BAB IV HUKUM KELUARGA A. PENGERTIAN DAN TUJUAN PERKAWINAN Di Indonesia telah dibentuk Hukum Perkawinan Nasional yang berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia, yaitu Undang-undang No. 1 Tahun 1974, dalam Lembaran Negara No. 1/1974. Undang-undang No. 1 ini mulai berlaku secara efektif pada tanggal 1 Oktober 1975. Adanya suatu undang-undang yang bersifat nasional mutlak diperlukan bagi suatu negara dan bangsa yang masyarakatnya terdiri dari berbagai macam suku bangsa dan golongan penduduk. Undang-undang Perkawinan, selain meletakkan asas-asas hukum perkawinan nasional, sekaligus menampung prinsip-prinsip dan memberikan landasan hukum perkawinan. Menurut UU No. 1/1974, asas yang dimuat adalah asas monogami, yang diatur dalam pasal 3 (1). Prof. Hazairin mengatakan bahwa Undang-undang Perkawinan sebagai suatu unifikasi yang unik dengan menghormati secara penuh adanya variasi berdasarkan agama dan kepercayaan masing-masing. Disamping itu, unifikasi ini bertujuan untuk melengkapi segala apa yang tidak diatur di dalam hukum agama dan kepercayaan. Oleh karena itu, negara berhak mengaturnya sendiri sesuai dengan perkembangan masyarakat dan tuntutan zaman. Menurut Undang-undang Perkawinan, yang dimaksud dengan Perkawinan adalah: Ikatan Lahir Batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan Arti Perkawinan itu adalah : Ikatan Lahir Batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri.
Mala Rahman
18
Tujuan dari Perkawinan adalah : Untuk membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa Ikatan Lahir adalah : Ikatan yang dapat dilihat untuk mengungkapkan adanya hubungan hukum antara seorang pria dengan wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri. Disini ditemukan adanya Hubungan Formil. Hubungan formil ini nyata, baik bagi yang mengikatkan dirinya maupun bagi orang lain atau masyarakat. Sedangkan Ikatan Batin adalah : Hubungan yang tidak formil, suatu ikatan yang tidak dapat dilihat. Walaupun tidak nyata tapi ikatan ini harus ada. Tanpa adanya ikatan batin, ikatan lahir akan menjadi rapuh. Hal ini dapat dirasakan terutama oleh yang bersangkutan dalam tahap permulaan perkawinan. Ikatan batin ini diawali dengan adanya kemauan yang sungguh-sungguh untuk hidup bersama. Dalam hidup bersama tercermin dari adanya kerukunan. Ikatan batin akan merupakan inti dari ikatan lahir perkawinan yang bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, dapat juga diartikan bahwa perkawinan haruslah berlangsung seumur hidup dan tidak boleh putus begitu saja. Pemutusan karena sebabsebab lain, selain kematian, diberikan pembatasan-pembatasan yang ketat. B. PERSYARATAN PERKAWINAN Sebagai salah satu perbuatan hukum, maka perkawinan mempunyai akibat hukum. Adanya akibat hukum ini penting sekali hubungannya dengan sahnya perbuatan hukum tersebut. Suatu perkawinan yang menurut hukum dianggap tidak sah, maka anak yang lahir dari perkawinan tersebut merupakan anak yang tidak sah.
