BAB III Metodologi Penelitian 3. 1
Paradigma dan Pendekatan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan memilih paradigma konstruktivisme
sebagai landasan filosofis untuk memahami realitas sosial di masyarakat. Pemilihan paradigma konstruktivisme sebagai landasan filosofis penelitian ini didasarkan pada beberapa argumentasi. Pertama, fokus penelitian tentang realitas sosial komunitas penggemar burung di Jawa bersifat relatif dan unik sesuai dengan konteks setting sosio-kultural masyarakat Jawa. Kedua, realitas sosial komunitas penggemar burung di Jawa dipahami sebagai hasil konstruksi sosial yang besifat kontekstual, di mana realitas sosial tersbut dipahami dari sudut pandang pelaku tindakan sosial (intersubjektif). Ketiga, kajian ini memberikan pandangan baru tentang keterhubungan antara permasalahan semakin punahnya beberapa jenis burung di alam dengan realitas sosial semakin meningkatnya kegemaran memelihara burung yang tidak hanya dilihat dari sudut pandangan konservasi an sich, akan tetapi juga memperhatikan konstruksi sosial yang terbentuk pada masyarakat yang memiliki kegemaran memelihara burung. Keempat, terkait dengan argumentasi-argumentasi sebelumnya, secara mendasar pemilihan paradigma konstruktivisme dalam penelitian ini dimaksudkan sebagai kritik terhadap pendekatan positivisme yang memandang bahwa realitas sosial bersifat objektif dan universal, karena pandangan tersebut bersifat reduksionis dalam memahami realitas sosial yang sangat kontekstual dan bersifat realtif. Paradigma konstruktivisme merupakan paradigma ilmu pengetahuan yang memposisikan diri sebagai kritik terhadap paradigma positivisme dalam memahami realitas sosial. Realitas sosial dalam paradigma konstruktivisme dipahami sebagai hasil konstruksi manusia yang bersifat unik dan kontekstual. Paradigma
konstruktivisme
memandang
realitas
sosial
bersifat
relatif
(relativisme), sebagai implikasinya maka pandangan ini menolak berlakunya adanya suatu metode ilmiah tunggal yang dianggap mantap dan dapat berlaku secara universal. Penjelasan ini sangat bertolak belakang dengan paradigma
positivisme yang memandang realitas sosial sebagai fakta objektif yang bersifat universal. Paradigma positivisme mempercayai adanya metode ilmiah tunggal yang bersifat universal di manapun dan dalam konteks apapun (Adian, 2002). Tabel 1. Perbandingan antara Paradigma Konstruktivisme dengan Positivisme dalam Aspek Ontologi, Epistemologi dan Metodologi Bidang Ontologi
Epistemologi
Positivisme
Konstruktivisme
Realisme naif – semesta
Relativisme, semesta yang diketahui spesifik,
adalah nyata dan dapat
lokal yang dikonstruksi oleh paradigma,
diketahui apa adanya
kerangka konseptual, perspektif
Bersifat dualis, objektivisme
Bersifat transaksional, dialogis, teori hasil konstruksi sebagai hasil investigasi dan proses sosial (khususnya ilmu pengetahuan sosialbudaya)
Metodologi
Eksperimental manipulatif,
Hermeneutis dan dialektis, ilmu hasil konstruksi
pembuktian atas hipotetis,
atau interaksi peneliti terhadap objek yang
kuantitatif
diteliti (kualitatif)
Sumber: Adian, 2002; May, 2001; Denzin and Lincoln, 2000 dan Salim, 2001
Sementara itu, selaras dengan paradigma penelitian yang dipilih dalam penelitian ini, yaitu konstruktivisme, maka pendekatan penelitian atau metodologi yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif menekankan pada proses-proses dan makna-makna yang tidak diuji atau diukur secara ketat dari segi kuantitas, jumlah, intensitas, ataupun frekuensi (Denzin dan Lincoln, 1994). Penelitian kualitatif secara metodologis menjadi kritik (berposisi sebaliknya) dengan penelitian kuantitatif (lihat Neuman, 1999; Sitorus, 1998; Bungin, 2004; Muhajir, 2000). Penelitian kualitatif memiliki sejumlah asumsi dasar dalam memahami realitas sosial, hubungan antara peneliti dengan realitas sosial, dan bagaimana cara peneliti menjelaskan realitas sosial (Sitorus, 1998). Pertama, realitas sosial dalam penelitian kualitatif bersifat subjektif, artinya realitas sosial dimaknai sebagai hasil konstruksi tindakan sosial individu (manusia) yang mempunyai maknamakna tertentu. Kedua, realitas sosial bersifat sarat nilai atau tidak bebas dari nilai (free value). Hal ini berkaitan dengan asumsi pertama, di mana realitas sosial dipahami sebagi hasil konstruksi tindakan sosial dari proses interaksi sosial antar
