h. 193. Dedi Supriyadi dan Mustofa, Perbandingan Hukum Perkainan di Dunia Islam (Bandung: Pustaka Al Fikris, 2009), h. 3. 205
103
Di samping itu, dalam ushul fikih mazhab Hanafiyah, hanya menganggap sebagai suatu kewajiban ketika dalil yang ditetapkan berasa dari al-Qur‟an ataupun hadits mutawatir dengan penunjukkan hukum yang tegas.206 Dalil-dalil al-Qur‟an yang menjadi hujjah keharusan wali oleh ketiga Imam (Syafi‟i, Maliki, dan Hanbali), dipandang memberikan petunjuk secara langsung (qaṭ‟ī al dilālah) sehingga tidak dapat diambil kesimpulan bahwa wali adalah satu keharusan dalam sebuah pernikahan. Aturan normatif tentang wali yang dijadikan sebagai salah satu rukun pernikahan itu, kemudian berdampak pada konstruksi masyarakat bahwa hanya laki-laki yang memiliki hak dan pantas menjadi wali karena posisinya sebagai pemimpin keluarga. Dalam konteks ini, kemudian makna wali yang seharusnya melindungi, bergeser pada sekedar laki-laki atau yang penting laki-laki. Persoalan apakah laki-laki yang disebut-sebut sebagai walinya tersebut adalah benar-benar laki-laki yang bisa melindungi puterinya atau tidak, tampaknya tidak dipermasalahkan. Dalam hal ini, lagi-lagi perempuan diposisikan dan menjadi korban peminggiran struktural yang berlindung „di balik‟ agama, yakni melalui institusi pernikahan. Kendati fikih sendiri menyebut pernikahan sebagai peristiwa kontraktual, namun ia lebih dari sekedar kontrak biasa seperti jual beli. Oleh karenanya, dalam masyarakat pedesaan dan juga masyarakat perkotaan (hingga sekarang), peristiwa kontraktual yang berupa pernikahan melibatkan keluarga, kerabat tetangga dan handai taulan. Karena itu, konsep wali dalam 206
Muhammad al Khudari bik, Ushul Fiqh, terj. Aminudin, Usul Fikih (Bandung: Pustaka Ma‟arif, 1989), h. 33.
104
pernikahan, menduduki posisi penting dalam arti yang paling besar tanggung jawabnya terhadap mempelai sebagai anak dibanding pihak lain. Hakikat pernikahan secara tinggi dan indah digambarkan oleh Allah sebagai penyatuan kembali pada bentuk asal kemanusiaan yang hakiki, yakni nafsin wahidah (diri yang satu), sebagaimana ditunjukkan dalam QS, al-A‟rāf 7: 189
Artinya: “Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Dia menciptakan isterinya, agar Dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya, isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah Dia merasa ringan (Beberapa waktu). kemudian tatkala Dia merasa berat, keduanya (suami-isteri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: "Sesungguhnya jika Engkau memberi Kami anak yang saleh, tentulah Kami terraasuk orang-orang yang bersyukur". Allah SWT menggunakan istilah nafsin wahidah karena dengan istilah ini ingin ditunjukkan bahwa pernikahan pada hakikatnya adalah pola pertemuan antara laki-laki dan perempuan pada tingkat praksis yang sebelumnya pola pertemuan pada hakeatnya yang satu, yakni berupa kesamaan asal-usul kejadian umat manusia dari diri yang satu. Sementara itu pada saat yang lain, yakni QS. Al-Rūm 30: 21
105
Artinya: “ Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” Disebutkan bahwa secara kongret hubungan antara kesatuan hakiki, min anfusikum, sebagai bentuk kesatuan pada level esoteris idealistis dengan kesatuan praktis (pernikahan) yang penuh ketentraman dan kasih sayang. Kondisi ini tidak akan terwujudkan jika salah satu pihak mendominasikan diri dan melakukan subordinasi atas yang lain. Hal ini karena dominasi sesungguhnya berkonsekuensi pada adanya pengabaian hak dan eksistensi pasangan. Menghilangkan dominasi satu pihak atas yang lain, akan dapat mencipakan relasi suami-isteri yang santun, beradab, berkeadilan dan berkesetaraan. Sebuah produk hukum, sesunguhnya muncul sebagai respon terhadap persoalan dan dinamika perkembangan zaman. Karena itu, ia mewakili realitas pada masanya. Zaman yang senantiasa mengalami perubahan kemudian menjadi alasan tersendiri mengapa sebuah produk hukum juga berubah. Justru dalam konteks perubahan inilah, Islam seringkali disebut-sebut sebagai agama yang memiliki sistem hukum yang fleksibel. Dalam konteks ini, perubahan sistem hukum yang telah ditetapkan oleh para ulama yang mewakili masanya itu, perlu dilakukan kajian ulang, kritikan dan bahkan rumusan baru yang lebih manusiawi, mempertimbangkan keadilan dan kemanusiaan.