Mala Rahman
19
Undang-undang Perkawinan menyatakan bahwa Perkawinan Sah adalah : Perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Dengan penjelasan bahwa tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing agama dan kepercayaaannya, sesuai dengan UUD’45 (Pasal 2(1)) Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agama dan kepercayaannya termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya. Tentang tidak adanya perkawinan diluar hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, Prof. Hazairin mengatakan : “Bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk kawin dengan melanggar agamanya sendiri. Demikian juga bagi orang Kristen, Hindu, Budha, seperti dijumpai di Indonesia.” C. PENCATATAN DAN PEMBERITAHUAN PERKAWINAN Pasal 2 (2) Undang-undang Perkawinan menentukan bahwa : Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Maksud diadakan pencatatan perkawinan ini adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang. Pencatatan perkawinan bertujuan menjadikan peristiwa perkawinan tersebut menjadi jelas, baik bagi yang bersangkutan maupun bagi orang lain atau masyarakat, karena dapat dibaca dalam suatu surat yang bersifat resmi dan termuat pula dalam suatu daftar yang khusus disediakan untuk itu. Sehingga sewaktu-waktu dapat dipergunakan terutama sebagai alat bukti yang autentik. Dengan adanya surat bukti itu dapat dibenarkan atau dicegah suatu perbuatan yang lain. Perbuatan pencatatan itu tidaklah menentukan sahnya perkawinan tetapi menyatakan bahwa peristiwa perkawinan tersebut memang terjadi, dan hanya semata-mata bersifat administratif. Untuk melaksanakan pencatatan bagi yang beragama Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana yang dimaksud dalam UU No. 32/1954 tentang Pencatatan Nikah,
Mala Rahman
20
Talaq, dan Rujuk. Bagi yang bukan beragama Islam dilakukan oleh P3 (Pegawai Pencatat Perkawinan) pada Kantor Catatan Sipil. Pemberitahuan Perkawinan adalah : Pemberitahuan seseorang yang akan melangsungkan perkawinan kepada Pegawai Pencatat Perkawinan. Pemberitahuan ini harus dilakukan secara lisan oleh salah seorang atau kedua calon mempelai, dapat juga oleh kedua orang tua mereka, wali, atau diwakilkan kepada orang lain. Pemberitahuan secara tertulis juga dapat dilakukan apabila karena alasan tertentu tidak dapat dilakukan secara lisan. Apabila pemberitahuan dilakukan oleh orang lain, maka orang tersebut harus ditunjuk dengan suatu surat kuasa khusus. Pemberitahuan harus sudah diberitahukan selambat-lambatnya 10 hari kerja, sebelum perkawinan tersebut dilangsungkan, kecuali karena alasan yang penting. Maka pemberitahuan dapat dilakukan kurang dari 10 hari, hal ini pun harus dengan pengajuan permohonan dispensasi. Dalam pemberitahuan ini harus dinyatakan Nama, Umur, Agama/Kepercayaan, Pekerjaan, dan Tempat Kediaman Kedua Mempelai. Apabila salah satu atau kedua mempelai sudah pernah kawin, harus disebutkan juga nama suami atau istrinya yang terdahulu. Khusus bagi orang Islam harus disebutkan Wali Nikah-nya. D. HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI 1. Kewajiban Suami Menurut Undang-undang Perkawinan Pasal 34 (1), seorang suami wajib melindungi istrinya dan memberi segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Sedangkan di dalam Kompilasi Hukum Islam dijabarkan lebih lanjut tentang seorang suami pada Pasal 80, yang menyatakan bahwa: a. Suami adalah pembimbing terhadap istri dan rumah tangganya, akan tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh suami istri bersama-sama.
Mala Rahman
21
b. Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan rumah tangga sesuai dengan kemampuannya. c. Suami wajib memberi pendidikan agama kepada istrinya dan memberikan kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa. d. Sesuai dengan penghasilannya, suami menanggung: Naflah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri; Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri dan anak; Biaya pendidikan bagi anak. 2. Kewajiban Istri Mengenai kewajiban istri, Undang-undang Perkawinan menetapkan dalam Pasal 34 (2) bahwa istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya. Dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam pada Pasal 83, bahwa: a. Kewajiban utama bagi seorang istri ialah berbakti lahir dan batin kepada suami didalam batas-batas yang dibenarkan oleh Islam. b. Istri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya. 3. Kewajiban Suami dan Istri Menurut Undang-undang Perkawinan Pasal 30, suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat. Sedangkan dalam Pasal 31 disebutkan: a. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. b. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. c. Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga.
Mala Rahman
22
E. ASAS MONOGAMI Jauh sebelum Undang-undang Perkawinan menjadi undang-undang, masalah monogamy merupakan suatu masalah yang banyak diperbincangkan. Kenyataannya kemudian monogamy menjadi salah satu asas dalam Undang-undang Perkawinan, dengan pengecualian yang ditujukan kepada orang yang menurut agamanya diijinkan memiliki istri lebih dari satu. Tentang pengecualian ini, undang-undang memberikan pembatasan yang cukup berat, yaitu pemenuhan syarat-syarat dengan suatu alasan tertentu dan izin pengadilan sebagaimana diatur dalam pasal 3-5 UU No. 1/1974. Adapun alasan (ALTERNATIF – Pasal 4 (2)) yang dapat memungkinkan seorang suami untuk beristri lebih dari satu, adalah : a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri. b. Istri mendapat cacat badan/penyakit yang tidak dapat disembuhkan. c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan Salah satu alasan tersebut diatas, dalam pengajuan ke pengadilan harus didukung oleh syarat-syarat (KUMULATIF - Pasal 5) : a. Adanya persetujuan dari istri/istri-istri. b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka. c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anakanak mereka. Seperti disebutkan dalam pasal 5 tersebut dan diulang kembali dalam pasal 41 PP No. 9/1975, dan dengan ditambah penjelasan bahwa dalam : a. Hal persetujuan lisan dari istri/istri-istri harus diucapkan didepan sidang pengadilan. b. Hal adanya kemampuan suami dalam menjamin kehidupan istri-istri dan anakanak harus memperlihatkan suatu keterangan tentang itu.