individu sebagai pelaku. Ketiga, realitas sosial dilihat dari sudut pandang subjek penelitian (tineliti). Kebenaran mengenai realitas sosial dalam penelitian kualitatif didasarkan pada pandangan ”orang dalam” atau subjek penelitian, bukan dari hasil kesimpulan peneliti. Oleh karena itu, penelitian kualitatif mengharuskan peneliti mampu membangun hubungan yang baik dengan subjek penelitian agar dapat mengindentifikasi diri sebagai bagian dari subjek penelitian. Hal ini dimaksudkan agar interpretasi terhadap realitas sosial yang hendak diteliti sesuai dengan pandangan tineliti. Selain asumsi dasar, penelitian kualitatif juga memiliki beberapa sifat dasar yang berbeda dengan penelitian kuantitatif (positivisme) (Denzin dan Lincoln, 1994 dan Guba dan Lincoln, 1994). Pertama, penelitian kualitatif bersifat induktif, yaitu data yang bersifat khusus digunakan untuk membangun konsep, wawasan, dan pengertian baru yang bersifat lebih umum. Kedua, naturalistik yang artinya peneliti tidak melakukan manipulasi terhadap setting penelitian. Realitas sosial dipahami secara alami sesuai dengan konteksnya. Ketiga, subjektif yaitu adanya proses interaksi yang kuat atau keterlibatan dua arah antara peneliti dan tineliti. Keempat, holistik yaitu realitas sosial dan manusia (pelaku/aktor) dilihat secara menyeluruh pada segala aspek atau dimensinya dalam konteks historisnya. Kelima, humanistik yaitu memahami manusia sebagai subjek penelitian secara utuh. Keenam, aposteriori yaitu peneliti tidak membangun pandangan, keyakinan atau hipotesis terlebih dahulu sebelum kelapangan. Ketujuh, fleksibel yaitu adanya peluang dan kemungkinan untuk melakukan perubahan selama proses penelitian sesuai dengan konteks di lapang. Kedelapan, validitas yaitu menekankan pada kesesuaian antara data dengan apa yang terjadi di lapang (perkatan atau perbuatan tineliti).
3. 2
Penentuan Lokasi dan Waktu Penelitian Penentuan lokasi penelitian didasarkan pada kepentingan mendapatkan
konstekstualitas dari kosntruksi pemaknaan yang terbentuk di antara dua lokasi yang memiliki karakterisitik sosio-kultural yang unik. Analisis terhadap komunitas penggemar burung difokuskan pada analisis tingkat komunitas, yaitu pada kelompok-kelompok komunitas yang terbentuk di tingkat lokal serta
organisasi yang menaungi kelompok-kelompok komunitas tersebut. Pembatasan analisis pada tingkatan tersebut dilakukan untuk mendapatkan pemahaman konstruksi pemaknaan pada agregat individu-individu yang terdapat dalam komunitas penggemar burung, tidak pada ranah individu-individu penggemar. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa kajian ini merupakan telaah psiko-sosial dan
sosiologis
yang
memperhatikan
dimensi
agregat
individu
dalam
keterkaitannya satu dengan lainnya, serta dengan kekuatan-kekuatan yang berada di luar struktur sosial dari komunitas penggemar burung itu sendiri. Selain pembatasan ranah kajian, pembatasan lain dalam kajian ini adalah pada jenis komunitas penggemar burung yang menjadi fokus analisis yaitu pada komunitas penggemar burung berkicau (kicau mania). Penetapan fokus analisis pada komunitas penggemar burung berkicau dikarenakan saat ini burung berkicau merupakan jenis burung yang paling banyak digemari sebagai satwa peliharaan untuk kepentingan hobi memelihara burung. Melalui pertimbangan argumentasi di atas, yaitu kepentingan mendapatkan konstekstualitas dari konstruksi pemaknaan yang terbentuk di antara dua lokasi yang memiliki karakterisitik sosio-kultural yang unik, maka dalam penelitian ini ditetapkan daerah yang menjadi lokasi penelitian adalah Surabaya dan Yogyakarta. Sebelumnya lokasi penelitian ditetapkan ditiga lokasi sekaligus yaitu Surabaya, Yogyakarta dan Bandung. Namun karena beberapa pertimbangan yang tidak memungkinkan, maka Bandung yang diasumsikan sebagai representasi setting sosio-kultural masyarakat Sunda tidak dilakukan. Pemilihan Surabaya dan Yogyakarta sebagai lokasi penelitian didasarkan pada beberapa pertimbangan. Pertama, kedua