106
Ajaran Islam bisa dikategorisasikan dalam dua klasifikasi, yakni ajaran yang qaṭ‟ī dan ajaran yang ẓannī.207 Ajaran qaṭ‟ī yang berupa ketentuan normatif al-Qur‟an dan Hadis yang diyakini kebenarannya berasal dari Nabi. Namun masalahnya adalah adanya sejumlah ketentuan al-Qur‟an maupun Hadis itu sendiri yang mengandung pengertian demikian beragam. Dalam konteks inilah para ulama melakukan ijtihad dan interpretasi, sesuai dengan kapasitas keilmuannya, stock of knowledge serta pengalaman-pengalam pribadi dan lingkungan yang mempengaruhinya. Karena itu pula, logis jika rumusan ijtihad antara ulama satu dengan yang lain berbeda. Rumusan ajaranajaran non dasar ini banyak ditemukan pada kepustakaan tafsir maupun kepustakaan fikih. Fikih yang merupakan hasil interpretasi cerdas para ulama terhadap ketentuan al-Qur‟an maupun Hadis, tidak ada jaminan bahwa di dalamnya tidak ada kesalahan. Bagaimanapun, hasil ijtihad lahir dalam ruang dan masa tertentu. Karena itu, hasil ijtihad juga tidak berlaku abadi. Bisa jadi sebuah produk ijtihad berlaku dan cocok untuk kurun waktu tertentu, namun belum tentu sesuai dengan kurun waktu yang lain. Bahwa kita bisa menerima sebuah hasil ijtihad. Namun penerimaan kita terhadap sebuah produk pemikiran manusia, tidak menghalagi kita untuk tetap bersikap kritis. Dengan sikap demikian, sebuah produk hukum tidak kita terima secara taken for granted, tetapi dengan penuh kekritisan, dan membuka diri untuk menerima pemikiran lain yang mungkin lebih cocok untuk konteks masyarakat yang kita hadapi. 207
Mas‟udi, Masdar Farid. Islam dan Hak- hak Reproduksi Perempuan (Bandung: Mizan, 1999), h. 13.
107
Ajaran Islam yang terbagi pada aspek vertikal dan horizontal, sesungguhnya adalah dua ajaran yang senantiasa mengharuskan kita untuk menyeimbangkan keduanya. Namun seringkali yang terjadi adalah bahwa praktik ajaran Islam sebagaimana ditunjukkan oleh umat Islam, menyajikan ketidakseimbangan antara aspek vertikal dan horizontal. Sikap keberagamaan seperti ini, mengakibatkan adanya penyatuan mentalisasi yang demikian rigid antara kepentingan relasi vertikal yang individual-subyektif, menyisakan sejumlah permasalahan pada relasi horisontal yang sarat dengan dimensi sosial. Sebagai akibatnya, tampaknya sikap keberagamaan yang nominalstatistikal lebih mengedepan ketimbang sikap keberagamaan yang substantif. Orang bisa saja shalat dan rajin berpuasa namun tetap melakukan korupsi, bisa saja orang rajin beribadah namun membiarkan kesenjangan sosial terjadi di sekitarnya. Atau boleh saja orang taat beragama tetapi seringkali melakukan kekerasan terhadap isteri dan anak-anaknya. Aturan pernikahan yang terkesan maskulin, keras dan kurang ramah terhadap perempuan, tidak ayal juga menjadi kontributor tersendiri bagi lahirnya praktek-praktek kekerasan, yang sesungguhnya jauh dari nilai-nilai moral yang islami. Bahwa kelompok feminis liberal/sekuler telah berhasil memenangkan perebutan pengaruh pembaruan
hukum
keluarga
dilihat
dari
berbagai
indikator, diantaranya sebagai berikut: 1. Dilihat dari produk Hukum Keluarga 2004 yang memiliki spirit dan konsistensi perjuangan membangun kesetaraan gender dan hak asasi
108
manusia sebagaimana yang terkandung dalam perjanjian, dan konvensi internasional tentang itu. 2. Karena tidak terlibatnya kelompok Islamis pada penyusunan draf pembaruan Hukum Keluarga 2004 dengan berbagai alasan seperti berikut: a. Perbedaan cara pandang terhadap pembaruan itu sendiri. b. Konsep dan pendekatan yang digunakan dalam melakukan pembaruan Hukum Keluarga. c. Tidak ada keinginan dari pemerintah untuk melibatkan kelompok Islamis dalam penyusunan draf pembaruan Hukum Keluarga 2004. 3. Karena Raja mendapatkan momentum untuk menunjukkan kepada dunia internasional bahwa Maroko adalah sebuah negara Islam moderat. Raja dalam hal ini senantiasa membutuhkan ketertundukan dan kepatuhan warganya. Untuk mendapatkannya, ia tidak dapat hanya mengandalkan kekuasaan dan kekerasan semata, karena bisa dinilai otoriter. Munculnya wacana
pembaruan
Hukum
Keluarga
dari
kelompok
feminis
liberal/sekuler Maroko sejalan dengan misi Raja yang akan menjadikan Maroko sebagai negara Islam moderat. Pada akhirnya Raja memilih dan mendukung wacana kelompok feminis liberal/sekuler sehingga wacana tersebut menjadi dominan, dan wacana-wacana lainnya yang dimunculkan oleh kelompok Islam konservatif menjadi terpinggirkan (marginalized) atau dibenam.