Mala Rahman
23
c. Hal adanya jaminan suami akan berlaku adil pada istri-istri dan anak-anak mereka, suami harus mengemukakan janji atau suatu pernyataan. Memeriksa dan memberikan izin terhadap suatu permohonan untuk beristri lebih dari satu merupakan hal yang baru bagi pengadilan. Selain tentang alasan dan syarat-syarat seperti tersebut di atas, didalam peraturan pelaksana hanya memberikan 3 macam ketentuan tentang tata cara pemeriksaan dan pemberian izin tersebut, seperti Pasal 4 dan Pasal 43 PP No. 9/1975, yaitu : a. Pengadilan harus memanggil dan mendengar istri yang bersangkutan. b. Pemeriksaan dilakukan selambat-lambatnya 30 hari setelah diterimanya surat permohonan beserta lampiran-lampirannya. c. Pengadilan memberikan putusannya yang berupa izin untuk beristri lebih dari satu apabila telah cukup alasannya. F. PENCEGAHAN DAN PEMBATALAN PERKAWINAN Undang-undang Perkawinan mengatur tentang pencegahan dan pembatalan perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 13-20 dan Pasal 22-28. Adapun perbedaan pencegahan dan pembatalan adalah terletak pada perkawinan yang dimaksud sudah berlangsung atau belum. Pengajuan dan pencabutan pencegahan dapat dilakukan oleh (Pasal 14-16) : a. Para keluarga dalam garis lurus keatas dan kebawah b. Saudara c. Wali nikah d. Wali e. Pengampu dari salah satu mempelai f. Pihak yang berkepentingan g. Suami atau istri h. Pejabat yang ditunjuk Undang-undang Perkawinan dalam Pasal 17 mengatakan bahwa pencegahan perkawinan diajukan kepada pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan tersebut akan dilangsungkan, dengan memberitahukan kepada Pegawai Pencatat
Mala Rahman
24
Perkawinan. Disamping itu harus diberitahukan kepada calon mempelai mengenai permohonan pencegahan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan. Sama dengan pencegahan, tidak setiap orang dapat mengajukan pembatalan perkawinan ke pengadilan. Pasal 23-27 menetapkan bahwa yang dapat mengajukan pembatalan adalah : a. Para keluarga dalam garis lurus keatas dari suami/istri b. Suami/Istri c. Pejabat yang berwenang d. Pejabat yang ditunjuk e. Jaksa Khusus dalam hubungan suami istri, seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan, dalam hal perkawinan itu dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum, atau pada waktu perkawinan tersebut dilangsungkan terjadi salah sangka terhadap diri suami/istri. Tetapi dengan syarat dalam jangka waktu 6 bulan setelah tidak ada lagi ancaman tersebut atau yang salah sangka telah menyadari dirinya, masih tetap hidup sebagai suami istri dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan maka haknya untuk mengajukan menjadi gugur. G. PERCERAIAN Dalam Undang-undang Perkawinan telah dicantumkan bahwa tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal, dan sejahtera berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, oleh karenanya perceraian dalam suatu perkawinan harus dipersulit. Artinya harus ada alasan yang sangat kuat untuk melakukan suatu perceraian. Pasal 39 (2) menentukan bahwa salah satu alasan perceraian adalah : Salah satu pihak berzina/mabuk/penjudi/pemadat, dan sebagainya yang sukar disembuhkan Salah satu pihak meninggalkan yang lainnya selama 2 tahun berturut-turut, tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuan
Mala Rahman
25
Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau lebih setelah perkawinan berlangsung Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak lain Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami istri Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga. H. KEDUDUKAN ANAK DAN KEKUASAAN ORANG TUA Mula-mulanya, BW mengatur anak berada di dalam kekuasaan Bapak, sehingga kekuasaan Bapak itu mutlak terhadap anak. Demikian mutlaknya dalam kenyataannya sering disalahgunakan, karena Bapak merasa segala kemauannya harus dituruti oleh anak. Seandainya si Anak melanggar kehendak Bapak, tidak jarang hukumannya tidak setimpal dengan kesalahan, karena Bapak merasa