daerah ini memiliki sejarah tradisi kebudayaan yang cenderung berbeda, di mana Yogyakarta sejak masa feodalisme hingga saat ini dikenal sebagai pusat kekuasaan politik kerajaan (keraton) di Jawa yang sangat kental dengan tradisi kerajaan (karaton/bangsawan/priyayi), sedangkan Surabaya sebaliknya, sejak masa feodalisme hingga saat ini dikenal sebagai daerah perdagangan atau pusat kegiatan ekonomi dengan dinamika akulturasi dan asimilasi yang cukup tinggi. Di sisi lain, Surabaya sejak dulu dikenal sebagai daerah yang tunduk pada kerajaan-kerajaan besar di Jawa, baik kerajaan Islam maupun Hindu-Budha. Kedua, di kedua lokasi tersebut realitas sosial mengenai
kegemaran memelihara burung semakin menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan. Menurut temuan Jepson and Ladle (2005) Surabaya merupakan salah satu lokasi yang tertinggi masyarakatnya menjadikan burung sebagai satwa peliharaan selain satwa lainnya seperti ayam, kucing, anjing, dan ikan. Sementara itu mengenai pelaksanaan waktu penelitian, penelitian ini dilakukan dalam dua tahap yaitu tahap pertama selama dua bulan (2 bulan) di Surabaya, tepatnya April – Juni 2006. Sedangkan tahap kedua dilakukan selama satu bulan (1 bulan) di Yogyakata, tepatnya bulan Agustus 2007. Lamanya waktu penelitian disesuaikan dengan kebutuhan data yang harus didapatkan peneliti selama di lapangan. Seharunya di setiap tahapan penelitian, lama waktu yang diagendakan di awal adalah selama dua bulan di masing-masing lokasi penelitian, namun karena beberapa argumentasi pertimbangan tersebut didasarkan pada kebutuhan data yang diperlukan dalam proses penelitian.
3. 3
Metode Pengambilan, Jenis dan Analisis Data Sesuai dengan pilihan pendekatan penelitian di atas, yaitu pendekatan
kualitatif, maka metode pengambilan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan strategi pengambilan data dalam pendeketan kualitatif, yaitu indept interview (wawancara mendalam), observasi lapang serta penelusuran dan analisis dokumen (lihat Sitorus, 1998). Metode wawancara mendalam dilakukan pada responden yang memiliki keterkaitan langsung dengan kegiatan pemeliharaan burung, baik dalam bentuk kelompok maupun individu (daftar responden terlampir). Sementara wawancara – tidak mendalam – dilakukan pada informan kunci yang dapat memberikan informasi umum mengenai kegiatan hobi memelihara burung di lokasi penelitian. Observasi lapang dilakukan oleh peneliti dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh para penggemar burung di penelitian. Beberapa kegiatan yang menjadi objek pengamatan peneliti antara lain, kegiatan latihan burung, lomba atau kontes burung, pasar burung, dan pertemuanpertemuan informal para penggemar burung di lokasi penelitian. Adapun penulusuran dan analisis dokumen dilakukan peneliti terhadap sumber-sumber literatur yang berkaitan dengan kegiatan hobi memelihara burung, konteks sosiokultural masyarakat lokasi penelitian.
Jenis data dalam penelitian ini dibagi menjadi dua bentuk data, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer didapatkan dari kegiatan wawancara mendalam dan juga observasi lapang selama penelitian ini dilakukan. Sedangkan data sekunder didapatkan dari dokumen-dokumen yang dianalisis selama penelitian ini berlangsung, baik yang didapatkan dari lapangan maupun dari sumber literatur. Adapun analisis data dalam penelitian ini disajikan secara deskriptif, di mana realitas sosial yang didapatkan dari lapangan dijelaskan bagaimana proses terjadinya dan apa saja bentuk, tindakan atau kejadian dalam realitas sosial tersebut. Meskipun memilih analisis dalam bentuk deskriptif namun realitas sosial dalam penelitian ini dalam beberapa aspek dijelaskan juga tentang hal yang melatarbelakangi terjadinya realitas sosial (lihat Sitorus, 1998).
Internal Komunitas: Setting Sosio Kultural
Pemaknaan SosioKultural
Komunitas Penggemar Pehobi
Komunitas Penggemar Pehobi sekaligus Pelomba
Interaksi Sosial antar Aktor pada
Konstruksi Sosial Pemaknaan
Pemaknaan Konservasi
Komunitas Penggemar Penangkar
Gerakan NGO’s Tekanan Internasional
Gambar 1. Kerangka Teoritis
Pemaknaan EkonomiKomersial
Konfigurasi Kepentingan Aktor