bukan perintahnya yang dilanggar, tapi kekuasaannya sebagai orang tua. Sanksi yang dijatuhkan kadang mengakibatkan hal-hal yang fatal bagi anak. Misalnya dipukul dengan kayu, dsb. Selanjutnya kekuasaan Bapak terhadap Anak berubah, disebabkan karena ada pemikiran kesosialan yaitu bahwa hak yang ada pada pihak yang kuat itu hanyalah dari sudut lain. Hanya pada kewajiban-kewajibannya saja, artinya seorang Bapak wajib mendidik anak-anaknya dan bukan menguasai anak-anaknya. Sejak tahun 1901 di Belanda ditetapkan bahwa Anak bukan dikuasai oleh Bapak tapi sebagai orang yang dilindunginya. Oleh karenanya Kekuasaan Bapak berubah menjadi Kekuasaan Orang Tua. Perubahan-perubahan tersebut : a. Kalau ada kata-kata “Kekuasaan Bapak” dalam peraturan perundangan dimaksukan adalah “Kekuasaan Orang Tua”. b. Ada kemungkinan meniadakan kekuasaan orang tua terhadap anaknya, ada 2 cara :
Mala Rahman
26
Pembebasan, syaratnya : i. Jika orang tua tidak cakap atau tidak kuasa mendidik dan memelihara anak-anaknya yang belum cukup umur ii. Jika kepentingan anak harus membolehkan pembebasan itu Pencabutan adalah tindakan seseorang orang tua yang mewakili tingkah laku yang tidak baik terhadap anak-anaknya. Setelah diputuskan oleh Hakim, akibatnya bisa dicabut kekuasaan orang tua. Adapun hal-hal yang dapat menyebabkannya dicabut kekuasaan orang tua adalah: a. Jika kekuasaan orang tua disalahgunakan b. Jika kewajiban memelihara/mendidik anaknya ditelantarkan c. Jika kelakuan orang tua itu jahat d. Jika orang tua dijatuhi hukuman karena kejahatan tertentu Akibat hukum yang langsung atas pencabutan tersebut adalah terhentinya kekuasaan orang tua memelihara dan mengawasi anak-anaknya. Jika si Ayah yang dicabut kekuasaannya, dia tidak berhak untuk mencampuri urusan pengasuhan, pemeliharaan dan pendidikan si Anak. Dia juga tidak berhak dan berkewajiban untuk mewakili si anak di dalam maupun di luar pengadilan, demikian juga dengan harta si Anak, Ayahnya tidak berhak lagi menikmatinya. Akan tetapi pencabutan tersebut tidak melepaskan si Ayah dari kewajiban memberi biaya pemeliharaan kepada Anak tersebut. Apabila kekuasaan kedua orang tuanya yang dicabut, maka pelaksananya diserahkan kepada Wali. I. PERWALIAN (VOOGDY) 1. Perwalian dan Alasannya Wali adalah : Seseorang atau Badan Hukum yang ditunjuk oleh orang tuanya dalam akte atau berdasarkan Undang-undang atau keputusan Pengadilan untuk mengurus harta kekayaan anak yang belum dewasa atau dungu. Perwalian terjadi akibat dari pencabutan kekuasaan orang tua (onderlijke macht) atas diri anak-anak yang belum dewasa. Hal ini merupakan sebab yang umum. Tetapi juga
Mala Rahman
27
bisa terjadi apabila kedua orang tua tidak ada lagi, maka anak itu berada dibawah perwalian. 2. Macam-Macam Perwalian Ada beberapa macam wali : a. Wali yang ditunjuk oleh orang tua semasa ia masih hidup. Pada masa orang tuanya masih hidup telah menunjuk wali dari anak-anaknya kalau ia meninggal sebelum anak itu dewasa, melalui akte notaries. Notaris-lah yang nantinya menyampaikan pada orang yang ditunjuk. b. Wali menurut Undang-undang. Menurut Pasal 345, siapa yang terlama hidup maka dia yang akan menjadi wali (ayah atau ibunya) c. Wali yang diangkat oleh Hakim. Penyebabnya: Orang tuanya menunjuk wali; Orang tuanya sekaligus meninggal; Ditunjuk oleh hakim. Adapun syarat untuk dapat diangkat menjadi wali adalah : a. Sudah mencapai umur dewasa. Artinya wali tersebut harus sudah berumur 21 tahun. b. Wali itu harus berpikiran sehat. Jika orang yang ditunjuk menjadi wali pada saat dibuatnya wasiat memang sehat, namun pada pelaksanaan tugasnya sebagai wali dia sudah tidak sehat maka dengan sendirinya wasiat tersebut tidak berlaku lagi. c. Wali harus adil dan jujur. d. Berkelakuan baik, tidak pemabuk dan penjudi. Tidak dikenal oleh masyarakat sebagai orang yang suka melakukan penganiayaan. 3. Wewenang dan Kewajiban Wali Kewajiban-kewajiban wali adalah : a. Pemeliharaan diri pribadi dari anak-anak yang berada dibawah perwalian.
Mala Rahman
28
b. Pemeliharaan terhadap kekayaan dan barang-barang anak yang dibawah kuasa wali. c. Wali wajib menghormati agama yang dianut oleh si anak. Mengenai kewajiban wali terhadap harta benda si anak, wali harus memenuhi beberapa ketentuan, yaitu : a. Wali wajib membuat daftar harta benda anak b. Mencatat semua perubahan yang terjadi atas harta benda si anak yang berada dibawah perwaliannya. c. Atas segala perhitungan itu wali mempertanggungjawabkannya. Dan apabila terjadi kerugian akibat kelalaian wali, kerugian itu harus ditanggung oleh wali. d. Disamping kewajiban membuat dan memelihara perhitungan, kepada wali juga tidak boleh memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anak, kecuali kepentingan anak menginginkan hal tersebut. 4. Berakhirnya Perwalian Kekuasaan wali diatur dalam pasal 53 (1) UU No. 1/1974, yang berbunyi : Wali dapat dicabut kekuasaannya dalam hal-hal yang tersebut dalam Pasal 49 undang-undang ini. Pencabutan dilakukan atas putusan pengadilan, atas permohonan orang tua anak, jika masih ada orang tua yang kebetulan telah dicabut hak kekuasaan orang tuanya. Alasan pencabutan wali serupa dengan pencabutan kekuasaan orang tua, yaitu : a. Apabila wali sangat melalaikan kewajibannya b. Apabila wali berkelakuan buruk. J. CURATELE Curatele atau pengampuan adalah: Keadaan dimana seseorang (curandus) karena sifat-sifat pribadinya dianggap tidak cakap atau tidak untuk segala hal cakap untuk bertindak sendiri di dalam lapangan hukum perdata. Mala Rahman
29
Atas dasar itu orang tersebut dengan suatu keputusan hakim dimasukkan kedalam golongan orang yang tidak cakap berbuat hukum. Kemudian orang tersebut diberikan seorang wakil menurut undang-undang yang disebut dengan curator atau curatrice. Dalam pelaksanaan curatele ini dilakukan pengawasan oleh pengampu pengawas (toezeinde curator). K. PENDEWASAAN (HANDLICHTING) Pendewasaan pada umumnya merupakan suatu upaya untuk memberikan wewenang kepada seorang anak minderjarig (dibawah umur) untuk dapat wenang berbuat hukum, diluar hal melangsungkan perkawinan. Sedangkan alat pendewasaan ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu: 1. Alat Pendewasaan yang sempurna Alat pendewasaan yang sempurna adalah keadaan dimana anak yang menderjarig menjadi orang yang yang merderjarig (dewasa), tapi dengan syarat orang yang mengajukan permohonan itu telah berumur 20 tahun genap. Jika seorang anak yang telah memperoleh alat pendewasaan yang sempurna, wewenang berbuat hukumnya sama dengan wewenang orang dewasa. Harus diajukan permohonan kepada Gubernur Jenderal. Setelah mendapat persetujuan dengan pertimbangan Mahkamah Agung (Hoge recht shock), baru dikeluarkan suatu surat keputusan pendewasaan yang disebut Venia Estatis. 2. Alat pendewasaan yang terbatas Alat pendewasaan terbatas ini hanya merupakan kewenangan berbuat dari seseorang yang minderjarig yang dizinkan oleh Pengadilan Negeri atas permintaan yang bersangkutan untuk melakukan suatu perbuatan tertentu saja. Si Pemohon pendewasaan yang terbatas ini masih berumur dibawah 20 tahun dan tidak boleh kurang dari 18 tahun. Pemberian pendewasaan terbatas ini dapat dicabut apabila si pemohon melakukan perbuatan hukum selain yang ditentukan dalam izin pemberiannya. Dulu hal ini amat berguna bagi seorang minderjarig agar dapat berbuat hukum, namun sekarang hal ini sudah tidak begitu berarti lagi.
Mala Rahman
30